Minggu, 25 Oktober 2015

Pranayama bukanlah tentang pernafasan...


Pranayama bukanlah, sebagaimana dikira banyak orang, sesuatu tentang nafas; nafas, sangat sedikit hubungannya dengan itu, jikapun ada sama sekali. Bernafas hanyalah salah satu dari berbagai latihan yang kita lakukan untuk mencari jalur menuju Pranayama yang sejati. Pranayama berarti mengendalikan Prana. Menurut para filsuf India, seluruh alam semesta ini dibentuk oleh 2 material, satu yang mereka sebut Akasa, yakni yang berada disegalanya dan menembus segalanya. Segala sesuatu yang memiliki bentuk, segala sesuatu yang merupakan hasil senyawa, adalah hasil evolusi Akasa. Akasa ini yang menjadi udara, cairan, benda padat. Akasa ini yang menjadi matahari, bumi, bulan, bintang, komet; Akasa ini yang menjadi tubuh manusia, binatang, tanaman, semua bentuk yang kita lihat, semua yang dapat di inderakan, semua yang ada. Akasa itu sendiri tidak dapat dipersepsikan; ia sangat halus sehingga berada diluar dari persepsi normal; ia hanya dapat dilihat ketika telah menjadi kasar, telah berwujud. Pada awal penciptaan, hanya ada Akasa; pada akhir siklus, semua benda padat, cair dan gas akan menjadi Akasa lagi, dan penciptaan selanjutnya akan terbentuk dari Akasa ini.
Dengan kekuatan apa Akasa ini diciptakan menjadi alam semesta? Dengan kekuatan Prana. Sebagaimana Akasa adalah material yang ada disegala hal di alam semesta ini, Prana adalah kekuatan yang bermanifestasi di segala hal di alam semesta ini. Pada Awal dan akhir dari suatu siklus, segalanya menjadi Akasa dan segala kekuatan yang ada di alam semesta kembali menjadi Prana; pada siklus berikutnya, dari Prana inilah berevolusi segala hal yang kita sebut sebagai energi, segala hal yang kita sebut daya. Prana ini lah yang bermanifestasi sebagai gerakan; Prana ini yang bermanifestasi sebagai gravitasi, magnetisme. Adalah Prana ini yang bermanifestasi sebagai aksi-aksi tubuh, sebagai arus syaraf, sebagai daya ikir. Dari pikiran, sampai ke daya fisik yang ter-rendah, segalanya adalah manifestasi Prana. Total seluruh daya di alam semesta, mental atau fisik, ketika dikembalikan pada wujud aslinya, disebut "Prana". "Ketika tidak ada Ada maupun Tiada, ketika kegelapan menyelimuti kegelapan, apa yang ada? Yang ada adalah Akasa tanpa gerakan". Gerakan fisik dari Prana terhenti, akan tetapi dia tetap ada. Segala energi yang sekarang ini ditampilkan di alam semesta yang kita tahu, oleh ilmu modern, adalah sesuatu yang tidak dapat diubah. Total seluruh energi di alam semesta tetap sama hanya, pada akhir sebuah siklus, ketika energi energi ini menjadi diam, menjadi potensi, dan ketika pada awal siklus berikutnya, mereka mulai memukul Akasa dan dari Akasa berevolusi berbagai bentuk ini, dan seiring dengan berubahnya Akasa, Prana ini berubah menjadi segala manifestasi energi. Pengetahuan dan kendali terhadap Prana ini lah yang disebut sebagai Pranayama.
Hal ini membuka bagi kita pintu ke kekuatan yang nyaris tak terbatas. Anggaplah, misalnya, seseorang memahami Prana secara sempurna, dan dapat mengendalikannya, kekuatan apa di bumi yang tidak akan menjadi miliknya? Ia akan mampu menggerakkan Matahari dan bintang-bintang keluar dari posisi mereka dan mengendalikan segalanya di alam semesta, dari atom-atom sampai matahari-matahari terbesar, karena ia akan mengendalikan Prana. Inilah akhir dan tujuan dari Pranayama. Ketika seorang Yogi menjadi sempurna, tidak akan ada apapun di alam yang tidak dikendalikan olehnya. Jika ia memerintahkan para dewa untuk datang, mereka akan datang mematuhi panggilannya; jika ia meminta yang sudah meninggal untuk datang, mereka akan datang mematuhi panggilannya. Segala kekuatan alam akan mematuhinya sebagai budak-budaknya, dan ketika orang-orang yang tidak mengerti melihat kekuatan-kekuatan ini dari seorang Yogi, mereka akan menyebutnya keajaiban....

Fenomena Ngiring, Antara Spiritual dan Gangguan Kejiwaan



Sekarang ini mudah dijumpai orang-orang dengan atribut busana tertentu. Umumnya berbusana putih-putih dengan senteng (kain dililitkan di pinggang) berwarna belang (poleng) putih-hitam. Atau ada juga dengan motof busana berbeda yang umumnya mencolok dan berbeda dengan penampilan masyarakat pada umumnya. Mereka dengan atribut seperti itu sering dikatakan sebagai orang yang “Ngiring.” Lalu, apakah Ngiring itu?
Bagi sebagian orang, Ngiring mungkin diyakini sebagai sebuah kelebihan di bidang spiritual. Mereka ini rata-rata memiliki kelebihan di bidang supernatural atau menyangkut hal-hal gaib dan sering diminta jasanya untuk membantu orang-orang yang mengalami kesulitan tertentu, misalnya penyakit yang tidak kunjung sembuh, usaha yang seret, rumah tangga kurang harmonis, dan macam ragam keperluan menurut selera orang yang minta tolong kepada para pelaku Ngiring tersebut yang umumnya berprofesi sebagai balian atau dasaran. Mengenai balian atau dasaran memang keberadaannya diakui dalam tradisi Hindu di Bali sebagai salah satu golongan pemangku, yaitu Pemangku Balian. Toh demikian, bagaimanakah prosedur orang bisa mengklaim diri sebagai orang yang Ngiring sesuhunan, sehingga sekarang ini ada kesan jumlah orang-orang Ngiring semakin banyak bermunculan?
Untuk menjawab pertanyaan ini dan menambah wawasan lebih luas mengenai fenomena tersebut, maka pada hari Minggu malam, 12 Februari 2017 lalu, Yayasan Taman Bukit Pangajaran mengadakan seminar bertemakan “Tradisi Ngiring dan Fenomenanya.” Seminar yang dilangsungkan di Pasraman Ghanta Yoga, JL. By Pass Ngurai Rai, Gg. Rwa Bhineda ini menghadirkan dua orang narasumber, masing-masing seorang Psikiater, dr. Wedastra, dan praktisi Ngiring sekaligus intelektual muda Hindu, I Ketut Sandika. Sementara itu para hadirin malam itu berasal dari berbagai kalangan, termasuk pemangku, jro dasaran, para sisya yoga, dan masyarakat umum.
Dr. Wedastra dalam paparannya menyatakan dari sisi medis terutama kesehatan jiwa, fenomena yang disebut Ngiring di Bali memiliki banyak kemungkinan, bahkan di antaranya ada juga kemungkinan yang bersangkutan sedang mengalami gangguan jiwa. Ia menyebutkan suatu jenis gangguan jiwa yang disebut Epilepsi Psikomotor yang salah satu cirinya menyerupai orang kesurupan. Kesurupan yang dialami orang-orang seperti ini dilakukan secara sengaja untuk menghindari suatu hukuman atau sebaliknya untuk memperoleh suatu penghargaan, misalnya agar dianggap oleh orang-orang memiliki kelebihan spiritual sehingga yang bersangkutan mendapat penghormatan secara sosial. Selain itu gangguan jiwa ini juga ditandai dengan kesengajaan berbohong untuk menghindari suatu kenyataan atau untuk mendapatkan sesuatu.
Lebih lanjut dr. Wedastra menambahkan, gangguan jiwa menurutnya justru terjadi karena orang tersebut lemah secara spiritual. Mereka umumnya mengalami waham induksi.Waham adalah isi pikir (keyakinan atau pendapat) yang salah dari seseorang. Meskipun salah tetapi individu itu percaya betul, sulit dikoreksi oleh orang lain, isi pikirannya bertentangan dengan kenyataan, dan isi pikirannya terkait dengan pola perilaku. Seorang pasien dengan waham curiga, maka pola perilaku akan menunjukkan kecurigaan terhadap perilaku orang lain, lebih-lebih orang yang belum dikenalnya. Sementara itu, waham induksi adalah apabila dua orang atau sistem waham yang sama dan saling mendukung dalam keyakinan waham itu. Yang mengalami gangguan waham orisinil (gangguan psikotik) hanya satu orang, orang tersebut terinduksi (mempengaruhi) lainnya dan biasanya menghilang apabila orang-orang tersebut dipisahkan..


Rabu, 14 Oktober 2015

tri yajna




Kata yadnya berasal dari bahasa sansekerta yaitu यज्ञ [yajna], dari akar kata “yaj”, yang berarti persembahan suci atau pengorbanan suci. Secara keseluruhan ada delapan bentuk yadnya [Asta Yadnya] yang terbagi menjadi dua jenis yaitu Tri yadnya dan Panca Yadnya.
Keseluruhan asta yadnya ini bertujuan untuk tercapainya bagi semua mahluk, tujuan tertinggi dalam ajaran Hindu yaitu “Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”, yang berarti -dengan dharma kita meraih pembebasan dari roda samsara [moksartham], serta mewujudkan keharmonisan alam semesta [jagadhita]-. Artinya bahwa dalam menapaki ajaran dharma tujuan kita adalah meraih pembebasan [moksha], serta juga ada satu tugas pokok penting lainnya, yaitu berkarma baik menjaga keseimbangan dan keharmonisan kosmos atau alam semesta, karena di dalam kedua upaya inilah ada kekuatan spiritual semesta yang sempurna, yang berguna bagi kebahagiaan semua mahluk.
Tri yadnya adalah tiga bentuk yadnya [persembahan suci] yang tidak berhubungan dengan upacara, yaitu :
1. TAPA YADNYA - yadnya [persembahan suci] berupa disiplin pengendalian diri. Secara garis besar tapa yadnya berarti upaya untuk menjaga diri sendiri. Yaitu berusaha mencegah diri kita sendiri menyakiti mahluk lain dan mencegah diri kita sendiri membuat karma buruk. Yang sesungguhnya juga sekaligus sangat membantu meredakan emosi, perasaan dan pikiran negatif di dalam diri kita sendiri, serta menghindarkan diri kita dari berbagai bentuk kesengsaraan.
2. DRWYA YADNYA - yadnya [persembahan suci] berupa berupa belas kasih dan kebajikan kepada semua mahluk. Secara garis besar drwya yadnya berarti upaya untuk menjadikan diri kita sendiri penyebab kebahagiaan mahluk lain. Dengan kata lain berupaya mengembangkan sifat belas kasih, sikap tidak mementingkan diri sendiri, dalam bentuk segala upaya perbuatan, perkataan dan pikiran yang menolong, membahagiakan atau memberi keuntungan bagi mahluk lain.
3. JNANA YADNYA – yadnya [persembahan suci] berupa mengembangkan kesadaran atma [atma jnana] di dalam diri kita sendiri. Secara garis besar jnana yadnya berarti upaya memurnikan samskara [kesan-kesan pikiran dan perasaan]. Yang paling disarankan adalah melalui praktek dhyana yoga, sebuah upaya agar perasaan-pikiran negatif [kegelapan bathin] perlahan-lahan berpisah dengan kesadaran. Hasilnya adalah kondisi dimana perasaan-pikiran negatif kita berhenti menjadi penguasa menyeramkan bagi diri kita sendiri. Sehingga pikiran kita menjadi jernih dan perasaan kita menjadi menjadi tenang-seimbang, atau dengan kata lain samskara [kesan-kesan pikiran] menjadi jernih dan termurnikan.
Panca yadnya adalah lima bentuk yadnya [persembahan suci] yang berhubungan dengan upacara, yaitu :
1. MANUSA YADNYA - yadnya atau upacara ritual niskala yang diselenggarakan guna pemeliharaan serta penyucian secara spiritual terhadap manusia sejak terwujudnya di dalam kandungan sampai akhir kehidupan. Yang bertujuan membantu manusia secara niskala mencapai tujuan utama kelahiran kita sebagai manusia, yaitu meraih kesucian bathin.
2. PITRA YADNYA - yadnya atau upacara ritual niskala yang diselenggarakan guna mengangkat serta menyempurnakan kedudukan atma para leluhur [pitra], agar mereka mendapatkan tempat yang baik di alam kematian. Yadnya ini sebagai wujud bhakti kepada para leluhur. Dimana penyucian dan pralina [kremasi atau ngaben] yang kalau dilakukan dengan tepat [yang memang benar berhasil] sangatlah membantu perjalanan atma di alam-alam kematian.
3. RSI YADNYA - yadnya atau upacara ritual niskala yang diselenggarakan sebagai wujud rasa hormat dan rasa terimakasih kepada para maharsi, para yogi dan para satguru dari semua jaman, yang telah memberikan tuntunan dan ajaran pencerahan kepada manusia untuk mencapai kedamaian bathin, kesempurnaan jiwa dan pembebasan dari roda samsara. Hal ini penting dilakukan, karena hanya dengan rasa hormat dan sujud kepada beliau, ajaran-ajaran suci beliau dapat bertahan lama di alam marcapada ini, serta membuat ajaran-ajaran suci beliau masuk dengan jauh lebih baik ke lubuk bathin kita manusia.
4. BUTHA YADNYA - yadnya atau upacara ritual niskala yang diselenggarakan bagi sarwa bhuta, yaitu mahluk-mahluk halus alam-alam bawah, hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan, serta unsur-unsur alam raya beserta dinamika kekuatannya. Untuk menyomiakan vibrasi alam yang negatif serta kekuatan kegelapan atau mahluk-mahluk kesadaran rendah sehingga menjadi damai dan harmonis.
5. DEWA YADNYA - yadnya atau upacara ritual niskala yang diselenggarakan sebagai wujud rasa hormat dan rasa terimakasih kepada Sanghyang Acintya beserta sinar-sinar suci-Nya, yaitu para Dewa-Dewi, Ida Btara-Btari, dsb-nya, sebagai pengayom, pelindung dan pembimbing manusia. Yang bertujuan membantu manusia secara niskala agar kita semua memperoleh penyatuan kesucian dan kekuatan transenden-Nya. Ini akan mengikis segala noda bathin dan membuat kita memperoleh karunia cahaya suci Beliau. Serta mengharmoniskan vibrasi lingkungan sekitar kita melalui karunia dan vibrasi suci dari Beliau para dewa-dewi mahasuci, yang dapat merubah dan mengatur ulang dinamika di alam semesta ini menjadi baik. Sekaligus menjaga keterhubungan manusia dengan alam-alam suci. Sehingga manusia dan para mahluk dapat terbantu untuk terhindarkan dari bencana dan malapetaka kehidupan.


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI





Sabtu, 03 Oktober 2015

Ngiring




Penjelasan dr. Wedastra tentang waham induksi ini memiliki korelasi dengan beberapa kasus orang yang Ngiring. Orang tersebut mengklaim dirinya Ngiring karena sebelumnya mengalami suatu keluhan penyakit kemudian datang ke seorang balian, dan oleh balian tersebut pasien tersebut dikatakan harus Ngiring. Karena merasa yakin dan diyakinkan oleh balian, maka menjadilah ia orang Ngiring (baru). Kasus seperti ini sering dihadapi oleh Ida Bagus Putu Adriana, Pembina Ghanta Yoga. Usai seminar tersebut ia menyebutkan pihaknya sering menerima pengaduan dan keluhan dari orang-orang yang “Ngiring” karena merasakan kehidupannya tambah susah secara mental maupun material, dikarenakan masalahnya tidak selesai dengan menjalani Ngiring, tetapi kewajiban bertambah-tambah sesuai petunjuk balian yang didatanginya sebelumnya.
Sementara itu Jro Ketut Sandika, yang Ngiring sesuhunan Bhatari Dalem dalam presentasinya menyatakan, Ngiring sebenarnya istilah yang sangat sakral dan spiritual, karena bermakna sebagai pengikut yang setia dan taat kepada ista dewata pujaannya. Oleh sebab itulah orang-orang yang Ngiring dipanggil “Jro” di depan namanya yang mengisyaratkan bahwa mereka ini memiliki kedalaman atau mencari ke dalam dirinya, mencari hakikat diri sejatinya. Memang, Sandika mengakui Ngiring dalam batasan religius-spiritual sangat susah dijelaskan, tetapi fenomena yang sering muncul ke permukaan adalah lebih banyak citra magis dan kegaiban. Sebebanrnya, ia menambahkan, untuk memperoleh predikat Ngiring dan diakui secara sosial (umum) memerlukan proses yang panjang dan ketat dengan berbagai liturgi atau sakramen yang sulit dilakoni oleh orang kebanyakan. Sebagaimana halnya tradisi yang masih berlangsung hingga kini di daerah Batur dalam mentasbihkan jro-jro disana (jro alitan, jro duuran, dan lain-lain).
Menurut pemuda lajang asal Desa Nyalian, Klungkung ini, sekarang ini memang sering dijumpai fenomena orang yang menganggap dirinya Ngiring justru mengekspose simbol-simbol keluar dirinya. “Apa yang semestinya dibawa ke dalam diri untuk mencari hakikat jati diri justru diputarbalikkan dengan menonjol-nonjolkan atribut fisik agar terkesan mencolok. Misalnya rambut meprucut, ada yang bawa tongkat atau danda, dan lain-lain,” sebutnya. Ia mengingatkan rambut meprucut dan membawa danda mestinya hanya menjadi atribut sulinggih, tetapi mungkin atas pawisik atau kleteg keneh ada juga oknum-oknum bukan sulinggih memakai atribut itu dengan alasan sudah berstatus sulinggih di dunia niskala.
Pada presentasi sebelumnya, dr. Wedastra menilai Ngiring sepatutnya dijalani secara ikhlas saja, tanpa dibumbui atau diimbuhi kreasi pribadi yang berada di luar koridor agama maupun sosial. Dan jika ada tanda-tanda mencurigakan atau kurang yakin, pihak keluarga disarankan mengajak keluarganya yang mengaku-ngaku Ngiring tersebut memeriksakan diri ke psikiater. Senada dengan Wedastra, Ketut Sandika mengutip lontar Kuranta Bolong yang menyebutkan bahwa pertanda orang yang mengalami gangguan mental disebut “tampias” atau kedewan-dewan yang termasuk kategori penyakit “bebainan.” Demikian pula halnya tidak setiap orang kerauhan berarti maju secara spiritual. Jika dr. Wedastra dari sisi medis melihat orang kerauhan bisa dipicu oleh kelelahan dan panik, sehingga perempuan lebih mudah kerauhan karena lebih emosional dan suka berfantasi, maka Sandika menyebut kerauhan bisa muncul karena kerasukan bhuta dan kala, kerauhan pepatih (orang-orang ngunying) dalam upacara Pujawali, dan ada juga karena kerauhan dewa. Untuk itu umat Hindu diharapkan untuk teliti dan arif bijaksana dalam menyikapi hal-hal seperti itu.
Apabila Ngiring dikaitkan dengan praktik keagamaan, maka menurut Sandika, idealnya orang-orang tersebut juga harus belajar sastra agama. Hanya melalui tuntunan tutur, tattwa, seseorang dapat petunjuk yang benar untuk berjalan di dalam kerohanian untuk menyucikan diri. “Asalkan dilakoni dan dilakukan dengan menaati sesana, maka Ngiring akan menginspirasi warga masyarakat sekitarnya, tetapi kalau mengharapkan kultus individu dan eksklusifisme apalagi merusak tatanan agama yang sudah ada, maka tentu oknum bersangkutan akan mendapatkan sanksi sosial,” tegasnya, sebagaimana ia ceritakan ada oknum yang mengatakan dirinya Ngiring dan perwujudan dari Sanghyang Acintya yang membuat upacara besar menjadi terganggu sehingga yang bersangkutan kemudian diamankan dan diajak ke rumah sakit jiwa dan positif dinyatakan mengalami gangguan mental.
Seorang dasaran yang hadir dalam seminar itu menanyakan adanya kepercayaan bahwa orang-orang Ngiring seperti dirinya tidak boleh menikmati santapan yang disuguhkan di rumah orang cuntaka, seperti orang meninggal atau di rumah orang menggelar upacara pawiwahan. “Kalau tyang kundangan nengokin nak nganten, ten kelaparan tyang?” sebutnya yang disambut tawa para peserta lainnya.
Menjawab pertanyaan tersebut Ketut Sandika yang juga seorang undagi barong-rangda ini mengatakan, bahwa kepercayaan semacam itu memang lazim di kalangan masyarakat Bali, tetapi ia menyatakan dirinya sendiri biasa melayat ke rumah orang meninggal bahkan turut memandikan jenazah, demikian juga menikmati suguhan makanan di rumah orang upacara pawiwahan biasa baginya. “Sebenarnya bisa asal ada ritual yang dilakukan sepulang ke rumah kita. Dalam Yama Purana Tattwa ada disebutkan penglukatan yang mesti dilakukan sepulang dari rumah orang cuntaka, seperti melukat Brahma di dapur,” terangnya. Ia melihat kepercayaan semacam itu lebih kepada rasa keagamaan dan tentu bisa dineteralisir dengan pemahaman keagamaan.
Pembina Ghanta Yoga, Ida Bagus Putu Adriana (Tu Aji) yang bertindak selaku tuan rumah memberikan clossing statement pada sesi terakhir. Ia menandaskan Ngiring apabila harus dilakoni oleh seseorang, maka semua tergantung penyikapan. Bagaimana menyikapinya, maka itulah awal apakah predikat Ngiring itu akan mengantar seseorang pada kebaikan atau sebaliknya. Ditegaskannya, jika ada keyakinan bahwa diri harus Ngiring, maka cukup di-iya-kan saja. “Yang sering memicu masalah adalah apabila setelah dinyatakan Ngiring yang bersangkutan sibuk dengan pikiran dan praduga masing-masing, misalnya harus begini begitu sehingga menjadi sangat sibuk untuk urusan Ngiring, sementara masalah keluarga termasuk pekerjaan terbengkalai. Biasanya itu yang menjadi masalah,” sebutnya mengingatkan. Tua Aji menambahkan, untuk menjalani proses Ngiring tersebut biarkanlah niskala yang menuntun hendak dituntun menjadi “pregina” apa nantinya, sehingga kita tidak bergerak sendiri atas keinginan pribadi, sebab kalau kehendak sendiri yang diinginkan hendak diwujudkan, misalnya begitu disebut Ngiring kemudian terbayang akan menjadi balian, maka itu bukan Ngiring lagi namanya. Ngiring adalah menaati dan mengikuti kehendak yang Kairing dan berusahalan lebih dekat dulu dengan yang Kairing, sehingga terjadi interkasi yang harmonis dan akan menjadikan kehidupan di dunia sekala harmonis juga. Dan sebagai catatan, yang Kairing itu haruslah mencerahkan orang yang Ngiring, sehingga kehidupannya jagadhita.











Selasa, 29 September 2015

Konsep Ketuhanan dalam Agama Hindu




"Agama Hindu adalah agama politheisme yang menyembah banyak Tuhan?". Hal ini sering saya dengar dari saudara beda agama yang mungkin belum mengerti tentang konsep ketuhanan dalam Hindu. Dengan demikian maka sering muncul pemikiran yang cenderung merendahkan karena ketidakjelasan Tuhan mana sebenarnya yang disembah. Padahal sebenarnya Hindu bukanlah agama monotheisme, politheisme, atheisme ataupun lainnya. Konsep agama Hindu adalah Panteisme yaitu agama universal (satu Tuhan untuk semuanya).
Kenapa Agama Hindu disebut Panteisme? Memang terdapat perbedaan dalam proses tata cara penyembahan dan bahkan perbedaan nama Beliau yang disembah sesuai dengan alirannya tetapi sebenarnya mereka tetap menyembah satu Tuhan yang disebut Brahman/Ida Sang Hyang Widhi Wasa dikarenakan Beliau mempunyai banyak gelar seperti yang disebutkan oleh sloka-sloka berikut :
"Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangruwa" yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada Dharma/Tuhan yang lainnya.
"Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadhanti" artinya Tuhan hanya satu, tetapi para resi bijaksana menyebut Beliau dengan banyak nama.
Berbeda dengan monotheisme yang hanya menyembah satu Tuhan, tetapi sayangnya hanya berpihak pada satu kelompok saja, sedangkan kelompok lain adalah kaum musuh yang harus dibasmi. Atau paham politheisme yang jelas-jelas menunjukkan perbedaan dan penyembahan berhala.
Lalu siapakah sebenarnya Tuhan dalam Agama Hindu ?
Tuhan dalam agama Hindu disebut Brahman ("bukan Dewa Brahma") atau di Bali biasa disebut Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang artinya Tuhan yang maha besar dan tahu segalanya. Segala sesuatu tentang Brahman/Ida Sang Hyang Widhi Wasa tidak secara gampang bisa kita pahami kecuali kita sudah memiliki hati yang tulus, bijaksana dan tidak memiliki keterikatan terhadap apapun masalah keduniawian dikarenakan sifat-sifat beliau. Sifat-sifat Beliau banyak disebutkan dalam kitab suci. Dalam Weda disebutkan 4 sifat kemahakuasaan dari Tuhan yang disebut Cadu Sakti yang diantaranya :
Wibhu Sakti : Tuhan Maha Ada yang memenuhi dan meresapi seluruh bhuana/dunia dan berada dimana-mana, tidak terpengaruh dan tidak berubah ("Wyapi Wyapaka Nir Wikara") dan tidak ada tempat yang kosong bagi Beliau karena beliau memenuhi segalanya. Beliau ada di dalam dan di luar ciptaan-Nya.
Prabhu Sakti : Tuhan Maha Kuasa yang menjadi raja dari segala raja (Raja Diraja), yang menguasai segalanya baik dalam hal penciptaan (Utpetti), pemeliharaan (Stiti), dan Pelebur (Prelina).
Jnana Sakti : Tuhan Maha Tahu yang mengetahui segala sesuatu yang terjadi baik di alam nyata maupun tidak nyata, yang terjadi di masa lampau(Atita), yang sedang terjadi (Nagata), ataupun yang akan terjadi (Wartamana).
Krya Sakti : Tuhan Maha Karya yang setiap saat tidak pernah berhenti melakukan aktifitas baik dalam penciptaan, pemeliharaan, pelebur, pengawasan, penjagaan, sutradara dalam sandiwara kehidupan (demi memberikan pembelajaran dan pengetahuan) dan segala aktifitas lainnya.
Disamping sifat kemahakuasaan di atas, Tuhan/Brahman/Ida Sang Hyang Widhi juga memiliki sifat sebagai berikut seperti yang disebutkan dalam kitab Wrhaspati Tattwa yang disebut sebagai Asta Iswara yang diantaranya :
Anima : Tuhan bagaikan setiap atom yang mempunyai kehalusan yang bahkan lebih halus dari partikel apapun
Lagima : Sifat Tuhan yang sangat ringan bahkan lebih ringan dari ether
Mahima : Dapat memenuhi segala ruang, tidak ada tempat kosong bagi Beliau
Prapti : Segala tempat bisa dicapai, Beliau dapat pergi kemanapun yang dikehendaki dan Beliau telah ada.
Prakamya : Segala kehendakNya akan selalu terjadi.
Isitwa : Tuhan merajai segala-galanya, dalam segala hal yang paling utama
Wasitwa : Menguasai dan dapat mengatasi apapun.
Yatrakamawasayitwa : Tidak ada yang dapat menentang kehendakNya.
Adapun sifat-sifat Tuhan yang merupakan sumber dari segala kehidupan (Parama Atma) adalah :
Achintya : tak terpikirkan
Awikara : tak berubah-ubah
Awyakta : tak terlahirkan.
Achodya : tak terlukai oleh senjata
Adhaya : tak terbakar oleh api
Akledya : tak terkeringkan oleh angin
Achesyah : tak terbasahi oleh air
Nitya : kekal abadi
Sarwagatah : ada dimana-mana
Sthanu : tak berpindah-pindah
Acala : tak bergerak
Sanatana : selalu dalam keadaan sama
Atarjyotih : maha sempurna sesempurna-purnanya.
Dengan adanya sifat-sifat Beliau seperti di atas sangatlah sulit bagi orang awam untuk bisa mengerti dan memahami Tuhan kecuali kita sudah memiliki keyakinan teguh, berusaha untuk memahami dan menghayati keberadaan Beliau, melepaskan semua ikatan terhadap keinginan duniawi, dan memasrahkan sepenuhnya untuk Beliau.
Lalu apakah fungsi Dewa-Dewi? Apakah mereka bukan Tuhan?
Dewa berasal dari kata "Div" yang artinya sinar suci dari Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi. Dewa adalah belahan dari Tuhan yang mana sebenarnya sama dengan mahluk lainnya termasuk manusia yang merupakan percikan terkecil dari Beliau karena Beliau adalah sumber dari segala kehidupan hanya saja Dewa berbentuk Sarira/roh/atma yang mempunyai sifat dan kemahakuasaan yang hampir sama dengan Tuhan. Diantara nama Dewa-Dewa yang ada hanya ketiga dewa yang mempunyai sifat yang mendekati sama dengan Tuhan diantaranya Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa sehingga ketiga dewa tersebut dijadikan dewa tertinggi dalam agama Hindu yang disebut Tri Murti.
Fungsi para dewa adalah untuk mengatur jalannya roda kehidupan baik dalam penciptaan, perjalanan waktu, dan peleburan serta proses setelah kematian. Mereka juga membantu makluk lainnya termasuk manusia untuk bisa mengerti konsep ketuhanan dan mengatur tatatan hidup manusia. Sehingga secara tidak langsung mereka adalah wakil dari Tuhan yang mengatur segala kehidupan sesuai dengan tugasNya masing-masing dan juga sebagai penghubung antara Tuhan dengan ciptaanNya. Dengan kata lain apabila manusia melakukan persembahan kepada salah satu dewa maka sama artinya mereka menyembah Tuhan dan dewa lainnya karena mereka semua adalah satu tetapi berbeda karena fungsinya. Sama halnya dengan kita sendiri, dengan menjaga diri sendiri dan menghormati orang lain artinya juga kita menjaga dan menghormati Tuhan karena Tuhan juga bersemayam dalam diri manusia.
Jika diibaratkan dalam sebuah perusahaan besar, Tuhan adalah sebagai pemilik perusahaan dan Tri Murti adalah Owner Representative, Dewa Indra yang merupakan raja dari para dewa adalah sebagai General Manager dan dewa-dewa lainnya sebagai departement head/manager. Dan disini manusia adalah staff yang harus tetap tunduk dan patuh terhadap atasan. Seorang staff sangatlah susah untuk bertemu langsung dengan pemilik perusahaan sehingga mereka harus menggunakan penghubung yaitu atasannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Hindu tidak menganut paham monotheisme, politeisme, atheisme tetapi panteisme yang bersifat universal sehingga Hindu bisa menyatu dengan unsur daerah manapun tanpa adanya perselisihan sehingga penyebaran agama Hindu tidak pernah sekalipun dilakukan melalui kekerasan. Hindu tetap menyembah satu Tuhan yang disebut Brahman/Ida Sang Hyang Widhi hanya saja karena sifat dan kemahakuasaan Beliau sangat sulit untuk bisa dipahami akal manusia yang masih sangat terbatas sehingga manusia lebih cenderung untuk menyembah Dewa-Dewa yang sebenarnya sama artinya dengan dengan menyembah Tuhan.

Hindu bukanlah agama monotheisme, politheisme, atheisme ataupun lainnya. Konsep agama Hindu adalah Panteisme yaitu agama universal (satu Tuhan untuk semuanya).
Kenapa Agama Hindu disebut Panteisme? Memang terdapat perbedaan dalam proses tata cara penyembahan dan bahkan perbedaan nama Beliau yang disembah sesuai dengan alirannya tetapi sebenarnya mereka tetap menyembah satu Tuhan yang disebut Brahman/Ida Sang Hyang Widhi Wasa dikarenakan Beliau mempunyai banyak gelar seperti yang disebutkan oleh sloka-sloka berikut :
"Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangruwa" yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada Dharma/Tuhan yang lainnya.
"Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadhanti" artinya Tuhan hanya satu, tetapi para resi bijaksana menyebut Beliau dengan banyak nama.





Lontar Markadya Purna




Iti kaweruhakna denta apa mimitannya rat iki, matangnya hana khayangan besakih, jatinya kadi iki. Sedurung hana paran paran kewala hana taru warna balantara, sedurung hana segara rupek , ingaran pulo panjang, duk ikang jagat saha nama pulo dawa. Ring java purwa ring giri rawang hana wong sanunggal sang yogi markanya.
sang yogi Markandya kawit hana saking hindu, saku weha ning carakanya anambat sang yogi markandya bhatara giri rawang , wireh antuk kawidnyanan sira mandi.
..........
arti bebasnya,
ini harus diketahui bagaimna asal mula tempat ini, maka adanya khayangan besakih, sebenarnya adalah demikian. Sebelum ada apa apa dimana dimana hanya ada pohon kayu di dalam hutan belantara di tempat ini, sebelum adanya selat bali pulau ini bernama pulau panjang (Pulau panjang meliputi jawa, madura dan bali) . di jawa tepatnya di jawa timur yaitu tepatnya di gunung rawung, ada seorang yogi bernama sang yogi markandya.
sang yogi ini berasal dari hindu ( india), yg oleh rakyatnya beliau dijuluki bhatara giri rawang. oleh karena ketinggian ilmu bhatinnya, kesucian rohaninya, serta kecakapan dan kebijaksanaan beliau....
........ .....Beliau disebut bhatara giri rawang karena beliau berasal dari giri rawung / gunung rawung, disana ada desa aga, yg kmudian jdi cikal bakal bali aga di bali. bali adalah pulau tersendiri sejak terbentuknya pulau ini ( versi babad pasek), ........................ .. terbentuknya selat Bali jauh sebelum jaman Glasial es mencair dimana selat Bali adalah salah satu selat terdalam yang ada di kepulauan Nusantara.. Sedangkan waktu kedatangan Maha Rsi Markandeya ke Bali diperkirakan pada abad ke 7 Masehi...

IBU Dalam konsep Hindu Bali




IBU berasal dari kata “bu” artinya “lahir”. IBU artinya “yang melahirkan”. Dalam konsep Hindu Bali, IBU adalah kemanunggalan aspek laki-laki dan perempuan (Meme - Bapa) / (Bapa Akasa - Ibu Pertiwi) / (Lingga - Yoni). Penyatuan kedua aspek ini yang mengadakan manusia di dunia.
Ketika bayi lahir, membuat banten "bu".
Beliau para leluhur yang telah suci di alam sunya disebut BETARA HYANG IBU / BETARA KAWITAN / BETARA LELANGIT / BATUR KALAWASAN PETAK.
Kumpulan keluarga - keluarga dalam satu garis keturunan (soroh) membuat tempat pemujaan leluhur yang disebut dengan PURA IBU.
Ikatan kekeluargaan dari keluarga-keluarga dalam satu garis keturunan disebut PAIBON (disebut pula Panti atau Dadya).
HARI IBU sejatinya penghormatan kepada orangtua (Meme - Bapa), termasuk di dalamnya Pekak – Dadong, Kumpi, Buyut, Klab, Klambiyung, Bungkar, Wareng, Klewaran, dan seterusnya yang disebut dengan para leluhur / Batara Ibu / Kawitan.