Senin, 11 Juli 2022

Dewa (Dev)-Deus-Deo

 


Kata Tuhan dari bahasa Melayu adalah berakar dari kata Tuan. Kata Tuan atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Lord. Sehingga kata “Oh my Lord” diterjemahkan “Oh Tuhanku” dan dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) penyebutan Lord itu adalah Gusti. Manusia dari jaman dahulu hingga saat ini tidak akan pernah mempunyai ide yang sama dalam menjelaskan mengenai Tuhan yang dimaksud. Segala usaha manusia dalam mejelaskan dan mengerti tentang Tuhan sangat beragam. Sebab mereka dibekali sifat alam material yang beragam atau dwaita. Karena inilah disebutkan pola pikir dan sudut pandang tiap individu manusia itu sangat beragam atau bhinneka. Sehingga kecocokan tiap manusia juga tidak akan persis bisa sama untuk kesuluruhan, meski mereka saudara kembar sekalipun.
Sehingga disiplin ilmu mengenai manusia atau antropologi dan masalah psikologinya sebenarnya adalah sebuah ilmu yang mencoba mengurai dan mengklasifikasi hal yang sebenarnya tak terpikirkan dari fenomena manusia dan kompleksnya system sosialnya. Dhang Hyang Dwijendra sendiri juga membuatkan symbol untuk menggambarkan Tuhan yang Acintya. Sehingga hal yang acintyapun juga bisa dimaknai sangat beragam dan tentunya juga di masing-masing individu yang menyimak hal ini juga pasti mereka akan memiliki berbagai ide yang bisa digunakan dalam menjelaskan Acintya.
Maka disinilah kita diajarkan untuk mampu melihat sama dan tunggal (menyamakan persepsi) pada segala hal yang tampak berbeda dan bertentangan. Semboyan persatuan Bangsa Indonesia sendiripun berasal dari catatan naskah Sutasoma dimana Sang Mpu penyusunnya menyadari bahwa Hindu senantiasa menilai perbedaan pemahaman akan Dharma itu dalam kacamata seimbang “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Selain dari hal itu maka akan menyebabkan perselisihan tanpa akhir yang sebenarnya sangat konyol.
Rig Weda 8.58.2 menyatakan “Lihatlah Keekaan dalam kebhinekaan; lihatlah Wujud Tunggal Ilahi di balik wujud-wujud yang tampak berbeda” pada dasarnya penjelasan tentang adanya keragaman dalam keyakinan adalah juga bisa dijawab sloka ini. Jadi semua hal terlihat terbagi-bagi oleh kita padahal itu semua adalah tunggal adanya seperti yang juga tersirat di Bhagawad Gita 13.16.
Tradisi untuk berbeda pandangan
Di dalam Hindu kita memiliki tradisi untuk berbeda pandangan. Kita semua tidak mungkin memiliki pandangan yang sama atas segala konsep. Apa yang penulis paparkan disini sudah barang tentu bisa diperdebatkan dengan pandangan yang berbeda meski demikian sudah pasti apa yang penulis paparkan bisa diambil sebagai inspirasi untuk membentuk pandangan atau ide sendiri.
“Nana Matam Maharsinam Sadhunam Yoginam Tatha”
Para Maharsi, Orang Suci dan Yogi sekalipun melalui proses perbedaan pendapat atau perdebatan
-Astawakra Gita 9.5-
Karena kita berada pada dunia yang terikat hukum dwaita yang pasti berlaku maka untuk memiliki pemikiran dan pandangan yang berbeda atas satu konsep yang sama adalah sangat wajar. Wrshaspati Tattwa menyebut mengenai sekolompok orang buta yang meraba Gajah, hal ini tentu adalah suatu pengingat bagi kita yaitu sebagai para pencari kebenaran (Dharma) supaya tidak mengedepankan Ego yang malah akan menjerumuskan kita pada pertengkaran dan bukan kepada pencerahan atau untuk menuai inspirasi dari perbedaan pendapat yang muncul dari hasil rabaan kita atas kebenaran yang sama. Sebuah gunung yang sama sangat umum terlihat terletak pada posisi berbeda-beda dari posisi masing-masing kelompok pendaki yang datang memulai dari arah berbeda.
Ajaran Hindu mengajarkan kita untuk memandang golongan yang memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda sebagai Maitrah yang artinya Mitra, Rekan, Kerabat, Kawan, Sahabat, dan Saudara bukan sebagai musuh ataupun sebagai orang kafir.
“Wahai Tuhan yang Maha Agung, berkahilah kita supaya selalu dipandang sebagai mitra, dan kitapun memandang semua sebagai mitra; semoga senantiasa terjalin hubungan harmonis Antara kita semua!”
-Yayur Weda 36.18-
“Ia satu adanya… Semua jalan menuju padaNya; Ia tunggal adanya.”
-Sama Weda Soma Pavana 372-Rig Weda 9.62.27-
“Bagaimanapun perjalan manusia mendekatiKu, Aku terima, wahai Arjuna. Manusia mengikuti jalanKu dalam segala jalan.”
-Bhagawad Gita 4.11-
“Aku adalah sama bagi semua mahluk; bagiKu tiada yang terbenci dan terkasihi; tetapi mereka yang berbakti kepadaKu dengan penuh pengabdian, mereka ada padaKu dan Aku ada pada mereka.”
-Bhagawad Gita 9.29-
“Hendaknya hati kita dalam kesetaraan dan persatuan.”
-Rig Weda 10.191.4-
“Berkaryalah demi kejayaan bangsa dan sesama anak bangsa,Walaupun mereka berbeda Bahasa. Hormatilah kepercayaan dan harapan mereka semua secara sebanding.”
-Atharwa Weda 12.1.45-
“Perlakukan orang lain sebagaimana kamu memperlakukan diri sendiri. Semua adalah percikan dari sang Jiwa Agung yang satu dan sama.”
-Yayur 40.6-
Juga berdasarkan sloka tersebut kita bisa mengetahui dengan jelas bagaimana pandangan kita sebagai Hindu menyingkapi keyakinan lain dan atau orang lain yang berbeda pandangan ataupun tradisi atau budaya. Hindu menyadari keragaman adalah nafas penciptaan sehingga nilai-nilai dorongan kesadaran untuk bersatu dalam keragaman hanya bisa ditemukan atau berasal dari Hindu. Hindu sebagai sebuah kelompok para pencari tidak bertujuan mengkonversi keyakinan orang, bahkan istilah konversi dan murtad oleh karena keluar dari kelompok Hindu tidak pernah disebut, mereka yang merasa dirinya sebagai orang yang sedang berusaha mencari kebenaran akan tiba dan datang dengan sendirinya kepada pelukan Hindu. Selain itu adalah tidak wajar bila seorang ibu mengadopsi anak kandungnya kembali. Oleh karenanya di Hindu tidak ada doktrin mengkonversi orang sebanyak-banyaknya.
“Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”
-Sutasoma 139.5-
Hanya ada satu yang bisa disebut sebagai ambisi dalam Hindu yaitu “Hidup Dalam Berkesadaran Sang Diri Utama atau Narayana” dalam kata lain adalah mampu untuk melihat sama atas segala hal sebagaimana makna dari sebutan manusia yaitu untuk mampu senantiasa menyadari persamaan atau untuk memiliki sifat manusiawi. Disinilah pentingnya untuk kita mengatahui bahwa segala keyakinan ini ada dalam satu perahu yang sama. Maka hendaknya adanya perbedaan pandangan itu bukan dijadikan bahan olok-olokan atau perselisihan (pertengkaran). Kita harus mampu berusaha untuk menyatukan persepsi kita yang bhinneka ini.
A.W. Sudewa Rendi
Vajrapani

SETIAP ORANG ADALAH SUDRA SEJAK LAHIR

 


viprad dvi-sad-guna-yutad aravinda-nabha-
padaravinda-vimukhat svapacam varistham
manye tad-arpita-mano-vacanehitartha-
pranam punati sa-kulam na tu bhurimanah
Jadi vipra berarti orang yang sepenuhnya menguasai pengetahuan Veda. Dia disebut vipra. Untuk peningkatan spiritual ada tahapan evolusi bertahap. Jadi tahap vipra adalah sebelum menjadi brahmana yang berkualitas. Itu disebut vipra. Tahap pertama, sejak lahir setiap orang adalah sudra. Sudra artinya terpengaruh oleh kesengsaraan dunia ini. Dia sudra. Socati. Kondisi materialnya penuh dengan kegelisahan, maka siapapun yang penuh kecemasan, dia sudra. Jadi jika Anda menganalisis masyarakat saat ini, yang bukan kecemasan, penuh kecemasan, oh, tidak ada yang akan mengatakan bahwa "Saya tidak penuh kecemasan." "Saya memiliki begitu banyak kecemasan." Jadi itu artinya dia adalah seorang sudra. Kalau sudra-sambhavah : "Di zaman ini, semua orang terlahir sudra ." Itu sudah bisa dipastikan.
Seorang brahmana tidak takut . Dia tidak cemas karena dia bergantung pada Tuhan. Dia tahu bahwa "Aku telah berserah sepenuhnya kepada Tuhan, dan Dia Mahakuasa. Oleh karena itu aku tidak memiliki kecemasan."
Jadi untuk mencapai platform keyakinan atau kesadaran Krishna (Tuhan), ada pelatihan. Pelatihan itu disebut viddhi-marga , prinsip pengaturan, mengikuti prinsip pengaturan. Jadi keseluruhan sistem varnasrama ini, sistem Weda, kasta yang berbeda - brahmana , ksatriya , vaisya , sudra , seorang brahmacari, grhastha, vanaprastha, sannyasa - semuanya dirancang dengan sangat ilmiah untuk mengangkat seseorang secara bertahap ke standar "tidak ada rasa takut", "rasa ketidak takutan", "tidak ada lagi rasa takut, percaya diri. Jadi vipra hanya berarti tahap sebelumnya dari menjadi seorang brahmana sepenuhnya.
Janmana jayate sudrah: "Saat lahir, setiap orang dilahirkan sebagai seorang sudra ." Samskarad bhaved dvijah: "Ketika dia pergi ke guru spiritual dan guru spiritual menginisiasinya, pada saat itu lah kelahiran keduanya, dvija." Dvija. Burung disebut juga dvija karena mereka melahirkan dua kali .
Begitu mereka datang sebagai telur, bentuk lahir di dalam telur, dan kemudian, ketika mereka keluar dari telur dan cangkangnya, memecahkan cangkang dan keluar, itulah kehidupan nyata. Demikian pula, kita berada di dalam telur, di dalam cangkang ketidaktahuan. Jadi ketika kita keluar dari cangkang ketidaktahuan, itulah kelahiran kedua kita. Kelahiran pertama oleh ayah dan ibu, dan kelahiran kedua oleh guru spiritual dan pengetahuan Veda . Ada juga ibu. Pengetahuan Veda adalah ibu, dan guru spiritual adalah ayahnya. Jadi samskarad bhaved dvijah .
Guru spiritual melatih siswa secara bertahap, itu disebut inisiasi (dvijati). Janmana jayate sudrah : "Dengan lahir dari ayah dan ibu, setiap orang adalah sudra ." Tidak peduli dimana dia dilahirkan, bukan hanya di India saja mereka adalah brahmana, ksatriya, vaisya, sudra. Dimana mana. Ada sepuluh jenis samskara, asrama pendidikan. Sistem Weda ini adalah sistem yang sangat ilmiah untuk mengangkat umat manusia menuju kesempurnaan tertinggi dalam hidup.
Jadi samskarad bhaved dvijah . Kemudian, ketika samskara diberikan, guru spiritual melihat bahwa " Anak laki-laki ini sekarang kompeten untuk mempelajari Veda…" Itu membutuhkan sebuah kualifikasi. Seorang sudra tidak diperbolehkan mempelajari Weda. Ada batasan. Terkadang mereka berpikir ketidakadilan, bahwa "Mengapa sudra tidak boleh bla bla... ?" Itu adalah konvensi modern. Sebenarnya itu sangat bagus. Apa seorang sudra bisa memahami Veda? Bagi para sudra, jenis ilmu pengetahuan yang berbeda… Sama seperti hal yang sama, bahwa dua tambah dua di kelas bawah berbeda dengan dua tambah dua di matematika yang lebih tinggi. Jadi sudra tidak bisa mengerti.
Jadi seseorang harus menjadi brahmana, vipra setidaknya, dvija, kelahiran dua kali melalui inisiasi. Kemudian dia diizinkan untuk belajar. Kemudian dia akan dapat memahami bahasa… Bukan ketidakadilan bahwa sudra bukanlah… Sama seperti… Sistem di negara kita, di Indonesia, orang yang bukan lulusan, dia tidak diizinkan untuk mempelajari hukum. Kalau ada yang mau kuliah hukum, mau masuk fakultas hukum harus lulusan dulu, minimal SMA. Kalau tidak, tidak bisa. Jadi jika seseorang berkata, "Ini ketidakadilan," mengapa? "Setiap orang harus lulus tahapan terlebih dahulu."
Semua orang tidak bisa mengerti. Demikian pula, tanpa diinisiasi oleh guru spiritual yang tepat, tidak ada yang bisa mengerti. Veda tidak seperti itu: Anda membeli sebuah buku, Bhagavad-gita atau Bhagavata, dan belajar di rumah, dan Anda belajar. Oh, tidak mungkin hanya dengan membeli beberapa buku kedokteran dan belajar di rumah anda tidak bisa menjadi seorang dokter, tenaga medis. Itu tidak mungkin. Anda juga tidak bisa menjadi pengacara. Buku-buku tersebut tersedia di pasar, tetapi bukan itu prosesnya. Anda harus masuk sendiri di sebuah institusi, mengambil pelajaran dari profesor, harus menghadiri kelas kuliah, setidaknya tujuh puluh lima persen. Kemudian Anda diizinkan untuk duduk dalam ujian.
Jadi prosesnya bertahap… Kelahiran pertama adalah sudra, siapapun. Tidak masalah. Bahkan jika dia terlahir dari seorang ayah brahmana , dia dianggap seorang sudra. Jadi, dengan inisiasi, dia menjadi dvija, kelahiran kedua. Kemudian dia diizinkan untuk mempelajari literatur Veda, dan ketika dia fasih dengan studi literatur Veda, dia disebut vipra. Dan ketika seseorang telah menjadi vipra - karena itu hanyalah tahap sebelumnya dari menjadi seorang brahmana - ia memperoleh dua belas jenis kualitas. Satya-sama-dama-titiksa. Kualitas pertama adalah kejujuran. Kualitas kedua adalah mengendalikan indera. Mengontrol pikiran. Sama-dama-titiksa, menjadi sangat toleran; arjava , sangat sederhana; penuh pengetahuan; penuh dengan teisme; begitu banyak kualitas . Kualitas ini disebutkan. Jadi di sini Prahlada Maharaja berkata, viprad dvi-sad-guna-yutat . Ketika seseorang adalah vipra , itu berarti dia telah mendapatkan semua kualitas baik, kualitas material yang baik. Dia jujur. Dia fasih dengan ilmu agama. Dia tahu apa itu Tuhan, apakah Brahman itu. Dia mengendalikan diri. Dia tidak sensual. Begitu banyak kualitas bagus.

Pengertian MEDWIJATI menurut sastra.

 


Pengertian MEDWIJATI menurut sastra. Agar bisa menjadi DWIJATAMA perlu pelatihan-pelatihan.
Vipra berarti orang yang sepenuhnya menguasai pengetahuan Veda.
Yi sebelum menjadi brahmana yang berkualitas.
Tahap pertama, sejak lahir setiap orang adalah sudra, artinya terpengaruh oleh kesengsaraan dunia ini. Dia sudra. Socati.
Pelatihan itu disebut viddhi-marga , prinsip pengaturan.
Jadi keseluruhan sistem varnasrama ini, sistem Veda.
Kasta brahmana , ksatriya , vaisya , sudra , seorang brahmacari, grhastha, vanaprastha, sannyasa - semuanya dirancang dengan sangat ilmiah untuk mengangkat seseorang secara bertahap ke standar "tidak ada rasa takut" tapi percaya diri.
Jadi vipra hanya berarti tahap sebelumnya dari menjadi seorang brahmana sepenuhnya.
Janmana jayate sudrah: "Saat lahir, setiap orang dilahirkan sebagai seorang sudra ."
Samskarad bhaved dvijah: "Ketika dia pergi ke guru spiritual dan guru spiritual menginisiasinya, pada saat itu lah kelahiran keduanya, dvija." Dvija.
Seperti burung, lahir di dalam telur kemudian keluar dr cangkangnya, itulah kehidupan nyata. Demikian pula, kita berada di dalam cangkang ketidaktahuan.
Kelahiran pertama oleh ayah dan ibu (Veda), dan kelahiran kedua oleh ayah (guru spiritual).
Jadi samskarad bhaved dvijah .
Guru spiritual melatih siswa secara bertahap, itu disebut inisiasi (dvijati). Janmana jayate sudrah : "Dengan lahir dari ayah dan ibu, setiap orang adalah sudra ."
Seorang sudra tidak diperbolehkan mempelajari Weda.
Ada batasan. Terkadang mereka berpikir ketidakadilan.
Mengapa? "Setiap orang harus lulus tahapan2 terlebih dahulu."
Dengan inisiasi, dr guru spiritual dia menjadi dvija, kelahiran kedua. Kemudian dia diizinkan untuk mempelajari literatur Veda, dan ketika dia fasih dengan studi literatur Veda, dia disebut vipra.
Ketika seseorang telah menjadi vipra, ia memperoleh dua belas jenis kualitas. Satya-sama-dama-titiksa. Kualitas pertama adalah kejujuran, mengendalikan indera. Mengontrol pikiran. Sama-dama-titiksa, menjadi sangat toleran; arjava , sangat sederhana; penuh pengetahuan; penuh dengan teisme;
Jadi di sini Prahlada Maharaja berkata, viprad dvi-sad-guna-yutat . Ketika seseorang adalah vipra , itu berarti dia telah mendapatkan semua kualitas baik, kualitas material yang baik. Dia jujur. Dia fasih dengan ilmu agama. Dia tahu apa itu Tuhan, apakah Brahman itu. Dia mengendalikan diri. Dia tidak sensual. Begitu banyak kualitas bagus.

RISHI MENCOBA MEMAHAMI VEDA

 


Hiduplah seorang Bijaksana bernama Bharadvaja resi (Ayah dari Dronacarya).
Beliau memiliki keinginan yang kuat untuk menguasai pengetahuan Veda.
Tapi Dia tahu bahwa dia bisa hidup hanya untuk maksimal seratus tahun.
Jadi dia melakukan banyak pertapa'an untuk menyenangkan Dewa Indra.
Dewa Indra pun muncul di hadapannya dan sang resi meminta kepada dewa Indra, “Tolong berikan saya seratus tahun lebih sehingga saya bisa menyelesaikan mempelajari tiga Veda”.
Dewa Indra mengatakan,”thathasthu (seperti keinginan anda)”. Kemudian resi Bharadvaja mempelajari Veda terus menerus.
Ketika pada akhir 100 tahun-nya mendekat, dia kembali berdoa kepada Dewa Indra dan dan meminta hidup 100 tahun lebih lagi. Dewa Indra pun memberikanya lagi.
Dengan cara ini ia lakukan perpanjangan umur 100tahun karunia dari Dewa Indra sebanyak lima kali.
Ketika ia berdoa lagi kepada Dewa Indra untuk umur panjang lebih lanjut, Dewa Indra muncul di hadapannya dan ia memutuskan untuk menginstruksikan resi tersebut.
Dia mengucapkan tiga vyahritis “Bhuh”, “Bhuva”, dan “svah” dan menciptakan tiga gunung besar.
Ketika Resi Baradvaja melihat tiga gunung besar itu dia pun berpikir, “Mungkin ini merupakan Wujud dari tiga Ilmu Pengetahuan Veda yang sudah saya kuasai.
Tiga gunung ini mungkin mewakili penguasaan saya atas tiga Veda yang saya Pelajari”.
Yang mengejutkan sang Resi adalah ketika Dewa Indra mengambil sedikit lumpur dari setiap gunung dan menjadikanya dalam segenggam.
Dewa Indra pun berkata kepada orang bijak Rsi Baradvaja, “wahai resi yang terhormat "Ini adalah apa yang Anda pelajari dari tiga Veda tersebut dan Sisanya tiga gunung tersebut adalah apa yang perlu Anda ketahui.
dan untuk mengetahui Sisanya Itu dapat mengambil banyak-banyak kehidupan untuk melakukan Pengetahuan ini”.
Resi Baradvaja sangat terkejut. Dia berpikir, “Saya sudah memperpanjang visa saya sebanyak 5 kali untuk tinggal di sini sehingga saya dapat menyelesaikan tiga Veda.
masih saya hanya mempelajari nya sangat sedikit. Itu berarti Veda tidak akan dapat sepenuhnya dipelajari oleh siapa pun”.
Kemudian ia meminta petunjuk Dewa Indra apa yang harus dilakukan.
Dewa Indra mengatakan, “Kitab Suci Veda tidak terbatas. Kecuali Sri Visnu, tidak ada yang bisa mengetahui Veda sepenuhnya. Yang terbaik adalah untuk mengetahui tujuan dari semua Veda. Tujuan dari semua Veda adalah Tuhan Hari. selalu Meditasi dengan selalu mengingat Kepada-Nya itu akan memenuhi tujuan dari semua Veda”.
Kemudian resi Baradvaja pergi ke mattapalli (tempat di Andhra Pradesh), mensucikan diri dengan mandi di sungai Gangga dan mulai memusatkan hati dan pikiran kepada Tuhan Narasimha. Karena terpuaskan oleh meditasi Resi Baradvaja, Tuhan Narasimha pun muncul dan menganugerahkan kepadanya tempat tinggal di Laksmi-Narashimha Loka.
PESAN MORAL DALAM CERITA:
Biasanya para murid yang mempelajari Veda dan kemampuan seseorang untuk membaca Sloka-Sloka Veda dengan pengucapan yang sempurna akan diambil sebagai kualifikasi untuk mempertimbangkan seseorang untuk menjadi “spiritual”.
Bagaimanapun kualifikasi untuk studi Veda dan kemampuan seseorang untuk membaca mereka tidak sama pentingnya dengan memahami Tuhan Yang Maha Agung yang merupakan tujuan dari Veda.
Karena ketika seseorang memahami Tuhan Krishna yang merupakan tujuan dari Veda semua pengetahuan Veda diturunkan padanya.
Sebaliknya meskipun jika seseorang tahu semua Veda, tidak ada jaminan bahwa dia akan memahami Personalitas Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan rahmat Tuhan Sendiri maka bisa kita memahami-Nya.
Dan tidak mungkin bagi setiap orang untuk mempelajari Veda sepenuhnya. Karena dikatakan ,”vedo vai anantah” (Veda tidak terbatas).
Jadi tujuan dari semua Veda adalah untuk Mengetahui Personalitas Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan Tujuan dari Veda.
Krishna menegaskan hal ini dalam Gita Bab 15.15 dengan mengatakan,
“vedais ca sarvair aham eva vedyah
vedanta-krd veda-vid eva caham

Sugra Ajung

 


Sugra Ajung, ini khusus untuk Ajung, sebuah saran dari anak kecil. Sudah yang comen bahwa sloka di Bhagawad Gita- (selanjutnya titiang singkat dengan BG)-tidak berdiri sendiri. Bab IX 27 justru mematahkan sloka 26. Kemudian juga disandingkan dengan apakah upacara yadnya itu satwika berarti merujuk Bab XVII tentang Gunatraya. Mundur dulu ke Bab II tentang Samkya dan Yoga, sloka induknya yang mana?. Karena di sana seluruh sloka induknya di Bab II hanya 19 sloka saja. Sebenarnya di Bab II BG sudah tamat. Itu yang pertama, yang kedua apabila kita ingin menggali pemahaman dari BG, hendaklah kita sepakati dulu BG yang digunakan yang memang gubahan untuk keagamaan. Ketiga, BG di gubah oleh ribuan orang yang kepentinganya dapat dikatagorikan menjadi tiga: Gubahan para sarjana liberal adalah pendekatannya sain, yang menganggap bahwa sloka-sloka BG adalah buatan manusia sebagai karya seni sastra. Gubahan kedua adalah kepentingan sektarian untuk modal misionaris (Waisnawa yang menjadikan jalan bhakti paling utama, Saiwais menekankan karmani, Brahma Kumari menekankan jnana dll). Keempat, BG bukan kitab berdiri sendiri, ia harus di sandingan dengan Upanisad sedikitnya 18 upanisad utama, kemudian di cocokan dengan kitab Brahma Sutra, ketiga kitab ini dikenal dengan Prasthanatraya. Sayangnya di Indonesia yang pertama menggubah, bukan orang Bali dia adalah Amir Hamsah 1933, dikemudian hari hadir saduran dari Wilson terjemahnya bahasa inggis oleh Nyoman S Pendit 1963, Kitab ini di cetak oleh Binmas Hindu dan disetujui oleh Parisada Pusat. Jadi pada hakekatnya Bali tidak menggunakan pedoman dari BG. Bali mengunakan Basya Sastra yang di tuangkan dalan kropak lontar yang dianggap sudah berdasarkan Weda Sirodite ( Weda Sirah-Pokok-pokok Weda Samhita). Dengan demikian, harus jujur mengakui BG mulai rame di bicarakan semenjak diadakannya pembacaan BG secara klosal di Pura Tanah Lot bebrapa tahun yang lalu, kini diperkenalkan penerbitkan 1 000 000 buku oleh pihak sektaraian dan disetujui oleh Parisada Pusat. Apakah sudah terealisasi? Harapan titiang, Ajung, agar pendalaman BG untuk Agama Hindu dalam praktek mulai meningkatkan kerohanian kita bersama, sehinga segala benruk Uperenga, Upakara dan Upacara sebagai sadhana dalam bentuk jejahitan, tetandingan sorohan yang dikemas menjadi BANTEN, dapat memaknai segenap simbul-simbul yang dilandasi seni dan budaya, mudah dikaji secara falsafati. Hasil yang kita harapakan arang Bali yang beragama Hindu adalah unggul dalam menjabarkan upacara bebantenan, cerdas dalam pergaulan budhi pekerti atau tata-susila, karena tata-susila itu sendiri adalah bagian dari kajain filsafat, oleh karena itu Tiga kerangka yang mendasari Hindu menjadi gugur. Cukup Upacara yang berbasis Filsafat atau Dharsana. Ingging asapunika Ajung. Jika ada yang salah dan kurang, itu adalah titiang yang salah, jika ada yang benar, adalah milik Hyang Widhi. Rahayu Ajung, sehat selalu agar ranah FB ini semakin hari semakin cemerlang dan berbobot. Swaha.


- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar

Tuhan yang menghilang dari Dwipantara Sang Hyang Citraratha

 


Nama Dewa ini tergantikan kemudian oleh sebutan Sang Hyang Pasupati. Sang Hyang Citraratha adalah Dewanya Seni (The God of Art). Jadi Beliau dipuja di masa lalu oleh insan seni di Nusantara. Relief Mengenai Sang Hyang Citraratha ada di Candi Borobudur.
Sang Hyang Citraratha disimbolkan sebagai arca dengan wujud mengenakan pakaian yang sederhana, mahkota sederhana yang menutupi setengah kepalaNya. Mengenakan tali Pawitra atau Upawita yang melingkar dari bahu kiri ke pinggang kanan, balutan kain, gelang kana, dst.
Pada masa lalu hingga saat ini, seni berorientasi sebagai persembahan dan simbol bhakti kepada Tuhan. Pemujaan kepada Tuhan sebagai sumber dari segala sumber keindahan dengan juga menghaturkan sebuah keindahan kepada Beliau. Seni itu adalah juga pemujaan.
Ketika kemudian Sang Hyang Citraratha tergantikan dengan sebutan Sang Hyang Pasupati. Maka ada banyak generasi saat ini kemungkinan akan merasa asing dan tidak mengetahui bahwa Sang Hyang Citraratha di puja sebagai Tuhan Kesenian. Meski demikian bukan berarti umat Hindu menyembah Tuhan berbeda oleh karena disimbolkan nama dan atribut berbeda. Segalanya tetap sesuai Mahawakya “Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti.” Sehingga pemujaan nama Tuhan yang berbeda tidak pernah menimbulkan pertengkaran dan perselisihan berdarah dimasa lalu. Tidak ada sejarah demikian baik di Nusantara dan Khususnya di Bali.
A.W. Sudewa Rendi
Wajrapani

Dwaita dan adwaita itu bagian dari wedanta dharsana ini berkaitan dg cara pandang eksistensi Brahman dan atman.
Advaita memandang brahman atman aikyam.
Dvaita memandang brahman dan atman selamanya terpisah, atman hanya percikan terkecil dari brahman.
Jadi kl mengacu pada wedanta dharsana apa yg menjadi tradisi Hindu diBali adalah bentuk kompilasi dari berbagai dharsana, sehingga sering disebut sidhanta atau yg merupakan saripati. Ada waisnawa, siwaisme, dan tantra.
Selain itu tergantung carapandang/wiweka umat dlm memahami ajaran yg diyakini, bisa saja bersifat advaita dan jg dvaita. Contoh pralingga atau petapakan Ida bhetara atau trimurti jika itu dipandang sbg aneka personalitas maka jelas itu sbg faham dvaita.
Namun jika itu dipandang sbg sarva lakshana bhatara maka itu adalah advaita.
Om Swastiastu. Kita Hindu di Bali, mengambil keduanya. Yakni Visisthaadvaita Vedanta. Memuja Tuhan dalam Nirguna Brahman, dan disaat bersamaan kita memuja Saguna Brahman.
Dwaitya adwaitya..dengan wujud sebutan, dengan tanpa wujud, bahwa dunia itu nyata, atau advaita dunia itu semu, sbagai hasil maya guna..
Semuanya meyetujui bahwa persatuan purusa prakerti menghasilkan , suksma sarira, citta budhi ahamkara, dasendriya, juga semesta..
Kalau yg terakhir dapat disimak pada jnana tattwa, atau juga wraspatti tattwa..
Rahayu

Detoksifikasi dan Puasa Ekadasi

 


Toksin atau racun merupakan salah satu sumber utama terjadinya penyakit di dalam tubuh. Toksin bukan hanya berupa ampas dari makanan yang kita makan dan makanan-makanan yang tidak tercerna, tetapi juga bisa berasal dari non-makanan seperti udara, zat/makanan aditif, logam berat pada air, bahan kimia industri, residu obat-obat farmasi dan sebagainya. Bahkan, pikiran dan emosi negatif (seperti marah, iri hati, benci) juga merupakan toksin bagi sel-sel tubuh. Disamping itu toksin juga diproduksi secara alamiah oleh tubuh kita sendiri.
Normalnya toksin atau racun ini akan dikeluarkan oleh tubuh secara alamiah setiap hari melalui sistem pembuangan (ekskresi) tubuh. Namun jika pembuangan toksin ini tidak berjalan secara normal, maka ia akan mulai merusak jaringan organ-organ vital dan akhirnya menjadi penyakit.
Penelitian telah banyak membuktikan kelebihan toksin dalam tubuh (toxity) berkaitan erat dengan penuaan dini, dan juga penyebab berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit jantung (pembunuh nomor satu) dan penyakit lainnya seperti liver, diabetes, kanker dan sebagainya.
Untuk mencegah dan menghindari toksin yang tak bisa keluar dengan semestinya dapat kita lakukan suatu cara percepatan pengeluaran toksin dengan cara detoksifikasi.
Apa Sich detoksifikasi itu?
Detoksifikasi merupakan proses pengeluaran toksin atau zat-zat yang bersifat racun dari dalam tubuh. Puasa merupakan salah satu metode detoksifikasi yang paling efektif dan berumur paling tua yang sudah dilakukan sejak dahulu, disamping itu juga ada cara detoksifikasi dengan penggunaan herbal atau obat-obatan.
Namun metode detoks yang paling aman
dan mudah adalah juice fasting, yaitu puasa yang menghindari makanan padat dan pembentuk acid /asam dan hanya mengkonsumsi jus buah segar saja sepanjang hari dalam porsi tertentu.
Tradisi veda juga menganjurkan kita untuk melaksanakan puasa ekadasi, yaitu puasa yang biasanya jatuh dua kali setiap bulan, biasanya 4 hari sebelum bulan purnama atau tilem (lihat kalender Vaisnava). Hari Ekadasi dianggap hari yang bertuah untuk mengembangkan tingkat spiritual, dengan cara melakukan dengan puasa penuh atau puasa dari biji-bijian. Oleh karena itu hari ekadasi disamping dapat meningkatkan daya spiritual kita maka dapat juga kita manfaatkan sebagai metode detoks untuk memulihkan kembali kesegaran tubuh dengan cara hanya minum jus dengan jumlah tertentu.
Detoksifikasi penting bagi manusia modern karena pola makan yang buruk, seperti kurang serat, banyak goreng-gorengan dan banyak zat aditif dan pengawet. Maka dengan body yang fit kita dapat meningkatkan seva pada Pribadi Tuhan Yang Maha Esa. Jadi teraturlah berpuasa Ekadasi.