Senin, 11 Juli 2022

MANTRA MASAIBAN /NGEJOT

 


semoga bermanfaat bagi semeton Hindu tatkala ngaturang saiban/ngejot.
DAPUR TEMPAT BERAS:
Om Sri Dewya Namah Svaha.
TUNGKU/JALIKAN/KOMPOR:
Om Sanghyang Tri Ageni Ya Namah Svaha.
TEMPAT AIR/GENTONG:
Om Gangga Dewya Namah Svaha.
PELANGKIRAN:
Om Om Dewa Datta Ya Namah Svaha.
SUMUR:
Om Ung Visnu Ya Namah Svaha.
KEMULAN/RONG TIGA.
Om Ang Ung Mang Paduka Guru Ya Namah Svaha.
TAKSU:
Om Ang Ung Mang Paduka Guru Ya Namah Svaha.
SRI SEDANA:
Om Kuwera Dewa Ya Namah Svaha.
TUGU CAPAH:
Om Sanghyang Durga Maya Ya Namah.
PENGLURAH:
Om Anglurah Agung Begawan Penyarikan Ya Namah Svaha.
TUGU PENUNGGUN KARANG:
Om Ang Ung Mang Paduka Guru Ya Namah Svaha.
PANGIJENG:
Om Sanghyang Indra Belaka Ya Namah Svaha.
PENGADANG-ADANG:
Om Sang Maha Kala, Nandi Kala Boktya Namah.
PINTU MASUK:
Om Sang Hana Dora Kala Ya Namah.

Genta berasal dari Dongson dan India.

 


Bagaimana asal usul genta sampai digunakan alat pemujaan ,sekaligus sumber acuannya
di masa lalu gentha nike barang yang sulit didapat. Kemudian setelah pesatnya perdagangan maka mulai cukup mudah diperoleh. Meski demikian tidak semua rohaniwan memakai. Asal usulnya sendiri adalah dari Indianized Nusantara oleh sudut padang peneliti. Jadi budaya yang datang dari India kemudian diadopsi.
Balian Sonteng adalah rohaniwan yang dikenal masyarakat memakai genta. Jadi Bali sudah memiliki Genta pada jaman Buddha.
Ada kisah Dhang Hyang Dwijendra memakai krongcong sapi sebagai Gentha beliau. Dimasa lalu segala bentuk peralatan perunggu mayoritas datang dari Kocin (Vietnam).
ada lontar yang membahas bahwa bunyi terkait dengan Panca Mahabhuta. Berdasarkan ini kemungkinan pemakaian gentha menjadi sarana wajib.
Bila dirunut kembali....konon legenda Gentha berasal dari Himalaya. Dan di Bali kisahnya distorsi, terkait Dhang Hyang Dwijendra memakai kroncong Sapi...ada yang menyebut Kuda.
Mengenai mengapa keroncongan dipakai...konon Dhang Hyang Dwijendra terkesan dengan suara nyaring dari keroncongan tersebut ketika tanpa sengaja mendengarnya. Lalu keroncongan itu beliau minta dan tentu saja di haturkan oleh si pemilik ternak.
Kita ketahui bahwa teknologi dan produk perunggu masuk ke nusantara dari kebudayaan Dongson (Cina Selatan sampai ke Vietnam).
jadi pembuatan gentha sudah ada disana. Era Buddha dikenal banyak memakai Gentha.
ditelusuri lebih jauh maka akan sampai ke tempat kelahiran Siddharta Gautama Buddha.
kalau Siwaism maka akan terkait Nandini.
Kisahnyapun berdasarkan Lembu Nandini. Dan entah mengapa juga di Bali serupa....hanya saja kisahnya yang saya terima adalah dari Keroncong Sapi....tapi ada juga kisah menyebut dari keroncong kuda.
genta memang bisa dipakai sebagai simbol omkara karena memang menyuarakan pranawa OM. Tapi kalau seperti di foto nike maka itu dibuat cocok demikian. Sebab sumber gambar nike pasti tidak bisa ditemukan di lontar.
sebab banyak juga genta yang tidak berhiaskan kuku bajra.
Ada berhiaskan Nandini...dapat ditemukan di musium Bali.
Ada cakra, naga dll.
Kwangen juga disebut simbol Omkara meski kerucut dibawah...kalau dibuat seperti gambar ini juga bisa.
Kata peneliti mungkin demikian yaitu bentuk sesuai sekte....tapi bentuk gentha penggunanya tak tergantung sekte. Nike benda sulit didapat dimasa lalu. Tyang melihat vidio Ida Pedanda Bang Buruan Manuaba memakai gentha berhiaskan cakra dalam proses diksa nanaknya.
Jadi gentha dengan hiasan Cakra bukan berarti sekte Waisnawa seperti yang dimaknai banyak orang awam.
jadi yang dipakai pada acara nike Gentha pusaka yang kuno.
kini sebagian besar pakem genta adalah dengan bulatan berjumlah 7 sebagai simbol Pinara Pitu. Tapi kalau dilihat dimasa lalu....tidak semua demikian. Artinya terjadi perobahan dari masa kemasa.
genta juga disebut representasi simbol 3.
Bagian bawah, gagang atau tangkai, dan hiasan diatasnya.
Bisa jadi berdasarkan nike maka dibuat gambar seperti di foto niki
Kalau dari lontar yang ada di Bali tyang belum pernah dapatkan. Referensi hanya tyang dengar dari penyampaian lisan.
Fungsi genta yang vital adalah juga memperbaiki kesalahan mantra.
Ada kisah Maharsi Narada disebut sempat salah dalam mengucapkan mantra. dari Rama menjadi Mara.
Kadang salah ucap bisa terjadi. Maka selain fungsi genta untuk melakukan pemanggilan...juga berfungsi mengkoreksi bila terjadi kesalahan ucap...karena genta tersebut terus melantunkan pranawa OM ketika dibunyikan.
di Sangkul Putih ada referensinya masalah siapa yang boleh memakai Bajra...mungkin maksudnya adalah Gentha.
Tapi tidak semua rohaniwan demikian memakai gentha. Hingga kini masih ada yang demikian (Tanpa Genta)....meski sesuai apa yang termuat di sangkul putih diperbolehkan. Dan tidak semua Pemangku berambut panjang. Ada juga yang pendek.

Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti

 


“Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti”
Mahawakya itu adalah penegas dan perekat sebagai pemahaman Advaita atau dalam bahasa arabnya adalah Tauhid (Jaman now kita banyak memakai istilah dalam bahasa arab saat ini misal: Adat (Desa Adat daripada Desa Pakraman), Nikah, Iman, dst,. Meski berusaha diluruskan yang usianya senior malah tidak peduli).
Secara garis besar saya dan anda semua saat ini adalah orang-orang yang telah meninggalkan Tuhan yang dipuja oleh leluhur tanpa terkecuali. Bila mahawakya Weda itu tidak dipakai atau ditiadakan.
Leluhur kita apapun statusnya dimasa lalu baik sebagai Sulinggih dan tidak, baik sebagai penguasa dan tidak. Akan memiliki istadewatanya masing-masing. Yang dipanggil adalah Nama Tuhannya tersebut yang diangungkan paling awal untuk perlindungan dan dalam berbagai hal.
Kakek buyut saya menyembah Istadewatanya yaitu Ida Bhatara Dalem Tungkub. Ida Bhatara Dalem Tungkub adalah sebenarnya sama dengan Dhanwantari. Beliau juga memperoleh anugrah “Manik ‘Gni” sehingga tak terbakar oleh api meski sekujur wajah dan rambutnya menyala oleh api yang dipakai wangsuh wajah tiap upacara.
Dengan memiliki Istadewata demikian maka ketika ia memarahi balian yang berlaku tidak sesuai dengan kewajibannya maka yang bersangkutan sama dengan menerima hukuman mati. Sehingga ada kejadian dimana keluarga kami diberikan segala pusaka yang merupakan pesan terakhir sebelum mangkat dari seorang Balian. Kegaiban sesabukannya bahkan ada dibuktikan bukan omong kosong oleh salah satu kerabat kami. Hanya saja kemudian satu persatu diminta kembali oleh pewaris dari Balian tersebut dan tidak dipersulit oleh keluarga kami untuk mengambilnya kembali.
Dalam satu keluarga kami bisa menyembah Istadewata berbeda dan itulah yang selalu disebut dan di panggil. Jadi bahkan saya sendiri memiliki Istadewata berbeda dengan Kakek Buyut saya tersebut meski disebut numadi yang sama dari leluhur yang pungkusannya (nama gelarnya) sama. Wajah saya sendiripun tidak sama persis dengan kakek buyut saya. Meski demikian visi saya adalah sama dengan beliau. Satu kitab lontar yang paling ditinggikan oleh beliau adalah Rajapeni yang telah kami simpan dengan baik.
Dari jaman ke jaman hal demikian tetap berlangsung dimana tiap umat Hindu di Bali tampak “terkonversi” menerima Tuhan lain meski masih berada didalam agama yang sama. Inilah uniknya tradisi Hindu dengan Istadewatanya. Orang luar bisa menilainya sebagai sektarian atau cult. Akan tetapi bagi kita yang ada didalamnya bahkan tidak memusingkan masalah klasifikasinya.
Tuhan yang Nirgunabrahma atau Impersonal disebut juga dengan berbagai nama sebutan yang paling populer adalah: Sang Hyang Embang, Sang Hyang Reka, Sang Hyang Acintya, Sang Hyang Taya, Sang Hyang Sangkan Paran, Sang Hyang Tan Aran, dst., Karena ada banyak nama maka Hindu dimanapun berada diklasifikasikan orang luar sebagai menyembah banyak Tuhan. Tuduhan apapun dari orang luar adalah tidak bisa kita cegah dan bahkan umat Hindu yang terkonversi menjadi Non-Hindu yang mustinya kita anggap mengerti pada akhirnya ikut menuding Hindu menyembah banyak Tuhan.

Uang Kepeng Cina pada Tradisi Hindu di Bali

 


Uang kepeng Cina berdasarkan uraian sebelumnya adalah sudah mendarah daging dan tak terpisahkan dari tradisi upakara ke-Agamaan di Bali. Meski posisinya bukan sebagai alat pembayaran yang sah saat ini. Tetap nilainya tak tergantikan dalam hal upakara di Bali.
Sehingga keberadaan uang kepeng pada tradisi yadnya di Bali adalah sebagai sesari atau bisa dipandang sebagai simbol intisari yang bermakna usaha melepas kemelekatan pada simbol kerakusan dengan obatnya “Dha” yaitu Dhana.
Dengan sebuah yadnya itu dilengkapi sesari maka semakin tinggilah kemuliaan dari yadnya tersebut. Saking pentingnya keberadaan Uang Kepeng yang juga bisa di maknai simbol Omkara dan oleh karena saking langkanya keberadaan uang kepeng Cina asli, sehingga versi serupa be-be’an (daging) akal-akalan para pegetarian (saya tidak habis pikir...udah pegetarian kok masih membuat bentuk makanan serupa be siap (daging ayam) sisit, mengapa kok tidak cukup be (daging) tempe saja?... ada berupa yaitu uang kepeng palsu dari seng ataupun uang kepeng pancadatu buatan lokal yang menyerupai Uang Kepeng Cina. Bagi saya pribadi hal demikian tidak masalah karena kita sudah melakukan penukaran dengan mata uang berlaku. Jadi nilainya tetap setara.
Walau demikian memang penyertaan Uang Kepeng Cina pada upakara tetap dipandang jauh lebih baik. Sehingga ada yang tetap mengusahakan untuk memperoleh Uang Kepeng Cina asli meski buatan lokal sudah ada dan materinya memakai campuran 5 logam dengan aksara Bali. Jadi masalah kepuasan dan rasa kemantapan itu ada di pemohon yadnya (Yajamana).
Seperti yang saya sebutkan pada bagian sebelumnya. Ada banyak upacara yang memerlukan keberadaan Uang Kepeng Cina. Misal pada upacara manusa yadnya pada: Banten Magedong-gedongan, Banten Mabayuh, Banten Otonan, Pawintenan di Bunga (Lontar Dharma Kahuripan), Ngelukat Bebotan, Banten Jejangan, Munggah Daha, Tegen-tegenan, dst.
Pada upacara kematian sendiri untuk di Bali, sudah barang tentu tidak akan mungkin untuk meniadakan keberadaan dari uang kepeng Cina ini. Sehingga ada namanya ukur kepeng yaitu uang kepeng yang dirangkai dengan benang putih satu persatu dan berbentuk menyerupai manusia. Ukur Kepeng ini kemudian dirajut (Majauman) dengan Kajang (Kain yang berisi rerajahan) sebagai simbol baju dari Sang Pitara yang dihaturkan oleh keturunannya dan dirajut oleh semua kerabat mendiang. Selain Ukur kepeng ada juga yang namanya Ukur Selaka dan Ukur emas.

Ngewacak

 


Setiap orang yang akan melaksanakan bayuh oton, biasanya oleh tetua-tetua dulu disuruh ngewacak sebelumnya.
Apakah itu ngewacak?
Ngewacak berasal dari bahasa bali wacak atau waca, yang dalam bahasa Indonesia "baca"
Jadi ngewacak artinya membaca kelahiran dari sang sane akan dibayuh oton.
Membaca kelahiran melalui sastra/lontar-lontar. Apa saja yang dibacakan/diwacak? Tentunya sifat-sifat baik dan buruk serta beberapa efek dari kelahirannya sesuai dg waktu kelahirannya.
Lalu untuk apa kita diwacak?
Diharapkan dengan kita mengetahui sifat-sifat kita masing-masing terutama sifat buruk maka kita bisa memperbaiki diri.
Leluhur kita sudah menemukan upacara "bayuh oton" sebagai salah satu cara menebus karma masa lalu. Namun leluhur-leluhur kita juga memahami bahwa upacara saja takkan mampu menebus sepenuhnya atas karma kita dimasa lalu karena tetap saja bagaimana nasib kehidupan kita berikutnya ditentukan oleh perbuatan kita sendiri.
Artinya walaupun seseorang sudah mebayuh dan ada perubahan didalam kehidupannya sesaat setelah mebayuh namun jika ia tak merubah sikap buruknya maka tetap saja hasil dari upacara bayuh oton itu akan sia-sia.
Jadi apakah perlu ngewacak sebelum mebayuh oton? Tentu saja perlu. Agar kita bisa mengetahui sifat baik dan buruk kita dikelahiran saat ini. Dengan mengetahui itu semua maka kita pun harus memiliki kesadaran untuk memperbaiki

Spiritual Upanishad

 


Angsa sebagai simbol Jiwa Mukti (Manunggal)
Atman adalah juga brahman yang immanent atau sebaliknya brahman adalah atman yang immanent. Wujud dan tanpa wujud dariNya...ibarat susu yang tercampur dengan air dan lumpur, itu tidak akan mungkin diketahui tanpa merealisasikan “nitya-anitya wastu wiweka” yaitu kemampuan untuk memilah antara yang “maya” dan “sunyata”. Hal tersebut adalah esensial bagi kalangan Adwaitin.
Angsa disebut mampu membedakan susu dari air dan lumpur. Kaum adwaitapun demikian, mereka dapat membedakan dengan jelas mana “maya” dan mana “sunyata”. Angsa mampu berada seharian di telaga tanpa membuat bulu-bulunya basah, bahkan selalu kering. Inilah juga simbol bagi adwaita supaya bisa hidup selalu dalam pemujaan dan biasa-biasa tanpa terpengaruh pasang surut keduniawian sehingga dengan demikian senantiasa bisa hidup berbahagia dan mengalami penyatuan.
Angsa atau Hamsa adalah variasi dari “So’ham”: aku adalah Ia, yang merupakan Kesadaran Sejati dan Realisasi Tertinggi. Dengan demikian angsa juga dipakai sebagai simbol Jiwa Mukti yaitu mencapai moksa sementara masih dalam badan manusia ketika hidup saat ini.

Tumpek Krulut

 


#Purnama Kelima#
#Tumpek Klurut merupakan pertemuan antara saptawara Saniscara (Sabtu) dengan panca wara Kliwon dan wuku Klurut. Dan jatuhnya setiap 6 bulan sekali atau setiap 210 hari sekali yang dirayakan oleh umat Hindu.
#Klurut berasal dari kata lulut yang secara harfiah memiliki arti Tresna, asih atau
kasih sayang.
#Dalam pelaksanaannya dimasyarakat, banyak yang menyebutnya dengan odalan gong dan perayaan dari
hari kasih sayang.
#Menurut dari teks Aji Gurnitha disebutkan bahwa, sebagai hari yang tepat untuk mengupacarai gambelan atau gong dan perangkat lain yang menghasilkan bunyi - bunyian.
#Tujuan dari perayaan hari Tumpek Klurut adalah agar semua perangkat atau sarana yang mengeluarkan suara yang berfungsi sebagai kelengkapan dalam upacara memiliki suara yang indah dan juga
memiliki taksu.
#Gambelan umumnya terdiri dari berbagai macam bentuk dan memiliki suara atau irama yang berbeda - beda, dan dimasyarakat lebih dikenal dengan sebutan gong.
#Dan pada upacara Tumpek Klurut ini kerap juga digunakan sebagai dasar pengingat agar manusia selalu bersikap baik dan memiliki rasa welas asih atau kasih sayang terhadap sesamanya.
#Gambelan atau gong itu terdiri dari banyak instrumen, bentuk yang berbeda, suara, namun ketika semua itu dipadukan akan dapat menghasilkan suatu suara melodi
yang sangat indah.
#Tumpek Klurut juga merupakan salah satu cara umat Hindu untuk menghormati dan juga memuja Dewa Iswara,
sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan
Yang Maha Esa yang telah menciptakan suara - suara suci atau tabuh yang sangat indah dan seni.
#Nada suara atau titilaras dari gambelan Bali itu yang terdiri dari nada ndang, nding, ndung, ndeng, ndong dan suara ini juga merupakan perwujudan dari Panca Brahma sang, bang, tang, ang, ing. Nada suara itu juga merupakan perwujudan dari Bhatara Iswara, Brahma, Maha Dewa, Wisnu, dan Siwa.
#Dan semua umat juga meyakini bahwa suara merdu dan indah yang
ditabuh atau dimainkan dengan rasa kasih dan sayang itu adalah merupakan presentasi dari Dewa Iswara.
#Adapun banten yang umum dipersembahkan pada saat hari Tumpek Klurut itu yaitu berupa ; banten peras, ajuman, tigasan, pejati, dananan, pesucian, tipat sirikan, tipat gong, segehan panca warna dsb dan disesuaikan juga dengan kemampuan serta kesepakatan dari desa, kala dan patra
dimasing - masing tempat tinggal umat.
#Gambelan atau gong dapat kita jadikan sebuah contoh didalam kehidupan sehari - hari bahwa setiap orang mempunyai perananya masing - masing untuk saling melengkapi antara satu dengan yang lainya.
#Perbedaan itu apabila disatukan akan menjadi sesuatu yang indah karena dapat saling melengkapi antara satu dengan lainya dan perbedaan itu bukan dijadikan sebagai alat untuk pemecah belah.
#Purnama Kelima#
#Purnama dalam bahasa sanskertanya disebut dengan Kartika, dan Purnama merupakan hari yang sangat baik untuk melakukan ritual ataupun upacara keagamaan atau
yang disebut dengan
sube dewasa.
(hari yang baik).
#Sehingga dikalangan umat banyak dipakai sebagai tegak atau patokan untuk puja wali atau odalan di pura, merajan serta
ditempat suci lainnya.
#Hari suci Purnama dan hari suci Tilem juga merupakan bagian dari Naimitika Yadnya atau ritual yang dilakukan pada waktu dan hari - hari tertentu.
#Hari suci Purnama itu dirayakan oleh umat Hindu yang perhitunganya berdasarkan pada sasih atau bulan,
dan dirayakan setiap 30 hari sekali atau setiap 29 hari sekali.
#Pada hari suci Purnama atau bulan dalam keadaan penuh (sempurna) oleh umat disebut dengan istilah sukla paksa, yang merupakan harinya Sang Hyang Ratih atau Dewi Candra untuk melakukan yoganya guna membersihkan segala bentuk mala dan juga menyucikan alam beserta isinya.
#Sedangkan pada saat malam bulan mati atau langit gelap dan oleh umat disebut dengan kresna paksa, merupakan harinya
dari Dewa Surya
untuk melakukan
yoga dan semadinya.
#Purnama dan Tilem juga merupakan manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut juga denga Sang Hyang Rwa Bhineda.
#Pada saat hari suci Purnama dan hari suci Tilem para sulinggih, pinandita dan semua umat patut melakukan penyucian diri lahir batin, dan juga membangun atau menanamkan dirinya
dengan sifat - sifat kedewataan.
#Pada saat Purnama Kelima juga bertepatan dengan hari Kliwon, yang merupakan harinya Dewa Siwa untuk melaksanakan yoga dan semadhinya untuk keselamatan dunia beserta isinya.
#Pada umumnya umat mempersembahkan banten dimerajan, dikahyangan tiga serta tempat suci lainnya berupa canang,
wangi - wangian, puspa
harum dsb dan juga memohon Tirta atau air suci pembersihan juga menghaturkan nasi kepelan putih dinatar merajan, natar pekarangan dan lebuh atau pintu keluar masuk pekarangan rumah, serta pada malam harinya juga melakukan perenungan suci atau semadhi.
(Kutipan Sundarigama)
#Siapapun yang sujud kepada Ku dengan persembahan setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah - buahan dan seteguk air akan
Aku terima sebagai bakti persembahan
dari orang yang
berhati suci.
(Bhagawad Gita IX.26)
#Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kebenaran, jiwa dibersihkan dengan pengetahuan atau
pelajaran suci dan tapa berata, kecerdasan dengan kebijaksanaan yang benar.
(Manava Dharma Sastra V.109)