menurut kitab Brahmavaivarta-Purana dan Bhagavad-Gita. Dalam Ilmu
Weda, perhitungan waktu atau kala adalah dimulai dari perhitungan yang
kecil kemudian merambah hingga pada satu kesatuan yang besar. “Nemisa”
adalah satu perhitungan waktu yang terkecil. Satu nemisa adalah hitungan
pertama. Kemudian kita akan menemukan kalkulasi sebagai berikut:
15 nemisa akan membentuk yang bernama 1 “kastha”. Kastha berkumpul dan
dijumlahkan hingga sebanyak 30, maka akan membentuk 1 “Kala”. 30 Kala
akan membentuk 1 “Muhurtha”. 30 Muhurtha akan membentuk 1 Hari (Dina).
Dalam Weda satu hari dinyatakan sebagai “Ahoratra”. Dalam perhitungan
Weda, hari para Dewa jika dibandingkan dengan hari alam manusia, akan
membentuk perbandingan sebagai berikut.
Satu tahun alam manusia,
sama dengan satu hari alam para Dewa. Jadi dalam alam manusia, sudah
dilewati satu tahun, di alam para Dewa baru satu hari. Enam bulan
manusia, adalah malam hari di alam para Dewa. Dalam enam bulan manusia
yang berikutnya merupakan siang hari para Dewa, waktu ini disebut dengan
Uttarayana. Sedangkan malam harinya adalah Daksinayana. Jadi jika
dikalkulasikan akan mendapatkan angka 360 tahun manusia, barulah akan
membentuk 1 tahun para Dewa.
Dalam perhitungan waktu ini jugalah,
Hindu mengenal empat jaman yang masing-masing memiliki kurun waktu yang
berbeda satu sama lainnya. Ada empat jaman yang terdapat dalam
perhitungan Weda, yakni:
1. Satya Yuga berlangsung 1.440.000 tahun manusia.
2. Tretha Yuga berlangsung 1.080.000 tahun manusia.
3. Dvapara Yuga berlangsung 720.000 tahun manusia.
4. Kali Yuga berlangsung 360.000 tahun manusia.
Dalam setiap peralihan pergantian dari yuga ke yuga, terdapat waktu
peralihan selama 720.000 tahun. Maka jika kita kalkulasikan kembali
antara empat Yuga tersebut dengan waktu peralihan masing-masing Yuga,
akan di dapatkan sejumlah angka 4.320.000 tahun. Inilah yang disebut
dengan satu Mahayuga. Sedangkan dalam Brahmavaivarta-Purana, dinyatakan
dengan angka lebih fantastis lagi, “Empat Milyar tiga ratus dua puluh
juta tahun”.
Dengan kata lain, satu Mahayuga tersebut adalah 4 yuga
tersebut dan ditambah dengan masa peralihan antara satu yuga dengan
yuga yang lainnya. Dalam perputaran waktu tersebut di alam ini, ada satu
perhitungan masa yang masing-masing masa tersebut dipimpin oleh satu
Manu. Jadi ada 14 Manu yang memerintah dalam satu perhitungan kurun
waktu yang disebut dengan “Manvantara”. Jika ada 14 Manu, maka di dalam
satu kurun waktu ini ada 14 Manvantara. Satu Manvantara tersebut sama
dengan 71 “Mahayuga”. Jadi jika kita kalkulasikan kembali dengan
perhitungan waktu sebelumnya akan mendapatkan angka 296.720.000 tahun
manusia.
Jika sudah membentuk 1000 Mahayuga itu akan membentuk
satu “kalpa”. Satu Kalpa adalah satu harinya bagi Dewa Brahma, yang
dalam agama Hindu adalah Dewa pencipta alam semesta. Jika seribu Kalpa,
maka akan membentuk satu harinya bagi Dewa Brahma. Jadi betapa panjang
satu hari di alam “Brahmaloka” (Tempat kediaman Dewa Brahma). Kemudian
1000 Kalpa, akan membentuk satu tahun Dewa Brahma.
Sang Hyang
Brahma adalah “jivatattva”. Beliaulah yang menjadi arsiteknya alam
semesta ini selain Dewitu wiswakarma yang juga arsiteknya para dewa.
dalam perhitungan waktu-Nya, maka Sang Hyang Brahma memiliki satu
otoritas dimana Beliau akan melebur seluruh ciptaan material dalam
perhitungan waktu satu “kalpa”. Pada malam hari-Nya, Sang Hyang Brahma
tertidur dan seluruh alam material dilebur terserap dalam sebuah proses
yang disebut pralaya. Itulah Black Hole dalam setiap galaksi yang mana
kita ketahui ada milyaran galaksi banyaknya di alam semesta.
Masing-masing galaksi akan dipimpin oleh Dewa Brahma berbeda, ada Brahma
kepala Sembilan, dua belas, bahkan ratusan dan ribuan. (alam semesta
kita menurut Hindu, adalah dipimpin Brahma Catur Mukha (Brahma dengan
empat kepala) Menyerap semua unsur material jagat raya, dan menelannya,
tidak ada yang dapat lewat dari sana. Tetapi kita masih bisa bernafas
lega, sebab Black Hole di galaksi Bimasakti (Milkyway) kita masih dalam
keadaan stabil. Setiap Galaksi memiliki lubang hitamnya masing-masing.
Maka dalam kitab Mahapurana, kita akan melihat bahwa Sang Hyang Brahma
yang mengatur tiap-tiap galaksi (alam semesta secara terklasifikasi)
dengan tampilan yang berbeda. ada Brahma berkepala 4, 6, 12, hingga
1000. untuk galaksi dan alam semesta material kita, menurut Hindu yang
menjadi Pithamahanya adalah Sang Hyang Brahma berkepala empat
(Caturmukha). Konsep ini adalah mengenai periode waktu terciptanya dan
dileburnya kembali alam material secara keseluruhan.
Kemudian di
siang hari-Nya, Sang Hyang Brahma menciptakan kembali alam semesta yang
telah di lebur malam tersebut. Jadi betapa luasnya kurun waktu yang kita
bicarakan ini. ada sebuah perbedaan mendasar yang jarang diketahui oleh
orang-orang tetang perhitungan waktu seperti ini. jadi ada dua golongan
Dewa yang menempati ruang siang dan malam menurut perhitungan alam
Dewa. Pertama yang menempati Surgaloka, dan yang menempati Brahmaloka.
Maka perhitungan waktu alam surga yang dinaungi oleh Bhatara Indra
(menurut Hindu) akan berbeda dengan alam Brahma Loka.
Uttarayana
adalah saat siang hari para Dewa, dan dalam perhitungan dunia manusia
saat ini, dinyatakan bawah Matahari bergerak ke Utara. Sedangkan
Daksinayana adalah saat Matahari menuju Selatan. Pada perhitunganmya,
maka tentang Uttarayana, ini terjadi pada bulan April-September.
Sedangkan Daksinayana adalah jatuh pada bulan September-April. Dalam
ilmu Astronomi modern, ini berhubungan dengan “Gerak Semu Matahari”.
Matahari memiliki pergeseran antara Garis Balik Utara (GBU) yakni pada
23,5 LU (Lintang Utara) dengan Garis Balik Selatan (GBS) pada 23,5 LS
(Lintang Selatan) pada pertengahan bulan Maret. Ketika Matahari berada
pada GBU yakni 23,5 LU, inilah yang disebut dengan Uttarayana, demikian
sebaliknya.
Pada pertengahan bulan Maret, Matahari bergeser ke arah
Utara setelah 3 bulan. Saat pertengahan bulan Juni, menuju ke arah
Garis Balik Utara. Lalu ke khatulistiwa, pertengahan September matahari
kembali ke Khatulistiwa. Kemudian perlahan menuju ke arah selatan, dan
sampi pada Garis Balik Selatan, pada pertengahan Desember. Dalam
perhitungan ilmu Weda, saat Matahari bergerak ke Utara, inilah yang
disebut dengan Uttarayana. Demikian sebaliknya.
Ini diakibatkan
revolusi Bumi mengelilingi Matahari, yang dapat mengakibatkan kedudukan
Matahari terhadap Bumi berubah. Jadi dengan perhitungan tersebut, maka
Uttrayana adalah pada saat bulan April-September. Sedangkan Daksinayana
adalah bulan September-April. Namun perhitungan Uttarayana dan
Daksinayana, ini berlaku pada alam Bumi dan Surga-loka, yang disemayami
oleh Sang Hyang Indra.
Uttarayana adalah saat dimana siang harinya
para Dewa, sedangkan Daksinayana adalah malam hari para Dewa. Karena
dalam perhitungan itu, satu tahun manusia adalah satu hari para Dewa.
Tetapi perhitungan ini tidak sama dengan perhitungan di alam Brahmaloka.
Dalam kitab Bhagavadgita dinyatakan:
"Sahasra yuga paryatam
Ahar yad Brahmano viduh
Ratrin yuga sahasrantam
Te ho-ratra vido janah"
“Menurut perhitungan manusia, seribu jaman, sama dengan kurun waktu
satu hari bagi Sang Hyang Brahma. Malam hari bagi Dewa Brahma, adalah
sepanjang itu juga”. (Bhagavadgita. 8.17)
Sebenarnya adalah waktu
itu dipengaruhi oleh tempat, dan lokasi. Jangankan kita berbicara
masalah komparasi waktu yang terdapat di Brahmaloka, di Bumi saja,
tempat dataran tinggi dan rendah secara langsung membawa pengaruh bagi
perputaran sebuah perjalanan waktu yang ditempuh manusia dan secara
pasti menentukan umur serta tingkat keremajaan manusia itu sendiri.
Contoh klasik yang dapat kita gunakan untuk kasus yang satu ini
adalah, ada dua anak kembar. Yang satu hidup di daerah dataran rendah,
yakni di tepi laut. Sedangkan yang satu lagi, tinggal di pegunungan atau
dataran tinggi. Setelah jangka waktu 50 tahun, maka menjadi lima detik
lebih muda dari saudaranya yang bermukim di pegunungan atau dataran
tinggi.
Nah apalagi kita berbicara waktu di alam lain. Tentu
berbeda. Apalagi menurut agama Hindu, ada banyak sekali alam-alam
rohani yang dihuni oleh insane dengan kualitas berbeda. Ada Bhurloka,
Bhuvah Loka, Svah Loka, Surga Loka (Indra Loka), Jana Loka, Tapa Loka,
Maha Loka, Satya Loka, Brahma Loka, Vaikuntha Loka dan sebagainya. Nah,
berbicara ini tidak akan ada habisnya. Mari renungkan sendiri, cukup
sekian dulu ya dari saya (Gede Agus Budi Adnyana/Penyair Bunga Persik)