Sabtu, 17 Juli 2021

Makna Kober Ganapati Saat Upacara Rsi Gana






GANAPATI : Rsi Gana kerap disimbolkan dalam sebuah gambar di atas kain putih, sosok Ganapati yang ditancapkan pada Sanggar Surya di sebelah kiri. (Putu Mardika/Bali Express)





Sosok Ganapati dalam upacara Rsi Gana kerap disimbolkan dalam sebuah gambar di atas kain putih, yang ditancapkan pada Sanggar Surya di sebelah kiri. Apa sejati maknanya?

DOWNLOAD FILM AQUID GAME SUB INDO KLIK DISINI

Ganapati pada upacara Rsi Gana dipuja karena ia sebagai penyebab penyucian pekarangan dan areal bangunan pura. Hal ini dijelaskan dalam lontar Bhama Khretih.



Bunyinya : Iki keputusan Sang Hyang Resi Ghana, pamarisudhan ing karang panes, mang sanggar, ngadigakan sanggar tutwan, mapenjor pring ghading , matunggalkasa 2, merajah Ghana, ngawa Bajra, 1 ngawe Gadha, 1, malih rwan bingin acarang, ring acrsania gnahniya, kapwa rwania marajan tjakra, magenah ring harep ing sanggar, sucinia, 2, matumpeng hadanan, pras daksina harthania, 1700, canang lenggawangi, burat wangi, munggah ring sanggar.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Jika diterjemahkan berarti, keputusan Sang Hyang Rsi Gana, yaitu mengenai penyucian tanah pekarangan panas dan bangunan pura, caranya adalah dengan mendirikan sanggar tutuwan, penjornya bambu gading, berbendera kain putih bergambar Gana yang membawa sebuah Gada dan Bajra, disertai daun beringin setangkai letaknya di timur laut, yang bergambar cakra di hadapan sanggar, sucinya 2 buah lengkap dengan hadanan yang bertumpang, pras, daksina, uang 1700, canang lengawangi, burat-wangi yang diletakkan di sanggar.

“Makna adanya kober Ganapati adalah untuk menghadirkan Sang Hyang Ganapati agar menjaga upacara mupuk padagingan supaya terhindar dari kekuatan negatif, baik itu berasal dari Bhuta dan yang bersumber dari Dewa dan Manusia,” ujar Kelian Adat Buleleng, Jro Nyoman Sutrisna, kemarin.

Kober Ganapati di dalamnya terdapat mantra yang berupa tulisan berbentuk aksara yang disebut dengan Ekaksara, Dwiaksara, Triaksara, Pancaksara, Panca Brahma, Dasaksara, dan Dasa Bayu.

Rajahan aksara yang digunakan pada kober Ganapati memiliki makna sebagai proses dari lahirnya ciptaan dari Ekaksara sebagai yang tunggal, menciptakan Dwiaksara sebagai purusa dan prakerti, sehingga melahirkan tiga manifestasi yang utama Triaksara sebagai Brahma, Wisnu dan Siwa.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Dari tiga sifat utama melahirkan lima sifat materil Panca Brahma yaitu Siwa, Atman, Pradana, matahari dan api. Dari Panca Brahma melahirkan Pancaksara yaitu Nang, Mang, Sing, Wang dan Yang.

Pancaksara merupakan unsur materiil dari Panca Mahabhuta. Kemudian dari Pancaksara terjadi proses penciptaan, yaitu dari mantra Dasaksara Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang.

Kemudian ciptaan ini dihidupkan oleh mantram Dasa Bayu, Om I A Ka Sa Ma Ra La Wa Ya Ung, yang merupakan sepuluh prana sebagai penghidup sebuah ciptaan. “Jadi urutan rajahan aksara ini digunakan pada kober Ganapati di upacara Rsi Gana sebagai proses melahirkan manifestasi Ida Sang Hyang Widi Wasa, yaitu Gaṇapati,” pungkasnya.

Caru Rsi Gana Netralisasi Ulah Niskala Pasca Ulah Pati






PACARUAN: Suasana prosesi pecaruan Rsi Gana di Setra Desa Adat Buleleng. Kelian Adat Buleleng, Jro Nyoman Sutrisna (Putu Mardika/Bali Express)



Caru Rsi Gana menjadi salah satu sarana penyucian secara niskala untuk menteralisasi Bhuana Agung dan Bhuana Alit pasca peristiwa besar terjadi di sebuah tempat. Bahkan, sarana ini juga kerap digunakan jika ada kasus ulah pati seperti kasus bunuh diri.


Upacara Rsi Gana ini dilakukan Desa Adat Buleleng, Kecamatan Buleleng, Jumat (16/7) di areal setra yang berlokasi di Kelurahan Kendran, Kecamatan Buleleng.





Ritual ini dilaksanakan setelah adanya seorang wanita yang nekat gantung diri di pohon Ketapang areal setra, Kamis (15/7) lalu, lantaran mengalami sakit kanker payudara sejak lama.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI



Kelian Adat Buleleng, Jro Nyoman Sutrisna mengatakan, kasus ulah pati (bunuh diri) di Setra Adat Buleleng adalah tragedi yang pertama kali terjadi di wawidangannya. Namun, pihaknya bersama prajuru adat langsung bergerak untuk melaksanakan pacaruan Rsi Gana.

Upacara ini dipimpin langsung Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Nanda Kusuma dari Geria Stiti Shanti Mutiara.

Jro Sutrisna mengatakan, caru Rsi Gana digunakan untuk menetralisasi wawidangan yang leteh (kotor secara niskala) akibat kasus ulah pati atau bunuh diri. Pohon Ketapang yang dijadikan sarana gantung diri pun juga ditebang. Kemudian akarnya juga dibongkar agar tidak tumbuh lagi.

“Di tanah bekas pohon Ketapang tumbuh, kami tanam sarana caru Rsi Gana. Kami berharap secara niskala agar tidak ngerebeda atau gentayangan,” jelasnya.

Dikatakan Jro Sutrisna, dipilihnya Caru Rsi Gana sebagai sarana untuk menetralisasi wawidangan setra bukanlah tanpa alasan. Mengingat di wilayah ini terjadi ulah pati. Sehingga tidak tepat jika menggunakan sarana caru biasa.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Pihaknya memutuskan untuk menggunakan sarana pacaruan Rsi Gana tingkat alit. “Kami gunakan banten suci, banten pacaruan lengkap, bebek belang,” imbuhnya.

Menurutnya, Caru Rsi Gana secara umum memang berfungsi sebagai sarana penyucian (pangeruatan) Bhuana Agung dan Bhuana alit. Ritual ini juga untuk menjaga keharmonisan alam semesta beserta segenap isinya.

Caru Rsi Gana memang kerap digunakan menyucikan karang yang tergolong angker atau karang panes. Dikatakan Jro Sutrisna, ciri-ciri dari karang angker atau karang panes sebagaimana terdapat dalam lontar Pamanes Karang ia, ib, 2a, dan 2b disebutkan, karang panes yang menyebabkan panas yang dirasakan penghuninya.


Ciri-cirinya antara lain, bila dalam areal pekarangan tersebut terdapat lulut, ada orang mati gantung diri, pohon kelapa bercabang, pisang bercabang, rumah terbakar. Kemudian ada darah tanpa sebab, ada ular masuk rumah, ada orang mati tidak wajar, ada hewan babi atau anjing beranak satu. Selain itu, pekarangan bersebelahan dengan pura, pekarangan bersebelahan dengan balai banjar, dan lainnya, patut diupacarai dengan upacara caru nista, madia, dan utama.

Pelaksanaan upacara Caru Rsi Gana juga menggunakan sarana seperti banten Byakala, banten Prayascitta, banten Durmaggala dan berbagai bentuk-bentuk rerajahan.

“Semua itu berfungsi untuk proses penyucian, meliputi dua macam, yakni penyucian yang bermakna lahiriah dan penyucian yang bermakna lahiriah dan penyucian yang bermakna rohaniah,” bebernya.

Rabu, 14 Juli 2021

Nguja Benih, Memohon Diberkati Benih Unggul dari Dewi Sri

 

Nguja Bebih, Memohon Diberkati Benih Unggul dari Dewi SriNguja Bebih, Memohon Diberkati Benih Unggul dari Dewi Sri

Tokoh masyarakat Pedawa, Wayan Sukrata (Putu Mardika/Bali Express)


Tradisi agraris di Pedawa sangatlah unik. Salah satunya Upacara Saba Nguja Benih. Ritual yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali ini bertujuan memohon kepada Dewi Sri agar memberikan bibit unggul kepada petani di Pedawa, Buleleng, sehingga hasil pertanian berlimpah.

Tokoh masyarakat Pedawa, Wayan Sukrata mengatakan, Saba Nguja Benih dilaksanakan bertepatan dengan Purnama Sasih Kaulu. Saat ritual itu dilaksanakan, maka ada kewajiban menarikan Tari Jejumputan.


Tarian ini memiliki persiapan yang panjang dimulai dari musyawarah perencanaan tanggal. Musyawarah dilakukan Balian desa dengan melibatkan pengulu desa, dan kelian adat. Kemudian hasil musyawarah akan diteruskan tiap-tiap Kelian Sambangan, untuk diinformasikan keseluruh warga. 


CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Setelah dimusyawarahkan, maka langkah selanjutnya adalah melakukan matur piuning lima pura di Desa Pedawa. “Matur piuning melibatkan beberapa tokoh, yaitu Balian desa dan Pengulu desa. Setelah matur piuning, maka para pengawin mulai menjumput calon penari dengan dibawakan pabuahan. 

Pemilihan calon penari harus sesuai dengan kriteria yang merupakan sudah ketentuan dari para leluhur,” jelasnya.

Empat hari sebelum pementasan Tari Jejumputan dilaksanakan latihan tari. Persiapan selanjutnya yaitu bersih-bersih Pura Desa yang dilaksanakan oleh daa. Bersih-bersih ini dilakukan dua hari sebelum dipentaskannya Tari Jejumputan. Para daa membersihkan semua areal Pura Desa.


CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Persiapan selanjutnya dilakukan sehari sebelum pementasan yang dilakukan daa truna pada pagi hari. Kegiatan ini dimulai dengan membawakan janur (busung) dan bambu dari rumah yang dilakukan oleh teruna. Kegiatan daa selanjutnya, melipat janur (busung) dengan cara diikat, dalam satu ikat terdapat 10 helai janur (busung).

“Kegiatan sore hari adalah menumbuk warna alami (ngintuk kenuja) untuk memberi corak warna pada janur. Pada saat pagi hari penek banten terdapat berbagai kegiatan yang diawali dengan membawa babi pada pagi hari sejumlah satu ekor, kemudian babi diperiksa kelayakannya oleh dane ulu desa,” imbuhnya.

Apabila babi tersebut memenuhi syarat, maka tahap selanjutnya diserahkan ke pemiritan. Pemiritan mengumpulkan anggota untuk menyembelih babi tersebut, dan kemudian dibersihkan. Potongan babi yang telah dibersihkan kemudian diserahkan kembali kepada pengetan.

Setelah berbagai persiapan selesai, maka selanjutnya penek banten. Pada saat penek banten inilah Tari Jejumputan dipentaskan. Berbagai ritual untuk pementasan selesai, maka tari Jejumputan boleh ditarikan. 

Biasanya Tari Jejumputan ini mulai dipentaskan pada tengah malam sekitar jam 01.00 Wita. Para penari akan memulai dengan menarikan Jejumputan biasa. Aris-Arisan Merak Mengelo kemudian Sambang Karang. Namun, untuk jenis gerakan Tari Merak Mengelo memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, sehingga jarang penari yang mampu menarikan, maka gerakan Tari Merak Mengelo terkadang tidak ditarikan.

“Upacara ini merupakan salah satu wujud permohonan kepada Tuhan agar memperoleh bibit yang unggul dan bagus, salah satu wujud rasa bersyukur, dan menolak bala atau memohon kemakmuran di sektor pertanian. Hal ini bersangkutan dengan Dewi Kemakmuran yaitu Sang Dewi Sri,” pungkasnya. 

Matatah dan Sarana Upacara Berdasarkan Lontar Eka Prathama

 

Matatah dan Sarana Upacara Berdasarkan Lontar Eka Prathama

MATATAH: Matatah, salah satu upacara Manusa Yadnya yang termuat dalam Lontar Eka Prathama. I Wayan Titra Gunawijaya, S.Ag, M.Fil. H  (Putu Mardika/Bali Express)


Ada banyak lontar di Bali yang mengupas tentang pelaksanaan Panca Yadnya. Namun, bila ingin mengetahui tata cara yang spesifik tentang Manusa Yadnya, maka Lontar Eka Prathama merupakan salah satu rujukannya.

Anggota Ikatan Cendikiawan Hindu Indonesia Provinsi Bali, I Wayan Titra Gunawijaya, S.Ag, M.Fil. H mengatakan, Lontar Eka Prathama banyak membahas tentang tatanan dan banten yang dipergunakan dalam pelaksanaan upacara Manusa Yadnya

Sebab, melirik dari isinya secara keseluruhan, menguraikan tentang tata upacara Manusa Yadnya dari upacara bayi baru lahir sampai upacara perkawinan. 

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Tingkatan upacara Manusa Yadnya yang dimaksud, adalah ketika bayi baru lahir ke dunia ada upacara yang harus dilaksanakan, yang dapat dilaksanakan secara nista, madya atau utama.

“Mulai dari saat bayi kepus pusar, setelah bayi berusia 42 hari, setelah bayi berusia enam bulan diselenggarakan upacara dengan sesajen tersendiri dalam tingkatan nista, madya atau utama. Nah itu dikupas dalam Lontar Eka Prathama tersebut,” jelasnya, kemarin.

Termasuk saat upacara perkawinan, lanjutnya, dalam Lontar Eka Prathama diuraikan ada semacam peringatan kepada mempelai yang dilarang keluar rumah dan sampai menginjakkan kakinya ke jalan raya, sebelum melaksanakan upacara perkawinan.

Khusus tentang pelaksanaan upacara Matatah dalam Lontar Eka Prathama mengandung arti pembersihan sifat buruk yang ada pada diri manusia. Sebab enam buah taring yang ada di deretan gigi atas dikikir atau diratakan.

Upacara ini merupakan satu kewajiban, adat istiadat dan tradisi yang masih terus dilakukan umat Hindu di Bali secara turun temurun sampai saat ini.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Dalam pelaksanaan upacara Matatah, Lontar Eka Prathama mengupas tentang etika yang harus dipatuhi saat Matatah, termasuk cara berpakaian, seperti dikutip : Walining wong atatah, yan lanang wastra cepuksari, sabhagya yan hana cepukmadhu, sabuknya bagus anom, lang wangsul kampuhnya kayu sugih. 

Yan wadon, kenya cepuk lubeng luwih, wastranya sukawredi, sabuknya taler bagus anom, lan-lan wangsul selendangnya kayu sugih. Nwah maka paturwanya, tekaning ulesnya, lakiba, sama pada mangkana. 



Paturwanya tikeh palasa, 1, sinurat smara ratih, kawos sirahnya kemit, pelangka gading, marangkub wangsul kemit, wangsul palangka gading, gedongan geringsing, klasanana pramadani, lan patawala sutra. Mwah ulesanya pakis lulut, lulut oneng, sudhamala, kayu sugih.

Jika diartikan, berikut pakaian orang potong gigi. Apabila laki-laki memakai kain cepuksari, berbahagialah bila ada cepukmadhu, ikat pinggang bagus anom, dan tali kapuhnya kayu sugih. 

Apabila perempuan kain dalamnya cepuk lubeng luwih, kain luarnya sukawredi, ikat pinggangnya juga bagus anom, dan tali selendangnya kayu sugih. Dan, sebagai tempat tidurnya beserta sprainya, baik yang laki maupun perempuan sama. 

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Tempat tidurnya tikar halus, satu lembar, digambari smara ratih, pelindung kapalanya, balai gading, ditutup dengan kain sebagai penutupnya, kain pada balai gading, kain gedingan geringsing, alasnya permadani dan patawalasutra. Pembungkusnya adalah pakis lulut. Lulut oneng, sudhamala dan kayu sugih. 

Dari kutipan teks lontar tersebut, dijelaskan pakaian orang yang akan Matatah harus sesuai, yaitu berisikan kain kuning, memakai kain cepuksari dan berbagai kain pendukung lainnya. Serta yang terpenting antara pakaian pria dan wanita dibedakan.

Selain cara berpakaian, dalam teks Lontar Eka Prathama juga disebutkan bagaimana cara berludah dan juga tempat ludah pada saat prosesi potong gigi berlangsung. 

Kutipan teks Lontar Eka Prathama menyebutkan : Mwah maka genahing widunya, cengkiring nyuh gading, kinasturi, rinajah Ardanareswari, lalamakan awangsul sabuh rah, wangsul nagasari, ikang widunya, pedem ring wingkinging sanggara agung. Mwang singganging waja, tebu malem 3 buku, lawan carang dapdap, wusnya mendem sarengan ring genahing wiku ika.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Bila diartikan :  lagi sebagai tempat ludahnya kelapa gading muda dikasturi. Digambari Ardanareswari, sebagai alas membuang ludah adalah kain nagasari, kemudian ludahnya itu ditanam di belakang sanggar agung, alat perenggang gigi (mulut) tebu malem 3 ruas dan ranting dapdap, setelah selesai tanam bersama-sama tempat ludah itu.

“Dari kutipan teks lontar tersebut dijelaskan, sarana yang dipakai untuk alas dan juga tempat air liur di tempat khusus. Termasuk sarana yang dipergunakan mendapat tempat khusus, sehingga tidak dibuang sembarangan,” paparnya. 

Dikatakannya, dalam teks Lontar Eka Prathama, penggunaan banten dalam upacara Potong Gigi atau Matatah sangat banyak sekali perannya. Jenis banten pun diulas secara detail.

Seperti yang tertulis : Nyan tingkahing babaline wong wus atatah, angadegaken sanggara tawang, ryarepning kabuyutan, genep sakramaning sanggar tawang, caru kang munggagi sanggar tawang, banten suci 4 dandanan, tekeng catur warna genep kadi kramaning suci kayng lagi. Ring sor tambehana caru, sakutu-kutuning walantaga, den jangkep kadi nguni.

Jika diartikan : Inilah tata cara orang potong gigi, mendirikan sanggar tawang, di depan sanggar kemulan, upakara sanggar lengkap. Banten yang dinaikkan di sanggar tawang banten suci empat perangkat, disertai dengan catur warba, lengkap sebagaimana suci biasanya. Di bawah tambahkan caru, peji, uduh, pisang lalung, agar lengkap seperti biasanya.

Dari kutipan teks lontar tersebut, telah mencerminkan keberagamaan di Bali. Dimana setiap pembuatan bangunan berupa sanggar pendukung, menempatkan banten sebagai simbolnya, kemudian di bawah meletakkan caru sebagai simbul keharmonisan.

“Ini menandakan tingkat religiusitas masyarakat Bali dari zaman kuno yang tertuang dalam teks Lontar Eka Prathama sangat tercermin sekali melalui perwujudan banten,” imbuh dosen di Prodi Teologi, STAHN Mpu Kuturan Singaraja tersebut.

Selain kutipan teks tersebut, dijelaskan pula secara detail banten yang dipergunakan dalam upacara potong gigi, sebagai berikut : Mwah paruk alit 4, maka catur kumba. Dyun pere, kumba carat 4, mwah caratan, pane, sasenden, kekeb, keren, dangdang lemah, kuskusan anyar, mesi sarwa rwi-rwi 108, palungan, suwir pepek, ilir, cucukin don, kalasa anyar, pada 1. 

Pari rong tenah, parahwatning anenun, kampil mesi beras. Malih panyukcuk itik belang kalung, ayam sudhamala, celeng muani, garboda, pungu-pungu, patlasan anut dina, kukusuk sudhamala.

Artinya :  periuk kecil empat buah untuk catur kumba, tempayan pere, kuba carat empat, dan kendi, panai, senden, tutup, keren, periuk tanah, kuskusan baru, berisi jenis-jenis duri sebanyak 108, lumpang, siwur pepek, kipas, pucuk daun, tikar halus masing-masing satu. 

Padi dua tenah, perlengkapan menenun, kampil berisi beras. Lagi sebagai pemucuk itik belang kalung, ayam sudhamala, babi jantan, garboda, pungu-pungu, patlasan sesuai dengan hari, kukusuk sudhamala.

Selain menempatkan banten secara detail, peletakan sarana banten juga disesuaikan dengan tattwa. Meskipun pada dasarnya umat Hindu di Bali beragama berdasarkan cara yaitu praktek, akan tetapi tidak terlepas dari tattwa dan susila sebagai tonggak ukur pelaksanaan kegiatan yadnya umat Hindu.

“Melalui penggunaan banten dapat dilihat secara gamblang mengenai pemaknaan relegius terkait dengan upacara potong gigi khususnya dalam teks Lontar Eka Prathama,” pungkasnya. 

(bx/dik/rin/JPR)


Beragam Rajah dan Fungsi, Rupa Seni Unik Berdaya Magis



Rerajahan (rangkaian aksara gambar magis) menjadi salah satu sarana ritual bernilai seni religius yang cukup sering digunakan umat Hindu di Bali. Meski tak lepas dari konsep Rwa Bhineda, benda sakral ini memiliki beragam wujud, mulai dari gabungan mantra, huruf suci, hingga gambar atau lukisan.


Made Gami Sandi Untara, S.Fil.H, M.Ag mengungkapkan, rerajahan kerap digunakan untuk tujuan yang suci berhubungan dengan Panca Yadnya. Selain itu, ada juga yang digunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan dharma. Biasanya disebut ilmu aliran kiri (pengiwa), dan ilmu ini biasanya dikalahkan oleh (panengen) ilmu aliran kanan.




“Dalam sistem ritual Hindu banyak dikenal simbol-simbol yang disebut dengan yantra. Dari yantra inilah menimbulkan berbagai kekuatan magis yang religius. Antara rerajahan, tantra dan mantra memiliki suatu keterpaduan yang sangat erat,” kata Gami Sandi.

Dosen Prodi Filsafat STAHN Mpu Kuturan Singaraja ini menambahkan, rerajahan tidak akan bermakna kalau tidak dipasupati. Rerajahan hanya akan menjadi gambar yang kosong, dan hanya mengandung estetika saja. Namun, jika sudah dipasupati, maka benda sakral ini tidak lepas dari kekuatan gaib.

Bagaimana tidak. Rerajahan menjadi sarana memanggil kekuatan gaib, menjemput roh-roh baik, untuk hadir di tempat pemujaan, peringatan pada leluhur. “Gabungan antara huruf-huruf sakral (Modre) dengan gambar-gambar simbolis yang dihidupkan oleh kekuatan doa atau mantra, sehingga menimbulkan kekuatan magis,” imbuhnya.

Menurutnya, kekuatan hurup atau aksara sakral yang dikenal dengan Aksara Modre, bermanfaat untuk menuliskan hal-hal yang bersifat magis. Seperti tentang kadyatmikan, kalepasan, dan japa mantra. “Agar rerajahan menimbulkan kekuatan magis harus dipadukan dengan Mantra, Tantra, Yadnya, dan Yoga,” paparnya.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Aksara Modre ada tiga macam, yaitu Aksara Lokanatha, Aksara Pati atau Panten, dan Wijaksara. Aksara sakral ini dalam penggunaannya sering dipadukan dengan gambar-gambar sakral yang disebut dengan rerajahan.

Karena memiliki kekuatan magis yang ditimbulkan oleh rerajahan inilah, rupanya tidak hanya digunakan untuk tujuan suci saja. Tetapi kerap disalahgunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan dharma.

Masing-masing rerajahan mempunyai fungsi yang berbeda. Sehingga dikenal jenis rerajahan putih dan rerajahan selem (hitam). Rerajahan putih digunakan untuk melindungi diri. Sedangkan rerajahan selem biasanya untuk menyakiti orang.

Keduanya sebagai konsep Rwa Bhineda. Jika keduanya bertemu, maka akan melahirkan energi dan kedinamisan dalam hidup. Namun sebaliknya, apabila keduanya dibenturkan (tidak harmonis), maka malapetaka akan terjadi.

Motif yang dilukiskan dalam rerajahan sangat bervariasi. Masing-masing mempunyai nilai simbolis berbeda. Demikian juga material yang digunakan sangat bervariasi, seperti lempengan logam (emas atau perak), kain kapan, daun kelapa, daun lontar, kertas.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Gambar yang lazim dilukiskan dalam rerajahan, sering menggunakan simbol dewa-dewi, raksasa, tapak dara, manusia, senjata nawa sanga, bunga padma, huruf Ongkara dan Dasaksara. Ada pula gambar binatang, bangunan suci, dan benda-benda langit.

Gami Sandi Untara mengungkapkan, dari beragam gambar dan huruf itu, pada dasarnya rerajahan dapat dibagi menjadi tiga jenis. Rinciannya, rerajahan berupa tulisan (kaligrafi Bali) yang merupakan kata-kata mengandung makna, sering disebut dengan mantra.

Ada juga rerajahan berupa gambar-gambar hayali dari bentuk manusia, binatang, kombinasi bentuk manusia dengan binatang, dan tetumbuhan. Kemudian rerajahan kombinasi dari bentuk gambar dengan tulisan indah, yakni gambar merupakan wujudnya, sedangkan tulisannya adalah isi atau kekuatan.

Rerajahan memiliki beragam fungsi sesuai dengan tujuan yang diinginkan dari sugesti rerajahan itu. Misalnya, Rerajahan Canting Mas yang dibuat dalam kepingan emas serta dibungkus dengan kain putih, berfungsi untuk keteguhan dan penarik simpati.

Rerajahan Siwer Mas juga ditulis dalam kepingan emas atau perak. Lalu dibungkus dengan kain putih. Rerajahan ini sangat bermanfaat sebagai penangkal ilmu sihir yang sering mencederai, seperti desti, teluh, tranjana.

Selain itu, rerajahan juga digunakan untuk mendapatkan kekuatan dan perlindungan dari para dewata. Untuk menyucikan diri, untuk mendapat simpati (pematuh), mencegah secara gaib hal-hal yang tak diinginkan, menyerang balik pihak musuh, dan memeroleh kekuatan gaib.

“Selama ini persepsi orang tentang rerajahan selalu dikaitkan dengan hal-hal yang negatif. Hal ini sangatlah wajar karena sebagian besar figur yang digambarkan pada rerajahan sangat aneh, angker, dan menyeramkan,” kata pria asal Tabanan ini.

Menurutnya, persepsi tersebut sangat wajar. Karena orang yang bergelut dengan rerajahan lazimnya berperan ganda disebut Balian Ngiwa-Nengen. Selain bertugas menyakiti, terkadang juga untuk mengobati.

Kemampuan seperti itulah yang sering dialamatkan pada para dukun atau 'balian' dalam memanfaatkan rerajahan.

Sebagai jimat, rerajahan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, baik untuk keselamatan maupun untuk mensugesti sesuatu, seperti penglaris hingga pesugihan.

Gambar rerajahan untuk keperluan itu biasanya digoreskan pada lempengan tembaga atau benda lainnya dibungkus dengan kain kapan. Kemudian diberikan mantra-mantra dengan sesajen secukupnya. Sarana tersebut biasanya ditanam atau ditempatkan pada suatu tempat, dan ada juga yang selalu dibawa dengan menyisipkannya pada pakaian.

Sedangkan, dalam pelaksanaan ritual, rerajahan dimanfatkan pada aktivitas Panca Yadnya. Pada upacara Pitra Yadnya/Ngaben misalnya, rerajahan digunakan sebagai simbol orang yang meninggal atau diupacarai.

Ketika rerajahan dibuat di atas kayu cendana disebut Pererai dan pada selembar kain yang disebut Kajang, Kekasang, dan Racadana. Bentuk yang digambarkan berupa manusia, dilengkapi dengan tulisan dari aksara Bali sebagai penjelasannya.

Pembuatan rerajahan Kajang disesuaikan dengan warga (soroh) orang yang meninggal. Rerajahan Kajang merupakan simbolisasi dari kendaraan roh yang dipakai menuju alam nirwana. Sementara Kasang atau Kekasang adalah gambar rerajahan yang ditulis di atas kain putih persegi empat dalam bentuk senjata Nawa Sanga, sebagai simbol dari tempat duduk Bhatara Nawa Sanga.

Sebelum digunakan, Kekasang dimantrai oleh seorang pendeta. Isi atau maksud mantra tersebut adalah memohon keselamatan dan karunia dari Dewata Nawa Sanga.

Selain itu, rerajahan juga difungsikan dalam pembuatan banten (sesajen). Untuk kepentingan itu, rerajahan dilukiskan dalam berbagai bentuk, seperti garuda, padma, cakra, dewa-dewi, atau senjata nawa sanga yang dibuat secara utuh. “Biasanya rerajahan itu diterapkan pada paso (tempayan), ngiyu (anyaman tempat sesaji), bungkak (kelapa muda), sangku, dan sebagainya,” pungkasnya.

(bx/dik/rin/JPR)

Tujuh Jenis Rerajahan Penolak Bala Hingga Black Magic



Tidak hanya memiliki nilai estetika yang tinggi. Rerajahan (rangkaian aksara gambar magis) yang melalui proses mantra, tantra, yadnya dan yoga, juga memiliki beragam fungsi. Mulai dari sarana penolak bala, sarana kekebalan, sarana white magic (panengen) hingga sarana black magic (pangiwa).


Made Gami Sandi Untara, S.Fil.H, M.Ag mengatakan, ada tujuh jenis rerajahan yang digunakan sebagai penolak bala. Diantaranya Rehing Pacul, yaitu rerajahan jenis ini dirajah pada cangkul, tengala dan lain-lainnya atau semua alat-alat pertanian. Tujuan utama dari rerajahan tersebut adalah menolak panas angker di sawah dan tegalan.




Ada juga rerajahan Siwa Mimi, digunakan untuk menghalau desti (sarwa merana). Rerajahan Siwa Mimi cirinya berkepala lima. Rerajahan tersebut dikelilingi dengan senjata seperti cakra, gada, naga pasa, dupa, keris, padma (catur dala), tri sula, dan binatang naga pasa.


Rerajahan Kala Raja, Rajastra atau Kala Mertiu digunakan sebagai penolak gering dan butha kala, penolak dari segala sesuatu yang bersifat membahayakan (mayanin), penolak sarwa wesya dan sarwa baya (nyengkalen).

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

“Sarana yang dipakai adalah kertas, setelah itu barulah dirajah dan aksaranya memakai aksara Dasa Bayu,” jelasnya.

Rerajahan Tumbal Tungguh digunakan sebagai penolak jika ada orang mempunyai niat jahat. Dengan adanya rerajahan Tumbal Tangguh, maka niat jahat bisa hilang. Sarana adalah kertas dan tempatnya di atas pintu masuk atau pintu gerbang.

Rerajahan Butha Maya fungsinya sebagai penjaga rumah (pangijeng karang perumahan). Sarananya adalah tembaga. Rerajahan ini tempatnya pada sanggar beratap ijuk, kemudian ditancapkan pada halaman rumah (natah). Sanggar yang berisi rerajahan tersebut perlu dibuatkan sesajen setiap hari.

Sesajen yang dimaksud adalah nasi kepel, dagingnya bawang jahe dan garamnya garam hitam (tasik ireng). Fungsinya sebagai penolak jika terjadi gering gerubug, tetempur leak wisesa, butha sakti, wisya mandi.

Rerajahan Sang Hyang Gana Sari digunakan sebagai pengasih sarwa tetempur dan gerubug seluiring durjana, muang butha dewa. Maksudnya sebagai penolak dari semua jenis black magic (leak), dan kalau ada kematian berturut-turut tanpa diketahui penyebabnya, juga bisa sebagai penolak butha dewa.

Sarananya adalah kain kasa putih. Pemakaiannya adalah seperti memasang bendera dengan memakai tiang yang agak panjang.

Rerajahan Tumbal, fungsinya sebagai penolak karang yang sangat angker. Sarananya adalah pelepah kelapa (papah nyuh). “Tempatnya adalah ditancapkan di pekarangan yang angker tersebut,” ungkapnya.

(bx/dik/rin/JPR)