Senin, 11 Juli 2022

FAKTA Swami Vivekananda

 


bukan Hindu sebagai Ibu, tapi ada nilai universal dari setiap agama termasuk Hindu.
Nilai Universal Dalam Semua Agama.
.
Seluruh sistem agama memiliki ide bahwa manusia ingin mencapai kesucian dan kesempurnaan. Agama bukanlah yang terdapat di dalam doktrin-doktrin yang dibaca dan dogma-dogma yang dipercayai, tetapi adalah apa yang dirasakan, yaitu keselamatan.
.
Daya untuk mencapai keselamatan terdapat dalarn diri manusia. Akhir seluruh agama adalah menyadari Tuhan di dalam jiwa. Itulah agama universal.
.
Jika dalam selunrh agama terdspat safu kebenaran yang universal, maka menyadari Tuhan adalah kebenaran tersebut. Ideal dan caranya bisa berbeda-beda, namun kesadaran itulah titik utamanya.
.
Seluruh unsur agama yang fundamental tersebut digambarkan oleh
Vivekananda sebagai Agama Universal. Dia mengatakan:
"Agama Universal adalah agama yang tidak memiliki tempat atau waktu tertentu, agama yang tidak terbatas.
Agama yang akan menerangi para pengikut Krishna dan Kristus, juga menyinari orang-orang suci maupun yang berdosa.
Agama yang tidak akan menjadi Brahmanis atau Buddhis, Kristen atau Islam, tetapi adalah keseluruhan dan semuanya.
Agama yang dalam keseluruhannya akan merangkul setiap manusia dalam tangannya dan memberikan tempat bagi setiap manusia".
.
Dipetik dari SyaifanNur, 2002, SWAMI VIVEKANANDA (1863-1902): REFORMER HINDUISME MODERN, Jurnal Religi, Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2002: 22-39

Disinilah uniknya ajaran sanata dharma bahwa semua adalah tuhan. Sarwam kaliwadam brahman.
Rgveda II. 1.3.4.11
Tvamagna indro vrsabhah satamasi Tvam visnur urugayo namasyah Tvam brahma rayivid brahmanaspate Tvam vidhartah sacase purandhya (3). Tvam agne raja varuno dhrtavratas Tvam mitro bhavasi dasma idyah, Tvamaryama satpatiryasya sambhujam Tvamamso vidhate deva bhajayuh (4). Tvam agne aditir deva disuse Tvam hotra bharati vardhase gira, Tvamila satahimasi daksase Tvam vrtraha vasupate sarasvati (11)
Artinya: Engkau adalah agni, Indra, pahlawan dari semua pahlaawan. Engkau adalah Visnu, yang langkahnya agung yang hamba puja. Engkau adalah Brahmanaspati, brahma yang memiliki seluruh kekayaan, engkau menyangga segala yang hamba cintai dan memohon kebijaksanaan (3)).
Engkau adalah Agni , engakau adalah maharaja Varuna, penguasa hukum yang sangat adil. Engkau adalah Mitra, pekerja yang mengagumkan yang hamba puja. Engkau adalah Aryama, devata para pahlawan yang menambahkan kekayaan kepada semua orang. Engkau Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud-Mu sebagai Amsa yang bebas dalam persidangan agung (4).
Ya Tuhan Yang Maha Esa , engkau adalah Agni, Aditi devata yang menerima persembahan kami. Engkau adalah Hotra Bhatari, Pandita Agung dan Dewi kebudayaan, engkau adalah yang diagungkan oleh ribuan umat mausia dimusim salju. Engkau adalah penganugrah kekayaan, pembunuh raksasa Vrtra, dan Sarasvati, dewi ilmu pengetahuan dan kebijakan.

Memahami Weda

 


Saya sendiri memahami WEDA ibarat pertiwi, menghidupi segala macam tanaman/tumbuhan yg hidup drnya. Ada yg berbuah: manis, masam, pahit, dsb. Ada yg berbunga, berdaun, berakar atau batangnya yg memiliki kegunaan beragam. Semuanya tumbuh dg mengambil sari2 dr tanah pertiwi. Semuanya dinutrisi oleh tanah ibu pertiwi.
Demikianlah Weda, dipelajari, dipraktekkan dan dibudayakan oleh berbagai kalangan, masyarakat, suku dsb... menghasilkan Budaya, Tata cara, adat istiadat dan tradisi yg beragam. Semuanya bersumber dr WEDA (yg sangat luas san berkembang mencakup semua ilmu kehidupan).
Artinya Weda bukan hanya milik suatu agama, apalagi mengatakan milik agama Hindu, sangat keliru. Tp Hindu adlh salah satu penganut Weda.
Dharma adlh esensi Weda, dan semua yg tercopta taat pada Dharma.

Bila ingin SANTOSA tingkatkanlah kualitas diri (Sauca) melalui Tapa, Swadyaya dan Isvarapramidana Sesuai tradisi Atangga Yoga

 


Sebelum diksa diawali dengan menerapkan 5 pantangan, dalam arti mengendalikan sifat sifat buruk menuju Tri Kaya Parisudha dan meningkatkan Satwika.
Tentang waktu nya minimal selama 3 bulan.
Dan baru dilanjutkan dengan Diksa.
Setelah diksa ini dilanjutkan dengan menyepi bertapa selama sekitar 42 hari untuk menemukan kembali atau Memperlancar dan membiasakan diri bermeditasi agar terbiasa mencapai apa yang telah dicapai saat diksa.
Selama pengasingan diri inilah diterapkan Panca Niyama Brata seperti yg terkandung dalam TS. Antara lain:
==> 1. Sauca, selalu meningkatkan kualitas diri secara fisik, mental dan spiritual.
==> 2. Tapa berniat dg sepenuh hati untuk mencari selalu kedalam, dg penuh ketulusan.
==> 3. Swadyaya, menerapkan secara sesaksama dg tulus apa petunjuk Guru dan Agama.
==> 4. Isvarapramidana, dengan tekun selalu berserah diri dg sepenuh hati hanya kepada Ida Hyang Widhi Wasa.
==> 5 Santosa, dg menerapkan ke 4 langkah itu diharapkan kita bisa tetap tenang, damai dan senyum apa pun cobaan yang menerpa dalam hidup ini.
Perlu dicatat
Bahwa makin cepat kemajuan spiritual kita makin cepat kita mencapai Santosa.

Yang Membunuh akan Dibunuh

 


Salah satu antara banyak tuntunan rohani yang menjelaskan mengapa Vaishnava tidak berkenan membunuh hewan, dalam soal makan ataupun yajna, adalah mantra Sanskerta ini;
"Māṁ sa khādatī māṁsaḥ"
Dalam Sanskerta Mām berarti "aku," dan Sa berarti "dia." Ini bermakna; "Jika aku membunuh hewan ini; atau memakannya, dalam hidupku selanjutnya dia akan membunuhku atau memakanku."
Mantra ini menekankan bahwa pada saat hewan dikorbankan, hewan tersebut memberikan hidupnya secara paksa. Di kehidupan selanjutnya dia akan mendapatkan kesempatan untuk menjadi manusia, dan yang sekarang membunuhnya akan menjadi hewan yang dibunuh olehnya.
Jika membunuh hewan, harus siap menjadi hewan dalam kehidupan selanjutnya dan dibunuh olehnya. Setelah memahami mantra ini, siapa sesungguhnya bersedia atau sanggup membunuh hewan lagi?
Oleh karena itu, mari kita ambil hikmah dari mantra ini sebagai dorongan inspirasi atau motivasi, untuk kita berupaya hidup dalam harmoni dengan yang lain, supaya terhindar memasuki siklus membunuh dan dibunuh ini. Belas kasih terhadap yang lain terlahir dari kesadaran Paramatman, yang terwujud sebagai empati yang tulus dan simpati yang ikhlas dalam setiap pikiran, perkataan dan perbuatan kita.⚘

Makna MERU bagi Tahapan Kehidupan di Bumi

 


Bentuk pelinggih
Meru yang ada di Bali.
Dalam Lontar Andha Bhuwana, kata meru sejatinya disebutkan berasal dari kata :
• me yang berarti ’meme atau ibu’, sedangkan
• ru berarti ’guru atau bapak’ (dalam catur guru disebut mereka yang melahirkan kita);
Dengan demikian meru itu bermakna "ibu bapak" sebagai leluhur’ yang menjadi asal muasal kita sebagai manusia atau cikal bakal kehidupan.
Dalam Lontar Andha Bhuwana ada dinyatakan bahwa meru itu sebagai lambang alam semesta (Meru ngaran pratiwimba Andha Bhuwana).
Dalam lontar yang sama juga dinyatakan sbb:
Pawangunan pelinggih makadi meru muang candi, juga pratiwimba saking pengelukunan wijaksara dasaksara mewastu manunggal dadi Om. Artinya: Bangunan suci (pelinggih) terutama meru dan candi juga simbol dari pemutaran huruf suci wijaksara dasaksara menunggal menjadi Om.
Dari penjelasan Lontar Andha Bhuwana ini yang menyatakan tumpang atap meru di samping melambangkan lapisan alam juga melambangkan pemutaran huruf suci yang disebut wijaksara sampai dasaksara. Huruf suci yang disebut aksara itu dinyatakan sebagai ''ruping bhuwana''.
Pemutaran wijaksara sampai menjadi dasaksara dan kembali menjadi wijaksara Om itu melukiskan
bahwa di setiap lapisan alam ini ada aksara sucinya. Misalnya di Tri Loka ada Tri Aksara Ang Ung Mang sebagai uripnya. Di Panca Loka ada Panca Aksara sebagai uripnya. Demikian seterusnya, di setiap lapisan alam itu ada aksara simbol urip yang menjadi sumber hidup dari setiap lapisan alam tersebut.
Apa yang dinyatakan dalam Lontar Andha Bhuwana ini sebagai penegasan dari pernyataan Mantra Veda yang menyatakan bahwa Tuhan itu ada di mana-mana. Lebih lanjut lontar Andha Bhuwana menyatakan sbb: Sowang panta ika maka sthananira mwah angalih aran. Catur Dasa panta ika, sapta Loka kaluhur mwang sapta Patala ming sor. Artinya, setiap lapisan itu sebagai sthana beliau (Hyang Widhi) yang masing-masing berganti nama.
Empat belas lapisan sthana beliau (Hyang Widhi) yang masing-masing berganti nama. Empat belas lapisan itu Sapta Loka ke atas dan Sapta Patala ke bawah. Apa makna dari pelukisan semua lapisan alam ini sebagai sthana Hyang Widhi Tuhan Yang Mahakuasa dengan sebutan yang berbeda-beda pada setiap lapisan.
Tuhan yang selalu berada di setiap lapisan alam ini hendaknya dimaknai sebagai suatu peringatan agar manusia selalu berlaku baik dan benar di setiap lapisan alam ini. Asih, Punia, dan Bhakti wajib dilakukan oleh umat manusia di setiap lapisan alam.
Asih dan Punia kepada alam dan semua makhluk hidup termasuk manusia di setiap lapisan alam ini. Melakukan Asih dan Punia kepada alam dan sesama umat manusia itu sebagai salah satu wujud bakti pada Tuhan. Tidaklah tepat di suatu lapisan alam tertentu manusia boleh saja berbuat semena-mena demi kenikmatan hidup di lapisan yang lain. Seperti di wilayah pemukimannya, manusia menciptakan berbagai fasilitas hidup yang memberi kenikmatan, tetapi di lapisan lain menimbulkan kerusakan alam yang hebat.
Misalnya manusia ingin memiliki mobil dengan berbagai merek dan jenisnya. Semuanya itu agar mereka dapat dengan mudah ke mana maunya.
Untuk memenuhi itu, berbagai bagian bumi ini dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan akan bijih besi dan minyak bumi. Sudah semakin banyak perut bumi dilubangi dalam-dalam dan luas untuk mendapatkan berbagai mineral yang tak terbarukan yang dijadikan bahan-bahan baku untuk membuat barang-barang industri demi memenuhi kebutuhan umat manusia mendapatkan hidup yang nikmat.
Jika sudah datang gilirannya, maka alam yang dirusak itu akan membawa manusia pada hidup yang duka lebih dalam dari pada kenikmatan yang didapatkan. Demikian juga untuk memiliki rumah yang mewah, indah dan memberikan kenikmatan yang serba wah pada pemukimnya membutuhkan berbagai mineral yang tak terbarukan. Seperti besi, ubin, pasir, semen dan juga kayu yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.
Seandainya semakin banyak orang yang mau tinggal di rumah yang tidak terlalu mewah dan serba wah itu, mungkin tidak banyak sumber-sumber alam yang dirusak. Alam pun akan asri dan lestari, hidup tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia pun akan seimbang, tidak saling terancam.
Meru dengan tumpang-tumpang atapnya itu hendaknya dapat memberikan kita pemahaman bahwa hidup di lapisan alam tertentu jangan sampai merusak keadaan hidup di lapisan alam yang lain. Meskipun kita berbuat di Bhur Loka tetapi akibatnya dapat menembus Bhuwah Loka bahkan Swah Loka. Kalau kita berbuat tidak baik dan benar di Bhur Loka ini seperti merabas hutan, menggunakan sarana hidup yang serba mesin tetapi tidak laik operasional juga bias menimbulkan kerusakan di angkasa.
Mesin yang tidak laik jalan misalnya mesin yang menimbulkan gas buang yang melebihi ambang batas dapat merusak langit bahkan menimbulkan gas rumah kaca di udara. Hal ini yang akan menghalangi panas naik ke angkasa dan balik ke bumi menimbulkan pemanasan global membuat suhu bumi meningkat. Udara yang dihirup oleh manusia pun menjadi semakin kotor. Hidup manusia pun akan semakin resah. Konon larutan logam berat yang melebihi ambang batas dalam darah manusia, dapat menimbulkan gangguan mental pada manusia.
Manusia bisa lebih emosional dan meledak-ledak karena ada gangguan mental. Sedih dan gembira akan diekspresikan secara ekstrim oleh manusia yang dalam darahnya mengandung larutan logam berat melebihi ambang batas. Kalau di setiap lapisan bumi ini kita mampu tegakan Rta dan Dharma sebagai dasar berbuat maka durian inilah yang akan menuntun kita menuju alam tertinggi yaitu Satya Loka yang dilukiskan oleh tumpeng meru yang teratas yang juga disebut sebagai lambang Omkara.
Dunia ini dengan semua lapisannya berdimensi ganda. Bisa membawa manusia menuju surga dan bisa juga sebagai sarana mengantarkan menuju neraka. Kalau hukum alam dan hukum manusia (Rta dan Dharma) ditegakkan di setiap lapisan bumi ini maka manusia pun dapat mencapai Satya sebagai dasar menuju surga. *(Buku Bali Tempo Dulu dikompilasi sesuai aslinya oleh I Gusti Bagus Rai Utama)
Dalam Buku Petunjuk Arah Wisata Rohani Pura dan Bangunan Suci Hindu di Pulau Bali-IHDN-PRESS- Koerniatmanto S., disebutkan pula :
a. Meru Tumpang Solas (sebelas) bermakna sebelas aksara suci
1) sa di purwa (timur, dewanya Iswara dan warnanya putih) ;
2) ba di daksina (selatan, Brahma, merah);
3) ta di pascima (barat, Mahadewa, kuning);
4) a di uttara (utara, Wisnu, hitam);
5) i di madhya (tengah, Ciwa, campuran atau panca warna);
6) na di agneya (tenggara, Mahesora, merah muda atau dadu);
7) ma di nairrta (barat daya, Rudra, jingga);
😎 si di bayabya (barat laut, Sangkara, hijau);
9) wa di aisana (timur laut, Sambu, biru) dan
10) ya di madhya (tengah atas, Ciwa, panca warna).
Kesepuluh aksara suci diatas dimanunggalkan menjadi satu aksara suci Omkara sebagai lambang Eka Dasa Dewata

KAWISVĀRA PEDOMAN BRAHMANA HINDU BALI

 


Kawisvāra adalah pedoman masyarakat Bali dalam membahas veda baik dalam wujud literasi maupun selipan ajaran susila ( sila ) yang terbungkus tradisi dan budaya.
Masyarakat Bali yang dituntun oleh brahmana dimasa lalu yakni para dukuh, dalam rangka menggali, mempelajari kembali literasi-literasi serta sila-sila yang menjadi pedoman leluhur adalah dengan cara mengupas sandi-sandi bahasa rohani yang diwujudkan dalam sebuah bentuk baik literasi maupun bangunan suci.
Langkah awal agar memperoleh gambaran sebagai inti dan maksud dari para leluhur tersebut harus menguasai tehnik bahasanya yang meliputi sastra dan jnāna, dengan berpedoman pada sistem wedangga yakni siksha ( sandhi bahasa ), wyakarana ( tata bahasa ), chanda ( guru lagu ), nirukta ( asal usul kata ), jyotisha ( urutan waktu penulisan )dan kalpa ( wujud lain dari bahasa sastra ).
Bahasa dalam veda berikut turunannya seperti veda mantra, dharmasastra atau ajaran susila, filsafat atau upanisad, purana atau itihasa dan karya sastra lainya tidak segampang membaca buku bacaan biasa. Veda dan turunannya penuh dengan hiasan kalimat misteri serta jebakan - jebakan kalimat yang membutuhkan kemurnian' bathin, bukan kepintaran membaca dan menghafal.
Bahasa dalam veda terdiri dari linguistik [ mantra ], metalinguistik [ yantra ] serta supralinguistik [tantra ] sebagai substansi antara veda dan pembacanya adalah satu alunan energi yang selaras.
Tidak mungkinlah membaca atau menggali kandungan veda dipenuhi dengan sifat KOTOR, yang akhirnya menghasilkan tafsir - tafsir keliru.
Aplikasi spiritualitas yang menjadi inti dari veda tidak terbatas pada aspek atau wacana kebajikan sebagai landasan kesucian diri, moralitas sebagai landasan welas asih atau wujud menjadi brahmana atau sulinggih sudah mampu mencapai kesucian. Namun sesungguhnya spiritualitas harus mampu mewujudkan simbul-simbul spirit baru sebagai hasil olahan rasa bathin yang berbentuk wujud bangunan atau pecandian kepada generasi mendatangnya.
Candhi bahasa yang berwujud lontar adalah pecandian rohani leluhur sebagai syarat bisa dinyatakan sebagai brahmana. Nyurat atau Ngawi meliputi penguasaan aksara, tata bahasa, guru lagu sampai mampu menyelipkan bahasa sandhi yang dikenal " rajah " adalah keahlian brahmana dimasa lalu.
Rupa berwujud gambar dan seni ornamen lainnya adalah buah karya rohani para brahmana dimasa lalu, meliputi lukisan indah baik dalam bentuk warna datar maupun ukiran atau pahatan yang dipakai ornamen pada sanggar-sanggar pamujaan dan wujud bangunan suci lainnya.
Ada lagi berbentuk RAJAH yakni sebuah simbul rahasia yang tidak tampak oleh mata namun memiliki nilai energi yang sangat supra dan energi ini mampu digunakan untuk pembangkitan energi ( kundalinā ) dalam tubuh manusia, spirit pada sanggar pamujaan sampai kawasan wilayah hidup masyarakat.
Kekuatan yang tidak terlihat ini tidak akan mampu dilihat oleh orang biasa. Kekuatan energi rajah inilah rahasia terdalam seorang brahmana dimasa lalu, sehingga tidak seorangpun masyarakat biasa mampu menerobos dinding jnāna beliau.
Semua yang terlihat ini adalah wujud surat dan gambar saja. Namun jarang masyarakat yang mengetahui motif rajah yang diwujudkan melalui kultivasi atau inisiasi pada praktisi kasunyataan [ para reshi ] yang dipakai untuk alat berspiritual dengan sempurna.
Wujud rajah ini memang sangat dirahasiakan dan bahkan jarang dibahas didepan umum, karena diwajibkan mendapatkan dengan proses guron aguron, tidak segampang mendapatkan pada praktisi pintar, bahkan jangan sampai membeli hal seperti ini, tidak baik buat yang menjual, juga sangat hina bagi yang membelinya.
Veda adalah bahasa misteri atau rahasia sebetulnya, namun leluhur memformulasi dan mewujudkannya pada proses belajar mengajar di sanggar dengan bahasa linguistik agar masyarakat bisa memahami dengan hanya sebagai praktisi yoga standar saja, namun kalau memiliki kemauan pada tingkat madhya dan sunya alangkah bagusnya.

SANG HYANG KAMAHAYANIKAN

 


OM Nama Siwa-Buddhaya
Sang Hyang Kamahayanikan telah ditulis pada permulaan era Jawa Timur dalam masa Mpu Sindok. Inilah bukti tekstual pertama yang menggambarkan eksistensi agama Siwa-Buddha di Indonesia. Mpu Sindok merupakan pendiri dinasti Isana yang berjaya dalam kerajaan Kadiri pada tahun 930 Masehi. Mpu Sindok pemeluk agama Siwa, namun kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang bersifat Buddhistik lahir di dalam masa pemerintahannya. Hal ini memperlihatkan betapa dua agama ini mendapat tempat yang sama di dalam kehidupan kerajaan. Mpu Sri Shambhara Surya Warama dari Wanjang dikatakan telah merevisi buku panduan kaum Mahayana ini, pada masa pemerintahan Mpu Sindok. Pengarang ini juga dikatakan menulis buku Wajra-dhatu Subhuti-tantra. Buku ini merupakan buku favorit raja Kertanegara yang terkenal mempraktekkan ajaran Wajrayana. Peranan raja Mpu Sindok penting karena melahirkan guru Tantrik Mpu Sri Sambhara Surya Warama dari Wanjang.
Kitab Sang Hyang Kamahayanikan mengatakan: Buddha tunggal lawan Siwa, yaitu Buddha dan Siwa adalah satu. Ungkapan ini mencerminkan persamaan (equation) Siwa dan Buddha. Persamaan ini bahkan sudah terjadi pada bidang metafisika, yaitu prinsip tertinggi pada masing-masing agama. Prinsip tertinggi diwujudkan dalam konsep dewa-dewa sebagai emanasi konsep atau prinsip tertinggi. Penggunaan istilah "sunya", "nirbana" (nibbana), "kaivalya" sering dijumpai pada teks-teks ajaran Buddha dan istilah-istilah ini berkolaberasi dengan ajaran Siwa. Kedua agama ini menggunakan istilah-istilah yang sama di dalam mengungkapkan sejumlah prinsip metafisika yang sama. Persamaan ini tidak hanya pada tataran metafisika seperti ungkapan di atas, persamaan terjadi dalam hal pengunaan atribut, busana, beberapa puja stawa pendeta Siwa dan pendeta Buddha. Penggunaan sampet, bhasma, ghanta, bija dan lain-lain memperlihatkan persamaan ini.
Kitab Sang Hyang Kamahayanikan disusun oleh Mpu Sri Sambhara Surya Warama digolongkan ke dalam teks yang bercorak Tantrik yang menguraikan tentang mandala, samadhi, latihan, pernafasan, perbandingan antara bermacam-macam Buddha dan Dewinya, nama-nama aliran dan ajarannya serta perwatakan, tempat, warna, dan sikap tangan dewa agama Buddha tertentu. Kitab ini juga berisi lima pokok landasan agama Buddha:
1. Mengakui Sang Tri Ratna (Buddha, Dharma, Sangha).
2. Mengakui Empat Kesunyataan Mulia (Catur Arya Satyani) dan Arya Beruas Delapan (Asta Nyhika Marga).
3. Mengakui tiga corak universal.
4. Mengakui Pratityasamutpada (hukum kejadian yang saling bergantung), dan
5. Mengakui Karma (Parwakarma dan Karmaphala) dan tumimbal laksi.
Perpaduan ini melahirkan corak Buddha Mahayana Tantrayana yang sangat khas dan bisa diwujudkan dalam bentuk fisik, seperti candi Barabudur dan bentuk ritual upacara agama. Tantrayana sebagai paham filsafat dan agama mengajarkan Panca "MA" (Mamsa, Matsya, Mada, Maithuna, Mudra), yaitu suatu praktek agama pembebasan melalui kekuatan magis. Penempatan Panca Tathagata di dalam urutan-urutan di candi Barabudur memperlihatkan bahwa konsep ini tidak jauh berbeda dengan Panca Brahma di dalam ajaran Hindu (Siwa Siddhanta). Panca Brahma atau Panca Dewata menempati tiap-tiap arah mata angin dengan lambang aksara tertentu yang disebut Panca Aksara. Perpaduan antara Panca Brahma dan Panca Aksara ini melahirkan formula: Na Ma Si Wa Ya, yang sangat disucikan oleh pemuja Dewa Siwa. Bangunan candi yang terdiri dari tiga bagian: Kama Dhatu, Rupa Dhatu, dan Arupa Dhatu paralel dengan konsep Tri Bhuana atau Tri Loka di dalam ajaran Hindu: Bhur Loka, Bhwah Loka dan Swah Loka.
Dari kitab Sang Hyang Kamahayanikan kita dapat mengetahui bahwa inti ajaran Tantrayana itu berpusat pada Panca Tathagata, karena melalui Panca Tathagata inilah yogi dapat mensucikan pikirannya menjadi jñana, dan dengan demikian dapat mencapai ke-buddha-an. Sehubungan dengan petunjuk ini, maka disamping unsur yang tersirat dalam relief Gandavyuha dan Bhadracari yang telah menunjukkan Tantrayana, unsur itu tentunya juga akan ditunjukkan oleh pantheonnya.
Sang Hyang Kamahayanikan, lebih menitik beratkan ajaran Tantrayana. Kemampuan untuk memadukan Mahayana dengan Tantrayana melalui pemaduan terhadap berbagai kitab sucinya serta kemudian merangkumnya dalam rilief dan arca menjadi satu candi, menunjukkan kegeniusan arsitek, acarya candi Barabudur. Perlu kiranya diungkapkan di sini bahwa pemaduan sebagaimana ditunjukkan oleh candi Barabudur, serta pemilihan dan urutan-urutan penyajiannya, belum pernah diketemukan di mana pun di dunia ini. Demikian pula halnya sintesa antara Mahayana dengan Tantrayana dirangkum dalam satu kitab sebagaimana yang diwujudkan Sang Hyang Kamahayanikan merupakan sebuah keunikan.
Di dalam kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang Buddhistik menguraikan Panca Aksara yang disebut sebagai Panca Tathagatha, yaitu Ah, Hum, Tram, Rih, A, yang tiada lain adalah Skandha atau Sarira (badan). Lebih lanjut disuratkan: "Ah-kara wijaksara danghyang Wairocana, Hum-kara wijaksara danghyang Amoghasiddhi, Tram-kara wijaksara danghyang Ratna Sambhawa, Rih-kara wijaksara danghyang Amithaba, A-kara wijaksara danghyang Amoghasiddhi. Nahan wijaksaramijlaken Panca Buddha" (Ahkara adalah aksara suci danghyang Wairocana, Humkara adalah aksara suci danghyang Amoghasiddhi, Tramkara adalah aksara suci danghyang Amithaba, Akara adalah aksara suci danghyang Amoghasiddhi). Kitab ini juga mengatakan bahwa Buddha tunggal dengan Siwa. Jika kita baca kitab Wrehaspati Tattwa yang Siwaistik kita akan melihat bahwa Hyang Sadasiwa berbadankan Isana, Tatpurusa, Aghora, Bamadewa dan Sadyojata. Konsep pengider-ideran di Bali juga dikenal dengan Wija Aksara Panca Aksara. Sadyojata (Wijaksara Sa di Timur), Bamadewa (Ba di Selatan), Tatpurusa (Ta di Barat), Aghora (A di Utara) dan Isana (I di Tengah).
Apa yang dapat kita pelajari dari sini bahwa keduanya baik ajaran Siwa maupun Buddha Mahayana menempatkan Yang Tunggal yang disebut Siwa atau Buddha berada di tengah-tengah bunga padma/teratai dengan kelopaknya menunjukkan mata angin yang ditempati oleh dewa-dewa atau Tathagatha. Yang Maha Gaib, Halus ditempatkan di tengah-tengah pusat kesadaran padma yang disimbulkan dengan padma sana dan padma hredaya yang ada di dalam diri. Beliau ada di pusat kesadaran dunia dan makhluk hidup.
Padmasana: Panca Brahma, Panca Tathagata dan Panca Aksara. Kedua Bhatara Siwa dan Buddha bersatu di dalam Padmasana. Penyatuan ini melalui proses yang panjang. Tantrayana berjasa besar di dalam upaya penyatuan ini. Setelah keduanya mendapatkan pengaruh ajaran Tantra, yaitu suatu ajaran yang menekankan pada kekuatan magis melalui sadhana Panca Tattwa, keduanya menyatu dan sehingga menjadi Siwa-Buddhagama. Padmasana dikatakan sebagai sthana Siwa dan Buddha. Di hadapan Padmasana ini pemuja, bhakta Siwa dan Buddha bersujud menghaturkan sembah, puja dan bhakti. Di dalam teks-teks baik yang bercorak Siwaistik maupun Buddhistik banyak ditemukan ungkapan yang menyatakan bahwa Bhatara Siwa dan Bhatara Buddha ber-sthana di atas Padmasana.
Panca Brahma merupakan lima wujud Bhatara Siwa yang telah mendapatkan pengaruh Maya Tattwa. Panca Brahma boleh juga disebut Panca Siwa. Brahma di sini dimaknai sebagai Siwa, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam tataran Sada Siwa, beliau dilukiskan ber-sthana di atas Padmasana.
Sampai di sini kita melihat bahwa konsep Panca Brahma di dalam Siwa Tattwa bukanlah sekedar sebuah konsep metafisika yang sangat abstrak namun bisa diwujudkan ke dalam bentuk fisik, seperti bunga, banten, pelinggih (bangunan) Padmasana dengan segala jenis dan namanya, organ-organ tubuh, warna, rasa, dan masih banyak lagi. Konsep ini menjadi semakin nyata manakala kita mampu merasakan dan menghadirkan di dalam diri kita melalui usaha-usaha kesucian dan yoga dimana sebagai landasannya adalah ajaran Yama dan Niyama Brata sebagai fondasi bangunan yang disebut yoga.
Di dalam ajaran Buddha Mahayana atau Mantrayana seperti tersirat di dalam kitab Sang Hyang Kamahayanikan konsep Panca Brahma tersebut identik dengan konsep Panca Tathagata, yaitu Wairocana dengan wijaksara Ah, Aksobhya dengan wijaksara Hum, Ratnasambhawa dengan wijaksara Tram, Amitabha dengan wijaksara Hrih dan Amoghasiddhi dengan wijaksara A. Kelima Bhatara ini juga disebut Bhatara Sarwajña. Hakikat Panca Tathagata dalam Pancadhatu: Wairocana adalah pertiwi, Amitabha adalah teja, Ratnasambhawa adalah apah, Amoghasiddhi adalah bayu, dan Aksobhya adalah akasa. Pancadhatu adalah elemen semua makhluk hidup. Panca Tathagata Jñana dalam kitab di atas adalah: Saswata jñana adalah pikiran yang teguh, Wairocana; Adarsana jñana adalah pikiran yang terang, Aksobhya; Akasamata jñana, pikiran yang bagaikan ether, Ratnasambhawa; Pratyaweksana jñana, adalah pengamatan, Amitabha, dan Krtyanusthana jñana, pikiran yang terpusat pada tindakan, Amoghasiddhi.
Di dalam stawa pemujaan kepada Bhatara Panca Tathagata masing-masing Buddha mempunyai kebijaksanaan, warna, gerak tubuh (mudra), singgasana, kediaman, aktivitas, penyerta, suku kata suci (wijaksara) dan lain-lain.