Kamis, 14 April 2022

Kenapa banten pake arak dan be matah?

 



Dalam ajaran siwa sidanta ...salah satu ajaran yang masuk adalah TANTRA...yi sarana persembahanx...menganut PANCA MA :
1. Mamsa persembahan memakai daging.
2 Matsya persembahan memakai Ikan.
3. Madya persembahan menggunakan alkohol.
4. Mudra persembahan dengan gerakan ( mudra)
5. Maituna persembahan dengan hubungan ....
tuak sebagai pengganti arak.. salah satu bisa dipakai. Arak/tuak dan berem adalah simbul aksara suci yang berfungsi di dlm persembahyangan. Berem (Ang), Arak ( Ah). Kalau digabung Ang Ah artinya memanggil, Ah Ang artinya mengembalikan.
Sama dgn pengolahan tri aksara ( Ang.Ung.Mang = sedang berlangsung), Mang.Ung.Ang = memanggil), (Ung.Ang.Mang = mengembalikan/mantukang). Pemakaian sarana ini dilakukan disaat ngregep (pemusatan fikiran pada saat pemangku nganteb, melakukan persembahyangan).
Arak berem erat hubungannya dgn proses tri kona..dan aksara ang dan ah..ang ( berem ) dan ah ( tuak/ arak ).



makna simbol dari Arak/Tuak - Beremdlm upacara yadnya mesegeh umat Hindu Bali sebagai sarana pengastawa dengan simbol Ang dan Ah kehadapan Sang Hyang Widhi.
Arak/Tuak merupakan simbol dari aksara suci "Ah-kara", sedangkan
Berem adalah simbol dari aksara suci "Ang-kara".
Hal ini terkait mantra pengastawa sehubungan dengan menggunakan dasar dari sastra Rwa Bhineda sebagai berikut :
Utpeti (Pengastawa/Ngajum/Puja); memohon kehadapan Sang Hyang Widhi agar Beliau berkenan kontak dengan manusia melalui manifestasiNya sesuai dengan fungsi Nya, untuk menyaksikan persembahan dari pemujaNya berdasarkan keyakinan dan kekuatan magis dari upacara. Mantra seperti "Ang... Ah". Dalam hal ngastawa mempergunakan sarana (simbol) maka kalau metabuh dalam tujuan ngastawa harus mengikuti urutan Berem (Ang) dahulu, kemudian dilanjutkan dengan Arak (Ah).
Stiti (Ngadegang); menstanakan Beliau, dalam imajinasi seolah-olah Beliau telah duduk pada stana Nya, telah siap menerima dan menyaksikan persembahan pemuja Nya.
Maka pada saat inilah kita melakukan persembahyangan kepada Sang Hyang Widhi Wasa beserta seluruh manifestasi Nya.
Pralina (Ngamantukang); menghaturkan persembahan untuk memohon agar Beliau berkenan kembali ke Kahyangan (kembali pada keheningan Nya), karena acara persembahyangan pemuja Nya telah selesai. Dalam hal ini mempergunakan sarana maka kalau metabuh dalam tujuan pralina harus mengikuti urutan Arak (Ah) dahulu, kemudian dilanjutkan dengan Berem (Ang).
Begitu juga dalam menghaturkan "Segehan", letakkan segehan di posisi yang seharusnya, kemudian ngastawa (Berem-Arak), lalu "ketis" tirtha ening, kemudian "ayab" dan terakhir pralina (Arak-Berem). Sehingga dalam mesegehan pun telah terlaksana Utpeti-Stiti-Pralina.

Arak memiliki unsur panas, tuak memiliki unsur pendingin, dan brem penetralisir, ketiganya itu sangat si butuhkan untuk membangkitkan energi bumi, dalam formulasi kebathinan sarana ini sangat di perlukan.
Menurut Sastra Kanda Pat Butha, tuak arak dan berem itu suguhan Minuman bagi para Butha Kala, sedangkan makanannya berupa segehan putih, putih kuning, manca warna, segehan Agung, Caru dg ayam brumbun, caru dg bebek bulu siket, caru dg angsa, asu bang bungkem caru dg kebo, caru Sarwa Sato/binatang dst, tergantung tingkatannya (itu untuk somya butha yg menggunakan korban Sato/binatang) atau Lelabaan, Agar setelah diSomya menjadi Kekuatan Dewa yang memberikan KERAHAYUAN Bhuana Alit dan Bhuana Agung...
Petikannya : contoh "ih ta kita Sang Bhuta Kala, iki tadah saji nire, segehan manca warna me be bawang jahe muang tasik, tetabuhan tuak arak lan berem...wus AMANGAN - ANGINUM mewali ta kita ring stana nguni soang-soang, sareng-sareng nginardi KERAHAYUAN... dst...

Sesayut Rsighana

 



Manut lontar bama kertih bebek putih jambullan lontar caphakala bebek belang kalung
Tamas/tempeh dirajah ong ang rsigana ya namah
Beras, porosan, pis bolong, benang, goni
Kulit sayut
9 tamas cenik
Ambil don nagasari dirajah ang ung mang namo Rsi Ghana ya namah
Nasi punjung
Raka
Celemik rasmen
Jaja samuhan 2 gelang n 3 muncuk
Bunga tunjung putih
Kuangen isi pis bolong n bunga sesuai urip
Timur/purwa putih 5 usuan
Gneyan 8 ping paru2
Selatan/daksina merah 9 ati
Nriti oranya 3 basang tebel/b wayah
Barat pascima/kuning 7 betukan
Wayabya ijo 1 limpa
Utara item 4 nyali
Ersanya abu2/biru 6 kolongan/ineban
Madya/tengah brumbun 8 gantungan ati pepusuh
Tamas yg tengah celemik rasmen tambahin sere petak, nasi tandingan n tipat sambutan, bantal pusung
Masing letakkan takir isi lawar barak, lawar putih, gecok.
9 limas tinggungan bebek taruh ngider
Takir/limas isi masing2 be sesuai arah mata angin yi
Usuan/pusuan purwa

Caru Dalam Pembuatan Bangunan Suci (Kahyangan Tiga, Padma, Meru)

 



Ampura semeton Hindu, sebagaimana dikutip dari Buku Caru dalam Upacara di Bali,...disebutkan bahwa uraian mengenai upacara ini tidaklah begitu banyak bedanya dengan Keputusan Maha Sabha Parisada Hindu Dharma ke II di Denpasar Tahun 1968. Pemakaiannya dapatlah kiranya disesuaikan dengan keadaan.
Untuk pembuatan suatu bangunan suci diperlukan upakara-upakara dan alat-alat sebagai berikut:
2.1. Caru pengeruak”, yaitu “Caru ayam brumbun” lengkap dengan runtutannya dan uripnya adalah 33, serta letaknya “amancadesa” (di timur 5 “tanding”). di Selatan 9 “tanding” di Barat 7 “tanding”, di Utara 4 “tanding”, di Tengah 8 “tanding” beralas sengkwi bersayap sedangkan segehan-agung, kawisan, kulitnya dan lain-lainnya ditaruh di tengah.
a. Byakala” (“byakaon”) “durmangala” dan “prayascita” masing-masing satu buah.
b. Sebuah “segehan-agung” lengkap dengan “penyambleh.
c. Tanten Pemakuhan yang terdiri dari “peras penyeneng”, “ajuman” putih kuning ikannya ayam “betutu”, “maukem-ukem” (di belah dari punggung) “daksina” yang berisi uang 227 “canang lenge wangi-buratwangi”, “canang satu tanding raka nyahnyah gula kelapa” dan tipat kelanan. Banten ini ditaruh di sebuah “sanggar” yang ada di hulu dari bangunan yang akan dibuat (diluanan).
d. Banten untuk “dasar bangbang” adalah “tumpeng” merah dua buah, dilengkapi dengan jajan, buah-buahan, lauk-pauk dengan ikannya “ayam biying” yang dipanggang, “sampiannya/sampian tangga”. Banten ini dialasi dengan “kulit peras”.
e. “Canang-Pendeman” adalah “canang burat-wangi”, pengeraos “canang-tubungan”, dan “pesucian”, masing-masing satu “tanding.
f. Alat “penyujug” terdiri dari sebuah cabang dadap yang bercabang tiga, sebuah mangkuk kecil, cincin bermata mirah dan kalau mungkin sebuah keris.
g. Untuk bangunan yang berupa “pelinggih” yang besar-besar, dipakai batu dengan tulisan aksara. Sebuah batu merah, yang berisi gambar “bedawangnala” di punggungnya diisi tulisan “Ang-kara”.
h. Sebuah batu merah yang lain, diisi gambar “padma” disertai dengan tulisan “dasaaksara” (di luar 8 huruf, dan ditengah 2 huruf yang dimaksud dengan “dasa-aksara” adalah Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya.




i. Sebuah “batu bulitan” (batu yang hitam) diisi dengan tulisan 'Triaksara” yaitu ANG, UNG, MANG.
j. Sebuah “kelungah” berisi tulisan “Ong-kara”. Kalau dapat dipakai “kelungah kelapa gading”. “Kelungah” itu “dikasturi”, airnya dibuang, lalu ke dalamnya dimasukkan wangi-wangian seperti lengawangi”, “burat-wangi” “menyan” dan sebagainya, serta sebuah “kewangen” “keraras” (daun pisang yang sudah tua) yang berisi uang 11 kepeng; “kelungah” beserta perlengkapannya dibungkus dengan kain putih diikat dengan benang merah, putih, hitam dan kuning, lalu dipuncaknya diisi sebuah kewangen yang berisi uang 33.
k. Sebuah “kewangen” yang berisi tulisan “ONGKARA MERTA” dengan uangnya 11 kepeng.
l. Alat persembahyangan lengkap dengan “kewangen” dan dupa.
m. Tata Pelaksanaan upacara dan susunan dasarnya.
Terlebih dahulu dilakukan upacara Ngeruak dengan upacara caru Pengeruak lalu menghaturkan banten Durmengala dan prayascita ke hadapan Sang Bhuta Buwana, dilanjutkan dengan menghaturkan segehan-agung, ke hadapan Sang Bhuta Dengen.
Mantranya:
Pakulun Sang Kala Nungkurat, Sang Kala Tahun, Sang Kala Badawang jenar, Sang Kala Durmerana, Sang Kala Wisesa makadi sira ranini Bhatari Durga den suka anadah caru aturane mami. Om sampurna ya namah svaha.
Kemudian halaman dan tempat-tempat bangunan yang direncanakan diukur menurut “asta bumi” dilanjutkan dengan menggali lubang (bangbang). Setelah lubang itu dianggap selesai digali, lalu diupakarai dengan “byakala”, “durmengala” dan “prayascita”, selanjutnya diukur dalamnya (jugjugin, dikeruk, serta disapu dengan cincin tadi).
Para penyungsung bangunan itu lalu bersembahyang di depan lubang itu yaitu ke hadapan “ibu pertiwi” (Sanghyang lemah), “Sanghyang Bayu” dan “Sanghyang Anantaboga”. Bunga dibuang ke bangbang tadi, diganti dengan yang baru, bersembahyang ke hadapan “Sanghyang Akasa”, “Sanghyang Siwa”. Sanghyang Bhuwana Kemulan” dan Sanghyang Prajapati”. Bunga dibuang ke dalam lubang sebagai dasar dari bangunan tersebut. Selanjutnya di atas bunga-bunga itu ditaruhlah “tumpeng merah” yang berisi ikan ayam “biying” (sub. e) kemudian ditindihi dengan bata-merah” yang berisi gambar “Bedawangnala” (sub. h) disusuni kelungah kelapa gading yang dibungkus dengan kain putih (sub. k), lalu ditimbuni sedikit (supaya agak rata). Di atasnya disusuni dengan bata merah yang berisi gambar padma serta tulisan “Dasa-aksara” (sub. i), kemudian disusuni batu bulitan yang berisi tulisan “triaksara”. Di atasnya diisi “kewangen” yang berisi tulisan “Ongkara-amerta”. Disertai Tanang pendeman” (sub. 1 dan f) dan akhirnya ditimbuni sampai rata, lalu dilanjutkan dengan pembangunan seterusnya.
1. Untuk bangunan yang kecil-kecil “batu-dasarnya” dapatlah disederhanakan yaitu:
Sebuah bata merah berisi gambar “bedawang-nala”, dan sebuah “kewangen” yang berisi uang 11 kepeng, dilengkapi dengan “burat-wangi”, “canang-sari”, “mereka” “nyahnyah” “gula kelapa”, “kekiping”, “pisang mas”, dan “porosannya” adalah “base tubungan putih hijau mererepe” (tangkai sirih itu dibiarkan), (bila tidak ada bata-merah, dapat diganti dengan “paras”).
Catatan
Setelah bangunan itu selesai lalu diupakarai dengan “durmengala”; “prayascita”, “pengambyan”, “solasan ketengan 22 tanding, “tumpeng guru”, ikannya itik putih diguling, “tumpeng putih kuning” “tipat kelanan”, “daksina” dan canang pesucian” selengkapnya “burat wangi” serta “suci” satu “soroh”.
Dengan demikian bangunan itu baru dapat dihatur “canang” dan “daksina” selengkapnya. Upacara selanjutnya adalah “upacara Melaspas”, “Mepedagingan”, “ngenteg” dan seterusnya. Upacara-upacara ini (“Melaspas”, “mepedagingan” dan sebagainya) sebenarnya termasuk upacara “Dewa-yadnya”, oleh karenanya dalam tulisan ini tidak diuraikan secara mendetail.
Catatan:
Pada pohon kayu yang akan diupacarai diberi kain “caniga”, “gantung-gantungan”, dan sasap dari janur,untuk hal tersebut biasanya dipilih pohon kayu yang dianggap paling berguna di dalam rumah tangga seperti kelapa, wani dan sebagainya.

Makna Suara Letupan Bambu atau Tetimpungan Saat Pernikahan

 



Dalam rangkaian upacara Pawiwahan (Pernikahan) adat Hindu, ada tiga buah bambu yang dibakar hingga meletup yang disebut Tetimpugan. Sejatinya, apa makna dan fungsi Tetimpugan?
Pernikahan merupakan saat saat yang paling dinanti. Fase Grahasta dalam ajaran Catur Asrama ini haruslah dilaksanakan sesuai tata cara yang benar. Itulah sebabnya, upacara Madengen-dengen atau Makala-kalaan yang memiliki makna dan tujuan membersihkan dan menyucikan merupakan bagian terpenting dalam rangkaian upacara pernikahan adat Bali. Dalam rangkaian upacara Pawiwahan terdapat tiga buah bambu yang dibakar dan meletup yang disebut Tetimpugan.
Tetimpug merupakan sarana yang juga dipergunakan dalam upacara Makala-kalaan.
Pemangku asal Desa Keramas, Jero Mangku Made Puspa, mengatakan, Tetimpugan erat kaitannya dengan Bhatara Brahma yang disimbolkan sebagai api. Sarana yang digunakan untuk memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma dalam upacara yadnya umumnya disimbolkan dengan bambu tiga batang yang dibakar dengan api danyuh kelapa, ujar Mangku Made Puspa.
Dikatakannya, Tetimpug umumnya berupa tiga buah bumbu mentah yang masih ada kedua ruasnya. Lalu diberi minyak kelapa kemudian diberi sasap yang terbuat dari janur. Biasanya bambu ini, akan dibakar sebelum memulai upacara, sehingga terdengar bunyi letusan tiga kali.
Di Gianyar, dalam rangkaian upacara Pawiwahan, membunyikan Tetimpugan justru merupakan saat yang ditunggu tunggu. Konon, katanya jika Tetimpugan itu berbunyi lebih dari tiga kali, maka pasangan tersebut akan dikaruniai banyak anak. Jika kurang dari tiga kali letupan, kami khawatir mungkin ada kekurangan dalam bantennya, ujar Jero Mangku Made Puspa.



Dalam upacara Bykala (wiwaha), lanjutnya, sudah terkandung tiga macam saksi yang dikenal dengan istilah Tri Upasaksi (tiga saksi), yaitu Dewa Saksi, Manusa Saksi, dan Bhuta Saksi. Dewa Saksi adalah saksi Dewa ( Ida Hyang Widhi Wasa) yang dimohonkan untuk menyaksikan Pawiwahan tersebut. Manusa Saksi adalah semua orang yang datang menghadiri Pawiwahan tersebut dapat dikatakan sebagai saksi, utamanya Bendesa, Kelian Dinas, pemangku yang muput upacara tersebut dan lainnya. Saksi dari para Bhutakala disebut dengan Bhuta Saksi.
Tetimpugan dikatakan sebagai rangkaian dari Bhuta Saksi. Kita membakar Tetimpug, sehingga menimbulkan suara letupan. Suara letupan tersebut merupakan simbol untuk memanggil Bhutakala agar hadir pada upacara tersebut. Kemudian diberikan suguhan supaya tidak menggangu jalannya upacara, ungkap Jero Mangku Made Puspa.
Ditegaskannya, perkawinan di Bali dianggap belum sah, jika tidak disaksikan oleh Tri Upasaksi.
Dalam Wiwaha Samsara, Tri Upasaksi adalah tiga saksi yang dihadirkan untuk menyaksikan rangkaian upacara Pawiwahan, yaitu Dewa Saksi, Manusia Saksi, dan Bhuta Saksi.
Dewa saksi biasanya dalam bentuk upakara dan bebantenan. Dewa saksi, meliputi upakara dan upacara perkawinan kedua mempelai, yang dipuput oleh pedanda, ujarnya. Sedangkan Manusia Saksi umumnya diwakilkan oleh bendesa adat serta prajuru desa. Bhuta Saksi biasanya disimbolkan dengan upacara yang dibuatkan untuk kedua mempelai, sebagai wujud menetralisasi Sapta Timira, tandasnya.
Ditambahkannya, dalam Wiwaha Samskara disebutkan, Tetimpug berfungsi sebagai alat komunikasi, baik niskala maupun sakala. Secara niskala, Tetimpug berfungsi untuk memberitahukan Bhutakala yang akan mendapat persembahan, bahwa upacara Makala-kalaan segera dimulai. Secara sekala, Tetimpug juga mempunyai fungsi untuk memberitahukan kepada warga sekitar bahwa upacara Makala-kalaan segera dimulai.
Tetimpug tidak hanya digunakan dalam upacara pernikahan, tetapi juga digunakan dalam rangkaian upacara lain, seperti Padudusan, Pacaruan Rsi Gana, Labuh Gentuh, dan pacaruan lainnya. Tetimpugan itu fungsinya sangat vital. Bahkan, dalam berbagai kegiatan upakara, Tetimpugan sering digunakan. Ngodalin, Macaru pasti ada Tetimpug, ungkapnya.
Pemangku Pura Masceti ini mengungkapkan, baiknya menggunakan bambu dengan jumlah ganjil. Seharusnya berjumlah ganjil, di mana ruas bambu yang berjumlah ganjil juga. Tiga buah bambu Tetimpug melambangkan Tri Kona, yaitu utpeti, stiti, dan pralina,” terangnya. Jika yang menggunakan lima buah Tetimpug, upacara caru tersebut sudah berada dalam tingkatan yang lebih besar, seperti karya agung. Hal tersebut melambangkan Panca Mahabhuta, yaitu pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa.
Diakuinya, penjelasan Tetimpug seringkali berbeda beda, sesuai desa kala patranya. Jika di daerah Ubud, Tetimpug dikatakan sebagai sarana untuk mengundang kekuatan sebagai pelaksana sebuah upacara yadnya, paparnya.
Konon, tetimpug menjadi sarana pengundang tenaga dan waktu agar harmonis. Jika Tetimpug tidak bersuara, maka kala itu tidak datang. Begitu juga sebaliknya, jika bersuara, kala itu datang dan merasa terpanggil, tandasnya.

Bebangkit

 


Pengakulan

 


Di sesenden: beras acatu/semangkok, 11 iris buah pinang, 11 base megulung, 11 kojong mako, 2 telor ayam mentah

Pengadangadang

 



Tamas, 2 raka, 2 ceper kiri isi 3 tumpeng, takir toge
Kanan 2 tumpeng, takir lud
Celemik misi baas n benang kuning, celemik ketan n benang putih, celemik injin n benang item, celemik baas barak n benang barak,
Celemik tuali, jali2, saga2, ares n bayam, batun asem, buah beluluk, oot n dagdag, jijih,
matah2 keluarin isinya letakkan di teben, coblong carat, katik misi kain, sampat, peselan ambengan n gelagah, pesel peselan, 2 sampyan lasang