Caru Natah
Urip
saptawara pancawarna
redite 5 putih 5
soma 4 barak 9
anggara 3 putih siungan/kuning 7
buda 7 selem 4
wrespati 8 brumbun 8
saniscara 9
Caru Brumbun nuju dina buda
Caru Brumbun manca desa nuju dina buda
sengkui
5 taledan, 1 daksina telor ayam, 5 raka, 5 kojong rasmen,
Purwa: tumpeng putih, ketengan 4 (4 kaput lawar n 1 sate lembat) bayuhan 1 (1 kaput n 5 sate lembat) pajegan 7 (7 kaput lawar n masing-masing 4 jenis sate yi lembat, asem, empal, jeroan), takir isi 5calon
Daksina: barak, ketengan 4 (4 kaput lawar n 1 sate lembat) bayuhan 1 (1 kaput n 9 sate lembat) pajegan 7 (7 kaput lawar n masing-masing 4 jenis sate yi lembat, asem, empal, jeroan), takir isi 9calon
Pascima: kuning, ketengan 4 (4 kaput lawar n 1 sate lembat) bayuhan 1 (1 kaput n 7 sate lembat) pajegan 7 (7 kaput lawar n masing-masing 4 jenis sate yi lembat, asem, empal, jeroan), takir isi 7calon
Utara: selem, ketengan 4 (4 kaput lawar n 1 sate lembat) bayuhan 1 (1 kaput n 4 sate lembat) pajegan 7 (7 kaput lawar n masing-masing 4 jenis sate yi lembat, asem, empal, jeroan), takir isi 4calon
5 sampyan nagasri pada masing2 warna tumpeng
aled
bayang bayang ayam brumbun
rurub
payuk pere
bungkak gadang
gelarsanga
di sanggah cucuk sodan
Ayaban caru
klatkat atau ebeg
peras
pengambean
dapetan
sayut
sodan
penyeneng, peras tulung sayut
pejati pertiwi
Tebasan
pemali
jaga satru
sapuh awu
panca kelud
lara melaradan
Tetandingan Tebasan
Pemali
tamas, raka, kojong rasmen, tumpeng,peras tulung sayut, payasan, bungsil, pecahan genteng dg tapak dara, payuk pere bolong, don gegirang n awar-awar, sampyan nagasari, canang, buu
jaga satru
tamas, daksina telor ayam, raka, tumpeng barak, kojong rasmen, peras, sodan, tipat kelanan, 9 dupa, 9 muncuk lalang, 9 lidi, peras tulung sayut, nasi wong barak n nasi wong putih,payasan, sampyan nagasari, canang
sapuh awu
tamas, daksina telor ayam, raka, tumpeng, kojong rasmen, peras, sodan, tipat kelanan, paang, linting, danyuh, yeh tukad, yeh pasih, peras tulung sayut, payasan, sampyan nagasari, canang
panca kelud
tamas, daksina telor ayam, raka, tumpeng 5 warna (putih, barak, kuning, selem, brumbun), kojong rasmen, peras, sodan, tipat kelanan, peras tulung sayut, payasan, sampyan nagasari, canang
lara melaradan
tamas, raka, kojong rasmen, nasi urab sesuai urip saptawara, peras tulung sayut, payasan, sampyan nagasari, canang
CARU,
Pengetahuan ini bersifat rahasia, sangat pingit. Jika ada pihak yang menghina kegiatan CARU, diam saja. Maafkan mereka yang belum mengerti.
Caru artinya
(kemBali) 'harmonis'. Leluhur punya beberapa teknik merubah sifat energi bhuta menjadi dewa (nyomia), ini salah satunya.
Sarana nyomia ada juga yang tanpa membunuh binatang. Tentu teknikal beda, mantra beda, sarana Banten beda, juga kemampuan, kompetensi, sertifikasi profesional pemuput/sulinggihnya harus mumpuni. Agar ritual caru tanpa membunuh binatang berjalan sesuai harapan sang yajamana.
----------++++++-----------
JEJAK TANTRA PADA RITUAL MASYARAKAT BALI KUNO
MA Kresna Dwaja
# Sanggar bhudaireng #
Tantra bagi kami adalah sebuah perubahan sifat energi dari bergejolak dan reaktif menjadi tenang, damai dan harmoni.
Bisa juga dimaknai sebagai pencapaian spiritual yang tinggi, kecerdasan genius, kesadaran yang sangat dalam, serta kemampuan pengelolaan energi yang mumpuni (Rajayoga).
Jejak tantra dalam ritual masyarakat Bali kuno adalah pengejahwantahan filsafat ajaran yang supralinguistik melalui sadhana massal yang praktis untuk mencapai tujuan daripada filosofi yang tinggi-tinggi tsb.
Salah satunya adalah proses 'somya' pada ritual bhuta yajnya yakni merubah sifat energi dari yang ganas, kasar dan rajas ( bhuta ) menjadi sifat yang halus, tenang dan satwika ( dewa ).
Ritual ini adalah wujud kontemplasi bathin para manggala (terutama pemuput upacara) didalam tubuhnya, yang mampu memproses dan memancarkan cahaya energi tantranya pada saat mentransformasikan energi bhuta menjadi dewa ( soma ya ).
Pada saat proses penyebrangan roh binatang (pengaskara-an) terjadi pengelolaan tubuh hewan caru, yang rohnya sudah tidak ada ini digunakan sebagai tubuh baru bagi para roh gentayangan yang bersifat ganas, kasar dan rajas tersebut.
Memahami dan peka terhadap kehidupan setelah kematian juga sangat diperlukan pada proses ini.
Sebagian masyarakat mengatakan ritual caru hanyalah sebuah ritual biasa yang hanya berdasarkan pada keyakinan/srada semata. Kemampuan kontemplasi bathin tidak ditemukan, dan bahkan akan menganggap ritual ini melenceng dari ajaran Weda.
Fenomena caru ini membuat sebagian masyarakat kebingungan mencarikan dasar sastra, tatwa pelaksanaan nya. Apalagi dengan kebiasaan ber-ritual hanya sekedar melaksanakan tanpa pernah 'mengalami', maka tidak akan pernah memahami ajaran tantra itu sendiri.
Memperlihatkan kebodohan yang berkedok advokasi tafsir Weda yang kurang pas, yang menyatakan bhuta yajnya sbg ritual himsa karma. Mereka tidak pernah memahami bahwasanya bhutayajnya di Bali adalah warisan ajaran tantra yang berlandasakan pada aspek transformasi roh binatang, bukan pembunuhan standar dagang sate atau babi guling.
Demikianlah penggalian kami tentang jejak tantra pada pelaksanaan ritual bhuta yajnya di Bali pada khususnya dan nusantara pada umumnya.
Semoga pemaparan ini bisa dijadikan komparasi kepada penggalian ajaran sahabat saat ini yang hanya memahami sebuah ritual sebagai dasar srada - bhakti, bukan pada proses transformasi energi yang sangat dikuasai oleh para praktisi tantra sebagai sulinggih, pemuput upakara.
Om, Yamaraja Ya Nama Hum.