Jumat, 15 April 2022

CARU

 


Pengetahuan ini bersifat rahasia, sangat pingit. Jika ada pihak yang menghina kegiatan CARU, diam saja. Maafkan mereka yang belum mengerti.
Caru artinya (kemBali) 'harmonis'. Leluhur punya beberapa teknik merubah sifat energi bhuta menjadi dewa (nyomia), ini salah satunya.
Sarana nyomia ada juga yang tanpa membunuh binatang. Tentu teknikal beda, mantra beda, sarana Banten beda, juga kemampuan, kompetensi, sertifikasi profesional pemuput/sulinggihnya harus mumpuni. Agar ritual caru tanpa membunuh binatang berjalan sesuai harapan sang yajamana.
----------++++++-----------
JEJAK TANTRA PADA RITUAL MASYARAKAT BALI KUNO
MA Kresna Dwaja
# Sanggar bhudaireng #
Tantra bagi kami adalah sebuah perubahan sifat energi dari bergejolak dan reaktif menjadi tenang, damai dan harmoni.
Bisa juga dimaknai sebagai pencapaian spiritual yang tinggi, kecerdasan genius, kesadaran yang sangat dalam, serta kemampuan pengelolaan energi yang mumpuni (Rajayoga).
Jejak tantra dalam ritual masyarakat Bali kuno adalah pengejahwantahan filsafat ajaran yang supralinguistik melalui sadhana massal yang praktis untuk mencapai tujuan daripada filosofi yang tinggi-tinggi tsb.
Salah satunya adalah proses 'somya' pada ritual bhuta yajnya yakni merubah sifat energi dari yang ganas, kasar dan rajas ( bhuta ) menjadi sifat yang halus, tenang dan satwika ( dewa ).
Ritual ini adalah wujud kontemplasi bathin para manggala (terutama pemuput upacara) didalam tubuhnya, yang mampu memproses dan memancarkan cahaya energi tantranya pada saat mentransformasikan energi bhuta menjadi dewa ( soma ya ).



Pada saat proses penyebrangan roh binatang (pengaskara-an) terjadi pengelolaan tubuh hewan caru, yang rohnya sudah tidak ada ini digunakan sebagai tubuh baru bagi para roh gentayangan yang bersifat ganas, kasar dan rajas tersebut.
Memahami dan peka terhadap kehidupan setelah kematian juga sangat diperlukan pada proses ini.
Sebagian masyarakat mengatakan ritual caru hanyalah sebuah ritual biasa yang hanya berdasarkan pada keyakinan/srada semata. Kemampuan kontemplasi bathin tidak ditemukan, dan bahkan akan menganggap ritual ini melenceng dari ajaran Weda.
Fenomena caru ini membuat sebagian masyarakat kebingungan mencarikan dasar sastra, tatwa pelaksanaan nya. Apalagi dengan kebiasaan ber-ritual hanya sekedar melaksanakan tanpa pernah 'mengalami', maka tidak akan pernah memahami ajaran tantra itu sendiri.
Memperlihatkan kebodohan yang berkedok advokasi tafsir Weda yang kurang pas, yang menyatakan bhuta yajnya sbg ritual himsa karma. Mereka tidak pernah memahami bahwasanya bhutayajnya di Bali adalah warisan ajaran tantra yang berlandasakan pada aspek transformasi roh binatang, bukan pembunuhan standar dagang sate atau babi guling.
Demikianlah penggalian kami tentang jejak tantra pada pelaksanaan ritual bhuta yajnya di Bali pada khususnya dan nusantara pada umumnya.
Semoga pemaparan ini bisa dijadikan komparasi kepada penggalian ajaran sahabat saat ini yang hanya memahami sebuah ritual sebagai dasar srada - bhakti, bukan pada proses transformasi energi yang sangat dikuasai oleh para praktisi tantra sebagai sulinggih, pemuput upakara.

Banten Pengenteg Hyang

 



(Pejati, Sorohan tumpeng pitu cenik n prasita, Sesayut pengambyan, segehan selem adanan)
di haturkan ring soang - soang merajan sebagai Yasa Kerti Upacara Bhumi Sudha.
Pejati:
Banten tumpeng pitu:
Sesayut Pengambean:
Segehan selem adanan:
Banten tumpeng pitu:
Taledan; peras 2 tumpeng, pengambean 2 tumpeng, tulung 1 slingkut 1 tumpeng, sayut 2 tumpeng, kojong rasmen, penyeneng, sodan, pesucian, bungkak gading

HALA AYUNING PATEMON

 



Hala Ayuning Patemon atau baik dan buruknya sebuah pertemuan merupakan salah satu kunci yang harus dipegang sebelum mencari Padewasan Nganten (Hari Baik Menikah).
Dengan mengetahui Hala Ayuning Patemon dari sebuah pasangan, maka dapat dicarikan solusi dengan mencarikan Padewasan yang baik untuk pernikahan pasangan tersebut.
Bukan berarti ketika tahu bahwa Patemon dari sebuah pasangan ternyata hasilnya jelek, trus langsung memutuskan ikatan pasangan tersebut.
Adapun cara untuk mengetahui atau mencari Hala Ayuning Patemon dari sebuah pasangan adalah sebagai berikut:
Gebogan (Penjumlahan) Urip palekadan (Kelahiran) yang laki ditambahkan (+) dengan gebogan (Penjumlahan) Urip palekadan (Kelahiran) yang wanita.
Hasil dari penjumlahan kedua Urip Palekadan laki dan perempuan dikurangi terus dengan 16 sampai tidak bisa dikurangi lagi (jika sudah bernilai 16 atau dibawahnya).
Urip palekadan (Urip Kelahiran) adalah Saptawara + Sadwara + Pancawara. Berikut adalah nilai dari masing-masing wewaran diatas:
Saptawara:
Redite/Minggu = 5
Soma/Senin = 4
Anggara/Selasa = 3
Budha/Rabu = 7
Wrespati/Kamis = 8
Sukra/Jumat = 6
Saniscara/Sabtu = 9



Sadwara:
Tugleh = 7
Aryang = 6
Urukung = 5
Paniron = 8
Was = 9
Maulu = 3
Pancawara:
Umanis = 5
Pahing = 9
Pon = 7
Wage = 4
Kliwon = 8
Berikut dibawah adalah Hala Ayuning Patemon berdasarkan penjumlahan Urip Palekadan Laki + Perempuan dan dikurangi terus 16. Sisa dari proses diatas akan menunjukan hasil seperti dibawah:
Jika sisanya adalah:
1 = Madia, Suka - Duka (Standar).
2 = Kawon, Lara - Miskin (Jelek).
3 = Kawon, Lara, Wirang, Sering metungkas (Jelek).
4 = kawon, Pianake Mati (Jelek).
5 = Becik Pisan, Sudha Nulus Pinih Becik (Sangat Bagus).
6 = Kawon, Sengsara Kesakitan (Jelek).
7 = Madia, Suka - Duka (Standar).
8 = Kawon, Lara Kepati-pati (Jelek).
9 = Kawon Pisan, Baya Kepati-pati (Sangat Jelek).
10 = Becik, Bikas Ratune Kapanggih, Berpengaruh, Pangupa Jiwa Becik (Bagus).
11 = Becik, Kepradnyan Pangupa Jiwa Becik (Bagus).
12 = Becik, kedepin Lati (Adung/Akur), Pangupa Jiwa Becik (Bagus).
13 = Becik, Tan Kirang Sandang Pangan (Bagus).
14 = Kawon, Tan Polih Keselamatan (Jelek).
15 = Kawon, Bekung/Tidak Memiliki Keturunan (Jelek).
16 = Becik, Nyama Braya Asih (Bagus).
Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa sisa dari penjumlahan Urip Palekadan dari Laki dan Perempuan kemudian dikurangi terus 16 yang baik adalah: 5, 10, 11, 12, 13, 16.
Sedangkan yang madia atau biasa-biasa saja adalah: 1 dan 7.
Dan yang jelek adalah: 2, 3, 4, 6, 8, 9, 14, 15.
Jika hasilnya adalah ternyata jelek janganlah berkecil hati, sebab disinilah fungsi Padewasan atau Wariga. Hasil jelek tersebut dapat disiasati dengan mencarikan Dewasa Ayu yang bertentangan dengan kejelekan patemon diatas.


Uparengga ritatkala Pawiwahan.

 


Uparengga adalah bentuk perangkat upacara yang merupakan simbul perwujudan Sanghyang Widhi melalui kekuatan sinar suci-Nya.
Berasal dari suku kata "upa-re-angga"
Upa = perantara, Re = raditya (sinar suci), dan Angga = wujud atau merupakan perwujudan Ida Sanghyang Widhi.
makna yang terkandung dalam
Simbol-simbol uparengga tersebut antara lain:
1. Sanggah Surya merupakan simbol (nyasa) sthana manifestasi Sang Hyang Widhi (Tuhan), dalam hal ini adalah merupakan sthananya Dewa Surya, untuk memberikan pencerahan dan kehidupan kepada kedua mempelai.
2. Tetimpug memiliki makna sebagai alat komunikasi secara niskala (alam gaib) kepada Bhūta Kala dan secara sakala (alam nyata) kepada umat sekitar bahwa upacara makala-kalaan atau upacara perkawinan segera dimulai.


3. Tikeh dadakan (tikar kecil), memiliki makna kesucian prakrti sebagai alas untuk Purusa melakukan aktivitas.
4. Benang Putih sebagai simbol pembatas waktu dan jarak;
5. Tegen-Tegenan merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung jawab yang bersifat sekala-niskala.
6. Suhun-Suhunan adalah simbol keinginan untuk mendirikan rumah tangga yang sukhinah dengan memantapkan keinginan kedua mempelai.
7. Sapu Lidi 3 katih (batang) memiliki makna kerja keras dan makna lahir, hidup dan mati.
8. Sambuk (serabut) kupakan (dibuka) mengandung makna penyatuan keluarga untuk membentuk rumah tangga yang suhkinah dan setiap rumah tangga akan mengalami masalah, oleh karena itu harus dipecahkan dengan akal sehat.
9. Dagangan, mengandung makna adanya masalah yang harus didiskusikan atau disepakati sebelum mengambil suatu keputusan.
Dumogi bermanfaat.
Sumber :
* Titib, I Made. 2003. Teologi & simbol-simbol dalam agama Hindu. Surabaya: Paramita
* Penelitian makna simbol-simbol Uparengga pada Upacara Mekala-kalaan dalam Perkawinan Umat Hindu Etnis Bali oleh Ni Nyoman Sudiani.
Foto : Doc. Babad Bali Agung

Kajang Pada tradisi kematian di Hindu

 



Pada tradisi kematian di Hindu di Bali ada namanya kajang.
Kajang = Penutup
Sehingga Kajang bisa juga diartikan sebagai Baju bagi roh yang dimohonkan oleh keturunan mendiang kepada Brahmana atau kepada Pedeta/Pemangku Kawitannya.
Kajang ini adalah berupa kain mori yang dituliskan berbagai simbol-simbol yang kemudian melalui upacara termasuk menghidupkannya hingga oleh Dewi Saraswati. Sehingga dalam prosesnya wajib menyertakan banten Saraswati.
Pada Kajang terdapat simbol atau encryptions tertentu ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus yang datang dari Bhisama keluarga dll., jadi simbol-simbol ini menandakan juga sebagai simbol “genetik” keturunan.


Diatas kajang ini kemudian akan ditempatkan ukur bambu dan ukur kepeng maupun ukur perak dan atau emas. Ukur ini bisa diibaratkan miniatur tubuh manusia yang kemudian di jarit dengan tusukan jarum pada tiap bagiannya sehingga menyatu dengan enkripsi kajang.
Simbol Kajang ini umumnya terdiri dari tiga lapis kain yang berisi enkripsi. Yang pertama adalah Kajang inti yang berisi simbol-simbol rerajahan utama, kemudian ada namanya rurub kajang atau kain penutupnya atasnya yang juga berisi encripsi dan yang terakhir adalah pengulu atau tutup kepala yang juga berisi simbol rerajahan atau enkripsi.
Kajang sebenarnya bisa juga diartikan sebagai hadiah keturunannya kepada mendiang yang sudah meninggal sehingga diluar kajang inti (yang menjadi dasar bagi ukur untuk di jarit menyatu dengan jarum (ngajum)) bisa terdapat juga lebih dari satu rurub kajang. Bahkan ada juga yang memakai sejumlah 21 lembar total keseluruhan.
Jadi Kajang adalah juga bisa dimaknai sebagai salah satu simbol bhakti dari keturunan mendiang yang akan di kremasi.
-adaptasi dari penjelasan Mangku Merajan Kawitan-

Ada brp kajang? Kajang Siwa n kajang kawitan?
kajang itu tetap satu. Ada yang tidak mengetahui kawitannya maka cukup Kajang dari Ida Sulinggih.
Yang menjadi 21 lembar nike adalah kajang beserta rurub kajangnya yang extra. Kajang itu pasti satu yang menjadi dasar dari penempatan ukur. Setelahnya adalah rurub dan pengulu (kerudung atau tutup kepala).
Jadi bila nunas dari Trisadakapun bisa. Bila dilakukan maka akan ada empat kajang bukan lagi dua (termasuk kajang kawitan).
Nggih yang umum terlihat adalah memakai dua kajang satu yang khusus dari kawitan dan lagi satu dari Ida Sulinggih (Siwa/Surya).
Tapi yang tidak mengetahui kawitannya maka Kajang dari Griya sudah cukup dan sempurna.

Bale kulkul

 


Saat piodalan pantasnya dibale kulkul munggah suci sorohan. Karena kulkul memegang fungsi sebagai pemanggil para Dewa.
Bale kulkul seyogyanya ditempatkan di Barat daya karena yg melinggih disana adalah Bhatara Siwa Rudra (Bukan iswara seperti yg saya dengar selama ini), konon saat Bhatara siwa memanggil para Dewa beliau mengambil rupa sebagai Rudra dengan iringan Butha kala I Kala Ngerak.
Maka sepantasnya saat Pemangku memulai puja kulkul dibunyikan serta saat pratima lunga utawi ngeranjing kulkul juga dibunyikan.

Memaknai Yadnya

 



Setiap kata adalah ekspresi dr sebuah ide atau lebih yg disampaikan dg sebaik2nya agar orang lain yg menerima eķapresi tsb memahami dg sebaik2nya ide yg dimaksud.
Terlebih dlm bahasa "samskritam" yg tiada lain maknanya sam + krita = samskritam yg berarti sesuatu yg dibangun dg cara terbaik.
Artinya dlm bahasa sansekerta, setiap kata dibangun sedemikian rupa shg mendapatkan bentukan kata yg terbaik untuk menyampaikan sebuah "bhawa" atau ide. Bhawa ini biasanya tersimpan dlm akar kata atau root verb dr kata bentukan td. Jd dg mengetahui akar katanya, kita mendapatkan ide atau bhawa de kata tsb, dan mengembangkan maknanya untuk memahami apa yg dimaksud.
Yadnya adalah salah satu kata "samskritam", berasal dr akar "yaj" menjadi "yajina" menjadi yadnya dan maknanya adalah
“an act of applying oneself quietly and persistently to master something by focused intention”
Jadi yajnya adalah suatu tindakan yg dilakukan dengan ketekunan dan khidmat untuk menguasai sesuatu dengan konsentrasi yg menunggal. Dalam melakukan yajnya spirit ini yg harus ditanamkan. Walaupun intinya hanya satu tujuan dr yajnya yaitu untuk mencapai Tuhan, sesuai definisi, tetapi manifetasinya yang beragam membuat kita harus menyesuaikan dg obyek yajnya, karenanya kita mengenal:
(Berdasarkan pembagian yajnya dlm filsafat ANANDA MARGA - Shrii Shrii Anandamurti))
1. Bhuta yajnya,
2. Manusa yajnya (atau Nr Yajnya, nr=nara=manusia),
3. Rsi yajnya,
4. Pitra yajnya atau (Pitr) dan
5. Dewa yajnya(atau Adhyatma yajnya=Tuhan)
Bhuta yajya mencakup segala ciptaan diluar dr keempat lainnya. Berarti seluruh mahluk spt tumbuhan, hewan dan batu, tanah air, lingkungan dsb. Bhuta yajnya dilakukan dg memperlakukan "mereka" (sarvabhuta) dg baik, menjaga keharmonisan lingkungan alam, tidak mencemari lingkungan (udara, air dan tanah) merupakan bentuk bhuta yajnya. Memberi makan hewan, menyiram tanaman juga termasuk bhuta yajnya. Dengan bhuta yajnya keseimbangan alam semesta akan terjaga. Bhuta yajnya harus dilakukan dlm kehidupan sehari2 berkesinambungan.
Manusa Yajnya mencakup pelayanan terhadap sesama manusia, menolong orang yg sakit, membantu yg miskin, membantu org terkena bencana dsb. Semua dilakukan dg spirit melayani Tuhan, menyadari sesama sebagai bagian yg tak terpisahkan dr diri kita. Tat tvam asi.
Pitra yajnya, bagaimana melayani leluhur? Ini sdh sering dibahas panjang lebar. Leluhur yg sdh jauh dr jangkauan dunia maya, maka untuk melayaninya adalah dg menjaga prati sentananya, keturunan dan keluarga yg masih ada, menerapkan nilai2 luhur yg mereka ajarkan.
Rsi Yajnya, diantara manusia ada orang2 tertentu yang telah menyumbangkan hasil karya yang besr bagi umat manusia. Mereka yang menurunkan pengetahuan, yg membuat kesehjateraan manusia spt yg kita nikmati skrng patut dihargai. Dengan meniru tauladannya, menyebarkan ajaran sucinya.
Adhyatma, ini adalah bentuk yajnya terakhir dalam bentuk sadhana. Melakukan yoga, meditasi, dsb. Sebuah usaha mensucikan jiwa raga agar menjadi dekat dgNya.
Kesimpulannya kalau kita fahami dengan baik, semua merupakan satu kesatuan untuk menciptakan tatanan kehidupan yg harmonis fisik mental dan spiritual, dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Internal maupun eksternal. Antar sesama manusia dan dengan alam semesta dan Tuhan (Tri Hita Karana). Kalau ini difahami dan dilaksanakan dengan benar, hasilnya adalah nyata. Tetapi kalau hanya dijadikan simbolik, maka tdk ada hasilnya. Demikianlah Yadnya yang bersifat simbolik kalau tidak diikuti dg praktek nyata, tdk akan memberikan kesejahteraan.