kulit sayut, tumpeng guru meplekir, raka, kuangen, 2 tulung sangkur, daksina taluh siap matah, taluh siap lebeng, ayam panggang, suci cenik, teterag, sampyan tebasan
bendu piduka
kulit sayut, tumpeng guru meplekir, raka, kuangen, 2 tulung sangkur, daksina taluh bebek matah, taluh bebek lebeng, bebek panggang, suci cenik, teterag, sampyan tebasan
Ajaran Hindu banyak memuat petuah akan pentingnya bakti pada orang tua atau Leluhur, itulah sebabnya umat Hindu khususnya di Bali banyak melakukan suatu upacara yang terkait dengan bhakti pada orang tua (leluhur) seperti Pitra Yadnya dan perayaan lainnya yang kadang lebih marak dibandingkan Dewa Yadnya apalagi Rsi Yadnya. Salah satu perjalanan bhakti pada leluhur adalah ”Guru Piduka” yang mempunyai makna ”Permohonan maaf pada Leluhur”.
Faktor masa lalu banyak berperan terhadap maraknya umat melakukan Guru Piduka ini. Pada masa lalu dimana di Bali masih terdapat kerajaan-kerajaan seperti Wangsa Warmadewa berkuasa yang berakhir sekitar abad XIII, juga setelah Majapahit berkuasa di Jawa Timur sehingga ditempatkannya Adipati (wakil Raja) di Bali yang bergelar Dalem, yang pertama pada Tahun 1350 Masehi. Pada masa-masa itu dan sesudahnya hubungan kekerabatan, penghormatan pada orang tua, juga kebanggaan akan keluarga atau wangsanya, sangat tinggi. Ada suatu keadaan yang disebut ”Petita Wangsa/dihilangkan asal usulnya” oleh penguasa atau ”Nyineb Wangsa/menyembunyikan asal usulnya”.
Pada masa itu Gelar Kebangsawanan seperti ”Kyayi” (bukan Kyai di-jaman sekarang), yang statusnya adalah Pembesar Kerajaan, Mantri Kerajaan, atau Amancha Bhumi, bisa saja karena sesuatu hal dicabut oleh penguasa misalnya karena melakukan kesalahan. Ada juga yang tidak ingin diketahui asal-usulnya sehingga menyembunyikannya (nyineb wangsa) bahkan ada tindakan pembakaran prasasti/lontar, atau mengganti prasasti disuatu tempat dengan yang baru yang tujuan politisnya agar tidak diketahui dengan benar asal-usulnya. Hal-hal seperti ini dikemudian hari menimbulkan masalah karena banyak kemudian yang tidak tahu asal-usulnya atau ada yang salah-sulur.
Bagi yang ingin bhakti pada leluhurnya, baik yang karena dasarnya benar sesuai ajaran agama atau yang dasarnya salah dimana mengatakan ”Kesalahang Kawitan (disalahkan leluhur)” atau ”Pidukain Guru (dimarahi orang tua), akan melakukan suatu Perjalanan Suci (Dharma Yatra) yang tujuannya meminta maaf pada leluhur atau Me-Guru Piduka.
Bagi Damuh yang melakukan Perjalanan Guru Piduka ini, tentu sebelumnya atas petunjuk dari orang yang dipercaya apakah itu Pandita, Pinandita, rohaniawan, ahli babad, atau juga Balian Pipis berupa ”metuunang”, walaupun hal terakhir ini perlu hati-hati karena tidak selalu benar. Umumnya petunjuk yang diberikan adalah agar melakukan persembahyangan ke Parhyangan Sang Catur Sanak (Empat dari Panca Tirta) dilanjutkan dengan ke Mrajan Agung atau Pura Kawitan mereka. Sarana yang dibawa adalah ”Banten Guru Piduka”. Prosesi Perjalanan Guru Piduka diawali dengan sembahyang dirumah (Kemulan Rong Tiga) untuk mohon petunjuk akan melakukan perjalanan Guru Piduka agar berjalan lancar.
Fase berikutnya ke Parhyangan Catur Sanak yang merupakan leluhur sebagian besar orang Bali, baik itu Pasek, Ida Bagus, Anak Agung, I Dewa, dll. Urutannya mengikuti urutan kedatangan Catur Sanak ini ke Bali atas permintaan Raja suami-istri ”Udayana Warmadewa & Gunapriya Dharmapatni” pada sekitar abad X, yaitu : Pertama ke Parhyangan Mpu Semeru (Mpu Mahameru), Parhyangan beliau di Besakih sekarang disebut “Pura Ratu Pasek (Pura Catur Lawa). Beliau pemeluk agama Siwa tiba di Bali pada hari Jum,at kliwon, wara pujut hari purnamaning sasih kawulu, tahun saka 921 (tahun 999 Masehi), menjalani hidup brahmacari (tidak kawin seumur hidup), namun beliu mengangkat putra dharma dari penduduk Bali Mula, yang sesudah pudgala bergelar Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah. Selanjutnya Mpu Dryakah ini menurunkan Warga Pasek Kayuselem. Kedua ke Parhyangan Mpu Ghana Parhyangan beliau di Gelgel Klungkung, dan sekarang disebut dengan nama “Pura Dasar Bhuwana”.
Beliau penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari senin kliwon, wara kuningan tahun saka 922 (tahun 1000 Masehi). Parhyangan beliau berupa Meru Tumpang Tiga yang juga disebut Ratu Pasek. Ketiga ke Parhyangan Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha, pemeluk agama Budha Mahayana, tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon, wara pahang, tahun saka 923 (tahun 1001 Masehi).
Beliau berparhyangan di Padangbai, hidup sewala brahmacari (selama hidup kawin hanya sekali) dan berpisah dengan istrinya yang tetap di Jawa yang dikenal dengan Rangda/janda dari Girah penganut ilmu hitam. Ditempat Parhyangan Mpu Kuturan telah berdiri sebuah Pura yang bernama Pura Silayukti. Ke-empat ke Parhyangan Mpu Gnijaya yang tertua dari Panca Tirta, pemeluk Brahmaisme, tiba di Bali pada hari kamis kliwon, wara dungulan, sasih kedasa, tahun saka 971 (tahun 1049 Masehi). Beliau berparhyangan di Bisbis (Gunung Lempuyang), sekarang tempat parhyangan beliau telah berdiri sebuah Pura yang bernama “Pura Lempuyang Madya”.
Setelah perjalanan ke Parhyangan Sang Catur Sanak, Damuh lalu melakukan Persembahyangan Guru Piduka ke Pura Kawitan masing-masing (Mrajan Agung, Dadya Agung). Sesudah itu umumnya dilanjutkan dengan Ngelinggihang Bhatara Kawitan dirumah masing-masing.
Demikian perjalanan Sang Damuh dalam rangka memohon maaf kepada Leluhurnya yang sesungguhnya lebih tepat karena Damuh ingin melakukan ajaran agama dengan baik yang tertuang dalam Ajaran Catur Guru, Tri Rnam, dan Panca Yadnya. Semoga niat baik ini memberikan kedamaian bagi Damuh, keluarga, serta keturunannya. –sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar