Sekarang ini mudah dijumpai orang-orang dengan atribut busana tertentu. Umumnya berbusana putih-putih dengan senteng (kain dililitkan di pinggang) berwarna belang (poleng) putih-hitam. Atau ada juga dengan motof busana berbeda yang umumnya mencolok dan berbeda dengan penampilan masyarakat pada umumnya. Mereka dengan atribut seperti itu sering dikatakan sebagai orang yang “Ngiring.” Lalu, apakah Ngiring itu?
Bagi sebagian orang, Ngiring mungkin diyakini sebagai sebuah kelebihan di bidang spiritual. Mereka ini rata-rata memiliki kelebihan di bidang supernatural atau menyangkut hal-hal gaib dan sering diminta jasanya untuk membantu orang-orang yang mengalami kesulitan tertentu, misalnya penyakit yang tidak kunjung sembuh, usaha yang seret, rumah tangga kurang harmonis, dan macam ragam keperluan menurut selera orang yang minta tolong kepada para pelaku Ngiring tersebut yang umumnya berprofesi sebagai balian atau dasaran. Mengenai balian atau dasaran memang keberadaannya diakui dalam tradisi Hindu di Bali sebagai salah satu golongan pemangku, yaitu Pemangku Balian. Toh demikian, bagaimanakah prosedur orang bisa mengklaim diri sebagai orang yang Ngiring sesuhunan, sehingga sekarang ini ada kesan jumlah orang-orang Ngiring semakin banyak bermunculan?
Untuk menjawab pertanyaan ini dan menambah wawasan lebih luas mengenai fenomena tersebut, maka pada hari Minggu malam, 12 Februari 2017 lalu, Yayasan Taman Bukit Pangajaran mengadakan seminar bertemakan “Tradisi Ngiring dan Fenomenanya.” Seminar yang dilangsungkan di Pasraman Ghanta Yoga, JL. By Pass Ngurai Rai, Gg. Rwa Bhineda ini menghadirkan dua orang narasumber, masing-masing seorang Psikiater, dr. Wedastra, dan praktisi Ngiring sekaligus intelektual muda Hindu, I Ketut Sandika. Sementara itu para hadirin malam itu berasal dari berbagai kalangan, termasuk pemangku, jro dasaran, para sisya yoga, dan masyarakat umum.
Dr. Wedastra dalam paparannya menyatakan dari sisi medis terutama kesehatan jiwa, fenomena yang disebut Ngiring di Bali memiliki banyak kemungkinan, bahkan di antaranya ada juga kemungkinan yang bersangkutan sedang mengalami gangguan jiwa. Ia menyebutkan suatu jenis gangguan jiwa yang disebut Epilepsi Psikomotor yang salah satu cirinya menyerupai orang kesurupan. Kesurupan yang dialami orang-orang seperti ini dilakukan secara sengaja untuk menghindari suatu hukuman atau sebaliknya untuk memperoleh suatu penghargaan, misalnya agar dianggap oleh orang-orang memiliki kelebihan spiritual sehingga yang bersangkutan mendapat penghormatan secara sosial. Selain itu gangguan jiwa ini juga ditandai dengan kesengajaan berbohong untuk menghindari suatu kenyataan atau untuk mendapatkan sesuatu.
Lebih lanjut dr. Wedastra menambahkan, gangguan jiwa menurutnya justru terjadi karena orang tersebut lemah secara spiritual. Mereka umumnya mengalami waham induksi.Waham adalah isi pikir (keyakinan atau pendapat) yang salah dari seseorang. Meskipun salah tetapi individu itu percaya betul, sulit dikoreksi oleh orang lain, isi pikirannya bertentangan dengan kenyataan, dan isi pikirannya terkait dengan pola perilaku. Seorang pasien dengan waham curiga, maka pola perilaku akan menunjukkan kecurigaan terhadap perilaku orang lain, lebih-lebih orang yang belum dikenalnya. Sementara itu, waham induksi adalah apabila dua orang atau sistem waham yang sama dan saling mendukung dalam keyakinan waham itu. Yang mengalami gangguan waham orisinil (gangguan psikotik) hanya satu orang, orang tersebut terinduksi (mempengaruhi) lainnya dan biasanya menghilang apabila orang-orang tersebut dipisahkan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar