Senin, 30 November 2020

Penjelasan Tri Purusa Sebagai Manifestasi Sang Hyang Widhi Dalam Agama Hindu

 



seperti kita ketahui bahwa Tri Purusa merupakan Tiga sifat Tuhan dalam bentuk Dewa Siwa. Ketiga sifat tersebut yakni Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwatma. Parama Siwa merupakan sifat Tuhan dalam bentuk tidak terpikirkan, murni, abadi, tidak terbatas, memenuhi segalanya, jiwa segala jiwa, anandi ananta yaitu tidak berawal dan tidak berakhir. Parama Siwa sebagai jiwa agung alam semesta menempati alam atas atau Swah Loka. 



Image; bali.sakral

Tuhan dalam sifat Sada Siwa sebagai jiwa alam tengah ( Bhuwah loka) disebutkan bahwa Tuhan telah terpengaruh maya sehingga memiliki kemahakuasaan yang tidak terbatas. Dalam keadaan seperti ini Beliau juga disebut Saguna barhaman. Tuhan dalam hal ini disebut juga Apara Brahman yaitu Tuhan Pencipta, Pemelihara dan Pelebur. Sedangkan Tuhan Dalam sifat Siwatma atau penguasa alam bawah (bhur loka) disebut juga atmika adalah Tuhan yang telah diliputih oleh maya, menjadi jiwa semua makhluk hidup.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Tri Purusha adalah jiwa agung tiga alam semesta yakni Bhur Loka (alam bawah), Bhuwah Loka (alam tengah) dan Swah Loka (alam atas). Tri Purusha terdiri dari;


1. Parama Siwa: 


Parama Siwa artinya Tuhan dalam keadaan belum beraktivitas. Tuhan dapat digambarkan seperti kilat atau petir. Kilat atau petir itu adalah listrik yang ada di alam dan hanya terlihat pada musim hujan. Listrik ada tetapi belum aktif. Seperti itulah penggambaran Tuhan dalam keadaan Parama Siwa.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

2. Sadha Siwa: 


Sadha Siwa berarti keadaan Tuhan sudah aktif dan berfungsi menciptakan alam. Penggambaran Tuhan (Brahman) sebagai Sadha Siwa dalam keadaan aktif sudah mulai berfungsi, sudah menunjukkan ke-Mahakuasaan-Nya yang diwujudkan dalam wujud Deva. Tuhan berfungsi sebagai pencipta disebut Deva Brahma, Tuhan berfungsi sebagai pemelihara disebut Deva Wisnu dan Tuhan berfungsi sebagai pelebur atau mengembalikan ke asalnya disebut Deva Siwa. Tuhan dalam wujud Sadha Siwa juga memiliki kekuasaan dapat kecil sekecil-kecilnya, besar sebesar-besarnya, bersifat Maha Tahu, Maha Karya, ada di mana- mana dan kekal abadi. Karena Tuhan memiliki ke-Maha Kuasaan, maka Tuhan diberi gelar atau sebutan bermacam-macam sesuai ke-Maha Kuasaan-Nya, seperti:

Brahma,
Wisnu,
Rudra,
MahaDeva,
Sang Hyang Widhi,
Sang Hyang Sangkan Paran, dan lain-lain (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 264).

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

3. Siwa: 


Siwa sebagai bagian ketiga dari Tri Purusha adalah keadaan Tuhan sebagai Siwatma yaitu dapat menyatu dan menjiwai tubuh makhluk. Penggambaran Tuhan dalam wujud Siwa digambarkan seperti sebuah bola lampu. Di mana bola lampu akan menyala bila sudah dialiri oleh listrik. Listrik yang mengalir akan menyesuaikan dengan bentuk sebuah lampu. Kalau dalam makhluk hidup, bila Tuhan dalam Siwatma akan menyatu dengan ciptaan-Nya menjadi tubuh makhluk yang disebut Atma. Atmalah yang menjiwai manusia, hewan dan tumbuhan. Ketika Tuhan sudah berada dalam makhluk ciptaan-Nya, maka Tuhan akan dipengaruhi oleh keadaan makhluk itu dan menjadi lupa akan asalnya dan akan mengalami suka duka.


Dalam mahzab Siwaisme dikenal istilah Tri Purusha. “menurut Piagam Besakih, Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusha (Tiga Manifestasi Tuhan sebagai jiwa alam semesta)”. Tri Purusha didalam Tattwa Jnana disebutkan “……yang disebut Siwa Tattwa ada tiga yaitu; Paramasiwa Tattwa, Sadasiwa Tattwa, Atmika Tattwa” (Tattwa Jnana). Dengan demikian pada dasarnya Siwa adalah satu namun keadaan dan sifatnya berbeda, yang secara vertikal dipilah menjadi tiga bagian menyangkut keadaan-Nya yaitu: Paramasiwa (Trancendent), Sadasiwa (Immanent), dan Atmika Tattwa atau Siwatma (Immanent).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Atmika Tattwa/Siwatma merupakan aspek Tuhan yang bersemayam didalam hati setiap makhluk. Sadasiwa Tattwa merupakan aspek Tuhan berwujud (Saguna Brahman), sedangkan aspek Tuhan yang tak berwujud (Nirguna Brahman) adalah Paramasiwa Tattwa.




Dalam mahzab Waisnawa aspek Tuhan yang berwujud adalah Bhagavan, aspek Tuhan tak berwujud adalah Brahman dan aspek Tuhan yang bersemayam di dalam hati setiap makhluk adalah Paramatman (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 265)


Renungan Atharvaveda X.2.23


"Brahma devàn anu kûiyati brahma daivajanir viúah, brahmedam anyat-akúatram brahma sat kûatram ucyate". 


Terjemahan:

Dagang Banten Bali

"Tuhan Yang Maha Esa bersemayam dan berwujud sebagai para Deva. Tuhan Yang Maha Esa, bersemayam pada media-media yang suci, Tuhan Yang Maha Esa adalah abadi (tak terhancurkan) dan Dia adalah pelindung yang agung".




Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/11/penjelasan-tri-purusa-sebagai.html


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII

Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana

Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Pengertian Tri Purusa dan Bagian-Bagiannya

 


Secara etimologi Kata Tri Purusha (bahasa Sanskerta) terdiri dari kata “tri’ berarti tiga, dan “Purusha” berarti Jiwa Agung, Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan sebagai Tri Purusha, Brahman. Tri Purusha adalah jiwa agung tiga alam semesta yakni Bhur Loka (alam bawah), Bhuwah Loka (alam tengah) dan Swah Loka (alam atas). Tuhan sebagai penguasa alam bawah disebut Úiwa atau Iswara. Sebagai jiwa alam tengah, Tuhan disebut Sadha Úiwa dan sebagai jiwa agung alam atas, Tuhan disebut Parama Siwa atau Parameswara.


Pura Besakih merupakan sumber kesucian, tempat pemujaan Tri Purusha. Pura Besakih banyak mengandung filosofi. Menurut Piagam Besakih, Pura Agung Besakih adalah Sari Padma Bhuwana atau pusatnya dunia yang dilambangkan berbentuk bunga padma. Oleh karena itu, Pura Agung Besakih dijadikan sebagai pusat untuk menyucikan dunia dengan segala isinya. Pura Besakih juga pusat kegiatan upacara agama bagi umat Hindu. 



Photo; kadek_srie26

Di Pura Agung Besakih setiap sepuluh tahun sekali dilangsungkan upacara Panca Bali Krama dan setiap seratus tahun diselenggarakan upacara Eka Dasa Rudra. Pura Agung Besakih secara spiritual adalah sumber kesucian dan sumber kerahayuan bagi umat Hindu (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 258)

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih sebagai sarana untuk memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusha. Fungsi dan jenis pelinggih Padmasana yang memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada satu ruang. Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih, selain digunakan sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tri Purusha, juga sebagai niyasa Sanghyang Tunggal yaitu Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.


Bangunan yang paling utama di Pura Besakih adalah palinggih Padma (Padmasana) Tiga. Letaknya di Pura Penataran Agung Besakih. Palinggih tersebut terdiri atas tiga bangunan berbentuk padmasana berdiri di atas satu altar. Perkembangan awal dari Tri Purusha ini disebutkan bahwa ketika Dang Hyang Nirartha pertama kali tiba di Pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun saka 1411 atau 1489 M, dan ketika itu Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong, beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusha.


Ida Bagus Gede Agastia (Pengamat agama dan budaya) mengatakan bangunan suci Padma Tiga yang berada di Pura Agung Besakih adalah tempat pemujaan Tri Purusa yakni Úiwa, Sada Úiwa, dan Parama Úiwa (Tuhan Yang Mahaesa).

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Piodalan di Padmasana Tiga dilangsungkan setiap Purnama Kapat. Ini terkait dengan tradisi ngapat. Sasih Kapat atau Kartika, merupakan saat-saat bunga bermekaran. Kartika juga berarti penedengan sari. Padmasana tersebut dibangun dalam satu altar atau yoni. Palinggih padmasana merupakan sthana Tuhan Yang Maha Esa.


Padmasana berasal dari kata padma dan asana. Padma berarti teratai dan asana berarti tempat duduk atau singgasana. Jadi, padmasana artinya tempat duduk atau singgasana teratai.


Tuhan Yang Maha Esa secara simbolis bertahta di atas tempat duduk atau singgasana teratai atau padmasana. Padmasana lambang kesucian dengan astadala atau delapan helai daun bunga teratai. Bali Dwipa atau Pulau Bali dibayangkan oleh para Rsi Hindu zaman dulu sebagai padmasana, tempat duduk Tuhan Úiwa, Tuhan Yang Mahaesa dengan asta saktinya (delapan kemahakuasaan-Nya) yang membentang ke delapan penjuru (asta dala) Pulau Bali masing-masing dengan Deva penguasanya. Deva Iswara berada di arah Timur, bersemayam di Pura Lempuyang (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 259)


Brahma di selatan bersemayam di Pura Andakasa. Deva Mahadeva di barat (Pura Batukaru), Wisnu di utara (Pura Batur), Maheswara di arah tenggara (Pura Goa Lawah), Rudra di barat daya (Pura Uluwatu), Sangkara di barat laut (Pura Puncak Mangu), Sambhu di timur laut (Pura Besakih), Úiwa bersemayam di tengah, pada altar dari Pura Besakih dengan Tri Purusa-Nya yaitu Parama Úiwa, Sada Úiwa dan Úwa.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Tri Purusha tersebut dipuja di Padmasana Tiga Besakih. Palinggih Padmasana Tiga tersebut merupakan intisari dari padma bhuwana, yang memancarkan kesucian ke seluruh penjuru dunia. Karena itu, sumber kesucian tersebut penting terus dijaga, sebagai sumber kehidupan.


Pembangunan Pura Agung Besakih dan Pura-pura Sad Kahyangan lainnya adalah berdasarkan konsepsi Padma Mandala, bunga padma dengan helai yang berlapis-lapis (Catur Lawa dan Astadala). Pura Besakih adalah sari padma mandala atau padma bhuwana. Pura Gelap, Pura Kiduling Kerteg, Pura Ulun Kulkul dan Pura Batumadeg adalah Catur Lawa. Sedangkan Pura Lempuyang Luhur, Goa Lawah, Andakasa, Luhur Uluwatu, Batukaru, Puncak Mangu, dan Pura Batur adalah Astadala. Pura-pura tersebut sangat disucikan dan merupakan satu kesatuan yang utuh. Pura-pura tersebut pusat kesucian dan kerahayuan bagi umat Hindu.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Di masing-masing Desa Adat/Pekraman dan atau Desa Dinas umat sedharma melaksanakan pemujaan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi-Nya bertempat di Padmasana yang ada pada Kahyangan Tiga dari Desa yang bersangkutan. Selain itu bagi umat sedharma yang berdomisili di wilayah tingkat Kecamatan, Kabupaten/Kota dan Provinsi dapat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa di Padmasana seperti yang dibangun pada Pura Jagatnhata di tingkat Kabupaten/Kota yang ada di seluruh Indoesia. Dalam posisi vertikal Tuhan (Parama Úiwa, Sada Úiwa dan Úiwa) dipuja di Padma Tiga Pura Besakih, sedangkan dalam posisi horisontal Beliau (Berahma, Wisnu dan Siwa) dipuja di Pura Kahyangan Tiga masing-masing Desa Pakrama setempat. Demikianlah Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa dipuja oleh umat sedharma yang ada di Kabupaten/Kota seluruh Indonesia (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 260)



Bagian-Bagian Tri Purusha


Umat Hindu mempunyai keyakinan atau kepercayaan terhadap kekuatan Hyang Widhi. Agama Hindu mempunyai keyakinan atau kepercayaan akan adanya Hyang Widhi (Tuhan Yang Mahaesa) yang memiliki kemahakuasaan di luar batas kemampuan kita. Keyakinan dan kepercayaan itu dalam ajaran agama Hindu disebut dengan Sraddhà. 

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Dengan Sraddhà orang akan mencapai Tuhan. Banyak fakta yang menyebabkan timbulnya keyakinan di dalam diri manusia terhadap adanya Tuhan. Bagi kebanyakan orang keyakinan itu timbul berdasarkan agama yaitu berdasarkan cerita-cerita atau ucapan-ucapan dari orang Suci yang dapat dipercaya seperti para Mahàrsi (Agama pramana). Ada juga orang yang percaya akan adanya Tuhan berdasarkan suatu perhitungan yang logis (Anumana pramana). Serta ada juga orang meyakini adanya Tuhan berdasarkan pengalaman langsung (Praktyaksa pramana).


Misalnya kita ketahui bahwa segala yang ada, ada yang mengadakannya, seperti adanya meja dibuat oleh tukang kayu, adanya rumah dibuat oleh tukang bangunan, adanya HP dibuat oleh pabriknya, dan sebagainya. Kemudian adanya matahari, planet, bintang, gunung, laut, hutan, bumi, binatang, tumbuh- tumbuhan yang beraneka ragam. Siapakah gerangan yang mengadakannya?


Beliaulah yang Maha Pencipta yang merupakan asal mula dari yang ada, tanpa permulaan, tanpa tengah, dan tanpa akhir (tan paadi, tan pamadhya, tan paanta) Demikian pula di dunia ini ada tata tertib sehingga nampak adanya suatu rencana yang berdasarkan pemikiran dan tujuan tertentu. Seperti misalnya mengenai siklus kehidupan semua makhluk di dunia ini. Peredaran bumi, bulan, planet, bintang yang tidak terhitung banyaknya sebagai isi cakrawala ini namun satu dengan yang lainnya tidak saling bertubrukan dan betapa luasnya ruang angkasa ini. 

Dagang Banten Bali

Dari hal tersebut akan timbul kekaguman dalam hati kita mengenang kebenaran dan keanehan di alam ini yang seolah-olah ada kekuatan yang Maha bijaksana dan cerdas yang menciptakan dan mengatur alam ini. Apakah kiranya yang mengatur alam semesta ini. Apakah kiranya kekuatan-kekuatan itu? Ada yang menyebutkan hukum alam, namun ada juga yang menyebutkan hukum kebijaksanaan Tuhan. Dengan menyimpulkan berdasarkan gejala-gejala yang terjadi dari keanehan alam ini manusia dapat percaya dengan adanya Tuhan (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 261)


Tuhan Yang Maha Esa, Tri Purusa, Brahman terdiri dari:


1. Parama Siwa yaitu Tuhan sebagai jiwa agung alam atas, disebut Parama Siwa atau Parameswara.
2. Sadà Siwa yaitu Tuhan sebagai jiwa alam tengah, disebut Sadha Siwa.
3. Siwàtma yaitu Tuhan sebagai penguasa alam bawah disebut Siwa atau Iswara.


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/10/pengertian-tri-purusa-dan-bagian.html


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Cara Mempraktikkan Ajaran Nawa Widha Bhakti Menurut Ajaran Hindu

 Kedamaian dan ketenteraman (Kerta Langu), adalah dambaan seluruh sekalian alam baik secara komunal maupun secara individual (personal). Maksudnya adalah dambaan akan kedamaian itu tidak hanya bagi umat manusia, tetapi tumbuh-tumbuhan dan binatangpun memerlukan kedamaian itu (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 241).


Kemudian perlu dipahami juga bahwa kedamaian itu bukan dibutuhkan saat ini saja, tetapi kedamaian itu dibutuhkan oleh seluruh sekalian alam baik untuk masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Demikianlah sabda, intruksi dan pesan dari Kitab Suci Veda yang harus kita tindaklanjuti dengan sraddha dan rasa bakti (iman dan takwa) yang mantap.



photo; sugaedam17
Apabila dalam kehidupan ini setiap umat manusia umumnya dan khususnya umat Hindu mampu mewujudkan kedamaian itu maka impian umat manusia untuk menciptakan suasana sorga di dunia ini dapat diwujudkan. Tetapi kenyataannya masih banyak umat manusia yang keliru memaknai hidupnya khususnya tentang suasana alam surgawi yang mereka dambakan di saat alam kematian, mereka berharap masuk surga atau menikmati suasana alam surgawi di saat kematian tetapi melupakan suasana alam surgawi dalam kehidupan nyata yaitu kehidupan saat di dunia fana ini.

Pada hal proses kematian yang baik adalah “Hidup yang baik dulu, baru mati yang baik”, karena dengan kehidupan yang baik di saat hidup dapat dijadikan modal dasar dan atau matra untuk pencapaian kehidupan yang lebih baik di saat ini dan saat di alam akhirat.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Namun fenomena Devasa ini, ternyata ketenteraman, kesalehan, keharmonisan dan kedamaian semakin menjadi harga mahal bagi sebagian besar individu atau kelompok umat manusia dalam kehidupannya, padahal dalam sebuah pengakuan, hampir setiap orang di dunia ini mengakui dan diakui dirinya sebagai orang yang beragama, dengan status orang beragama itu semestinya orang-orang beragama secara kontinu selalu berupaya mewujudkan kesalehan dan keharmonisan serta kedamaian (santih) di dunia ini.

Orang-orang beragama semestinya mampu memberikan penyembuhan (konseling) terhadap dirinya dan orang lain di saat-saat mengalami goncangan kejiwaan di mana orang- orang psikologi menyebutnya dengan ‘kekusutan mental’ akibat dari suatu masalah yang dihadapinya yaitu dengan menggunakan ayat-ayat kitab suci dan sastra-sastra agamanya sebagai pedoman dan tablet/kapsul yang harus diramu dan selanjutnya dikonsumsi sebagai obat untuk mengonseling atau menterapi psikis dirinya.

Renungkanlah sloka Ågveda X.117.6 sebagai berikut;


"Mogham annaý vindate aprcetaá satyam bravimi vadha it sa satya, nàryamanaý pusyati no sakhàyaý kevalàgho bhavati kevalàdi".


Terjemahan:


"Orang yang kurang pandai memperoleh kekayaan dengan sia-sia, Aku mengatakan kebenaran bahwa jenis kekayaan ini adalah benar-benar kematian untuk dia, Dia yang tidak menolong teman-temannya dan sahabat-sahabat karibnya, dia yang makan sendirian, menderita sendirian" (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 242).

Kemudian selanjutnya sloka Ågveda X.17.1


"Na và u devàá ksubham id vad am daduá utàúitam upa gacchanti måtyavaá,
uto rayiá pånato nopa dasyati utàpånan marditàraý na vindate".

Terjemahan:


"Para Deva telah memberikan rasa lapar kepada umat manusia dalam bentuk kematian, kematian itu bahkan terjadi kepada orang yang makan makanan yang baik (makmur), kekayaan tidak pernah berkurang oleh karena kemurahan hati (didermakan), orang yang kikir tidak pernah menemukan orang yang memiliki rasa belas kasihan".


Tetapi kenyataannya tidak sedikit orang-orang beragama di belahan dunia ini jasmani dan rohaninya tidak harmonis, tidak sedikit pula orang-orang beragama menciptakan suasana disharmoni, jiwanya mengalami kekusutan mental dan paling ironis sikap dan tindakannya justru tidak mencerminkan orang-orang beragama.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Kemudian di era globalisasi masa kini menghadapkan umat manusia atau masyarakat manusia kepada serangkaian baru yang tidak terlalu berbeda dengan apa yang pernah dialami sebelumnya dan bahkan kecenderungannya akan semakin berat permasalahan hidup yang akan dihadapinya. Pluralisme agama, suku, ras, etnis, golongan, berbagai kepentingan, dan yang lainnya adalah fenomena nyata.

Di masa-masa lampau kehidupan umat manusia relatif lebih tenteram karena kehidupan umat manusia bagai kamp-kamp yang terisolisasi dari tantangan-tantangan dunia luar. Sebaliknya masa kini kemajuan zaman menyebabkan persaingan hidup semakin ketat, pergaulan lintas etnis tidak bisa lagi dihindari, multi kepentingan semakin beragam, dan lain lain, menyebabkan umat manusia dewasa ini harus pandai-pandai dan arif dalam menghadapi dan mengatasi persoalan dalam hidupnya.


Di manapun masyarakat manusia itu berada di negara-negara di dunia ini termasuk di Indonesia memiliki sederetan perbedaan, di luar perbedaan yang mereka miliki dari sejak lahir. Seperti perbedaan etnis, kebudayaan, adat- istiadat, agama, kepercayaan, politik, dan lain lain. Fenomena ini bukanlah perkara mudah untuk menciptakan keharmonisan, ketertiban dan kedamaian di dunia untuk hidup sebagai masyarakat manusia dengan sederatan perbedaan- perbedaan itu, sekalipun manusia diyakini sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, apabila manusia itu sendiri tidak memiliki kepandaian, kearifan dan kebijaksanaan dalam mengapresiasi sederetan perbedaan-perbedaan yang ada. Kurang pandainya, ketidakarifan dan kebijaksanaan yang dimiliki oleh masyarakat kita mengapresiasi perbedaan itu merupakan beberapa faktor yang menyebabkan di era globalisasi ini timbul berbagai konflik baik konflik individu (personal) maupun konflik komunal (kelompok) (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 243).


Konflik individu misalnya; masih banyak orang stres atau mengalami goncangan kejiwaan (kekusutan mental) dan kasus bunuh diri akibat tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan dan tantangan hidup dan kehidupan yang dialami, dan lain sebagainya. Konflik komunal (kelompok) misalnya; timbulnya konflik horizontal antara masyarakat manusia yang satu dengan masyarakat manusia lainnya yang terjadi di belahan dunia yang mana setiap hari selalu mewarnai dan menghiasi pemberitaan media cetak dan elektronik seperti diantaranya; konflik antara anak dan orang tua, antara istri dengan suami, antara individu manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, kelompok manusia satu dengan kelompok manusia yang lainnya tentang diskriminasi, kekerasan, pelecehan, ketidakadilan, dan sebagainya tetang berbagai macam hal.

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Selanjutnya konflik yang disebabkan oleh penanaman ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin yang ekskulisifisme dan sempit, sehingga tidak sedikit masyarakat manusia seperti itu badannya dipasung, terkungkung, dan mengabaikan kebenaran serta menutup diri untuk menerima perbedaan dan kebenaran orang lain baik itu perihal etnis, kebudayaan, adat-istiadat, agama, kepercayaan, politik, dan sebagainya juga semakin marak terjadi dewasa ini.

Kemudian faktor yang lain juga disebabkan pula oleh karena dewasa ini kecenderungan bagi tidak sedikit orang lebih mengejar dunia material atau kemewahan duniawi ketimbang dunia spiritual. Ketidak seimbangan itu menyebabkan degradasi moral semakin meningkat, sikap dan karakter- karakter Ketuhanan pada setiap individu dan kelompok di tengah-tengah kehidupan masyarakat seperti; cinta kasih sayang, pelayanan, dan lain lain, semakin memprihatinkan.


Renungkanlah sloka Ågveda X.117.4 sebagai berikut;


"Na sa sakhà yo na dadàti sakhye"


Terjemahan:


"Dia bukanlah seorang sahabat yang sejati yang tidak menolong seorang teman yang memerlukan pertolongan".


Situasi dan kondisi konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat manusia itu menandakan bahwa arah gerak pikiran, perkataan dan perbuatan bagi setiap individu atau kelompok manusia seperti itu sangat mengabaikan prinsip- prinsip dasar tetang nilai-nilai kejujuran, kebajikan, kepatuhan dan ketaatan terhadap aturan keimanan, aturan kebajikan (hukum), hak asasi manusia, kesucian, pengendalian diri, kebersamaan, persatuan, pengorbanan yang tulus ikhlas, pelayanan, cinta kasih sayang, kerukunan, ketentraman dan kedamaian, pembebasan, pemuliaan, dan lain lain (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 244).

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Oleh karena itu situasi dan kondisi konflik itu baik personal maupun komunal yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita sangat dibutuhkan upaya bersama secara sadar, sabar, dan tulus ikhlas untuk mengatasi dan mencarikan solusi pemecahannya agar situasi dan kondisi hidup dan kehidupan masyarakat manusia masa kini dan dimasa yang akan datang tidak semakin kusut dan rumit, tragedi sosial, kemanusiaan dan rusaknya lingkungan hidup, dapat diminimalisir.

Karakter-karakter Ketuhanan dalam setiap jiwa individual masyarakat manusia perlu ditananamkan sejak dini, sehingga apabila karakter Ketuhanan itu telah tertanam dan tumbuh dalam setiap jiwa individual masyarakat dapat dijadikan modal sosial untuk menciptakan kesalehan dan keharmonisan sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat manusia.


Karakter Ketuhanan dalam setiap jiwa individual masyarakat manusia akan dapat tertanam, tumbuh dan berkembang dengan kesadaran, iman dan takwa yang mantap bahwa kelahirannya menjadi manusia adalah kesempatan untuk berbuat baik berdasarkan atas kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Kitab suci dari agama atau kepercayaan apapun yang ada di dunia ini, termasuk yang tersurat dan tersirat dalam kitab suci Agama Hindu yaitu dalam kitab Sarasamuccaya menyatakan bahwa menjelma, menjadi manusia sungguh-sungguh utama sebabnya demikian karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya menjelma menjadi manusia.

Oleh karena itu setiap jiwa individual manusia tidak semestinya bersedih hati sekalipun kehidupan manusia itu tidak makmur, dilahirkan menjadi manusia itu hendaklah menjadikan kamu berbesar hati, sebab amat sukar untuk dapat dilahirkan menjadi manusia, meskipun kelahiran hina sekalipun.


Sebagai penjelmaan manusia yang mempunyai keutamaan tersebut maka upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat kita untuk meredam situasi dan kondisi konflik yang semakin marak terjadi di sekitar lingkungan hidupnya internal dan eksternal baik konflik individual mapun konflik komunal.

Perhatikan petunjuk kitab suci Bhagavagita.II.53 sebagai berikut:


"úruti-vipratipannā te yadā sthāsyati niúcalā, samādhāv acalā buddhis tadā yogam avāpsyasi".


Terjemahan:


"Bila pikiranmu yang dibingungkan oleh apa yang didengar tak tergoyahkan lagi dan tetap dalam Samadhi, kemudian engkau akan mencapai yoga (realisasi diri)" (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 245).


Agar dapat keluar dan tidak memperburuk situasi dan kondisi konflik itu masyarakat manusia hendaknya selalu membangunkan kesadarannya dan menyalahkan pelita atau cahaya ke-Ilahian di dalam dirinya dengan selalu berdoa dalam setiap tindakan sehingga cahaya ke-Ilahian dapat bersinar dalam setiap badan dan jiwa manusia sehingga masyarakat manusia dapat membimbing dirinya dan orang lain dari ketidakbenaran menuju kebenaran yang sejati, dapat membimbing masyarakat manusia dari kegelapan menuju jalan yang terang benderang, dan dapat membimbing dirinya dari kematian Rohani menuju kehidupan yang kekal abadi.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Upaya sepatutnya dimulai dari diri sendiri individu manusia itu sendiri, kemudian dalam lingkungan keluarga, dan selanjutnya dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih luas yaitu sesuai dengan tema yang dikemukakan dalam tulisan ini salah satunya dengan ‘Menanamkan Ajaran Nawa Wida Bhakti untuk Menumbuhkan Karakter Ketuhanan di Lingkungan Keluarga Sebagai Modal Dasar Guna Mewujudkan Kesalehan dan Keharmonisan Sosial’.


Pentingnya menanamkan ajaran Nawa Wida Bhakti untuk menumbuhkan karakter Ketuhanan di Lingkungan Keluarga ini dikarenakan beberapa hal diantaranya;


Pertama, kehidupan di lingkungan keluarga dewasa ini juga seolah-olah semakin digiring untuk meninggalkan jati dirinya sebagai anggota masyarakat yang religius dengan berbagai aktivitas ritual keagamaannya, sehingga kualitas iman dan takwa (sradha bhakti) yang selama ini dijunjung tinggi semakin lama semakin tergeser oleh pola kehidupan yang mengglobal dan modern.

Budaya global yang diakibatkan oleh modernisasi dalam berbagai bentuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) terus menerus mengikuti perkembangan sosial masyarakat manusia, sehingga kadangkala akibat dari pengaruh dunia global dan modernisasi ini bisa membawa manfaat yang positif dan negatif bagi kehidupan spiritual individu masyarakat manusia.

Dari segi positif modernisasi bisa menguntungkan kehidupan baik jasmani dan rohani individu masyarakat manusia, namun di sisi negatif modernisasi bisa mengakibatkan semakin tergesernya sendi-sendi kehidupan termasuk semakin terkikisnya nilai-nilai religiusitas pada sebagian anggota masyarakat manusia (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 246).

Pengaruh negatif yang dimaksud terhadap anggota masyarakat manusia dewasa ini sering terjadi perselisihan, kekerasan, diskriminasi, ketidak adilan, dan sebagainya yang kecenderungan perilakunya mengarah pada bentuk perilaku yang dapat merugikan dirinya, keluarganya dan kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat atau sosialnya. Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan, karena jika hal tersebut di atas dibiarkan terus terjadi, maka kualitas kebersamaan, persatuan dalam bermasyarakat akan semakin menipis, dan pada akhirnya esensi sebagai masyarakat manusia yang memiliki keutamaan dibandingkan dengan makhluk lainnya melalui cara berpikir, berkata dan berperilaku semakin lama akan mengkhawatirkan.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Kedua, di lingkungan atau internal keluarga merupakan proses pembelajaran, pendidikan dan pembekalan pengetahuan paling awal. Oleh karenanya maka setiap anggota keluarga terutama orang tua, dituntut untuk senantiasa bersikap dan berbuat sesuai dengan dharma-nya, dengan harapan pada setiap anggota keluarga memiliki iman dan taqwa (sradha bhakti) sifat dan budi pekerti yang luhur serta berkepribadian mulia yang sangat diperlukan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat manusia.

Dalam kitab suci Veda dan susastra suci Veda yang lainnya banyak menguraikan tentang pentingnya ajaran bhakti, dan swadharma orang tua terhadap anaknya, demikian pula bhakti dan swadharma dari anak kepada orang tuanya. Dalam kitab suci Manavadharmasastra dijelaskan bahwa secara non fisik suami-istri masing- masing mengupayakan agar jalinan cinta dan kasih sayang, kesetiaan, mencari nafkah, menjaga kesehatan, dan seterusnya agar ikatan perkawinan dapat berlangsung abadi.

Kemudian terhadap anak-anak yang lahir, orang tua berkewajiban membesarkannya, memberikan perlindungan, pendidikan dan menyelenggarakan perkawinannya (Vivaha Samkara). Selanjutnya dalam Sarasamuscaya juga diajarkan tentang tiga kewajiban orang tua yang harus dilaksanakan dengan rasa bhakti yang tulus kepada anaknya yaitu sebagai berikut: Pertama, Sarirakrta, yaitu kewajiban orang tua untuk menumbuhkan jasmani anak dengan baik. Kedua, Prannadatta, artinya orang tua wajib membangun atau memberikan pendidikan kerohanian kepada anak. Ketiga, Annadatta, yaitu kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan kepada anaknya untuk mendapatkan makanan (anna) salah satunya kebutuhan hidupnya yang paling esensial.


Demikian pula dalam Kekawin Niti Sastra ada disebutkan syarat-syarat orang yang dapat disebut orang tua yakni apabila telah melakukan lima kewajiban yang disebut Panca Wida yaitu: Pertama, Sang ametuaken, artinya yang menyebabkan kita lahir. Ayahlah yang pertama-tama menyebabkan kita lahir dari rahim ibu. Awal mula dari sikap ayah dan ibu saat-saat menanam benih dalam rahimnya juga amat menentukan keberadaan kita dewasa ini (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 247).

Kedua, Sang anyangaskara, artinya orang tua mempunyai tanggung jawab menyucikan anak melalui upacara sarira samskara. Ketiga, sang mangupadyaya, artinya seseorang dapat disebut ayah apabila ia dapat bertanggung jawab pada pendidikan anak-anaknya. Pendidikan anak tidak dapat begitu saja diserahkan kepada guru-guru di sekolah. Ayah di rumah juga disebut guru rupaka. Keempat, Sang maweh bijojana, artinya orang yang dapat disebut ayah adalah orang yang memberikan anggota keluarganya makan dan kebutuhan- kebutuhan material lainnya.

Dagang Banten Bali


Secara umum seorang ayah memiliki tanggung jawab menjamin kebutuhan ekonomi keluarga. Kelima, Sang matulung urip rikalaning baya, artinya kewajiban seorang ayah melindungi nyawa si anak dari ancaman bahaya. Perlindungan tersebut tidaklah semata-mata berarti fisik, juga perlindungan yang bersifat rohaniah. Sedangkan bakti dan swadharma anak kepada orang tuanya, sesuai dengan perintah dan pesan dari sastra suci Veda, seorang anak dikatakan suputra apabila anak itu memiliki sradha, bhakti dan serta tumbuh menjadi anak yang mampu menyelamatkan dirinya, orang tuanya, dan seluruh keluarganya dari lembah penderitaan menuju kehormatan dan kebahagiaan. Dan yang lebih besar lagi berguna bagi masyarakat, bangsa dan negaranya.


Ajaran Nawa Wida Bhakti untuk menumbuhkan karakter Ketuhanan di lingkungan keluarga sebagai modal dasar guna mewujudkan kesalehan dan keharmonisan sosial, yang dimaksud adalah sebagai berikut:


Ajaran Nawa Wida Bhakti adalah salah satu ajaran Agama Hindu yang dapat dipedomani untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan masyarakatmanusia terhadap aturan keimanan, aturan kebajikan dan aturan upacara keagamaan yang bersumber dari ajaran agama yang dianutnya, serta dapat dipedomani dalam upaya melakukan penyembuhan (konseling) di saat-saat mengalami goncangan kejiwaan oleh masyarakat manusia di lingkungan keluarga yang mana kehidupan di lingkungan keluarga dewasa ini juga seolah-olah semakin digiring untuk meninggalkan jati dirinya sebagai anggota masyarakat yang religius dengan berbagai aktifitas ritual keagamaannya. Perihal penting lainnya adalah untuk mengelimase potensi-potensi konflik akibat kurang pandainya dan kurang kearifan serta kebijaksanaan dari masyarakat manusia terhadap sederetan perbedaan, di luar perbedaan yang mereka miliki dari sejak lahir.

Ajaran Nawa Wida Bhakti adalah salah satu ajaran Agama Hindu yang bersumber dari kitab Bhagavata Purana, VII.5.23, yang menyebutkan bahwa ada 9 (sembilan) cara berbakti (hormat, sujud, pengabdian, cinta kasih sayang, pelayanan, dan spiritual) yang disebut Nawa Wida Bhakti yaitu rasa bakti manusia terhadap Tuhan-nya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 248).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Konsep Nawa Wida Bhakti ini dapat dimaknai dalam konteks kehidupan sosial atau arah gerak putarannya secara horizontal yaitu rasa sujud, hormat- menghormati, pengabdian, cinta kasih sayang, spiritual, dan memberikan pelayanan antara manusia dengan sesamanya dan lingkungannya. Sehingga harapannya dengan nilai-nilai dari ajaran Nawa Wida Bhakti (hormat, sujud, pengabdian, cinta kasih sayang, pelayanan, dan spiritual) tercipta karakter Ketuhanan di lingkungan keluarga sehingga pada saatnya nanti dapat dijadikan sebagai modal dasar guna mewujudkan kesalehan dan keharmonisan sosial karena di lingkungan masyarakat umum atau lingkungan masyarakat yang lebih luas telah hidup atau dihuni oleh individu-individu manusia yang telah ditanamkan nilai-nilai ajaran Nawa Wida Bhakti, individu yang bermoralitas, serta memiliki budi pekerti yang luhur melalui proses pembinaan, pendidikan dan pendalaman atau penghayatan sejak awal di lingkungan keluarga.

Berikut uraian Cara Mempraktikkan Ajaran Nawa Widha Bhakti Sebagai Dasar Pembentukan Budi Pekerti Yang Luhur dalam zaman Global Menurut Ajaran Hindu adalah sebagai berikut:


1. Sravanam 

Yaitu bakti dengan jalan mendengar. Arah gerak vertikal dari bakti mendengar ini adalah dalam hal ini masyarakat kita hendaknya meyakini dan mendengarkan sabda-sabda suci dari Tuhan baik yang tersurat maupun tersirat dalam kitab suci atau aturan-aturan keimanan, aturan kebajikan dan aturan upacara. Tetapi penomena arah gerak vertikal dari bakti mendengar yang kita jumpai di tengah-tengah kehidupan kita, termasuk di lingkungan keluarga dan masyarakat tidak sedikit individu manusia yang tidak mau mendengarkan sabda-sabda suci atau aturan- aturan keimanan, aturan kebajikan dan aturan upacara keberagamaan.


Kenyataan ini diperkuat apabila ada orang yang mewartakan ajaran tentang kebajikan, kebenaran, kesucian, dan lain-lain tentang sabda suci Tuhan justru yang terjadi malah ketidakpedulian, pelecehan, atau dengan kata lain respons yang muncul menunjukkan kekurangtertarikan akan pewartaan itu. Contoh kecil saja di sebagian banyak orang tidak mau mendengar atau bahkan mengantuk apabila ada ceramah-ceramah agama baik itu di tempat-tempat suci atau pewartaan melalui media cetak dan eletronik yang lain.


Tetapi kalau ada pewartaan/tayangan sinetron tentang gosip, fitnah, kekerasan, diskriminasi, dan lain-lain justru menjadi sebuah konsumsi bagaikan seorang pecandu. Selanjutnya arah gerak horizontal, bakti mendengar ini hendaknya masyarakat manusia dalam hidup dan kehidupannya menanamkan rasa bakti untuk selalu belajar mendengarkan nasehat dan menghormati pendapat orang lain serta selalu belajar untuk menyimak atau mendengarkan pewartaan tentang sesamanya dan lingkungannya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 249).


Fenomena yang sering terjadi tidak sedikit juga masyarakat manusia yang tidak peduli dan tidak belajar serta menghormati nasehat dan pendapat orang lain, serta tidak peduli dan tidak belajar untuk menyimak berita-berita tentang tragedi kemanusiaan dan kerusakan lingkungan. Padahal dalam hidup ini untuk mewujudkan cita-cita atau visi-misi hidup hendaknya dimulai dengan adanya kemauan dan kesadaran untuk mendengar. Pengetahuan, pemahaman dan pendalaman tetang berbagai hal hasil dari mendengar dapat dijadikan konsep dasar untuk menata hidup dan kehidupan di dunia ini yang kemudian ditindaklanjuti dengan berupaya untuk berbuat atau mencari solusi yang terbaik dalam mengambil sebuah tindakan akan kemanusiaan/sesama dan lingkungan.

Contoh; di lingkungan keluarga antara anggota keluarga semestinya selalu menanamkan sifat dan rasa bhakti untuk selalu mendengar baik antara suami dan istri, antara orang tua dan anak, untuk selalu membangun komunikasi aktif sehingga dapat mengurangi terjadinya miskomunikasi diantara anggota keluarga.


Sifat dan sikap ini akan dapat menumbuhkan karakter Ketuhanan di lingkungan keluarga itu, seperti; sifat, sikap dan karakter hormat- menghormati, sujud, cinta kasih sayang, pengabdian, pelayanan, berfikir yang baik dan suci, berkata yang baik dan suci, berbuat yang baik dan suci serta teguh dalam melaksanakan disiplin spiritual. Sifat dan sikap individu seperti itu akan dapat dijadikan sebagai modal sosial untuk menciptakan kesalehan dan keharmonisan sosial antara keluarga, antar sesama anggota masyarakat.


Sifat, sikap dan karakter individu yang selalu belajar untuk membuka diri mendengar nasihat, pendapat orang lain atau apa yang diwacanakan orang lain adalah sebuah sifat, sikap dan karakter insklusif yaitu sebuah sifat, sikap dan karakter membuka diri secara tulus ikhlas untuk mau mendengarkan kebenaran dari orang lain, karena dalam diri ada kebenaran tetapi diluar diri juga masih banyak kebenaran yang belum diketahui.


Untuk itu pesan yang ingin disampaikan melalui bhakti dengan jalan mendengar ini adalah dalam hidup ini masyarakat kita untuk selalu berupaya membudayakan untuk mendengar, baik mendengar secara vertical antara manusia dengan Tuhan-nya melalui sabda-sabda sucinya, maupun secara horizontal antar sesamanya dan lingkungannya.

Karena baik mendengar ataupun memberi pendengaran/pewartaan apabila sama- sama dilandasi dengan rasa bakti maka semua akan mendapat hasil (pahala) yang baik atau paling tidak dapat manfaat dari bakti mendegar ini. Iklim saling bakti mendengar ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat manusia yang diawali ditanamkan di lingkungan keluarga selanjutnya ditumbuhkembangkan secara harmonis dan dinamis dalam kehidupan sosial masyarakat di lingkungan masyarakat sosial yang lebih luas (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 250).


2. Wedanam 

Yaitu bakti dengan jalan membaca, menyimak dan mempelajari, mendalami serta menghayati dan memaknai ajaran yang bersumber dari aturan keimanan, aturan kebajikan, dan aturan yang lainnya yang bersumber dari sabda-sabda suci Tuhan dan susastra suci yang lainnya.


Arah gerak vertikal masyarakat manusia dalam menjalani dan menata kehidupannya selalu meluangkan waktu untuk membaca, menyimak dan mempelajari, mendalami serta menghayati dan memaknai kitab suci dan susastra suci serta ilmu pengetahuan yang lainnya tentang Tuhan sebagai pedoman hidup, sehingga gagasan dan arah pilihan jalan hidup masyarakat manusia sesuai dengan sabda suci Tuhan yang tertuang dalam kitab suci atau sumber hukum agama yang diyakini dan dianut, tentunya dengan selalu tidak menutup diri atau mengabaikan hal-hal yang ada di luar dirinya.


Arah gerak horizontal dari bakti ini, masyarakat manusia kepada sesama dan lingkungan hidupnya untuk selalu membaca, menyimak dan mempelajari , mendalami serta menghayati dan memaknai situasi untuk menuju arah gerak yang lebih baik. Karena apabila salah dalam membaca, menyimak dan mempelajari , mendalami serta menghayati dan memaknai situasi maka salah juga dalam pengambilan keputusan. Iklim saling bhakti Wandanam ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat manusia untuk menciptakan kesalehan dan keharmonisan di lingkungan keluarga dan sosial kemasyarakatannya.


3. Kirtanam

Yaitu bakti dengan jalan melantunkan Gita/zikir (nyanyian atau kidung suci memuja dan memuji nama suci dan kebesaran Tuhan), bakti ini juga diarahkan menjadi dua arah gerak vertikal maupun arah gerak horizontal. Arah gerak vertikal melakukan bakti kirtanam untuk menumbuhkan dan membangkitkan nilai-nilai spiritual yang ada dalam jiwa setiap individu manusia, dengan bangkitnya spiritual dalam setiap individu akan dapat meredam melakukan pengendalian diri dengan baik, jiwa lebih tenang, tenteram dan terceriakan, situasi dan kondisi ini akan dapat membantu keluar dari kekusutan mental dan kegelapan jiwa. Sehingga dapat dijadikan modal dasar untuk menciptakan kesalehan dan keharmonisan individual yang damai dan bahagia.


Arah gerak horizontal masyarakat manusia berusaha selalu untuk melantunkan bakti kirtanam yang dapat menyejukkan perasaan hati orang lain dan lingkungannya. Kepada sesama atau anggota masyarakat yang lainnya tidak hanya melantunkan atau melontarkan kritikan dan cemohan tetapi selalu belajar untuk melatih diri untuk memberikan saran, solusi yang terbaik bagi kepentingan bersama dalam keberagamaan, kehidupan sehari-hari tentang kemanusiaan, kebersamaan, persatuan dan perdamaian, serta memberikan pengakuan dan penghargaan atau pujian akan keberhasilan dan prestasi yang telah dicapai terhadap sesama atau anggota masyarakat manusia yang lain (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 251).


Iklim saling bakti Kirthanam ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat manusia yang penanaman nilai-nilai bakti Kirthanam diawali di lingkungan keluarga sebagai modal dasar guna mewujudkan kesalehan dan keharmonisan sosial dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya.



RELATED:
Pengertian Dasa Nyama Brata (Bratha) dan Penjelasannya
Bagian-Bagian Dasa Nyama Brata atau Bratha
Tujuan dan Manfaat Ajaran Dasa Nyama Bratha (Brata) dalam Pembentukan Kepribadian dan Budi Pekerti yang Luhur
4. Smaranam

Yaitu bakti dengan jalan mengingat. Arah gerak vertikal dari bakti ini adalah dalam menjalani dan menata kehidupan ini masyarakat manusia sepatutnya selalu melatih diri untuk mengingat, mengingat nama-nama suci Tuhan dengan segala Ke-Maha Kuasaan-Nya, dan selalu melatih diri untuk mengingat tentang intruksi dan pesan atau amanat dari sabda suci Tuhan kepada umat manusia yang dapat dijadikan sebagai pedoman atau pegangan hidup dalam hidup di dunia dan di alam sunya (akhirat) nanti.


Arah gerak secara horizontal dari bakti ini apabila dikaitkan dengan isu-isu pluralisme, kemanusiaan, perdamaian, demokrasi dan gender maka sepatutnya masyarakat manusia selalu berusaha untuk mengingat kembali tragedi dan penderitaan kemanusiaan, musibah dan bencana alam, dan lain-lain, yang diakibatkan oleh konflik-konflik atau pertikaian, kesewenang-wenangan, diskriminasi, dan tindakan kekerasan yang lainnya antara individu yang satu dengan individu yang lain ataupun antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain yang tidak atau kurang memahami dan menghargai indahnya sebuah kebhinekaan dan pluralisme.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Harapannya dengan mengingat tragedi, penderitaan, musibah dan bencana yang diakibatkan itu masyarakat kita selalu mewartakan dan mengingatnya sebagai bekal untuk mengevaluasi dan merefleksi diri akan indahnya kebhinekaan dan pluralisme apabilamasyarakat manusiamampu mengkemasnya dalam satu bingkai yaitu bingkai kebersamaan, persatuan dan kedamaian. Iklim saling bhakti Smaranam ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat manusia yang ditanamkan di awali dilingkungan keluarga sehingga tumbuh karakter Ketuhanan dalam setiap anggota keluarga sebagai modal dasar guna mewujudkan kesalehan dan keharmonisan sosial dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya.


5. Padasevanam

Yaitu bakti dengan jalan menyembah, sujud, hormat di Kaki Padma. Arah gerak vertikal dalam bakti ini masyarakat kita dalam menjalani dan menata kehidupannya sepatutnya selalu sujud dan hormat kepada Tuhan, hormat dan sujud terhadap intruksi dan pesan/amanat dari hukum Tuhan (rtam). Arah gerak horizontal masyarakat manusia untuk selalu belajar dan menumbuhkan kesadaran untuk menghormati para pahlawan dan pendahulunya, pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang telah dijadikan dan disepakati sebagai sumber hukum, para pemimpin, para orang tua dan yang tidak kalah penting juga hormat/sujud kepada ibu pertiwi (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 252).


Karena dengan adanya kesadaran untuk saling menghormati inilah kita akan bisa hidup berdampingan dalam kebhinekaan dan pluralisme, sehingga terwujud kebersamaan, perastuan, kesalehan dan keharmonisan sosial. Iklim saling bakti Padasevanam ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat manusia sehingga sejak dini semestinya ditanamkan untuk menumbuhkan karakter Ketuhanan di lingkungan keluarga sebagai modal dasar guna mewujudkan kesalehan dan keharmonisan sosial dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya.


6. Sukhynam

Yaitu bakti dengan jalan kasih persahabatan, menaati hukum dan tidak merusak sistem hukum. Baik arah gerak vertikal dan horizontal, baik dalam kehidupan material dan spiritual (jasmani dan rohani) masyarakat manusia agar selalu berusaha melatih diri untuk tidak merusak sistem hukum, dan selalu di jalan kasih persahabatan.


Iklim saling bakti Sakyam ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat kita untuk menumbuhkan karakter Ketuhanan mulai dari lingkungan keluarga dan selanjutnya dapat dijadikan sebagai matra dan sebagai modal dasar guna mewujudkan kesalehan dan keharmonisan sosial dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya.


7. Dahsyam

Yaitu bakti dengan jalan mengabdi, pelayanan, dan cinta kasih sayang dengan tulus ikhlas terhadap Tuhan. Arah gerak vertikal dari bakti ini masyarakat manusia dalam menjalani dan menata kehidupannya, untuk selalu melatih diri dan secara tulus ikhlas untuk mengahturkan mengabdikan, pelayanan kepada Tuhan, karena hanya kepada Tuhanlah umat manusia dan seluruh sekalian alam beserta isinya berpasrah diri memohon segalanya apa yang harapkan untuk mencapai kebahagian di dunia dan di akhirat.


Arah gerak horizontal masyarakat manusia kepada sesama dan lingkungan hidupnya untuk selalu mengabdi, memberikan pelayanan dan cinta kasih sayang dengan tulus ikhlas untuk kepentingan bersama tentang kemanusiaan, kelestarian lingkungan hidup dan kedamaian di tengah-tengah kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Iklim saling bhakti Dasyam ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat manusia baik dilingkungan keluarga lebih-lebih di kehidupan sosial kemasyarakatannya.


8. Arcanam

Yaitu bakti dengan jalan penghormatan terhadap simbol-simbol atau nyasa Tuhan seperti membuat Arca, Pratima, Pelinggih, dan lain- lain, bhakti penguatan iman dan taqwa, menghaturkan dan pemberian persembahan terhadap Tuhan.


Arah gerak vertikal masyarakat manusia dalam menjalani dan menata kehidupannya untuk selalu menghaturkan dan menunjukkan rasa hormat, sujud, cinta kasih sayang, pelayanan, pengabdian kepada Tuhan dengan iman dan takwa kuat dan teguh dengan jalan menghaturkan sebuah persembahan sebagai bentuk ucapan terimakasih atas tuntunan, bimbingan, perlindungan, kekuatan, kesehatan dan setiap anugerah yang diberikan Tuhan kepada seluruh sekalian alam.


Arah gerak horizontal masyarakat manusia terutama kepada sesama dan lingkungannya dalam kehidupannya untuk selalu belajar untuk memberikan pelayanan, pengabdian, cinta kasih sayang, penguatan dan pemberian penghargaan kepada orang lain. Contoh, Pemerintah, pemimpin dan atau anggota masyarakat hendaknya memberikan pengabdian, pelayanan, cinta kasih sayang dan penghargaan kepada pemerintah dan pemimpinnya demikian pula sebaliknya kepada dan oleh rakyatnya yang telah menunjukan dedikasinya tinggi terhadap segala aspek kehidupan demi kemajuan dan perbaikan situasi dan kondisi bersama dan sekalian alam tentang kemanusiaan, kelestarian lingkungan dan perdamaian.


Karena pemimpin yang baik menghargai rakyatnya, demikian juga sebaliknya. Iklim saling bakti Arcanam ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat manusia di lingkungan keluarga dan di kehidupan masyarakat umum. Hal ini akan dapat menumbuhkan karakter Ketuhanan mulai dari lingkungan keluarga dan selanjutnya dapat dijadikan sebagai matra dan sebagai modal dasar guna mewujudkan kesalehan dan keharmonisan sosial dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya.


9. Sevanam atau Atmanivedanam 

Yaitu bakti dengan jalan berlindung dan penyerahan diri secara tulus ikhlas kepada Tuhan. Arah gerak vertikal dan horizontal dari bakti ini masyarakat manusia selalu berpasrah diri dengan kesadaran dan keyakinan yang mantap untuk selalu berjalan di jalan Tuhan, berlindung dan penyerahan diri secara tulus ikhlas kepada Tuhan, sesama dan lingkungan hidupnya atau kepada ibu pertiwi, baik dalam kehidupan duniawi (nyata) maupun kehidupan sunya (niskala). Iklim saling bakti Atmanivedanam ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat manusia baik dalam kehidupan sosial dan kehidupan spiritualnya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 254).


Renungan Ågveda X.53.8


"Aúmanvati riyate saý rabhadhvam uttisthata pra tarata sakhàyah,
atra jahàma ye asan aúevah sivan vayam uttaremàbhi vàjàn".

Terjemahan:


"Wahai teman-teman, dunia yang penuh dosa dan penuh duka ini berlalu bagaikan sebuah sungai yang alirannya dirintangi oleh batu besar (yang dimakan oleh arus air) yang berat, tekunlah,bangkitlah dan seberangilah ia, tinggalkan persahabatan dengan orang-orang tercela, seberangilah sungai kehidupan untuk pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran".

Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/10/cara-mempraktikkan-ajaran-nawa-widha.html

Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Pengertian Dasa Nyama Brata (Bratha) dan Penjelasannya

 Ajaran Dasa Nyama Bratha; Kata Dasa Nyama Bratha berasal dari bahasa Sanskerta, dari kata dasa berarti sepuluh dan nyama bratha berarti pengendalian rohani. Dasa nyama bratha berarti Sepuluh pengendalian diri dalam tingkat mental atau rohani.





Image; art_taksu
Dasa Nyama Bratha adalah sepuluh macam atau jenis pegangan bagi manusia yang hendak mencapai kesempurnaan batin melalui pengamatan hidup di dunia ini (Wigama, dkk, 1995:75). Bila kita cermati secara arif sesungguhnya ke sepuluh pegangan batin itu merupakan sadana melaksanakan dharma untuk mencapai tingkatan kebahagiaan yang kekal abadi yang disebut moksa. Pengamalan dari ajaran dasa nyama bratha tersebut di dunia inilah tempatnya. Selama manusia hidup dan berkehidupan memiliki kewajiban moral mempertahankan dan menumbuh kembangkan sifat dan sikap berbudi luhur. Sebab dari perilaku manusia dalam kehidupannya sehari-hari inilah dapat diketahui tingkatan keluhuran mental manusia itu sendiri. Oleh karena itu orang dinilai memiliki mental baik, bermental sehat dan utama hanya dapat diperhatikan dari cara seseorang berperilaku, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 307).


PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19


Untuk mendapatkan mental yang baik, sehat dan utama sebagai langkah awalnya adalah seseorang wajib dapat menghayati dan mengamalkan ajaran yang menjadi anjuran dalam dasa nyama brata, seperti misalnya; pengekangan terhadap hal-hal yang negatif, pengekangan terhadap jasmaniah, pengekangan terhadap kata-kata atau suara, pengekangan terhadap makan dan minum, disertai dengan tekun mempelajari kitab suci Veda dan ilmu lainnya yang bersifat umum, tekun bersembahyang atau melakukan pemujaan kepada sang hyang widhi wasa, kepada para Deva atau leluhur dibarengi pula dengan pembersihan diri berupa mandi setiap pagi, siang dan petang hari serta beramal atau melakukan dana punia yaitu suka berdharma atau amal sedekah kepada orang lain dan sesama hidup.


"Sasi wimba haneng ghata mesi banu Ndanasing, suci nirmala mesi wulan Iwa mangkana rakwa kiteng kadadin Ring ambeki yoga kiteng sakala".


Terjemahan:


"Bagaikan bulan di dalam tempayan berisi air, di dalam air yang jernih tampaklah bulan, sebagai itulah dikau (Tuhan) dalam tiap makhluk, kepada orang yang melakukan Yoga engkau menampakkan diri", (Arjuna Wiwaha 11.1).



Baca: Tujuan dan Manfaat Ajaran Dasa Nyama Bratha(Brata) dalam Pembentukan Kepribadian dan Budi Pekerti yang Luhur

Itulah jenis pengendalian yang harus dilakukan untuk mendapatkan tingkatan mental yang sempurna dan kesucian batin sebagai dasar manusia dapat melaksanakan dharma. Dengan demikian jelaslah bagi manusia bahwa pembenahan diri ke dalam harus dilakukan terlebih dahulu dengan pengekangan terhadap bagian tubuh, setelah itu baru pembenahan diri keluar terhadap orang lain. Kitab suci veda menjelaskan sebagai berikut;


Svasti panthām anu carema sùryā-candramasāv iva, punar dadatāghnatā
jānatā saý gamemahi".


Terjemahan:


"Mari kita terus berjalan pada jalan yang benar seperti jalannya matahari dan bulan. Kita seharusnya bergaul dengan orang-orang yang bermurah hati yang puas (dengan diri sendiri) dan yang berpengetahuan tinggi" (Rgveda V.51.15), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 308).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Seseorang hendaknya selalu mengikuti jalan yang benar, jalan kebajikan, sebab siapa saja yang berjalan di jalan yang benar (dharma) akan memperoleh kemakmuran, jasa dan kebajikan. Dekatkanlah diri kita kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk senantiasa mendapat bimbingan-Nya. Orang yang memiliki keyakinan menjalankan kebenaran, maka kebajikan itu akan melenyapkan kesusahannya dan akhirnya dengan kebajikan mereka dapat menolong diri sendiri.


Sungguh utama ajaran Dasa Nyama Bratha itu, karena siapapun yang dengan tulus menekuni ajarannya dapat menjadikan sifat-sifat dan perilakunya menjadi mulia. Ajaran Dasa Nyama Bratha dapat membangun mental spiritual umat manusia guna terbebas dari berbagai macam rintangan yang sedang dan akan dihadapi dalam hidup dan kehidupan ini. Kewajiban kita hidup adalah menuntaskan berbagai masalah yang sedang menantang hidup ini. Pembenahan lahir (wahyu) diperoleh dengan ajaran Dasa Nyama Bratha. Sedangkan brata (adhyatmika) diperoleh dengan pengekangan, pantangan serta beberapa anjuran yang dijelaskan dalam ajaran Dasa Nyama Bratha.


Kesucian hati menyebabkan seseorang memperoleh kebahagiaan, dengan menghancurkan pikiran atau perbuatan jahat. Orang-orang yang memiliki kesucian hati dapat mencapai surga dan bila kita berpikiran jernih serta suci, maka kesucian itu akan mengelilingi kita. Kesucian atau hidup suci diamanatkan sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kitab suci veda menjelaskan tentang kesucian sebagai berikut ;


“Yaá potā sa punātu naá",


Terjemahan:



“Tuhan Yang Mahaesa, Sang Hyang Widhi adalah Hyang Maha suci, semoga menyucikan hati kami” (Rgveda IX. 67. 22).


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Untuk dapat mewujudkan kesucian diri, menjaga dan menumbuhkembangkan ketenangan hati sangat perlu adanya dengan demikian tidak akan ada emosi yang datang dari perasaannya. Untuk dapat dengan mudah menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, ketenangan hati sangat diperlukan dalam kehidupan. Kejujuran (satya) dalam hidup ini, termasuk setia akan janji, setia pada ucapan, setia akan kebenaran (dharma) juga sangat dibutuhkan dalam hidup dan kehidupan ini. Karena hidup yang bersandarkan kebenaran, kejujuran, dan kesucian itulah yang akan dapat mewujudkan kebahagiaan yang murni pada setiap orang, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 309).


Renungan Sarasamuçcaya, 260


“Dànamijyà tapo dhyànam Swādhayàyopasthanigrahah,
Wratopawasa maunam ca ananam Ca niyama daca". 


Terjemahan:


"Inilah brata sepuluh banyaknya yang disebut Nyama, perinciannya; dana, ijya, tapa, dhyana, swadhyaya, upasthaninggraha, brata, upawasa, mona, stana, itulah yang merupakan Nyama".


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/11/pengertian-dasa-nyama-brata-bratha-dan.html



RELATED:
Hubungan Tri Rna dengan Yadnya dalam Hindu
Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban dalam Melaksanakan Tri Rna
Pengertian, Contoh dan Bagian-Bagian Tri RnaNgurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Bagian-Bagian Dasa Nyama Brata atau Bratha

 



Tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini, demikian kata orang arif bijaksana. Oleh karena itu kewajiban manusia dalam hidup dan kehidupannya adalah melakukan ajaran dharma untuk kebaikan. Dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, betapapun berat dan banyaknya masalah yang sedang dan akan dihadapi hendaknya dilakoni dengan bersikap sabar. Orang yang sabar pasti hatinya akan tenang, dengan ketenangan hati seseorang akan dapat mengendalikan hawa nafsu. Dengan demikian ketenangan hati (sabar) akan diperoleh seseorang dalam hidupnya, dan inilah yang disebut manusia berbudi luhur, tidak sesat, tidak sesat dari jalan yang benar, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 310).

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19




Image; kesenian_lan_budaya
Kitab suci veda menjelaskan sebagai berikut;


"Yah samutpatitam krodham ksamayaiva nirasyati Yathoragastvacam jirman sa vai purusa ucyate". 


Terjemahan:


"Jika ada orang yang berhasil meninggalkan kemarahan hatinya berdasarkan kesabaran hati sebagai keadaan ular yang meninggalkan kulitnya yang terlepas, karena kesemuanya itu tidak akan kembali lagi; orang yang demikian keadaannya, itu disebut manusia yag sejati berbudi luhur ",(Sarasmuscaya, 95).


Hidup menjadi manusia hendaknya selalu dapat belajar memuaskan dirinya dengan apa yang menjadi miliknya, dengan demikian ia tidak akan memiliki gejolak iri hati kepada orang lain. Manusia sebaiknya selalu berusaha sekuat tenaga mau belajar untuk mengendalikan diri, sehingga pada pribadinya tercipta keseimbangan, ketenangan hidup secara lahir-batin.

Baca: PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19


Di samping itu umat manusia hendaknya selalu mengupayakan diri untuk selalu belajar, karena berbagai macam pengetahuan kerohanian itu diuraikan dalam berbagai jenis kitab suci Agama Hindu. Yang tidak boleh terlupakan oleh umat manusia adalah hendaknya selalu mengadakan pemujaan ke hadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa-Nya, mengingat di hadapan Sang Hyang Widhi manusia akan dapat merasakan dirinya kecil, lemah, dan sangat sederhana. Seberapa banyak umat manusia berkewajiban melaksanakan dharmanya untuk dapat mewujudkan kesempurnaan batinnya “moksa”, kitab suci veda menyebutkan sebagai berikut;


Kitab sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut; 


“Dànamijyà tapo dhyànam Swàdhayàyopasthanigrahah, Wratopawasa maunam ca ananam Ca niyama daca".


"Nyang bratha sapuluh kwehnya, ikang nyama ngaranya, pratyekadàna, ijjyà, tapà, dhayàna, swàdhyàya, upasthanigraha, bratha upawàsa, mauna, snàna, nahan tawakning nyama, dàna weweh, annadànàdi; ijyà, Devapujà, pitrpujàdi, tapà, kayasangcosana, kasatan ikang çarira, bhucarya, jalatyagadi; dhyàna, ikang çiwasmarana, swàdhyàya, Vedabhyasa, upasthanigraha, kahrtaning upasta, bratha annawarjadi, mauna, wacangyama kahrtaning ujar, hay wàkecek kuneng, snàna, tri sandyàsewana, madyusa ring kàlaning sandhya," (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 311).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Terjemahan:


"Inilah bratha sepuluh banyaknya yang disebut Nyama, perinciannya; dana, ijya, tapa, dhyana, swadhyaya, upasthaninggraha, brata, upawasa, mona, stana, itulah yang merupakan Nyama; dana,pemberian; pemberian makan, minuman dan lain-lain; ijya, pujaan kepada Deva, kepada leluhur, dan lain- lain; tapa, pengekangan nafsu jasmaniah, badan yang seluruhnya kurus kering, layu, berbaring di atas tanah, di atas air, dan di atas alas-alas lain sejenis itu; dhayana, merenungkan Deva Siwa; swadhyaya mempelajari Veda; upasthanigraha, pengekangan, upastha, singkatnya pengendalian nafsu sex; brata, pengekangan nafsu terhadap makanan; mona, itu macamnya, tidak menguacapkan kata-kata yaitu tidak mengucapkan kata-kata sama sekali, tidak bersuara; snana, Tri Sandhya sewana, melakukan Tri Sandhya, mandi membersihkan diri pada waktu melakukan Sandhya", (Sarasamuçcaya, 260).

Dagang Banten Bali



Berdasarkan penjelasan kitab suci Sarasamuçcaya, menyebutkan ada sepuluh bagian ajaran Nyama Bratha yang patut dijadikan pedoman oleh umat sedharma untuk mewujudkan kesempurnaan batin dalam hidup dan kehidupan ini yang terdiri dari;

Dana berarti pemberian-pemberian makanan dan minuman, dan lain- lainnya.
Ijya berarti pujaan kepada Deva, kepada leluhur, dan lain-lainnya.
Tapa berarti pengekangan hawa nafsu jasmani.
Dhyana berarti merenung memuja Tuhan.
Swadhyaya berarti mempelajari Veda.
Upasthanigraha berarti pengekangan nafsu kelamin.
Bratha berarti pengekangan nafsu terhadap makanan.
Upawasa berarti pengekangan diri.
Mona berarti pengendalian kata-kata.
Snana berarti melakukan pemujaan dengan Tri Sandhya.

Demikian perincian ajaran Dasa Nyama Bratha sebagaimana tersurat dan tersirat dalam kitab Sarasamuçcaya.Ajaran “Dasa Nyama Bratha” sesuai uraian di atas dapat dipergunakan sebagai dasar melaksanakan dan mewujudkan kesempurnaan batin oleh umat sedharma. Ajaran Dasa Nyama Bratha menurut yoga, adalah merupakan ajaran tahap kedua untuk mencapai kesempurnaan rohani yang utama. Konsep ajaran ini patut dimengerti, dipahami, didalami, diikuti dan diamalkan dalam mewujudkan kesempurnaan rohani “moksa” yang dicita-citakan, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 313).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Renungan Ågveda IX. 67. 26


"Agne dakúaiá punihi óah".


Terjemahan:


“Sang Hyang Agni (Tuhan Yang Mahaesa), sucikanlah kami dengan menganugrahkan pengetahuan kepada kami".


RELATED:
Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban dalam Melaksanakan Tri Rna
Pengertian, Contoh dan Bagian-Bagian Tri Rna
Veda sebagai Sumber Hukum Hindu
Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/11/bagian-bagian-dasa-nyama-brata-atau.html

Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015