Kamis, 14 April 2022

KONSEP CATUR LOKA PALA (CATUR DALA)

 



Kepercayaan Agama Hindu khususnya di Bali, Gunung di pandang sebagai sesuatu yang sangat suci, karena gunung merupakan tempat yang diyakini bersemayamnya para Dewa dan para leluhur. Kepercayaan terhadap gunung dapat dilihat dalam konsep ajaran Catur Dala atau konsep Catur Loka Pala yaitu empat arah mata angin yang di tempati oleh gunung. Salah satunya adalah arah timur terdapat Gunung Lempuyang, arah barat terdapat Gunung Watukaru, arah utara terdapat Gunung Puncak Mangu dan arah selatan terdapat Gunung Andakasa.
Dalam konsep ruang, konsepsi Catur Loka Pala menitik beratkan kepada esensi keseimbangan unsur semesta dengan merepresentasi arah mata angin. Selain sebagai konsep arsitektur, dalam Padma Bhuwana Tattwa, konsep Catur Loka Pala disebut-sebut sebagai konsep pemujaan terhadap Tuhan.
Konsep ini menitik beratkan tujuan pemujaan Tuhan sebagai pelindung dan menjaga rasa aman (raksanam). Catur Loka Pala merupakan simbolisasi dari empat arah mata angin yang utama seperti :
· purwa (timur),
· daksina (selatan),
· pascima (barat), dan
· uttara (utara)
Konsep Catur Loka Pala dalam Lontar Usana Bali :
“kunang malih. Iti katuturaning usana Bali, nga cinarita tingkahing Bhumi Bali, hana gunung loka pala, nghing tingkah ing gunung ika amarah pat, lwire: maring purwa, Gunung Lempuyang, nga, pangsthana ida bhatara aghnijaya, maring paccima gunung Bratan, nga, pangasthana ida bhatara watukaru, maring utara gunung mangu, nga, pangashtanan ida hyang dhanawa, maring daksina maring gunung andakasa, nga, pangsthana ida hyanging tugu.
Arti bebasnya:
Inilah keterangan dari Usana Bali, menceritakan keadaan bumi Bali,ada gunung catur Lokapala (empat penaga daratan) namanya, akan tetapai letak gunung itu empat penjuru, yaitu di timur Gunung Lempuyang namanya, sthana bhatara Agnijaya,di barat Gunung Bharatan namanya, sthana Bhatara Watukaru. di utara Gunung Mangu namanya,stana Hyang Dhanawa, di selatan Gunung Andakasa namanya sthana Shangyang Tugu.

Keempat penaga daratan ini dimaknai sebagai wujud pelindung alam semesta. Dengan kata lain, perlindungan Ida Sanghyang Widhi dengan segala aspek manifestasiNya tercermin dalam ruang gerak arah mata angin nyatur desa.
Dengan demikian, Catur Loka Pala dalam pengertiannya sebagai empat hal yang menjadi pelindung alam semesta, di Bali diwujudkan dengan simbol empat pura yaitu :
1. Pura Lempuyang, tempat memuja Tuhan di arah timur (purwa), ᬲᬁ, Sang
2. Pura Luhur Batukaru, tempat memuja Tuhan di arah barat (pascima), ᬢᬁ¸, Tang
3. Pura Andakasa, tempat memuja Tuhandi arah selatan (daksina), ᬩᬁ¸, Bang
4. Pura Puncak Mangu, tempat memuja Tuhan di arah utara (uttara). ᬅᬁ, Ang
Konsepsi Catur Loka Pala memiliki keterkaitan dengan Cadu sakti. Secara etimologis, Cadu sakti berasal dari kata “cadu” dan “sakti”. “Cadu” berarti empat dan “sakti” berarti kekuatan atau kemahakuasaan. Jadi Cadu Sakti adalah empat kekuatan atau kemahakuasaan ida sang hyang widhi wasa. Keempat kekuatan atau kemahakuasaan yang dimaksud, yaitu :
1. Prabu sakti : sang hyang widhi bersifat maha kuasa, menguasai jagat.
2. Wibhu sakti : sang hyang widhi bersifat maha ada meresap dan meliputi seluruh jagat.
3. Jnana sakti : sang hyang widhi bersifat maha tau, mengetahui seglaa perbuatan kita.
4. Kriya sakti : sifat sang hyang widhi maha karya, berbuat apa saja yang dikehendaki.
Semoga berkenan, kurang lebihnya mohon dimaklumi… 🙏
Sesuatu dikatakan rahasia karena pengetahuan yang kita miliki sangatlah sedikit,dibandingkan maha luasnya alam semesta dan misteri yang tersembunyi didalamnya. Sepanjang hidup kita belajar tak akan mampu memahami kehidupan ini. Semoga Tuhan selalu memberi bimbingan, tuntunan, bantuan, menunjukkan jalan yang terang dan perlindungan kepada kita semua, karena sumber dari segala sumber kehidupan adalah milik-NYA.
Rahayu… 🙏 🙏 🙏
Reference
1. Latar Gambar dan musik : https://www.google.com/ , Gong gede isi dps dan kidung Ida Rsi Lokanatha – Catur Dewa Maha Sakti
2. yadawainstitute..2013. Kahyangan Jagat Berdasarkan Konsep Catur Loka Pala
3. Santa Adnyana, I Wayan. 2007. Pura Lempuyang Suatu Analisis Pendidikan Religius Filosofis , Tesis Program Studi Magister (S2) Fakultas Dharma Acarya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.


Panca Genta

 



Bentuk “Panca Genta” adalah 5 (lima) buah benda sakral yang memiliki bentuk yang berbeda-beda seperti Genta Padma, Genta Uter dan Genta Orag memiliki bentuk yang agak mirip, Katipluk berbentuk seperti gendang dan Sungu atau Sangka dibentuk dari kulit kerang besar sebagai terompet. Tetapi ke lima itu memiliki fungsi yang sama saat pelaksanaan Upacara Bhuta Yadnya.
“Panca Genta” adalah Agem-ageman Wajib bagi Ida Rsi Bhujangga Waisnawa. “Panca Genta” tersebut adalah alat yang dipergunakan dalam pelaksanaan untuk menyelesaikan atau “muput” Bhuta Yadnya. Kewajiban sebagai Agem-ageman diperkuat lagi dengan isi beberapa Lontar, seperti Lontar Iti Siwa Lingga, Lontar Tutur Dangdang Bungalan, Lontar Aji Janantaka, Lontar Resi Wesnawa, Lontar Tutur Lebur Sangsa dan beberapa lontar lainnya, seperti di bawah ini.
Dalam Lontar Iti Siwa Linggga (1-3) menyebutkan :
….Iti Siwa Lingga nga. penerusan kadi ring arep, mwah katekaning mangke, tan wenang margiang pwa sira, apan ika rumaga bayu, sabda, idep, muang tutur manon nga. ika Siwa makewenang siwi akena ring wong ika ring Bali nga : sahananing magama tirtha ring Bali kabeh, maka wenang nyiwi terah turunan Ida Budha Mahayana, Siwa Pasupati, Ida Siwa Waisnawa nga. iki Siwa Trini linggih ngaskara dewa miwah ngentas pitra mekadi merayascita jagat pada wenang nga.
Malih tedesing agama, nga. anak Budha Mahayana, nga. Budha Hina, anakSiwa Pasupati nga. Ida Siwa, anak Ida Siwa Waisnawa, Ida Rsi Waisnawa nga. pada-pada kasungan raja pinulah maka Trini nga. apan ika metu saking angganira sedaya, nga. Wekasan Rsi Waisnawa punika kang sinanggeh, Sangguhu Bhujangga nga. antuk warna tunggal, agem tunggal, antuk suara-suara kekalih, Ida Siwa, Ida Bodha. Malih tetesing agama Siwa, Bodha, Sangguhu Bhujangga nga. sami Sang Trini linggih, wenang ngaskara, dewa, pada wenang pwa sira, muah angreka wenang, wiyaktiniya mzring rupit …… (Lontar Iti Siwa Lingga 1-3, dalam Made Gambar Ketatwaning Tukang Banten. Hal.9).
Terjemahan bebasnya :
……demikianlah yang dimaksud Siwa Lingga namanya, kelanjutan dari yang di depan , dan sampai sekarang, tidak boleh dilaksanakan itu, oleh karena (itu) penjelmaan dari “bayu”, “sabda”, “idep” dan “tutur” yang nyata, Siwa Lingga itu hendaknya dihormatioleh orang-orang di Bali yang beragama Tirtha (Hindu), sudah sepatutnya menghormati keturunan Budha Mahayana, Siwa Pasupati, dan Ida Siwa Waisnawa, beliau semua berkedudukan sebagai “Siwa Trini”, dan memiliki kewenangan dalam hal “ngaskara dewa”, “ngentas pitra”, termasuk juga “merayascita”(membersihkan/ menyucikan/ mecaru) meruwat bumi.


Demikian pula ajaran agama menegaskan bahwa keturunan Budha Mahayana adalah Budha Hina, keturunan Siwa Pasupati adalah Ida Siwa, keturunan Ida Siwa Waisnawa adalah Ida Rsi Waisnawa, ketiganya samasama dianugerahi kewenangan, oleh karena semuanya lahir dari “raga”beliau (Tuhan). Selanjutnya Rsi Waisnawa ini juga disebut Sangguhu (Sang + Guhu) Bhujangga, warnanya tersendiri, “agem” tersendiri, demikian pula ucapan-ucapan dengan yang dua lainnya seperti Ida Siwa dan Ida Bodha. Lagi tambahan petunjuk agama, Siwa, Bodha, Sangguhu Bhujangga semuanya berkedudukan sebagai “Sang Trini”, berhak ngaskara dewa, semuanya sama-sama berhak, demikian pula “angreka”, sesungguhnya dari suatu yang sangat rumit………. .
Dari paparan Lontar Iti Siwa Lingga di atas, jelas menyebutkan tentang kewajiban dari Ida Rsi Bhujangga Waisnawa, serta memiliki “agem-ageman” tersendiri yang merupakan “agem-ageman wajib”, yaitu salah satunya berupa penggunaan Panca Genta. Hal ini sangat jelas, dan dipaparkan dalam beberapa lontar antara lain Lontar Eka Pratama, Lontar Aji Janantaka dan lain sebagainya yang menyebutkan tentang Panca Genta sebagai senjata atau agem-ageman Ida Rsi Bhujangga Waisnawa. Misalnya dalam Lontar Aji Janantaka (16.b-17.a) menyebutkan tentang Panca Genta, dan dalam isi Lontar ini dengan jelas berbunyi sebagai berikut :
……raris kasunggi Ida Bhujangga Alit, tur kiniring wong kabeh sepanengakena saksana dateng ring salu-panjang, tur kalinggihang angayoning banten akeh, tur sregep ikang siwa-krana, saha sarwa sanjata kabeh, genta-wuter, gentaa-padma, genta-orag, genta-katipluk, gentasangka, saha sarwa weda, tegep sarwa pangruwat letuhing jagat kabeh…..(Lontar Aji Janantaka. 16.b-17.a)
Terjemahan bebas :
…..lalu diboponglah Ida Bhujangga Alit, lalu di antar oleh banyak orang dan tiba di rumah atau balai panjang, dan duduk menghadapi banten(upakara) banyak, serta lengkap dengan Siwa Upakarana (alat pemujaan), serta lengkap dengan alat-alat perlengkapan untuk melaksanakan upacara, genta-uter, genta-padma, genta-orag, genta-katipluk (damaru), gentasangka (sungu), serta mantra-mantra weda siap untuk membersihkan atau meruwat bimi ini……….)
,Dalam Lontar Aji Janantaka ini jelas sekali menyebutkan alat atau senjata yang digunakan sebagai “agem-ageman wajib” oleh Ida Rsi Bhujangga Waisnawa di dalam “muput” Bhuta Yadnya adalah Panca Genta yang terdiri dari : Genta Uter, Genta Padma, Genta Orag, Genta Katipluk (Damaru) dan Genta Sungu atau Sangka, serta mantra-mantra Weda untuk meruwat bumi.
Fungsi “Panca Genta” adalah menghubungkan secara spritual antara para Sadhaka dengan para Dewa-Dewa, juga menarik dan mengumpulkan roh-roh alam bawah seperti setan, tonya, memedi, bhuta kala, dan roh-roh yang mengganggu alam ini, untuk dibersihkan, dan berfungsi untuk “Nyomya” atau meng inisiasi para roh-roh jahat dan roh alam bawah, agar sifat Bhuta berubah menjadi sifat Dewa.
Makna philosofis “Panca Genta” adalah sebagai schok therapy untuk bisa membangkitkan roh-roh astral agar tertarik berkumpul, dan dengan suaranya yang riuh dan khas membuat roh-roh alam bawah dan yang bersifat negatif tertarik untuk muncul sehingga mudah di “Somya”.atau dirubah dari Bhuta menjadi Dewa. Disamping itu Panca Genta memiliki makna sebagai tanda atau “tetenger” bahwa upacara Bhuta Yadnya sudah dimulai serta sebagai alat konsentrasi bahwa tujuan Upacara Bhuta Yadnya tersebut adalah untuk “Nyomya” Bhuta.
Rahayu…🙏☺🙏
Reference
2. Dauh, I Wayan, Anak Agung Gede Dira. 2020. PANCA GENTA AGEM-AGEMAN IDA RSI BHUJANGGA WAISNAWA PADA UPACARA BHUTA YADNYA. Vidya Wertta Volume 3 Nomor 2 Tahun 2020. Fakultas Ilmu Agama, Seni dan Budaya Universitas Hindu Indonesia

MESAKAPAN KE PASIH (TRADISI BALI)

 


Mesakapan ke pasih bukan diartikan sebagai mesakapan (menikah) di pasih (pantai). Mesakapan ke pasih atau ngangkid atau ada yang menyebut natab di pasih juga bermakna penebusan hutang yang reinkarnasi. Kepercayaan Hindu, orang mengalami reinkarnasi dan yang bereinkarnasi tersebut membawa karmawasana (hasil perbuatan) terdahulu. Upacara ini bertujuan mengambil karmawasana baik orang yang bereinkarnasi tersebut dengan simbol mengambil batu atau ranting di pantai (ngangkid) dan membuang karmawasana buruk orang yang reinkarnasi yang dibawa dalam kehidupan ini dengan simbol melepas perahu atau jukung kecil ke sumber mata air. Dilakukan di pantai atau laut karena upacara terakhir ngaben/memukur nganyut atau melepas kepergian orang yang meninggal terakhir kali dilakukan di laut. Dengan demikian diharapkan ada penyatuan yang harmonis antara badan kasar yang sekarang dengan roh yang bereinkarnasi (mesakapan). Anak yang biasanya penyatuannya tidak harmonis akan lebih sering marah, menentang, atau sulit diatur. Sehingga dengan upacara ini diharapkan terjadi keharmonisan dan keselarasan (dari berbagai sumber). .

GEGODAN SANG RARE BARU LAHIR

 


Sumber www.masterleakbali.com : Buku Kanda Empat Sari Oleh Mangku Alit Pekandelan & Drs. I Wayan Yendra
Begitu bayi lahir, maka umur 1 minggu pertama akan datang para dewa, yang diutus Shang Hyang Siwa untuk menggoda bayi.
Malam yang datang pertama adalah Bhatara Khala, berwujud asu ajag datangnya saat pada matahari terbenam, sandi khala. Datang menjilat-jilati si bayi, bila bayi terkejut dia akan menangis/karuan alias kakab-kakab.
Malam kedua, datang Bhatara Brahma, berwujud Sapi, menggoda dan menjilat-jilat bayi pada saat semua orang sedang tidur. Bila bayi terkejut maka dia akan menangis.
Malam ketiga, datang Bhatara Wisnu, berwujud celeng menggoda bayi. Datangnya pada saat tengah malam, lalu menjilati bayi, bila si bayi terkejut dan takut dia akan menangis.
Malam keempat – petang bengi – datang Bhatara Guru berwujud burung perkutut. Selanjutnya secara berturut turut datang Bhatara Mahadewa berwujud kambing. Bhatara Yama berwujud shanggira. Bhatara Kuwera berupa tikus. Bhatara Pritanjala berupa burung emprit. Bhatara Langsur berupa manjangan. Bhatara Ludra berupa sapi nandini. Bhatara Surya berupa ular, dan Bhatara Chandra berupa kucing.
Tapi bila si bayi tidak takut, tidak terkejut, atau malah senang di goda dan dijilati oleh binatang binatang itu tadi, maka dia akan tersenyum-senyum, tertawa tawa, atau berbicara sendiran.
Setelah kepus udel, kepus puser atau seminggu setelah kelahirannya si bayi, akan lebih besar lagi godaanya. Karena bukan para dewa lagi yang datang, melainkan para gumatat gumatit.
Tapi jangan takut dulu, karena yang datang itu, tidak lain adalah perwujudan sang catur sanak si bayi sendiri. Seperti :
- Kutilapas kethek (lutung) perwujudan dari bungkus/lamas
- Celeng demalung perwujudan dari yeh nyom/ketuban
- Asu ajeg perwujudan dari ari ari
- Kalasrenggi (banteng) perwujudan dari getih/darah
- Kalamurti (kebo) perwujudan dari puser/udel
- Kalarandin (menjangan) perwujudan dari ilu/idu/air liu
- Kralawelakas (kidang) perwujudan dari kunir/kunyit
- Tikus jinada perwujudan dari ceplekaning ari-ari
- Taliwangke perwujudan dari ususing ari-ari
Begitulah adanya seorang bayi / rare, mulai kelahirannya sampai tutug kambuhan,bulan pitung dina atau 42 hari, akan selalu di goda oleh para dewa serta saudara-saudaranya. Hal ini hendaknya tidak membuat anda bingung dan takut.

PADMA DALAM PENGIDER BHUWANA




 Di dalam lontar "Wariga Catur Winasa Sari", disebutkan, ada 9 (sembilan) jenis Padma berdasarkan Pengider-ider Bhuwana (sembilan penjuru mata angin/sembilan arah).

Ke-9 jenis Padma dimaksud, adalah :
1). PADMA KENCANA, bertempat di Timur menghadap ke Barat.
2). PADMASANA, bertempat di Selatan menghadap ke Utara.
3). PADMASANA SARI, bertempat di Barat menghadap ke Timur.
4). Padmasana Lingga, bertempat di Utara menghadap ke Selatan.
5). PADMA ASTA SEDANA, bertempat di Tenggara menghadap ke Barat Laut.
6). PADMANOJA, bertempat di Barat Daya menghadap ke Timur Laut.
7). PADMAKARO, bertempat di Barat Laut menghadap ke Tenggara.
😎. PADMASAJI, bertempat di Timur Laut, menghadap ke Barat Daya.
9). Padmakurung Merong Tiga, bertempat di Tengah-tengah, menghadap ke Lawangan.
Berdasarkan atas rong (ruang) dan Pepalihannya (tingkat atau Undag), dibedakan atas 5 (lima) macam, yaitu :
1). PADMASANA ANGLAYANG, dimana Padmasana ini beruang 3, yaitu menggunakan Bedawang Nala (Kura-kura bermoncong api) dengan palih 7.
2). PADMA AGUNG, dimana Padmasana ini beruang 2 menggunakan Bedawang Nala dengan palih 5.
3). PADMASANA BERUANG 1, menggunakan Bedawang Nala dengan palih 5.
4). PADMASARI BERUANG 1 dengan palih 3.
5). PADMA CAPAH BERUANG 1 dwngan palih 2.

PENUNGGUN KARANG BUKAN DISEMBAH, TAPI DIHORMATI

 


Arah mata angin di Pekarangan ada lima, yakni utara, timur, selatan, barat dan tengah. Lalu dari lima mata angin ditambah lagi variasi, timur laut, tenggara, barat daya dan barat laut.

Setiap sudut ini dikatakan sebagai paduraksa (pertemuan). Dalam setiap pertemuan ini, terdapat sebuah energi yang berkumpul, yang disebut dengan raksa (penjaga sudut).
.
Timur laut adalah Tri Raksa, tenggara adalah Guru/Aji Raksa, barat daya adalah Ludra Raksa.
.
Sementara di barat laut yang merupakan lokasi Pelinggih Penunggun Karang terdapat energi Kala/Bhuta Raksa.
.
Karena itu, penguasa Penunggun Karang disebut Sang Kala Raksa. Segala bentuk energi dia adalah penguasanya, baik energi positif maupun negatif.
.
Jika rumah kita ingin dijaga dengan benar, maka penjaga energi ini harus diperhatikan atau dihormati.
.
Sebab, ketika Sang Kala Raksa murka, dia akan membuka pintu sehingga hal-hal negatif bisa masuk ke pekarangan rumah.
.
Sang Kala Raksa merupakan hal yang sangat vital dalam suatu pekarangan. Meski demikian, Sang Kala Raksa ini tidak untuk disembah.
.
Dari segi tatanan warna, dia poleng atau mencerminkan kekuatan bawah. Tapi di satu sisi, dia kita butuhkan.
.
Kita memberikan sesaji bukan dalam bentuk persembahan, tetapi sebagai bentuk penghormatan.
.
Ketika kita menghaturkan sesaji di Penunggun Karang, “Panggil saja Sang Kala Raksa lalu berikan semacam suguhan, katakan, niki tadah sajin nira”.
.
Sekali lagi, karena dia bersifat bhuta kala, kita tidak meyembahnya, melainkan menghormatinya.
.
Sumber: Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda, di kolom Dharma Wacana bali.tribunnews. com


Gebogan adalah Panca Rengga

 


Gebogan adalah Panca Rengga, yakni lima macam buah-buahan yang berasal dari lima jenis kelahiran.
Mulai dari buah yang berasal dari bunga hingga buah yang berasal dari akar tanaman. Jika ini diabaikan, jelas nilai spiritualnya lenyap.
Buah yang termasuk dalam Panca Rengga ini, terdiri dari unsur buah-buahan yang dalam keberadaannya atau kelahirannya berbeda-beda. Buah yang lahir dari bunga seperti mangga, apel, jeruk, jambu.
Selanjutnya adalah buah yang ada sekali berbuah, pohonnya langsung mati, seperti pisang.
Yang ketiga adalah buah yang lahir langsung dari pohonnya, di antaranya nangka, durian, duku atau leci.
Selanjutnya adalah buah bersisik, seperti nanas, salak, buah naga. Yang terakhir adalah buah yang berasal dari akar, seperti bengkuang, sabrang, dan ketela.
“Selain itu, dalam Gebogan ini, juga wajib menggunakan penganan, yang dalam tradisi umat Hindu di Bali biasanya menggunakan jajan Begina dan jajan Uli yang terbuat dari ketan,” lanjutnya.
Sampian Gebogan. Selain itu, Gebogan juga berisikan hiasan berupa bunga yang ditusukan pada bagian atas.