Senin, 11 Juli 2022

KAWISVĀRA PEDOMAN BRAHMANA HINDU BALI

 


Kawisvāra adalah pedoman masyarakat Bali dalam membahas veda baik dalam wujud literasi maupun selipan ajaran susila ( sila ) yang terbungkus tradisi dan budaya.
Masyarakat Bali yang dituntun oleh brahmana dimasa lalu yakni para dukuh, dalam rangka menggali, mempelajari kembali literasi-literasi serta sila-sila yang menjadi pedoman leluhur adalah dengan cara mengupas sandi-sandi bahasa rohani yang diwujudkan dalam sebuah bentuk baik literasi maupun bangunan suci.
Langkah awal agar memperoleh gambaran sebagai inti dan maksud dari para leluhur tersebut harus menguasai tehnik bahasanya yang meliputi sastra dan jnāna, dengan berpedoman pada sistem wedangga yakni siksha ( sandhi bahasa ), wyakarana ( tata bahasa ), chanda ( guru lagu ), nirukta ( asal usul kata ), jyotisha ( urutan waktu penulisan )dan kalpa ( wujud lain dari bahasa sastra ).
Bahasa dalam veda berikut turunannya seperti veda mantra, dharmasastra atau ajaran susila, filsafat atau upanisad, purana atau itihasa dan karya sastra lainya tidak segampang membaca buku bacaan biasa. Veda dan turunannya penuh dengan hiasan kalimat misteri serta jebakan - jebakan kalimat yang membutuhkan kemurnian' bathin, bukan kepintaran membaca dan menghafal.
Bahasa dalam veda terdiri dari linguistik [ mantra ], metalinguistik [ yantra ] serta supralinguistik [tantra ] sebagai substansi antara veda dan pembacanya adalah satu alunan energi yang selaras.
Tidak mungkinlah membaca atau menggali kandungan veda dipenuhi dengan sifat KOTOR, yang akhirnya menghasilkan tafsir - tafsir keliru.
Aplikasi spiritualitas yang menjadi inti dari veda tidak terbatas pada aspek atau wacana kebajikan sebagai landasan kesucian diri, moralitas sebagai landasan welas asih atau wujud menjadi brahmana atau sulinggih sudah mampu mencapai kesucian. Namun sesungguhnya spiritualitas harus mampu mewujudkan simbul-simbul spirit baru sebagai hasil olahan rasa bathin yang berbentuk wujud bangunan atau pecandian kepada generasi mendatangnya.
Candhi bahasa yang berwujud lontar adalah pecandian rohani leluhur sebagai syarat bisa dinyatakan sebagai brahmana. Nyurat atau Ngawi meliputi penguasaan aksara, tata bahasa, guru lagu sampai mampu menyelipkan bahasa sandhi yang dikenal " rajah " adalah keahlian brahmana dimasa lalu.
Rupa berwujud gambar dan seni ornamen lainnya adalah buah karya rohani para brahmana dimasa lalu, meliputi lukisan indah baik dalam bentuk warna datar maupun ukiran atau pahatan yang dipakai ornamen pada sanggar-sanggar pamujaan dan wujud bangunan suci lainnya.
Ada lagi berbentuk RAJAH yakni sebuah simbul rahasia yang tidak tampak oleh mata namun memiliki nilai energi yang sangat supra dan energi ini mampu digunakan untuk pembangkitan energi ( kundalinā ) dalam tubuh manusia, spirit pada sanggar pamujaan sampai kawasan wilayah hidup masyarakat.
Kekuatan yang tidak terlihat ini tidak akan mampu dilihat oleh orang biasa. Kekuatan energi rajah inilah rahasia terdalam seorang brahmana dimasa lalu, sehingga tidak seorangpun masyarakat biasa mampu menerobos dinding jnāna beliau.
Semua yang terlihat ini adalah wujud surat dan gambar saja. Namun jarang masyarakat yang mengetahui motif rajah yang diwujudkan melalui kultivasi atau inisiasi pada praktisi kasunyataan [ para reshi ] yang dipakai untuk alat berspiritual dengan sempurna.
Wujud rajah ini memang sangat dirahasiakan dan bahkan jarang dibahas didepan umum, karena diwajibkan mendapatkan dengan proses guron aguron, tidak segampang mendapatkan pada praktisi pintar, bahkan jangan sampai membeli hal seperti ini, tidak baik buat yang menjual, juga sangat hina bagi yang membelinya.
Veda adalah bahasa misteri atau rahasia sebetulnya, namun leluhur memformulasi dan mewujudkannya pada proses belajar mengajar di sanggar dengan bahasa linguistik agar masyarakat bisa memahami dengan hanya sebagai praktisi yoga standar saja, namun kalau memiliki kemauan pada tingkat madhya dan sunya alangkah bagusnya.

SANG HYANG KAMAHAYANIKAN

 


OM Nama Siwa-Buddhaya
Sang Hyang Kamahayanikan telah ditulis pada permulaan era Jawa Timur dalam masa Mpu Sindok. Inilah bukti tekstual pertama yang menggambarkan eksistensi agama Siwa-Buddha di Indonesia. Mpu Sindok merupakan pendiri dinasti Isana yang berjaya dalam kerajaan Kadiri pada tahun 930 Masehi. Mpu Sindok pemeluk agama Siwa, namun kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang bersifat Buddhistik lahir di dalam masa pemerintahannya. Hal ini memperlihatkan betapa dua agama ini mendapat tempat yang sama di dalam kehidupan kerajaan. Mpu Sri Shambhara Surya Warama dari Wanjang dikatakan telah merevisi buku panduan kaum Mahayana ini, pada masa pemerintahan Mpu Sindok. Pengarang ini juga dikatakan menulis buku Wajra-dhatu Subhuti-tantra. Buku ini merupakan buku favorit raja Kertanegara yang terkenal mempraktekkan ajaran Wajrayana. Peranan raja Mpu Sindok penting karena melahirkan guru Tantrik Mpu Sri Sambhara Surya Warama dari Wanjang.
Kitab Sang Hyang Kamahayanikan mengatakan: Buddha tunggal lawan Siwa, yaitu Buddha dan Siwa adalah satu. Ungkapan ini mencerminkan persamaan (equation) Siwa dan Buddha. Persamaan ini bahkan sudah terjadi pada bidang metafisika, yaitu prinsip tertinggi pada masing-masing agama. Prinsip tertinggi diwujudkan dalam konsep dewa-dewa sebagai emanasi konsep atau prinsip tertinggi. Penggunaan istilah "sunya", "nirbana" (nibbana), "kaivalya" sering dijumpai pada teks-teks ajaran Buddha dan istilah-istilah ini berkolaberasi dengan ajaran Siwa. Kedua agama ini menggunakan istilah-istilah yang sama di dalam mengungkapkan sejumlah prinsip metafisika yang sama. Persamaan ini tidak hanya pada tataran metafisika seperti ungkapan di atas, persamaan terjadi dalam hal pengunaan atribut, busana, beberapa puja stawa pendeta Siwa dan pendeta Buddha. Penggunaan sampet, bhasma, ghanta, bija dan lain-lain memperlihatkan persamaan ini.
Kitab Sang Hyang Kamahayanikan disusun oleh Mpu Sri Sambhara Surya Warama digolongkan ke dalam teks yang bercorak Tantrik yang menguraikan tentang mandala, samadhi, latihan, pernafasan, perbandingan antara bermacam-macam Buddha dan Dewinya, nama-nama aliran dan ajarannya serta perwatakan, tempat, warna, dan sikap tangan dewa agama Buddha tertentu. Kitab ini juga berisi lima pokok landasan agama Buddha:
1. Mengakui Sang Tri Ratna (Buddha, Dharma, Sangha).
2. Mengakui Empat Kesunyataan Mulia (Catur Arya Satyani) dan Arya Beruas Delapan (Asta Nyhika Marga).
3. Mengakui tiga corak universal.
4. Mengakui Pratityasamutpada (hukum kejadian yang saling bergantung), dan
5. Mengakui Karma (Parwakarma dan Karmaphala) dan tumimbal laksi.
Perpaduan ini melahirkan corak Buddha Mahayana Tantrayana yang sangat khas dan bisa diwujudkan dalam bentuk fisik, seperti candi Barabudur dan bentuk ritual upacara agama. Tantrayana sebagai paham filsafat dan agama mengajarkan Panca "MA" (Mamsa, Matsya, Mada, Maithuna, Mudra), yaitu suatu praktek agama pembebasan melalui kekuatan magis. Penempatan Panca Tathagata di dalam urutan-urutan di candi Barabudur memperlihatkan bahwa konsep ini tidak jauh berbeda dengan Panca Brahma di dalam ajaran Hindu (Siwa Siddhanta). Panca Brahma atau Panca Dewata menempati tiap-tiap arah mata angin dengan lambang aksara tertentu yang disebut Panca Aksara. Perpaduan antara Panca Brahma dan Panca Aksara ini melahirkan formula: Na Ma Si Wa Ya, yang sangat disucikan oleh pemuja Dewa Siwa. Bangunan candi yang terdiri dari tiga bagian: Kama Dhatu, Rupa Dhatu, dan Arupa Dhatu paralel dengan konsep Tri Bhuana atau Tri Loka di dalam ajaran Hindu: Bhur Loka, Bhwah Loka dan Swah Loka.
Dari kitab Sang Hyang Kamahayanikan kita dapat mengetahui bahwa inti ajaran Tantrayana itu berpusat pada Panca Tathagata, karena melalui Panca Tathagata inilah yogi dapat mensucikan pikirannya menjadi jñana, dan dengan demikian dapat mencapai ke-buddha-an. Sehubungan dengan petunjuk ini, maka disamping unsur yang tersirat dalam relief Gandavyuha dan Bhadracari yang telah menunjukkan Tantrayana, unsur itu tentunya juga akan ditunjukkan oleh pantheonnya.
Sang Hyang Kamahayanikan, lebih menitik beratkan ajaran Tantrayana. Kemampuan untuk memadukan Mahayana dengan Tantrayana melalui pemaduan terhadap berbagai kitab sucinya serta kemudian merangkumnya dalam rilief dan arca menjadi satu candi, menunjukkan kegeniusan arsitek, acarya candi Barabudur. Perlu kiranya diungkapkan di sini bahwa pemaduan sebagaimana ditunjukkan oleh candi Barabudur, serta pemilihan dan urutan-urutan penyajiannya, belum pernah diketemukan di mana pun di dunia ini. Demikian pula halnya sintesa antara Mahayana dengan Tantrayana dirangkum dalam satu kitab sebagaimana yang diwujudkan Sang Hyang Kamahayanikan merupakan sebuah keunikan.
Di dalam kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang Buddhistik menguraikan Panca Aksara yang disebut sebagai Panca Tathagatha, yaitu Ah, Hum, Tram, Rih, A, yang tiada lain adalah Skandha atau Sarira (badan). Lebih lanjut disuratkan: "Ah-kara wijaksara danghyang Wairocana, Hum-kara wijaksara danghyang Amoghasiddhi, Tram-kara wijaksara danghyang Ratna Sambhawa, Rih-kara wijaksara danghyang Amithaba, A-kara wijaksara danghyang Amoghasiddhi. Nahan wijaksaramijlaken Panca Buddha" (Ahkara adalah aksara suci danghyang Wairocana, Humkara adalah aksara suci danghyang Amoghasiddhi, Tramkara adalah aksara suci danghyang Amithaba, Akara adalah aksara suci danghyang Amoghasiddhi). Kitab ini juga mengatakan bahwa Buddha tunggal dengan Siwa. Jika kita baca kitab Wrehaspati Tattwa yang Siwaistik kita akan melihat bahwa Hyang Sadasiwa berbadankan Isana, Tatpurusa, Aghora, Bamadewa dan Sadyojata. Konsep pengider-ideran di Bali juga dikenal dengan Wija Aksara Panca Aksara. Sadyojata (Wijaksara Sa di Timur), Bamadewa (Ba di Selatan), Tatpurusa (Ta di Barat), Aghora (A di Utara) dan Isana (I di Tengah).
Apa yang dapat kita pelajari dari sini bahwa keduanya baik ajaran Siwa maupun Buddha Mahayana menempatkan Yang Tunggal yang disebut Siwa atau Buddha berada di tengah-tengah bunga padma/teratai dengan kelopaknya menunjukkan mata angin yang ditempati oleh dewa-dewa atau Tathagatha. Yang Maha Gaib, Halus ditempatkan di tengah-tengah pusat kesadaran padma yang disimbulkan dengan padma sana dan padma hredaya yang ada di dalam diri. Beliau ada di pusat kesadaran dunia dan makhluk hidup.
Padmasana: Panca Brahma, Panca Tathagata dan Panca Aksara. Kedua Bhatara Siwa dan Buddha bersatu di dalam Padmasana. Penyatuan ini melalui proses yang panjang. Tantrayana berjasa besar di dalam upaya penyatuan ini. Setelah keduanya mendapatkan pengaruh ajaran Tantra, yaitu suatu ajaran yang menekankan pada kekuatan magis melalui sadhana Panca Tattwa, keduanya menyatu dan sehingga menjadi Siwa-Buddhagama. Padmasana dikatakan sebagai sthana Siwa dan Buddha. Di hadapan Padmasana ini pemuja, bhakta Siwa dan Buddha bersujud menghaturkan sembah, puja dan bhakti. Di dalam teks-teks baik yang bercorak Siwaistik maupun Buddhistik banyak ditemukan ungkapan yang menyatakan bahwa Bhatara Siwa dan Bhatara Buddha ber-sthana di atas Padmasana.
Panca Brahma merupakan lima wujud Bhatara Siwa yang telah mendapatkan pengaruh Maya Tattwa. Panca Brahma boleh juga disebut Panca Siwa. Brahma di sini dimaknai sebagai Siwa, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam tataran Sada Siwa, beliau dilukiskan ber-sthana di atas Padmasana.
Sampai di sini kita melihat bahwa konsep Panca Brahma di dalam Siwa Tattwa bukanlah sekedar sebuah konsep metafisika yang sangat abstrak namun bisa diwujudkan ke dalam bentuk fisik, seperti bunga, banten, pelinggih (bangunan) Padmasana dengan segala jenis dan namanya, organ-organ tubuh, warna, rasa, dan masih banyak lagi. Konsep ini menjadi semakin nyata manakala kita mampu merasakan dan menghadirkan di dalam diri kita melalui usaha-usaha kesucian dan yoga dimana sebagai landasannya adalah ajaran Yama dan Niyama Brata sebagai fondasi bangunan yang disebut yoga.
Di dalam ajaran Buddha Mahayana atau Mantrayana seperti tersirat di dalam kitab Sang Hyang Kamahayanikan konsep Panca Brahma tersebut identik dengan konsep Panca Tathagata, yaitu Wairocana dengan wijaksara Ah, Aksobhya dengan wijaksara Hum, Ratnasambhawa dengan wijaksara Tram, Amitabha dengan wijaksara Hrih dan Amoghasiddhi dengan wijaksara A. Kelima Bhatara ini juga disebut Bhatara Sarwajña. Hakikat Panca Tathagata dalam Pancadhatu: Wairocana adalah pertiwi, Amitabha adalah teja, Ratnasambhawa adalah apah, Amoghasiddhi adalah bayu, dan Aksobhya adalah akasa. Pancadhatu adalah elemen semua makhluk hidup. Panca Tathagata Jñana dalam kitab di atas adalah: Saswata jñana adalah pikiran yang teguh, Wairocana; Adarsana jñana adalah pikiran yang terang, Aksobhya; Akasamata jñana, pikiran yang bagaikan ether, Ratnasambhawa; Pratyaweksana jñana, adalah pengamatan, Amitabha, dan Krtyanusthana jñana, pikiran yang terpusat pada tindakan, Amoghasiddhi.
Di dalam stawa pemujaan kepada Bhatara Panca Tathagata masing-masing Buddha mempunyai kebijaksanaan, warna, gerak tubuh (mudra), singgasana, kediaman, aktivitas, penyerta, suku kata suci (wijaksara) dan lain-lain.

EHIPASSIKO

 


Pada suatu hari Sang Buddha singgah di sebuah kota kecil bernama Kesaputta di kerajaan Kosala. Penduduk kota ini biasanya disebut sebagai kaum Kalama. Ketika mendengar bahwa Sang Buddha singgah di kota mereka, berduyun-duyunlah mereka mengunjungi Sang Buddha dan bertanya kepada Beliau: “Bhante, beberapa orang pertapa dan brahmana yang mengunjungi kota kami memberikan ajarannya kepada kami dengan mengatakan bahwa yang mereka ajarkan itu yang paling benar dibandingkan dengan ajaran-ajaran yang lain.
Sesudah itu, datang pula pertapa dan brahmana lain. Mereka pun memberikan ajaran-ajaran mereka dan mengatakan bahwa hanya ajaran mereka sajalah yang paling benar dibandingkan dengan ajaran-ajaran yang lain. Sementara itu, kalau diperhatikan dengan baik, ajaran-ajaran mereka sering bertentangan satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, kami jadi ragu-ragu dan bingung dan tidak tahu siapa di antara para pertapa dan brahmana itu yang bicara benar dan siapa yang berdusta”.
Kemudian Sang Buddha memberikan jawaban yang unik dalam sejarah keagamaan. “Yah, putera-putera Kalama, sudah sewajarnyalah kamu ragu-ragu dan bingung disebabkan oleh sesuatu hal yang memang meragukan dan membingungkan sekali. Nah, dengarlah baik-baik apa yang akan Kukatakan.
Janganlah percaya begitu saja kepada berita yang disampaikan kepadamu, atau karena sesuatu sudah merupakan tradisi atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja kepada sesuatu yang katanya sudah diramalkan dalam buku-buku suci; juga kepada sesuatu yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka; juga kepada sesuatu yang katanya telah direnungkan dengan seksama; juga karena sesuatu yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu; atau karena kamu ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu. Tetapi, warga suku Kalama, kalau setelah kamu selidiki sendiri kamu mengetahui bahwa ‘hal ini tidak berguna, hal ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh para Bijaksana, hal ini kalau terus dilakukan akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan’, maka sudah selayaknya kamu menolak hal-hal tersebut di atas.
Tetapi, kalau, setelah kamu selidiki sendiri kamu mengetahui bahwa ‘hal ini berguna, hal ini tidak tercela, hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana, hal ini kalau terus dilakukan, akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan’, maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut di atas.
Selanjutnya, Sang Buddha mengatakan bahwa siswa-siswa-Nya harus meneliti dengan baik ajaran Sang Tathagata, sehingga mereka benar-benar yakin bahwa ajaran Sang Buddha itu benar adanya.
Keragu-raguan (vicikiccha) merupakan salah satu dari lima penghalang untuk mendapatkan pengertian yang terang tentang Kesunyataan dan menjadi rintangan bagi kemajuan batiniah seseorang. Tetapi keragu-raguan bukanlah merupakan dosa, karena pada hakekatnya Agama Buddha tidak mengenal dosa seperti yang dimaksud dalam agama-agama lain.

Bila Tuhan ada..... Adakah yang pernah melihatnya?

 


Tuhan itu ada di dua hal yang berbeda. Pada pikiran orang yang menyebutnya tidak ada maka Beliau seratus persen tidak tidak ada. Akan tetapi pada pikiran orang yang menyebut Beliau ada maka seratus persen Beliau ada.
Terkadang seiring perjalanan orang yang menyebut Tuhan tidak ada malah berbalik menjadi sangat religius dan menemukan keberadaan Tuhan. Sedangkan orang yang menyebut Beliau adalah ada dan nyata pada perjalanan waktu bisa berubah dan digerogoti kesangsian besar.
Sebuah buku atau lontar yang fresh dimana disana tertulis tentang tirta...anda peras sekalipun sampai rusak airnya tidak akan keluar dari sana kecuali sempat dicelupkan ke air. Berbeda bila anda memeras parutan kelapa atau buah lainnya yang segar. Tapi ada suatu hal yang sulit ditelaah yaitu hal yang kita cap sebagai keajaiban yang bukan karena ilusi rekayasa sulap. Orang yang pada pejalanan spiritual yang hendak mengetahui Tuhanpun butuh berproses...akan tetapi ada juga orang yang tanpa mencari dan tanpa memiliki bakti untuk percaya mampu mengetahuiNya. Mereka yang mendapat keajaiban demikian adalah karena karma masa lalunya sehingga ia bisa kembali menyadari jati dirinya yang sejati.
“Aku melihat Tuhan seperti melihat engkau saat ini!” Cuplikan kalimat ini berasal dari adaptasi percakapan Sang Guru dengan sang murid yaitu Swami Wiwekananda.
Sarwa Khalwidam Brahma ini adalah salah satu mahawakya weda yang terkenal. Meskipun demikian ada banyak orang hindu yang tidak bisa memaknai apa yang dimaksud demikian. Meski mengerti ia juga sulit menerimanya.
Untuk berbeda pemahaman adalah hal yang biasa...para maharsi, orang suci, atau yogi sekalipun juga bisa memiliki pemahaman yang berbeda.
Kita semua adalah orang buta yang meraba gajah...meski gajah itu tidak terlihat akan tetapi gajah itu ada.

Aku lahir untuk mengenal diriKu (Tuhan)
Tuhan dalam Hindu disebut ada banyak dan iya memang banyak, akan tetapi semua adalah satu kesatuan ibarat setiap mahluk jiwanya bersumber satu (Murti). Banyak nama-nama Tuhan tersebut dimana membuat kesan ada banyak Tuhan akan tetapi itu adalah Ekam Sat Viprah Bahuda Wadanti.
Tuhan tidak memiliki wujud "Na Tasya Pratima Asti"....semua identitas adalah juga Tuhan. Hanya saja identitas yang kita miliki membuat kita terikat pada identitas tersebut dan terkecoh olehnya demikian juga banyak dari kita terkecoh akan salah satu identias Tuhan dimana Beliau memiliki sahasra (ribuan/tanpa batas) identitas.
Aku adalah Agus maka aku terikat pada identitas nama ini dan menolak disamakan dengan nama orang lain sebab itu adalah identitas lain yang bukan diriku demikian juga dengan mengenal satu identitas Tuhan dan dengan sempit memandang identitas yang lain sebagai identitas yang tidak sama karena kenyataan pikiran kita secara naluriah adalah memisahkan sesuatu untuk mengenalnya lebih mudah.
Kita sulit memikirkan bahwa jiwa setiap mahluk adalah satu apalagi mengenal Tuhan yang bersemayam dalam diri dan merupakan kesadaran sejati tersebut===maka ini hanya akan cuma menjadi petuah dari kitab suci bagi kita yang belum siap kesana.
Siapa sejatinya Tuhan itu? Itu adalah Engkau (Chandogya Upanishad 6.8.7)
Swataketu mendapat jawaban Tat Tvam Asi (Chandogya Upanishad 6.8.7)



GAYATRI atau SAVITR RK

 


Diambil/terinspirasi dr ceramah Guru Shrii Shrii Anandamurti:
Beliau memulai ceramah dg menjelaskan satu slokha dr RK Veda yg berarti (terjemahannya)
"Salutasi kepada-Mu oh Tuhan (Savita), kami bermeditasi dlm cahaya-Mu, bimbinglah pikiran kami di jln yg benar shg hidup kami menjadi berguna dan penuh berkah spiritual".
Kemudian dia menjelaskan nama sebenarnya dr do'a ini adlh Savitr Rk bukan Gayatri Mantra. Rk Veda dibagi menjadi bagian yg disebut mańd́ala. Mańd́alas dibagi menjadi súktas dan súktas dibagi lg dlm rks. Savitr Rk (rk untuk Savitá) disusun dlm irama Gayatri. Anandamurti melanjutkan bahwa Savitá means father ( sa-vita, Dia dr mana semua berasal spt wit menjadi kawitan, Sunda Kawiwitan dlm bhs Indonesia/Bali) dan A-U-M bermakna penciptaan, pemeliharaan dan peleburan. Jadi kita hrs bermeditasi pada Bapak Yg Agung (Savita) shg Dia menuntun pikiran/intelek kita ke jalan pencerahan.
Terjemahan harfiah untuk lbh memahami maknanya sbb:
Karena do'a adlh komunikasi kita kepada Tuhan, artinya kita menyampaikan sesuatu kpd-Nya, shg apa yg diucapkan hrs sesuai dg yg dipikirkan, shg menjadi penting untuk mengetahui apa yg diucapkan shg yg dipikirkan pun hrs selaras:
AUM = umum digunakan mengawali segala macam doa yg berarti aksara brahma (ang ung mang).
Bhur, buwah, svah, mahar, janah, tapa, satya lokadst adalah tujuh strata alam semesta.
Tuhan pencipta alam semesta...
Tat = itu, dia
SAVITA = ista Dewata, sawitur = kepada Sawita
Varenyam = salutasi, pemujaan, sembah sujud...
Kepada Tuhan, Sang Pencipta sumber kehidupan, Bapa yg Agung, semua puja, sembah dan sujud kami haturkan kpd-Mu
Bhargo = pancaran, radiasi, cemerlang
Devasya = cahaya (nya),
Dimahi = kami bermeditasi (memusatkan pikiran
Dalam radiasi cahaya yg cemerlang-Mu (Sawita) kami memusatkan pikiran.
Dhiiyo yo nah pracodayat =
Nah dhiiyo yah pracodayat
Nah = kami
Dhiiyo = pikiran kami
Yah = milik kami
Pracodayat = dibimbing, diterangi.
Agar pikiran/intelek kami ini diberikan penerangan (dituntun ke jalan penuh cahaya)
Demikianlah, untuk mendapatkan manfaat sebaik2nya dr doa ini seyogyanya kita mengucapkan, memikirkan dan meresapi dalam2 maknanya.
Al hasil, Savita berkenan, maka Dia akan menunjukkan kpd kita jln yg benar, selanjutnya siapkan diri untuk mengikuti jln tersebut.
Dlm hal ini, berkaitan dgn doa dan jalan yg dimohon, maka dibedakanlah dua macam diiks'a yaitu:
Vaedik diiksa = dimana sadhaka diberikan intruksi untuk berdoa memohon petunjuk (dg RK SAVITR ini).
Tantrik diiksa = dimana sadhaka diberi intruksi ttg sadhana/proses meditasi yg harus dilakukan untuk mencapai tujuan (moksartham).
Setelah memohon untuk dituntun dan dibimbing, katakanlah Tuhan berkenan lalu memberi petunjuk, memberikan jalan yg harus ditempuh... maka tugas selanjutnya adalah melangkah/bergerak/berjalan ke arah tujuan sesuai petunjuk-Nya. Tdk cukup hanya doa... tapi harus melakukan Sadhana. Disinilah upa-cara = cara/langkah mendekatkan diri kpd-Nya. Jadi upacara tdk hanya dimaknai sbg ritual tp langkah konkrit, sadhana, menempa diri dlm disiplin untuk mencapai-Nya.

Gayatri mantram ataukah Savitri mantram ?

 


Dalam Rg Savitr dinyatakan:
Om bhur bhuvah svah
Om tat savitur varenyam
Bhargo devasya dhimahi
Dhiyo yo nah pracodhayat om.
Sebagaimana diketahui Rg Veda merupakan Veda yang tertua di dunia dan perujudannya dibagi menjadi beberapa bagian. Bentuk pembagian pertama disebut mandala, setiap mandala dibagi menjadi sejumlah sukta, dan setiap sukta dibagi menjadi sejumlah Rg. Jadi setiap sloka dari Rg Veda itu disebut rg. Itulah sebabnya veda itu disebut Rg Veda. Mantra yang dikenal oleh umum sebagai "Gayatri Mantram" sebenarnya ialah merupakan sebuah rg dari mandala ke 3, sukta ke 63, rg ke 10.
Di dalam Rg Veda rg itu diberi nama sesuai dengan nama istadewata (tuhan) yang dipuja melalui rg tersebut. Rg dalam sloka ini dewata pujaan itu di sebut "savita" yang artinya yang maha bersinar karena itu mantram ini disebut "Rg Savita" yaitu Rg bagi savita.
Mantram ini disusun dengan irama yang disebut irama gayatri. Dalam veda terdapat 7 jenis irama yaitu gayatri, usnika, tristupa, anustupa, brhati, jagatii dan paunakti.
Dalam irama gayatri, mantram-mantram itu terdiri dari tiga baris dan setiap baris terdiri dari delapan suku kata.
Mantram Rg savitr diatas merupakan bentuk yang masih asli walaupun kalimat yang pertama di tambahkan kemudian, imbuhan atau tambahan itu diambil dari atharva veda.
Jadi bentuknya yang murni adalah:
Bait pertama : Tat savitur varenyam.
Bait kedua : Bhargo devasya dimahi
Bait ketiga : Dhiyo yo nah pracodayat
Seharusnya setiap baris terdiri dari 8 suku kata, akan tetapi tat-sa-vi-tur -va-re-nyam terdiri dari 7 suku kata. Menurut lazimnya terdiri dari delapan suku kata. Dalam membaca veda, irama menduduki tempat terpenting. Apabila terjadi perbedaan di antara tata bahasa dengan irama maka irama itulah yang harus dimenangkan. Dan disini untuk kepentingan irama, maka cara pengucapannya adalah tat-sa-vi-tur-va-re-ni-yam. Sehingga menjadi 8 suku kata.
Nama mantram sloka diatas yang dikenal oleh umum adalah gayatri mantram namun sebenarnya nama mantram tersebut adalah savitri mantrarn dengan chanda/irama gayatri.
Rg Veda adalah Veda tertua, pada jaman veda orang belum mengenal tulisan. Pengajaran dilaksanakan dengan lisan. Guru berbicara murid-murid mendengarkan, pendengarannya di sebut "Sruti" dalam bahasa sansekerta. Karena itu
salah satu nama Veda adalah Sruti. Pada waktu itu murid murid tidak membaca karena huruf- huruf belum dikenal. Bahasa sanskerta tidak memiliki huruf sendiri. Bahasa sanskerta ditulis dengan menggunakan huruf-huruf yang terdapat dan berkembang di berbagai wilayah dan daerah lain dari jaman ke jaman.

Sanatana Dharma

 


Sanatana Dharma memiliki nama international yaitu Hindu yang disebut berasal dari penyebutan geograpikal Sindu yang merupakan nama Sungai. Sebutan Hindu untuk Sindu sepertinya berasal dari penyebutan bangsa Arab seperti yang tertuang dalam naskah kuno Sayar Ul Okul yang tersimpan di sebuah perpustakaan kuno di Turki yang kini menjadi Universitas ternama.
Kita umum mengetahui bahwa perantara atau penengah budaya timur untuk Eropa adalah Arab yang juga disebut sebagai wilayah Timur Tengah.
Dunia juga telah mengetahui bahwa sistem bilangan yang kita warisi saat ini berasal dari kebudayaan sungai Sindu yang oleh Khawarizmi diperkenalkan dalam kompediumnya sebagai Hindu-Arabic Numerals.
Penyebutan Sindu sendiri di jepang menjadi Sinto. Sehingga pada keyakinan Sinto di Jepang memiliki banyak kemiripan juga dengan kita yang berada di Nusantara. Misal saja penyebutan Wisnu yaitu Bichnuten (Bichnu). Wisnu sendiri kita kenal juga memiliki dua simbol Aksara yaitu Ang dan Ung.
Bichnuten juga dikenal sebagai Angyo dan Ungyo yang dimana ketika bersatu membentuk AUM atau AM atau OM atau terbaca ON.
Di India bagian selatan dan Bali sendiri sebagai ONG. Ada banyak bukti keterkaitan Sinto menuju Sindu atau apa yang secara internasional saat ini disebut Hinduisme yaitu: Naraen (Narayana), Makeishura (Maheswara), Amatarasu (Dewi Ama/Amba), Bonma (Brahma), Karura (Garuda), dst.
Pada kebudayaan mesir kuno sekalipun kita bisa temukan jejak Hinduisme yaitu pada simbol kepercayaan Mesir Kuno misal saja sebagai beberapa contoh: Amon atau “YMN” kata ini merujuk Yamuna bersimbolkan Dewa dengan kulit biru dan memiliki simbol Kobra, jadi penyebutan Amon Ra sendiri setara dengan penyebutan kita di Bali yang menggunakan istilah Siwa Raditya. Reruntuhan pura Amon Ra yang terkenal yaitu Oracle Temple berada disebuah wilayah yang disebut Siwa Oasis (Dalam Bahasa Arab penyebutan Siwa Oasis “Wahat Siwah”).
Kemudian mari kita telusuri sekarang istilah adat adalah berasal dari bahasa Arab yang diserap kedalam bahasa Indonesia, yang kemudian kita pakai juga di bali. Kata desa adat sebenarnya tidak di kenal di Bali, yang ada adalah sebutan Desa Pakraman.
Jadi pada desa Pakraman memang ada aturan yang dibuat bersama krama desa demi tertibnya kehidupan di desa setempat. Aturan yang dibuat itu adalah berupa undang-undang kecil yang disebut awig-awig desa. Sebab diatasnya masih ada aturan atau Kerta yang cakupannya lebih luas sebab memakai acuan juga dengan Dharmasastra yang di tegakkan dan di putuskan oleh Ida Pedanda Kerta.
Jadi bila ada perselisihan yang tidak bisa di selesaikan di Desa maka masalah tersebut akan dibawa ke Pengadilan Kerta.
Tiap desa pakraman adalah berdiri secara merderka atau autonomi tanpa harus diatur oleh pihak luar kecuali bila terjadi perselisihan hebat internal yang sama sekali tidak bisa diselesaikan ataupun bila terjadi perang antar desa masalah tapal batas, dll., meski demikian tiap desa pakraman itu akan berusaha keras menyelesaikan konflik dengan baik yang disaksikan dan ditangani oleh pemucuk puncak yaitu Jero Bendesanya sendiri.
Sehingga jaman dahulu adalah sangat penting untuk bisa memaksimalkan segala masalah untuk diselesaikan secara internal dengan keputusan Jero Bendesa, Kelian, dan perangkat desa yang terkait bila menyangkut desa pakramannya tersebut. Hal tersebut juga sebaiknya tetap dilaksanakan demikian dimasa ini demi tegakknya nama baik desa masing-masing. Dalam hal ini sama sekali tidak bermakna bahwa aturan desa adalah bersifat supremasi multlak akan tetapi sifatnya yang benar adalah humanism sesuai makna pakraman.
Menyangkut berkeyakinan sebagai manusia kita harus bisa merdeka dalam menentukan pilihan dan jalan sendiri dalam berkeyakinan.
Meski pilihan dan jalan itu kita tempuh adalah berbeda-beda akan tetapi intinya tetap satu yaitu pada Dharma. Hindu men-encourage pemeluknya untuk bisa menentukan jalannya sendiri dan menjadi dirinya sendiri. Ia harus bisa menyadari dirinya sendiri secara utuh “Aku adalah Aku”. Aturan awig-awig desa sendiri mengatur hal umum yang tidak sampai mengatur hal pribadi kecuali menyentuh taboo bersama misal: Perselingkuhan, Pertumpahan Darah, Menghina Martabat, Kemalasan, dll., pada umumnya awig-awig desa bersifat bagi umum dan tidak mengatur hingga perindividu supaya seragam dalam berkeyakinan. Bila kita memakai kata adat maka maknanya lain lagi sebab di Dunia Arab berbeda keyakinan meski dalam satu rumpun agama yang sama bisa menjadi masalah besar dan bentrokan yang tidak ada habisnya.
Pada Hindu jarang dan sulit ditemukan terjadinya perselisihan karena masalah keyakinan yang berbeda.
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, kita memang menyadari perbedaan itu wajib ada sebab pemikiran dan kecocokan kita akan suatu hal tidak mungkin bisa sama secara seragam dan meski demikian kita bisa menyatukan persepsi untuk melihatnya sama.
Atiti dewa bawa, Atiti Puja====Kita di Hindu selalu diajarkan memperlakukan tamu itu seperti Tuhan yang datang meski tamu itu bertindak dan mengajarkan hal yang kurang ajar bagi kita atau istilahnya membalas perlakuan baik dengan perbuatan tidak baik. Segala hal di Hindu dipandang sebagai Tuhan termasuk diri ini.
Matru dewa bawa : Ibu adalah Tuhan
Pitru dewa bawa : Bapak adalah Tuhan
Acarya dewa bawa : Guru adalah Tuhan
Sehingga bila ada kelompok pesraman yang menuhankan Gurunya adalah sama sekali tidak salah sebab itu juga adalah sama-sama sebagai perwujudan bakti kepada Tuhan sendiri (Acarya Dewa Bawa).
Leluhur, pemerintah, pemimpin Negara juga dipandang sebagai Tuhan. Perbedaanya pada Sad dan Asat (Wujud dan tanpa wujud). Pandangan non dual tanpa deskriminasi status ini disebut sebagai Advaita di Hindu.
Semoga pemaparan ini bisa dijadikan sebagai renungan kita bersama dan semoga kita selalu bisa bijaksana dalam menyingkapi perbedaan yang ada diantara kita.