Selasa, 12 Juli 2022

SANGHYANG GAMA TIRTHA

 


Metu dari pertarungan Ibunta lan Bapanta, Bersenjatakan Kama Bang Lan Petak
Bergulatkan Nafsu , Cinta, dan Birahi…….Hinnga semua terkulai lemas
Semuanya Berakhir……. Hanya tersisa sarin rasa berupa penyatuan KAMA
Tirta Kapisan…… Cikal bakal Hidup Merangsuk……… KAMANDALU.
Tiada Kurang Sangga sasih berlangsung,
Menyerap sumber kehidupan…. ing Bhuana Agung
Ngemit sari makanan, Sang kama pun mereka awak
Air Ketuban….. Tiada lelah untuk mengemit JIWA
Tirta Kakalih ……Benih kehidupan Metu……SANJIWANI.
Benih kehidupan meronta, Tak mampu di kukung lagi
Janji Duniawi segera ingin di rasa, garba harus di buka
Air ketuban mesti memangil Saudara Empat
Menghempas Jiwa anyar…… keluar menjadi NGEWIT
Tirta Katiga……. Membuka jalan asa kehidupan …..PAWITRA.
Seluruh bersorak sorai bahagia …..Sumber jiwa baru hadir
Mantra, Yadnya, Prakerti sibuk menyambut kelahiran
Buwu, Pakambuhan, Tigang sasih, Otonan semua menedunkan Tirta
Pembersihan harus dilaksanakan, Simpul bawah hingga Siwadwara bangkit
Tirta Catur…Tujuh Cakra Naga Betina tersucikan ...KUNDALINI.
Lingga , Yadnya dan Mantra suci tergelar…… Piranti mohon Tirta Kehidupan
Kesucian di pertahankan, Sadar bahwa semua akan berpulang menjadi Tirta
Karena sesunguhnya…..Keabadian sejati adalah Merta Mahasempurna.
Tirta Kapanca …..Kewinduan lahir dari sari kesucian….MAHAMERTHA.
Denga kerendahan Hatiku…..Marilah selalu jaga sembah baktimu
Wangsuh Tirta akan selalu menjaga Kesucian Bathinmu.
Darma yang engkau tegakkan , Adalah Jubbah
terbaik
hidupmu.

Makna Pakaian Adat Bali

 


Filosofi pakaian adat Bali pada dasarnya bersumber pada ajaran Sang Hyang Widhi, yakni Tuhan yang dipercayaii memberikan keteduhan, kedamaian dan kegembiraan bagi umat Hindu yang mempercayainya.
Pakaian adat Bali pada dasarnya adalah sama, yakni kepatuhan terhadap Sang Hyang Widhi. Dasar konsep dari busana adat bali adalah konsep Tapak Dara (swastika) yang disebut Tri angga yang terdiri dari:
• Dewa Angga: Dari leher ke kepala.
• Manusa Angga: Dari atas pusar sampai leher.
• Butha Angga: Dari pusar sampai bawah.
Jenis Pakaian Adat Bali
Jenis pakaian adat Bali adalah sebagai berikut.
1. Payas Agung
Payas Agung adalah pakaian adat Bali yang hanya digunakan oleh dalam berbagai acara adat seperti pernikahan, munggah deha (upacara kedewasaan), pitra yadnya (ngaben), mesagih (upacara potong gigi), dan upacara adat lainnya.
Dari laman resmi Dinas Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Buleleng, pada zaman dulu, hanya darah bangsawan saja yang bisa mengenakan Payas Agung. Namun, kini semua kalangan bisa menggunakannya.
Payas Agung dominan dengan warna emas dan mahkota tinggi yang menjulang. Untuk wanita, mengenakan pakaian ini terlihat anggun, cantik dan elegan. Untuk pria, Payas Agung mengkombinasikan lilitan kain songket mewah dengan jas beludru bermotif prada Bali.
Penggunaan Payas Agung disertai riasan yang mewah. Pada bagian dahi wanita dirias dengan lengkungan atau srinata agar wanita terlihat lebih bersahaja. Di antara kedua alis terdapat bindi yang dalam agama Hindu diyakini sebagai simbol penanda cinta, kecantikan, kemakmuran, kehormatan, hingga penangkal nasib buruk. Dahi menjadi lokasi penggunaan bindi karena merupakan tempat cakra keenam.
Busana wanita akan memakai tapih (kain) panjang yang melilit tubuh dari dada hingga ke jari kaki. Tapih ini akan dilapisi kemben sebagai penutup dada dan kamen untuk menutup hingga ke mata kaki.
Perhiasan yang digunakan adalah cerik (seperti gelang) di bahu sebelah kiri serta pending emas (seperti ikat pinggang) di pinggang, gelang kana di lengan, dan gelang satru di pergelangan tangan.
2. Payas Jangkep
Payas Jangkep adalah pakaian adat Bali yang artinya busana dan riasan lengkap (jangkep). Tampilan pakaian ini sekilas hampir mirip dengan Payas Agung. Tetapi, aksesoris payas jangkep lebih lengkap dan tidak semewah Payas Agung.
Payas Jangkep dikenakan pada saat sesi lamaran pernikahan, upacara kemanusiaan yang saling menghormati satu sama lain, acara wisuda, atau acara lain yang bersifat formal.Pada Payas Jangkep, wanita biasanya menggunakan sanggul tanpa srinata.
Biasanya sanggul diberi hiasan emas dan bunga segar, tapi tak setinggi dan seberat Payas Agung. Untuk atasan, wanita biasanya menggunakan kebaya khas Bali berbahan brokat dengan desain yang mewah. Korset atau bulang pasang dikenakan sebelum kebaya. Maknanya sebagai simbol pengontrol emosi wanita.
Pria mengenakan baju safari yang memiliki bentuk serupa dengan kemeja pada umumnya. Bedanya, baju safari memiliki kerah dan dua saku di bagian kiri serta kanan bawah.
3. Payas Madya
Payas Madya berarti pakaian adat Bali yang sedang atau menengah. Tampilannya tidak terlalu mewah tapi juga tidak terlalu sederhana. Payas Madya dikenakan oleh orang Bali untuk kepentingan upacara keagamaan seperti sembahyang ke Pura, hari raya umat Hindu, upacara kremasi, dan lain sebagainya.
4. Payas Alit
Payas Alit adalah pakaian adat Bali yang paling sederhana. Kata ‘alit’ berarti kecil atau sederhana. Payas Alit dikenakan oleh warga Bali pada saat yang tidak terlalu istimewa, seperti saat membersihkan tempat suci, kegiatan gotong royong, atau membantu tetangga di sekitar.

MAKNA PELINGGIH TAKSU

 


Mengenai kata Taksu, masyarakat Hindu sebagian besar masih belum memahami akan pengertian dan persepsinya.
.
Tidak sedikit yang berpendapat kalau di anggota keluarga tidak ada yang menjadi penari, pedalangan, dukun dan sebagainya, dianggap tidak perlu memiliki pelinggih Taksu.
.
Menurut sumber ajaran Agama Hindu sesungguhnya tidak demikian, melainkan taksu tersebut bersifat Universal dan merupakan kekuatan profesi masing-masing umat.
.
Setiap manusia memiliki profesionality (wiguna). Menurut ajaran Hindu guna (profesi) tersebut ada sepuluh yaitu:
• Guna Rsi Profesi profesi sebagai pendeta
• Guna Wibawa profesi sebagai pegawai, pejabat.
• Guna Tukang profesi sebagai pertukangan
• Guna Sangging profesi sebagai sangging (tukang Patung)
• Guna Pragina profesi sebagai penari, penyanyi, pemusik.
• Guna Balian profesi sebagai pengarang (pujangga), penulis, wartawan.
• Guna Sastra profesi sebagai pedagang, pengusaha.
• Guna Sonteng profesi sebagai pemangku, pemuka agama.
• Guna Dagang profesi sebagai pedagang, pengusaha.
• Guna Tani profesi sebagai petani.
Dalam ajaran Tantrayana, taksu itu bisa diartikan sama dengan “sakti” atau “Wisesa”. Dan yang dimaksud dengan sakti itu adalah simbul dari pada “bala” atau kekuatan. Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energi atau “kala”.
Dalam Tatwa, daya atau sakti itu tergolong Maya Tatwa. Energi dalam bahasa sanskrit disebut prana, yang adalah bentuk ciptaan pertama dari Brahman. Dengan mempergunakan prana barulah muncul ciptaan berikutnya yaitu panca mahabhuta.
.
Dengan digerakkan oleh prana kemudian terciptalah alam semesta beserta isinya. Tuhan dalam Nirguna Brahma / Paramasiva dalam Siva Tatwa, memanfaatkan energi atau sakti itu, sehingga ia menjadi Maha Kuasa, memiliki Cadu Sakti dengan Asta Aiswarya-Nya.
.
Dalam keadaan seperti itu Ia adalah Maha Pencipta, Pemelihara dan Pelebur. Dalam Wraspati Tatwa disebut Sadasiva dan dalam pustaka Weda disebut Saguna Brahma.
.
Sakti atau energi maya dari Tuhan itu dipuja dalam bentuk pelinggih yang disebut Taksu. Sedangkan Tuhan dalam wujudnya sebagai Sang Hyang Tri Purusa dan Sang Hyang Tri Atma dipuja dalam pelinggih kamulan.
.
Dalam upacara nyekah, selain sekah sebagai perwujudan atma yang telah disucikan , kita juga mengenal adanya sangge. Sangge adalah perwujudan atau simbul dari Dewi Mayasih. Beliau mewakili unsur Maya Tatwa (pradana / sakti). Yang juga dalam upacara nyekah bersama-sama Atma ikut disucikan.
.
Dalam ajaran Kanda Pat, dikenal adanya nyama papat / saudara empat yang ikut lahir saat manusia dilahirkan. Setelah melalui proses penyucian, saudara empat itu menjadi Ratu Wayan Tangkeb Langit, Ratu Ngurah Teba, Ratu Gede Jelawung dan Ratu Nyoman Sakti Pengadangan.
.
Kempatnya itulah disebut sebagai dewanya taksu. Tidak lain adalah saudara kita lahir yang nantinya menemani manusia dalam kehidupannya.

Dalam Hindu tidak dikenal istilah Kasta

 


PADA AWALNYA SEMUA AKAN LAHIR SEBAGAI SUDRA (LAHIR DARI RAHIM IBU). BRAHMANA, KSATRIA, WAISYA DAN SUDRA ADALAH BAGIAN DARI CATUR WARNA, BUKAN KASTA
Dalam Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadarma (profesi) masing-masing orang.
Ajaran Catur Warna dalam Hindu adalah menempatkan fungsi sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Orang boleh memilih fungsi apa saja sesuai dengan kemampuannya. Fungsi sosial ini bisa berubah-ubah. Pada awalnya semua akan lahir sebagai Sudra (lahir dari rahim ibu). Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan, atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya melekat pada diri orang itu saja. Kalau orang tuanya Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Ksatria atau Waisya. Begitu pula kalau orang tuanya Sudra, anaknya bisa saja Brahmana atau Ksatria atau Waisya. Begitu pula dengan Ksatria dan Waisya. Itulah ajaran Catur Warna dalam Hindu.
Kiranya perlu ditegaskan disini bahwa kata "KASTA" tidaklah berasal dari bahasa Sanskerta (India) tetapi dari bahasa orang-orang Portugis "Casta" yang diambil dari bahasa latin "Castus". Yang ada sebenarnya dalam bahasa masyarakat Hindu menentukan golongan dalam masyarakat ialah kata "WARNA" yang berarti memilih dimana setiap orang berhak memilih lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat. Dan lapangan pekerjaan inilah oleh masyarakat ditentukan apakah ia termasuk golongan Brahmana atau Ksatria atau Waisya ataukah Sudra.
Kasta itu pembelokan dari Warna yang menempatkan atau penggolongan manusia berdasarkan pekerjaan bukan keturunan. Tapi sistem Kasta dipertahankan yang merasa dapat keistimewaan dengan berbagai alasan. Padahal dalam Hindu tidak dikenal istilah Kasta.
Kini saatnya umat Hindu harus sadar bahwa sebenarnya dalam Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Yang ada sebenarnya adalah Catur Warna. Jangan mau lagi dibodohi oleh sebagian oknum manusia yang mabuk akan Kasta, mengagungkan diri sendiri (menganggap diri sendiri berderajad tinggi dan menganggap yang lainnya berderajad rendah). Kasta itu berstruktur tinggi rendah (meninggikan dan merendahkan).
Menurut pandangan Hindu sesungguhnya semua umat manusia sama dihadapan Tuhan. Semua umat manusia bersaudara dalam kesetaraan (Vasudaiva Kutumbakam). Keturunan juga bisa menjadi kebanggaan seseorang. Namun kebanggaan yang berlebihan akan menimbulkan keangkuhan. Kesombongan akan keturunan sehingga akan merasa lebih tinggi dari orang lain. Orang yang mengagung-agungkan keturunan atau kebangsawanan sangatlah tidak baik, apalagi menganggap orang lain lebih rendah. Agama Hindu mengajarkan agar setiap orang saling menghormati dan saling menghargai sesama makhluk ciptaan Tuhan sesuai dengan konsep Tat Twam Asi dan Vasudaiva Kutumbakam. Tuhan menilai seseorang bukan karena keturunan yang dinilai adalah Dharma bhakti dan yajñanya. Demikian pula yang terpenting adalah memiliki etika moral yang tinggi.
Satyam Eva Jayate.
Dharma Raksati Raksitah.

10 hal yang akan terjadi dijaman kaliyuga

 


Diperkirakan ada 10 hal yang akan terjadi dijaman kaliyuga
Kebenaran dijalan kaliyuga.
1.orang menikah hanya karena harta/tidak ada rasa cinta
2.orang yg tidak mengerti agama akan duduk diatas kursi dan mengajarkan tentang prinsip2 agama
3.orang yg pandai bersilat lidah akan disebut sebagai seorang guru besar
4.seorang yg tamak dan rakus akan dipuja sebagai seorang dermawan
5.seorang brahmana atau spritual hanya diukur oleh pernak pernik pakaian saja
6.penipu atau pembohong akan disebut sebagai pemimpin sejati
7.keluarga atau saudara akan dianggap musuh besarnya
8.orang yg kaya akan disebut sebagai raja,atau pelindung.
9.manusia akan lebih takut dgn manusia dibandingkan tuhannya
10.yadnya dan kitab suci hanya dianggap sebagai formalitas saja.

DEWA YAMA/Bhatara Dharma

 


Menurut kitab Purana, Yama adalah putra Surya (dewa matahari) dan Saranya (putri Wiswakarma). Dia memiliki kakak bernama Waiwaswata Manu, dan saudara kembar perempuan bernama Yamuna. Selain itu, ia memiliki ibu tiri bernama Radnyi, Praba, dan Caya. Karena Caya lebih memperhatikan anak kandungnya sendiri daripada anak tirinya, Yama menendang kakinya. Hal itu membuatnya dikutuk bahwa kakinya akan digerogoti oleh cacing. Cacing-cacing tersebut juga akan menyebabkan kakinya bernanah dan berdarah.
Untuk mengurangi kutukan tersebut, Surya memberikan seekor burung kepada Yama untuk memakan cacing-cacing tersebut. Kemudian Yama memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat suci yang bernama Gokarna. Disana ia memuja Siwa dengan cara bertapa selama ribuan tahun. Siwa berkenan dengan tapa yang dilakukan Yama, lalu ia diangkat sebagai dewa kematian. Ia diberi hak untuk menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang melakukan dosa, dan memberikan berkah kepada orang-orang yang berbuat kebajikan.
Dewa Yama/ Bhatara Dharma adalah satu dari Dewa-dewa Hindu yang mengembara paling jauh ke dunia dibandingkan dengan dewa-dewa lainnya. Yamaraja memiliki tugas untuk mengadili jiwa-jiwa,menentukan apakah jiwa tersebut harus dijatuhi hukuman neraka atau di kirim ke sorga.
Dewa Yama menjatuhkan hukuman kepada para roh pendosa berdasarkan dosa-dosa yang telah mereka lakukan semasih hidup di dunia. Karena Yamaraja memiliki kemampuan dalam menentukan jenis hukuman yang dijatuhkan kepada para roh pendosa sesuai dengan aturan-aturan agama, maka Yamaraja juga dikenal dengan nama Dharmaraja. Alhasil, Yamaraja menjadi Dewa yang paling andal dalam hal mengadili para roh.
Meskipun bagi sebagian masyarakat penganut ilmu modern Dewa Yama dianggap sebagai tokoh khayalan belaka, namun berdasarkan catatan-catatan dalam sastra suci dan penyelidikan langsung oleh para orang suci, maka telah terbukti bahwa Dewa Yama memang benar-benar ada
Dalam purana-purana diceritakan bahwa Yamaraja adalah putera Dewa Matahari, Vivasvat. Ia juga memiliki saudara kembar perempuan bernama Yami atau Sungai Yamuna. Keduanya, Yama dan Yami disebutkan sebagai pasangan manusia pertama yang menjadi asal muasal dari ras manusia. Yama adalah orang pertama yang mengalami kematian dan juga yang pertama menuju alam kematian sehingga ia behasil menemukan dunia bawah.
Karena ia adalah orang yang tiba di dunia bawah tersebut, ia pun mendapatkan anugrah kekuatan untuk memimpin keseluruhan wilayah di dunia bawah tersebut dan mendapatkan jubah Dewa Kematian. Dalam menjalani perannya sebagai Dewa Kematian, Dewa yama bekerjasama dengan Sang Penghancur/Pelebur, Rudra Dewa Siva.
Dewa Yama menjatuhkan hukuman kepada roh pendosa dengan sangat adil dan bijaksana berdasarkan dosa-dosa yang mereka perbuat dalam kehidupan mereka di Bumi. Hukuman yang diberikan oleh Dewa Yamadapat berupa siksaan-siksaan yang terlihat sangat kejam, misalnya roh-roh pendosa dibakar dalam samudra minyak mendidihTambra Gomuka jambangan besar yg berpindai kepala kerbau, dipukul tanpa henti dengan tulang bergerigi, dan lain-lain.
Sbg hukuman meringankan untuk reinkarnasi selanjutnya.
Yamaraja adalah Raja bagi para pitra dan bertempat tinggal di Pitraloka bersama para prajurit pribadinya, Yamaduta. Ia diberi kekuatan resmi sebagai hakim di bagian selatan (bagian bawah) alam semesta, yaitu di Patala. Lebih tepatnya, ia berdiam di Samyamani, sebelah selatan gunung Sumeru dengan dikelilingi oleh sabuk abadi yang bernama Sungai Vaitarani di depan pintu masuk planet kediamanYamaraja.
GAMBARAN DEWA YAMA
Menurut pengalaman para waskita dan juga merujuk pada catatan-catatan dalam kitab suci Hindu, Dewa Yama pada umunya muncul sebagai sosok yang menakutkan. Bagi para roh pendosa, yamaraja terlihat sebagai sosok hitam dengan tangan dan kaki yang sangat besar, bibir yang
bergetar, mata yang cekung sedalam antariksa, dan rambut yang berupa kobaran api.
Namun, bagi para roh yang baik, Yamaraja akan mewujudkan diri sebagai sosok yang tampan menyerupai Wishnu dengan empat lengan dan sepasang mata yang indah. Namun pada umumnya, Yamaraja sering digambarkan sebagai sosok berwarna hijau dan berpakaian merah dengan mengendarai seekor kerbau. Tangannya memegang gada (Yamadunda) dan tali jerat untuk membebaskan roh dari badan wadagnya ketika sedang dalam proses kematian.
Yamaraja memiliki dua ekor anjing rakus,Asu Gaplong Dan Asu Yaksa yang mana masing-masing dari anjing tersebut mempunyai empat mata dan lubang hidung yang sangat besar. Kedua anjing tersebut menjaga jalan di sekitar kediaman Dewa yama.
Disebutkan bahwa anjing-anjing Dewa Yama turut berkeliaran di antara manusia sebagai pembawa pesan kematian dengan mengirimkan seekor burung yang menandakan bahwa Dewa Yama akan segera datang.
Ini dijadikan konsep caru di Bali, yaitu menggunakannya Asu Bang Bungkem/ di Arah Baratdaya/nriti Dewa Rudra dan neraka loka perbatasan dunia dgn alam pitra Dewa Ganesha menjaga gerbang perbatasan tab, dewa Yama yg bertanggung jawab atas pitra yg ada, dan anjing sbg Persembehan kpd Buta ulu kuda Dan butha jingga.
KEDIAMAN DEWA YAMA
Dewa Yama tinggal di dunia bawah, di kota Yamapura. Di kerajaan yang bernama Kalichi, ia tinggal bersama beberapa istrinya, yaitu Hemamala, Sushila dan Vijaya, dan beliau sendiri duduk diatas takhta pengadilan bernama Vicharabhu.
Dalam menjalankan tugasnya, Dewa Yama dibantu oleh penasehat dan tukang catat semua perbuatan manusia di bumi,Chitragupta Sang Suratma Ia juga didampingi oleh seorang ketua pelayan (Canda atau Mahacanda) Mahakala dan Dorakala dan seorang penjaga (Kalapurusha) Jogor manik. Selain itu, ada pula Yavana sebagai pelayan Yamaraja dan para Yamaduta sebagai prajurit dan pembawa pesan Kingkarabala/ Cikrabala.
PENGADILAN DI KEDIAMAN DEWA YAMA
Yamaraja dan para Yamaduta mengambil roh seseorang menuju ke tempat pengadilan.Setiba di kediaman Yamaraja, pintu pengadilan pun ditutup dan dijaga oleh seorang penjaga pintu bernama Vaidhyata. Lalu, Chitragupta, sang pencatat atau perekam semua perbuatan sang roh mulai membacakan catatannya dari buku besar bernama Agrasandhani.
Kemudian Yamaraja menentukan apakah roh tersebut akan dikirim ke tempat kediaman para pitri (pitriloka) atau ke salah satu dari ribuan planet neraka berdasarkan dosa yang diperbuatnya, atau juga akan dilahirkan kembali ke dunia dalam bentuk tubuh yang lain.
Yogi Sampurna memuji keagungan Yamaraja sebagai Dewa Kematian yang menjalankan tugasnya dengan dharma. Yamaraja memimpin dunia bawah bersama para prajurit dan pembantunya menjatuhi hukuman kepada para roh pendosa dengan seadil-adilnya, yang tujuannya adalah menyucikan roh-roh tersebut sehingga mereka dapat kembali ke jalan Tuhan.
Meskipun Yamaraja terkenal sebagai sosok yang menjadi terror bagi hampir semua orang yang takut menghadapi kematian, namun ternyata Dewa Kematian ini adalah juga Bhakta agung dari Tuhan, yaitu sebagi Mahajana dan Vaisnava. Dewa Yama yang gagah perkasa dan ditakuti ini tidak akan mampu berbuat apa-apa dihadapan para penyembah Tuhan, atau mereka yang teguh menginginkan pengetahuan tentang kesadaran atma dan wanita yang setia kepada suaminya.
Yamaraja melarang para prajuritnya mendekati dan ataupun menyentuh para Bhakta Tuhan yang walaupun karena suatu kesalahan atau dikaburkan oleh kebingungan dan ilusi pada suatu kesempatan melakukan perbuatan berdosa yg tdk berlebih.dan melakukan penebusan dosa Para Bhakta ini terlindungi dari reaksi dosa karena mereka selalu mengula-ulang nama suci Tuhan atau senantisa merenungkan-Nya. berlaku sesuai dgn keadaan dan fungsinya yg kadar kesalahannya/kekeliruanya sangat2 sedikit.dan tidak sekonyong2nya kita mbuat kesalahan2
Namun setiap kesalahan pasti mendapatkan hasil dan hukumannya.

Senin, 11 Juli 2022

Upacara Warak Keruron atau Pengepah Ayu (Keguguran)

 


Upacara Warak Keruron atau Pengepah Ayu (Keguguran) ini mungkin sangat jarang kita dengar dan jarang pernah kita lihat implementasinya karena berbagai alasan. Tetapi, sebagai umat Hindu yang percaya dengan keberadaan Sang Hyang Atma hingga sangatlah penting untuk melaksanakan upacara terhadap si cabang bayi yang mengalami keguguran (keruron), meskipun belum berwujud, agar tidak menyebabkan kekacauan (ngrubeda) dalam keluarga, melalui upacara yang disebut dengan upacara "Pengepah Ayu" akibat keguguran (Warak Keruron) atau mengugurkan kandungan (Dhanda Bharunana).
Adapun pelaksanaan upakara ini berdasarkan Lontar Tutur Lebur Gangsa dan Sunari Gama, sebagai berikut :
1. Proses pelaksanaan upakara ini dilaksanakan di laut/segara. Akan tetapi, sebelum pelaksanaan upacara di laut, pertama kali wajib mengadakan upacara Pakeling dan Upacara Guru Piduka di Kemulan, kemudian nunas tirta untuk dibawa ke laut, dengan upakara :
a. Upakara Meguru Piduka di Kemulan : Daksina Pejati, Ketipat, Pras dan runtutannya.
1) Banten Guru : mealed taledan, raka-raka sarwa galahan, tumpeng guru, kojong rangkadan, sampyan jeet guak.
2) Sesayut Guru Piduka/Bendu Piduka : taledan kulit sesayut, raka-raka jangkep, tumpeng putih meklongkang plekir, kojong rangkadan, limang tebih jaja bendu, suci, kwangen 1 buah, sampyan naga sari, penyeneng, wadah uyah, pebersihan dan runtutannya.
b. Upakara di tempat keguguran dilakukan pecaruan Sapuh Awu.
2. Berikut, upakara di pinggir laut/di pasir pantai, dilakukan dengan prosesi :
a. Membuat pempatan agung menggunakan kain (kasa) putih.
b. Nanceb sanggah cucuk : upasaksi ke Surya munggah banten daksina, katipat pras, punjung serta runtutannya dan ring sor sanggah : segehan gede asoroh.
c. Di natar segara, di perempatan kain putih, bantennya sebagai berikut :
1) Banten yang dipakai untuk roh bayi : bunga pudak, bangsah pisang, kereb sari, punjung dan banten bajang.
2) Banten untuk ngulapin roh bayi : sorohan, pengulapan-pengambeyan, peras, daksina, ketipat, kelungah nyuh gading disurat ong kara (genah ngadegan roh bayi), kemudian dilakukan pemujaan (mengembalikan kepada sanghyang sankan paraning dumadi) roh bayi tersebut kemudian dilakukan pebaktian bagi roh bayi tersebut untuk kembali ke asalnya. Setelah itu klungah nyuh gading dan semua banten yang digunakan dihanyutkan ke laut.
3. Pemuput pelaksanaan upacara Pengepah Ayu ini boleh dilakukan oleh pemangku yang diyakini atau khususnya pemangku khayangan Dalem / Prajapati - Semoga Bermanfaat.