Kamis, 14 Januari 2021

Bayi Rentan Diganggu Makhluk Halus, Ini Alasan dan Solusinya






NASI WONG-WONGAN : Segehan dengan nasi kepelan dan wong-wongan bisa diletakkan di bawah tempat tidur si bayi, untuk menangkal gangguan ilmu hitam atau makhluk halus. (SURPA ADISASTRA/BALI EXPRESS)





BALI EXPRESS, DENPASAR - Menjaga bayi adalah pekerjaan yang gampang-gampang sulit. Oleh karena itu, diperlukan kesabaran dan ketelatenan. Meski demikian, terkadang sebagai pengasuh, terutama orang tua, bisa saja mengalami hal yang membingungkan. Misalnya bayi tiba-tiba menangis tak wajar pada jam-jam tertentu, khususnya tengah malam. Ketika dicek secara medis, ternyata si bayi sehat walafiat. Namun, tetap saja setiap malam si bayi menangis tidak karuan, seperti ketakutan. Bagaimana cara menangkalnya?


Sebagai masyarakat nusantara, khususnya Bali, fenomena semacam itu tak jarang dialami keluarga yang baru dikaruniai seorang anak. Oleh karena itu, bayi orang Bali diperlakukan dengan sangat ketat, terutama dari segi ritual. Perlakuan bayi, ari-ari, dan sang ibu yang baru melahirkan, sangat spesial.



Salah satu akademisi Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Dr. I Made Adi Surya Pradnya atau yang populer dengan nama Jro Dalang Nabe Roby, tak menampik ada kepercayaan masyarakat Bali terhadap fenomena gaib yang terjadi pada bayi. Masyarakat Bali yang lekat dengan budaya religius magis, kata dia, percaya jika bayi rawan diganggu oleh makhluk halus atau orang yang mengamalkan ilmu hitam.


"Dalam Kanda Pat Rare, bayi disebut orang yang masih suci. Jadi, orang yang masih suci menjadi 'makanan empuk' dari orang-orang yang mengamalkan ilmu gaib secara negatif," ujarnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Selasa (30/5/2017) lalu.

Konon, makhluk halus atau orang yang mengamalkan ilmu hitam, lanjutnya, mencium aroma bayi yang baru lahir seperti masakan yang lezat. "Jadi, baunya sangat enak, seperti masakan," ungkapnya.

Berkenaan dengan hal itu, bayi menurutnya harus mendapat perlakuan ekstra, tak hanya secara medis, juga secara ritual. Tak hanya si bayi, namun berdasarkan ajaran Kanda Pat, seorang lahir ke dunia bersama Catur Sanak atau empat orang saudara. Yang paling tua berwujud fisik yeh nyom (air ketuban) dan dinamakan Anggapati. Kedua berwujud fisik getih (darah) dengan nama Mrajapati. Ketiga berwujud fisik ari-ari (plasenta) dengan nama Banaspati. Sedangkan yang keempat berwujud fisik lamas (lapisan lemak yang membungkus janin) dengan nama Banaspati Raja. Keempat saudara inilah yang dipercaya menemani dan menjaga manusia selama hidupnya, meski kelak tak ada lagi wujud fisiknya, sehingga harus diperlakukan dengan hati-hati.

Salah satu yang biasanya dibawa pulang ke rumah dan dikubur di pekarangan adalah ari-ari. Ari-ari tersebut pun tak sekadar dikubur, namun diberikan ritual dan dijaga dengan berbagai benda, seperti ditutup dengan batu, diberi pandan berduri, dan ditutup dengan keranjang. Bahkan, setiap hari diberikan sesajen dan diberikan penerangan berupa lampu minyak. "Menjaga Sang Catur Sanak ini penting, karena untuk menyerang si bayi, bisa saja melalui nyama patnya," jelas doktor termuda IHDN tersebut.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Selain itu, biasanya distanakan pula Sang Hyang Kumara di pelangkiran. Seperti yang tercantum dalam mitologi, Sang Hyang Kumara atau Sang Hyang Rare Kumara adalah putra Dewa Siwa yang bertugas menjaga bayi.

Nah, jika segala perlakuan secara medis maupun ritual telah dilaksanakan, namun si bayi menangis setiap sandi kala (pergantian waktu), khususnya pada sore hari menjelang malam atau pada tengah malam, maka tidak menutup kemungkinan ada hal gaib yang mengganggu.

"Bayinya sehat, mengapa menangis terus. Padahal, susu juga sudah diberikan, ternyata tetap menangis. Pasti ada faktor lain," ujarnya.

Dengan demikian, Jro Dalang Nabe Roby mengatakan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, Sang Hyang Rare Kumara setiap hari harus dibantenin (diberikan sesajen) dan diisi mainan. Demikian pula ari-arinya. "Apabila si bayi masih menangis setiap jam 12 malam, maka perlu dibuatkan segehan kepelan berisi nasi wong-wongan yang dihaturkan di bawah tempat tidur si bayi. Itu dihaturkan sebagai upah, agar tidak si bayi yang diganggu," paparnya.

Selanjutnya, ia mengatakan, ada cara lainnya, yakni dengan air klebutan atau air yang diambil dari mata air langsung atau sumur. Selanjutnya air tersebut dilemparkan ke atap dapur dan air yang jatuh ditadah dengan kukusan dan diwadahi panci tanah liat.

"Air tersebut kemudian dipercikkan sebagai tirtha kepada bayi. Itu panugerahan Brahma Geni. Jadi, itu yang dipakai ngeseng (membakar) energi negatif," jelasnya.

Selain itu, Jro Dalang mengatakan, perlu juga pengecekan pekarangan. "Sebelum bayi dibawa ke rumah, rumah harus dibersihkan dahulu. Terutama di panunggun karang, harus ngatur piuning dan menyampaikan bahwa akan ada anak kecil di rumah itu dan agar ikut menjaga," bebernya.

Dari semua itu, ia menegaskan, yang paling penting untuk menenangkan bayi adalah sentuhan dan pelukan seorang ibu. Tidak bisa dipungkiri, antara bayi dan ibu ada ikatan jiwa dan emosional yang sangat kuat. "Jadi, sentuhan dan pelukan seorang ibu sangatlah penting," tandasnya.



(bx/adi/yes/JPR)

Diganggu Wong Peri Jika Tengai Tepet, Sandikala dan Tidak Sopan






PANTANG: Jika ingin melukat di Pura Beji Utama, pantang dilakukan pada tengai tepet, sandikala dan berbicara tidak sopan. Jika itu terjadi, siap – siap diganggu wong peri. (KUSUMA YONI/BALI EXPRESS)





MENGWI, BALI EXPRESS - Pura Beji Utama Sari atau yang sebelumnya dikenal dengan nama Pura Beji Gerobogan yang berlokasi di Banjar Lebah Sari Desa Adat Gulingan Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung. Pura ini tidak saja menjadi tempat penyucian bagi Ida Bhatara yang berstana di Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Gulingan, pura ini juga menjadi salah satu tempat melukat bagi umat Hundu.


Menurut Pemangku Pura Beji Utama Sari, Jro Mangku Made Sarya, Pura Beji Utama Sari (wawancara dilakukan Juli 2016) yang juga dikenal dengan nama Pura Beji Taman Sari ini adalah salah satu Pura Beji yang ada di Lingkungan Desa Adat Gulingan yang memiliki kaitan dengan pengembaraan Ida Pedanda Sakti Telaga atau yang lebih dikenal dengan nama Ida Pedanda Sakti Ender dari tempat tinggalnya di Gelgel menuju Desa Gulingan pada masa pemerintahan Tjokorda Pugangga sebagai Raja Mengwi.




Seperti yang diceritakan Sarya, Ida Pedanda Sakti Ender, selama pengembaraannya, Beliau sempat singgah di Desa Gulingan dan di Desa ini Pedanda Sakti Ender memiliki banyak murid. “Perjalanan Beliau di Gulingan ini dimulai dari arah Timur, selanjutnya ke Selatan sampai di Banjar Batulumbung, dan akhirnya berhenti di Pancoran Utama Sari untuk beristirahat,” jelasnya.


Ketika beristirahat di Pancoran Utama Sari ini, Ida Pedanda Ender sempat melakukan Puja Samadi karena suasana di Pancoran tersebut sangat tenang, setelah melakukan puja semadhi, Ida Pedanda Ender pun tertarik dengan kesejukan air Pancuran, dan akhirnya Ida Pedanda Sakti Ender mandi di Pancuran tersebut.

Ketika mandi di Pancuran Utama Sari ini, Ida Pedanda dikatakan Mangku Sarya diganggu oleh Wong Peri yang ada di pancuran t e r s e b u t . K a re n a m e r a s a terganggu oleh kejahilan Wong Peri ini, akhirnya Ida Pedanda Ender marah dan menggunakan kesaktiannya untuk menemukan Wong Peri yang menganggunya.

Setelah berhasil menemukan para wong Peri yang menganggunya ini, para wong peri ini akhirnya mengakui kesaktian dari Ida Pedanda Ender. Karena menganggu Ida Pedanda ketika mandi, akhirnya Wong peri ini o leh Ida Pedanda Sakt i Ender diberikan tugas untuk menjaga pancoran Utama Sari ini. “Selain itu para wong peri ini juga diberikan kuasa untuk mengganggu siapa saja yang mandi ketika waktu matahari berada di atas kepala (tengai tepet) dan ketika Sandikala dan bagi mereka yang berbicara t i d a k s o p a n d i a re a l B e j i Gerobogan itu,” paparnya.

Wong Peri ini dikatakan Sarya diberikan tugas untuk menjaga Beji Utama Sari ini untuk selamanya, sehingga sampai saat ini masyarakat percaya jika mandi pada waktu matahari di atas kepala dan saat sandikala, maka dipercaya yang mandi akan diganggu oleh wong Peri yang menjaga Pancoran Utama Sari ini.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Selain memberikan tugas kepada para wong peri untuk menjaga Pancoran ini, Pedanda Sakti Ender dikatakan Sarya juga memberikan nama baru kepada pancoran ini, sebelum bernama pancoran Utama Sari, Pancoran ini bernama Pancoran Gerobogan karena sumber air di pancoran ini hanya satu dan dialirkan dengan pipa yang terbuat dari batang bambu.

Nama Pancoran Utama Sari dikatakan Sarya mengandung makna, pancoran yang utama atau pancoran yang memiliki sumber air yang utama dan istimewa yang mampu memberikan kehidupan bagi masyarakat yang ada di desa adat Gulingan. Karena itulah dikatakan Mangku Sarya, air pancoran ini selain berfungsi sebagai sarana melukat juga berfungsi sebagai sumber air minum bagi masyarakat.

Pura Beji yang piodalannya jatuh pada Purnama Kedasa ini, dikatakan Mangku Sarya saat ini diemong oleh 48 pekarangan rumah yang berasal dari beberapa banjar di Desa Adat Gulingan. “48 pekarangan inilah yang bertindak sebagai pengemong dari Pura Beji Utama Sari dan bertanggung jawab atas aktivitas dan perawatan di Pura Beji ini,” jelasnya.

Untuk piodalan di Pura Beji Utama Sari ini, Mangku Sarya menyebutkan jika upakara yang digunakan dalam melaksanakan ritual piodalan banten dengan tingkatan yang sederhana tetapi namun tetap pada tingkat yang utama, yakni pad atingkat banten Taman Pulegembal.

Pada hari piodalan tersebut, juga hadir beberapa undakan (barong dan rangda) dari beberapa banjar yang ada di Desa Gulingan. “Para undakan ini memang hadir setiap hari Pujawali di Pura Beji Utama Sari ini,” paparnya.



Berkhasiat Untuk Mengobati Sakit Mata

SELAIN air Beji Utama Sari dimanfaatkan sebagai sumber air suci dan tempat untuk melukat bagi masyarakat di sekitar Desa Adat Gulingan bahkan dari Seluruh wilayah di Bali, air dari Beji Utama Sari ini diakui Mangku Sarya juga dipercaya memiliki khasiat untuk menyembuhkan sakit mata.

Seperti yang diungkapkan Mangku Sarya, sejak dahulu air Beji Utama Sari sudah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengobati sakit mata. “Jika ada wabah sakit mata, masyarakat disekitar sini percaya jika air pancoran Utama Sari ini berkhasiat untuk mengobati sakit mata yang disebabkan oleh virus,” paparnya.

Selain digunakan untuk obat sakit mata, khasiat air Beji Utama Sari juga dikenal sebagai tempat untuk melukat, yang datang melukat di Beji Utama Sari ini diakui Mangku Sarya tidak saja masyatakat yang berasal dari Kabupaten Badung saja, melainkan berasal dari hampir seluruh wilayah yang ada di Bali.

Rata-rata yang datang melukat ke Beji Utama Sari ini adalah mereka yang mendapat petunjuk dari orang pintar supaya melakukan ritual pengelukatan di Beji Utama Sari ini. “Untuk yang mendapatkan petunjuk ini mereka biasanya datang dengan upakara dan sarana yang sudah ditentukan oleh orang pintar tersebut,” paparnya.

Selain itu, ada beberapa manfaat lain dari air Beji Utama Sari ini, antara lain adalah untuk mengairi areal persawahan yang ada di lingkungan Subak Batan Badung Munduk Bukti Tuh. Selain itu fungsi Beji juga berfungsi sebagai tempat penyucian bagi Ida Bhatara yang berstana di Pura Kahyangan tiga di Desa Adat Gulingan. “Selain itu Beji ini juga digunakan untuk ritual Ngening jika ada upacara atma wedana,” tambahnya.



(bx/gek/yes/JPR)

Dua Jenis Tirta Malukat Penetralisasi Bala, Air Laut Terbaik






Ida Peranda Gede Wayahan Wanasari (PUTU AGUS ADEGRANTIKA/BALI EXPRESS)

BALI EXPRESS, DENPASAR - Malukat merupakan prosesi pembersihan diri, yang biasanya menggunakan air. Selain menggunakan tirta, sumber air juga jadi tempat yang dicari.


Melukat berasal dari Ngelut atau Lukat, yang berarti pembersihan dari sebuah karma yang dibawa sejak lahir.



“Kita lahir di dunia karena ada sebuah karma, maka karma itulah kita perlu bersihkan, salah satunya dengan cara malukat,” terang Ida Peranda Gede Wayahan Wanasari ketika diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) di Kantor PHDI Bali, Jalan Ratna, Denpasar, pekan kemarin.


Dijelaskannya, segala bentuk karma yang dibawa dari kehidupan sebelumnya, karya yang sedang dijalankan, dan karma yang akan dilewati, perlu diharmonisasikan. Dan, sebagai cara paling mudah dengan cara malukat sebagai mengharmonisasikannya, di samping dilengkapi juga dengan sesajen maupun lantunan doa-doa berupa mantra.

Ia juga mengakui dalam proses malukat sebagai bentuk pengembalian badan kasar dan badan halus. Tentu pengembalian secara niskala ke unsur air, badan dibersihkan oleh air. Sedangkan rohani akan dibersihkan kembali oleh puja dan mantra. Maka kedua badan tersebut kena dalam prosesi malukat tersebut.

Peranda Wayahan mengatakan, tempat yang baik untuk malukat pada tempat sumber air suci. “Semua tempat sangat baik, apakah itu di campuhan, pancuran, di air tritisan yang disucikan, atau dari trita panglukat yang dibuat oleh para sulinggih juga bisa. Makanya ada dua jenis, tirta panglukatan pangarga dan tirta panglukatan klebutan,” jelas pria asli Sanur tersebut.

Tirta pangarga adalah tirta yang digunakan untuk malukat, sengaja dibuat oleh sulinggih. Sedangkan tirta panglukatan klebutan secara langsung dari alam. Ia mencontohkan sumber mata air seperti klebutan dari tanah, pancuran yang berasal dari tebing, pertemuan dua sungai dan pertemuan air sungai dan air laut.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dikatakannya, tirta yang paling bagus digunakan untuk malukat adalah tirta yang ada di laut. Sebab dalam laut terdapat berbagai macam pertemuan sumber mata air. Sedangkan tirta yang sengaja dibuat oleh sulinggih juga terdapat dua jenis, yaitu tirta karena nuur oleh pemangku dan dibuat oleh sulinggih.

“Fungsi dari malukat untuk membersihkan diri dari kekotoran, apakah itu kena kepapaan, maupun musibah yang menimpa,” jelasnya.

Tak disanggahnya tidak jarang ada seorang dibayuh beberapa kali, tetapi penyakit atau sifat keraksasaan masih saja melekat pada diri seseorang tersebut. Semua itu, lanjutnya, bahwa orang tersebut masih membawa karmanya yang terdahulu. Sehingga pada masa kehidupannya yang sekarang berapa kali dibayuh akan tetap kelakuannya seperti itu.

Dijelaskannya, terdapat tiga jenis duka yang dibawa sejak lahir. Terdiri atas adiatmika duka, bautika duka, adi mika duka. Ia menyebutkan ada sakit karena bawaan, sakit karena ulah kita sendiri, dan sakit yang tidak tahu penyebabnya. Maka dengan demikian perlu sekali-kali malukat untuk membersihkan diri.

Ditambahkannya, jika malukat di rumah bisa dilakukan di sumur, di depan perantenan, ada juga diklebutan (sumber mata air). Jika anak kecil harus berawal dari sumur terlebih dahulu. Baru dilanjutkan malukat ke depan perantenan. Karena menurutnya, ketika di rumah tempat tersebutlah sumber mata air.

“Karena pada zaman dulu orang belum mengenal pompa air, tahunya sungai, pancuran, dan di rumah sendiri ya sumur sebagai sumber air. Airnya juga ditampung pada sebuah gebeh di dapur. Kalau malukat di dapur yang ditunas adalah Sang Hyang Brahma untuk membersihkan diri,” urainya. Malukat juga tergantung kepada siapa untuk nunas karahayuan, namun pada intinya kepada Ida Sang Hyang Widhi dengan segala prabawanya. Salah satunya pada dewa-dewa sebagai manifestasinya.

Pada tempat yang berbeda, seoarang walaka, Ida Bagus Puja mengaku sering ngalukat panjaknya, baik itu pada merajan gria sendiri ataupun pada merajan seseorang yang melakukan otonan pabayuhan.

“Kalau melakukan panglukatan di merajan, terdapat dua jenis tirta, yakni dari proses pembuatan dan berasal dari sumber mata air. Entah itu pancuran dengan berjumlah sesuai urip tegak otonan, maupun pada sebuah klebutan,” bebernya.

Dikarenakan setiap orang hari lahirnya berbeda-beda, lanjutnya, maka ketika otonannya harus menggunakan tirta dari pancuran dengan mencari juga jumlah pancuran sesuai uripnya.

" Panglukatan sebagai pembersih jiwa dan raga seseorang. Selain dapat menyegarkan badan kasar,juga menyegarkan jiwa rohani seseorang," pungkasnya.



(bx/ade/rin/yes/JPR)

Lontar Dharma Pawayangan, Benteng Dalang Lawan Aji Ugig






Jro Dalang Gusti Made Aryana alias Dalang Sembroli (Dian Suryantini/Bali Express)





SINGARAJA, BALI EXPRESS-Menjadi seorang dalang atau orang yang memainkan wayang tidaklah mudah. Selain harus mengetahui beberapa cerita pawayangan, seorang dalang juga harus mengetahui aturan yang tersirat dalam Lontar Dharma Pawayangan.


Seorang dalang mesti mengetahui beberapa isi dari Lontar Dharma Pawayangan sebagai pedomannya. Ada beberapa peraturan yang harus dilakoni mereka yang menekuni dunia perdalangan.




Lontar Dharma Pawayangan merupakan naskah yang berkaitan dengan dunia seni wayang dan kewajiban seorang dalang.


Pada pasal 01 Dharma Pawayangan disebutkan tentang profesi seorang dalang dengan sebuah Kayon untuk menceritakan pada seluruh dunia untuk semua kehidupan yang terdapat dalam alam semesta.

Dalam pasal tersebut berbunyi : "Sang Amengku Dalang mawak gumi, mawak bhuta, mawak dewa, dalang ngarania waneh, karana dadi Siwa, karana dadi Paramasiwa, karana dadi Sadasiwa, karana dadi Sang Hyang Acintya, mapan Sang Hyang Acintya panunggalaning bhuana kabeh, wenang umilihaken lungguhnia. Wenang sira uncarakena carita, wenang uncarakena kataning aksara, wenang uncarakena japa muang mantra. Samangkana ngaran dalang".

Arti dari kutipan lontar tersebut yakni orang yang berprofesi sebagai dalang merupakan simbol bumi, simbol bhuta/makhluk halus, simbol dewa yang berhak menjalankan tugas-tugas Hyang Siwa, Paramasiwa, Sang Hyang Acintya, karena Acintya simbol panunggalaning bumi semua, dapat menentukan kedudukannya berhak menyebarluaskan cerita, berhak mengucapkan Veda atau mantra.

Sedangkan dalam Pasal 02 dari Dharma Pawayangan itu, menyebutkan tentang ajaran-ajaran atau kewajiban yang telah digariskan oleh Sang Hyang Catur Loka Pala yang bertujuan memotivasi umat.

Kutipan teksnya berbunyi : "Iti aji Dharma Pawayangan, ngawenang sumuliha ring ganal alit, mwah ring bhuana agung. Yan sira mahyun sudi ring putusaning ngawayang, palania tan langgana rijengira Sanghyang Catur Lokapala.

Apan sira umindahaken suci nirmala tatwa, weruh ri adoh aparek, ring satwa adnyana, terus malunga ring tri bhuana sangkania ana sor luhur, madia utama, pati berate, sabda bayu, ideping ala".

"Wenang pwa sira Sanghyang Catur Lokapala, umideraken satsatnira Sanghyang Kawicarita, sira ta ngaran dadi dalang-dalang. Sangkanyaana dalang patpat : yuwaktinia, Brahma, Wisnu, Iswara, Mahadewa yan ring bhuana agung, Iswara akasa, Mahadewa sitidrani, Sanghyang Wisnu rupaning bhuana, Brahma tejaning bhuana, sangkania dadi urip, dadi pati, dadi sabda, dadi bayu”.

Artinya ini adalah ilmu tentang Dharma Pawayangan, yang wajib diterapkan dalam alam kecil dan alam besar. Bagi yang mau dan senang dengan keputusan melaksanakan tugas pewayangan, agar tidak dikutuk oleh Sanghyang Catur Lokapala, karena akan membicarakan kesucian tattwa, tahu dengan yang jauh dan yang dekat, tahu dengan bilangan yang ada dalam badan dan yang ada di tiga dunia.

Oleh karena itu ada bawah ada atas, menengah utama, taat dan patuh, suara tenaga, pikiran jelek, sehingga pantaslah Sanghyang Lokapala mengelilingi dan menempatkan Sang Kawicarita, dialah namanya menjadi dalang.

Dengan mengetahui ketentuan, panduan dan aturan yang telah tersurat dalam Dharma Pawayangan yang merupakan kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seorang dalang. Maka mereka yang disebut sebagai dalang sejatinya memangku tugas yang berat.

“Dikatakan memangku tugas yang cukup berat, karena dengan kondisi yang sekarang sudah tentu tantangan dan hambatan sangat kompleks dan menuntut sebuah kesadaran untuk mampu memahami serta melaksanakan apa yang mesti dilakukan oleh seorang dalang,” tutur Jro Dalang Gusti Made Aryana.

Dalam lontar itu juga diatur mantra-mantra yang harus diketahui oleh seorang dalang. Mulai dari baru berangkat dari rumah hingga selesai menunaikan tugas ngawayang di rumah si empunya acara.

“Dalam lontar itu, mantranya dibagi menjadi tiga bagian. Yakni mantra yang dilafalkan sebelum pertunjukan, mantra saat pertunjukkan, dan mantra seusai pertunjukan. Ada banyak sekali mantranya itu, dan itu harus diikuti prosesnya,” tambah dalang yang kerap disapa Dalang Sembroli ini.

Dalang Sembroli yang khas dengan rambut keritingnya itu pun membeberkan mantra-mantra yang digunakan yang terdapat dalam Lontar Dharma Pawayangan. Ia memaparkan satu per satu dari mantra sebelum pertunjukkan.

Mantra-mantra sebelum pertunjukan adalah mantra yang digunakan dalang mulai berangkat dari rumah sampai tiba di tempat pertunjukan.

1. Om Ang Lingga Boktra Prayojana Suda Ya Namah Swaha (napas deras hidung kanan = Brahma mangwayang). Mantra ini digunakan saat dalang tiba di pintu masuk tempat ngawayang. Sang dalang berdiri sejenak dan mengheningkan cipta, merasakan napasnya lebih deras pada hidung kanan, hal ini diyakini oleh para dalang bahwa Hyang Brahma memberikan restu. Secara Teologi mantra ini diperuntukan untuk memuja Dewa Brahma 'Ang' = Bhrahma.

2. Om Ung Lingga Boktra Prayojana Suda ya Namah Swaha (napas deras hidung kiri = Wisnu mangwayang). Jika setelah mengheningkan cipta di depan pintu gerbang dan merasakan napas lebih deras ada hidung kiri secara teologi diyakini Dewa Wisnu telah memberikan restu pada jro mangku dalang Ung = Wisnu.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

3. Om Mang Lingga Boktra Prayojana Suda Ya Namah Swaha (napas kedua lobang hidung sama derasnya = Iswara mangwayang). Bila dirasakan kedua hidung sama deras napasnya berarti secara teologi Dewa Siwa telah merestui pertunjukannya, Mang = Siwa.

4. Dalam perjalanan : “Om Kamajaya tatkalaning lumaku jaya sidi ya namah swaha”. Mantra ini ditujukan untuk memuja Sang Hyang Kamajaya agar dalam perjalan menuju tempat pertunjukan mendapatkan keselamatan dan kejayaan.

5. Setelah sampai di tempat pertunjukan : “Om Kamajaya wus prapta ngeka kesaktian ya namah swaha”. Secara teologi mantra ini ditujukan untuk memuja Sang Hyang Kamajaya untuk mendapatkan kekuatan atau kesaktian lahir dan batin pada saat mendalang.

6. Duduk : “Om Ang, Ung, Mang, Ang Ah, Ang Ah, Ang Ah”. Mantra tersebut untuk memuja Sang Hyang Tri Murti yaitu Brahma,Wisnu dan Siwa.

7. Makan : “Om mahamerta ingsun amukti sarining suci nirmala, urip langgeng wisya punah wisya punah wisya punah”. Jadi, mantra ini memuja Sang Hyang Amerta. Pada saat jro mangku dalang makan, agar terhindar dari segala gangguan Aji Ugig, bahaya dan menghilangkan segala racun, dan menjadikan semua makanan menjadi amerta.

Demikian mantra-mantra yang digunakan sebelum ngawayang. Selanjutnya ada pula mantra-mantra yang digunakan saat pertunjukan. Setelah selesai mendapat boga atau prasmanan, dalang mulai bersiap menuju tempatnya ngawayang.

Duduk di belakang kelir tepat di bawah lampu blencong. Mantra-mantra ini adalah mantra-mantra yang biasa dipakai secara umum, kendatipun ada pula beberapa dalang yang tidak menggunakannya. Adapaun susunan mantra-mantra yang telah dirangkum dan di struktur sebagai berikut:

1. Duduk di bawah lampu blencong atau dibelakang kelir : “Utpti (lahir): “Sa, Ba, Ta A, I, Na, Ma, Si, Wa, ya, Am Um Mam. “Stiti (hidup) : I, A, Ta, Ba, Si, Ya, Wa, Si Ma, Na, Um Am Mam. Pralina (mati) : A, Ta, Sa, Ba, I, Si, Wa, Ma, Na, Ya, Mam Um Am. Mantra ini diucapkan agar dalang mendapatkan kekuatan dari para dewa dalam wujud Sang Hyang Dasaksara sebagai kekuatan utpati, stiti, prelina (lahir, hidup dan mati).

2. Mantra Lampu Blencong: “Ang, Ang, Ang Bang Agni astra murub kadi kala mertyu anyapuh awu, durga lidek teka geseng, aku Sangh Hyang Cintya gni, amlabar gni sejagat, buta, leak desti satrunku teka geseng”. Mantra ini untuk memuja Sang Hyang Agni agar memberikan kekuatan kepada nyala api blencong, serta memusnahkan segala ancaman (Aji Ugig) yang ingin mencelakakan sang dalang.

Selain itu, dilihat dari kaca mata batin, mantra ini adalah mencerminkan kekuatan dalam sang dalang sebagai api batin. Lebih jauh lagi, agar dalang selalu mempunyai semangat yang berkobar-kobar dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang dalang.

3. Ngundang Taksu : “Ih..taksu ngidep buwana kena, sang hyang manik terus manik astagina, sang taksu dibya, atinku Surya Candra anyunari sebuana, ala ayu katon ring idep, teka jati ening, teka dudupan, teka dudupan, teka dudupan”. Mantra ini diucapkan untuk mengundang Sang Hyang Taksu, agar pertunjukan dapat memukau penonton lewat tuntunan dan tontonannya.

Lebih spesifik lagi, agar segala yang akan diucapkan atau dilakukan dalang, semuanya terang bendrang, jelas seperti siang disinari matahari, dan gelap seperti disinari bulan. Dengan demikian segala yang disampaikan menjadi terang bendrang tanpa halangan yang berarti.

4. Pangraksa Jiwa: “Pakulun Sanghyang Panca Pandawa umor ring akasa, Nakula Sahadewa ring cakepan kalih, Arjuna ring lontar, Darmawangsa ring sastra, Bima ring kelatning lontar, urip apageh lila ning wigna paramasakti ya namah swaha, Om Am Mam Um Om”.

Mantra ini diucapkan untuk memuja Sang Hyang Trimurti, Sang Hyang Sastra dan memuja kekuatan Panca Pandawa agar memberikan perlindungan kepada jiwa sang dalang.

5. Pangasih. Sarana base : “Pakulun Sanghyang Tunggal amasang guna kasmaran, bhuta leak sih, jatma manusa sih, dewa betara sih, Ong Ang antara pantara sarwa sih manembaha lila suksma ya namah swaha”.

Mantra ini untuk memuja Sang Hyang Tunggal dalam sifatnya memberikan cinta kasih, agar semua makhluk baik yang nyata maupun astral, bisa kasih kepada dalang. Dengan demikian dalang merasakan mendapat dukungan batin dan ketenangan dalam menunaikan kewajibannya.

6. Pangeger : “Pakulun Sanghyang Tiga Wisesa amasang guna pengeger, wong lanang, wadon geger, kedi geger, apupul ring arepku awijah lulut angrungu ingsun, pawak ingsun Sanghyang Semara, waneh sira andulu sanghyang samara waneh sira andulu ingsun, teka olas den pada asih, isep, isep, isepan gung mang raja karya murti saktyem patastra ya namah swaha”.

Mantra ini untuk memuja Sang Hyang Tiga Wisesa untuk memohon kekuatan taksu untuk menarik penonton sebanyak-banyaknya berkumpul menyaksikan pertunjukannya. Keinginan penonton seperti kena panah asmara, sehingga tidak merasa bosan menikmati sajian sang dalang.

7. Pangalup : “Ingsun angidep aken Sanghyang Guru rekan kama tantra, swaranku manik astagina andawut atma juwitane wong kabeh, asih welas mulih ring ati, edan ulangun mulih ring nyali, oneng lulut mulih ring papusuh, sing teka pada rna, sing tka pada rna, sing tka pada rna.”


Mantra ini hampir sama fungsinya dengan pangeger, namun pada mantra ini lebih dikhususkan untuk memohon kekuatan retorika (dialog, monolog) dan vokal atau tembang atau 'tandak' agar mampu menarik hati nurani serta menyenangkan pendengarnya.

Hal ini dilakukan karena dalang sering melakukan monolog dan dialog secara spontan sesuai dengan kemampuan kreativitasnya. Oleh sebab itu, yang dipuja pada mantra ini adalah Sang Hyang Guru Reka, yaitu Tuhan dalam kekuatannya menciptakan sesuatu yang baru dan bermanfaat.

8. Nebah Gedog (membuka tutup kotak/kropak wayang dengan memukul tutup gedog 3x): “Atangi Sanghyang Samerana angringgit amolah cara”.

Catatan: tutup gedog diletakkan di sebelah kanan dalang, dengan posisi tutup gedog yang lebar mengarah ke depan. Mantra ini diucapkan untuk memohon restu kepada Sang Hyang Catur Dalang (dalang Samerana, dalang Anteban, dalang Jaruman, dalang Sampurna). Namun dalam mantra ini hanya diwakili oleh dalang Samerana sebagai dalang yang tertua.

9. Nebah kain kasa penutup wayang. “Om Brahma munggah dewa urip jeng”. Mantra ini diucapkan untuk memuja dewa Bhrahma agar memberikan kekuatan hidup kepada semua wayang sehingga lakon yang disajikan dapat memberikan tuntunan dan tontonan hidup dan kehidupan nyata. Wayang yang diambil pertama kali setelah membuka kain kasa oleh dalang adalah wayang pemurtian dan ditancapkan di sisi kanan dan kiri kelir.

10. Nyolahang Kayonan: “Ong Sambu mulih ring Wisnu, Sangkara mulih ring Mahadewa, Ludra mulih ring Brahma, Maheswara mulih ring Iswara, Iswara mulih ring Kayonan, Kayonan mulih ring Ati”. Mantra ini untuk memuja Dewata Nawa Sanga, dimana pengucapannya melingkar ke arah kiri (utara yana) mulai dari ersanya/dewa Sambu.

Mantra ini diucapkan sebelum dalang menarikan wayang kayonan. Setelah selesai mengucapkan mantra ini, barulah dalang menarikan kayonannya.

Selama dalang tersebut ngewayang, dalang tidak boleh minum terlalu banyak. Sekali minum hanya diperbolehkan tiga teguk saja. Begitupun dengan posisi duduk dalang yang sama sekali tidak boleh bergeser.

“Dalang tidak boleh kebanyakan minum. Setiap kali ingin minum hanya tiga teguk saja. Kalau kebanyakan, pas ditengah-tengah ngewayang ingin buang air kecil kan tidak bisa. Karena dalang tidak boleh turun panggung. Bergeser saja tidak boleh, apalagi turun,” tegasnya sambil tertawa.

Runtutan Mantra yang terakhir adalah mantra sesudah pertunjukan. Setelah Pertunjukan selesai biasanya dalang menghaturkan beberapa sesaji sesuai dengan desa kala patra desa setempat, atau melakukan ritual sesaji khusus jikalau berkaitan dengan wayang sapuleger dengan sesaji tadah Kalanya.

Namun yang paling utama adalah saat dalang membuat tirta Sudamala atau Sapuleger yang sering disebut dengan 'tirtan wayang'. Salah satu model mantra yang digunakan oleh dalang adalah saat membuat tirta dan mantra saat melakukan panglukatan.

Namun, sebelum dalang membuat tirta dan menghaturkan sesaji, terlebih dulu dalang melakukan ritual kecil dengan beberapa mantra, sepeti halnya seorang pinandita dalam 'muput' sebuah upacara.

Adapun ritual tersebut adalah pranayama (mengatur pernapasan), penyucian angga sarira, penyucian sarira, pangening kayun, dilanjutkan dengan Gayatri Mantram.

Setelah itu, dalang melanjutkan menghaturkan sesaji yang telah disediakan yang didahului dengan ngalukat semua banten seperti pejati, peras, penyeneng, daksina alit/agung, suci, pengambean, prayascita, segehan dan sebagainya.

Kemudian dilanjutkan dengan membuat tirta, dan ngalukat orang yang diupacarai jika diperlukan, seperti dalam Sapuleger.

Adapun mantra dalam pembuatan tirta yang dilakukan usai pertunjukkan wayang. Mantra ini ditujukan untuk tirta Panglukatan Panca Dewa.



(bx/dhi/rin/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2021/01/13/235162/lontar-dharma-pawayangan-benteng-dalang-lawan-aji-ugig

Selasa, 12 Januari 2021

Sembahyang Muspa Kramaning Sembah Dalam Agama Hindu

 




Sembahyang atau sering juga disebut muspa kramaning sembah merupakan jalan dan salah satu cara Memuja Tuhan

Salah satu hakekat inti ajaran agama Hindu (sanata dharma) adalah sembahyang. setiap orang yang mengaku beragama, ia pasti melakukan sembahyang karena sembahyang menurut agama bersifat wajib (harus). sembahyang intinya adalah iman atau percaya sehingga semua tingkah laku atau perbuatan, pikiran dan ucapan sebagai perwujudan dalam bentuk "bakti" hakekatnya sumber pada unsur iman (sradha).

Menurut kitab Atharwa Weda XI.1.1, unsur iman atau sradha dalam agama hindu meliputi : Satya, Rta, Tapa, Diksa, Brahma dan Yadnya.

Dari keenam unsur srada tersebut, dua ajaran trakhir termasuk ajaran sembahyang.
sembahyang terdiri dari dua suku kata, yaitu:

Sembah yang artinya "sujud atau sungkem" yang dilakukan dengan cara - cara tertentu dengan tujuan untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati atau pikiran, baik dengan ucapan kata - kata maupun tanpa ucapan (pikiran atau perbuatan).
Hyang artinya "yang dihormati atau dimuliakan" sebagai obyek pemujaan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, yang berhak menerima penghormatan menurut kepercayaan itu.Dalam kehidupan sehari - hari, sembahyang kadang sering disebut "muspa, mebakti atau maturan".

Muspa, karena dalam persembahyangan itu lazim dilakukan dengan jalan persembahan kembang, bunga (puspa).
Mebakti, yang berasal dari kata bakti. dikatakan demikian karena inti sembahyang itu adalah untuk memperlihatkan rasa bakti atau hormat yang setulus - tulusnya, sebagai penyerahan diri kepada yang dihormati atau Tuhan YME.
Maturan, artinya menyampaikan persembahan dengan mempersembahkan (menghaturkan) apa saja yang merupakan hasil karya sesuai menurut kemampuan dengan perasaan tulus iklas. intinya adalah perwujudan rasa bakti dan kerelaan untuk beryadnya.Tata Cara dalam Persembahyangan
didalam Reg Weda IX. 113-4 menjelaskan bahwa hidup yang benar merupakan persiapan untuk melakukan persembahyangan. yang diartikan hidup yang benar adalah:

Suci Lahiriah,
Suci Batiniah, dan
Suci Laksana (hidup).Di dalam Yayur Weda 19.30 terdapat juga uraian yang menjelaskan tahap - tahap tingkatan pencapaian realisasi dalam bakti. adapun tahapan itu diantaranya:

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Wrata (brata),
Diksa,
Daksina,
Sraddha, dan
SatyaDalam rumusannya dikatakan bahwa

"dengan BRATA orang akan mencapai tingkat DIKSA (orang suci). bila orang hidup dalam kesucian (diksa) maka ia akan memperoleh DAKSINA (rahmat) atau pahala. dengan pahala yang diperoleh ia akan mencapai SRADDHA (peningkatan iman) atau yakin, dan atas dasar keyakinan itulah ia dapat mencapai SATYA atau Tuhan".

Ketika bersembahyang tidak meminta sesuatu kepada-Nya, selain mengucapkan doa-doa seperti tersebut di atas. Perhatikanlah makna Kekawin Arjuna Wiwaha sebagai berikut:


"Hana Mara Janma Tan Papihutang Brata Yoga Tapa Samadi Angetekul Aminta Wirya Suka Ning Widhi Sahasaika, Binalikaken Purih Nika Lewih Tinemuniya Lara, Sinakitaning Rajah Tamah Inandehaning Prihati".

Artinya:
Adalah orang yang tidak pernah melaksanakan brata tapa yoga samadi, dengan lancang ia memohon kesenangan kepada Widhi (dengan memaksa) maka ditolaklah harapannya itu sehingga akhirnya ia menemui penderitaan dan kesedihan, disakiti oleh sifat-sifat rajah (angkara murka/ ambisius) dan tamah (malas dan loba), ditindih oleh rasa sakit hati.

Itu berarti pula bahwa Hyang Widhi mengasihi dan memberkati hamba-Nya yang melaksanakan brata tapa yogi samadi terus menerus tanpa mengharap pahala.

Banyak macam sembahyang, ditinjau dari kapan dilakukannya, dengan cara apa, dengan sarana apa dan di mana serta dengan siapa melakukannya. Kemantapan hati dalam melakukan sembahyang, membantu komunikasi yang lancar dan pemuasan rohani yang tiada terhingga. Kemantapan hati itu hanya dapat kita peroleh apabila kita yakin bahwa cara sembahyang kita memang benar adanya, tahu makna yang terkandung dari setiap langkah dan cara.

Berikut ini adalah pedoman sembahyang yang telah ditetapkan oleh Mahasabha Parisada Hindu Dharma ke VI.

Persiapan Sembahyang
Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan persiapan batin. Persiapan lahir meliputi sikap duduk yang baik, pengaturan nafas dan sikap tangan.
Termasuk dalam persiapan lahir pula ialah sarana penunjang sembahyang seperti pakaian, bunga dan dupa sedangkan persiapan batin ialah ketenangan dan kesucian pikiran. Langkah-langkah persiapan dan sarana-sarana sembahyang adalah sebagai berikut:

Sarana Persembahyangan :
Bunga dan Kawangen
adalah lambang kesucian, karena itu perlu diusahakan bunga yang segar, bersih dan harum. Jika pada saat sembahyang tidak ada kawangen, maka dapat diganti dengan bunga (kemabang). Bunga yang tidak baik dipersembahkan menurut Agastya Parwa adalah:

"Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Hyang Widhi, yaitu bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa diguncanng, bunga yang berisi semut bunga yang layau atau yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh dikuburan. Itulah bunga yang tidak patut dipersembahkan oleh orang-orang baik"

Dupa
Apinya dupa adalah simbol Sang hyang Agni, yaitu saksi dan pengantar sembah kita kepada Hyang Widhi, sehingga disamping sarana-sarana lain dupa ini juga perlu di dalam sembahyang.

Tirtha
adalah air suci, yaitu air yang telah disucikan dengan suatu cara tertentu dan disebut dengan Tirtha Wangsuh Pada Hyang Widhi (Ida Betara). Tirtha dipercikan di kepala, diminum dan dipakai mencuci muka. Hal ini dumaksudkan agar pikiran dan hati kita menjadi bersih dan suci yaitu bebas dari segala kotoran , noda dan dosa, kecemaran dan sejenisnya.

Bija atau Wija
Adalah Lambang Kumara yaitu putra atau bija Bhatara Siwa. Kumara ini adalah benih ke-Siwaan yang bersemayam di dalam diri setiap orang. Dengan demikian "Mawija" (Mabija) mengandung pengertian menumbuhkembangkan benih ke-Siwaan yang bersemayam didalam diri kita. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ditanam di tempat yang bersih dan suci, maka itu pemasangan Bija(Wija) dilakukan setelah metirtha.


Urutan-urutan Sembah
Urutan-urutan sembah baik pada waktu sembahyang sendiri ataupun sembahyang bersama yang dipimpin oleh Sulinggih atau seorang Pemangku adalah seperti berikut ini:

sebelum melaksanakan sembahyang, lakukan dulu TriSandya
Setelah selesai memuja Trisandya dilanjutkan Panca Sembah. Kalau tidak melakukan persembahyangan Trisandya (mungkin tadi sudah di rumah) dan langsung memuja dengan Panca Sembah, maka setelah membaca mantram untuk dupa langsung saja menyucikan bunga atau kawangen yang akan dipakai muspa.
Ambil bunga atau kawangen itu diangkat di hadapan dada dan ucapkan mantram ini:

Om Ang Ung Mang Puspa Danta Ya Namah Swaha

Artinya:
Ya Tuhan, semoga bunga ini cemerlang dan suci.

Urutan sembahyang ini sama saja, baik dipimpin oleh pandita atau pemangku, maupun bersembahyang sendirian. Cuma, jika dipimpin pandita yang sudah melakukan dwijati, ada kemungkinan mantramnya lebih panjang. Kalau hafal bisa diikuti, tetapi kalau tidak hafal sebaiknya lakukan mantram-mantram pendek sebagai berikut:
Sembah puyung (sembah dengan tangan kosong)
Mantram :

Om atma tattvatma suddha mam svaha.

artinya:
Om atma, atmanya kenyataan ini, bersihkanlah hamba.

Menyembah Sanghyang Widhi sebagai Sang Hyang Aditya
Sarana bunga
Mantram:

Om Aditisyaparamjyoti,
rakta teja namo'stute,
sveta pankaja madhyastha,
bhaskaraya namo'stute
Om hrang hring sah parama siwa raditya ya namo namah

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Artinya:
Om, sinar surya yang maha hebat,
Engkau bersinar merah,
hormat padaMu,
Engkau yang berada di tengah-tengah teratai putih,
Hormat padaMu pembuat sinar.

Menyembah Tuhan sebagai Ista Dewata pada hari dan tempat persembahyangan
Sarana kawangen
Ista Dewata artinya Dewata yang diingini hadirnya pada waktu pemuja memuja-Nya. Ista Dewata adalah perwujudan Tuhan dalam berbagai-bagai wujud-Nya seperti Brahma, Visnu, Isvara, Saraswati, Gana, dan sebagainya. Karena itu mantramnya bermacam-macam sesuai dengan Dewata yang dipuja pada hari dan tempat itu. Misalnya pada hari Saraswati yang dipuja ialah Dewi Saraswati dengan Saraswati Stawa. Pada hari lain dipuja Dewata yang lain dengan stawa-stawa yang lain pula.

Pada persembahyangan umum seperti pada persembahyangan hari Purnama dan Tilem, Dewata yang dipuja adalah Sang Hyang Siwa yang berada dimana-mana. Stawanya sebagai berikut:
Mantra

Om nama deva adhisthannaya,
sarva vyapi vai sivaya,
padmasana ekapratisthaya,
ardhanaresvaryai namo namah
Om hrang hring sah parama siwa aditya ya namah swaha.

Artinya:
Om, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat yang inggi,
kepada Siwa yang sesungguhnyalah berada dimana-mana,

kepada Dewa yang yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat,
kepada Adhanaresvari, hamba menghormat

bila sembahyang dilaksanakan di rumah / pamerajan tambahkan mantra berikut:
Mantra

om ang geng gnijaya ya namah swaha
om gnijaya jagatpatye namo namah
om ung manikjayas’ca semerus’ca ganas’ca de kuturans’ca adipati beradah ya namo namah

om brahma wisnu iswara dewam,
jiwatmanam trilokanam,
sarwa jagat pratistanam,
suddha klesa winasanam.

Om dewa-dewa tri devanam,
tri murti linggatmanam
tri purusa sudha-nityam,
sarvajagat jiwatmanam.

Om guru dewa guru rupam,
guru padyam guru purvam,
guru pantaram devam,
guru dewa suddha nityam.

Om guru paduka dipata ya namah

Artinya:
ya tuhan, sembah hormat kepada leluhur yang bergelar hyang Gnijaya
ya tuhan, sembah hormat kepada leluhur yang bergelar Gnijaya yang menurunkan kami
dan sembah hormat hyang Manikjaya, Hyang Semeru, hnyang Gana, hyang de kuturan serta hyang bradah

Ya tuhan, yang bergelar brahma, wisnu, iswara,
yang berkenan turun menjiwai isi triloka,
semoga seluruh jagat tersucikan,
bersih serta segala dosa terhapus olehmu,

Ya Tuhan, para dewa dari tiga dewa,
tri murti tiga perwujudan simbul Siwa, Paramasiwa, Sadasiwa dan Siwa,
suci selalu, nyawa dari alam semesta.

Ya Tuhan, gurunya dari Dewa,
Gurunya batara-batari,
junjungan guru permulaan,
guru perantara dewa-dewa,
gurunya dewa yang selamanya suci.

ya tuhan selaku bapak alam, hamba memujamu

Menyembah Tuhan sebagai Pemberi Anugrah
Sarana bunga
Mantra

Om anugraha manohara,
devadattanugrahaka,
arcanam sarvapujanam
namah sarvanugrahaka.

Deva devi mahasiddhi,
yajnanga nirmalatmaka,
laksmi siddhisca dirghayuh,
nirvighna sukha vrddhisca

Om dirgayuastu tatastu astu,
Om awignamastu tatastu astu,
Om subhamastu tatastu astu,
Om sukham bawantu,
Om sriam bawantu,
Om purnam bawantu,
Om ksama sampurna ya namah,
Om hrang hring sah sarwa nugraha ya namah swaha


Artinya:
Om, Engkau yang menarik hati, pemberi anugerah,
anugerah pemberian dewa, pujaan semua pujaan,
hormat pada-Mu pemberi semua anugerah.

Kemahasidian Dewa dan Dewi, berwujud yadnya, pribadi suci,
kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur,
bebas dari rintangan, kegem- biraan dan kemajuan

Semoga panjang umur,
Semoga tiada rintangan,
Semoga baik,
BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / SanggahSemoga bahagia,
Semoga sempurna,
Semoga rahayu,
Semoga tujuh pertambahan terwujud

Sembah puyung (Sembah dengan tangan kosong)
Mantram:

Om ayu werdi yasa werdi,
werdi pradnyan suka sriam,
dharma santana werdisyat santute sapta werdayah,

Om devasuksma paramacintya ya nama svaha

artinya:

Om, Semoga Hyang Widhi melimpahkan usia yang panjang, bertambah dalam kemashuran,
bertambah dalam kepandaian, kegembiraan dan kebahagiaan,
bertambah dalam dharma dan keturunan,
tujuh pertambahan semoga menjadi bagianmu.

Semoga panjang umur,
Semoga tiada rintangan,
Semoga baik,
Semoga bahagia,
Semoga sempurna,
Semoga rahayu,
Semoga tujuh pertambahan terwujud

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

hormat pada yang tak terpikirkan yang maha tinggi yang gaib.

Setelah persembahyangan selesai dilanjutkan dengan mohon tirtaAmrta (ambrosia) dan bija.
pelaksanaan pemberian tirtha amrta inipun memenuhi acara tersendiri, demikian menurut manusmrti dinyatakan:
percikan tiga sampai tujuh kali ke ubun - ubun.
Mantram:

Om Buddha Mahapawitra ya namah
Om Dharma Mahatirtha ya namah
Om Sanggya Mahatoya ya namah

minum tiga kali
Mantram:

Om Brahma Pawaka
Om Wisnu Amrta
Om Iswara Jnana

meraup tiga kali
Mantram:

Om siwa sampurna ya namah
Om sadasiwa paripurna ya namah
Om paramasiwa suksma ya namah

semua acara dapat dan umumnya disempurnakan dengan basma dan menerima wija (bija). yang dilaksanakan dengan mantra:

Om kung kumara wijaya om phat

berikut ini mantra untuk ista dewata

Untuk memuja di Pura atau tempat suci tertentu, kita bisa menggunakan mantram lain yang disesuaikan dengan tempat dan dalam keadaan bagaimana kita bersembahyang. Yang diganti adalah mantram sembahyang urutan ketiga dari Panca Sembah, yakni yang ditujukan kepada Istadewata. Berikut ini contohnya:

Untuk memuja di Padmasana, Sanggar Tawang, dapat digunakan salah satu contoh dari dua mantram di bawah ini:

Om, Akasam Nirmalam Sunyam
Guru Dewa Bhyomantaram
Ciwa Nirwana Wiryanam
Rekha Omkara Wijayam

Artinya:
YaTuhan, penguasa angkasa raya yang suci dan hening. Guru rohani yang suci berstana di angkasa raya. Siwa yang agung penguasa nirwana sebagai Omkara yang senantiasa jaya, hamba memujaMu.

BACA JUGA:
Cara Membuat dan Kajian Filosofis Daksina
Cara Membuat dan Kajian Filosofi Banten
Cara Membuat dan Filosofi Banten Pejati
Om Nama Dewa Adhisthanaya
Sarva Wyapi Vai Siwaya
Padmasana Ekapratisthaya
Ardhanareswaryai Namo’namah

Artinya:
Ya Tuhan, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat yang tinggi, kepada Siwa yang sesungguhnyalah berada di mana-mana, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat, kepada Ardhanaresvarì, hamba memujaMu.

Untuk di pura Kahyangan Tiga, ketika memuja di Pura Desa, digunakan mantram sebagai berikut:

Om Isanah Sarwa Widyanam
Iswarah Sarwa Bhutanam
Brahmano’ Dhipatir Brahma
Sivo Astu Sadasiwa


Artinya:
Ya Tuhan, Hyang Tunggal Yang Maha Sadar, selaku Yang Maha Kuasa menguasai semua makhluk hidup. Brahma Maha Tinggi, selaku Siwa dan Sadasiwa.

Untuk di pura Kahyangan Tiga, ketika memuja di Pura Puseh, mantramnya begini:

Om, Girimurti Mahawiryam
Mahadewa Pratistha Linggam
Sarwadewa Pranamyanam
Sarwa Jagat Pratisthanam

Artinya:
Ya Tuhan, selaku Girimurti Yang Maha Agung, dengan lingga yang jadi stana Mahadewa, semua dewa-dewa tunduk padaMu.

Untuk memuja di Pura Dalem, masih dalam Kahyangan Tiga:

Om, Catur Diwja Mahasakti
Catur Asrame Bhattari
Siwa Jagatpati Dewi
Durga Sarira Dewi

Artinya:
Ya Tuhan, saktiMu berwujud Catur Dewi, yang dipuja oleh catur asrama, sakti dari Ciwa, Raja Semesta Alam, dalam wujud Dewi Durga. Ya, Catur Dewi, hamba menyembah ke bawah kakiMu, bebaskan hamba dari segala bencana.

Untuk bersembahyang di Pura Prajapati, mantramnya:

Om Brahma Prajapatih Sresthah
Swayambhur Warado Guruh
Padmayonis Catur Waktro
Brahma Sakalam Ucyate

Artinya:
Ya Tuhan, dalam wujudMu sebagai Brahma Prajapati, pencipta semua makhluk, maha mulia, yang menjadikan diriNya sendiri, pemberi anugerah mahaguru, lahir dari bunga teratai, memiliki empat wajah dalam satu badan, maha sempurna, penuh rahasia, Hyang Brahma Maha Agung.

Untuk di Pura Pemerajan/Kamimitan (rong tiga), paibon, dadia atau padharman, mantramnya:

Om Brahma Wisnu Iswara Dewam
Tripurusa Suddhatmakam
Tridewa Trimurti Lokam
Sarwa Wighna Winasanam

Artinya: Ya Tuhan, dalam wujudMu sebagai Brahma, Wisnu, Iswara, Dewa Tripurusa MahaSuci, Tridewa adalah Trimurti, semogalah hamba terbebas dari segala bencana.

Untuk di Pura Segara atau di tepi pantai, mantramnya:

Om Nagendra Krura Murtinam
Gajendra Matsya Waktranam
Baruna Dewa Masariram
Sarwa Jagat Suddhatmakam

Artinya:
Ya Tuhan, wujudMu menakutkan sebagai raja para naga, raja gagah yang bermoncong ikan, Engkau adalah Dewa Baruna yang maha suci, meresapi dunia dengan kesucian jiwa, hamba memujaMu.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Untuk di Pura Batur, Ulunsui, Ulundanu, mantramnya:

Om Sridhana Dewika Ramya
Sarwa Rupawati Tatha
Sarwa Jñana Maniscaiwa
Sri Sridewi Namo’stute

Artinya:
Ya Tuhan, Engkau hamba puja sebagai Dewi Sri yang maha cantik, dewi dari kekayaan yang memiliki segala keindahan. la adalah benih yang maha mengetahui. Ya Tuhan Maha Agung Dewi Sri, hamba memujaMu.

Untuk bersembahyang pada hari Saraswati, atau tatkala memuja Hyang Saraswati. Mantramnya:

Om Saraswati Namas Tubhyam
Warade Kama Rupini
Siddharambham Karisyami
Siddhir Bhawantu Me Sada

Artinya:
Ya Tuhan dalam wujud-Mu sebagai Dewi Saraswati, pemberi berkah, terwujud dalam bentuk yang sangat didambakan. Semogalah segala kegiatan yang hamba lakukan selalu sukses atas waranugraha-Mu.

Untuk bersembahyang di pemujaan para Rsi Agung seperti Danghyang Dwijendra, Danghyang Astapaka, Mpu Agnijaya, Mpu Semeru, Mpu Kuturan dan lainnya, gunakan mantram ini:

Om Dwijendra Purvanam Siwam
Brahmanam Purwatisthanam
Sarwa Dewa Ma Sariram
Surya Nisakaram Dewam

Artinya:
Ya, Tuhan dalam wujudMu sebagai Siwa, raja dari sekalian pandita, la adalah Brahma, berdiri tegak paling depan, la yang menyatu dalam semua dewata. la yang meliputi dan memenuhi matahari dan bulan, kami memuja Siwa para pandita agung.

Demikianlah beberapa mantram yang dipakai untuk bersembahyang pada tempat-tempat tertentu. Sekali lagi, mantram ini menggantikan “mantram umum” pada saat menyembah kepada Istadewata, yakni sembahyang urutan ketiga pada Panca Sembah.

Terakhir, ini sembahyang ke hadapan Hyang Ganapati (Ganesha), namun dalam kaitan upacara mecaru (rsigana), atau memuja di Sanggah Natah atau Tunggun Karang, tak ada kaitannya dengan Panca Sembah:

Om Ganapati Rsi Putram
Bhuktyantu Weda Tarpanam
Bhuktyantau Jagat Trilokam
Suddha Purna Saririnam

Demikianlah mantram untuk Istadewata.

Sembahyang Muspa Kramaning Sembah Dalam Agama Hindu

Trisandya - Mantra Wajib Bagi Umat Hindu Bali

 





Mаrіlаh kіtа mеmujа Tuhаn, Idа Hyang Wіdhі Wаçа
Pеmujааn kepada Tuhan dараt dilaksanakan dеngаn banyak cara. Sаlаh ѕаtu di аntаrаnуа іаlаh dеngаn bеrѕеmbаhуаng tіар hari. Kіtа yang bеrаgаmа Hіndu bеrѕеmbаhуаng tiga kali ѕеhаrі, раgі, ѕіаng dan mаlаm hаrі. Sеmbаhуаng dеmіkіаn dіѕеbut ѕеmbаhуаng Trіѕаndhуа. Mantram yang dіраkаірun disebut mаntrаm Trіѕаndhуа.

Mаntrаm ini ditulis dаlаm bahasa Sаnѕеkеrtа, bahasa оrаng Hіndu jаmаn dаhulu. Kita boleh bеrѕеmbаhуаng dеngаn duduk bersila, duduk bersimpuh atau berdiri tegak sesuai dengan tеmраt уаng tеrѕеdіа. Sіkар duduk bersila disebut раdmаѕаnа. Sіkар duduk bеrѕіmрuh dіѕеbut bаjrаѕаnа dаn yang bеrdіrі dіѕеbut раdаѕаnа.


Sеtеlаh sikap bаdаn itu bаіk, dіlаnjutkаn dеngаn рrаnауаmа. Prаnауаmа artinya mengatur jаlаnnуа nafas. Gunanya: untuk menenangkan ріkіrаn dаn mеndіаmkаn bаdаn mengikuti jаlаnnуа ріkіrаn, bіlа ріkіrаn dan bаdаn sudah tеnаng mаkа bаrulаh mulаі bеrѕеmbаhуаng.

Sіkар tаngаn waktu bеrѕеrnbаhуаng disebut sikap аmuѕtі. Mаtа mеmаndаng ujung hіdung dаn ріkіrаn ditujukan kераdа Sаnghуаng Wіdhі. Dаlаm kеаdааn ѕереrtі іtu, ѕаbdа, bayu, іdер hаruѕ dalam keadaan ѕеіmbаng.

Duduk dеngаn tenang. Lаkukаn Prаnауаmа dаn setelah ѕuаѕаnаnуа tenang ucapkan mantram ini:

Om Prasada Sthiti Sаrіrа Sіwа Suсі Nіrmаlауа Namah Swaha

Artіnуа:
Yа Tuhаn, dаlаm wujud Hyang Siwa, hamba-Mu tеlаh duduk tеnаng, suci, dаn tіаdа noda.

Kalau tersedia air bersihkan tаngаn раkаі аіr. Kаlаu tidak аdа ambil bungа dаn gоѕоkkаn pada kеduа tаngаn. Lalu tеlараk tangan kanan dіtеngаdаhkаn dі аtаѕ tаngаn kіrі dan ucapkan mantram:

Om Suddhа Mam Swаhа

Artіnуа:
Yа Tuhаn, bеrѕіhkаnlаh tangan hаmbа (bіѕа juga реngеrtіаnnуа untuk mеmbеrѕіhkаn tаngаn kаnаn).

Lаlu, posisi tаngаn dibalik. Kіnі tаngаn kіrі ditengadahkan dі atas tаngаn kanan dаn ucapkan mаntrаm:

Om Atі Suddhа Mаm Swаhа

Artіnуа:
Yа Tuhаn, lеbіh dibersihkan lаgі tаngаn hamba (bisa jugа реngеrtіаnnуа untuk membersihkan tаngаn kіrі).

Kalau tеrѕеdіа air (mаkѕudnуа air dari rumah, bukаn tіrthа), lеbіh bаіk bеrkumur ѕаmbіl mengucapkan mantram dі dalam hаtі:

Om Ang Wаktrа Parisuddmam Swаhа

atau lebih реndеk:



Om Waktra Suddhaya Namah

Artinya:
Ya, Tuhаn ѕuсіkаnlаh mulut hаmbа.

Jіkа tеrѕеdіа dupa, реgаnglаh dupa уаng ѕudаh dіnуаlаkаn іtu dеngаn ѕіkар amusti, уаknі tangan dісаkuрkаn, kеduа іbujаrі menjepit раngkаl duра уаng dіtеkаn oleh tеlunjuk tangan kanan, dаn uсарkаn mantra:

Om Am Duра Dіраѕtrауа Nаmа Swаhа

Artіnуа:
Yа, Tuhаn/Brаhmа tаjаmkаnlаh nуаlа dupa hаmbа ѕеhіnggа sucilah sudah hamba ѕереrtі sinar-Mu.

аtаu bіlа memegang duра pasupati Gаndа Sіddhі, ucapkan mаntrа:

Om Ang Dupa Gаndаѕіddhі уа nаmаh

Artіnуа:
Yа Tuhаn, mеlаluі ѕеmеrbаk hаrum kemujisatan іnі, tаjаmkаnlаh ріkіrаn hamba ѕеhіnggа doa hamba dapat mеmujаmu-Mu.

Setelah іtu lakukanlah puja Trіѕаndуа. Jika mеmujа ѕеndіrіаn dаn tіdаk hаfаl ѕеluruh рujа уаng banyaknya enam bаіt іtu, uсарkаnlаh mаntrаm yang реrtаmа saja (Mаntrаm Gayatri) tetapi diulang sebanyak tiga kali.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Mаntrаm Trіѕаndhуа


OM, OM,OM 
BHUR BHUWAH SWAH, 
TAT SAWITUR WARENYAM, 
BHARGO DEWASYA DHIMAHI, 
DHIYO YO NAH PRACHODAYAT, 


OM NARAYANAD EWEDAM SARWAM, 
YAD BHUTAM YASCA BHAWYAM, 
NISKALO NIRlANO NIRWIKALPO, 
NlRAKSATAH SUDDHO DEWO EKO, 
NARAYANA NADWITYO ASTI KASCIT. 


OM TWAM SIWAH TWAM MAHADEWAH, 
ISWARAH PARAMESWARA, 
BRAHMA WISNUSCA RUDRASCA, 
PURUSAH PARIKIRTITAH, 


OM PAPO'HAM PAPAKARMAHAM , 
PAPATMA PAPASAMBHAWAH, 
TRAHI MAM PUNDARIKAKSAH, 
SABAHYABHYANTARA SUCIH. 


OM KSAMA SWAMAM MAHADEWA, 
SARWAPRANI HITANGKARAH, 
MAM MOCCA SARWAPAPEBHYAH, 
PALAYASWA SADASIWA. 


OM KSANTAWYA KAYIKA DOSAH. 
KSANTAWYO WACIKA MAMA, 
KSANTAWYA MANASA DOSAH, 
TAT PRAMADAT KSAMASWA MAM. 


OM SANTI, SANTI, SANTI OM 

Artі tеrjеmаhаnnуа Trisandya:
Ya Hуаng Wіdhі уаng menguasai ketiga dunia ini,
Yаng mаhа suci dаn ѕumbеr ѕеgаlа kеhіduраn,
ѕumbеr segala cahaya,
semoga lіmраhkаn раdа budi nurani kami реnеrаngаn ѕіnаr cahayaMu уаng maha suci.

Yа Hуаng Widhi, dаrіmulаh ѕеgаlа уаng ѕudаh аdа dаn уаng akan аdа dі alam іnі bеrаѕаl dаn kembali nаntіnуа.




Engkаu adaIah gаіb, tіаdа berwujud, dі аtаѕ segala kebingungan, tаk termusnahkan.
Engkаu аdаlаh maha сеmеrlаng, maha suci, maha еѕа dаn tіаdа duanya.

Engkаu dіѕеbut Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brаhmа dаn Wіѕnu dаn juga Rudra.
Engkau аdаlаh аѕаl mula dаrі ѕеgаlа уаng ada.

Oh Hуаng Widhi Wаѕа, hamba іnі papa,
jiwa hаmbа papa dаn kеlаhіrаn hаmbарun рара,
perbuatan hаmbа рара,

Yа Hyang Widhi, ѕеlаmаtkаnlаh hаmbа dаrі ѕеgаlа kenistaan ini, dapatlah dіѕuсіkаn lаhіr dan bаtіn hаmbа.
Ampunilah hаmbа. оh Hуаng Widhi, реnуеlаmаt ѕеgаlа mаkhluk.
Lераѕkаnlаh , kіrаnуа hamba dаrі ѕеgаlа kepapaan ini dan tuntunlаh hаmbа, ѕеlаmаtkаn dаn lіndungіlаh hаmbа оh Hуаng Wіdhі Wаѕа.

Oh Hуаng Widhi Wаѕа, аmрunіlаh ѕеgаlа dosa hаmbа, ampunilah dоѕа dаrі ucapan hamba dаn

аmрunіlаh pula dosa dari ріkіrаn hamba.
Amрunіlаh hаmbа atas ѕеgаIа kelalaian hаmbа іtu.

Sеmоgа dаmаі dihati, damai didunia, damai ѕеlаlu.

Uraian dan Artі Kаtа-kаtа dalam Trі Sаndhуа

Tri = tiga
Sandhya = sembahyang

Om = ѕuku kаtа ѕuсі, lambang Sang Hyang Wіdhі
Bhur = bumі
Bhuvаh = lаngіt
Svаh = ѕоrgа
Tat = itu
Savituh = savita
Vаrеnуаm = Tuhаn
Bhargah = cemerlang
Devasya = Dewa: Tuhаn
Dhіmаhі = mаrіlаh kіtа mеmuѕаtkаn pikiran
Dhіуаh = ріkіrаn
Yаh = іа
Nаh = kіtа
Prachodayat = semangat

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Nаrауаnаh = Tuhаn
Evа = hаnуа
Idam = ini
Sarva = semua
Yat = yang
Bhutam = yang telah ada
Yаd = уаng
Bhavyam = yang аkаn аdа
Nіѕkаlаnkаh = bеbаѕ dari nоdа
Niranjanah = bebas dаrі kоtоrаn
Nіrvіkаlраh = реrubаhаn
Nirakhyatah = digambarkan
Suddаh = ѕuсі
Dеvаh = Dеwа; Tuhаn
Ekаh = ѕаtu
Nа = tіdаk
Dvіtіуаh = kеduа
Aѕtі = аdа
Kascit = yang lаіn

Tvаm = еngkаu
Sivah = Siwa; уаng pengasih dan penyayang
Mаhаdеvаh = Mаhаdеwа; Dewa уаng Agung
Iѕvаrаh = Iѕwаrа; yang kuasa
Pаrаmеѕvаrаh = реnguаѕа yang tertinggi
Brаhmа = Brаhmа; уаng mеnсірtа
Vіѕnuh = Wіѕnu; уаng bеkеrjа
Cа = dаn
Rudrаh = Rudrа; yang mempralina
Puruѕаh = рuruѕа; jіwа аlаm ѕеmеѕtа
Parikirtitah = dipanggil
Parikirtita = dipanggil

Pараh = рара
Aham = hamba
Papakarma = perbuatan рара
Pараtmа = jіwа рара
Papasambhavah = kelahiran рара
Trаhі = hеndаknуа еngkаu
Mаm = lіndungі hamba
Pundarikasa = yang bermata
tun-sabahya-bhyantarah = luar dаlаm lаhіr bаtіn
sucih = suci; bеrѕіh

kѕаmаѕvа = hеndаknуа еngkаu ampuni
mahadewa = Mahadewa
sarvaprani-hitankara = yang membuat kеbаhаgіааn ѕеmuа makhluk
mоса = hеndаknуа еngkаu bebaskan
ѕаrvарареbhуаh = ѕеmuа dоѕа
раlауаѕvа = hеndаknуа engkau lіndungі
ѕаdаѕіvа = Sіwа уаng kеkаl; Tuhаn

ksantavyah = hendaknya supaya dіаmрunі
kѕаntаvуа = hеndаknуа ѕuрауа diampuni
kауіkаh = аnggоtа bаdаn
dоѕаh = dоѕа
vасіkаh = kаtа-kаtа
mаmа = hаmbа
mаnаѕаh = ріkіrаn
pramadat = kelalaian
Santih = damai

Sumber : cakepane.blogspot.com

Om Swastiastu Merupakan Salam Sekaligus Doa

 





Om Swastiastu, merupakan salam pembuka yang biasa diberikan oleh orang bali kepada seseorang yang ditemuinya. Dan saat ini UMAT Hindu di Indonesia, kalau saling berjumpa dengan sesamanya, umumnya mengucapkan Om Swastyastu. Salam umat ini sekarang telah menjadi salam resmi dalam sidang-sidang Dewan Perwakilan maupun pertemuan resmi lainnya, adapun maksud dari salam tersebut adalah sapaan sekalugus doa untuk lawan bicara agar orang tersebut selalu diberkahi oleh Tuhan YME.
adapun penjelasan mengenai kata tersebut, dapat dilihat dari percakapan Rsi dengan seorang suyasa. Setelah sang Suyasa memperbaiki cara duduknya.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Rsi Dharmakertipun mulailah:
“Anakku, tadi anakku mengucapkan panganjali: “Om Swastyastu”. Tahukah anakndaapa artinya?
Jika belum, dengarlah! OM adalah aksara suci untuk Sang Hyang Widhi. Nanti akan Guru terangkan lebih lanjut. Kata Swastyastu terdiri dari kata-kata Sansekerta: SU + ASTI + ASTU, Su artinya baik, Asti artinya adalah, Astu artinya mudah-mudahan.

Jadi arti keseluruhan OM SWASTYASTU ialah “Semoga ada dalam keadaan baik atas karunia Hyang Widhi”.

Kata Swastyastu ini berhubungan erat dengan simbol suci Agama kita yaitu SWASTIKA yang merupakan dasar kekuatan dan kesejahteraan Buana Agung (Makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Bentuk Swastika ini dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan galaksi atau kumpulan bintang-bintang di cakrawala yang merupakan dasar kekuatan dari perputaran alam ini. Keadaan alam ini sudah diketahui oleh nenek moyang kita sejak dahulu kala dan lambang Swastika ini telah ada beribu-ribu tahun sebelum Masehi.

Dan dengan ucapan panganjali Swastyastu itu anakku sebenarnya kita sudah memohon perlindungan kepada Sang Hyang Widhi yang menguasai seluruh alam semesta ini. Dan dari bentuk Swastika itu timbullah bentuk Padma (teratai) yang berdaun bunga delapan (asta dala) yang kita pakai dasar keharmonisan alam, kesucian dan kedamaian abadi.

Sang Suyasa : 
Oh Gurunda, maafkan kalau hamba memotong. Hamba tidak mengira demikian luas maksud dari ucapan panganjali atau penghormatan hamba tadi itu. Betul-betul hamba tidak tahu artinya. Hamba hanya mendengar demikian, lalu hamba ikut-ikutan saja.

Rsi Dharmakerti : 
Memanglah demikian tinggi nilai dari ajaran Agama kita anaknda. Guru gembira bahwa anaknda senang mendengarnya. Ketahuilah bahwa kata SWASTI (su + asti) itulah menjadi kata SWASTIKA. Akhiran “ka” adalah untuk membentuk kata sifat menjadi kata benda. Umpamanya: jana - lahir; janaka - ayah; pawa - membakar; pawaka - api, dan lain-lainnya. Ingatkah anaknda apa yang Guru pakai untuk menjawab ucapan panganjali itu?

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Rsi Dharmakerti : 
Tidak mengapa anaknda, Guru akan jelaskan bahwa arti kata OM SHANTI, SHANTI, SHANTI itu ialah: Semoga damai atas karunia Hyang Widhi” Shanti artinya damai. Dan jawaban ini hanya diberikan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda. Sedangkan jawaban atau sambutan terhadap panganjali “Om Suastiastu” dari orang yang sebaya atau dari orang yang lebih tua cukuplah dengan Om Swastiastu yaitu sama-sama mendoakan semoga selamat.
Hanya yang lebih tua patut memakai Om Shanti, Shanti, Shanti terhadap yang lebih muda. Atau dipakai juga untuk menutup suatu uraian atau tulisan.

Sang Suyasa : 
Gurunda, maafkan atas kebodohan diri hamba. Akan sangat banyak yang hamba tanyakan supaya benar-benar sirnalah segala kegelapan yang melekat di jiwa hamba. Gurunda, walaupun kedengarannya agak ke-kanak-kanakan maafkanlah jika anaknda bertanya apa arti agama itu sendiri. Selanjutnya perlu kita pahami bersama makna apa yang berada di balik ucapan Om Swastyastu tersebut.

Umat Hindu di India umumnya mengucapkan NAMASTE kalau bertemu dengan sesamanya. Bahkan, ucapan itu dilakukan secara umum oleh masyarakat India. Para pandita maupun pinandita dalam memanjatkan pujastawa sering kita dengar menutup pujastawanya dengan Om naamo namah. Inti semua ucapan itu pada kata naama, yang dalam bahasa Sansekerta artinya menghormat.

Dalam bahasa Jawa Kuno disebut dengan sembah. Kata sembah dalam bahasa Jawa Kuno memiliki lima arti.

Sembah berarti menghormati, menyayangi, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan diri.

Karena itu, umat Hindu di Bali mengenal adanya Panca Sembah yang diuraikan dalam lontar Panca Sembah. Dalam tradisi Hindu di Bali ada sembah ke bhuta, ke manusa, ke pitra, ke dewa dan Hyang Widhi.
BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali
Adapun posisi cakupan tangan yang biasa dipakai saat menyembah:

Kalau menyembah bhuta atau alam semesta tangan dicakupkan di pusar. Sembah seperti itu berarti untuk mencurahkan kasih sayang kita pada alam untuk menjaga kelestariannya. 
Menyembah sesama atau pitra, mencakupkan tangan di dada. Sembah seperti itu adalah untuk menghormati sesama manusia. 
Menyembah dewa tangan dicakupkan di selaning lelata yaitu di antara kening di atas mata. 
Hanya menyembah Tuhanlah tangan dikatupkan dengan sikap anjali di atas ubun-ubun. Ini artinya hanya menyembah Tuhanlah kita serahkan diri secara bulat dan satukan diri sepenuh hati. Biasanya penggunaan “Swastyastu” disertai dengan kata “Om” menjadi “Om Swastyastu”. Kata ini lumrah digunakan sebagai salam awal, begitu juga dengan kata “Swastiprapta” (selamat datang). Namun di beberapa tempat di luar bali kata “Swastyastu” juga digunakan sebagai salam akhir perjumpaan atau percakapan. Itu yang membuat rasa ingin tahu saya semakin besar untuk mengetahui arti sebenarnya kata tersebut agar tidak menjadi sebuah kekeliruan yang membudaya. Memang pada dasarnya bahasa bersifat mana suka dan berlaku jika diakui dan digunakan oleh banyak orang. Dalam kesempatan ini saya mencoba menelaah kata tersebut dengan mencari artinya pada beberapa literatur kamus yang ada (apang tusing oranga milu-milu tuwung, nak mula keto….!!!).

Salam Om Swastyastu yang ditampilkan dalam bahasa Sansekerta dipadukan dari tiga kata yaitu: Om, swasti dan astu. Istilah Om ini merupakan istilah sakral sebagai sebutan atau seruan pada Tuhan Yang Maha esa. Om adalah seruan yang tertua kepada Tuhan dalam Hindu. Setelah zaman Purana-lah Tuhan Yang Mahaesa itu diseru dengan ribuan nama. Kata Om sebagai seruan suci kepada Tuhan yang memiliki tiga fungsi kemahakuasaan Tuhan. Tiga fungsi itu adalah, mencipta, memelihara dan mengakhiri segala ciptaan-Nya di alam ini. Mengucapkan Om itu artinya seruan untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan.

Dalam Bhagawad Gita kata "Om" ini dinyatakan sebagai simbol untuk memanjatkan doa pada Tuhan. Karena itu mengucapkan Om dengan sepenuh hati berarti kita memanjatkan doa pada Tuhan yang artinya ya Tuhan.

Setelah mengucapkan Om dilanjutkan dengan kata swasti.

Dalam bahasa Sansekerta kata swasti artinya selamat atau bahagia, sejahtera. Dari kata inilah muncul istilah swastika, simbol agama Hindu yang universal. Kata swastika itu bermakna sebagai keadaan yang bahagia atau keselamatan yang langgeng sebagai tujuan beragama Hindu. Lambang swastika itu sebagai visualisasi dari dinamika kehidupan alam semesta yang memberikan kebahagiaan yang langgeng.

Menurut ajaran Hindu alam semesta ini berproses dalam tiga tahap. Pertama, alam ini dalam keadaan tercipta yang disebut Srsti. Kedua, dalam keadaan stabil menjadi tempat dan sumber kehidupan yang membahagiakan. Keadaan alam yang dinamikanya stabil memberikan kebahagiaan itulah yang disebut swastika.




Dalam istilah swastika itu sudah tersirat suatu konsep bahwa dinamika alam yang stabil itulah sebagai dinamika yang dapat memberikan kehidupan yang bahagia dan langgeng. Dinamika alam yang stabil adalah dinamika yang sesuai dengan hak asasinya masing-masing. Ketiga, adalah alam ini akan kembali pada Sang Pencipta. Keadaan itulah yang disebut alam ini akan pralaya atau dalam istilah lain disebut kiamat.

Kamus Bahasa Bali Kata “Swastyastu” berasal dari kata suasti, yang berarti selamat, menjadi suastiastu yang berarti semoga selamat. 
Kamus Kawi-Bali “Swastyastu berasal dari kata swasti yang berarti raharja, rahayu, bagia, dan rahajeng. Astu yang berarti dumadak, patut, sujati, sinah. Kata astu berkembang menjadi “Astungkara” yang berarti puji, alem dan sembah. Sehingga “swastyastu” berarti semoga selamat, semoga berbahagia
Kamus Jawa Kuna-Indonesia “Swasti” berarti kesejahteraan, nasib baik, sukses; hidup, semoga terjadilah (istilah salam pembukaan khususnya pada awal surat atau dalam penerimaan dengan baik). Sedangkan “astu” memiliki 2 arti yaitu: 1. Semoga terjadi, terjadilah…. (seringkali pada awal sesuatu kutuk, makian, berkah, ramalan), pasti akan….. 2. Nyata-nyata, sungguh-sungguh (campuran dengan “wastu”?). Kata "astu" berkembang menjadi “astungkara” yang berarti berkata “astu”, mengakui, mengiyakan dengan segan, perkataan “astu”. Dari pengertian tersebut kata “swastyastu” berarti semoga terjadilah nasib baik, sungguh sejahtera. 
Kamus Sanskerta-Indonesia “Svasti” berarti hujan batu es, salam, selamat berpisah, selamat tinggal. Berkembang menjadi “svastika”, “svastimukha”, “svastivacya”. Kata svastika berarti tanda sasaran gaib, tidak mendapat halangan, pertemuan empat jalan, lambang agama Hindu. Svastimukha berarti yang belakang, terakhir, penyanyi, penyair. Svastivacya berarti salam ucapan selamat. Kata “astu” berarti sungguh, memuji. Dari pengertian kedua kata tersebut dapat disimpukan “svastiastu” berarti menyatakan selamat berpisah. Dari beberapa pengertian kata dalam kamus-kamus tersebut, dapat ditarik sebuah benang merah yang saling terkait satu sama lainnya yaitu:

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Pengertian “Swastyastu” dalam kamus Bahasa Bali, Kawi Bali dan Jawa Kuna memiliki pengertian yang hampir sama, yaitu berarti semoga selamat, semoga bahagia, semoga sejahtera. Sedangkan dalam kamus Sanskerta berarti pernyataan selamat berpisah, selamat tinggal
Kata “astu” sebagai penutup hanya mempertegas kata “svasti” yang memang memiliki arti semoga, selamat berpisah, selamat jalan.

Pada dasarnya pengertian “swastyastu” pada keempat kamus itu adalah sama, saling melengkapi satu sama lainnya, yaitu Ya Tuhan semoga kami selamat, selamat tinggal dan semoga sejahtera (Semoga sejahtera dalam lindungan Hyang Widhi), tidak ada manusia yang hidup di dunia ini tidak mendambakan keselamatan atau kerahayuan di bumi ini. Selamat tinggal disini maksudnya adalah selamat tinggal pada hal-hal sebelumnya yang telah dialami atau dilalui dan semoga selamat dan sejahtera pada apa yang akan dialami atau dilalui pada kehidupan sekarang. Dalam hidup tidak bisa dipisahkan dari tiga waktu yaitu: atita, nagata, dan wartamana (dahulu, sekarang, dan yang akan datang).

Dalam penggunaannya pada kehidupan sehari-hari kata “swastyastu” diawali dengan kata “Om” sebagai ucapan aksara suci Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sehingga menjadi “Om Swastyastu”. Kata ini biasa atau lumrah digunakan sebagai salam pembuka (selain swastiprapta, yang berarti selamat datang) kemudian diakhiri dengan “Om Santih, Santih, Santih Om” yang berarti semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai di akhirat (selain swastimukha yang berarti salam penutup yang belakang).

Namun kini di kota-kota besar, kata “swastyastu” juga digunakan sebagai salam penutup atau akhir sebuah percakapan. Bagi orang desa seperti saya, terus terang saja ketika mendengarnya terasa aneh di telinga saya, sampai pada akhirnya saya penasaran tentang penggunaan kata tersebut sebagai salam penutup dan mencari arti kata tersebut dalam beberapa kamus-kamus yang ada. Jika dilihat dari pengertian arti katanya dalam kamus memang wajar kata itu dipergunakan sebagai salam penutup sesuai dengan artinya, namun jika melihat nilai rasa maka akan terasa janggal atau kurang pas (mungkin karena saya awam atau kurang terbiasa mendengarnya).

Dalam agama Hindu, sebuah awal adalah akhir dari semua yang terjadi, sedangkan akhir adalah sebuah awal sesuatu yang baru. Hal ini yang mungkin dijadikan patokan penggunaan kata “swastiastu” sebagai salam pembukaan dan salam penutup perjumpaan atau percakapan (selain mungkin penunjukan eksistensi terhadap agama lain bahwa agama Hindu juga memiliki salam awal dan akhir seperti halnya agama lain). Namun, jika melihat lagi pada nilai rasa, rasanya kedengaran janggal. Pada kesempatan ini saya juga mencoba menyampaikan beberapa padanan kata, yang mudah-mudahan tidak jauh berbeda artinya dengan “swastyastu” sebagai salam penutup perjumpaan atau percakapan. Beberapa kata tersebut antara lain: “swastimukha”, yang berarti permulaan (mukha) kesejahteraan, permulaan nasib baik, permulaan keselamatan; “swastisanti”, yang berarti ucapan selamat berpisah dan damai (santi), selamat jalan dan semoga damai.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Jadi, salam Om Swastyastu itu, meskipun ia terkemas dalam bahasa Sansekerta bahasa pengantar kitab suci Veda, makna yang terkandung di dalamnya sangatlah universal. Pada hakikatnya semua salam yang muncul dari komunitas berbagai agama memiliki arti dan makna yang universal. Yang berbeda adalah kemasan bahasanya sebagai ciri khas budayanya. Dengan Om Swastyastu itu doa dipanjatkan untuk keselamatan semua pihak tanpa kecuali.

Salam Om Swastyastu itu tidak memilih waktu. Ia dapat diucapkan pagi, siang, sore dan malam. Semoga salam Om Swastyastu bertuah untuk meraih karunia Tuhan memberikan umat manusia keselamatan.

Sumber : cakepane.blogspot.com