Jumat, 11 November 2016

CANANG




Kata "Canang" berasal dari Bahasa Kawi, terdiri atas dua suku kata yaitu: "Ca" yang berarti Indah, dan "Nang" berarti Tujuan, dengan demikian Canang dapat diartikan sebuah sarana yang bertujuan untuk memohon keindahan (sundharam) ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Bagian-bagian dari Canang adalah sebagai berikut:
1. Ceper
Merupakan alas dari sebuah Canang yang memiliki bentuk segi empat dan melambangkan angga-sarira (badan). Keempat sisi ceper melambangkan pembentuk angga-sarira, yaitu Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, dan Panca Karmendriya. Canang yang dialasi ceper merupakan simbol Ardha Candra, sedangkan yang dialasi oleh tamas kecil merupakan simbol dari Windhu.
2. Beras atau Wija
Melambangkan Sang Hyang Ātma atau yang membuat badan mejadi hidup, melambangkan benih di awal kehidupan yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud Ātma.
3. Porosan atau Peporosan
Terbuat dari daun sirih, kapur, dan jambe (gambir) yang melambangkan Tri-Premana, yaitu Bayu (pikiran), Sabda (perkataan), dan Idep (perbuatan). Ketiganya membuat tubuh yang bernyawa dapat melakukan aktivitas. Porosan juga melambangkan Trimurti, yaitu Siwa (kapur), Wisnu (sirih), dan Brahma (gambir). Porosan mempunyai makna bahwa setiap umat harus mempunyai hati (poros) penuh cinta dan welas asih serta rasa syukur yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
4. Jajan, Tebu, dan Pisang
Menjadi simbol dari Tedong Ongkara yang melambangkan kekuatan Upetti, Stiti, dan Pralinan dalam kehidupan di alam semesta.
5. Sampian Uras atau Duras
Dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai yang melambangkan roda kehidupan dengan Asta Iswarya-nya (delapan karakteristik) yang menyertai setiap kehidupan umat manusia.
6. Bunga
Diletakkan di atas sampian urasari melambangkan kedamaian dan ketulusan hati. Penyusunan bunga diurutkan sebagai berikut:
Bunga berwarna Putih disusun di Timur sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Iswara.
Bunga berwarna Merah disusun di Selatan sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Brahma.
Bunga berwarna Kuning disusun di Barat sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Mahadewa.
Bunga berwarna Biru atau Hijau (Susah mendapatkan bunga berwarna hitam) disusun di Utara sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Wisnu.
Kembang Rampai disusun ditengah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata.
7. Kembang Rampai
Kembang rampai diletakkan di atas susunan bunga dan memiliki makna sebagai lambang kebijaksanaan. Bermacam-macam bunga ada yang harum dan ada yang tidak berbau, melambangkan kehidupan manusia tidak selamanya senang atau susah. Untuk itulah, dalam menata kehidupan, manusia hendaknya memiliki kebijaksanaan.
8. Lepa atau Boreh Miyik
Merupakan lambang sebagai sikap dan perilaku yang baik. Perilaku menentukan penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya seseorang.
9. Minyak wangi atau Miyik-Miyikan
Menjadi lambang ketenangan jiwa atau pengendalian diri. Dalam menata kehidupan, manusia hendaknya menjalankannya dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik.


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI



Rabu, 09 November 2016

Kisah Sang Hyang Anantaboga




ANTABOGA, SANG HYANG, atau Sang Sang Nagasesa atau Sang Hyang Anantaboga adalah dewa penguasa dasar bumi. Dewa itu beristana di Kahyangan Saptapratala, atau lapisan ke tujuh dasar bumi. Dari istrinya yang bernama Dewi Supreti, ia mempunyai dua anak, yaitu Dewi Nagagini dan Naga Tatmala. Dalam pewayangan disebutkan, walaupun terletak di dasar bumi, keadaan di Saptapratala tidak jauh berbeda dengan di kahyangan lainnya.
Sang Hyang Antaboga adalah putra Anantanaga. Ibunya bernama Dewi Wasu, putri Anantaswara.
Walaupun dalam keadaan biasa Sang Hyang Antaboga serupa dengan ujud manusia, tetapi dalam keadaan triwikrama, tubuhnya berubah menjadi ular naga besar. Selain itu, setiap 1000 tahun sekali, Sang Hyang Antaboga berganti kulit (jw. m1ungsungi). Dalam pewayangan, dalang menceritakan bahwa Sang Hyang Antaboga memiliki Aji Kawastrawam, yang membuatnya dapat menjelma menjadi apa saja, sesuai dengan yang dikehendakinya. Antara lain ia pernah menjelma menjadi garangan putih (semacam musang hutan atau cerpelai) yang menyelamatkan Pandawa dan Kunti dari amukan api pada peristiwa Bale Sigala-gala.
Putrinya, Dewi Nagagini, menikah dengan Bima, orang kedua dalam keluarga Pandawa. Cucunya yang lahir dari Dewi Nagagini bernama Antareja atau Anantaraja.
Sang Hyang Antaboga mempunyai kemampuan menghidupkan orang mati yang kematiannya belum digariskan, karena ia memiliki air suci Tirta Amerta. Air sakti itu kemudian diberikan kepada cucunya Antareja dan pernah dimanfaatkan untuk menghidupkan Dewi Wara Subadra yang mati karena dibunuh Burisrawa dalam lakon Subadra Larung.
Sang Hyang Antaboga pernah dimintai tolong Batara Guru menangkap Bambang Nagatatmala, anaknya sendiri. Waktu itu Nagatatmala kepergok sedang berkasih-kasihan dengan Dewi Mumpuni, istri Batara Yamadipati. Namun para dewa gagal menangkapnya karena kalah sakti. Karena Nagatatmala memang bersalah, walau itu anaknya, Sang Hyang Antaboga terpaksa menangkapnya. Namun Dewa Ular itu tidak menyangka Batara Guru akan menjatuhkan hukuman mati pada anaknya, dengan memasukkannya ke Kawah Candradimuka. Untunglah Dewi Supreti, istrinya, kemudian menghidupkan kembali Bambang Nagatatmala dengan Tirta Amerta.
Batara Guru juga pernah mengambil kulit yang tersisa ketika Sang Hyang Antaboga mlungsungi dan menciptanya menjadi makhluk ganas yang mengerikan. Batara Guru menamakan makhluk ganas Aji Candrabirawa.
Sang Hyang Antaboga, ketika masih muda disebut Nagasesa. Walaupun ia cucu Sang Hyang Wenang, ujudnya tetap seekor naga, karena ayahnya yang bernama Antawisesa juga seekor naga. Ibu Nagasesa bernama Dewi Sayati, putri Sang Hyang Wenang.
Suatu ketika para, dewa berusaha mendapatkan Tirta Amerta yang membuat mereka bisa menghidupkan orang mati. Guna memperoleh Tirta Amerta para dewa harus mengebor dasar samudra. Mereka mencabut Gunung Mandira dari tempatnya, dibawa ke samudra, dibalikkan sehingga puncaknya berada di bawah, lalu memutarnya untuk melubangi dasar samudra itu. Namun setelah berhasil memutamya, para dewa tidak sanggup mencabut kembali gunung itu. Padahal jika gunung itu tidak bisa dicabut, mustahil Tirta Amerta dapat diambil. Pada saat para dewa sedang bingung itulah Nagasesa datang membantu. Dengan cara melingkarkan badannya yang panjang ke gunung itu dan membetotnya ke atas, Nagasesa berhasil menjebol Gunung Mandira, dan kemudian menempatkannya di tempat semula. Dengan demikian para dewa dapat mengambil Tirta Amerta yang mereka inginkan. Itu pula sebabnya, Nagasesa yang kelak lebih dikenal dengan nama Sang Hyang Antaboga juga memiliki Tirta Amerta.
Jasa Nagasesa yang kedua adalah ketika ia menyerahkan Cupu Linggamanik kepada Batara Guru. Para dewa memang sangat menginginkan cupu mustika itu. Waktu itu Nagasesa sedang bertapa di Guwaringrong dengan mulut terbuka. Tiba-tiba melesatlah seberkas cahaya terang memasuki mulutnya. Nagasesa langsung mengatupkan mulutnya, dan saat itulah muncul Batara Guru. Dewa itu menanyakan kemana perginya cahaya berkilauan yang memasuki Guwaringrong. Nagasesa menjawab, cahaya mustika itu ada pada dirinya dan akan diserahkan kepada Batara Guru, bilamana pemuka dewa itu mau memeliharanya baik-baik. Batara Guru menyanggupinya, sehingga ia mendapatkan Cupu Linggamanik yang semula berujud cahaya itu.
Cupu Linggamanik sangat penting bagi para dewa, karena benda itu mempunyai khasiat dapat membawa ketentraman di kahyangan. Itulah sebabnya semua dewa di kahyangan merasa berhutang budi pada kebaikan hati Nagasesa.
Karena jasa-jasanya itu para dewa lalu menghadiahi Nagasesa kedudukan yang sederajat dengan para dewa, dan berhak atas gelar Batara atau Sang Hyang. Sejak itu ia bergelar Sang Hyang Antaboga. Para dewa juga memberinya hak sebagai penguasa alam bawah tanah. Tidak hanya itu, oleh para dewa Nagasesa juga diberi Aji Kawastram yang membuatnya sanggup mengubah ujud dirinya menjadi manusia atau makhluk apa pun yang dikehendakinya.
Untuk membangun ikatan keluarga, para dewa juga menghadiahkan seorang bidadari bernama Dewi Supreti sebagai istrinya.
Perlu diketahui, cucu Sang Hyang Antaboga, yakni Antareja, hanya terdapat dalam pewayangan di Indonesia. Dalam Kitab Mahabarata, Antareja tidak pernah ada, karena tokoh itu memang asli ciptaan nenek moyang orang Indonesia.
Sang Hyang Antaboga pernah berbuat khilaf ketika dalam sebuah lakon carangan terbujuk hasutan Prabu Boma Narakasura, cucunya, untuk meminta Wahyu Senapati pada Batara Guru. Bersama dengan menantunya, Prabu Kresna, yang suami Dewi Pertiwi, Antaboga berangkat ke kahyangan. Ternyata Batara Guru tidak bersedia memberikan wahyu itu pada Boma, karena menurut pendapatnya Gatotkaca lebih pantas dan lebih berhak. Selisih pendapat yang hampir memanas ini karena Sang Hyang Antaboga hendak bersikeras, tetapi akhimya silang pendapat itu dapat diredakan oleh Batara Narada. Wahyu Senapati tetap diperuntukkan bagi Gatotkaca.
Nama Antaboga atau Anantaboga artinya (naga yang) kelokannya tidak mengenal batas. Kata ‘an’ atau artinya tidak; kata ‘anta’ artinya batas; sedangkan kata ‘boga’ atau ‘bhoga’ atinya kelokan. Yang kelokannya tidak mengenal batas, maksudnya adalah ular naga yang besarnya luar biasa.

Duasa nganten


Dagang Banten Bali



Dewasa Ayu Nganten atau Hari baik Pawiwahan (Upacara Pernikahan Hindu Bali) dimana dalam melakukan ritual/Pawiwahan ini selalu menggunakan dewasa ayu (hari baik).

Pernikahan Hindu Bali selalu mempertimbangkan dan menggunakan pedoman Dewasa Ayu Nganten (Nikah Adat Bali) adalah Wuku, Sasih, Penganggal/Pangelong, Ingkel, jejepan, Triwara, Tika (kala temah dan kala kingkingan). Untuk pati paten, kala Tampak, kala Mertyu, Naga Naut, Sampar Wangke dan Geni Agung, masih diabaikan, sehubungan dengan proses perumusan.

Dewasa Ayu Nganten, Hari Baik Pawiwahan Berdasarkan Wuku, Sasih, dan Penanggal;

Wuku


Berdasarkan Wuku, ada 3 (tiga) kelompok wuku yang dihindari dalam memilih dewasa ayu nganten, diantaranya:

Rangda Tiga, yang artinya Cerai dan menjanda/menduda hingga tiga kali.
Carik walangati, carik yang bermakna selesai, masalah keluarga akibat pihak ketiga, fitnah, dan/atau tidak memiliki anak/keturunan.
Tanpa Guru, yang artinya anak/keturunan sering menentang orang tua, seperti tidak memiliki orang tua (guru).
Uncal Balung, yang artinya keluarga yang dibangun bersama (suami-istri dan keturunannya) menemui sengsara, seperti halnya tulang yang dihancurkan.



Pada WUKU diatas, itu hanya wuku-wuku yang HALA (berdampak buruk).

Sasih

Sasih yang baik untuk melaksanakan upacara perkawinan:

Sasih Katiga (bulan ke-3), banyak anak/keturunan
Sasih Kapat (bulan ke-4), banyak harta dan sahabat
Sasih Kalima (bulan ke-5), banyak rejeki
Sasih Kapitu (bulan ke-7), mendapatkan keselamatan
Sasih Kadasa (bulan ke-10), hidup rukun bahagia


Sedangkan, Sasih yang dihindari diantaranya:

Sasih Kasa (bulan ke-1), anak/keturunan sengsara
Sasih Karo (bulan ke-2), miskin
Sasih Kaenem (bulan ke-6), tiada pasangan, janda/duda
Sasih Kawulu (bulan ke-8), miskin
Sasih Kasanga (bulan ke-9), sengsara, lara-pati
Sasih Jyesta (bulan ke-11), mendapatkan malu
Sasih Sadha (bulan ke-12), kesakitan, sengsara



Penganggal/Pangelong

Penanggal yang baik untuk melaksanakan upacara perkawinan:

Penanggal 1, Selamat sentosa
Penanggal 2, disayang sanak keluarga
Penanggal 3, banyak anak
Penanggal 5, selamat sentosa
Penanggal 7, hidup bahagia
Penanggal 10, kaya dan disegani
Penanggal 13, hidup senang



Penanggal yang dihindari:

Penanggal 4, janda/duda
Penanggal 6, susah dan sengsara
Penanggal 8, sering mendapatkan halangan
Penanggal 11, kesulitan, sulit mendapatkan kaselamatan
Penanggal 12, hidup sengsara
Penanggal 14, bertengkar, cerai
Penanggal 15, hidup sengsara



Itulah Dewasa Ayu Nganten dari Wuku, Sasih dan Penanggal yang Baik. Semoga bermanfaat.

Jumat, 04 November 2016

Sanggah Kemulan sebagai stananya Sanghyang Triatma






Dalam lontar Usana Dewa juga telah disebutkan bahwa Sanggah Kemulan sebagai stananya Sanghyang Triatma. Yaitu sebagai berikut :
ring kamulan ngaran ida sang hyang atma, ring kamulan tengen bapa ngaran sang paratma, ring kamulan kiwa ibu ngaran sang sivatma,ring kamulan tengah ngaran raganya, tu brahma dadi meme bapa, meraga sang hyang tuduh….” (Rontal Usana Dewa, lembar 4)
Artinya :
”Pada sanggah Kamulan beliau bergelar Sang Hyang Atma, pada ruang kamulan kanan ayah, namanya Sang Hyang Paratma. Pada kamulan kiri ibu, disebut Sivatma. Pada kamulan ruang tengah diri-Nya, itu Brahma, menjadi purusa pradana, berwujud Sang Hyang Tuduh (Tuhan yang menakdirkan).”
Demikian juga lontar Gong Wesi, yaitu sebagai berikut:
….. ngaran ira sang atma ring kamulan tengen bapanta, nga, sang paratma, ring kamulan kiwa ibunta, nga, sang sivatma, ring kamulan madya raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi sanghyang tunggal, nungalang raga….” (Rontal Gong Wesi, lembar 4b)
Artinya :
“…… nama beliau sang atma, pada ruang kamulan kanan bapakmu, yaitu Sang Paratma, pada ruang kamulan kiri ibumu, yaitu Sang Sivatma, pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi Sanghyang Tunggal menyatukan wujud”
Dari dua kutipan lontar di atas jelaslah bagi kita, bahwa yang berstana pada sanggah kemulan adalah Sanghyang Triatma, yaitu;
Paratma yang diidentikkan sebagai ayah (purusa),
Sang Sivatma yang diidentikkan Ibu (predana)
dan Sang Atma yang diidentikkan sebagai diri sendiri (roh individu).
Yang hakekatnya Sanghyang Triatma itu tidak lain dari pada Brahma atau Hyang Tunggal/ Hyang Tuduh sebagai pencipta (upti).
Sanggah Kemulan sebagai Stana Leluhur
Dalam lontar Purwa Bhumi disebutkan bahwa atma yang telah disucikan yang disebut Dewa Pitara dan juga distanakan di sanggah kemulan. Yang mana dalam lontar tersebut dijelaskan sebagai berikut dalam terjemahan :
Setelah demikian daksina perwujudan roh suci dituntun pada Sanghyang Kamulan, kalau bekas roh itu laki naikkan pada ruang kanan, kalau roh suci itu bekas perempuan dinaikkan di sebelah kiri, disana menyatu dengan leluhurnya terdahulu.
Dalam lontar Tatwa Kapatian disebutkan bahwa sanghyang atma (roh) setelah mengalami proses upacara akan berstana pada sanggah kamulan sesuai dengan kadar kesucian atma itu sendiri. Atma yang masih belum suci, yang hanya baru mendapat “tirtha pangentas pendem” atau upacara sementara (ngurug) juga dapat tempat pada Sanggah Kamulan sampai tingkat “batur kamulan”.
Sanggah Kemulan sebagai konsep dalam pemujaan atman para leluhur kita sebagai bentuk penghormatan kepada beliau, disebutkan perkembangannya :
diawali dengan pembuatan Sanggah Turus Lumbung sebagai tempat suci pekarangan rumah
dan setelah penghuninya agak mampu, barulah mereka membuat bangunan ini untuk mengganti turus lumbung itu dengan bangunan rong tunggal dan rong tiga yang disebut dengan kemulan.
Sanggah Kemulan sebagai Pemujaan Sang Hyang Widhi
Jika renungkan lebih mendalam, mengenai Sanghyang Tri Atma seperti disebutkan pada Lontar Gong Wesi dan Usana Dewa, maka pengertian Hyang Kamulan sesungguhnya akan lebih tinggi lagi. Karena telah disebutkan bahwa Penyatuan Sanghyang Tri Atma adalah hyang Tuduh/Tunggal yang menjadi Brahma sebagai Sang Pencipta.
Pada Hakekatnya yang dipuja pada sanggah kemulan adalah Tuhan/ Sang Hyang Widhi, baik sebagai Hyang Tri Atma, yang sebagai roh (atma) alam semesta dengan isinya (jagat) yang dewanya adalah Brahma, Wisnu dan Iswara, yang merupakan aspek Tuhan dalam bentuk horizontal dan Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa, aspek Tuhan dalam bentuk vertikal (Tri Purusa). Sebagai Tri Purusa beliau juga disebut Guru Tiga. Maka dari itu secara umum juga menyebutkan bahwa Sanggah Kemulan stana Bhatara Guru/Hyang Guru.
Jenis Sanggah Kemulan
Sanggah Kemulan biasanya tidak semuanya sama, dapat dibedakan sesuai dengan tempat ataupun kondisinya, yaitu sebagai berikut:
Turus Lumbung, adalah Sanggah Kemulan darurat, karena satu dan lain hal belum mampu membuat yang permanent. Bahannya dari turus kayu dapdap (kayu sakti). Fungsinya hanyalah untuk ngelumbung atau ngayeng Hyang Kemulan atau Hyang Kawitan. Satu tahun setelah membuka karang baru diharapkan sudah membangun Kamulan yang permanen.
Sanggah Penegtegan, adalah kemulan yang berfungsi hanya sebagai tempat negtegang (membuat ketentraman) dengan memuja Hyang Kawitan bagi mereka yang baru berumah tangga. kemulan sejenis ini banyak kita jumpai di daerah Kabupaten Bangli bagian atas. Setiap mereka yang baru kawin diwajibkan membangun sebuah Sanggah rong tiga, sehingga dalam satu pekarangan akan berdiri beberapa yang telah berumah tangga.
Kemulan Jajar, sesuai dengan namanya, kemulan ini memiliki dua saka (tiang) yang berjajar dimuka yang menancap langsung pada bebaturan (palih batur). Disamping itu, Kemulan jenis ini, disamping mempunyai ruang tiga yang berjajar, juga terdiri dari tiga bagian, yaitu : bebaturan, ruang lepitan, dan ruang gedong sampai atapnya. Ruang lepitan letaknya dibawah rong tiga yang berjajar itu. Jadi kalau disimpulkan Kemulan jajar ini terdiri dari jajar horisontal dan jajar vertikal, sebagai simbolis dari Hyang Murti dan Tri Purusa.
Jadi dapat disimpulkan Sanggah Kemulan merupakan stana para atman leluhur, Dewa Pitara / Dewa Hyang ataupun Bhatra Hyang Guru. Kita sujud dan bakti kepada-Nya, merenung dan memohon agar hidup kita ini direstui-Nya dengan kesentosaan.

Cakra



Dagang Banten Bali




Setiap manusia memiliki 7 titik cakra utama yang ada di tubuhnya. Banyak sekali manfaat yang bisa kita dapatkan dan rasakan sendiri ketika 7 titik cakra di tubuh kita aktif dan bersih.
7 titik cakra menjadi sumber aliran energi metafisika yang juga bisa berguna untuk penyembuhan, baik itu penyembuhan fisik maupun psikis. Energi yang dipancarkan juga dapat dimanfaatkan pembersihan energi ghaib yang bersifat negatif dan menganggu.

Cakra Dasar berfungsi untuk perlindungan, terletak di sebuah titik yang bertempat sekitar antara lubang depan dan lubang belakang.

Cakra Seks berfungsi untuk kesuburan dan daya seksual, juga berfungsi sebagai daya tarik lawan jenis yang sangat luar biasa. Terletak di kemaluan baik pria maupun wanita.

Cakra Pusar, terletak di pusar. Ini memiliki fungsi agar kita yakin dan mantap dengan diri sendiri sehingga hidup kita tidak terombang-ambing ikut-ikutan orang lain. Menjaga dan menemukan jati diri, juga berfungsi untuk kepercayaan diri.

Cakra Jantung, berfungsi sebagai penebar energi kedamaian dan cinta kasih. Orang yang cakra jantungnya aktif, akan lebih kalem dan memiliki daya cinta kasih yang tinggi. Bisa difungsikan sebagai pengaliran energi penyembuhan yang cukup baik.
Meskipun semua titik cakra energinya juga bisa digunakan sebagai energi penyembuhan.


Cakra Tenggorokan, berkaitan dengan kemampuan kita dalam perusasi, kreatifitas, mempengaruhi orang dan lain sebagainya. Cocok jika digunakan untuk para pembicara seperti guru, trainer, konselor, dan lain sebagainya.

Cakra Mata Ketiga, terletak diantara sekitar dua alis kita. inilah daya intuisi luar biasa. Kami menyebutnya sebagai salah satu antena penghubung diri kita dengan informasi yang ada di alam semesta, mampu mengetahui sesuatu yang tidak diketahui indera kita.

Cakra Mahkota, berfungsi sebagai kewibawaan dan daya otoritas yang kuat. Orang yang cakra ini aktif maksimal akan menjadi lebih bijaksana dan meningkat pemahamannya tentang kehidupan.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Kamis, 03 November 2016

Mantram Panca Sembah


Dagang Banten Bali




Panca Sembah I Sembah tanpa sarana :

Om àtmà tattwàtmà sùddha màm swàha

Artinya: Oh Hyang Widhi, atma atau jiwa dan kebenaran, bersihkanlah diri hamba...



Kramaning Sembah II dengan sekar putih :
Om Adityasyà param jyoti
rakta tejo namo’stute
sweta pankaja madhyastha
bhàskaràya namo’stute

Artinya:
Oh Hyang Widhi, Sinar Hyang Surya Yang Maha Hebat. Engkau bersinar merah, hamba memuja-Mu. Hyang Surya yang berstana di tengah-tengah teratai putih. Hamba memuja-Mu yang menciptakan sinar matahari berkilauan.



Kramaning Sembah III dengan kewangen atau sekar kangkad :
Om nama dewa adhisthanàya
sarwa wyapi wai siwàya
padmàsana eka pratisthàya
ardhanareswaryai namo namah

Artinya: Oh Hyang Widhi, yang bersemayam pada tempat yang luhur, kepada Hyang Siwa yang berada di mana-mana, kepada dewata yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai di suatu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba memuja.



Kramaning Sembah IV dengan kewangen atau sekar kangkad :

Om anugraha manoharam
dewa dattà nugrahaka
arcanam sarwà pùjanam
namah sarwà nugrahaka
Dewa-dewi mahàsiddhi
yajñanya nirmalàtmaka
laksmi siddhisca dirghàyuh
nirwighna sukha wrddisca

Artinya: Oh Hyang Widhi, pemberi anugrah, anugrah pemberian Dewata, pujaan dari segala pujaan, hamba memuja-Mu sebagai pemberi segala anugrah. Kemahasiddhian dari para Dewa dan Dewi berwujud yadnya suci. kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, bebas dari rintangan, kegembiraan dan kemajuan rohani dan jasmani.



Kramaning Sembah V tanpa sarana :

Om Dewa suksma paramà cintyàya nama swàha. Om Sàntih, Sàntih, Sàntih, Om

Artinya: Oh Hyang Widhi, hamba memuja-Mu yang tidak terpikirkan. Semoga damai, damai, damai selalu...



Puja untuk Pura Paibon, Pura Kawitan dapat dilakukan pada Kramaning Sembah III dengan kewangen/sekar kangkad :

Om Brahmà Wisnu Iswara dewam
Tripurusa suddhàtmakam
Tridewa trimurti lokam
sarwa wighna winasanam

Artinya:
Oh Hyang Widhi, dalam wujud-Mu sebagai Brahma, Wisnu, Iswara, Dewa Tripurusa Maha Suci, Tridewa adalah Trimurti, semogalah hamba terbebas dari segala bencana.



Puja untuk Pura Kahyangan Tiga Pura Desa dapat dilakukan pada Kramaning Sembah III dengan kewangen/sekar kangkad :

Om Isanah sarwa widyànàm
Iswarah sarwa bhùtànàm,
Brahmano' dhipatir brahmà
Sivostu sadàsiwa

Artinya :
Oh Hyang Widhi, Hyang Tunggal, Yang Maha Kuasa menguasai semua makhluk hidup. Brahma Maha Tinggi, selaku Siwa dan Sadasiwa.


Puja untuk Pura Kahyangan Tiga Pura Puseh dapat dilakukan pada Kramaning Sembah III dengan kewangen/sekar kangkad :

Om, Girimurti mahàwiryyam,
Mahàdewa pratistha linggam,
sarwadewa pranamyanam
Sarwa jagat pratisthanam

Artinya: Oh Hyang Widhi, disebut Girimurti Yang Maha Agung, dengan lingga yang jadi stana Mahadewa, semua dewa tunduk pada-Mu.

Pemujaan Kawitan didasari oleh Atma Tattwa dan Purnabhawa



Kawitan berasal dari bahasa sansekerta yaitu Wit yang artinya asal mula. Asal mula manusia adalah Tuhan, maka sesungguhnya setiap orang punya Kawitan. Jadi Kawitan adalah pengingat asal atau ada pula yang mendefinisikan Kawitan merupakan leluhur yang pertama kali datang di Bali atau lahir di Bali dan menetap di Bali sampai punya keturunan.
Pemujaan Kawitan didasari oleh Atma Tattwa dan Purnabhawa. Bahwa roh leluhur akan menjelma kembali menjadi manusia, bisa jadi anak-cucu kita, dalam kaitan ini pemujaan Kawitan adalah bagian dari Bhakti Marga, mewujudkan kasih sayang kepada leluhur dan keturunan kita. Pemujaan Kawitan juga dapat didasari oleh Moksa, karena dalam upaya mensucikan roh leluhur, salah satu caranya dengan menyembah roh leluhur, mendoakan tercapainya Amoring Acintya.
Seperti kita ketahui kalau di Bali adalah menganut sistem keturunan Patrilineal atau berdasarkan keturunan dari keturunan lelaki atau Purusa, jadi oleh sebab itu kita patut tahu sebelum kita membahas tentang Kawitan ini yang mungkin bisa menjadi dasar untuk mengetahui asal muasal dari Kawitan yang ada di Bali saat ini.
Di luar Bali kawitan itu ada tetapi tidak secara visual dalam bentuk merajan. Konsep merajan kawitan ada mulai abad ke-11 yang diterapkan oleh Ida Mpu Kuturan di Bali sebagai benteng pertahanan dan pengingat, karena bercermin dari pengalaman sejarah runtuhnya kerajaan Hindu di Jawa. Di jawa Kawitan tidak selengkap di Bali, di Jawa Kawitan yang ada hanya dalam bentuk candi pemujaan kerajaan leluhur dan sebagainya yang lebih bersifat umum, yang ikatannya tidak sekuat konsep Kawitan di Bali.
Mengenai adanya banyak Kawitan, ini bersumber dari kondisi sosial dan kedudukan leluhur kita di masyarakat pada jaman dahulu. Jika misalnya leluhur kita dahulu pernah menjadi raja, maka keturunannya akan memakai nama Kawitan tersebut. Begitu pula jika seandainya leluhur kita dulu menjadi wiku, maka keturunannya akan memakai mana Kawitan tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengingatkan kita, bahwa sesungguhnya kita punya Kawitan para leluhur yang luar biasa, yang sakti, bijaksana, Dharma dan berwibawa. Sehingga bisa kita jadikan pedoman dan panutan kedalam diri sendiri.
Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh suci leluhur oleh umat Hindu yang memiliki ikatan “wit” atau leluhur berdasarkan garis keturunannya. Jadi Pura Kawitan bersifat spesifik atau khusus sebagai tempat pemujaan umat Hindu yang mempunyai ikatan darah sesuai dengan garis keturunannya.