Senin, 11 Juli 2022

SARWA SADAKA VERSUS TRISADAKA

 


Sejak 1999 di Bali muncul istilah Sarwa Sadaka sebagai cetusan keinginan kelompok-kelompok warga mendudukkan Sulinggih mereka sejajar dengan Pedanda (yang lebih populer sebagai Pendeta sejak zaman Dalem Waturenggong di abad ke-15). Kelompok ini menggunakan istilah Sarwa Sadaka sebagai counter Trisadaka.
Istilah Trisadaka sejak berabad-abad telah ditafsirkan keliru, jika mengacu pada Lontar Eka Pratama yang menyatakan bahwa tiga kelompok Sadaka adalah: Sadaka yang berpaham Siwa, Sadaka yang berpaham Bauddha (Boddha), dan Sadaka yang berpaham Mahabrahmana (Bujangga).
Kekeliruan tafsir itu terjadi karena Sadaka yang berpaham Siwa dan Bauddha terlanjur diterjemahkan sebagai Pedanda Siwa-Boddha. Keterlanjuran itu membuat gerah para sisia Pandita Mpu, Rsi, Bhagawan, Dukuh, dll. yang juga disyahkan sebagai Sulinggih yang berpaham Siwa. Yang dimaksud dengan berpaham Siwa adalah penganut Sekta Siwa Sidanta.
Penggunaan istilah Sarwa Sadaka sebagai counter Trisadaka dalam upaya menunjukkan eksistensi Pandita Mpu, Rsi, Bhagawan, Dukuh, dll.
Sebenarnya kurang tepat, karena pengertian Sarwa Sadaka dapat dirumuskan sebagai Semua Pendeta dari berbagai Sekta, kecuali kalau memang ada terkandung maksud di kemudian hari bila Sampradaya eksis sebagai Sekta, maka para Pendetanya mempunyai legitimasi yang sama dengan Sulinggih/ Sadaka yang ada sekarang.
Jika tidak demikian, istilah Sarwa Sadaka sebaiknya tidak digunakan, cukup dengan penegasan PHDI dalam bentuk bisama, bahwa yang dimaksud dengan Trisadaka adalah Sulinggih/ Sadaka yang berpaham Siwa, Boda, dan Bujangga.

Nirgunabrahma dan Sagunabrahma

 


Hindu memiliki referensi Naskah Suci yang banyak. Tuhan juga disebut dengan banyak nama. Jadi ada banyak list nama yang disematkan umat manusia kepada Beliau yang disebut Ia yang terpurba dan tanpa nama.
Nirgunabrahma dan Sagunabrahma sebenarnya hal yang tunggal dan satu kesatuan. Nirgunabrahma adalah Ia yang tanpa nama, tanpa sifat, tanpa kepribadian, tanpa attribute, tak terpikirkan===sedangkan Sagunabrahma adalah Ia yang dapat dipikirkan sebab memiliki nama ataupun sebutan jadi disini sekaligus bermakna memiliki sifat, kepribadian, attribute, dst., sehingga dapat digambarkan, disimbolkan, disebutkan, dicitrakan, dipikirkan, dst.
Kadang kita juga menyentuh ranah yang Nir atau Nihil itu dengan simbol. Misalkan saja orang bijaksana membuatkan simbol Acintya. Sehingga yang Acintyapun diusahakan untuk dapat dipikirkan.
Kita dibekali pengetahuan yang demikian akan tetapi kebanyakan orang ribut prihal sebuatan atau nama dari Tuhan. Inilah mengapa kita diajarkan untuk mampu melihat persamaan/kesetaraan pada segala hal yang tampak berbeda. Sutasoma juga mengajarkan hal yang sama selain itu ada banyak naskah suci di Nusantara sendiri yang demikian hingga sampai kepada Sebun Bangkung yang diwariskan Dhang Hyang.
Raditya edisi 280 ini ada wacana dari bapak Wijaya menjelaskan juga masalah sejarah Hindu yang sesuai kebenaran. Di foto adalah hanya satu halaman sebab ulasan beliau cukup detail jadi untuk menyimak selengkapnya bisa melihat di majalah tersebut. Sehingga dengan rasa hormat kepada redaksi majalah Raditya ini termasuk promosi dari saya supaya kita semua mendukung keberadaan Majalah Hindu. Kita sudah kehilangan Media Hindu dan ada banyak warta bernafaskan Hindu yang tumbang seiring waktu oleh karena kendornya daya beli kita karena penurunan kesejahteraan.

Jnana - Bhakti - Niskama Karma

 

Diajarkan dan diterangkan kepada kita bahwa ada 3 bentuk jalan untuk mencapai kesatuan atau yoga untuk bebas dari kemelekatan atau Moksa.
Jnana-Bhakti-Niskama Karma
Dengan jnana atau pengetahuan yang dilandaskan bhakti atau cinta dan pelayanan (love all serve all) yang murni, maka kita akan mampu menerapkan Niskama Karma atau bertindak tanpa motif ke-akuan dan tidak mengharapkan hasil dari perbuatan baik maupun merasa telah melakukan perbuatan baik.
Orang yang demikian disebut memiliki keyakinan yang mantap dan yang akan mampu membawanya kepada pembebasan atau keselamatan (salvation) dengan kata lain moksa bebas dari dualisme suka dan duka, hinaan dan pujian, dst., sebab ia akan dibimbing oleh atmanya secara langsung (Atharwa Weda 8.270) oleh karena ia bertolak dari yang baik menuju ke yang lebih baik.


Dewa (Dev)-Deus-Deo

 


Kata Tuhan dari bahasa Melayu adalah berakar dari kata Tuan. Kata Tuan atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Lord. Sehingga kata “Oh my Lord” diterjemahkan “Oh Tuhanku” dan dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) penyebutan Lord itu adalah Gusti. Manusia dari jaman dahulu hingga saat ini tidak akan pernah mempunyai ide yang sama dalam menjelaskan mengenai Tuhan yang dimaksud. Segala usaha manusia dalam mejelaskan dan mengerti tentang Tuhan sangat beragam. Sebab mereka dibekali sifat alam material yang beragam atau dwaita. Karena inilah disebutkan pola pikir dan sudut pandang tiap individu manusia itu sangat beragam atau bhinneka. Sehingga kecocokan tiap manusia juga tidak akan persis bisa sama untuk kesuluruhan, meski mereka saudara kembar sekalipun.
Sehingga disiplin ilmu mengenai manusia atau antropologi dan masalah psikologinya sebenarnya adalah sebuah ilmu yang mencoba mengurai dan mengklasifikasi hal yang sebenarnya tak terpikirkan dari fenomena manusia dan kompleksnya system sosialnya. Dhang Hyang Dwijendra sendiri juga membuatkan symbol untuk menggambarkan Tuhan yang Acintya. Sehingga hal yang acintyapun juga bisa dimaknai sangat beragam dan tentunya juga di masing-masing individu yang menyimak hal ini juga pasti mereka akan memiliki berbagai ide yang bisa digunakan dalam menjelaskan Acintya.
Maka disinilah kita diajarkan untuk mampu melihat sama dan tunggal (menyamakan persepsi) pada segala hal yang tampak berbeda dan bertentangan. Semboyan persatuan Bangsa Indonesia sendiripun berasal dari catatan naskah Sutasoma dimana Sang Mpu penyusunnya menyadari bahwa Hindu senantiasa menilai perbedaan pemahaman akan Dharma itu dalam kacamata seimbang “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Selain dari hal itu maka akan menyebabkan perselisihan tanpa akhir yang sebenarnya sangat konyol.
Rig Weda 8.58.2 menyatakan “Lihatlah Keekaan dalam kebhinekaan; lihatlah Wujud Tunggal Ilahi di balik wujud-wujud yang tampak berbeda” pada dasarnya penjelasan tentang adanya keragaman dalam keyakinan adalah juga bisa dijawab sloka ini. Jadi semua hal terlihat terbagi-bagi oleh kita padahal itu semua adalah tunggal adanya seperti yang juga tersirat di Bhagawad Gita 13.16.
Tradisi untuk berbeda pandangan
Di dalam Hindu kita memiliki tradisi untuk berbeda pandangan. Kita semua tidak mungkin memiliki pandangan yang sama atas segala konsep. Apa yang penulis paparkan disini sudah barang tentu bisa diperdebatkan dengan pandangan yang berbeda meski demikian sudah pasti apa yang penulis paparkan bisa diambil sebagai inspirasi untuk membentuk pandangan atau ide sendiri.
“Nana Matam Maharsinam Sadhunam Yoginam Tatha”
Para Maharsi, Orang Suci dan Yogi sekalipun melalui proses perbedaan pendapat atau perdebatan
-Astawakra Gita 9.5-
Karena kita berada pada dunia yang terikat hukum dwaita yang pasti berlaku maka untuk memiliki pemikiran dan pandangan yang berbeda atas satu konsep yang sama adalah sangat wajar. Wrshaspati Tattwa menyebut mengenai sekolompok orang buta yang meraba Gajah, hal ini tentu adalah suatu pengingat bagi kita yaitu sebagai para pencari kebenaran (Dharma) supaya tidak mengedepankan Ego yang malah akan menjerumuskan kita pada pertengkaran dan bukan kepada pencerahan atau untuk menuai inspirasi dari perbedaan pendapat yang muncul dari hasil rabaan kita atas kebenaran yang sama. Sebuah gunung yang sama sangat umum terlihat terletak pada posisi berbeda-beda dari posisi masing-masing kelompok pendaki yang datang memulai dari arah berbeda.
Ajaran Hindu mengajarkan kita untuk memandang golongan yang memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda sebagai Maitrah yang artinya Mitra, Rekan, Kerabat, Kawan, Sahabat, dan Saudara bukan sebagai musuh ataupun sebagai orang kafir.
“Wahai Tuhan yang Maha Agung, berkahilah kita supaya selalu dipandang sebagai mitra, dan kitapun memandang semua sebagai mitra; semoga senantiasa terjalin hubungan harmonis Antara kita semua!”
-Yayur Weda 36.18-
“Ia satu adanya… Semua jalan menuju padaNya; Ia tunggal adanya.”
-Sama Weda Soma Pavana 372-Rig Weda 9.62.27-
“Bagaimanapun perjalan manusia mendekatiKu, Aku terima, wahai Arjuna. Manusia mengikuti jalanKu dalam segala jalan.”
-Bhagawad Gita 4.11-
“Aku adalah sama bagi semua mahluk; bagiKu tiada yang terbenci dan terkasihi; tetapi mereka yang berbakti kepadaKu dengan penuh pengabdian, mereka ada padaKu dan Aku ada pada mereka.”
-Bhagawad Gita 9.29-
“Hendaknya hati kita dalam kesetaraan dan persatuan.”
-Rig Weda 10.191.4-
“Berkaryalah demi kejayaan bangsa dan sesama anak bangsa,Walaupun mereka berbeda Bahasa. Hormatilah kepercayaan dan harapan mereka semua secara sebanding.”
-Atharwa Weda 12.1.45-
“Perlakukan orang lain sebagaimana kamu memperlakukan diri sendiri. Semua adalah percikan dari sang Jiwa Agung yang satu dan sama.”
-Yayur 40.6-
Juga berdasarkan sloka tersebut kita bisa mengetahui dengan jelas bagaimana pandangan kita sebagai Hindu menyingkapi keyakinan lain dan atau orang lain yang berbeda pandangan ataupun tradisi atau budaya. Hindu menyadari keragaman adalah nafas penciptaan sehingga nilai-nilai dorongan kesadaran untuk bersatu dalam keragaman hanya bisa ditemukan atau berasal dari Hindu. Hindu sebagai sebuah kelompok para pencari tidak bertujuan mengkonversi keyakinan orang, bahkan istilah konversi dan murtad oleh karena keluar dari kelompok Hindu tidak pernah disebut, mereka yang merasa dirinya sebagai orang yang sedang berusaha mencari kebenaran akan tiba dan datang dengan sendirinya kepada pelukan Hindu. Selain itu adalah tidak wajar bila seorang ibu mengadopsi anak kandungnya kembali. Oleh karenanya di Hindu tidak ada doktrin mengkonversi orang sebanyak-banyaknya.
“Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”
-Sutasoma 139.5-
Hanya ada satu yang bisa disebut sebagai ambisi dalam Hindu yaitu “Hidup Dalam Berkesadaran Sang Diri Utama atau Narayana” dalam kata lain adalah mampu untuk melihat sama atas segala hal sebagaimana makna dari sebutan manusia yaitu untuk mampu senantiasa menyadari persamaan atau untuk memiliki sifat manusiawi. Disinilah pentingnya untuk kita mengatahui bahwa segala keyakinan ini ada dalam satu perahu yang sama. Maka hendaknya adanya perbedaan pandangan itu bukan dijadikan bahan olok-olokan atau perselisihan (pertengkaran). Kita harus mampu berusaha untuk menyatukan persepsi kita yang bhinneka ini.
A.W. Sudewa Rendi
Vajrapani

SETIAP ORANG ADALAH SUDRA SEJAK LAHIR

 


viprad dvi-sad-guna-yutad aravinda-nabha-
padaravinda-vimukhat svapacam varistham
manye tad-arpita-mano-vacanehitartha-
pranam punati sa-kulam na tu bhurimanah
Jadi vipra berarti orang yang sepenuhnya menguasai pengetahuan Veda. Dia disebut vipra. Untuk peningkatan spiritual ada tahapan evolusi bertahap. Jadi tahap vipra adalah sebelum menjadi brahmana yang berkualitas. Itu disebut vipra. Tahap pertama, sejak lahir setiap orang adalah sudra. Sudra artinya terpengaruh oleh kesengsaraan dunia ini. Dia sudra. Socati. Kondisi materialnya penuh dengan kegelisahan, maka siapapun yang penuh kecemasan, dia sudra. Jadi jika Anda menganalisis masyarakat saat ini, yang bukan kecemasan, penuh kecemasan, oh, tidak ada yang akan mengatakan bahwa "Saya tidak penuh kecemasan." "Saya memiliki begitu banyak kecemasan." Jadi itu artinya dia adalah seorang sudra. Kalau sudra-sambhavah : "Di zaman ini, semua orang terlahir sudra ." Itu sudah bisa dipastikan.
Seorang brahmana tidak takut . Dia tidak cemas karena dia bergantung pada Tuhan. Dia tahu bahwa "Aku telah berserah sepenuhnya kepada Tuhan, dan Dia Mahakuasa. Oleh karena itu aku tidak memiliki kecemasan."
Jadi untuk mencapai platform keyakinan atau kesadaran Krishna (Tuhan), ada pelatihan. Pelatihan itu disebut viddhi-marga , prinsip pengaturan, mengikuti prinsip pengaturan. Jadi keseluruhan sistem varnasrama ini, sistem Weda, kasta yang berbeda - brahmana , ksatriya , vaisya , sudra , seorang brahmacari, grhastha, vanaprastha, sannyasa - semuanya dirancang dengan sangat ilmiah untuk mengangkat seseorang secara bertahap ke standar "tidak ada rasa takut", "rasa ketidak takutan", "tidak ada lagi rasa takut, percaya diri. Jadi vipra hanya berarti tahap sebelumnya dari menjadi seorang brahmana sepenuhnya.
Janmana jayate sudrah: "Saat lahir, setiap orang dilahirkan sebagai seorang sudra ." Samskarad bhaved dvijah: "Ketika dia pergi ke guru spiritual dan guru spiritual menginisiasinya, pada saat itu lah kelahiran keduanya, dvija." Dvija. Burung disebut juga dvija karena mereka melahirkan dua kali .
Begitu mereka datang sebagai telur, bentuk lahir di dalam telur, dan kemudian, ketika mereka keluar dari telur dan cangkangnya, memecahkan cangkang dan keluar, itulah kehidupan nyata. Demikian pula, kita berada di dalam telur, di dalam cangkang ketidaktahuan. Jadi ketika kita keluar dari cangkang ketidaktahuan, itulah kelahiran kedua kita. Kelahiran pertama oleh ayah dan ibu, dan kelahiran kedua oleh guru spiritual dan pengetahuan Veda . Ada juga ibu. Pengetahuan Veda adalah ibu, dan guru spiritual adalah ayahnya. Jadi samskarad bhaved dvijah .
Guru spiritual melatih siswa secara bertahap, itu disebut inisiasi (dvijati). Janmana jayate sudrah : "Dengan lahir dari ayah dan ibu, setiap orang adalah sudra ." Tidak peduli dimana dia dilahirkan, bukan hanya di India saja mereka adalah brahmana, ksatriya, vaisya, sudra. Dimana mana. Ada sepuluh jenis samskara, asrama pendidikan. Sistem Weda ini adalah sistem yang sangat ilmiah untuk mengangkat umat manusia menuju kesempurnaan tertinggi dalam hidup.
Jadi samskarad bhaved dvijah . Kemudian, ketika samskara diberikan, guru spiritual melihat bahwa " Anak laki-laki ini sekarang kompeten untuk mempelajari Veda…" Itu membutuhkan sebuah kualifikasi. Seorang sudra tidak diperbolehkan mempelajari Weda. Ada batasan. Terkadang mereka berpikir ketidakadilan, bahwa "Mengapa sudra tidak boleh bla bla... ?" Itu adalah konvensi modern. Sebenarnya itu sangat bagus. Apa seorang sudra bisa memahami Veda? Bagi para sudra, jenis ilmu pengetahuan yang berbeda… Sama seperti hal yang sama, bahwa dua tambah dua di kelas bawah berbeda dengan dua tambah dua di matematika yang lebih tinggi. Jadi sudra tidak bisa mengerti.
Jadi seseorang harus menjadi brahmana, vipra setidaknya, dvija, kelahiran dua kali melalui inisiasi. Kemudian dia diizinkan untuk belajar. Kemudian dia akan dapat memahami bahasa… Bukan ketidakadilan bahwa sudra bukanlah… Sama seperti… Sistem di negara kita, di Indonesia, orang yang bukan lulusan, dia tidak diizinkan untuk mempelajari hukum. Kalau ada yang mau kuliah hukum, mau masuk fakultas hukum harus lulusan dulu, minimal SMA. Kalau tidak, tidak bisa. Jadi jika seseorang berkata, "Ini ketidakadilan," mengapa? "Setiap orang harus lulus tahapan terlebih dahulu."
Semua orang tidak bisa mengerti. Demikian pula, tanpa diinisiasi oleh guru spiritual yang tepat, tidak ada yang bisa mengerti. Veda tidak seperti itu: Anda membeli sebuah buku, Bhagavad-gita atau Bhagavata, dan belajar di rumah, dan Anda belajar. Oh, tidak mungkin hanya dengan membeli beberapa buku kedokteran dan belajar di rumah anda tidak bisa menjadi seorang dokter, tenaga medis. Itu tidak mungkin. Anda juga tidak bisa menjadi pengacara. Buku-buku tersebut tersedia di pasar, tetapi bukan itu prosesnya. Anda harus masuk sendiri di sebuah institusi, mengambil pelajaran dari profesor, harus menghadiri kelas kuliah, setidaknya tujuh puluh lima persen. Kemudian Anda diizinkan untuk duduk dalam ujian.
Jadi prosesnya bertahap… Kelahiran pertama adalah sudra, siapapun. Tidak masalah. Bahkan jika dia terlahir dari seorang ayah brahmana , dia dianggap seorang sudra. Jadi, dengan inisiasi, dia menjadi dvija, kelahiran kedua. Kemudian dia diizinkan untuk mempelajari literatur Veda, dan ketika dia fasih dengan studi literatur Veda, dia disebut vipra. Dan ketika seseorang telah menjadi vipra - karena itu hanyalah tahap sebelumnya dari menjadi seorang brahmana - ia memperoleh dua belas jenis kualitas. Satya-sama-dama-titiksa. Kualitas pertama adalah kejujuran. Kualitas kedua adalah mengendalikan indera. Mengontrol pikiran. Sama-dama-titiksa, menjadi sangat toleran; arjava , sangat sederhana; penuh pengetahuan; penuh dengan teisme; begitu banyak kualitas . Kualitas ini disebutkan. Jadi di sini Prahlada Maharaja berkata, viprad dvi-sad-guna-yutat . Ketika seseorang adalah vipra , itu berarti dia telah mendapatkan semua kualitas baik, kualitas material yang baik. Dia jujur. Dia fasih dengan ilmu agama. Dia tahu apa itu Tuhan, apakah Brahman itu. Dia mengendalikan diri. Dia tidak sensual. Begitu banyak kualitas bagus.

Pengertian MEDWIJATI menurut sastra.

 


Pengertian MEDWIJATI menurut sastra. Agar bisa menjadi DWIJATAMA perlu pelatihan-pelatihan.
Vipra berarti orang yang sepenuhnya menguasai pengetahuan Veda.
Yi sebelum menjadi brahmana yang berkualitas.
Tahap pertama, sejak lahir setiap orang adalah sudra, artinya terpengaruh oleh kesengsaraan dunia ini. Dia sudra. Socati.
Pelatihan itu disebut viddhi-marga , prinsip pengaturan.
Jadi keseluruhan sistem varnasrama ini, sistem Veda.
Kasta brahmana , ksatriya , vaisya , sudra , seorang brahmacari, grhastha, vanaprastha, sannyasa - semuanya dirancang dengan sangat ilmiah untuk mengangkat seseorang secara bertahap ke standar "tidak ada rasa takut" tapi percaya diri.
Jadi vipra hanya berarti tahap sebelumnya dari menjadi seorang brahmana sepenuhnya.
Janmana jayate sudrah: "Saat lahir, setiap orang dilahirkan sebagai seorang sudra ."
Samskarad bhaved dvijah: "Ketika dia pergi ke guru spiritual dan guru spiritual menginisiasinya, pada saat itu lah kelahiran keduanya, dvija." Dvija.
Seperti burung, lahir di dalam telur kemudian keluar dr cangkangnya, itulah kehidupan nyata. Demikian pula, kita berada di dalam cangkang ketidaktahuan.
Kelahiran pertama oleh ayah dan ibu (Veda), dan kelahiran kedua oleh ayah (guru spiritual).
Jadi samskarad bhaved dvijah .
Guru spiritual melatih siswa secara bertahap, itu disebut inisiasi (dvijati). Janmana jayate sudrah : "Dengan lahir dari ayah dan ibu, setiap orang adalah sudra ."
Seorang sudra tidak diperbolehkan mempelajari Weda.
Ada batasan. Terkadang mereka berpikir ketidakadilan.
Mengapa? "Setiap orang harus lulus tahapan2 terlebih dahulu."
Dengan inisiasi, dr guru spiritual dia menjadi dvija, kelahiran kedua. Kemudian dia diizinkan untuk mempelajari literatur Veda, dan ketika dia fasih dengan studi literatur Veda, dia disebut vipra.
Ketika seseorang telah menjadi vipra, ia memperoleh dua belas jenis kualitas. Satya-sama-dama-titiksa. Kualitas pertama adalah kejujuran, mengendalikan indera. Mengontrol pikiran. Sama-dama-titiksa, menjadi sangat toleran; arjava , sangat sederhana; penuh pengetahuan; penuh dengan teisme;
Jadi di sini Prahlada Maharaja berkata, viprad dvi-sad-guna-yutat . Ketika seseorang adalah vipra , itu berarti dia telah mendapatkan semua kualitas baik, kualitas material yang baik. Dia jujur. Dia fasih dengan ilmu agama. Dia tahu apa itu Tuhan, apakah Brahman itu. Dia mengendalikan diri. Dia tidak sensual. Begitu banyak kualitas bagus.

RISHI MENCOBA MEMAHAMI VEDA

 


Hiduplah seorang Bijaksana bernama Bharadvaja resi (Ayah dari Dronacarya).
Beliau memiliki keinginan yang kuat untuk menguasai pengetahuan Veda.
Tapi Dia tahu bahwa dia bisa hidup hanya untuk maksimal seratus tahun.
Jadi dia melakukan banyak pertapa'an untuk menyenangkan Dewa Indra.
Dewa Indra pun muncul di hadapannya dan sang resi meminta kepada dewa Indra, “Tolong berikan saya seratus tahun lebih sehingga saya bisa menyelesaikan mempelajari tiga Veda”.
Dewa Indra mengatakan,”thathasthu (seperti keinginan anda)”. Kemudian resi Bharadvaja mempelajari Veda terus menerus.
Ketika pada akhir 100 tahun-nya mendekat, dia kembali berdoa kepada Dewa Indra dan dan meminta hidup 100 tahun lebih lagi. Dewa Indra pun memberikanya lagi.
Dengan cara ini ia lakukan perpanjangan umur 100tahun karunia dari Dewa Indra sebanyak lima kali.
Ketika ia berdoa lagi kepada Dewa Indra untuk umur panjang lebih lanjut, Dewa Indra muncul di hadapannya dan ia memutuskan untuk menginstruksikan resi tersebut.
Dia mengucapkan tiga vyahritis “Bhuh”, “Bhuva”, dan “svah” dan menciptakan tiga gunung besar.
Ketika Resi Baradvaja melihat tiga gunung besar itu dia pun berpikir, “Mungkin ini merupakan Wujud dari tiga Ilmu Pengetahuan Veda yang sudah saya kuasai.
Tiga gunung ini mungkin mewakili penguasaan saya atas tiga Veda yang saya Pelajari”.
Yang mengejutkan sang Resi adalah ketika Dewa Indra mengambil sedikit lumpur dari setiap gunung dan menjadikanya dalam segenggam.
Dewa Indra pun berkata kepada orang bijak Rsi Baradvaja, “wahai resi yang terhormat "Ini adalah apa yang Anda pelajari dari tiga Veda tersebut dan Sisanya tiga gunung tersebut adalah apa yang perlu Anda ketahui.
dan untuk mengetahui Sisanya Itu dapat mengambil banyak-banyak kehidupan untuk melakukan Pengetahuan ini”.
Resi Baradvaja sangat terkejut. Dia berpikir, “Saya sudah memperpanjang visa saya sebanyak 5 kali untuk tinggal di sini sehingga saya dapat menyelesaikan tiga Veda.
masih saya hanya mempelajari nya sangat sedikit. Itu berarti Veda tidak akan dapat sepenuhnya dipelajari oleh siapa pun”.
Kemudian ia meminta petunjuk Dewa Indra apa yang harus dilakukan.
Dewa Indra mengatakan, “Kitab Suci Veda tidak terbatas. Kecuali Sri Visnu, tidak ada yang bisa mengetahui Veda sepenuhnya. Yang terbaik adalah untuk mengetahui tujuan dari semua Veda. Tujuan dari semua Veda adalah Tuhan Hari. selalu Meditasi dengan selalu mengingat Kepada-Nya itu akan memenuhi tujuan dari semua Veda”.
Kemudian resi Baradvaja pergi ke mattapalli (tempat di Andhra Pradesh), mensucikan diri dengan mandi di sungai Gangga dan mulai memusatkan hati dan pikiran kepada Tuhan Narasimha. Karena terpuaskan oleh meditasi Resi Baradvaja, Tuhan Narasimha pun muncul dan menganugerahkan kepadanya tempat tinggal di Laksmi-Narashimha Loka.
PESAN MORAL DALAM CERITA:
Biasanya para murid yang mempelajari Veda dan kemampuan seseorang untuk membaca Sloka-Sloka Veda dengan pengucapan yang sempurna akan diambil sebagai kualifikasi untuk mempertimbangkan seseorang untuk menjadi “spiritual”.
Bagaimanapun kualifikasi untuk studi Veda dan kemampuan seseorang untuk membaca mereka tidak sama pentingnya dengan memahami Tuhan Yang Maha Agung yang merupakan tujuan dari Veda.
Karena ketika seseorang memahami Tuhan Krishna yang merupakan tujuan dari Veda semua pengetahuan Veda diturunkan padanya.
Sebaliknya meskipun jika seseorang tahu semua Veda, tidak ada jaminan bahwa dia akan memahami Personalitas Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan rahmat Tuhan Sendiri maka bisa kita memahami-Nya.
Dan tidak mungkin bagi setiap orang untuk mempelajari Veda sepenuhnya. Karena dikatakan ,”vedo vai anantah” (Veda tidak terbatas).
Jadi tujuan dari semua Veda adalah untuk Mengetahui Personalitas Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan Tujuan dari Veda.
Krishna menegaskan hal ini dalam Gita Bab 15.15 dengan mengatakan,
“vedais ca sarvair aham eva vedyah
vedanta-krd veda-vid eva caham