Senin, 11 Juli 2022

Dalam praktek keagamaan, umat Hindu melaksanakan ajaran agamanya dengan lebih berpijak pada “acara”(tradisi).

 


Dalam praktek keagamaan, umat Hindu melaksanakan ajaran agamanya dengan lebih berpijak pada “acara”(tradisi). Tradisi mana tentunya tetap mengacu pada sumber tertinggi yaitu Sruti, namun dalam pengamalannya lebih ditampilkan wujud prilaku(etika) dan wujud materi(upacara/upakara jadya). Sedangkan wujud ide/nilai berupa pengetahuan(Jnana) cenderung dikesampingkan(gugon tuwon). Itulah sebabnya, dalam hal menjalankan tradisi keagamaan umat Hindu dapat benar-benar dapat dengan tekun/kuat mempertahankan tetamian leluhur itu. Tradisi leluhur dalam hal menerapkan ajaran agama Hindu inilah yang kemudian berkembang menjadi “dresta” yang arti dan maknanya lebih luas yaitu sebagai pandangan dari suatu masyarakat mengenai tata krama dalam menjalankan hidup dan kehidupa dimasyarakat(desa pekraman). Dan karena setiap masyarakat dalam lingkup desa/wilayah berbeda latar belakangnya(sosial,ekonomi,budaya,sifat keagamaannya) maka meski tidak mencolok, yang namanya perbedaan dalam penampilan selalu muncul dan mewarnai perilaku kehidupan antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Munculah istilah pembenaran untuk suatu perbedaan itu seperti: desa-kala-patra(perbedaan menurut tempat,waktu dan keadaan), desa mawa cara(setiap wilayah mempunyai cara/kebiasaan yang berlainan), negara mawa tata(setiap negara memiliki tata cara tersendiri) dan lahir pula istilah “dresta”.
Dresta terdiri dari beberapa bagian dengan acuan pembenarannya bervariasi,
Dresta
Dresta adalah pedoman sebagai pandangan, kebiasaan - kebiasaan maupun aturan - aturan dari suatu daerah tertentu yang terdiri dari empat yang dinamakan catur dresta, sebagaimana disebutkan dalam hukum hindu, catur dresta terdiri dari :
Purwa/Kuna Dresta merupakan kebiasaan-kebiasaan yang sudah melekat pada kehidupan masyarakat secara turun tumurun.
Desa dresta merupakan peraturan-peraturan yang diterapkan untuk lingkungan sempit atau desa adat pakraman.
Loka Dresta yaitu hampir sama dengan Desa dresta hanya saja scope / lingkupnya yang lebih luas. Agar hubungan menjadi harmonis maka kita sebagai warga sepatutnyalah untuk mengikuti aturan - aturan sesuai dengan daerahnya.
Sastra Dresta merupakan aturan pamungkas yaitu jika seluruh dresta di atas tidak dapat diimplementasikan dan menimbulkan perdebatan yang tidak jelas, maka satu-satunya yang harus dipedomani adalah sastra dresta ini yaitu diluar dari tiga aturan tersebut di atas.
Sehingga kesebelan dari seseorang sebagaimana yang disebutkan sebagai cuntaka dapat disesuaikan dengan dresta ataupun aturan - aturan yang sesuai dengan daerah bersangkutan untuk menciptakan kesucian dan hubungan yang hamonis pada lingkungan daerah tersebut.

Pentingnya Pelinggih Taksu di Merajan

 


Pelinggih Taksu merupakan salah satu pelinggih yang ada di Sanggah Pemerajan .
Sanggah Pemerajan dapat diartikan sebagai tempat suci bagi suatu keluarga tertentu.
Secara umum kebanyakan orang menyebutnya dengan lebih singkat seperti Sanggah atau Merajan.
Pelinggih Taksu berbentuk Gedong, tetapi ada dua macam, yang pertama yaitu Gedong bertiang empat (saka pat) beruang dua (Rong dua). Dan yang kedua Gedong juga hanya memiliki tiang pendek (saka pandak) didepannya, ruangnya satu (Rong Tunggal), namun saka pandak itu sudah memberikan arti dua ruangan (Rong dua).
Pengertian Taksu
Mengenai kata Taksu, masyarakat Hindu sebagian besar masih belum memahami akan pengertian dan persepsinya.
Tidak sedikit yang berpendapat kalau di anggota keluarga tidak ada yang menjadi penari, pedalangan, dukun dan sebagainya, dianggap tidak perlu memiliki pelinggih Taksu.
Menurut sumber ajaran Agama Hindu sesungguhnya tidak demikian, melainkan taksu tersebut bersifat Universal dan merupakan kekuatan profesi masing-masing umat.
Setiap manusia memiliki profesionality (wiguna).
Menurut ajaran Hindu guna (profesi) tersebut ada sepuluh yaitu:
Guna Rsi Profesi profesi sebagai pendeta
Guna Wibawa profesi sebagai pegawai, pejabat.
Guna Tukang profesi sebagai pertukangan
Guna Sangging profesi sebagai sangging (tukang Patung)
Guna Pragina profesi sebagai penari, penyanyi, pemusik.
Guna Balian profesi sebagai pengarang (pujangga), penulis, wartawan.
Guna Sastra profesi sebagai pedagang, pengusaha.
Guna Sonteng profesi sebagai pemangku, pemuka agama.
Guna Dagang profesi sebagai pedagang, pengusaha.
Guna Tani profesi sebagai petani.
Dalam ajaran Tantrayana, taksu itu bisa diartikan sama dengan “sakti” atau “Wisesa”. Dan yang dimaksud dengan sakti itu adalah simbul dari pada “bala” atau kekuatan.
Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energi atau “kala”.
Dalam Tatwa, daya atau sakti itu tergolong Maya Tatwa.
Energi dalam bahasa sanskrit disebut prana,yang adalah bentuk ciptaan pertama dari Brahman.
Dengan mempergunakan prana barulah muncul ciptaan berikutnya yaitu panca mahabhuta.
Dengan digerakkan oleh prana kemudian terciptalah alam semesta beserta isinya. Tuhan dalam Nirguna Brahma / Paramasiva dalam Siva Tatwa, memanfaatkan energi atau sakti itu, sehingga ia menjadi Maha Kuasa, memiliki Cadu Sakti dengan Asta Aiswarya-Nya.
Dalam keadaan seperti itu Ia adalah Maha Pencipta, Pemelihara dan Pelebur.
Dalam Wraspati Tatwa disebut Sadasiva dan dalam pustaka Weda disebut Saguna Brahma.
Sakti atau energi maya dari Tuhan itu dipuja dalam bentuk pelinggih yang disebut Taksu.
Sedangkan Tuhan dalam wujudnya sebagai Sang Hyang Tri Purusa dan Sang Hyang Tri Atma dipuja dalam pelinggih kamulan.
Dalam upacara nyekah, selain sekah sebagai perwujudan atma yang telah disucikan , kita juga mengenal adanya sangge. Sangge adalah perwujudan atau simbul dari Dewi Mayasih.
Beliau mewakili unsur Maya Tatwa (pradana / sakti). Yang juga dalam upacara nyekah bersama-sama Atma ikut disucikan.
Dalam ajaran Kanda Pat, dikenal adanya nyama papat / saudara empat yang ikut lahir saat manusia dilahirkan.
Setelah melalui proses penyucian, saudara empat itu menjadi Ratu Wayan Tangkeb Langit, Ratu Ngurah Teba, Ratu Gede Jelawung dan Ratu Nyoman Sakti Pengadangan. Kempatnya itulah disebut sebagai dewanya taksu. Tidak lain adalah saudara kita lahir yang nantinya menemani manusia dalam kehidupannya.
Fungsi Taksu
Taksu berfungsi untuk memohon kesidhian atau keberhasilan untuk semua jenis profesi baik sebagai seniman, petani, pedagang, pemimpin masyarakat dll. Yang dipuja ialah Dewi Saraswati, sakti (kekuatan) Dewa Brahma dengan Bhiseka Hyang Taksu yang memberikan daya magis agar semua pekerjaan berhasil baik.
Tambahan dikutip dari kandapat sari
Kala dengen : iratu ketut petung
Pelinggih : taksu agung (letaknya diarea pekarangan merajan menghadap keselatan)
Dewanya : Siwa
Menguasai : taksu untuk bethara hyang guru.
Unsur : Bayu,Pertiwi, Sinar ,Air
Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang tepat atau kurang jelas, mohon dikoreksi bersama.
Artikel ini dimuat kembali bertujuan agar bisa disimak bersama, dijadikan bahan diskusi dan bukan untuk saling menggurui..
Suksma .. salam berbagi

NGINANG - PERADABAN NUSANTARA PENUH MAKNA

 


Nginang berasal dari Bahasa Kawi dari urat kata: PINANG yang berarti sejenis palm, mngandung Makna Inang artinya INDUK atau IBU atau Kemulan atau asal muasal atau Tuhan itu sendiri. Makna yg simbul2:
1 Pamor itu adalah simbul wetan, dewanya iswara akasaranya MANG
2 Gambir itu adalah simbul Kidul, Dewanya Brahma aksaranya ANG
3 Buah pinang itu adalah simbul Kulon, dewanya Mahadewa ada aksaranya ONG
4 Daun sirih itu adalah simbul Lor, dewanya Wisnu aksaranya UNG
5 Tembakau jdi sigsig itu simbul Tengah, dewanya Siwa aksaranya HYANG, sebagai pengurip ing jadi
Untuk mengingat tuhan, dikalangan masyarakat Buta sastra, maka ada amalan atau lelaku yang di tradisikan sebagai bahasa Simbol, utk mengingat dan Ngrakah Panca Aksara ( MANG , ANG, ONG, UNG, HYANG), kemudian Ngelukunang/ menggabungkan:
1. Sang diri ini adalah ONG , maka disebut WONG, ( wong Bali, Wing jawa, wong..).
2. Sirih 2 lembar temu ros/ simetris di pasang Ngayak- ngelingeb / bolak-balik ngaran Meme- Bapa, Atau ANG - AH,
3. Sirih 2 lembar ( temu ros/simetris bolak balik) di lipat/ tagel sehingga membentuk Segi tiga atau Tri Kona, kemudian Di Colekin Pamor, di cubitin Gambir. Menjadi : Ung, Ang, Mang , bermakna wija aksara Tri Murti dalam wujud Perlindungan, pengraksa jiwa.
4. Kemudian, sirih , pamor , Gambir, di sigitin Buah menjadi: UNG, ANG, MANG, ONG, menjadi catur Aksara.
5. Kemudian, sirih , pamor , Gambir, di sigitin Buah kemudian disisigin Mako menjadi: UNG, ANG, MANG, ONG, YANG, menjadi Pangraksa Jagat.
6. Baru kata kata di Mulai, maatur atur, Sidhi mandi phalanya.
Ini termasuk Tradisi Asli Nusantara, bnyk di gunakan dlm kegiatan ritual adat, tpi banyak yg lupa maknanya.
Contoh: Sirih, pamor, Pinang ( jawa): pasurupan ONG AH UNG ( juga menyebut Tuhan dalam ajaran Bhudo kawisnon).
Note: konon Orang Nginang akan Terhindar Dari Penyakit , terhindar Dari Godaan ( makan, minum, rokok), terhindar dari Kewajiban memakai Masker, dgn syarat tembakau harus Penuh.).

PENJELASAN MATEMATIKA MENGAPA JUMLAH WUKU ADA TIGA PULUH

 


“Pekan” dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah WUKU. Dalam satu wuku terdapat tujuh hari yang dimulai dari Minggu hingga Sabtu. Uniknya, setiap wuku memiliki nama masing-masing. Misalnya, sekarang hari Minggu tanggal 11 Oktober 2020 hingga nanti hari Sabtu tanggal 17 Oktober 2020, kita berada dalam wuku Julungpujut. Selanjutnya, pekan depan tanggal 18 Oktober 2020 kita memasuki wuku Pahang. Adapun kemarin, hari Sabtu tanggal 10 Oktober 2020, kita berada dalam wuku Maṇḍasiya.
Sistem wuku atau “pawukon” sudah dikenal pada era Jawa Kuno. Yang perlu diingat, nama-nama hari pada zaman itu tidak menggunakan Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu; melainkan menggunakan nama-nama Sanskerta (India Kuno), yaitu Āditya, Soma, Anggāra, Budha, Wṛhaspati, Śukra, dan Śanaiścara. Dengan kata lain, nama-nama hari tujuh (saptawāra) diadopsi dari budaya India.
Akan tetapi, saya tidak menemukan kosakata “wuku” atau “vuku” dalam kamus Sanskerta. Itu artinya, tradisi “pawukon” bukan berasal dari India, meskipun nama-nama hari tujuh berasal dari sana. Jadi, setelah leluhur Jawa mengadopsi sistem hari tujuh (saptawāra) meniru India, maka dibuatkanlah nama-nama pekan (wuku) menggunakan kearifan lokal. Gambarannya seperti ini, hari Āditya hingga Śanaiścara pekan ini oleh para leluhur kita diberi nama wuku A, hari Āditya hingga Śanaiścara pekan depan diberi nama wuku B, hari Āditya hingga Śanaiścara pekan selanjutnya diberi nama wuku C, begitulah seterusnya.
Tercatat ada tiga puluh wuku dalam budaya Jawa. Di bawah ini kami tuliskan nama-nama wuku era Jawa Kuno, sedangkan yang berada di dalam kurung adalah penyebutan dalam bahasa Jawa Baru:
1. Sinta (Sinta)
2. Landĕp (Landĕp)
3. Wukir (Wukir)
4. Kurantil (Kurantil)
5. Tolu (Tolu)
6. Gumbrĕg (Gumbrĕg)
7. Wariganing Wariga (Warigalit)
8. Warigadyan (Warigagung)
9. Julungwangi (Julungwangi)
10. Sungsang (Sungsang)
11. Dungulan (Galungan)
12. Kuningan (Kuningan)
13. Langkir (Langkir)
14. Maḍasiha (Maṇḍasiya)
15. Julungpujut (Julungpujut)
16. Pahang (Pahang)
17. Kuruwĕlut (Kuruwĕlut)
18. Marakih (Marakeh)
19. Tambir (Tambir)
20. Maḍangkungan (Mĕḍangkungan)
21. Mahatal (Maktal)
22. Wuyai (Wuye)
23. Manahil (Manahil)
24. Prangbakat (Prangbakat)
25. Bala (Bala)
26. Wugu (Wugu)
27. Wayang (Wayang)
28. Kulawu (Kulawu)
29. Ḍukut (Ḍukut)
30. Watugunung (Watugunung)
Yang menjadi pertanyaan, mengapa para leluhur menciptakan nama-nama wuku berjumlah tiga puluh saja? Mengapa bukan empat puluh atau lima puluh atau seratus?
Selama ini jawaban yang saya peroleh untuk pertanyaan tersebut selalu dihubungkan dengan kisah legenda. Misalnya, dalam naskah Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa wuku Watugunung (wuku terakhir) berasal dari nama Prabu Watugunung raja Mĕḍang Kamulan, sedangkan wuku Sinta dan Landĕp berasal dari nama kedua istrinya. Adapun ke-27 wuku lainnya berasal dari nama anak-anak mereka. Lain lagi dengan naskah Sĕrat Pustakaraja Purwa yang menyebut ke-27 wuku tersebut adalah nama adik-adik Prabu Watugunung lain ibu. Tidak hanya di Jawa, sistem wuku juga digunakan di Bali, bahkan bisa dikatakan lebih mengakar kuat. Menurut versi Bali dalam rontal Mĕḍangkĕmolan, wuku Watugunung berasal dari nama seorang raja sakti, yaitu I Watugunung, sedangkan Sinta dan Landĕp berasal dari nama kedua istrinya. Adapun ke-27 wuku lainnya berasal dari nama para raja yang ia kalahkan.
Terus terang, jawaban berdasarkan kisah legenda justru melahirkan pertanyaan baru. Benarkah Prabu Watugunung memiliki 27 orang anak? Mana pula versi yang benar, apakah anak, ataukah adik, ataukah raja-raja taklukan? Atau jangan-jangan sebaliknya, nama-nama wuku sudah lebih dulu ada, barulah dibuatkan dongeng asal-usulnya?
Ternyata setelah mempelajari beberapa prasasti era Jawa Kuno, saya menemukan jawaban bahwa jumlah wuku ada tiga puluh berasal dari perhitungan matematika. Tiga puluh adalah “kelipatan persekutuan terkecil” dari lima dan enam. Lalu, lima dan enam asalnya dari mana?
Di atas telah saya sebutkan bahwa sistem hari tujuh (saptawāra) berasal dari budaya India. Akan tetapi, leluhur kita juga memiliki sistem hari lima (pañcawāra) dan hari enam (ṣadwāra) yang tidak dikenal di India, karena asli buatan Jawa.
Berikut adalah nama-nama hari lima dalam tradisi Jawa Kuno, disertai nama-nama Jawa Baru dalam tanda kurung:
1. Umanis (Lĕgi)
2. Pahing (Pahing)
3. Pon (Pon)
4. Wagai (Wage)
5. Kaliwuan (Kliwon)
Selanjutnya, nama-nama hari enam dalam tradisi Jawa Kuno sebagai berikut, disertai nama-nama Jawa Baru dalam tanda kurung:
1. Tunglai (Tungle)
2. Hariyang (Aryang)
3. Wurukung (Wurukung)
4. Paniruan (Paningron)
5. Wās (Uwas)
6. Mawulu (Mawulu)
Jadi, sistem hari tujuh dari India dikombinasikan oleh para leluhur dengan sistem hari enam dan hari lima yang asli buatan Jawa. Misalnya, dalam prasasti Mūla-Malurung tahun 1255 tertulis “ma, u, bu, wāra, julung”, merupakan singkatan dari ṣadwāra Mawulu, pañcawāra Umanis, saptawāra Budha, dan wuku Julungwangi.
Contoh lainnya, prasasti Sukāmṛta tahun 1296 tertulis “tung, ka, śa, wāra, kuningan”, merupakan singkatan dari ṣadwāra Tunglai, pañcawāra Kaliwuan, saptawāra Śanaiścara, dan wuku Kuningan.
Kombinasi hari enam-lima-tujuh bersifat siklus. Hari pertama wuku Sinta adalah Tunglai-Pahing-Āditya; hari kedua adalah Hariyang-Pon-Soma; hari ketiga adalah Wurukung-Wagai-Anggāra; hari keempat adalah Paniruan-Kaliwuan-Budha; hari kelima adalah Wās-Umanis-Wṛhaspati; hari keenam adalah Mawulu-Pahing-Śukra; dan hari ketujuh adalah Tunglai-Pon-Śanaiścara. Kemudian masuk ke dalam wuku Landĕp yang diawali Hariyang-Wagai-Āditya; demikianlah seterusnya hingga wuku ketiga puluh yaitu Watugunung, yang diawali Mawulu-Kaliwuan-Āditya, dan berakhir pada Mawulu-Umanis-Śanaiścara. Hari selanjutnya akan kembali pada kombinasi Tunglai-Pahing-Āditya lagi, yaitu memasuki wuku Sinta.
Itulah sebabnya, mengapa jumlah wuku hanya ada tiga puluh, karena setelah wuku ketiga puluh berakhir, maka kombinasi hari enam-lima-tujuh akan kembali lagi seperti pada wuku pertama. Jadi, saya ulangi lagi, sistem hari tujuh yang asalnya dari India dikombinasikan dengan hari enam dan hari lima yang merupakan asli ciptaan Jawa, lalu dibuatkan nama-nama wuku-nya. Karena “kelipatan persekutuan terkecil” dari 6 dan 5 adalah 30, maka disusunlah nama-nama wuku sebanyak tiga puluh jenis.
Pada era Jawa Baru, sistem hari tujuh tidak lagi menggunakan nama-nama Sanskerta, melainkan menggunakan serapan bahasa Arab, yaitu Ngahad, Sĕnen, Sĕlasa, Rĕbo, Kĕmis, Jĕmuwah, dan Sĕtu. Nama-nama tersebut dikombinasikan dengan sistem hari lima yang lazim disebut “pasaran”. Contoh penyebutan kombinasinya ialah Ngahad Kliwon, Sĕnen Lĕgi, Sĕlasa Pahing, Rĕbo Pon, dan seterusnya. Apabila kombinasi hari tujuh (dina) dan hari lima (pasaran) melewati 35 hari, maka disebut dengan istilah “sĕlapan”. Misalnya, Kĕmis Wage saat ini hingga Kĕmis Wage berikutnya disebut “sĕlapan dina”.
Sementara itu, sistem hari enam pada era Jawa Baru lazim disebut “paringkĕlan”. Akan Tetapi, sistem ini sangat jarang digunakan, bahkan cenderung dilupakan. Karena sistem hari enam tidak lagi dipakai, maka pertanyaan “mengapa nama-nama wuku berjumlah tiga puluh” akan sulit dijawab oleh orang Jawa zaman sekarang.
Tentunya sayang sekali apabila kita sampai terputus dengan tradisi leluhur. Oleh sebab itu, di bawah ini saya sajikan tabel kombinasi nama-nama hari pertama dalam tiap wuku. Sengaja saya gunakan istilah “Minggu” agar lebih mudah dipahami oleh para pembaca modern. Misalnya, wuku Sinta dimulai pada hari Minggu-Pahing-Tungle; wuku Landĕp dimulai pada hari Minggu-Wage-Aryang; wuku Wukir dimulai pada hari Minggu-Lĕgi-Wurukung; dan seterusnya.
“Klungsu-klungsu waton uḍu”
Heri Purwanto.

Pertanda Datangnya Penyakit Berdasarkan Sasih Menurut Lontar Roga Sanghara Bumi

 


Selain mengenal bulan pada kalender Masehi, di Bali masyarakat juga mengenal bulan sesuai sistem kalender Bali. Sama seperti pada kalender Masehi, di Bali juga dikenal ada 12 bulan yang disebut sasih yang terdiri atas sasih kasa, kara, ketiga, kapat, kalima, kaenem, kapitu, kaulu, kesanga, kedasa, jyesta, dan sada.
Menurut Lontar Roga Sanghara Bumi yang disarikan dalam Durmanggalaning Jagat Tutur Roga Sanghara Bumi, setiap bulan ini akan diturunkan penyakit ke dunia dengan ciri-ciri yang berbeda. Lontar ini merupakan sebuah tutur atau tuntunan terkait dengan pertanda alam serta akibatnya. Juga dijelaskan tentang penolak atau pecaruan dari setiap pertanda tersebut. Berikut merupakan pertanda penyakit yang diturunkan pada setiap sasihnya beserta banten caru yang digunakan untuk penangkalnya.
1. Sasih Kasa
Sasih kasa merupakan sasih pertama dalam sistem kalender Bali yang jatuh sekitar bulan Juli. Penyakit pada sasih ini disebabkan oleh Kala dari Bhatara. Penyakitnya yaitu panas dingin, badan bergetar, serta gelisah.
Adapun caru atau upakara yang digunakan sebagai ‘penangkal’ yakni dengan jalan membuat sanggah cucuk yang diletakkan di sisi kiri pintu gerbang dengan bantennya nasi tiga warna, ayam putih kuning dibuat lauk dijadikan tiga bagian, buah tiga jenis, bunga tiga warna, canang tiga tanding, diletakkan di bawah segehan dituangi tuak dan air. Saat melakukan persembahan sebut Kala Bergala.
2. Sasih Karo
Penyakit pada sasih karo atau bulan kedua dalam kalender Bali yang jatuh pada bulan Agustus diturunkan oleh Bhatara Ratnaning Rat. Ciri-ciri penyakit pada sasih ini yakni tidur gelisah, menyebut-nyebut, panas dan lesu, jiwanya terancam.
Penolaknya yakni dengan mempersembahkan caru pada setiap pintu keluar. Juga memasang sanggah cucuk pada sisi kiri pintu keluar yang diisi sujang, dimana di dalam sujang berisi tuak dan air. Bantennya berupa tumpeng dua buah, ikan sate lembat babi, lawar merah dan putih, canang gantal, rokok dua batang, berisi bendera dari kasa putih. Di bawah segehan dituangi tuak dan air dan sebut para prajurit Bhatara Ratnaning Rat.
3. Sasih Katiga
Sasih ketiga jatuh pada bulan September. Penyakit pada sasih ini disebabkan oleh Kala dari Bhatara Jagatpati. Ciri-ciri penyakitnya yaitu panas, gelisah, badan bergetar, kepala pusing seperti mau pecah.
Untuk penolaknya menggunakan sanggah cucuk yang dipasang di sisi kanan pintu keluar. Upakaranya berupa ketupat lima jenis, ikannya palem udang, kepiting kering, isi sawah, canang lima tanding, segehan. Pada saat mempersembahkan sebut Kala Prayoni.
4. Sasih Kapat
Sasih kapat jatuh pada bulan Oktober. Penyakit yang datang disebabkan oleh Kala dari Bhatara Kusumajati. Adapun penyakit yang diturunkan berupa panas seperti dibakar, gelisah tak pernah berhenti sampai empat hari, tiga hari tak bisa makan, dan ingin terus minum air.
Penolaknya dengan memasang sanggah cucuk pada salah satu sisi pintu keluar dan berisi daun beringin. Sarana upakaranya berupa sepasang tumpeng kuning, ayam putih dibuat lauk dijadikan satu tanding, buah, canang gantal arum lima tanding, rokok empat batang, kemenyan, tuak satu sujang. Di bawah segehan dituangi dengan tuak dan air dan sebut Kala Wigraha Bhumi.
5. Sasih Kalima
Sasih ini berada pada bulan November. Penyakit pada sasih ini datang dari Kala dari Bhatara Jagatkarana dengan pertanda menggigil, panas gelisah, kepala sakit seperti ditusuk-tusuk, dan tidak bisa bangun.
Untuk penangkalnya, sanggah cucuk dipasang di sisi kiri pintu dengan banten panek dua buah, lauk daging babi, sate lembat asem, buah, canang dua tanding, tuak satu tekor, segehan. Sebut Sang Kala Mangsa.
6. Sasih Kaenem
Pada bulan Desember menurut perhitungan kalender Bali merupakan sasih Kaenem. Pada saat ini prajurit dari Bhatara Moda menurunkan penyakit ke dunia. Penyakit yang diturunkan memiliki ciri-ciri panas seperti dipanggang, menyebut-nyebut tak karuan, bisa menyebabkan kematian, seperti orang galak.
Pasang sanggah cucuk pada sisi pintu keluar sebagai penolak. Sanggah cucuk ini berisi daun tulak, tuak dengan wadah sujang. Bantennya sepasang tumpeng hitam, sate calon, lawar merah putih, jajan begina, dan pisang rebus. Sementara untuk banten di bawah menggunakan segehan sembilan tanding, jeroan babi mentah dan masak, geti-geti satu takir dan sebut Bhuta Ngadang Samaya Pati.
7. Sasih Kapitu
Penyakit pada sasih kapitu atau bulan Januari memiliki ciri-ciri badan dingin, perut kaku, tubuh makin kurus, menggigil dan kejang-kejang setelah tiga hari. Untuk carunya menggunakan sanggah cucuk yang diletakkan pada sisi pintu keluar dengan bantennya sepasang tumpeng merah, daging ayam merah dipanggang, serta buah.
Di halaman Sanggah Kemulan menghaturkan segehan, caru nasi satu pujung, lauk babi satu karang. Juga segehan lima tanding, lawar mewah putih, serta tuak satu tapan. Saat melakukan persembahan sebut Kala Ngandang Semaya.
8. Sasih Kaulu
Sasih kaulu dilaksanakan pada bulan Februari, dimana penyakitnya diturunkan oleh prajurit dari Bhatara Durga. Ciri-ciri penyakit pada sasih ini yaitu muntah berak, panas, pusing, seperti ditusuk-tusuk, serta disentri.
Carunya menggunakan sanggah cucuk yang dipasang di depan pintu keluar dengan banten lima buah tumpeng yang dialasi daun tlujungan, kulit babi dicampur darah, komoh, kakumbuh kacang satu, lima biji calon agung, geti-geti, pisang kayu, tuak satu bumbung, nasi takilan, telur asin, digantung pada sanggah cucuk. Sebut Sang Kala Dengen.
9. Sasih Kesanga
Pada sasih kesanga (Maret) ini penyakit diturunkan oleh prajurit dari Bhatara Geni. Sakit yang dirasakan seperti gelisah, serta mual-mual.
Penangkalnya dengan memasang sanggah cucuk di depan pintu keluar, sanggah itu diisi tempat sesajen dengan bantennya yakni dipupuki jeroan babi digoreng, ikan telur dadar, tuak, air berwadah sujang pada lalapan peras penyeneng. Di bawah menggunakan segehan sembilan tanding, dan sebut Kaki Kala Roga.
10. Sasih Kedasa
Pada bulan April merupakan sasih kedasa. Penyakit pada sasih ini ditandai dengan panas serta gelisah. Gunakan penolak berupa sanggah cucuk di depan pintu keluar. Bantennya berupa nasi satu punjung, sate calon, lawar merah dan putih yang diletakkan di bawah segehan.
11. Sasih Jyesta dan Sada
Sasih jyesta datang pada bulan Mei dan sada pada bulan Juni. Pada saat ini penyakitnya berupa flu yang disebut langu.
Penangkalnya gunakan sanggah cucuk yang dipasang di depan pintu keluar pekarangan dengan bantennya berupa tumpeng sepasang, sate ayam, lawar merah dan putih, sayur daun pepe direbus, kemudian diletakkan di bawah segehan.

Upacara Hindu di Bali

 


Mengenal istilah persembahan pada banten bebangkit.
Sebagai Pulagembal, maka bebangkit terdiri dari beberapa buah banten dan yang disebut bebangkit adalah sebuah banten yang terdiri dari tiga bagian yaitu; Tadah-bebangkit-ireng, tadah-bebangkit-putih, balen-bebangkit, yang bentuknya seperti taman (Taman adalah sejenis bangunan kecil beralaskan ceper bertiang empat buah dari tebu, janur, serta bunga/daun-daunan; di dalamnya berisi air, bunga yang harum (11 jenis) serta padma (jejahitan dari janur); sebagai alasnya dapat dipakai priyuk tanah kedas (belum pernah dipakai), ataupun sangkuk/batil) hanya saja tiangnya dibuat dari bambu atau lainnya bahkan adakalanya dibuat bertingkat atau bertumpang seperti Meru dan itu tergantung dengan tingkatannya.
Pada “balen-bebangkit” ini akan ditempeli beberapa jenis jajan sesamuhan; baik bentuk, nama serta jumlahnya dari pada jajan tersebut sepertinya berbeda-beda sesuai desa kala patra.....tapi umumnya selalu ada jajan yang disebut: bulan, matan’ai (matahari), marga (jalan), dan lawang (pintu), walaupun kemungkinan pasti bentuknya berbeda-beda. Keempat jajan itu akan ditempel pada keempat dingding dari “balen-bebangkit” dan letaknya diposisikan dimana jajan simbol bulan berlawanan arah dengan matan’ai, marga berlawanan arah dengan lawang.
Disekitarnya barulah dilengkapi dengan jajan-jajan lain ada yang disebut lubeng luwih, pepek, sunaran, tangkar-iga, ancak, bingin, dsb-nya.
Ada tiga tingkatan Bebangkit yaitu:
1. Alit: Bebangkit Gerombong
2. Madya: Bebangkit Bogem atau bebangkit mencagak. Perbedaan ada pada jenis jajanannya lebih banyak daripada bebangkit gerombong dan dilengkapi jajan “bekayu” dipakai sebagai alas disebut “bataran”.
3. Agung: Bebangkit Agung Mekaras, digunakan pada upacara yang paling besar tingkatannya (utamaning utama). Perbedaannya dengan Bebangkit Bogem adalah disamping jenis jajannya lebih banyak juga dilengkapi dengan “beruk” satu yang berisi nira atau tuak, kendi berisi air, kotak berisi “perabot-Pande” (berjenis pisau, gergaji, palu, dll), besek kecil berisi beras, base-tempel, wang (Uang Kepeng), Kawangen serta benang putih.
Karena daging persembahan yang menyertainya maka ada dua istilah bebangkit: Bebangkit “Selam” dan Bebangkit “Kapir”. Tiap sorohan banten bebangkit umumnya berisi atau dilengkapi dengan guling: Pada banten bebangkit “Selam” akan dilengkapi persembahan guling hewan yang dianggap suci misal: itik, kerbau (kebo), kambing, dll., Sedangkan pada banten bebangkit “Kapir” dilengkapi guling hanya dari hewan babi. Oleh karena itu sorohan banten bebangkit sering pula disebut: “Sorohan guling bebangkit.”
Secara umum soroh bebangkit ditujukan kepada Shakti atau Dewi Uma atau Dewi Durga. Dimana kita memujanya dengan setulus hati supaya diberikan kesimbangan melalui Banten Bebangkit dari mewakili unsur negatif dan Pulagembal (Banten Tataban Besar) dari mewakili unsur positif===Rwa Bhinneda/Dwaita.

“KESUCIAN” MENURUT LONTAR BRATI SASANA

 


Om awighnam astu
Lontar Brati Sasana (Wrati Sasana) adalah salah satu naskah keagamaan yang dijadikan pedoman kesucian bagi seseorang yang telah didwijati. Teks Brati Sasana berupa sloka berbahasa Sanskerta dalam metrum anustup dan memiliki penjelasan dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno).
Dalam lontar ini, dinyatakan mengenai ciri-ciri seseorang yang patut dianggap suci:
[Teks 11] “kunang ikang soca, nityasocarcana, yan mapa ta lwirning socarcana para hupananta ri bhatara siwaditya, wanggelaraken surya sewana, manggelar asthanustana, mabhasma, majapa, sabhagyan yan wruha ri snana widhi, mangkanang soca...”
Artinya:
Inilah yang disebut suci. Dia melakukan penyucian diri terus-menerus, seperti misalnya melakukan pemujaan kepada Bhatara Siwaditya (matahari, dengan pengucapan Gayatri Mantra), melakukan surya sewana, melakukan pemujaan pelengkap, menghiasi badannya dengan tanda-tanda suci, berjapa, mandi suci, itulah yang disebut suci...
MANDI DENGAN DEBU SAPI DALAM LONTAR BRATI SASANA
Ada beberapa postingan yang menyatakan bahwa mandi (melukat) dengan debu sapi dan panca gawya (lima zat yang dihasilkan dari sapi) adalah lelucon menjijikkan, maka orang hendaknya membaca lontar Brati Sasana. Menurut lontar ini, leluhur kita dahulu rupanya terbiasa menyucikan diri dengan mandi dalam debu sapi, sebab sapi dinyatakan sebagai makhluk yang suci dalam seluruh pustaka suci Veda.
[Teks 17] “Agneya ngaran snana maka laksanam bhasma, kunang ikang baruna masilem ring wwe laksananya. Brahmya ngaran snana maka laksanam mantra. Kunang ikang wayawya ngaran snana maka laksanam sumilemaken sarira tekeng uttamangga maka nimitta welek ning lebu sangkeng sukuning lembu an ginreki lemah pawitra.”
ARTINYA:
Mandi Agneya artinya mandi dengan abu api suci (dari agnihotra, pasepan atau dupa). Mandi Baruna artinya menyelam dalam air. Mandi Brahma artinya mandi dengan mengucapkan mantra-mantra suci. Mandi Wayawya artinya melumuri badan hingga kepala dengan debu dari bekas injakan kaki sapi, yang adalah tanah yang pawitra (suci).
Jadi, jika Anda menemukan postingan di media sosial yang menyatakan bahwa mandi dengan panca gawya (lima zat yang dihasilkan oleh sapi) adalah lelucon menjijikkan, maka bacalah Lontar Wrati Sasana. Sesungguhnya, ini adalah warisan peradaban Veda dari leluhur kita sendiri, terutama dalam hal sarwaning panglukatan (jenis-jenis mandi suci).