“Pekan” dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah WUKU. Dalam satu wuku terdapat tujuh hari yang dimulai dari Minggu hingga Sabtu. Uniknya, setiap wuku memiliki nama masing-masing. Misalnya, sekarang hari Minggu tanggal 11 Oktober 2020 hingga nanti hari Sabtu tanggal 17 Oktober 2020, kita berada dalam wuku Julungpujut. Selanjutnya, pekan depan tanggal 18 Oktober 2020 kita memasuki wuku Pahang. Adapun kemarin, hari Sabtu tanggal 10 Oktober 2020, kita berada dalam wuku Maṇḍasiya.
Sistem wuku atau “pawukon” sudah dikenal pada era Jawa Kuno. Yang perlu diingat, nama-nama hari pada zaman itu tidak menggunakan Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu; melainkan menggunakan nama-nama Sanskerta (India Kuno), yaitu Āditya, Soma, Anggāra, Budha, Wṛhaspati, Śukra, dan Śanaiścara. Dengan kata lain, nama-nama hari tujuh (saptawāra) diadopsi dari budaya India.
Akan tetapi, saya tidak menemukan kosakata “wuku” atau “vuku” dalam kamus Sanskerta. Itu artinya, tradisi “pawukon” bukan berasal dari India, meskipun nama-nama hari tujuh berasal dari sana. Jadi, setelah leluhur Jawa mengadopsi sistem hari tujuh (saptawāra) meniru India, maka dibuatkanlah nama-nama pekan (wuku) menggunakan kearifan lokal. Gambarannya seperti ini, hari Āditya hingga Śanaiścara pekan ini oleh para leluhur kita diberi nama wuku A, hari Āditya hingga Śanaiścara pekan depan diberi nama wuku B, hari Āditya hingga Śanaiścara pekan selanjutnya diberi nama wuku C, begitulah seterusnya.
Tercatat ada tiga puluh wuku dalam budaya Jawa. Di bawah ini kami tuliskan nama-nama wuku era Jawa Kuno, sedangkan yang berada di dalam kurung adalah penyebutan dalam bahasa Jawa Baru:
1. Sinta (Sinta)
2. Landĕp (Landĕp)
3. Wukir (Wukir)
4. Kurantil (Kurantil)
5. Tolu (Tolu)
6. Gumbrĕg (Gumbrĕg)
7. Wariganing Wariga (Warigalit)
8. Warigadyan (Warigagung)
9. Julungwangi (Julungwangi)
10. Sungsang (Sungsang)
11. Dungulan (Galungan)
12. Kuningan (Kuningan)
13. Langkir (Langkir)
14. Maḍasiha (Maṇḍasiya)
15. Julungpujut (Julungpujut)
16. Pahang (Pahang)
17. Kuruwĕlut (Kuruwĕlut)
18. Marakih (Marakeh)
19. Tambir (Tambir)
20. Maḍangkungan (Mĕḍangkungan)
21. Mahatal (Maktal)
22. Wuyai (Wuye)
23. Manahil (Manahil)
24. Prangbakat (Prangbakat)
25. Bala (Bala)
26. Wugu (Wugu)
27. Wayang (Wayang)
28. Kulawu (Kulawu)
29. Ḍukut (Ḍukut)
30. Watugunung (Watugunung)
Yang menjadi pertanyaan, mengapa para leluhur menciptakan nama-nama wuku berjumlah tiga puluh saja? Mengapa bukan empat puluh atau lima puluh atau seratus?
Selama ini jawaban yang saya peroleh untuk pertanyaan tersebut selalu dihubungkan dengan kisah legenda. Misalnya, dalam naskah Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa wuku Watugunung (wuku terakhir) berasal dari nama Prabu Watugunung raja Mĕḍang Kamulan, sedangkan wuku Sinta dan Landĕp berasal dari nama kedua istrinya. Adapun ke-27 wuku lainnya berasal dari nama anak-anak mereka. Lain lagi dengan naskah Sĕrat Pustakaraja Purwa yang menyebut ke-27 wuku tersebut adalah nama adik-adik Prabu Watugunung lain ibu. Tidak hanya di Jawa, sistem wuku juga digunakan di Bali, bahkan bisa dikatakan lebih mengakar kuat. Menurut versi Bali dalam rontal Mĕḍangkĕmolan, wuku Watugunung berasal dari nama seorang raja sakti, yaitu I Watugunung, sedangkan Sinta dan Landĕp berasal dari nama kedua istrinya. Adapun ke-27 wuku lainnya berasal dari nama para raja yang ia kalahkan.
Terus terang, jawaban berdasarkan kisah legenda justru melahirkan pertanyaan baru. Benarkah Prabu Watugunung memiliki 27 orang anak? Mana pula versi yang benar, apakah anak, ataukah adik, ataukah raja-raja taklukan? Atau jangan-jangan sebaliknya, nama-nama wuku sudah lebih dulu ada, barulah dibuatkan dongeng asal-usulnya?
Ternyata setelah mempelajari beberapa prasasti era Jawa Kuno, saya menemukan jawaban bahwa jumlah wuku ada tiga puluh berasal dari perhitungan matematika. Tiga puluh adalah “kelipatan persekutuan terkecil” dari lima dan enam. Lalu, lima dan enam asalnya dari mana?
Di atas telah saya sebutkan bahwa sistem hari tujuh (saptawāra) berasal dari budaya India. Akan tetapi, leluhur kita juga memiliki sistem hari lima (pañcawāra) dan hari enam (ṣadwāra) yang tidak dikenal di India, karena asli buatan Jawa.
Berikut adalah nama-nama hari lima dalam tradisi Jawa Kuno, disertai nama-nama Jawa Baru dalam tanda kurung:
1. Umanis (Lĕgi)
2. Pahing (Pahing)
3. Pon (Pon)
4. Wagai (Wage)
5. Kaliwuan (Kliwon)
Selanjutnya, nama-nama hari enam dalam tradisi Jawa Kuno sebagai berikut, disertai nama-nama Jawa Baru dalam tanda kurung:
1. Tunglai (Tungle)
2. Hariyang (Aryang)
3. Wurukung (Wurukung)
4. Paniruan (Paningron)
5. Wās (Uwas)
6. Mawulu (Mawulu)
Jadi, sistem hari tujuh dari India dikombinasikan oleh para leluhur dengan sistem hari enam dan hari lima yang asli buatan Jawa. Misalnya, dalam prasasti Mūla-Malurung tahun 1255 tertulis “ma, u, bu, wāra, julung”, merupakan singkatan dari ṣadwāra Mawulu, pañcawāra Umanis, saptawāra Budha, dan wuku Julungwangi.
Contoh lainnya, prasasti Sukāmṛta tahun 1296 tertulis “tung, ka, śa, wāra, kuningan”, merupakan singkatan dari ṣadwāra Tunglai, pañcawāra Kaliwuan, saptawāra Śanaiścara, dan wuku Kuningan.
Kombinasi hari enam-lima-tujuh bersifat siklus. Hari pertama wuku Sinta adalah Tunglai-Pahing-Āditya; hari kedua adalah Hariyang-Pon-Soma; hari ketiga adalah Wurukung-Wagai-Anggāra; hari keempat adalah Paniruan-Kaliwuan-Budha; hari kelima adalah Wās-Umanis-Wṛhaspati; hari keenam adalah Mawulu-Pahing-Śukra; dan hari ketujuh adalah Tunglai-Pon-Śanaiścara. Kemudian masuk ke dalam wuku Landĕp yang diawali Hariyang-Wagai-Āditya; demikianlah seterusnya hingga wuku ketiga puluh yaitu Watugunung, yang diawali Mawulu-Kaliwuan-Āditya, dan berakhir pada Mawulu-Umanis-Śanaiścara. Hari selanjutnya akan kembali pada kombinasi Tunglai-Pahing-Āditya lagi, yaitu memasuki wuku Sinta.
Itulah sebabnya, mengapa jumlah wuku hanya ada tiga puluh, karena setelah wuku ketiga puluh berakhir, maka kombinasi hari enam-lima-tujuh akan kembali lagi seperti pada wuku pertama. Jadi, saya ulangi lagi, sistem hari tujuh yang asalnya dari India dikombinasikan dengan hari enam dan hari lima yang merupakan asli ciptaan Jawa, lalu dibuatkan nama-nama wuku-nya. Karena “kelipatan persekutuan terkecil” dari 6 dan 5 adalah 30, maka disusunlah nama-nama wuku sebanyak tiga puluh jenis.
Pada era Jawa Baru, sistem hari tujuh tidak lagi menggunakan nama-nama Sanskerta, melainkan menggunakan serapan bahasa Arab, yaitu Ngahad, Sĕnen, Sĕlasa, Rĕbo, Kĕmis, Jĕmuwah, dan Sĕtu. Nama-nama tersebut dikombinasikan dengan sistem hari lima yang lazim disebut “pasaran”. Contoh penyebutan kombinasinya ialah Ngahad Kliwon, Sĕnen Lĕgi, Sĕlasa Pahing, Rĕbo Pon, dan seterusnya. Apabila kombinasi hari tujuh (dina) dan hari lima (pasaran) melewati 35 hari, maka disebut dengan istilah “sĕlapan”. Misalnya, Kĕmis Wage saat ini hingga Kĕmis Wage berikutnya disebut “sĕlapan dina”.
Sementara itu, sistem hari enam pada era Jawa Baru lazim disebut “paringkĕlan”. Akan Tetapi, sistem ini sangat jarang digunakan, bahkan cenderung dilupakan. Karena sistem hari enam tidak lagi dipakai, maka pertanyaan “mengapa nama-nama wuku berjumlah tiga puluh” akan sulit dijawab oleh orang Jawa zaman sekarang.
Tentunya sayang sekali apabila kita sampai terputus dengan tradisi leluhur. Oleh sebab itu, di bawah ini saya sajikan tabel kombinasi nama-nama hari pertama dalam tiap wuku. Sengaja saya gunakan istilah “Minggu” agar lebih mudah dipahami oleh para pembaca modern. Misalnya, wuku Sinta dimulai pada hari Minggu-Pahing-Tungle; wuku Landĕp dimulai pada hari Minggu-Wage-Aryang; wuku Wukir dimulai pada hari Minggu-Lĕgi-Wurukung; dan seterusnya.
“Klungsu-klungsu waton uḍu”
Ditulis pada tanggal 11 Oktober 2020, hari Minggu-Kliwon-Wurukung, wuku Julungpujut.