Jumat, 12 Maret 2021

Makna Pedanda Baka

 



Pedanda Baka, hampir semua masyarakat Bali pasti pernah mendengar cerita ini sewaktu kecil, kisah Sang Cangak Maketu, atau Bangau Bermahkota Pendeta, dongeng sederhana, namun bermakna sangat dalam, kisah yang mempertanyakan kesucian dari seseorang yang berperilaku suci.

.
Kisah ini tergolong kedalam Cerita Tantri atau PaƱchatantra, kumpulan dongeng India Kuno yang menggunakan binatang sebagai tokoh utamanya, yang secara tidak langsung menggambarkan perilaku masyarakat, penguasa, bahkan para pemuka agama kala itu. Kisah Pedanda Baka merupakan dongeng di dalam dongeng, kisah ini diceritakan oleh Patih Sembhada, seekor serigala, ketika memprovokasi seekor Singa yang bernama Raja Candha Pinggala dengan Resi Nandhaka, seekor banteng, dan Sembadha berhasil membuat mereka saling membunuh.
.
Secara singkat dongeng ini mengisahkan, seekor bangau tua yang mengenakan mahkota pendeta dengan bulu putih yang bersinar cerah seperti kain sutra, ia berdiri dengan satu kaki selama berjam-jam di tepi Telaga Kemudasara, seperti sedang bermeditasi, membuat seluruh ikan merasa takjub dengannya, kemudian ia berkata bahwa ia sudah mendapat pencerahan dan diutus oleh Hyang Kuasa untuk menyelamatkan semua ikan, karena telaga itu akan surut, namun pada akhirnya ia memangsa semua ikan lugu dan polos itu yang percaya dengan tipuan Sang bangau.
.

Sederhananya, kisah ini mengajarkan, banyak sekali orang yang kelihatannya berperilaku baik dan tulus ternyata memiliki niat tertentu untuk kepentingannya sendiri dengan memperdaya orang-orang yang mempercayainya. Namun, disisi lain kisah ini menjadi sindiran perilaku para Pendeta pada zaman kerajaan yang berperan sebagai penjabat penting dalam sistem politik kerajaan. Bahkan saat itu cerita ini sempat dilarang untuk diceritakan karena dianggap merendahkan kaum Pendeta.
.

Dalam istilah Bali, Pedanda Baka, berarti pendeta yang sebetulnya palsu, sehingga gampang untuk melanggar swadarma. penyebab dari fenomena ini, karena sebagian masyarakat yang tak peduli dengan ajaran agama dan menyerahkan sikap keagamaan kepada pendeta, termasuk para pedanda baka.
.
Dirangkum oleh @calonarangtaksu @global.bali #pedandabaka #sangcangak


Kamis, 11 Maret 2021

Ida Mas Dalem Segara, Sulinggih Berusia 23 Tahun, Ini Kisahnya






MUPUT : Ida Mas Dalem Segara dengan pakaian kebesarannya ketika muput upacara. (IDA MAS DALEM SEGARA FOR BALI EXPRESS)





Apa yang tergambar dalam benak Anda ketika menyebut kata Sulinggih? Tentu yang terbayang adalah seorang pendeta suci yang berpakaian serba putih, berambut panjang yang diperucut, juga berjenggot putih. Namun, bayangan sosok seperti itu akan buyar, bila melihat Sulinggih Ida Mas Dalem Segara yang ala kids zaman now. Kenapa buyar? Karena pasti berseberangan dengan yang dibayangkan.





Ida Mas Dalem Segara, seorang Sulinggih muda berperawakan gagah. Tak seperti Sulinggih pada umumnya, Ida Mas Dalem Segara membiarkan rambut hitam bergelombangnya terurai. Gaya bicaranya yang santai, membuatnya cepat akrab dengan para pamedek yang tangkil ke griyanya di kawasan Jalan Drupadi XIV Denpasar.


Usai melayani para pemedek yang malukat, Sulinggih berusia 23 tahun ini pamit mohon izin untuk berganti pakaian. Beberapa saat kemudian, pria tamatan SMA ini sudah terlihat dengan santai duduk di atas sebuah Bale Pangiring yang terletak di pelataran griyanya.

“Ampura nggih, saya lebih suka berpenampilan begini jika di rumah. Apa adanya, yang terpenting bukan apa yang saya kenakan. Tapi, seperti apa jiwa dan karma yang saya lakukan,” ujar Sulinggih asal Peguyangan, Buleleng, ketika menerima kunjungan Bali Express (Jawa Pos Group), kemarin. Melihat penampilannya, Sulinggih ini mirip idola kids zaman now, bila melihat model rambutnya, pakaiannya yang modis, ditopang posturnya yang semampai plus wajahnya yang rupawan.


Pria yang sejak kecil menetap di Denpasar ini, mengaku cukup berat menjalankan takdirnya menjadi seorang Sulinggih. Bahkan, tak pernah menyangka perjalanan hidupnya akan sejauh ini. “Dari kecil saya memang dekat dengan hal - hal spiritual. Beliau benar – benar menuntun saya lewat berbagai cobaan dalam hidup,” ungkapnya.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Ida Mas Dalem Segara bercerita, sejak kecil tak pernah merasakan kasih sayang ayahnya sebagai orang tua. Ia tumbuh dan dibesarkan oleh ibunya. “Bisa dibilang saya seorang yatim. Tidak memiliki ayah, saya sepenuhnya bergantung pada ibu. Ibu merawat saya dari kecil hingga tamat SMA,” paparnya.
Ketika SMA, Ida Mas Dalem Segara memutuskan untuk memulai membangun usaha di bidang pakaian. Di luar perkiraan, usaha yang dirintisnya ternyata tumbuh dengan pesat. Ia mulai menerima banyak orderan, sehingga terus melebarkan sayap bisnisnya hingga memiliki toko dan cabang di sejumlah daerah.


Merasa ada di atas angin, ia terus mengembangkan usahanya hingga benar – benar maju.
“Suatu malam ada sosok gaib yang datang menyampaikan bagaimana seharusnya jalan saya kedepan. Awalnya saya belum bisa menerima untuk menjadi seorang Sulinggih. Sebab, bisnis saya sedang maju. Jika saya menerima, artinya saya harus siap melepaskan usaha dan segala bentuk keduniawian lainnya," akunya. Namun bayangan agar menjadi seorang Sulinggih, terus berkecamuk di benaknya.
Setahun sebelum ia bersedia melaksanakan proses madwijati, Ida Mas Dalem Segara bermimpi masuk ke sebuah dimensi ruang, di mana ia melihat masa depan.

“Saya melihat sekelebat kejadian yang berganti ganti, saya juga melihat diri saya ketika di umur lanjut usia, tengah berdiri di utara rumah dengan pakaian serba putih. Dan anehnya, setelah mimpi tersebut, orang – orang mulai datang silih berganti, nunas ini dan itu. Minta petunjuk dan tuntunan dalam setiap persoalan hidup mereka," bebernya.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Lantas, ia berbagi cerita dengan Ida Nabe Giri Natha dari Griya Gede Penida Bangli. "Berkat tuntunan beliau lah saya akhirnya mantap menerima jalan ini,” ujarnya.


Dengan segala bentuk pertimbangan, keyakinan dan cobaan yang terus menerus datang, akhirnya Ida Mas Dalem Segara menerima takdirnya sebagai seorang Sulinggih. “Ada satu titik balik kenapa saya menerima ini sebagai jalan hidup saya. Ketika saya harus kehilangan segalanya, segala hal yang menurut saya sangat penting dalam hidup saya waktu itu. Kira – kira hampir setahun saya harus terpuruk, dan bertingkah seperti orang gila. Tapi perlahan saya bisa bangkit dan pasrah,” paparnya.


Titik balik yang dimaksud adalah ketika ia harus kehilangan beberapa orang yang dikasihinya.
“Saya sudah ngiring dari cenik, ketika kecil saya harus menerima kehilangan ayah sebagai tulang punggung. Setelah ayah tiada, otomatis ibu menggantikannya menjadi tulang punggung keluarga. Jadi, saya secara tidak langsung juga kehilangan kasih sayang ibu. Beranjak remaja, rasa kesepian yang dalam itu mulai terobati. Saya punya pacar ketika itu, sangat dalam rasa cinta saya. Tapi sayangnya memang tidak jodoh, nah dari situ lah saya merasa tidak punya harapan, dan merasa sangat hancur,” tuturnya.


Berbagai cara ia lakukan untuk mengobati rasa sakit dan kesepian. Pergi ke berbagai tempat untuk membersihkan diri dan berguru, namun tak juga hilang sepenuhnya berbagai masalah.

“Sampai satu titik akhirnya saya menemukan sebuah jawaban. Yah ini, memang harus begini yang saya jalani. Setelah bulat dengan keputusan saya, akhirnya saya menjalani setiap prosesnya. Saya akui sangat berat,” ungkapnya.


Menurutnya, pertimbangan terberat yang harus ia pikirkan sebelum melaksanakan proses Dwijati adalah anak dan istrinya. “Saya memiliki istri jauh sebelum proses madiksa dilakukan. Anak saya lahir pun, jauh sebelum saya melewati proses Dwijati," terangnya.


Dikatakan berat, lanjutnya, karena ia punya tanggung jawab terhadap keberlangsungan kebutuhan istri, anak, dan keluarga. "Ketika kita bersedia menjadi suci, artinya harus benar – benar melepas keduniawian. Kita harus benar – benar beryadnya kepada masyarakat," ujarnya. Dikatakannya, semua keraguan itu terjawab. "Ada saja rezeki, bahkan saya mampu ngayahin para pamedek dengan cara membuat upacara ngaben massal, mapandes massal gratis untuk masyarakat,” ungkapnya.


Dengan senyum teduh khas anak muda, Ida Mas Dalem Segara memang sudah mantap menjalankan tugasnya sebagai orang yang disucikan. “Saya memang masih muda. Namun saya percaya Tuhan tidak sembarangan memberikan jalan. Walaupun ada saja yang mencemooh, ada saja yang tidak setuju. Jika memang ini jalan saya, harus saya jalani. Saya sendiri pun tak kuasa menolaknya,” ujarnya.

Meski menuai banyak pro dan kontra, ia tetap yakin dan memegang teguh prinsip dalam menjalankan yadnya. Putra sulung dari dua bersaudara ini, sebelum memutuskan untuk madwijati ia sempat menjadi seorang pengusadha, membantu orang – orang di sekitarnya. Sulinggih murah senyum ini, dikenal sangat murah hati. Tak jarang ia tak menerima sasari dari upacara yang dipuputnya. Sebelum menjadi Sulinggih, Ida Mas Dalem Segara juga sempat didiksa menjadi Ida Bhawati.

Dengan menjalankan proses panjang, akhirnya ia melaksanakan proses madwijati yang dilaksanakan oleh Ida Nabe Giri Natha dari Griya Gede Penida Bangli, Ida Nabe dari Griya Medahan Gianyar, Ida Nabe Ratu Bagus dari Griya Muncan Karangasem, dan Ida Nabe Rsi Lokanantha dari Griya Agung Denpasar. Namun, hingga kini Ida Mas Dalem Segara belum menggunakan Bhawa, karena Ida mapulang lingga pada saat sasih kapat di bulan september 2017 di Griya Gede Penida Bangli. Jadi, saat ini statusnya masih Malingga Bhawati sampai pada saat waktu yang ditentukan karena mengikuti struktur dari trah Pasek.


Makanya, namanya masih Ida Mas Dalem Segara, di mana seharusnya ada nama Bhagawannya.
"Semua itu karena dalam struktur trah pasek, ikut trah dari nabe.Setelah jangka waktu yang ditentukan, baru bisa menggunakan Bhawa dan menyandang gelar Bhagawad," bebernya.

Mengungkap Misteri 108 Nasi Cacah Saat Tawur Kasanga






NASI CACAH: Wujud dan bentuk Nasi Cacah yang dihaturkan saat Tawur Kasanga. (istimewa)





Nyepi merupakan Hari Raya Umat Hindu yang diperingati tiap tahun. Sehari sebelum peringatan Tahun Baru Saka ini, dilaksanakan Tawur Agung Kasanga. Nah, dalam Tawur ini salah satu sarana ritual atau upakaranya adalah 108 Nasi Cacah yang dirangkai sedemikian rupa. Mengapa harus 108?


Menurut kajian Pasraman Sastra Kencana, angka tersebut bukanlah suatu kebetulan, melainkan berkaitan dengan rangkaian energi. Hal ini tak lepas dari konsep Aksara. Kelahiran angka 108 dari laba Nasi Cacah itu bersumber dari urip masing-masing aksara.




Mulai dari Ang dan Ah yang memiliki urip masing-masing 8. Kemudian aksara Sa, Ba, Ta, A, I, dengan urip 33. Lalu Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya, dengan jumlah urip 59. “Maka total menjadi 108,” ungkap Guru Nabe Budiarsa, Pinisepuh Pasraman Sastra Kencana yang beralamat di Banjar Tegak Gede, Desa Yehembang Kangin, Mendoyo, Jembrana, belum lama ini.


PINISEPUH : Pinisepuh Pasaraman Sastra Kencana, Guru Nabe Budiarsa (istimewa)



CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Dijelaskan lebih lanjut, menurut tatwa filsafat Hindu Bali yang berdasarkan pada ajaran sastra Hindu Bali, yang bertitik tolak pada Wreastra, Dasa Aksara, dan Kanda Empat, dapat dijelaskan secara rinci dan detail tentang lahirnya kekuatan yang disebut dengan 108 Butha Kala.

Dikatakannya, 108 Bhuta Kala ini harus mendapat perlakuan dan stabilisasi atau harus dinetralisasi lewat Caru Tawur Agung Kasanga, khususnya di perumahan setiap umat Hindu di Bali. Tujuannya, agar alam Bali benar-benar suci menurut dasar keyakinan umat Hindu di Bali, khususnya.

Diterangkannya, angka 108 itu dapat ditemukan lewat kajian sastra Dasa Aksara dan Kanda Empat. “Dalam Dasa Aksara mengenal sastra Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya. Sedangkan dalam ajaran Kanda Empat mengenal sastra Sa, Ba, Ta, A, dan I,” paparnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group).

Sastra Dasa Aksara, lanjutnya, adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang langit dan cakrawala, atau Bwah Loka dan Swah Loka. Bentuknya bulat kosong dan hampa, namun terdapat tebaran benda-benda langit, seperti matahari, bulan, bintang dan planet-planet yang memiliki sifat kekuatan dan pengaruh yang berbeda-beda. Ada yang memiliki energi panas, dingin, netral, dan sebagainya.

Dalam siklus perputaran Galaksi Antariksa yang dipengaruhi oleh energi benda-benda itu, langit melahirkan sifat-sifat energi yang berbeda. Di samping itu pula, dipengaruhi juga oleh energi bumi yang memiliki kekuatan lima unsur, yaitu angin, api, sinar, air, dan bumi itu sendiri.

Kelima energi ini dipengaruhi oleh energi panas bumi pada titik magma di dasar bumi. “Akibat dari adanya energi panas dasar bumi ini, maka kelima energi ini menjadi panas yang setiap waktu atau kala, akan mengalami peningkatan panas sampai titik pemanasan global, dan terbentuklah lima energi panas di bumi ini, yaitu angin panas atau Gni Petak, api panas atau Gni Bang, sinar panas atau Gni Jenar, air panas atau Gni Ireng, dan tanah panas atau Gni Mancawarna,” terang Pinisepuh Perguruan Wahyu Siwa Mukti ini.

Panas bumi ini kemudian memengaruhi energi langit yang juga memiliki sumber panas pada matahari. Nah, pertemuan panas inilah yang diberikan proses ritual agar bisa kembali netral dengan melakukan laba Tawur Kasanga, menurunkan energi langit ke muka bumi, agar bumi menjadi netral lalu disebut bersih dan suci.

“Dalam melakukan pembersihan dan penyucian di bumi ini, dilakukan dalam semua kegiatan tanpa kecuali, baik yang ada di Buana Agung maupun di Buana Alit,” katanya.

Pada Buana Agung, lanjutnya, tidak boleh melakukan kegiatan apapun terhadap alam, baik perusakan maupun menciptakan polusi terhadap alam. Lalu memberikan kesempatan pada bumi, langit dan cakrawala berevolusi melakukan proses sinergi antara energi langit dengan energi bumi.

Oleh karena itu, umat manusia, khususnya yang meyakini, terutama umat Hindu di Bali melakukan penghentian aktivitas apapun di atas bumi di bawah langit. Bahkan, gelombang energi yang menggunakan frekuensi satelit pun dibatasi dengan mengurangi penyiaran radio, televisi bahkan internet, demi tak terganggunya sinergi alam bumi dan langit.

Kemudian pada Buana Alit dilakukan pembersihan dan penyucian diri lahir-batin tanpa menikmati apapun, agar jiwa tenang dan terbebas dari nafsu. Lalu menghentikan aktivitas jasmani dengan istirahat total. Maka langkah Catur Brata Panyepian pun dilakukan.

Kembali ke sastra, energi langit dengan 10 unsur alam Akasa yang bertitik tumpu pada 7 lapisan langit atau Sapta Loka dipaparkan oleh sastra Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa Ya. Setiap sastra dinyatakan memiliki kekuatan atau kehidupan yang disebut dengan urip.

 

Sa memiliki urip 5, Ba urip 9, Ta urip 7, A urip 4, I urip 8, Na urip 8, Ma urip 3, Si urip 1, Wa urip 6, dan Ya urip 8. Sehingga total urip adalah 5 + 9 + 7 + 4 + 8 + 8 + 3 + 1 + 6 + 8 = 59. “Itulah urip dari Dasa Aksara. Karena sastra ini belum mendapatkan kekuatan sinar dari matahari, bulan, dan bintang, maka sastra ini belum memiliki sinar atau kekuatan suci.

Sinar itu sama dengan Div (diw), dan Div itu sama dengan Dewa. Karena itu disebut sastra Butha atau sastra yang belum memiliki sinar kekuatan suci,” jelasnya.

Maka, lanjut Guru Nabe, dari unsur Dasa Aksara energi langit yang terkontaminasi oleh energi bumi yang panas, menimbulkan pengaruh negatif pada alam. Lalu ke-10 energi alam langit ini yang memiliki 59 kekuatan disucikan secara ritual.

Karena 10 kekuatan langit ini yang disatupadukan di merajan, dari 10 sastra menjadi 5 sastra, dan dari 5 sastra disatupadukan menjadi 3 sastra, maka lahirlah sastra Ang, Ung, Mang dengan kekuatan Api, Air, dan Angin dengan masing-masing dewanya, yaitu Brahmana, Wisnu, dan Iswara.

Lantaran energi langit turun ke bumi, maka 10 sastra, salah satunya menyatu menjadi 9 sastra, lalu disebut Nawa Sanga. Pengaruh negatif dari Nawa Sanga ini disebut Butha Nawa Sanga dan pengaruh positifnya disebut Dewa Nawa Sanga.

“Dewa Nawa Sanga menyatu menjadi Tri Dewata, Buta Nawa Sanga menjadi Butha Angga Tiga Sakti,” ucapnya. Berkenaan dengan itu, di merajan dinetralisasi dengan laba 9 tanding yang merupakan perwujudan dari Butha Nawa Sanga dengan kekuatan atau urip 59.

"Butha Nawa Sanga ini berputar sesuai siklus alam selama 24 jam yang merupakan satu putaran alam penuh. Perputaran ini melahirkan pengaruh positif dan negatif yang merupakan Bala Bela Langit Niskala lalu disimbolkan dengan istilah Sang Kala Bela atau Sang Kala Bala,” katanya.

Jadi, pengendali dari Butha Nawa Sanga ini adalah Sang Kala Bala atau Sang Kala Bela. Dikarenakan sebagai pengendali langit yang memiliki 8 penjuru, maka urip atau kekuatan dari Sang Kala Bela itu adalah 8 dan memiliki unsur langit atau Maha I Bapa. “Maka pada unsur langit memiliki kekuatan Butha Nawa Sanga dengan urip 59 dan Sang Kala Bela dengan urip 8,” jelasnya.

Selanjutnya di bumi ada 5 unsur energi yang berpusat pada Sapta Petala dan bertitik tumpu di dasar bumi, yang memiliki kekuatan api sangat panas pada titik magma, yang bila keluar ke permukaan bumi menjadi lava pijar penghancur nomor satu di muka bumi.

Panas ini memengaruhi energi lima unsur, yakni angin, api, sinar, air, dan bumi menjadi angin panas, api panas, sinar panas, air panas, dan bumi panas, lalu disebut Panca Brahma.

“Sifat panas ini bersumber dari Sapta Petala yang divisualisasikan dan sebagai unsur Dhurga, maka terciptalah istilah Sapta Dhurga. Lima Dhurga yang memengaruhi lima unsur menjadi Panca Dhurga. Penyatuan lima unsur Dhurga menjadi Bhatari Dhurga. Sedangkan pancaran sinar panas dari Bhatari Dhurga ini disebut Dewi Dhurga,” paparnya.

Dikatakan Guru Nabe, di bumi ini ada kekuatan ratu atau rajanya panas. Dikarenakan panas itu bersumber dari lima cikal bakal energi, maka energi ini diistilahkan dengan Panca Maha Butha. Kekuatan Panca Maha Butha ini merupakan perwujudan Butha yang keluar sewaktu-waktu atau kala tertentu sesuai siklusnya, sehingga disebut dengan istilah Butha Kala.

“Kekuatan tertinggi dari Butha ini dinyatakan sebagai Raja dan Ratunya Butha, dari kata Raja dan Ratu ini muncul istilah Ratu Ayu dan Raja Butha,” terangnya.

Kemudian, Butha yang ada di bumi, akibat pengaruh energi langit menyebabkan Panca Maha Butha ini sangat kuat. Energi langit yang datang dari 8 penjuru menjadi satu kesatuan pada energi bumi 5 unsur. Oleh karena itu, Raja Butha ini memiliki kekuatan urip 8 penjuru, maka lahir istilah Sang Kala Raja dengan urip 8.

Sedangkan Sang Panca Maha Buthanya memiliki urip, yakni Sa, berupa angin, letaknya di Timur dengan urip 5. Lalu Ba, berupa api, letaknya di Selatan dengan urip 9. Ta, berupa sinar, letaknya di Barat dengan urip 7. A, berupa air, letaknya di Utara dengan urip 4. I, berupa pertiwi, letaknya di tengah dengan urip 8. Sehingga 5 + 9 + 7 + 4 + 8 = 33. Lalu urip Sang Kala Raja adalah 8, maka urip bumi menjadi 33 + 8 = 41. Akibat perpaduan urip bumi dan urip langit maka, 33 + 8 = 41. Lalu 59 + 8 = 67. Sehingga 41+ 67 = 108.


Berdasarkan perhitungan tersebut, maka di lebuh atau pintu pekarangan rumah dekat jalan dibuat nasi cacah dengan ketentuan, paling bawah unsur bumi, 8 Nasi Cacah menjadi 1 tanding. Di atasnya Panca Maha Bhuta, 33 Nasi Cacah jadi 1 tanding. “Itu semua unsur bumi, Sang Kala Raja kairing sang Panca Maha Butha dari manca desa, lalu di pempatan mendapat Caru Manca Sata,” ujarnya.

Kemudian untuk unsur langit, Butha Nawa Sanga dengan urip 59 dibuatkan nasi cacah isi 59 jadi satu atau dapat pula dipecah. Satu isi 33 satu lagi isi 26, lalu Nasi Cacah urip 8 untuk Sang Kala Bela. Maka jika disusun dalam bentuk laba Nasi Cacah, menjadi Nasi Cacah 8, Nasi Cacah 33, Nasi Cacah 59, dan kembali Nasi Cacah 8. Sehingga jumlahnya 108 Nasi Cacah.

Di atas Nasi Cacah ini, kemudian disatukan oleh Caru Ayam Brumbun sebagai unsur penyatuan bumi dan langit, penyelarasan unsur 10 menjadi 5 agar bumi dan langit bisa bersinergi.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Unsur langit dinyatakan Maha I Bapa dengan sastra Ah dan unsur bumi disebut Maha Ibu dengan sastra Ang. “Hal ini tidak boleh salah apalagi keliru. Kalau salah, maka pembentukan energi akan berubah, dari niat ingin menghilangkan energi panas malah menjadi tambah panas,” tegasnya.

Dengan menggabungkan keseluruhan urip itu akan ketemu angka 108 sebagai perwujudan Butha kala, yang mana para Butha Kala itu diilustrasikan dan divisualisasikan dalam wujud makhluk-makhluk gaib, seperti Jin, Samar, Gamang, memedi, atau Setan, Iblis, dan Berhala. Karena Bhuta Kala itu masuk dalam kelompok Gamang, maka nasi cacah itu sering disebut Nasi Gamang.

Dijelaskan Guru Nabe, sesungguhnya persembahan adalah sebuah rangkaian sastra untuk melahirkan energi. Hal ini sangat kelihatan pada proses paringkesan sastra Dasa Aksara menjadi Panca Aksara untuk menciptakan dua sifat kelompok energi. Yakni kelompok energi panas disebut Panca Brahma, dan kelompok dingin disebut Panca Amerta atau Panca Tirta atau Panca Suda.

“Jika ini tak dipahami, maka kita akan mengatakan Butha Kala itu makan enak dan lahap tak boleh kurang. Kalau kurang bisa ngamuk kesurupan. Padahal sesungguhnya kita salah merangkai upacara ataupun merangkai doa, akibat kurang pahamnya sifat-sifat energi secara sastra," ujarnya.

Ketika unsur api kurang, lanjutnya, maka bisa saja minta api perapak atau api dupa. "Ketika butuh unsur air bisa saja minta babi butuhan atau ayam hitam, begitu seterusnya,” pungkasnya.



(bx/adi/rin/JPR)

Selasa, 09 Maret 2021

Tri Sadhaka (3 jenis sulinggih) beserta gelarnya"

 


"AGAR TIDAK SESAT, apa itu ida pedanda, IDA SRI BHAGAWAN, empu,rsi,mangku,dll.. Ini dia Tri Sadhaka (3 jenis sulinggih) beserta gelarnya"

Sebelumnya sy ingin menerangkan dl bahwa IDA PEDANDA & IDA SRI BHAGAWAN itu sulinggih NAMUN "berasal" dr GOLONGAN (trah/kasta/gelar) yg BERBEDA.Ida Pedanda brasal dr golongan Brahmana,& Sri Empu,Bhagawan dll itu "berasal" dr golongan yg BUKAN BRAHMANA.Langsung saja Tri Sadhaka yaitu:
1.Sulinggih Siwa > beliau memiliki kewenangan untuk menghaturkan yadnya dengan pesaksi sanggah surya, menyucikan ALAM ATAS dengan menurunkan kekuatan Sanghyang Widhi.
2. Sulinggih Buddha > beliau memiliki kewenangan menghaturkan yadnya untuk menyucikan alam tengah atau awang-awang dengan mempertemukan kekuatan suci dari Sanghyang Widhi dengan kekuatan Bhuta Kala yang telah di Somya.
3.Sulinggih Bujangga > beliau memiliki kewenangan untuk mengaturkan yadnya untuk membersihkan alam bawah ( bumi dan jagat ), nyupat Butha Kala sehingga beliau menjadi Somya.


Adapun gelarnya diantaranya:
a.Pedanda/Ratu Peranda, adalah gelar kesulinggihan dari Brahmana wangsa yg telah melalui upacara diksa.Dan leluhur para Brahmana Wangsa sekaligus jadi guru besar dalam keagamaan krn telah berjasa terhadap keselamatan umat dlm menumbuh kembangkan & menjaga keagamaan diberi gelar DANG HYANG,seperti Danghyang Dwijendra/Nirartha yg sering disebut PEDANDA SAKTI WAWU RAWUH.

b. Rsi atau Bhagawan, adalah gelar kesulinggihan dari Wangsa Kesatria, beliau telah dipandang suci dan terhormat dalam masyarakat. { kata bhagawan berasal dari kata bhaga yang berarti bagian, kata wan berarti yang mempunyai. Bhagawan berarti yang mempunyai bagian}

c. Empu, adalah sebutan kesulinggihan dari wangsa Pasek, Pande. Beliau dipandang dan dihormati karena beliau berhak melakukan Loka Phala Sraya di masyarakat. { Kata empu berasal dari bahasa jawa kuno yang berarti tuan, empunya, mempunyai, yang memiliki. Kata empu dipakai sebagai sebutan kehormatan kepada pandhita, pujangga, sang sujjana.}


d. Sengguhu adalah gelar kesulinggihan dimana beliau ahli dalam tugas untuk muput upacara seperti Bhuta Yadnya.

e. Dukuh, sebagai gelar kesulinggihan yang kedudukan beliau dipandang dan dihormati dalam masyarakat. Beliau juga berhak muput upacara agama.

f. Pemangku sebagai gelar kesulinggihan hanya saja ruang lingkup tugas beliau berkait pada suatu pura tertentu. Seperti : mangku pura puseh, mangku pura desa, mangku pura dalem, dsb.

g. Wasi pemangku untuk umat Hindu di Jawa.

Dan disini jg ditarik kesimpulan perbedaan antara Pandita dg Pinandita,perbedaan antara Dwijati dg Eka jati.Yg tergolong Pandita adlh yg di Dwijati sperti Pedanda, Sri Bhagawan, Empu dll
Dan yg tergolong Pinandita adlh yg di Eka Jati seperti Pemangku, Balian, Mangku Dalang dll.

Karena bnyk yg bertanya tentang Brahmana, maka tiang tambahkan lg sedikit, mari belajar bersama.Sepengetahuan tiang pada jaman dahulu sebutan Brahmana memang benar untk orang2 suci contohnya sperti empu markandya,baradah,dll. Dan datanglah Danghyang Nirartha k Bali pd masa Raja Dalem Waturengong,kemudian beliau menyempurnakan dan menata sistem kasta,upakara,dll,yg dilaksanakan sampai detik ini.Dan saat itulah yg disebut dg Trah Brahmana hanyalah orng2 yg bergelar ida ayu dan ida bagus atau Trah(keturunan langsung) dr Danghyang Nirartha,sperti Brahmana Manuaba,Keniten, Kemenuh,dll yaitu anak2 dari Dang Hyang Nirartha atau sering disebut Pedanda Sakti Wawu Rawuh.

https://web.facebook.com/photo?fbid=4411051422243589&set=a.104035579611883

Minggu, 07 Maret 2021

Pura Luhur Pucak Rsi Bukit Sangkur

Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur terletak Desa Pakraman Kembang Merta, Kecamatan Baturiti, Tabanan di salah satu bukitnya terdapat pura yang disebut Pura Luhur Puncak Sangkur yang juga disebut Pura Puncak Resi. Mengapa disebut Pura Pucak Sangkur karena pura itu berdiri di Bukit Sangkur. Yang dipuja di Pura Pucak Sangkur ini adalah Ida Batara Hyang Pasupati atau Batara Siwa. Dengan tanpa banyak mengubah kondisi alas (hutan) disana, menambah keheningan dan keangkeran Pura Puncak Sangkur.
Sejarah Pura Luhur Puncak Bukit Sangkur
Pura ini sendiri di Bukit Sangkur yang merupakan kawasan hutan yang kental dengan aura magis, yang digunakan oleh Rsi Segening, melakukan yoga, tapa dan samadhi sehingga dikenal dengan hutan Tapa Wana. Konon di sinilah beliau mencapai kesempurnaan dan moksa ke jalan Tuhan.
Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur merupakan kawasan tapa wana, dilestarikan sehingga tidak ada bangunan lain di lokasi ini kecuali terkait dengan pemujaan. Lokasi pura ini dulunya dikenal dengan tempat pertapaan Resi Segening. Seringkali orang datang memohon jabatan ataupun taksu sebagai pemimpin. Seorang spiritual yang betul-betul mendambakan suasana sunyi dan damai, Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur bisa menjadi salah satu tempat pilihan untuk melaksanakan tapa yoga semedhi. Keunikan dari pura ini adalah keberadaan Juuk Linglang (sejenis jeruk). Jeruk ini konon sudah tumbuh ratusan tahun dan diyakini memiliki khasiat tertentu yang ajaib, jarang sekali orang yang bisa mendapatkan buahnya.
Pura Pucak Bukit Sangkur ini ada kaitannya dengan berbagai Pura Kahyangan Jagat di Bali. Dalam Lontar Tantu Pagelaran diceritakan secara mitologis Gunung Maha Meru di India, puncaknya menjulang sangat tinggi hampir menyentuh langit. Kalau langit sampai tersentuh oleh puncak Gunung Maha Meru itu maka alam ini pun akan hancur lebur. Saat itu Jawa dan Bali dalam keadaan guncang atau disebut enggang enggung.
Hyang Pasupati memotong puncak Maha Meru tersebut terus dibawa ke Jawa. Pecahan puncak tersebut ditaburkan dari Jawa Barat sampai Jawa Timur. Pecahan Maha Meru itulah yang menjadi gunung-gunung yang berderet dari Jawa Barat sampai Jawa Timur. Di Jawa Timur puncak Maha Meru itulah menjadi Gunung Semeru. Setelah itu Pulau Jawa menjadi tenang. Tetapi Bali masih enggang-enggung atau guncang. Karena itu, Hyang Pasupati terbang ke Bali membawa puncak Gunung Maha Meru tersebut.


Puncaknya sekali menjadi Gunung Agung, bagian tengahnya menjadi Gunung Batur dan dasarnya menjadi Gunung Rinjani di Lombok. Serpihan-serpihannya menjadi gunung-gunung kecil dan bukit-bukit yang mengelilingi Pulau Bali. Setelah itu Bali menjadi tenang. Gunung-gunung kecil itu antara lain menjadi puncak Mangu, Teratai Bang, Gunung Tampud, Lempuhyang, termasuk Bukit Pucak Sangkur tempat didirikannya Pura Pucak Resi itu.
Dalam Lontar Purana Pura Pucak Resi diceritakan di zaman dahulu ada seorang suci bernama Ida Sang Resi Madura berasal dari Gunung Raung, Jawa Timur. Beliau Sang Resi juga disebut sebagai Acarya Kering. Ida Sang Resi Madura ini sering mengadakan perjalanan bolak-balik Jawa-Bali. Suatu hari dalam Yoga Semadinya Sang Resi mendapatkan suara niskala yang menugaskan Sang Resi agar menuju Danau Beratan. Sang Resi pun mengikuti suara gaib tersebut. Sang Resi diiringi oleh pembantunya bernama I Patiga. Sampai di Bali, Sang Resi menuju puncak bukit.
Di puncak bukit itulah Ida Sang Resi Madura membangun pura dengan nama Parhyangan Pucak Resi sebagai pemujaan Batara Hyang Siwa Pasupati. Setelah itu Sang Resi Madura ini mengadakan perjalanan menuju ke puncak Teratai Bang, Bukit Watusesa sampai ke Bukit Asah.


Diceritakan I Ratu Ayu Mas Maketel di Nusa Penida saat mengadakan upacara Ngeraja Sewala mendatangkan seorang pandita dari Maja Langu untuk memimpin upacara tersebut. Pandita ini bernama Ida Resi Sagening ke daratan Bali dan bermukim di Munduk Guling Klungkung. Di tempat ini beliau banyak punya pengikut. Sang Resi kena fitnah dan dikatakan akan merebut kekuasaan raja di Linggarsapura. Sang Resi pun mau dihukum mati.
Untuk menghindari hukuman itu, Ida Resi Sagening pindah ke Bukit Asah diiringi oleh sisya-sisya (murid-murid-red)-nya. Di Bukit Asah inilah beliau membangun pasraman. Atas petunjuk niskala yang diterima oleh Ida Ratu Ngurah Wayan Sakti agar Pura Puncak Asah di-pralina. Karena demikian halnya Ida Resi Sagening mohon dibuatkan Siwapakarana dan disimpan di Pasraman Taman Sari. Di pura inilah juga Ida Resi Sagening mencapai moksha.


Di sini ada bentang persekutuan gugusan kelompok Gunung Sanghyang-Gunung Lesong-Gunung Pucuk serta gugusan kelompok Gunung Adeng-Gunung Pohen – Gunung Tapak yang berada di sisi selatan Danau Tamblingan dan Danau Buyan. Lalu ada lagi persekutuan gugusan kelompok Gunung (Pucak) Bon-Gunung (Pucak) Mangu/Pangelengan – Gunung (Pucak) Sangkur berada di sebelah barat Danau Buyan.
Pucak Mangu sendiri memiliki pasanakan (berkerabat) dengan Pucak Sangkur dan Terate Bang. Uniknya, masing-masing gugusan kelompok gunung itu memiliki satu palinggih pangayatan (semacam perwakilan) di Pura Pucak Mangu di ujung ketinggian puncak Gunung Mangu.
Hal yang unik dan menarik dari kawasan ini adalah keberadaan juuk linglang (sejenis jeruk) yang terletak di utama mandala. Jeruk yang konon keberadaannya telah ratusan tahun ini memiliki cerita tersendiri. Untuk saat ini juuk linglang hanya menjadi legenda yang sering diceritakan dalam drama gong. Namun, legenda itu dianggap nyata oleh masyarakat setempat.
Sebelum dilakukan rehab pura sekitar tahun 2004-2005 lalu, jeruk dengan ukuran batang besar ini berada peResis di tebing pada bagian samping lokasi pura yang saat itu masih sempit. Namun, ketika dilakukan penimbunan timbul pawisik agar jeruk ini tidak dimatikan. Akhirnya dibuatkan lubang yang bertrali agar jeruk ini dapat terus tumbuh. Uniknya batang kecil yang muncul sering hilang dan timbul kembali pada waktu tertentu.
Masyarakat sangat meyakini juuk linglang memiliki khasiat tertentu yang sifatnya ajaib. Dari buah, daun hingga kulit batang diyakini ampuh menyembuhkan berbagai penyakit, baik medis maupun nonmedis. Penanganan penyakit nonmedis paling banyak. Namun buah dari jeruk ini sukar untuk didapatkan dan konon tidak semua orang bisa mendapatkan sebagaimana halnya memetik buah jeruk biasa. Diyakini orang yang bisa memiliki buah jeruk ini merupakan orang pilihan.
Para pemedek biasanya merasa sangat beruntung ketika melihat batang kecil dengan beberapa helai daun menyembul ke permukaan. Sebab, tidak semua pemedek beruntung melihat keberadaannya yang sering hilang tersebut. Masyarakat setempat yang sering mengamati keberadaannya pada mulanya merasa heran ketika jeruk itu hilang. Saat tertentu jeruk ini menghilang dan dalam waktu yang sulit diketahui muncul kembali dengan posisi dan kondisi yang sama ketika menghilang.
Pangider Penataran Beratan Penataan bangunan pura sudah terlihat bagus. Dari wantilan, berjalan menaiki tangga yang cukup panjang barulah memasuki jaba tengah pura. Dari sini terlihat pohon besar dalam (di jeroan) pura, tak lain adalah pohon bunut dengan bentuk unik, seolah-olah menyerupai goa pada bagian batangnya.
Sesekali terlihat sekelompok kecil kera bergelantungan di diantara ranting pohon yang kokoh. Di bawah pohon ini terdapat pelinggih merupakan pelinggih pertama yang ditemukan di pura ini. Sementara pada palinggih utama di areal pura ini terdapat patung Siwa Pasupati dengan menggunakan busana kuning.
Semoga berkenan, kurang lebihnya mohon dimaklumi…Ampura Suksma Rahayu… 
Reference
1. Image : https://www.google.com/maps/
2. Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur @ https://yanartha.wordpress.com/

Sabtu, 06 Maret 2021

Ini Acuan Baik dan Buruk Hari Bila Mau Menikah






PAWIWAHAN: Upacara Pawiwahan yang dilangsungkan umat Hindu Bali beberapa waktu lalu. (dok Bali Express)





Pandemi Covid-19 yang masih merebak di tahun 2021 ini tidak menyurutkan niat umat Hindu, khususnya di Bali untuk menggelar upacara (yadnya), termasuk Pawiwahan atau pernikahan. Selain mesti ketat melaksanakan protokol kesehatan, juga harus memperhatikan hari baik (Dewasa Ayu), agar biduk rumah tangga berjalan dengan baik. Apa saja acuan menentukan baik buruknya hari pernikahan?


Ada sejumlah padewasaan yang bisa menjadi rujukan dalam upacara Pawiwahan. Pertimbangannya memperhatikan ala ayuning dewasa, lantaran pawiwahan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis. Tetapi juga bertujuan mendapatakan keturunan yang suputra.





Penyusun Kalender, Bali Gede Marayana mengatakan, penentuan dewasa Pawiwahan didasari oleh perhitungan berbagai unsur. Diantaranya wewaran, pawukon, tanggal, sasih, dan dauh. Atau biasa diistilahkan dengan Wapatangsada.


“Artinya wewaran harus baik, pawukon harus baik, tanggalnya juga baik, sasih harus baik, dan dauhnya juga baik,” ujar Gede Marayana kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Kamis (3/4) siang.

Wewaran yang baik dikatakan Gede Marayana, adalah menitikberatkan pada Saptawara atau hari-hari dalam seminggu. Diantara Saptawara yang dipilih adalah Senin, Rabu, Kamis, dan Jumat. “Hari-hari itu diyakini mengandung unsur kebaikan,” ungkapnya.

Sedangkan perhitungan Pawukon yang wajib dihindari, jika ingin menggelar upacara Pawiwahan adalah Ingkel Wong, Was Panganten, Rangda Tiga, Nguncal Balung, dan paling dihindari adalah Wuku Wayang.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI 

“Itu wajib dihindari. Apalagi Wuku Wayang dianggap cemer (kotor) untuk Pawiwahan,” imbuhnya.

Sedangkan Rangda Tiga merupakan wuku tertentu yang dianggap buruk untuk melangsungkan pernikahan. Wuku-wuku itu yakni Wariga, Warigadean, Pujut, Pahang, Menail, dan Prangbakat. Ada keyakinan, jika menikah pada saat Rangda Tiga, perkawinan bisa berakhir dengan perceraian.

“Rangda itu artinya janda atau duda. Rangda Tiga artinya tiga kali menjadi janda atau duda. Artinya pernikahan akan selalu gagal,” beber Marayana.

Kemudian Was Panganten merupakan hari-hari tertentu, seperti Minggu Kliwon dan Jumat Pon wuku Tolu, Minggu Wage dan Sabtu Kliwon wuku Dungulan, Minggu Umanis dan Sabtu Pahing wuku Menail, serta Minggu Pon dan Sabtu Wage wuku Dukut. Hari-hari ini juga dianggap kurang baik untuk melangsungkan pernikahan.

Sedangkan Nguncal Balung, yakni hari sepanjang 35 hari, sejak Buda Pon Sungsang atau sehari sebelum Sugihan Jawa atau seminggu sebelum Galungan, hingga Buda Kliwon Wuku Pahang yang juga kerap disebut sebagai Buda Kliwon Pegat Wakan.

Marayana menegaskan, pada hari itu, umat Hindu biasanya dipantangkan untuk melaksanakan upacara-upacara besar, utamanya yang bersifat ngawangun, seperti Ngaben dan pernikahan.

Begitupun dengan Ingkel Wong, artinya hari-hari naas bagi manusia. “Karenanya, saat itu tidak baik melaksanakan kegiatan atau upacara yang berkaitan dengan manusia termasuk pernikahan,” imbuhnya.

Selain itu, perhitungan sasih tidak boleh diabaikan dalam menentukan hari baik melaksanakan upacara perkawinan. Disebutkan Marayana, dari 12 sasih dalam setahun, umat Hindu di Bali meyakini pelaksanaan upacara Panca Yadnya hanya boleh dilaksanakan dari Sasih Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kaulu, Kasanga, dan Kadasa.

Sedangkan Sasih Jyestha dan Sadha dikatakan sasih sebel, sehingga dihindari untuk menggelar upacara Panca Yadnya, termasuk Pawiwahan.

Tetapi untuk melaksanakan Pawiwahan, sasih yang direkomendasikan adalah Sasih Katiga, Kapat, Kalima, Kapitu, dan Kadasa.

“Sasih Katiga itu bulan Agustus-September, Kapat itu bulan September-Oktober, Sasih Kalima adalah Oktober-November. Lalu untuk Sasih Kapitu adalah Desember-Januari, dan Sasih Kadasa antara bulan Maret-April,” beber Marayana.

Kemudian terkait perhitungan dauh untuk menentukan padewasaan. “Dauh itu hanya satu hari saja. Jadi sering diabaikan,” pungkasnya.

Hari Baik Menikah 2021






Penyusun Kalender Bali, Gede Marayana. (Putu Mardika/Bali Express)

Bila ingin melaksanakan Pawiwahan (menikah) di tahun 2021, ada sejumlah hari baik (Dewasa Ayu) yang bisa jadi pertimbangan.


Penyusun Kalender, Bali Gede Marayana merekomendasikan ada beberapa tanggal yang baik bagi umat Hindu untuk melaksanakan upacara Pawiwahan di tahun 2021 ini.





Ia menyebut, khusus di Bulan Januari dan Februari memang tidak ada padewasan yang sesuai dengan wewaran, pawukon, tanggal sasih, dauh. Sedangkan di bulan Maret, yang merupakan Sasih Kedasa, ia menyebut hanya ada pada tanggal 31 Maret. “Sasih baik, hari baik, wuku baik. Hanya saja pangelong,” jelasnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Kamis (3/4) siang.


Sedangkan di bulan April, dewasa Nganten ada pada tanggal 2 April. Dimana kasusnya sama seperti Maret. Wuku, hari, dan sasihnya baik. “Nanti bisa disempurnakan padewasaannya dengan banten Pamarisudha atau Carun Dewasa,” jelasnya.

Sedangkan untuk Mei, Juni dan Juli tahun 2021 disebutnya tidak ada satupun padewasaan yang disarankan. “Sasih Karo yang biasanya bulan Juli juga belum tepat untuk upacara Pawiwahan,” imbuhnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Lanjut di Bulan Agustus, dikatakan Marayana ada sejumlah padewasaan yang direkomendasikan. Diantaranya tanggal 9, 12, dan 20 Agustus 2021. Di tanggal tersebut dikatakan Marayana, memiliki unsur yang baik. “Hanya saja tanggal 20 Agustus itu ada Was Penganten,” bebernya.

Selanjutnya di bulan September atau sasih Kapat. Ia menyebut ada dua tanggal yang dianjurkan, yakni tanggal 9 dan 16 September. Kemudian di bulan Oktober ada tanggal 8 Oktober. “Sedangkan di bulan November itu sudah tidak ada. Memang sasihnya bagus. Hanya saja Nguncal Balung. Begitu juga Desember tidak ada dewasa Nganten,” katanya.

Namun, Marayana kembali menegaskan, tradisi padewasan di Bali tidaklah kaku. Tradisi padewasan bisa diberlakukan secara luwes, sesuai dengan kepentingan yang lebih besar. “Nanti akan menyesuaikan jika ada hal-hal yang sifatnya sangat mendesak. Kembali ke iksa (tujuan), sakti (kemampuan), desa (aturan setempat), dan kala (waktu),” tutupnya.