Selasa, 12 Januari 2021

Pura Tegal Penangsaran Dijaga Dadong Jagal, Tempat Adili Roh

 






PALINGGIH: Deretan palinggih Pura Tegal Penangsaran di Desa Tukadmungga, Buleleng, diyakini sebagai tempat mengadili roh. (Dian Suryantini/Bali Express)

BULELENG, BALI EXPRESS-Pura Tegal Penangsaran tak hanya ada di Pura Dalem Puri Besakih, Karangasem. Namun, juga ada di Desa Tukadmungga, Buleleng. Seperti diceritakan, Pura Tegal Penangsaran diyakini menjadi tempat para roh dihakimi dan yang belum diupacarai Pitra Yadnya. 


Di tempat inilah para roh ditentukan, apakah menuju tempat yang baik ataukah buruk. Dan, keputusannya disesuaikan dengan perbuatannya semasa hidup di dunia. 

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Pura Tegal Penangsaran di Desa Tukadmungga, Buleleng, yabg piodalannya jatuh saat Purwani Tilem Kapitu atau Siwaratri ini, juga diyakini sebagai tempat penghakiman bagi para roh. 


Menurut cerita terdahulu dari tetua di desa tersebut, sebelum palinggih dibangun di pura ini, areal itu hanya terdapat satu Pohon Bunga Menori Putih yang tumbuh di sebuah tanah lapang di Desa Tukadmungga. 

Tanah tersebut tidak berbentuk persegi seperti lahan kosong pada umumnya, namun berbentuk segitiga sempurna. 

Kemudian, masih menurut cerita, konon karena warga sekitar tidak mengetahui tempat tersebut angker, ada salah satu warga yang mencabut Pohon Menori tersebut, dan ditanam di rumahnya. 

Tidak berapa lama, warga tersebut pun dibayang-bayangi makhluk gaib. Dia juga selalu diteror dan diminta untuk mengembalikan benda yang diambil dari tanah lapang tersebut. Benda yang dimaksud adalah Pohon Menori itu. 

Selain dibayang-bayangi makhluk gaib, kejadian aneh juga dirasakan warga itu. Seperti ketika usai memasak, nasi yang yang telah matang tiba-tiba habis bersama lauk-pauknya. Padahal, warga itu belum sempat menikmati masakannya. 

Akhirnya warga tersebut mengembalikan dan menanam kembali Pohon Menori di tempat semula, sembari menghaturkan Guru Piduka. Saat itulah terkuak jika tanah lapang berbentuk segitiga itu merupakan tempat berkumpulnya para roh yang akan diadili Sang Jogormanik.

Kejadian lain juga terjadi saat akan dilakukan pembangunan untuk mendirikan pura tersebut. Pohon Kamboja besar yang ada di tanah lapang itu dicabut dan dijual ke salah satu pemilik vila. 

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Setelah itu, si penjual tidak pernah merasakan tidur dengan tenang. Setiap malam terbangun dan mendengar suara agar mengembalikan Pohon Kamboja itu ke tempatnya.

Kejadian itu terjadi berulang kali, hingga akhirnya penjual pohon tersebut tidak tahan, dan mengembalikan Pohon Kamboja itu dan menanamnya kembali di tempat semula. Kini posisi Pohon Kamboja tersebut terletak di dalam area pura sebelah kanan pintu masuk.

Pangliman Desa Adat Tukadmungga, Gede Parca, menceritakan, seiring berjalannya waktu, warga setempat membangun sebuah palinggih sebagai tempat berstananya Sang Dewa Bagus sebagai ganti Pohon Menori itu. Serta medirikan palinggih sebagai tempat berstananya Ratu Niang. 

“Sebelumnya banyak warga yang melihat hal-hal aneh di sekitar tempat itu saat belum dibangun pura seperti sekarang. Dari sana muncul inisiatif warga untuk membuatkan palinggih, " paparnya.

Awalnya, lanjut Gede Parca, cuma ada satu palinggih yang dibangun, yakni Palinggih Dewa Bagus. "Kemudian setelah beberapa lama atau sekitar tahun 1999-2000, baru dibangun lagi palinggih lainnya. Seperti palinggih Ratu Niang. Warga disini sering menyebutnya sebagai Dadong Jagal. Serta dibangun pula palinggih yang lain,” ungkapnya. 

Dituturkan pula, Dadong Jagal yang berstana di Pura Tegal Penangsaran bersama Dewa Bagus adalah salah satu hakim untuk mengadili para roh yang belum diupacarai Pitra Yadnya. 

Dadong Jagal atau Ratu Niang ini dibantu Sang Jogormanik untuk menentukan hukuman yang pantas bagi roh-roh tersebut.

“Beliaulah penentunya roh-roh itu mau masuk tempat yang baik atau tidak. Beliau yang menentukan jalan kita sesuai karma kita. Jika semasa hidupnya suka mencuri misalnya, maka hukumannya akan disesuaikan. Layaknya hidup di keduniawian, jika mencuri hukuman penjara 7 tahun misalnya, maka di alam baka beda lagi urusanya, mungkin lebih kejam lagi,” tutur Anak Agung Ngurah Dwipa dari PHDI Desa Adat Tukadmungga, akhir pekan kemarin.

Dagang Banten Bali


Agung Ngurah juga menyebutkan, dalam lontar Atmaprasangga dijelaskan, Tegal Penangsaran ini disediakan bagi atma yang penuh dosa, karena perbuatannya selalu membuat orang lain sengsara atau panas hati. 

“Seperti yang saya jelaskan tadi, ini semua sudah diatur. Dalam lontar juga sudah disebutkan seperti itu. Jadi, perbuatan di masa hidup saat bahagia melihat orang susah dan kerap membuat orang susah, maka akan dibayar dan dirasakan sendiri saat penghakiman nanti,” tambahnya.

(bx/dhi/rin/JPR)

Pura Prapat Agung Jejak Nirartha Terakhir Ditemukan

 






PERADABAN : Pura Prapat Agung diyakini menjadi tempat cikal bakalnya peradaban masyarakat Bali. (GDE RIANTORY/BALI EXPRESS)

JEMBRANA, BALI EXPRESS-Dalam Lontar Dwijendra Tattwa, yang merupakan babon kisah sejarah perjalanan suci Dang Hyang Nirartha, disebutkan ada 35 tempat yang berkaitan dengan perjalanan suci siar keagamaan Dang Hyang Nirartha. Kemudian di tempat tersebut didirikan pura untuk mengenang dan memuja jasanya. Salah satu tempatnya adalah Pura Prapat Agung yang berada di dalam kawasan hutan lindung Taman Nasional Bali Barat (TNBB).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Berdasarkan Lontar Dwijendra Tattwa, Pura Prapat Agung sejatinya adalah asal permandian Ida Bhatara Sakti Dwijendra. Di tempat inilah awal Dang Hyang Nirartha mempelajari dan menyelami peradaban masyarakat Bali. Hal ini ditandai dengan adanya tempat ‘payogan’ bersamadhi Dang Hyang Nirartha di sisi kiri utama mandala Pura Prapat Agung.


Selain mendalami tentang peradaban masyarakat Bali, dari payogannya, Dang Hyang Nirartha juga menciptakan sebuah telaga (kolam) yang diperuntukkan hewan-hewan yang kehausan. Telaga tersebut tidak pernah kering, meskipun terjadi kemarau panjang.


TELAGA : Telaga dengan air warna-warni, jadi penanda tempat tersebut bukti perjalanan Dang Hyang Nirartha. (GDE RIANTORY/BALI EXPRESS)



Kini di sisi utara telaga dibangun Pura Taman Beji, sebagai bagian dari Pura Dang Kahyangan Prapat Agung, terutama saat pelaksanaan pujawali. Berdasarkan penelusuran Lontar Deijendra Tatwa, sekitar tahun 1990 Pura Dang Kahyangan Prapat Agung beserta telaga warna yang ditemukan di areal hutan TNBB.

“Ketika masih di dalam telaga, warna air biasa-biasa saja. Tetapi kalau diambil dan ditempatkan dalam wadah tersendiri, warnanya akan berbeda. Luas telaga sekitar 4 x 6 meter. Airnya memiliki lima warna berbeda, yakni merah, hitam, kuning, putih jernih, dan biru,” tutur Ketua Umum Yayasan Pengembang Dang Kahyangan Prapat Agung, Ida Bagus Susrama, akhir pecan kemarin.

Keberadaan telaga ini, lanjut Susrama, merupakan salah satu penanda (land mark) Pura Prapat Agung, seperti yang tertera dalam Lontar Dwijendra Tatwa. “Di lontar itu disebutkan ciri-ciri keberadaan pura, salah satunya adalah telaga tersebut,” terangnya.

Keberadaan Pura Dang Kahyangan Prapat Agung, diyakini merupakan salah satu pura yang didirikan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh, atau yang juga dikenal dengan sebutan Dang Hyang Nirartha. Dalam perjalanan spiritualnya dari Kerajaan Majapahit, beliau mendirikan tempat peribadatan yang cukup banyak di Kabupaten Jembrana, seperti Pura Dang Kahyangan Jati, Pura Dang Kahyangan Gede Perancak, Pura Dang Kahyangan Rambut Siwi, Pura Dang Kahyangan Mertasari, dan Pura Dang Kahyangan Prapat Agung.

“Pura Dang Kahyangan Prapat Agung ditemukan paling terakhir dibanding pura-pura peninggalan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Penelusuran dilakukan karena umat merasa masih ada satu pura yang belum ditemukan sesuai yang tercantum dalam Lontar Dwijendra Tatwa, yaitu Pura Prapat Agung ini,” imbuh Susrama. Keberadaan pura ini tidak diketahui karena posisinya di dalam hutan, berbeda dengan pura lainnya yang berada di kawasan permukiman penduduk.

Dengan mendapat konsesi lahan seluas 3 hektare dari Kementerian Kehutanan, pengembangan pura, termasuk infrastruktur yang dibangun harus memperhatikan kelestarian lingkungan. Dengan pola pelestarian lingkungan, pengembangan pura termasuk akses jalan tidak merusak lingkungan, sehingga umat Hindu tidak saja dapat bersembahyang di pura, juga mendapatkan pemandangan alam yang indah di kawasan hutan. Pengunjung juga dapat menuju tempat itu melalui jalur laut. Dari Pelabuhan Penyebarangan Gilimanuk-Ketapang hanya dibutuhkan waktu 15 menit.

Untuk menuju telaga, para pengunjung juga dapat melalui jalan utama ruas Gilimanuk-Singaraja. Setelah itu, memasuki kawasan hutan yang kondisi jalannya tidak beraspal, sehingga nuansa alaminya dapat dipertahankan.

Meskipun pengunjung harus melalui kawasan yang secara administrasi masuk wilayah Kabupaten Buleleng, Susrama mengakui, pura dan telaga itu tetap berada di wilayah Kabupaten Jembrana. “Memang jalurnya melingkar. Tapi lingkaran itu kembali berujung-pangkal di wilayah Kabupaten Jembrana,” pungkasnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

(bx/tor/rin/JPR)

Mengenal Bahasa Atau Istilah Keseharian di Desa Pedawa

 






UNIK: Selain keunikan dalam bahasa sehari-hari, Desa Pedawa juga memiliki keunikan tetkait tempat pemujaan, dengan adanya Sanggah Kamulan Nganten, seperti yang tampak di salah satu rumah warga Desa Pedawa. (Dian Suryantini/Bali Express)

SINGARAJA, BALI EXPRESS-Masyarakat Desa Pedawa secara umum memiliki karakteristik bahasa yang berbeda dari masyarakat Bali pada umumnya. Bahkan, bahasa di Desa Pedawa tidak mengenal tingkatan bahasa, seperti bahasa desa lainnya di Bali. Berikut arti sejumlah bahasa di Desa Pedawa di Kecamatan Banjar, Buleleng. 

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Aisti Baa biasanya diucapkan atau diungkapkan ketika merasa sedih dan menyesal. Aku berarti saya, yang biasa digunakan dengan teman sejawat. Alanganga artinya dihabiskan. Ames berarti lahap. Apik artinya bersih dan rapi. Ara artinya tidak. Ayang artinya mengajak.


Kemudian, Babuan artinya di atas. Berek artinya bau. Binlatasan artinya sebentar lagi. Carah artinya seperti. Da artinya jangan. Dangla artinya aneh. Dot artinya ingin.


Ee artinya iya. Gubane artinya penampilan. Gujat-gujet artinya terguncang. Inem artinya minum. Ingken artinya kenapa. Jaa artinya dimana. Kado artinya percuma.

Selanjutnya, Kaka artinya kakak. Kaka merupakan bentuk penghormatan kepada seorang kakak. Kal artinya mau. Kanti artinya sama. Kayuan artinya tempat permandian. Kedeng artinya tarik. Kicak artinya kecil. Kinto artinya begitu. Ko artinya kamu. Kosen artinya boros. Kual artinya nakal.

Bahasa umum Pedawa selanjutnya, Kutanga artinya dibuang. Lem-lem artinya pucat. Likad artinya jalan yang rusak.

Madak artinya semoga. Maku artinya kesana. Mangle artinya asam. Mecacad artinya bertengkar. Mediman artinya berciuman. Megentet artinya berpegangan tangan. Meglebug artinya jatuh. Mekale artinya rebut. Mekarep artinya berpacaran. Mekepres artinya menggunakan parfum.



Melemeng artiya menginap. Men artinya menikah. Nang artinya dengan. Ngalap artinya memetik. Ngamah artinya makan. Di Bali pada umumnya Ngamah dikenal sebagai bahasa yang kasar karena biasanya ditujukan kepada binatang, namun di Desa Pedawa kata tersebut merupakan kata yang akrab.

Ngelamit artinya tidak membayar pada saat berbelanja. Ngewalek artinya mengejek. Ngulungang artinya menjatuhkan. Ngunuh artinya mencari. Ngunya merupakan prosesi yang dilakukan sebelum pernikahan antara orang Pedawa, ngunya biasanya dilakukan pada sore hari.

Selanjutnya, Nira merupakan kata yang biasa digunakan untuk menyebut diri kepada orang yang lebih tua. Nyegang artinya menaruh. Nyilem artinya menyelam.

Nyuang artinya mengambil. Panteg artinya tertimpa. Sander artinya disambar petir. Sangkol artinya menggendong. Sema artinya kuburan. Sembe artinya lampu.

Singa artinya seperti itu. Suh artinya suruh. Uba artinya sudah. Unden artinya belum. Uraang artinya katakan. Was artinya pergi. Waya artinya jalan.



(bx/dhi/rin/JPR)

Simbolisasi dan Makna Wadah, Bade, dan Lembu

 





NGABEN: Prosesi ngaben massal di Bali. (AGUNG BAYU/BALI EXPRESS)

BALI EXPRESS, DENPASAR - Upacara Ngaben adalah ritual mengantar arwah keluarga atau orang yang disayangi menuju ke alam sunia. Dalam prosesinya, selain menggunakan Wadah, Bade, juga disertai Lembu. Apa makna sesunggungnya Wadah, Bade, dan Lembu itu? 

Wadah, Bade, dan Lembu umumnya memiliki fungsi yang sama sebagai perlengkapan untuk melaksanakan ritual Ngaben di Bali. Namun, penggunaan Wadah biasanya digunakan oleh seseorang yang tidak berkasta. Sedangkan Bade dan Lembu digunakan oleh mereka yang memiliki kasta lebih tinggi. "Dalam filosofinya, Wadah dan Bade merupakan simbol dari bagian bawah dari Gunung Maliawan," papar Undagi yang juga Ketua Yayasan Gases Bali, Dr. Komang Indra Wirawan,S.sn kepada Bali Express (Jawa Pos Group) akhir pekan kemarin di Denpasar.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Tak disanggahnya belakangan ada kecenderungan melaksanakan pangabenan secara berlebihan, bahkan dianggap menyalahi makna Ngaben itu sendiri.

Dikatakan Indra, adanya fenomena melaksanakan pangabenan secara mewah dan besar - besaran, dengan membeli Wadah yang lengkap dan besar dengan tujuan agar atman dapat lebih mudah tiba di Nirwana merupakan stigma yang keliru. 

Menurutnya Wadah, Bade, dan Lembu hanya sarana pangabenan, bukan penentu seseorang itu akan mudah masuk surga atau tidak.


“Atman dimudahkan menuju Suargan atau Nirwana, bukan karena Wadah yang digunakan, tapi tergantung seperti apa karma sang atman itu," bebernya.


Kadang orang salah kaprah, lanjutnya, ketika orang tuanya telah tiada mereka seolah membayar utang mereka dengan menyelenggarakan upacara Ngaben secara jor – joran. "Wadah harus yang paling mahal dan lengkap, baju yang digunakan layonnya harus baju yang terbaik ketika dibakar. Padahal, itu semua tidak perlu. Itu semua tidak dapat memengaruhi sang atman sampai ke Nirwana,” ujarnya.

Indra menyebutkan, secara fisik, Wadah dan Bade memiliki perbedaan yang mencolok. Bade umumnya memiliki tumpang, jumlah atap tumpangnya dibuat menyesuaikan kasta orang yang akan melaksanakan upacara pangabenan. Sedangkan, jika tak memiliki tumpang, atau hanya berbentuk tempat jenazah biasa yang menjulang tinggi disebut Wadah. “Memang berbeda, meski fungsinya sama, yaitu untuk membawa dan membakar jenazah ketika ngaben, namun secara riilnya berbeda," urainya.


Bentuk Wadah yang paling sederhana bertumpang satu. Wadah ini, bentuknya seperti keranda tanpa penutup, dan diusung oleh empat orang. Lalu ada pula Wadah yang disebut dengan Papageh. Papageh umumnya sudah berbentuk seperti Wadah, namun lebih kecil ukurannya. Selain itu, ada juga Wadah (batur sari), yakni Wadah umumnya yang sering digunakan oleh masyarakat kebanyakan. Dan, terakhir ada Bade. "Nah Bade merupakan prasaranan yang paling lengkap. Biasanya menggunakan boma, angsa, Bedawang Nala,Garuda, dan Meru atau tumpang,” ujar pria yang akrab disapa Komang Gases ini.



Dikatakan pria yang usianya berkepala tiga ini, penggunaan Bade umumnya memiliki aturan khusus . Bade biasanya ada beberapa jenis, ada yang tumpang sembilan, tumpang solas (sebelas), tumpang pitu (tujuh), tumpang lima dan seterusnya. Nah masing – masing tumpang sudah ditentukan kasta apa yang dapat menggunakannya. Contohnya keturunan Dalem, biasanya diperbolehkan menggunakan Bade tumpang sebelas (11) lengkap dengan Naga Banda dan kelengkapan upakara lainnya.


Indra memaparkan, memang benar dalam tiap inci bagian yang ada pada Bade maupun Wadah memiliki arti dan filosofi khusus. Dalam Lontar Dharma Laksana, dijelaskan makna dari bagian – bagian Bade. “Bade dan Wadah umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu bagian kepala, badan, dan kaki. Dalam undagi biasanya disebut ornamen parta punggel. Itu biasanya berbentuk ornamen simbol,” ujarnya.


Ornamen - ornamen yang ada pada Bade merupakan simbol. Dikatakan Indra, dalam teori Widi Tattwa menyebutkan, agama Hindu di Bali dalam setiap segmen kehidupan, menggunakan media simbol, simbol sebagai sebuah tanda dalam makna kehidupan. Semua tradisi dan kepercayaan di Bali merupakan simbol. Contohnya banten itu simbol, canang itu juga simbol, segehan juga simbol. Begitu juga Wadah dan Bade adalah simbol. "Jadi, bukan berarti dengan menggunakan Wadah bertumpang solas, orang tersebut bisa lebih mudah tiba di Nirwana,” ujarnya.


Dalam Bade ada simbol Bedawang Nala. Wa dalam Bedawang Nala artinya tanah pertiwi. “Jika ditilik dari makna filosofinya, Bedawang Nala merupakan simbolisasi dari rwabhineda, yang artinya manusia harus dapat memilah mana yang baik dan buruk dalam hidup,” ujarnya. Selain itu, ada juga ornamen Naga. Ornamen ini, bisa diartikan sebagai simbol 'Kamerta pangurip jagat'. Naga identik dengan niat rakus atau momo. Simbol ini menggambarkan, manusia diikat oleh rasa tamasika. "Diletakkannya simbol naga pada Bade diharapkan sifat tamasika orang yang meninggal akan dilebur dan tidak terbawa ke alam sunia. Naga ini merupakan simbolisasi dari Naga Basuki.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Selanjutnya ada juga ornamen yang disebut Boma. Boma merupakan gambaran kepala raksasa yang memiliki caling (taring) dengan mulut terbuka. Boma merupakan simbol perwatakan wujud manusia dari rasa tidak pernah puas. “Boma itu kan simbolisasi seorang manusia dengan hasrat tidak pernah puasnya hidup di dunia. Contohnya mereka yang gila harta, seberapa pun penghasilan yang didapat, mereka tetap merasa kurang dan terus menginginkan lebih,” tuturnya.


Selain itu, terdapat juga ornamen Garuda dalam Bade. Bungsu dari tiga bersaudara ini menjelaskan, Garuda merupakan simbol dari kendaraan Dewa Wisnu. Garuda dipercaya akan membantu menerbangkan segala sesuatu yang masih mengikat sang atman di Mercapada. Kemudian ada juga Angsa yang dinilai simbol istimewa. Sebab, Angsa berarti kembalinya sang atman pada yang kuasa. “Nah sampai di alam sunia, yang bisa dipertanggungjawabkan adalah karma. Jadi, seberapa pun mahalnya Wadah tak akan bisa mengurangi dosa karma kita di Mercapada ini,” ujarnya


Dalam upacara pangabenan banyak tahapan yang harus dilakukan, salah satunya adalah tradisi unik memberi bekal kepada yang meninggal yang hingga kini terus dipertahankan.
"Fenomena memberi bekal berupa uang dan benda – benda berharga bagi jenazah yang akan dibakar, tindakan salah kaprah, " ujarnya.


Menurutnya, apa yang mereka lakukan adalah hal yang percuma. Sebab, orang yang meninggal tidak membawa benda - benda itu ke alam Nirwana. “ Daripada memberi mereka uang berjuta – juta ketika sudah mati, lebih baik mereka memberinya ketika orang tersebut masih hidup. Ini mereka jor – joran memberi ketika orangnya sudah tiada. Ketika masih hidup, justru mereka menyia – nyiakannya,” paparnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

(bx/tya/bay/yes/JPR)

Pura Taman Pule, Muasal Ajaran Siwa Sidhanta Diturunkan

 




UTAMA : Utama Mandala Pura Taman Pule di Desa Mas, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, pekan lalu. (Putu Agus Adegrantika/Bali Express)





GIANYAR, BALI EXPRESS-Pura Taman Pule di Desa Mas, Ubud, Gianyar, sejarahnya diyakini berawal dari pasraman Dang Hyang Nirartha saat berada di Desa Mas. Pura Dang Kahyangan ini, untuk memuliakan orang suci yang sangat berjasa dalam mengemban serta menyebarkan ajaran dharma.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Wakil Kelihan Pura Taman Pule, Ida Bagus Ari Prama, menjelaskan, sejarah adanya pura ini berkaitan erat dengan kedatangan seorang Maha Rsi Dang Hyang Nirartha ke Bali.



Dikatakannya, dari Pantai Purancak, Dang Hyang Nirartha melakukan perjalanan masuk ke pedalaman Bali hingga menuju ke timur. Mengunjungi sejumlah desa, seperti Gading Wani, Mundeh, Kapal, hingga Kuta.


Nah ketika datang ke Desa Gading Wani, Dang Hyang Nirartha disambut Ki Bandesa Gading Wani. Sebab, ketika itu Dang Hyang Nirartha dapat menyembuhkan penduduk yang dilanda wabah penyakit. 

Kemudain Ki Bandesa Gading Wani didiksa menjadi seorang pendeta, serta dianugerahi ajaran kerohanianyang tertulis dalam Geguritan Sebub Bangkung.

“Kedatadangan Dang Hyang Nirartha di Bali tersebar sampai di Desa Mas, Kecamatan Ubud. Karena itu, Ki Bandesa Mas menjemput Dang Hyang Nirartha ke Desa Gading Wani untuk diasramakan di Desa Mas,” sambungnya.

Saat itu Dang Hyang Nirartha menyetujui, dan beliau disambut dan diasramakan di pertamanan Bendesa Mas. Di desa tersebut, Dang Hyang Nirarta kemudian menyebarkan ajaran Siwa Sidhanta. Bahkan, Ki Bandesa dan rakyatnya menjadi murid Dang Hyang Nirartha. 

Sebagai tanda bakti dan terimakasih, Ki Bandesa menyerahkan putrinya bernama Ni Ayu Mas agar berkenan dijadikan istri Dang Hyang Nirartha, yang kemudian melahirkan putra bernama Ida Kidul.

“Setelah Ki Bandesa Mas tamat berguru, akhirnya didiksa menjadi seorang pendeta, diberikan anugerah perihal kependetaan, ajaran kehidupan, sampai dengan ajaran kelepasan. Akhirnya Dang Hyang Niarartha pindah dari taman Bandesa. Dibuatkanlah beliau tempat tinggal yang disebut Griya,” papar Ari Prama.

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Selama Dang Hyang Nirartha menetap, disebutkan jika Desa Mas sangat aman dan damai. Selain itu, seluruh penduduk tidak ada yang tertimpa bahaya dan penyakit, bahkan segala tanaman sangat subur.

Selanjutnya pada suatu hari, tujuan beliau mendirikan sebuah pura disetujui Ki Bandesa dengan seluruh rakyat. Maka pura itu diberikan nama Pura Pule. 

Selain itu, dibuatkan juga sebuah taman di sebelah timur Pura Pule yang dipakai untuk bercengkrama.

Karena Pura Pule berdekatan dengan taman, maka pura tersebut diberi nama Pura Taman Pule yang diplaspas pada Saniscara Kliwon Kuningan, tahun Saka 1411 tahun 1489 masehi. 

Setelah berdiri parahyangan di Taman Pule, pasraman beliau lalu diberi nama Griya Taman Pule. Begitu juga pada taman tersebut dibuat sebagai bersuci lengkap dengan telaga (kolam) yang airnya besumber dari sumur Ki Bandesa Mas.

Kolam itu sampai sekarang kerap digunakan obat atau penetral. Seperti seorang ibu yang tidak dapat mengeluarkan air susu, maka diarahkan supaya mohon air yang berada di sumur atau kolam tersebut untuk membasuh susunya. Kolam itu pun disebut dengan Taman Kalembu atau kerap disebut Pura Beji. 



(bx/ade/rin/JPR)

Dagang Banten Bali

Catus Pata, Tempat Dewi Uma dan Sang Pretanjala Berganti Rupa

 


PEMPATAN AGUNG : Persembahyangan di Pempatan Agung dilaksanakan warga Kebonjero, Munduktemu, Pupuan Tabanan.

PEMPATAN AGUNG : Persembahyangan di Pempatan Agung dilaksanakan warga Kebonjero, Munduktemu, Pupuan Tabanan. (ISTIMEWA)





BALI EXPRESS, DENPASAR - Catus Pata atau Pempatan Agung adalah simpul energi yang amat dahsyat dari alam. Oleh karena itu, energi tersebut kemudian diikat secara gaib dan dipergunakan untuk mendatangkan manfaat bagi warga desa yang bersangkutan sehingga mendatangkan manfaat yang positif.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Konon pada zaman dahulu, simpul energi tersebut juga dimanfaatkan oleh orang-orang yang belajar ilmu pangleakan.



Dijelaskan juga dalam beberapa lontar seperti Dewa Tattwa maupun Eka Pratama, dalam seluk beluk Caru dan Tawur disebutkan terutama untuk Tawur Kesanga, dilaksanakan di Catus Pata, karena di Catus Pata inilah mula pertama Dewi Uma berubah menjadi Bhatari Durga untuk menciptakan Bhuta Kala dan di Catus Pata ini pula Sang Pretanjala berubah menjadi Maha Kala.


Dalam beberapa sumber, khususnya Lontar Bhumi Kamulan dan Siwa Gama diceritakan, awalnya Bhatara Siwaingin menciptakan alam semesta beserta isinya. Pada saat itu, Bhatara Siwa mempunyai lima putra yang disebut Panca Korsika. Bhatara Siwa meminta keempat putranya, yakni Sang Korsika, Sang Garga, Sang Maitri, dan Sang Kurusya, untuk melakukan tugas tersebut, namun gagal sehingga dikutuk. Beliau kemudian mengutus putranya yang bernama Sang Pretanjala untuk mengambil alih tugas keempat saudaranya itu. Sang Pretanjala menyanggupi, namun mohon agar Ia dibantu oleh Dewi Uma. Dewa Siwa pun mengabulkan permohonan Sang Pretanjala.

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Mulailah Dewi Uma bersama Sang Pretanjala mencipta. Awalnya mereka berhasil menciptakan Bhuwana Agung (alam semesta) dan mahluk-mahluk halus. Mahluk-mahluk halus tersebut ada berbagai macam jenis dan sifat. Yang memiliki sifat baik adalah widyadara-widyadara, gandarwa, dan kinara. Selanjutnya yang jahat adalah raksasa, denawa, pisaca, dan daitya. Di samping itu, diciptakan pula mahluk halus yang lebih rendah tingkatannya, seperti jin, memedi, tonya, dan sebagainya.

Selanjutnya Dewi Uma kemudian menjelma menjadi Bhatari Durgha dan memecah diri-Nya menjadi lima, yakni pertama Sri-Durgha, bertempat di timur. Sri-Durgha kemudian menciptakan Kalika-Kaliki, Yaksa-Yaksi, dan Bhuta Dengen. Kedua, Dhari-Durgha, berkedudukan di Selatan serta menciptakan Kapragan. Ketiga, Suksmi-Durgha, berkedudukan di Barat serta menciptakan Kamala-Kamali, dan Kala Sweta. Keempat, Raji-Durgha, bertempat di Utara dan menciptakan Bregala-Bregali serta Bebai. Terakhir, adalah Durgha sendiri yang berkedudukan di tengah-tengah. Durgha kemudian menciptakan Bhuta Janggitan di Timur, Bhuta Langkir di Selatan, Bhuta Lembu Kania di Barat, Bhuta Taruna di Utara, Bhuta Tiga Sakti di tengah-tengah, Bhuta Lambukan di Tenggara, Bhuta Hulu-Kuda dan Bhuta Jingga di Barat Daya, Bhuta Ijo di Barat Laut, dan Bhuta reng di Timur Laut.

Dagang Banten Bali


Melihat Dewi Uma menjadi Bhatari Durgha, maka Sang Pretanjala ikut berubah menjadi Mahakala dan menciptakan Panca Mahabhuta. Sang Pretanjala kemudian mengajak keempat saudaranya dan memberikan kedudukan masing-masing, yakni Sang Korsika di Timur, Sang Garga di Selatan, Sang Maitri di Barat, dan Sang Kurusya di Utara.

Berdasarkan hal itu, tidak heran jika orang-orang yang mempelajari Ilmu Pangiwa memanfaatkan Catus Pata untuk mendapat panugrahan Dewi Durga dan Sang Mahakala. Dalam praktiknya mereka membawa sanggah cucuk beserta sesajen tertentu. Dengan mantra dan sikap tertentu, mereka pun dikatakan memperoleh energi. Namun demikian, fenomena seperti itu saat ini tentunya sudah jarang karena kawasan Catus Pata kini sudah ramai, bahkan menjadi titik kawasan bisnis di pedesaan. 


(bx/adi/rin/yes/JPR)

Minggu, 13 Desember 2020

Bung Karno dan Bhagawadgita

 




Bung Karno dan Bhagawadgita

Dalam pidato pembelaannya di depan pengadilan kolonial Belanda pada tahun 1929/1930 Bung Karno mengutip Bagawad Gita sloka 23, 24 dan 25 sbb:

"Weapon do not cut This,
Fire does not burn This,
Water does not wet This,
Wind does not dry This.

Indeed : It is uncleavable
It is non-inflameable
It is unwetable and undryable also!
Everlasting, all-pervading, stable, immobile,
It is Eternal. The Soul and The Spirit

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Bung Karno menerjemahkan sloka diatas sbb :

"Ketahuilah! Senjata tiada menyinggung hidup,
Api tiada membakar, tiada air membasahi,
BACA JUGA
Bhagavadgita Bab XV - Yoga Berhubungan dengan Kepribadian Yang Paling Utama
Bhagavadgita Bab XIV - Tiga Sifat Alam Material
Bhagavadgita Bab XIII - Alam, Kepribadian Yang Menikmati dan KesadaranTiada angus oleh angin yang panas,
Tiada tertembusi, tiada terserang, tiada terpijak.
Dan merdeka, kekal-abadi, dimana-mana tetap tegak.
Tiada nampak, terucapkan tiada.
Tiada terangkum oleh kata, dan pikiran.
Senantiasa pribadi tetap!
Begitulah disebut Jiwa."

(Bung Karno dalam "KEPADA BANGSAKU" tahun 1948)

Setelah diucapkan di depan hakim kolonial di Bandung, sloka di atas sering diulang-ulang lagi dalam revolusi fisik untuk menggelorakan Jiwa dan semangat perjuangan melawan kekejaman dan ketidak-adilan.


Sangat menarik, bahwa sloka di atas diangkat kembali oleh Dr H Roeslan Abdulgani dalam tulisannya di Harian Rakyat Merdeka tanggal 23 April 1999 yang dikaitkan dengan makna tahun baru Hijrah (Islam) dan Suro (Jawa). Kita kutip pernyataan tokoh nasional dan intelektual ini sbb : "Kinipun Jiwa itu secara aktif dibangkitkan kembali oleh para pemimpin dan rakyat kita yang peduli untuk mengatasi krisis multi-dimensional sekarang. Jalan ini merupakan jalan moral dan etika yang religius-Tuhaniyah. Ia diarahkan ke alam bathin kita sendiri. Ke arah mawas diri sebagai langkah pertama ke arah self-koreksi yang sangat diperlukan dalam melaksanakan Reformasi sekarang.

Dalam persepsi kita, maka Baghawad Gita adalah suatu allegori. Suatu tamsil serta ibarat yang falsafati sangat mendalam dan luas sekali. Sangat religius dan penuh mistik.

Oleh: NP. Putra