Senin, 11 Juli 2022

KEAMPUHAN DAN KEKUATAN MANTRAM PANCA AKSARA OM NAMA SIWA YA

 


*Om Nama Siwa ya* adalah mantram Panca Aksara, yaitu Dewa Siwa sebagai Dewata yang menguasai kelima arah mata angin.
*Aksara suci* :
*Na* : Siwa Maheswara di Tenggara.
*Ma* : Siwa Rudra di Barat Daya.
*Si* : Siwa Sengkara di Barat Laut.
*Wa* : Siwa Sambhu di Timur Laut.
*Ya* : Siwa Isana di Tengah.
Panca aksara juga mengandung lima kekuatan unsur Panca Maha Bhuta, yaitu:
*Na* adalah unsur pertiwi/padat.
*Ma* adalah unsur air.
*Si* adalah unsur api.
*Wa* adalah unsur udara/angin.
*Ya* adalah unsur ether.
Panca aksara juga mengatur Panca Maya Kosha dari lapisan badan kita, yaitu:
*Na* terkait pada badan fisik [ana maya kosha].
*Ma* terkait pada badan prana [prana maya kosha].
*Si* terkait pada badan pikiran [mano maya kosha].
*Wa* terkait pada badan kebijakan [vijnana maya kosha].
*Ya* terkait pada badan kesadaran [ananda maya kosha].
Sedangkan " *Om* " adalah penguasa alam Bhuwana Agung, di alam Bhuwana Alit adalah Atman.
Keselarasan Alam Bhuwana Agung dengan Alam Bhuwana Alit yaitu:
*Na* berarti karunia Beliau.
*Ma* berarti alam semesta.
*Si* adalah Siwa.
*Wa* mengungkap rahasia karuniaNya.
*Ya* adalah Atman.
Saat kita mengucapkan " *Om Nama Siwa ya* " , kita sesungguhnya sedang melakukan upaya mengakses energi mahasuci kesadaran kosmik Dewa Siwa.
Kesadaran kosmik adalah keadaan ketika kesadaran Atman menjadi stabil dan kesadaran mengamati hadir sepanjang waktu dalam kondisi terbangun, bermimpi, dan tertidur.
Ketekunan kita mengucapkan mantram panca Aksara " *Om Nama Siwa ya* " akan memberi manfaat yang luar biasa bagi penekun spiritual.
Jika " *Om Nama Siwa ya* " ini dijapakan setiap hari 10 x putaran aksamala, maka mampu mengetahui rahasia alam gaib.
Juga membuat pikiran kita lebih murni dan memiliki tingkat kesadaran secara niskala akan lebih tinggi.
Mendamaikan hati, memberi ketenangan pikiran, dan mampu mengeluarkan energi negatif yang ada di dalam diri kita.
Membersihkan lingkungan rumah dari pengaruh energi buruk.
Menjapakan " *Om Nama Siwa ya* " menghasilkan pola getaran energi suci untuk menetralisir pengaruh energi buruk di sekitar kita.
Memberikan perlindungan dari segala kekuatan ilmu hitam dan kekuatan-kekuatan roh jahat.
Dengan tekun dan pikiran terfokus akan dapat menyentuh hati dan menggugah Dewa Siwa secara langsung, sehingga Beliau berkenan hadir menampakkan diri ( *Darsan* ) kepada pemujaNya.
Cahayanya akan membantu menerangi dan membebaskan kita dari kegelapan ( *Avidya* ).
Mantram ini juga menumbuhkan sifat welas asih dan kebijaksanaan, dengan semakin berkembangnya sifat-sifat Satwika di dalam diri kita.
Seseorang yang tekun dan disiplin berjapa " *Om Nama Siwa ya* " biasanya mampu mengendalikan dengan baik panca indrianya, sehingga mampu memiliki kepekaan terhadap hal-hal gaib, terbukanya mata ke-tiga ( *trinetra* ), atau akan mendapatkan karunia mengunjungi Alam para Dewa untuk mendapatkan ajaran rahasia Beliau.
Dengan tekun dan pikiran terfokus, sewaktu meninggal dunia, Dewa Siwa akan muncul untuk menjemput kita ke Alam Siwa Loka.
Mantram ini juga dapat mengembalikan semua *tulah* dari kutukan dan mantram lainnya yang berusaha melukai kita, semua hal berupa rintangan yang tidak baik akan dikembalikan kepada asalnya (pemiliknya)

Niki isuh - isuh ala gianyar.

 


Terdiri dari 4 ceper yg isinya :
1. Encakan don dadap, kunyit,
beras ( tepung tawar ).
2. Don temen yg diiris tipis
campur beras kuning.
3. Encakan don kayu tulak,
kayu sisih, kunyit, beras.
Dilengkapi base tulak, 1
butir telor ayam mentah
dan 2 jinah bolong.
4. Beras yg dilengkapi irisan
bunga jepun dan irisan
base ( sesarik ) serta
benang tetebusan.
Isuh - isuh juga dilengkapi dgn pebuu dan canang 1 pasang.

Sang Hyang Tapini

 


Siapa beliau Sang Hyang Tapini?
Siapa pengiring Ida?
Beliau tiada lain ida hyang dewi uma, yg mamurti ke dunia medados sang hyang tapini sebagai penyiwi sang Tukang banten. Beliau Di'iring 3 dewi
Diantaranya : dewi pradnya, Dewi kedep, lan dewi wastu
Maka Dari itu ketika may metanding banten, sepatutnya menghaturkan daksina pejati, Dan rututnya soda rayunan 3 tanding yg disuguhkan kepada tiga dewi pengiring beliau.
Dan disor katur segehan 3 tanding.
Segehan Barak, putih lan hitam.
Segehan Barak (merah) katur ring bhuta kencak, segehan putih ring bhuta suadnya, segehan Hitam ring bhuta pencak.
Adapun piteket sang betari uma "ayuwa sira sang tukang angawu ngawu, angapus ngapusi tetandingan, amunjuk lungsur angurang ngurangi.
Sampunang Pisan anggan i dewane ngelebih lebihin,ngirangin sampunang ngapus daging wali banten.
"Tan manut ri warah mami sang betari tapeni tumungguh ring mpu lutuk"
Klau anda melakukan hal itu, apa akibatnya?
"apan sasat angga wuhi raga Sarira"
Tidak ubahnya unsur unsur tubuh kita yg dikurangi ataupun ditambah sudah pasti dikatakan cacat.
"ala dahat Pala tinemu nia ring kepatian "
"luwih papa nerakanta kedanda de hyang yama Bala, dumadi rikewekasan menadi salah rupa"
Klau anda tidak mengikuti petiket betari hyang tapeni anda akan masuk neraka Dan dihukum oleh hyang yama dipati.
"wetu mala katuna luwih ring Sarira,
Mangkana temahang nia"
Ada lahir cacat ada lahir lebih ring angga sarira i Tukang banten.

Saptabhangi

 


Berani memastikan atas segala hal yang tidak diketahui pasti pada ranah keyakinan adalah sumber penyakit perpecahan, pertengkaran, kebencian, kecemburuan, dst.
Kaum Jaina di Hindu memiliki 7 penilaian pembeda.
1. Syat Asti: Sepertinya ada
2. Syat Nasti: Sepertinya tidak
3. Syat Asti Ca Syat Nasti Ca: Sepertinya ada dan tidak
4. Syat Awaktawyam: Sepertinya tak terlukiskan
5. Syat Asti Ca Awaktawyam Ca: Sepertinya ada dan tak terlukiskan
6. Syat Nasti Ca Awaktawyam Ca: Agaknya tidak dan takterlukiskan
7. Syat Asti Ca Nasti Ca Awaktawyam Ca: Agaknya ada dan tidak serta tak terlukiskan
Apa yang disampaikan diatas adalah bersumber di Rig Weda. Swami Wiwekananda juga menyebutkan bunyi terjemahan salah satu sloka tersebut pada Parlemen Pertemuan Delegasi Lintas Agama dì Chicago USA.
Inilah alasan mengapa di Hindu Nihil konflik sektarian. Sebab Hindu mengerti bahwa dalam membicarakan ranah Dharma kita semua layaknya sekelompok orang buta yang hendak melukiskan gajah yang sama berdasarkan hasil rabaan kita masing-masing.

Maka tidak salah bila
Astika dan Nastika adalah sebenarnya sama.
Theism dan Atheism ada dalam satu perahu yang sama bernama KEYAKINAN yang sedang mengarungi samudra Kebenaran (Dharma).
Agus Wirawan Sudewa R
A set of belief system

Mencapai Sunyata

 


Apakah yang dimaksud Sunyata itu?
Adaptasi dari penjelasan oleh IB. Agastia (2008) bahwa Dhang Hyang Kamalanatha dalam dua karyanya yaitu Dharma Sunya dan Dharma Putus menekankan bahwa sunya adalah merupakan Kesadaran Sejati yang dihasilkan ketika telah bersatunya dengan Paramasiwa.
Dengan kata lain Sunya adalah kesadaran Paramasiwa dan itu adalah Chidakasa (Penjelasan Maharsi Wasista kepada Sri Rama dalam Yoga Wasista Maharamayana (Bhagawad Gita)). Inilah kesadaran Tulen yang harus dicapai segenap Umat Hindu.

Trisadaka dengan berbagai tafsir

 


Usaha berpolemik kembali mengenai Sadaka yang maknanya sudah final ada baiknya menekankan pada ulasan dibawah ini daripada merobah tatanan konsep yang sudah lumrah kita terima beratus-ratus tahun mengenai Trisadaka dengan berbagai tafsir jaman now.
Apramāda ngaranya tan palêh palêha, pong-pongên ikang urip sādhana ning magawaya yogasamādhi, hawya hinêlem-hêlêm, gawayakena tekang sādhana.
Sādhana ngaranya makamārga daçaçila, umangunakên ikang yoga, yatika ummungguh lawan inung gwan ngaranya. Ika ta sang prayatna gumawayakên ikang rwaçila, lawan jnāna, yatika tan pramada ngaranya.
Yang bernama apramāda, ialah tidak segan-segan menggunakan hidup itu sebagai Sadhana guna melakukan yoga dan samadhi. Janganlah mengundur-undur melakukan Sadhana itu. Sadhana namanya, jalan melakukan yoga dengan berdasarkan Dasasila (sepuluh bagian dari Yama dan Niyama Brata), yang menegakkan yoga itu, itulah yang disebut bertempat dan ditempati. Orang yang melakukan dengan cermat kedua itu, kesusilaan (çila) dan kebijaksanaan (jnana), ia disebut tidak mengabaikan kewajiban (pramāda).
-Kutipan Wrhaspati Tattwa oleh I.B.O. Puniyatmadja, th 1976-
Jadi yang bisa disebut Sadaka adalah ia yang telah menjalankan proses hidup Sadhana sehingga disebut Sadaka. Sehingga ini menjadi watak seorang Wiku yang menghargai ajaran Guru/Nabe-nya dan secara cermat menjalani Sila serta memiliki Kebijaksanaan yang melebihi orang biasa. Inilah yang menyebabkan banyak orang yang memiliki silsilah untuk menjadi sadaka memilih absen karena merasa tidak siap melakukan sadhana karena disana dituntut “perfect” atau sempurna. Oleh karena akan menjadi panutan orang luas.
Adalah solusi bebas polemik dengan adanya Sarwa Sadaka dan juga pemekaran ke Punduk Dawa. Jadi memang ada hal-hal yang tidak bisa kita kritisi seenaknya karena menyangkut sebuah kebiasaan atau dresta yang telah diterima beratus-ratus tahun. Jangan karena alasan era modern dan demokrasi kedepan juga konsep misal Kabayan (Orang Suci Agung yang diangkat dari garis silsilah tertentu) atau yang serupa dengan itu juga hendak dibicarakan ulang. Ada banyak hal demikian di Bali. Maka itu hendaknya tidak diutak-atik.

Maharsi Vararuci (Wararuci)

 


Maharsi Vararuci (Wararuci) adalah seorang Maharsi kelahiran India Selatan atau tepatnya Kerala (Malabar Coast-India). Beliau diperkirakan hidup pada tahun 300 SM. Ada banyak karya sastra Beliau diluar bidang kerohanian. Akan tetapi yang terkenal dari Beliau adalah Niruktasamuccaya atau juga dikenal dengan Vararuci Samuccaya atau Sarasamuccaya.
Pengaruh ajaran Beliau sampai ke Nusantara adalah kemungkinan besar melalui jembatan penguasa yang bermarga Varma yang aslinya dari Kalinga (India Selatan) yang merupakan golongan Brahmana-Ksatria. Raja Bali sendiri yang terkenal yaitu Udayana adalah berasal dari marga Varma (nama Udayana sebenarnya nama terkait sinar yaitu artinya: Rising : terbit : muncul: merekah).
Pengaruh-pengaruh Kalinga bisa dilihat di Bali adalah mengenai kata-kata berunsur Cinta sebagai nama kota ataupun kerajaan misal nama daerah Cintamani artinya Kasih Brahma. Kemudian Medang Kemulan sendiri artinya Cinta kepada asal (Brahma). Kemudian selanjutnya di Bali juga oleh keturunan Varma selanjutnya ibu kota kerajaan dinamakan Semarapura yang artinya juga kota kasih (cinta).
Sumber pemaparan adalah juga berasal dari buku Dr. I Gst Putu Phalgunadi dan juga hasil diskusi dengan brother Mishra seorang Brahmana yang menekuni ritual dan spiritual yang berasal dari Varanasi yang juga adalah kota dimana Sang Budha di kremasi.