Sebagaimana telah diuraikan bahwa Tri Sandyā baru dikenal setelah tahun 1950-an, dan setelah buku #Upadesa diterbitkan Mantram Puja Tri Sandhyā semakin populer sebagai salah satu cara sembahyang terutama dikalangan kaum terpelajar. Buku-buku tentang Puja Tri Sandhyā dan buku-buku tentang pedoman sembahyang semakin banyak diterbitkan.
I Gusti ketut Kaler menulis buku,”Tuntunan Muspa,” Buku-buku pelajaran di sekolah hampir semuanya memuat pelajaran Tri Sandhyā dan sembahyang. Dalam perjalan waktu antara buku yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan kecil tentang teks, terjemahan dari mantra-mantra Tri Sandhyā itu. Maka oleh beberapa pemerhati teks Hindu, teks Puja Tri Sandhyā ditinjau ulang dengan mengadakan telaahan dan perbandingan dengan kitab Veda #Sanggraha yang diterbitkan oleh PDHB tahun 1963, #Stuti dan #Stava oleh C.Hoykaas, #Narayana_Upanisad, dengan tujuan untuk mengamati bahasa dan aturan tata bahasa Sansekerta dari teks Puja Tri Sandhyā itu.
Teks Puja Tri Sandhyā kemudian direkonstruksi. Selanjutnya rekonstruksi tersebut dibahas dan dapat diterima serta ditetapkan dalam Paruman Sulinggih PHDI Bali tahun 1989.
Hasil paruman tersebut kemudian dijadikan sebagai salah satu materi Mahasabha ke VI PHDI Pusat di Jakarta tahun 1991 yang kemudian menjadi keputusan Mahasabha.
Tata cara melaksanakan Puja Tri Sandhyā Menurut, “Keputusan Mahasabha keVI tahun 1991.”
a. #Asana
Asana berasal dari urat kata ,”as,” artinya duduk atau sikap. Jadi asana artinya sikap yaitu sikap sembahyang yang meliputi sikap tangan dan sikap badan. Ketika melaksanakan Puja Tri Sandhyā sikap tangan adalah, Karana (musti artinya ibu jari) yaitu sikap dengan mempertemukan ibu jari tangan kanan dan tangan kiri dengan posisi tangan kanan berada dalam kenggaman tangan kiri. Selanjutnya Puja Tri Sandhyā dapat dilakukan dengan sikap berdiri (Padāsana) atau dengan duduk (Padmāsana bagi laki-laki dan Bajrāsana bagi perempuan), sesuai tempat dan situasi yang tersedia.
b. #Prānāyāma
Prānāyāma artinya mengatur jalannya nafas. (Prāna artinya tenaga hidup/nafas, ayāma artinya pengendalian/pengaturan).
Gunanya untuk menenangkan pikiran dan mendiamkan badan untuk mengikuti jalannya pikiran. Bila pikiran dan badan sudah tenang barulah mulai sembahyang. Prānāyāma dilakukan dengan cara : #Menarik nafas dengan ucapan mantram dalam hati, “Om Ang namah.”
#Menahan nafas dengan ucapan mantram dalam hati, “Om Ung namah.” #Mengeluarkan nafas dengan ucapan mantram dalam hati, Om Mang namah.”
Yaitu pembersihan dan penyucian badan melalui tangan dengan lafalan mantram :
Penyucian tangan kanan, matramnya, “Om suddha mām svāhā.” (Om bersihkanlah hamba)
Penyucian tangan kiri,
mantramnya, “Om ati suddha mām svāhā.” ( Om lebih bersihlah hamba).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar