Senin, 11 Juli 2022

Sanatana Dharma

 


Sanatana Dharma memiliki nama international yaitu Hindu yang disebut berasal dari penyebutan geograpikal Sindu yang merupakan nama Sungai. Sebutan Hindu untuk Sindu sepertinya berasal dari penyebutan bangsa Arab seperti yang tertuang dalam naskah kuno Sayar Ul Okul yang tersimpan di sebuah perpustakaan kuno di Turki yang kini menjadi Universitas ternama.
Kita umum mengetahui bahwa perantara atau penengah budaya timur untuk Eropa adalah Arab yang juga disebut sebagai wilayah Timur Tengah.
Dunia juga telah mengetahui bahwa sistem bilangan yang kita warisi saat ini berasal dari kebudayaan sungai Sindu yang oleh Khawarizmi diperkenalkan dalam kompediumnya sebagai Hindu-Arabic Numerals.
Penyebutan Sindu sendiri di jepang menjadi Sinto. Sehingga pada keyakinan Sinto di Jepang memiliki banyak kemiripan juga dengan kita yang berada di Nusantara. Misal saja penyebutan Wisnu yaitu Bichnuten (Bichnu). Wisnu sendiri kita kenal juga memiliki dua simbol Aksara yaitu Ang dan Ung.
Bichnuten juga dikenal sebagai Angyo dan Ungyo yang dimana ketika bersatu membentuk AUM atau AM atau OM atau terbaca ON.
Di India bagian selatan dan Bali sendiri sebagai ONG. Ada banyak bukti keterkaitan Sinto menuju Sindu atau apa yang secara internasional saat ini disebut Hinduisme yaitu: Naraen (Narayana), Makeishura (Maheswara), Amatarasu (Dewi Ama/Amba), Bonma (Brahma), Karura (Garuda), dst.
Pada kebudayaan mesir kuno sekalipun kita bisa temukan jejak Hinduisme yaitu pada simbol kepercayaan Mesir Kuno misal saja sebagai beberapa contoh: Amon atau “YMN” kata ini merujuk Yamuna bersimbolkan Dewa dengan kulit biru dan memiliki simbol Kobra, jadi penyebutan Amon Ra sendiri setara dengan penyebutan kita di Bali yang menggunakan istilah Siwa Raditya. Reruntuhan pura Amon Ra yang terkenal yaitu Oracle Temple berada disebuah wilayah yang disebut Siwa Oasis (Dalam Bahasa Arab penyebutan Siwa Oasis “Wahat Siwah”).
Kemudian mari kita telusuri sekarang istilah adat adalah berasal dari bahasa Arab yang diserap kedalam bahasa Indonesia, yang kemudian kita pakai juga di bali. Kata desa adat sebenarnya tidak di kenal di Bali, yang ada adalah sebutan Desa Pakraman.
Jadi pada desa Pakraman memang ada aturan yang dibuat bersama krama desa demi tertibnya kehidupan di desa setempat. Aturan yang dibuat itu adalah berupa undang-undang kecil yang disebut awig-awig desa. Sebab diatasnya masih ada aturan atau Kerta yang cakupannya lebih luas sebab memakai acuan juga dengan Dharmasastra yang di tegakkan dan di putuskan oleh Ida Pedanda Kerta.
Jadi bila ada perselisihan yang tidak bisa di selesaikan di Desa maka masalah tersebut akan dibawa ke Pengadilan Kerta.
Tiap desa pakraman adalah berdiri secara merderka atau autonomi tanpa harus diatur oleh pihak luar kecuali bila terjadi perselisihan hebat internal yang sama sekali tidak bisa diselesaikan ataupun bila terjadi perang antar desa masalah tapal batas, dll., meski demikian tiap desa pakraman itu akan berusaha keras menyelesaikan konflik dengan baik yang disaksikan dan ditangani oleh pemucuk puncak yaitu Jero Bendesanya sendiri.
Sehingga jaman dahulu adalah sangat penting untuk bisa memaksimalkan segala masalah untuk diselesaikan secara internal dengan keputusan Jero Bendesa, Kelian, dan perangkat desa yang terkait bila menyangkut desa pakramannya tersebut. Hal tersebut juga sebaiknya tetap dilaksanakan demikian dimasa ini demi tegakknya nama baik desa masing-masing. Dalam hal ini sama sekali tidak bermakna bahwa aturan desa adalah bersifat supremasi multlak akan tetapi sifatnya yang benar adalah humanism sesuai makna pakraman.
Menyangkut berkeyakinan sebagai manusia kita harus bisa merdeka dalam menentukan pilihan dan jalan sendiri dalam berkeyakinan.
Meski pilihan dan jalan itu kita tempuh adalah berbeda-beda akan tetapi intinya tetap satu yaitu pada Dharma. Hindu men-encourage pemeluknya untuk bisa menentukan jalannya sendiri dan menjadi dirinya sendiri. Ia harus bisa menyadari dirinya sendiri secara utuh “Aku adalah Aku”. Aturan awig-awig desa sendiri mengatur hal umum yang tidak sampai mengatur hal pribadi kecuali menyentuh taboo bersama misal: Perselingkuhan, Pertumpahan Darah, Menghina Martabat, Kemalasan, dll., pada umumnya awig-awig desa bersifat bagi umum dan tidak mengatur hingga perindividu supaya seragam dalam berkeyakinan. Bila kita memakai kata adat maka maknanya lain lagi sebab di Dunia Arab berbeda keyakinan meski dalam satu rumpun agama yang sama bisa menjadi masalah besar dan bentrokan yang tidak ada habisnya.
Pada Hindu jarang dan sulit ditemukan terjadinya perselisihan karena masalah keyakinan yang berbeda.
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, kita memang menyadari perbedaan itu wajib ada sebab pemikiran dan kecocokan kita akan suatu hal tidak mungkin bisa sama secara seragam dan meski demikian kita bisa menyatukan persepsi untuk melihatnya sama.
Atiti dewa bawa, Atiti Puja====Kita di Hindu selalu diajarkan memperlakukan tamu itu seperti Tuhan yang datang meski tamu itu bertindak dan mengajarkan hal yang kurang ajar bagi kita atau istilahnya membalas perlakuan baik dengan perbuatan tidak baik. Segala hal di Hindu dipandang sebagai Tuhan termasuk diri ini.
Matru dewa bawa : Ibu adalah Tuhan
Pitru dewa bawa : Bapak adalah Tuhan
Acarya dewa bawa : Guru adalah Tuhan
Sehingga bila ada kelompok pesraman yang menuhankan Gurunya adalah sama sekali tidak salah sebab itu juga adalah sama-sama sebagai perwujudan bakti kepada Tuhan sendiri (Acarya Dewa Bawa).
Leluhur, pemerintah, pemimpin Negara juga dipandang sebagai Tuhan. Perbedaanya pada Sad dan Asat (Wujud dan tanpa wujud). Pandangan non dual tanpa deskriminasi status ini disebut sebagai Advaita di Hindu.
Semoga pemaparan ini bisa dijadikan sebagai renungan kita bersama dan semoga kita selalu bisa bijaksana dalam menyingkapi perbedaan yang ada diantara kita.

PANCA GAVYA

 


PANCA GAVYA adalah lima benda yg dikeluarkan/dihasilkan dari sapi. Hal ini telah menjadi warisan leluhur bangsa Indonesia yg tertulis dlm daun lontar.
Kutipan lontar dlm Bhs Sansekerta ttg Panca GAVYA tsb ada dlm buku STUTI N STAVA dg kode PVSK34b (lontar Griya Anyar, Sibang Kaja, Badung) dan kode PPB 15 (lontar Griya Taman, Blayu, Tabanan):
OM MUTRA PURIKSAKAM VAPI
KSIRAN (CA) DADHI GHRTAN CA
GOBHYA EVA SAMUTPADAM
PANCA GAVYA LAKSANAM
(OM, air kencing sapi, kotoran sapi, susu sapi, susu asam dan ghee (minyak yg dibuat dari susu sapi), semua ini yg dihasilkan dari sapi disebut panca GAVYA
(buku Keagungan Sapi Menurut Weda, karya Made Darmayasa, hal 94-95)

Mencapai Advaita (Kesatuan)

 


Astika dan Nastika.
Umat Budha memang tidak mengenal konsep Tuhan. Budha disebutkan adalah Guru.
Tapi kita sendiri Hindu di Bali sepertinya juga menyebut keduanya untuk Siwa yaitu sebagai Guru dan juga Tuhan. Sepertinya ada indikasi bahwa dua hal yang berbeda itu adalah satu seperti halnya dua tangan kiri dan kanan yang bertemu tercakup untuk pemujaan.
Pada Siwa Samhita yang indikasinya menyebut Astika dan Nastika ada dalam perahu yang sama:
Nir Iswaram idam prahuh seswaran ca tatha pare| vadanti vividhair bhedaih suyuttaya sthiti katarah||
Terjemahannya:
Berdasarkan pengetahuan yang dicapai ada yang percaya alam semesta ini tanpa Tuhan, yang lain percaya adanya Tuhan berdasarkan pernyataan mereka dengan berbagai alasan dengan tujuan ingin memantapkan keyakinan mengenai perbedaan untuk mencapai kebenaran sejati.

astika dan nastika nike golongan filsafat. Di india dari penafsiran weda melahirkan 9 golongan filsafat/dharsana yang disebut nawa darsana. 6 filsafat mendukung penafsiran otoritas weda yg disebut golongan astika dan 3 filsafat yang menolak otoritas penafsiran weda yg disebut golongan nastika diantaranya budha, jaina, dan carwaka. Dalam terminologi barat nastika diistilahkan atheis karena menolak otoritas weda atau dianggap tidak percaya tuhan. Namun sejatinya kelompok ini tidak sepenuhnya tidak percaya tuhan. Dalam budha tuhan diistilah kesadaran. Budha pernah berkata tidak penting memuja tuhan namun carilah kesadaran kedalam diri.
Akar filsafat itu lahir diindia namun lebih berkembang di negara barat yang banyak melahirkan ilmu pengetahuan modern. Filsafat marxisme juga kalau kita mau jujur juga lahir dari timur dari penafsiran weda. Btahma mitya jagat satwam ( tuhan adalah palsu kebenaran sejati itu adalah dunia ini). Sloka ini jelas jelas menolak tuhan sama sepertif filsafat marxisme😀


Nastika itu tidak ada hubunganya dg atheis.
Nastika artinya tidak mengakui weda sbg satu satunya sumber kebenaran.
Kl mau bicara konsep atheis dlm filsafat India, bukan Budhisme rujukanya. Tetapi Carwaka.
Sekte (sect) juga bukan samskrta tapi bisa diartikan agama atau sampradaya sebab maknanya sama.
Di Hindu ada

Kitab yang paling suci dan paling tua dalam Hindu adalah reg weda.

 


Di dalam reg weda ada tertulis, tepatnya dalam buku #1 hymn #164 manthra #46:
"Ekkam sat vipra bhuda vidyante"
"Kebenaran itu satu, Tuhan itu satu, para suci menyebut yang maha esa dengan nama yang bermacam-macam"
Dalam reg weda book #2 hymn #1 saja Ada setidaknya 33 gelar yang di tujukan bagi tuhan yang maha esa ini.
Salah satu dari 33 nama tersebut adalah Brahma. Sang brahma disebut juga sebagai pencipta. Pencipta jika di terjemahkan ke dalam bahasa Arab sama dengan "AL-kholiQ". Umat Islam tidak ada masalah jika seseorang berkata bahwa Tuhan yang maha tinggi adalah AL-KHOLIQ yang makna dari AL-kholiQ adalah pembentuk, alias pencipta.
Tetapi jika seseorang mengatakan bahwa Tuhan yang maha esa memiliki 4 kepala dan terdapat mahkota dalam tiap kepalanya. Menggambarkan bahwa Tuhan memiliki bentuk demikian padahal dalam swethaswethara upanishad pasal 4 ayat 19 tertulis "NA TASYA PRATIMA ASTI" Tuhan tidak memiliki bentuk.
Nama lain untuk Tuhan yang maha esa dalam reg weda book 2 hymn 1 verse 3 Adalah Wisnu, Wisnu secara bahasa bermakna penyokong kehidupan, pemelihara, penyelamat,, sama dengan kata rob dalam bahasa arab. Tidak ada masalah jika Tuhan yang maha esa disebut sebagai rob.
Reg-weda Book #8, Hymn #1, Manthra #1:
"Ma chitanidi sansad"
Terjemahan nya:
Sembahlah dia saja, satu satunya Tuhan, pujilah hanya kepada dia saja.
Dan juga dalam Rig-Ved, Book #6, Hymn #45 Manthra #16, ada tertulis yang artinya
"Pujilah dia saja, sembahlah dia satu satunya Tuhan"

SIAPAKAH SAMPRADAYA

 


Kitab suci agama Hindu adalah WEDA
Syair2 kitab suci WEDA SRUTI adalah MANTRAM.
sedangkan sair2kitab sastra WEDA adalah SLOKA.
Kitab suci CATUR WEDA terdiri dari 20389 mantram.
4 kitab suci ini di pelajari oleh 1180 kelompok belajar spiritual.
Yg masing2;
1 Reg Weda dg jumlah mantra 10552,di pelajari oleh 21 kelompok belajar Spiritual.
2,Sama Weda dg jumlah mantram 1875 di pelajari oleh 1000 kelompok belajar spiritual.
3,Yayur Weda dg jumlah mantram 1975 ,
di pelajari 109 kelompok belajar spiritual.
4,Atarwa Weda dg jumlah mantram 5967,
Di pelajari oleh 50 kelompok belajar spiritual.
Setiap kelompok di Bimbing oleh RESI yg benar2 memahami ,menghayati dan melaksanakan ajaran Weda dlm kehidupan sehari,hari inilah yg di sebut SADAKA.
Kelompok belajar Spiritual ibarat sekolah sedangkan WEDA adalah kurikulum nya,,,
Dari setiap kelompok inilah melahirkan UPANISAD,,,
Upanisad ini adalah Sari2nya Weda.
Nah dari kelompok Belajar inilah di sebut
SAMPRADAYA ( sekte )
Dari Grup belajar Sampradaya inilah melaksanakan pemujaan yg rutin sesuai kelompoknya yg di sebut PARAMPARA ( berkesinambungan ),
Dari Sampradaya/ kelompok belajar Spiritual terus mengasah bhaktinya,,,
Seperti yg sudah di catat oleh Dr, R GORIS,
Di Bali ada 9 Sampradaya /Sekteyaitu:
1, Sampradaya SHIWA SHIDANTA.
2, Sampradaya BAIRAWA.
3,Sampradaya PASUPATA
4,Sampradaya RESI ( pertapa )
5, Sampradaya GANAPATI.
6,Sampradaya BRAHMA.
7, Sampradaya WAISNAWA.
8,Sampradaya BODHA / SOGATA.
9, Sampradaya SORA ( Surya )
Inilah yg sudah mendarah daging di Bali sebagai proses Ritual pemujaan untuk memohon kebahagiaan ,kesejahteraan ,kedamaian dlm kehidupan.
Demikianlah yg di maksud Sampradaya
Om Tat sat

Hindu (Sanatana Dharma) bukan agama biasa tapi agama-agama ada dalam Hindu.

 


Agama berasal dari bahasa sanskerta dan bermakna sekolah atau sistem belajar dalam membahas wahyu Weda.
Hindu merupakan Way of Life. Dunia telah mengetahui bahwa Pythagoras kemungkinan menemukan rumusan theorinya dari Sulba Sutra. Kebudayaan Weda begitu maju dalam segala hal.
kita mengetahui bahwa Bhagawan Wyasa bisa menciptakan bayi manusia dari darah keguguran. Maharsi Agastya lahir dari teknology Bayi Tabung Kuno dan hal yang sama disebutkan dalam prasasti Dinoyo di Dwipantara (Nusantara). Dan Dunia mengakui Bahwa MAHARSI SUSHRUTA adalah yang pertama kali menciptakan teknik awal apa yang disebut Rhinoplasty dimana disebut dengan Nasikasandhana termuat dalam Sushruta Samhita bersumber dari Ayur Weda. Kompedium dari Maharsi Sushruta yang juga diketahui sebagai salah satu Immortal yaitu Manusia Abadi adalah Sushruta samhita adalah pada Awalnya diduga berisi 5 Bagian dengan 120 Bab yang diketahui berasal dari era sebelum Masehi, kemudian bertambah menjadi 6 bagian dengan 184 Bab. Tipton (2008) dalam “historical perspectives”. Memberikan rentang waktu perkiraan dari 1000 BCE, 800–600 BCE, 600 BCE, 600–200 BCE, 200 BCE, 1–100 CE, and 500 CE.
Kompedium tersebut memuat teknik operasi dengan berbagai terminology yang terdapat pada text Weda yang sangat kuno. Menyebutkan juga nama-nama Dewa: Narayana, Hari, Brahma, Rudra, Indra. Menggunakan juga terminology samkya dan yang serupa dapat di temukan di agama-agama atau sekolah-sekolah (schools) Philosophy Hindu. Maharsi Sushruta disebut keturunan dari Dhanwantari. Kompedium Maharsi Sushruta yaitu Sushruta Samhita tersebar keluar India atau Jambu Dwipa dengan nama berbeda misal di Arab menjadi Kitab Shah Shun Al-Hindi dan Kitab I-Susurud. Pada akhir abad pertengahan di Italia di Eropa yaitu pada masa Renaissance, Keluarga Branca di Sicily dan Gasparo Tagliacozzi (Bologna) dikenal dengan rhinoplastic technik yang termuat di Sushruta Samhita.
Amat sangat mengejutkan bila prosedur operasi plastik dan juga katarak sudah ada di jaman kuno. Maka bersyukurlah kita semua ada dalam lingkaran Dharma ini dan semoga kita selalu bisa memperdalam Weda yang akan berguna untuk segala keperluan kita terutama dalam pengetahuan rohani.
Om Shanti Shanti Shanti Om
Meulenbeld 1999, pp. 203–389 (Volume IA).
^ a b c Rây 1980.
^ E. Schultheisz (1981), History of Physiology, Pergamon Press, ISBN 978-0080273426, page 60-61, Quote: "(...) the Charaka Samhita and the Susruta Samhita, both being recensions of two ancient traditions of the Hindu medicine".
^ Wendy Doniger (2014), On Hinduism, Oxford University Press, ISBN 978-0199360079, page 79;
Sarah Boslaugh (2007), Encyclopedia of Epidemiology, Volume 1, SAGE Publications, ISBN 978-1412928168, page 547, Quote: "The Hindu text known as Sushruta Samhita is possibly the earliest effort to classify diseases and injuries"
^ Valiathan 2007.
^ a b c Kengo Harimoto (2011). "In search of the Oldest Nepalese Manuscript". Rivista degli Studi Orientali. 84: 85–88.
^ Bhishagratna 1907, p. 307.
^ a b Hoernle 1907, p. 8.
^ a b Loukas 2010, pp. 646–650.
^ a b Boslaugh 2007, p. 547, Quote: "The Hindu text known as Sushruta Samhita (600 AD) is possibly the earliest effort to classify diseases and injuries"..
^ a b c Ramachandra S.K. Rao, Encyclopaedia of Indian Medicine: historical perspective, Volume 1, 2005 Reprint (Original: 1985), pp 94-98, Popular Prakashan
^ Walton 1994, p. 586.
^ a b c d Tipton 2008, pp. 1553-1556.
^ Hoernle 1907, pp. 109-111.
^ Banerjee 2011, pp. 320-323.
^ Monier-Williams, A Sanskrit Dictionary (1899).
^ a b Bhishagratna, Kunjalal (1907). An English Translation of the Sushruta Samhita, based on Original Sanskrit Text. Calcutta. p. 1.
^ Hoernle 1907, pp. 7-8.
^ Amaresh Datta, various. The Encyclopaedia Of Indian Literature (Volume One (A To Devo)). Sahitya academy. p. 311.
^ David O. Kennedy. Plants and the Human Brain. Oxford. p. 265.
^ Singh, P.B.; Pravin S. Rana (2002). Banaras Region: A Spiritual and Cultural Guide. Varanasi: Indica Books. p. 31. ISBN 978-81-86569-24-5.[unreliable source?]
^ Kutumbian 2005, pp. XXXII-XXXIII.
^ a b c Meulenbeld 1999, pp. 347–350 (Volume IA).
^ Schultheisz 1981, pp. 60-61, Quote: "(...) the Charaka Samhita and the Susruta Samhita, both being recensions of two ancient traditions of the Hindu medicine.".
^ Loukas 2010, p. 646, Quote: Susruta's Samhita emphasized surgical matters, including the use of specific instruments and types of operations. It is in his work that one finds significant anatomical considerations of the ancient Hindu.".
^ Hoernle 1907, pp. 8, 109-111.
^ Raveenthiran, Venkatachalam (2011). "Knowledge of ancient Hindu surgeons on Hirschsprung disease: evidence from Sushruta Samhita of circa 1200-600 bc". Journal of Pediatric Surgery. 46 (11): 2204–2208. doi:10.1016/j.jpedsurg.2011.07.007. PMID 22075360.
^ Bhishagratna 1911, p. 156 etc.
^ Bhishagratna 1907, pp. 6-7, 395 etc.
^ Bhishagratna 1911, pp. 157, 527, 531, 536 etc.
^ Bhishagratna 1907, pp. 181, 304-305, 366, lxiv-lxv etc.
^ Bhishagratna 1911, p. 377 etc.
^ Bhishagratna 1911, pp. 113-121 etc.
^ Bhishagratna 1916, pp. 285, 381, 407, 409, 415 etc.
^ a b c d e Engler 2003, pp. 416-463.
^ a b Zysk 2000, p. 100.
^ Zysk 2000, p. 81, 83.
^ Zysk 2000, pp. 74-76, 115-116, 123.
^ Zysk 2000, p. 4-6, 25-26.
^ Terry Clifford (2003), Tibetan Buddhist Medicine and Psychiatry: The Diamond Healing, Motilal Banarsidass, ISBN 978-8120817845, pages 35-39
^ Monier-Williams, A Sanskrit Dictionary, s.v. "suśruta"
^ Ācārya, Yādavaśarman Trivikrama (1938). Suśrutasaṃhitā, Suśrutena viracitā, Vaidyavaraśrīḍalhaṇācāryaviracitayā Nibandhasaṃgrahākhyavyākhyayā samullasitā, Ācāryopāhvena Trivikramātmajena Yādavaśarmaṇā saṃśodhitā. Mumbayyāṃ: Nirnaya Sagara Press.
^ Wujastyk, Dominik (2013). "New Manuscript Evidence for the Textual and Cultural History of Early Classical Indian Medicine". In Wujastyk, Dominik; Cerulli, Anthony; Preisendanz, Karin (eds.). Medical Texts and Manuscripts in Indian Cultural History. New Delhi: Manohar. pp. 141–57.
^ a b Wujastyk, Dominik (2003). The Roots of Ayurveda. London etc.: Penguin. pp. 149–160. ISBN 978-0140448245.
^ a b c d e Menon IA, Haberman HF (1969). "Dermatological writings of ancient India". Med Hist. 13 (4): 387–392. doi:10.1017/s0025727300014824. PMC 1033984. PMID 4899819.
^ Ray, Priyadaranjan; Gupta, Hirendra Nath; Roy, Mira (1980). Suśruta Saṃhita (a Scientific Synopsis). New Delhi: INSA.
^ a b Dwivedi & Dwivedi (2007)[page needed]
^ Prof.P.V.Sharma,Ayurveda Ka Vaijnannika Itihas,7th ed.,Ch. 2, Pg.87,Chaukhambha orientalia, Varanasi (2003)
^ Bhishagratna 1907.
^ Bhishagratna 1911.
^ Bhishagratna 1916.
^ Martha Ann Selby (2005), Asian Medicine and Globalization (Editor: Joseph S. Alter), University of Pennsylvania Press, ISBN 978-0812238662, page 124
^ RP Das (1991), Medical Literature from India, Sri Lanka, and Tibet (Editors: Gerrit Jan Meulenbeld, I. Julia Leslie), BRILL Academic, ISBN 978-9004095229, pages 25-26

Pariprashna bukan Intelektual Extravaganza

 


Dalam meniti jalan spiritual, jalan Dharma, Sanatana Dharma, peran intelek sangatlah penting. Itulah sebabnya dlm do'a, dlm Rk Savitri yg populer sbg Gayatri Mantra kita memohon kpd Tuhan yg disebut sbg Savita, agar membimbing dan menuntuk Intelek kita shg bergerak menuju pencerahan.
"Bhargo devasya dhiimahi,
dhiiyo yo nah pracodayat..."
Apakah peran intelek shg begitu penting dlm meniti dharma? Dan mengapa pula Intelek perlu dituntun? Apakah jadinya bila intelek kita tdk dituntun/diarahkan dg benar?
Adalah fakta bahwa manusia sbg mahluk berpikir dan inteleknya sangat menentukan arah pikirannya. Itu pula sebabnya dr Catur Marga ada JINANA MARGA, yaitu jalan Intelektual, jalan analisa, path of reasoning.
Lalu apa itu Pariprashna? Mungkin kita pernah membaca/mendengar buku bernama Prashna Upanisad. Yg isinya adlh pertanyaan2 dan dr pertanyaan itu diberikanlah jawaban yg mencerahkan.
Dlm Bhagavad Giita juga dijelaskan pentingnya Pariprashna,
Tad viddhih pranipatena pariprashnena sevaya,
Upadiksyantite jinanam jininah tattva darsinah.
Pelajarilah kebenaran itu dari para bijaksana melalui pranipatta (bhakti), pariprashna (pengetahuan), dan sewa (pelayanan-karma).
Jadi Pariprashna adalah pertanyaan2 yg diajukan guna memperoleh jawaban dan dg jawaban tersebut dpt memberikan pencerahan, penerangan bgmn melangkah meniti jalan Dharma.
Lalu apakah intelektual extravaganza? Dia adlh pertanyaan2 yg bukan untuk mendapatkan jawaban, tapi semata untuk menguji, mencari celah perdebatan, atau menunjukkan superioritas diri dg beradu argument (berdebat). Intelektual semacam ini nanyak sekali kita temukan sekarang, ya... manusia sekarang perkembangan intelektualnya sdh cukup berkembang baik dibandingkan generasi sebelumnya, tetapi akibat absennya "PARIPRASHNA" potensi intelektual ini terbuang sia2, hanya menghabiskan waktu dan energy untuk memperdebatkan sebuah topik tanpa manfaat pd akhirnya. Dan ironisnya lbh banyak menyumbangkan kebingungan bagi kaum awam akibat dispersi pendapat pr intelektual yg cenderung saling menjatuhkan/menyalahkan.
Oleh karena itu mari kita giatkan PARIPRASHNA dan hindari INTELEKTUAL EXTRAVAGANZA. Agar seperti do'a yg setiap hari kita panjatkan,
Dhiiyo yo nah pracodayat....
Bimbinglah intelek kami agar menuju pencerahan...
Melalui Pariprashna, bukan dg Intelektual Extravaganza.