Sang Hyang Kamahayanikan telah ditulis pada permulaan era Jawa Timur dalam masa Mpu Sindok. Inilah bukti tekstual pertama yang menggambarkan eksistensi agama Siwa-Buddha di Indonesia. Mpu Sindok merupakan pendiri dinasti Isana yang berjaya dalam kerajaan Kadiri pada tahun 930 Masehi. Mpu Sindok pemeluk agama Siwa, namun kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang bersifat Buddhistik lahir di dalam masa pemerintahannya. Hal ini memperlihatkan betapa dua agama ini mendapat tempat yang sama di dalam kehidupan kerajaan. Mpu Sri Shambhara Surya Warama dari Wanjang dikatakan telah merevisi buku panduan kaum Mahayana ini, pada masa pemerintahan Mpu Sindok. Pengarang ini juga dikatakan menulis buku Wajra-dhatu Subhuti-tantra. Buku ini merupakan buku favorit raja Kertanegara yang terkenal mempraktekkan ajaran Wajrayana. Peranan raja Mpu Sindok penting karena melahirkan guru Tantrik Mpu Sri Sambhara Surya Warama dari Wanjang.
Kitab Sang Hyang Kamahayanikan mengatakan: Buddha tunggal lawan Siwa, yaitu Buddha dan Siwa adalah satu. Ungkapan ini mencerminkan persamaan (equation) Siwa dan Buddha. Persamaan ini bahkan sudah terjadi pada bidang metafisika, yaitu prinsip tertinggi pada masing-masing agama. Prinsip tertinggi diwujudkan dalam konsep dewa-dewa sebagai emanasi konsep atau prinsip tertinggi. Penggunaan istilah "sunya", "nirbana" (nibbana), "kaivalya" sering dijumpai pada teks-teks ajaran Buddha dan istilah-istilah ini berkolaberasi dengan ajaran Siwa. Kedua agama ini menggunakan istilah-istilah yang sama di dalam mengungkapkan sejumlah prinsip metafisika yang sama. Persamaan ini tidak hanya pada tataran metafisika seperti ungkapan di atas, persamaan terjadi dalam hal pengunaan atribut, busana, beberapa puja stawa pendeta Siwa dan pendeta Buddha. Penggunaan sampet, bhasma, ghanta, bija dan lain-lain memperlihatkan persamaan ini.
Kitab Sang Hyang Kamahayanikan disusun oleh Mpu Sri Sambhara Surya Warama digolongkan ke dalam teks yang bercorak Tantrik yang menguraikan tentang mandala, samadhi, latihan, pernafasan, perbandingan antara bermacam-macam Buddha dan Dewinya, nama-nama aliran dan ajarannya serta perwatakan, tempat, warna, dan sikap tangan dewa agama Buddha tertentu. Kitab ini juga berisi lima pokok landasan agama Buddha:
1. Mengakui Sang Tri Ratna (Buddha, Dharma, Sangha).
2. Mengakui Empat Kesunyataan Mulia (Catur Arya Satyani) dan Arya Beruas Delapan (Asta Nyhika Marga).
3. Mengakui tiga corak universal.
4. Mengakui Pratityasamutpada (hukum kejadian yang saling bergantung), dan
5. Mengakui Karma (Parwakarma dan Karmaphala) dan tumimbal laksi.
Perpaduan ini melahirkan corak Buddha Mahayana Tantrayana yang sangat khas dan bisa diwujudkan dalam bentuk fisik, seperti candi Barabudur dan bentuk ritual upacara agama. Tantrayana sebagai paham filsafat dan agama mengajarkan Panca "MA" (Mamsa, Matsya, Mada, Maithuna, Mudra), yaitu suatu praktek agama pembebasan melalui kekuatan magis. Penempatan Panca Tathagata di dalam urutan-urutan di candi Barabudur memperlihatkan bahwa konsep ini tidak jauh berbeda dengan Panca Brahma di dalam ajaran Hindu (Siwa Siddhanta). Panca Brahma atau Panca Dewata menempati tiap-tiap arah mata angin dengan lambang aksara tertentu yang disebut Panca Aksara. Perpaduan antara Panca Brahma dan Panca Aksara ini melahirkan formula: Na Ma Si Wa Ya, yang sangat disucikan oleh pemuja Dewa Siwa. Bangunan candi yang terdiri dari tiga bagian: Kama Dhatu, Rupa Dhatu, dan Arupa Dhatu paralel dengan konsep Tri Bhuana atau Tri Loka di dalam ajaran Hindu: Bhur Loka, Bhwah Loka dan Swah Loka.
Dari kitab Sang Hyang Kamahayanikan kita dapat mengetahui bahwa inti ajaran Tantrayana itu berpusat pada Panca Tathagata, karena melalui Panca Tathagata inilah yogi dapat mensucikan pikirannya menjadi jñana, dan dengan demikian dapat mencapai ke-buddha-an. Sehubungan dengan petunjuk ini, maka disamping unsur yang tersirat dalam relief Gandavyuha dan Bhadracari yang telah menunjukkan Tantrayana, unsur itu tentunya juga akan ditunjukkan oleh pantheonnya.
Sang Hyang Kamahayanikan, lebih menitik beratkan ajaran Tantrayana. Kemampuan untuk memadukan Mahayana dengan Tantrayana melalui pemaduan terhadap berbagai kitab sucinya serta kemudian merangkumnya dalam rilief dan arca menjadi satu candi, menunjukkan kegeniusan arsitek, acarya candi Barabudur. Perlu kiranya diungkapkan di sini bahwa pemaduan sebagaimana ditunjukkan oleh candi Barabudur, serta pemilihan dan urutan-urutan penyajiannya, belum pernah diketemukan di mana pun di dunia ini. Demikian pula halnya sintesa antara Mahayana dengan Tantrayana dirangkum dalam satu kitab sebagaimana yang diwujudkan Sang Hyang Kamahayanikan merupakan sebuah keunikan.
Di dalam kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang Buddhistik menguraikan Panca Aksara yang disebut sebagai Panca Tathagatha, yaitu Ah, Hum, Tram, Rih, A, yang tiada lain adalah Skandha atau Sarira (badan). Lebih lanjut disuratkan: "Ah-kara wijaksara danghyang Wairocana, Hum-kara wijaksara danghyang Amoghasiddhi, Tram-kara wijaksara danghyang Ratna Sambhawa, Rih-kara wijaksara danghyang Amithaba, A-kara wijaksara danghyang Amoghasiddhi. Nahan wijaksaramijlaken Panca Buddha" (Ahkara adalah aksara suci danghyang Wairocana, Humkara adalah aksara suci danghyang Amoghasiddhi, Tramkara adalah aksara suci danghyang Amithaba, Akara adalah aksara suci danghyang Amoghasiddhi). Kitab ini juga mengatakan bahwa Buddha tunggal dengan Siwa. Jika kita baca kitab Wrehaspati Tattwa yang Siwaistik kita akan melihat bahwa Hyang Sadasiwa berbadankan Isana, Tatpurusa, Aghora, Bamadewa dan Sadyojata. Konsep pengider-ideran di Bali juga dikenal dengan Wija Aksara Panca Aksara. Sadyojata (Wijaksara Sa di Timur), Bamadewa (Ba di Selatan), Tatpurusa (Ta di Barat), Aghora (A di Utara) dan Isana (I di Tengah).
Apa yang dapat kita pelajari dari sini bahwa keduanya baik ajaran Siwa maupun Buddha Mahayana menempatkan Yang Tunggal yang disebut Siwa atau Buddha berada di tengah-tengah bunga padma/teratai dengan kelopaknya menunjukkan mata angin yang ditempati oleh dewa-dewa atau Tathagatha. Yang Maha Gaib, Halus ditempatkan di tengah-tengah pusat kesadaran padma yang disimbulkan dengan padma sana dan padma hredaya yang ada di dalam diri. Beliau ada di pusat kesadaran dunia dan makhluk hidup.
Padmasana: Panca Brahma, Panca Tathagata dan Panca Aksara. Kedua Bhatara Siwa dan Buddha bersatu di dalam Padmasana. Penyatuan ini melalui proses yang panjang. Tantrayana berjasa besar di dalam upaya penyatuan ini. Setelah keduanya mendapatkan pengaruh ajaran Tantra, yaitu suatu ajaran yang menekankan pada kekuatan magis melalui sadhana Panca Tattwa, keduanya menyatu dan sehingga menjadi Siwa-Buddhagama. Padmasana dikatakan sebagai sthana Siwa dan Buddha. Di hadapan Padmasana ini pemuja, bhakta Siwa dan Buddha bersujud menghaturkan sembah, puja dan bhakti. Di dalam teks-teks baik yang bercorak Siwaistik maupun Buddhistik banyak ditemukan ungkapan yang menyatakan bahwa Bhatara Siwa dan Bhatara Buddha ber-sthana di atas Padmasana.
Panca Brahma merupakan lima wujud Bhatara Siwa yang telah mendapatkan pengaruh Maya Tattwa. Panca Brahma boleh juga disebut Panca Siwa. Brahma di sini dimaknai sebagai Siwa, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam tataran Sada Siwa, beliau dilukiskan ber-sthana di atas Padmasana.
Sampai di sini kita melihat bahwa konsep Panca Brahma di dalam Siwa Tattwa bukanlah sekedar sebuah konsep metafisika yang sangat abstrak namun bisa diwujudkan ke dalam bentuk fisik, seperti bunga, banten, pelinggih (bangunan) Padmasana dengan segala jenis dan namanya, organ-organ tubuh, warna, rasa, dan masih banyak lagi. Konsep ini menjadi semakin nyata manakala kita mampu merasakan dan menghadirkan di dalam diri kita melalui usaha-usaha kesucian dan yoga dimana sebagai landasannya adalah ajaran Yama dan Niyama Brata sebagai fondasi bangunan yang disebut yoga.
Di dalam ajaran Buddha Mahayana atau Mantrayana seperti tersirat di dalam kitab Sang Hyang Kamahayanikan konsep Panca Brahma tersebut identik dengan konsep Panca Tathagata, yaitu Wairocana dengan wijaksara Ah, Aksobhya dengan wijaksara Hum, Ratnasambhawa dengan wijaksara Tram, Amitabha dengan wijaksara Hrih dan Amoghasiddhi dengan wijaksara A. Kelima Bhatara ini juga disebut Bhatara Sarwajña. Hakikat Panca Tathagata dalam Pancadhatu: Wairocana adalah pertiwi, Amitabha adalah teja, Ratnasambhawa adalah apah, Amoghasiddhi adalah bayu, dan Aksobhya adalah akasa. Pancadhatu adalah elemen semua makhluk hidup. Panca Tathagata Jñana dalam kitab di atas adalah: Saswata jñana adalah pikiran yang teguh, Wairocana; Adarsana jñana adalah pikiran yang terang, Aksobhya; Akasamata jñana, pikiran yang bagaikan ether, Ratnasambhawa; Pratyaweksana jñana, adalah pengamatan, Amitabha, dan Krtyanusthana jñana, pikiran yang terpusat pada tindakan, Amoghasiddhi.
Di dalam stawa pemujaan kepada Bhatara Panca Tathagata masing-masing Buddha mempunyai kebijaksanaan, warna, gerak tubuh (mudra), singgasana, kediaman, aktivitas, penyerta, suku kata suci (wijaksara) dan lain-lain.