Sabtu, 30 Januari 2021

Tiga Kategori Orang Melik; Tak Semua Bisa Melihat Roh Halus






Pandita Mpu Putra Yoga Parama Daksa dari Griya Agung Batur Sari, Banjar Gambang, Mengwi-Badung (DOK. BALI EXPRESS)



Orang yang melik dalam sebuah keluarga menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan. Seseorang yang lahir melik biasanya lebih sensitif terhadap hal-hal secara niskala. Banyak orang beranggapan seseorang yang lahir melik memiliki umur pendek. Namun jika bisa merawat dan memperhatikan, tentu hal tersebut dapat dicegah. Akan tetapi tidak semua orang melik dapat melihat roh halus. Ada pula orang melik berdasarkan hari lahir yang lebih menjurus ke kehidupan duniawi.





PANDITA Mpu Putra Yoga Parama Daksa dari Griya Agung Batur Sari, Banjar Gambang, Mengwi, Badung menjelaskan, ada tiga kategori orang melik. Yang pertama adalah melik Adnyana. Orang yang lahir dalam kondisi melik Adnyana ini akan bisa merasakan atau bisa melihat roh halus, dan bahkan bisa berkomunikasi dengannya. Orang yang melik Adnyana biasanya diawali dengan mimpi-mimpi ke pura, bertemu orang berpakaian putih, bertemu Petapakan Bhatara (Rangda atau Barong). “Orang melik Adnyana biasanya bisa menjadi balian atau mangku,” jelasnya saat dihubungi via telepon.


Yang kedua adalah melik Kelahiran. Melik ini disebabkan kelahiran manusia itu sendiri. Ada beberapa macam melik Kelahiran seperti orang yang lahir di Wuku Wayang, anak tunggal, anak yang lahir berkalung tali pusar atau tiba sampir, anak yang lahir berbelit tali pusa dan tidak menangis atau tiba angker, anak yang lahir pada Kamis Pon atau Wuku Watugunung atau disebut Lintangan Bade. Kemudian ada anak yang lahir pada Jumat Paing atau disebut Lintangan Bubu Bolong dan anak yang lahir saat Tumpek, Tumpek Landep, Tumpek Kandang juga bisa dikatakan melik. “Tidak semua melik itu buruk. Bahkan bukan buruk, lebih kepada anugerah istimewa yang diberikan Tuhan. Tentu ada kelebihan dan kekurangannya juga. Kembali pada karma masing-masing. Seperti Lintangan Bade, anak yang lahir akan dekat dengan kematian dan Lintangan Bubu Bolong adalah anak melik yang sifatnya boros,” tutur Mpu Yoga.

Selanjutnya adalah melik Ceciren. Orang yang dikatakan melik Ceciren ini adalah orang yang memiliki tanda dalam tubuhnya. Terkadang terlihat di dunia niskala atau sekala. Tanda itu berupa salah satu senjata Dewata Nawa Sanga. Terdapat tahi lalat pada bagian kelamin, sujenan di bokong, rambut putih beberapa helai dan tak bisa hilang, serta jari tangan lebih. “Kelahiran melik terlihat dari tanda-tanda di tubuhnya, antara lain ketika lahir, badannya dililit tali plasenta beberapa kali putaran. Kelahiran seperti ini sangat jarang terjadi, dan kalau ada, kebanyakan mati beberapa saat sebelum keluar dari rahim ibunya. Ketika tumbuh berumur kurang lebih 2 tahun, rambut di kepalanya kusut (sempuut). Walau digundul, tumbuhnya sempuut lagi. Kepalanya mempunyai pusaran (usehan) tiga atau lebih. Lidahnya poleng (ada warna hitam/coklat). Ada tahi lalat besar (maaf) di kemaluannya. Semua itu cirinya,” tambahnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dalam Lontar Purwa Gama disebutkan, anak yang memiliki melik mempunyai rerajahan sejak lahir yang dapat menimbulkan kematian, sehingga diperlukan upacara pebayuhan otonan melik pada si anak untuk menetralisir kekuatan tersebut, dan selalu ingat dalam melaksanakan suci laksana untuk mempertahankan dan meningkatkan kesucian diri. Rerajahan yang terdapat pada orang melik biasanya terdapat di telapak tangan, dijidat atau di bagian tubuh tertentu. Selain itu, juga bisa terdapat tanda senjata terkadang terdapat salah satu dari sembilan senjata pengider bhuwana, tergantung tugas yang diemban sang anak lahir ke dunia, dengan rerajahan senjata para dewa, seperti Bajra, Gada, Nagapasa, Cakra, Dupa, Angkus, Trisula, Moksala, Api dan Angin.

Ciri-ciri orang melik akan dapat diketahui ketika mepinunas atau metuun kepada sulinggih ataupun balian. Tentu jika ingin melihat tanda-tanda berupa sejata diatas pada orang melik tidak dapat dilihat dengan kasat mata atau oleh mata orang biasa.

Semakin cepat seseorang mengetahui dirinya memelik, maka semakin bagus. Sehingga akan segera dibuatkan upacara penebusan untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk dari memelik. Sesungguhnya orang melik itu adalah berkah bagi keluarganya, karena dia ibarat lokomitif atau pesawat terbang yang akan mengantarkan keluarganya ke alam kebahagiaan sekala-niskala. Maka tolong bantu dan bimbing orang-orang melik itu, karena dia akan berguna tidak hanya bagi keluarga yang memilikim tetapi juga bagi masyarakat luar.

Dalam sejarah Bali, ada contoh kelahiran melik yang sangat heboh, yakni kelahiran bayi tahun 1599, hasil perkawinan (tidak resmi) Dalem Seganing dengan Si Luh Pasek Panji. Ketika lahir, tubuh bayi itu seluruhnya berwarna merah darah, dan di malam hari dari ubun-ubunnya keluar sinar terang berwarna biru. Oleh karena itu, bayi itu dinamakan Ki Barak Panji. Ternyata setelah besar beliau sangat sakti, sehingga berhasil menjadi Raja Buleleng I dengan gelar I Gusti Anglurah Panji Sakti.

Mpu Yoga juga menuturkan salah satu cerita yang berhubungan dengan cerita orang melik ini. Ada kisah seorang raja bernama Raja Aswataki. Raja ini lama tidak memiliki keturunan. Maka ia melakukan pemujaan berupa Agni Holtra. Ia memuja Dewi Sawitri dan Dewi Gayatri setiap hari. Melihat ketulusannya, ia dianugerahi anak perempuan. Maka dinamai Sawitri. Sawitri tumbuh sebagai gadis yang cantik, baik dan penurut. Menginjak dewasa, Sawitri telah menyelesaikan tugasnya sebagai seorang Brahmacari. Tiba saatnya ia harus menginjak tahap Grahasta. Raja Aswataki menyarankan kepada putrinya Sawitri untuk memilih salah satu pemuda dari kenalannya. Namun Sawitri tidak mendapat satu laki-laki yang pas.

Suatu hari, Sawitri meminta izin untuk berjalan-jalan ke desa. Ia ingin melihat-lihat desa dan rakyatnya. Dan mungkin akan menemukan jodohnya disana. Raja Aswataki menyetujui dan merestui setiap pilihan putrinya. Ketika berjalan-jalan di desa, ia bertemu dengan pemuda sederhana bernama Satyawan. Putri Sawitri dan Satyawan saling jatuh cinta. Lalu pulanglah Saitri menemui ayahnya dan menyampaikan bahwa ia telah menemukan calon suami. Kemudian ia bertemu dengan Rsi Narada. Dalam penerawangan Rsi Narada, dikatakan Satyawan memiliki umur pendek. Sisa umur Satyawan hanya 4 tahun saja. Kemudian Raja Aswataki dan Rsi Narada menasehati Putri Sawitri. Namun Sawitri tetap bersikeras untuk menikah dengan Satyawan. Jika pun ia akan menjdi janda dalam waktu yang singkat, ia telah siap. Itu adalah karma yang harus ia terima di dunia. Mendengar pengakuan Sawitri, pernikahan pun dilaksanakan dengan restu dari kedua belah keluarga.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Singkat cerita, ajal Satyawan tinggal 4 hari lagi. Sawitri berpuasa dan berdoa setiap hari. Jangankan sebutir beras, setetes air pun tak ia konsumsi. Tibalah hari terakhir bagi Satyawan. Ia pergi ke hutan. Namun Sawitri ingin tetap mengikuti suaminya. Sampai di hutan Satyawan merasa kelelahan dan tidur di pangkuan Sawitri. Namun setelah beberapa lama, Satyawan tak kunjung bangun. Sawitri pun telah paham bahwa suaminya telah meninggal. Ditengah hutan itu Sawitri melihat sosok yang tinggi besar. Padahal sosok itu hanya dapat dilihat orang yang tidak biasa. Kepada sosok itu, Sawitri meminta satu permintaan untuk menghidupkan suaminya. Tanpa negosiasi yang alot permintaan itu pun dikabulkan. Maka hiduplah kembali Satyawan mendampingi Sawitri.

Anak melik biasanya “kerinyi” (sensitif, mudah tersinggung, mudah marah). Jadi ia perlu diperlakukan beda, misalnya kamar tidurnya harus selalu bersih dan suci, ada pelangkiran diatas hulu tidurnya. Ia perlu sering-sering melukat ke grya, makanannya dijaga agar selalu memakan makanan yang satwika. Banyak bergaul dengan orang-orang suci, karena dia merasa dekat dengannya. Kalau makin dewasa, berikan pelajaran agama yang intensif, panggilkan guru agama ke rumah untuk les, dan berikan pelajaran spiritual secara bertahap. “Nanti ia akan berumur panjang dan menjadi orang suci, karena rohnya sudah dalam kondisi siap menerima lanjutan kemampuan supranatural,” ungkap Mpu Yoga.

Selain melakukan pebayuhan, seseorang yang melik juga harus dijaga makanannya, jangan sampai makan makanan kotor sekala niskala. Pada umumnya orang melik pantang makan darah, tulang dan jeroan. Pantang juga memakan daging sapi, ular, anjing serta pantang minum arak, tuak, berem maupun minuman beralkohol lainnya. “Idealnya adalah makan makanan organik dan vegetarian,” kata dia.

Lalu yang terpenting berikutnya adalah, jangan melakukan hubungan sex di luar pernikahan. Jangan menginap dan tidur di sembarang tempat. Kalau terpaksa, maka sebelum tidur harus dilakukan pembersihan dan pengamanan terlebih dahulu. “Sebenarnya jika sudah punya guru, maka guru itu pasti mengajarkan tata cara ini,” tutupnya.

(bx/dhi/yes/JPR)

Tata Cara Malukat yang Benar Menurut Reg Veda






MELUKAT: Warga Malukat mencari sumber air yang diyakini punya tuah untuk membersihkan secara sekala dan niskala. (I PUTU MARDIKA BALI EXPRESS)





BALI EXPRESS, DENPASAR - Dewasa ini banyak orang berduyun - duyun datang ke sumber mata air atau pun griya untuk Malukat. Agar tak tergerus tren, ada tata cara Malukat sederhana yang benar.





Banyak alasan yang mendorong orang untuk Malukat di sumber mata air yang diyakini punya tuah khusus, diantaranya karena sakit berkepanjangan, sakit akibat ilmu hitam ataupun untuk dimudahkan jodohnya. Dan, tak sedikit mereka datang berbekal niat dan keyakinan. Agar lebih klop, sebaiknya dipahami bagaimana tata cara membersihkan diri skala niskala ini.


Menurut Ida Sri Bhagawan Narendra Acharya Daksa Manuaba, Malukat berasal dari kata Sulukat, Su berarti baik, dan Lukat berarti penyucian. Melukat biasanya dilakukan di sumber mata air, tempat suci ataupun di sebuah griya.


Dijelaskannya, dalam Reg Veda II. 35.3 disebutkan, Tamu sucim sucayo didivansam, Apam napatam parithasthur apah. Yang berarti bahwa air suci murni yang mengalir, baik dari mata air maupun dari laut mempunyai kekuatan yang menyucikan.


Sulinggih yang juga dosen Institute Hindu Dharma Indonesia (IHDN) Denpasar, mengatakan Malukat merupakan suatu kegiatan spiritual yang berfungsi sebagai ritual penyucian serta pembersihan jiwa dan pikiran.


"Pembersihan tak hanya dilakukan secara skala (fisik), namun juga dilakukan secara niskala. Malukat itu kan berasal dari kata Selukat yang berarti penyucian. Nah, yang disucikan adalah pikiran, tubuh juga jiwanya, baik secara skala maupun niskala,” ujarnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), pekan kemarin.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Selain itu, ia juga menambahkan, Melukat juga merupakan upaya penyeimbangan antara Bhuana Alit (tubuh manusia) dan Bhuana Agung (Alam Semesta). “ Energi Bhuana Alit harus diseimbangkan dengan Bhuana Agung. Karena energi yang terbesar dan selalu positif adalah energi alam. Energi yang ada pada Bhuana Alit (tubuh manusia) biasanya dipengaruhi banyak hal, makanya berubah menjadi negatif. Perubahan energi itulah yang membuat kita kadang merasa gelisah, uring – uringan, bahkan mengidap sakit tahunan,” papar Ida Sri Bhagawan Narendra Acharya Daksa Manuaba.


Dalam prosesi Panglukatan, tempat melukat dianggap penting. Sesuai yang dipaparkan dalam Reg Veda, ada tiga kategori tempat Panglukatan yang dikatakan baik, yaitu tempat Panglukatan yang memiliki mata air sekaligus disucikan seperti Patirtaan, Beji, Campuhan, dan Laut, yang memiliki vibrasi positif.
Panglukatan umumnya menggunakan prasarana seperti Nyuh Gading, Pajati, Prayascita dan Rayuan. “Semuanya tergantung tempat yang didatangi untuk Malukat. Jika mereka datang Malukat di Beji atau Campuhan misalnya, tidak harus menggunakan Nyuh Gading. Namun, jika mereka Malukat di griya atau pura yang tidak memiliki Beji, semestinya membawa nyuh gading sebagai sarana pembersihan,” ujar sulinggih yang berpakaian serba orange ini.


Diakuinya Malukat secara rutin memang penting. “Malukat itu sangat penting, apalagi bagi mereka yang terlahir khusus, seperti Mamelik. Karena Malukat tak hanya tubuh yang dibersihkan, jiwa, pikiran juga dibersihkan,” paparnya.


Ditekankannya, Malukat sesungguhnya tidak mengenal hari baik. Tergantung kesiapan diri dalam melakukan pembersihan. “Sebenarnya kapan pun baik melakukan Panlukatan. Tak harus ketika rahinan Purnama ataupun Tilem, yang terpenting adalah kesiapan yang Malukat. Jika pikiran dan batin kita tak siap, ya sama saja bohong. Meskipun Malukatnya pada saat hari terbaik dalam setahun sekalipun,” paparnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Tatacara yang benar Malukat diawali dengan menghaturkan Pajati ataupun banten yang dibawa. “Ada baiknya Malukat harus dipimpin oleh pemangku ataupun sulinggih jika melukat di griya. Pemangku akan menyampaikan tujuan pamedek yang datang Malukat. Sebab, setiap orang yang datang memiliki tujuan yang berbeda. Ada yang bertujuan untuk kesembuhan, ada pula yang ingin enteng jodoh,” paparnya.


Setelah menghaturkan banten, lanjutnya, sebaiknya pamedek segera bersiap untuk melakukan panglukatan, yakni mandi di bawah mata air langsung atau diguyur menggunakan Nyuh Gading. “Kalau di griya biasanya akan dipimpin seorang sulinggih.


Berbeda jika Malukatnya di Beji atau tempat Patirtaan, pamedek dituntut lebih mandiri. Jadi bisa langsung mandi,” ujarnya.


Sebelum mandi, Ida Rsi menyarankan yang Malukat mengucapkan mantra atau memohon doa. “Di dalam Reg Veda disebutkan ada sebuah mantra khusus Panglukatan. Tapi jika tidak memungkinkan atau tidak hafal, ucapkan Mantram Gayatri saja sudah cukup,” jelasnya.


Dalam Reg Veda X. 17.10 dijelaskan sebuah mantram yang digunakan sebelum melakukan Panglukatan yaitu: Apo asman matarah Sundhayantu, Ghrtena no Ghrtapvah punantu, Visvam hi ripram pravahanti devir, Ud id abhyah sucir a puta emi. Yang berarti, semoga air suci yang merupakan berkah dari alam semesta ini, menyucikan diri serta pikiran kami, agar kami bercahaya dan gemerlap. Semoga air suci ini melenyapkan segala kekotoran. Kami akan bangkit dari kegelapan (kotor) dan memperoleh kesucian.
Setelah usai mandi dan membersihkan tubuh, pamedek disarankan untuk mengganti pakaian dengan pakaian yang bersih. “Setelah Malukat, selalu diakhiri dengan persembahyangan. Namun, pamedek wajib mengganti pakaiannya dengan yang lebih bersih. Pasalnya, setelah Malukat diibaratkkan kita telah bersih, dan harus diikuti dengan pakaian yang bersih pula.


"Dalam Veda, Malukat sebaiknya dilakukan tanpa busana. Dalam Reg Veda disebutkan, air suci yang mengalir langsung sebaiknya mengenai seluruh bagian tubuh. Tak hanya mengenai bagian tubuh yang terlihat seperti kepala, atau lengan dan kaki saja. Di beberapa pura sudah menerapkan isi Veda tersebut. Namun, di beberapa tempat masih merasa hal tersebut sangat tabu,” paparnya.


Dalam Reg Veda I. 23. 23 menyebutkan, Apo Adyanv acarisam rasena sam agasmahi, payasvan agna a gahi sam prayaya sam ayusa. “Jadi, sangat penting dalam proses Panglukatan ini seluruh badan, termasuk badan yang tersembunyi harus terkena air suci tersebut," ulasnya. Mengenai teknis, lanjutnya, pamedek bisa saja giliran malukatnya atau diatur oleh pengelola tempat Malukat.



(bx/tya/yes/JPR)

Minggu, 24 Januari 2021

Dalam Bhagawad Gita, Makan Makanan Sukla, Sama dengan Pencuri






Mpu Jaya Prema (AGUNG BAYU/BALI EXPRESS)





BALI EXPRESS, BALI - Ketika umat muslim memiliki, halal dan haram. Di Bali muncul branding makanan sukla. Namun yang menjadi tidak nyambung, Hindu mengenal apa pun yang sukla dipersembahkan ke Ida Sang Hyang Widhi. Apakah kita makan yang sukla atau lungsuran (setelah dihaturkan)?


Menurut Mpu Jaya Prema, Sukla adalah istilah budaya dalam masyarkat Hindu Bali yang mengandung pengertian makanan atau persembahan yang suci. Kalau merujuk pada ajaran agama, makanan atau apa pun menurut Mpu Jaya Prema yang disebut sukla adalah hal-hal yang akan dipersembahkan kepada Tuhan, baik melalui dewa dewi (Istadewata) maupun persembahan kepada leluhur.





Setelah dihaturkan dilanjutkan Mpu Jaya Prema, maka jadilah makanan itu prasadam yang di dalam bahasa Bali dipakai kata lungsuran atau paridan.


“Inilah yang akan kita makan, bukan memakan yang masih sukla,” jelas wartawan senior Tempo ketika masih walaka.

Jadi menurut Mpu Jaya Prema, istilah sukla tersebut dipakai untuk menunjukkan bahwa itulah makanan yang “layak makan” secara agama sangat bertentangan. Bahkan dianggap melanggar ajaran Hindu itu sendiri. Karena ajaran Hindu menyebutkan bahwa makanan yang “layak makan” adalah makanan yang sudah dipersembahkan terlebih dahulu. Prasadam atau lungsuran, itulah makanan yang utama.

Terkait makanan sukla ini, Mpu Jaya Prema menyebutkan jika ketentuan untuk mengkonsumsi makanan yang layak makan sudah diatur dalam Bhagawad Gita IV-31 yang berbunyi: Yajna sistamrta bhujo – yanti brahma sanatanam – nayam loko sty ayajnasya – kuto nyah kuru-sattama. Terjemahan bebasnya: “Mereka yang makan makanan suci yang setelah melalui suatu persembahan atau pengorbanan akan mencapai Brahman Yang Abadi (Tuhan). Dunia ini bukan untuk orang yang tak mau mempersembahkan suatu pengorbanan atau yadnya,” urainya.

“Bahkan dalam sloka lainnya disebutkan, mereka yang makan makanan yang belum dipersembahkan tak ubahnya seorang pencuri,” sambungnya.

Salah satu contohnya adalah ketika selesai memasak di dapur, umat dikatakannya tidak perlu memboyong semua makanan ke pura. “Para leluhur kita sudah memberikan contoh yang praktis dengan cara selesai memasak ambil sejumput nasi dan lauk yang kita makan, lalu persembahkan dengan istilah yang biasa disebut mesaiban atau ngejot atau mungkin kata lain sesuai budaya setempat,” lanjutnya.

Sedangkan jika makan di restoran atau tempat makan lainya, jika umat tidak yakin dengan makanan tersebut sudah dipersembahkan atau belum, maka umat Hindu dikatakan Mpu Jaya Prema bisa mempersembahkan makanan tersebut di tempat itu juga dengan cara mengambil sejumput nasi dan lauk, taruh di pinggir piring dan dilanjutkan dengan berdoa pendek, “Om anugraha amertha di sanjiwani ya namah swaha. Artinya, mari kita persembahkan makanan yang sukla itu dan mari kita makan sisa makanan (prasadam) sebagai makanan yang suci,” kata Mpu Jaya Prema.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Menyangkut dengan makanan, sehat mengacu ke sastra Hindu, kata Mpu Jaya Prema, Bhagawad Gita menguraikan dari sisi kesehatan dan pengaruhnya terbagi dalam tiga jenis yakni satwika (sattvik), rajasika (rajasik) dan tamasika (tamasik).

Dalam Bagawad Gita Bab XVII-8 menyebutkan ciri makanan yang bersifat satwika yakni makanan yang memperpanjang hidup dan menunjang kesucian, tenaga, kesehatan, kebahagiaan, dan kegembiraan, yang manis, lembut, penuh dengan gizi. Di sloka 9, disebutkan yang bersifat rajasika yakni makanan yang pahit, asam, bergaram, terlalu pedas, berbau, kering dan membakar, yang menimbulkan penderitaan, kesusahan dan penyakit. Di bab sama sloka selanjutnya (sloka 10) disebutkan yang bersifat tamasika yakni makanan yang tak segar, tak berasa, basi, tidak bersih.

Lebih lanjut dipaparkan Mpu Jaya Prema, makanan sattvik, ini bisa menambah kewibawaan, intelektualitas, kekuatan, kesegaran, kesehatan, kenikmatan lahir dan batin, kegembiraan, dan kebahagiaan hidup. Jenis makanan ini antara lain beras, gandum, mentega, buah-buahan segar. Selanjutnya adalah makanan rajasik untuk mereka yang masih diliputi dengan nafsu dan keinginan duniawi. Misalnya daging dan makanan yang penuh rasa. “Sedang makanan tamasik adalah jenis makanan yang disukai oleh mereka yang hidup dalam kegelapan. Misalnya yang membuat mabuk dan malas,” paparnya.



(bx/gek/bay/art/yes/JPR)

Kamis, 21 Januari 2021

Sejarah Kajeng Kliwon Pemelastali dan Runtuhnya Watugunung

 

Begini Sejarah Kajeng Kliwon Pemelastali dan Runtuhnya Watugunung

KURMA: Perwujudan Dewa Wisnu sebagai Kurma atau Kura-kura yang memiliki lidah berupa senjata cakra menaklukan Watugunung. (ISTIMEWA)


Hari Suci atau rerahinan di Bali cukup banyak. Bahkan, hampir setiap minggu pada kalender Bali terdapat hari penting bagi umat Hindu. Namun, ada yang spesifik, salah satunya adalah Kajeng Kliwon Pamelastali atau Watugunung Runtuh. Bagaimana kisahnya?

Watugunung adalah nama wuku terakhir dari perhitungan pawukon di Bali. Nama Watugunung berasal dari cerita Watugunung. Konon Watugunung adalah sesorang yang kuat dan sakti. Wuku ini memiliki Urip 8 dan berada pada urutan ke-30. Banyak cerita yang berkembang tentang Watugunung. Dalam lontar Medang Kemulan disebutkan bahwa Watugunung merupakan putra Dewi Sintakasih yang merupakan permaisuri Kerajaan Kundadwipa.


Disebutkan Raja Kulagiri yang memerintah di Kundadwipa  memiliki dua orang istri, yaitu Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia. Suatu ketika Raja Kulagiri sedang bertapa di Gunung Semeru, meninggalkan istrinya Dewi Sintakasih yang sedang mengandung. Semakin lama, perut Dewi Sintakasih kian membesar. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyusul Raja Kulagiri ke Gunung Semeru. Ternyata, di tengah perjalanan menuju puncak gunung, Dewi Sintakasih melahirkan tepat di atas batu besar yang datar. Tanpa disadari, sang bayi yang dilahirkan terjatuh.

Anehnya, sang bayi tak cacat sedikitpun. Yang lebih aneh lagi, batu besar yang ditimpa bayi  tersebut malah terbelah menjadi dua bagian. 


Atas anugerah Dewa Brahma, bayi Dewi Sintakasih tersebut diberikan nama I Watugunung. Dewa Brahma bersabda, bahwa Watugunung akan menjadi seseorang yang sakti dan terkenal, serta tidak akan mati terbunuh oleh Dewa, Detya, Denawa, Asura, maupun manusia. Namun, Watugunung dapat dikalahkan dan dibunuh oleh Dewa Wisnu yang berwujud sebagai kura-kura (Kurma). 

Seiring berjalannya waktu,Watugunung mengalami pertumbuhan sangat pesat, nafsu makannya pun tinggi dan membuat ibunya kewalahan. Suatu hari, Watugunung meminta makan dan ibunya sudah kewalahan dan tidak mampu menahan emosinya. Akibatnya, kepala Watugunung dipukul oleh ibunya dengan sendok nasi, sehingga  kepala Watugunung  luka dan berdarah. Akibat kejadian itu, Watugunung pergi meninggalkan istana. 

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Konon, dalam perjalananya pergi meninggalkan kerajaan, ia menjadi seorang perampok. Semua kerajaan mampu ditaklukan Watugunung,  termasuk Kerajaan Kundadwipa yang merupakan kerajaannya dahulu. Di sana ia menikahi Dewi Sintakasih yang tak lain adalah ibunya sendiri.

 Namun, suatu ketika, Dewi Sintakasih sedang mencari kutu di kepala Watugunung. Dilihatlah luka bekas pukulan sendok nasi di kepala Watugung. Akhirnya, karena merasa berdosa dan ingat bahwa yang bisa mengalahkan Watugunung hanya Dewa Wisnu, maka Dewi Sintakasih memohon kepada Watugunung agar menjadikan Dewi Sri Laksmi yang tak lain adalah istri Dewa  Wisnu untuk dijadikan madu. 


Kinginan itu membuat Dewa Wisnu menjadi marah besar. Namun, kemarahan Dewa Wisnu tidak membuat Watugunung takut, tetapi malah menantang Dewa Wisnu untuk berperang. Peperangan pun tidak dapat dihindari, Dewa Wisnu menjelma menjadi seekor Kurma atau kura-kura bersenjatakan cakra. Dan, sejurus kemudian Watugunung mampu dikalahkan oleh Dewa Wisnu. Dan, hari itu bertepatan dengan  kekalahan Watugunung  disebut sebagai Hari Watugunung Runtuh atau Kajeng Kliwon Pemelastali. 


"Kajeng Kliwon Pamelastali juga diambil dari cerita Watugunung. Di mana, Watugunung  sebagai orang yang sakti, namun tidak memiliki kepintaran. Hal inilah yang menjadi awal dari urutan Hari Suci Saraswati yang diyakini sebgai hari turunnya ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, yang mampu memerangi kebodohan adalah ilmu pengetahuan,” ujar Dosen Universitas Hindu Indonesia I Kadek Satria, S.Ag. M.Si. kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Jumat (13/1) lalu. 


Dijelaskan Satria, Pamelas artinya melepaskan, dan tali memiliki arti sarana mengikat. Jadi, Pamelastali memiliki makna melepaskan ikatan. Ikatan apa yang dilepas? Yaitu ikatan kebodohan dan sifat buruk dari Watugunung.


Nah, setelah Watugunung kalah dalam peperangan dengan Dewa Wisnu, keesokan harinya ia menjadi mayat atau orang Bali menyebutnya dengan watang. “Sehingga, hari Senin setelah Watugunung Runtuh dinamakan Soma Candung Watang. Hari itu untuk memperingati bahwa Watugunung telah mati dan menjadi mayat,” ujar pria yang juga pimpinan Pasraman Pasir ukir di Buleleng ini.


Sedangkan keesokan harinya, mayat Watugunung diseret atau bahasa balinya dipaid oleh Dewa Wisnu, sehingga pada hari Selasa disebut sebagai hari Anggara Paid-paidan. Pada saat Watugunung diseret oleh Dewa Wisnu, ditemukanlah oleh Bhagawan Boda. Atas permohonan Bhagawan Boda, Dewa Wisnu mengizinkan agar Watugunung dihidupkan kembali. Oleh karena itu, pada hari Rabu dikenal dengan sebutan Budha Urip. 


Setelah hidup kembali, Watugunung metegtegan (istirahat sejenak) terlebih dahulu, bagaimana halnya seperti orang baru bangun. Sehingga hari itu dinamakan hari Wraspati Panegtegan. Setelah itu, pada hari Jumat, Watugunung menyadari bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah kesalahan yang besar, sehingga ia harus memohon kepada Tuhan agar diberikan pengampunan. Dan, hari itu dikenal dengan sebutan Sukra Pangredanan.

Selanjutnya, puncak dari Wuku Watugunung adalah hari suci Saraswati, pada hari itu diyakini sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan yang dapat mengalahkan kebodohan. “Jadi, pada hari Minggu yang merupakan awal wuku Watugunung hendaknya kita melepaskan ikatan atau sifat buruk Watugunung, dan pada akhir wuku Watugunung kita memuja Tuhan sebagai anugerah atas ilmu pengetahuan,” tutup Satria. 


https://baliexpress.jawapos.com/read/2017/11/05/24602/begini-sejarah-kajeng-kliwon-pemelastali-dan-runtuhnya-watugunung


Senin, 18 Januari 2021

Bentuk, Isi, serta Makna Sepuluh Canang yang Digunakan di Bali

 








BALI EXPRESS, DENPASAR - Bali memiliki tiga tingkatan upakara, yakni Nista, Madya dan Utama. Ketiga tingkatan inilah yang mendasari umat Hindu dalam beryadnya sesuai kemampuan, agar yadnya yang dilakukan tidak memberatkan.

Upakara dengan kwantitas terkecil dikenal dengan istilah Nista, di mana salah satunya cukup dengan sarana upakara berupa canang. Canang berasal dari sukukata ‘Ca’ yang artinya indah, sedangkan kata ‘Nang’ artinya tujuan.

“Dapat didefinisikan canang merupakan sarana untuk mencapai tujuan yaitu keindahan (Sundharam) kehadapan Ida Sang Hyang widhi Wasa,” Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran kepada Bali Express (Jawa Pos Group).



Lebih lanjut dijelaskan Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran , canang yang dialasi sebuah ceper adalah simbol Ardha Candra, sedangkan canang yang dialasi sebuah tamas kecil merupakan simbol Windhu. Di dalam ceper terdapat porosan silih asih yang memiliki makna welas asih dalam melaksanakan upakara. Selai porosan, di dalam ceper juga berisi jajan, tebu dan pisang yang merupakan simbol ‘Tedong Ongkara’ yang menjadi perwujudan kekuatan Utpeti, Stiti, dan Pralin. Di atas raka-raka tadi disusunkan sebuah sampian urasari yang merupakan simbol windhu, sedangkan ujungnya merupakan simbol nadha.

Di atas sampian urasari disusun bunga dengan susunan sebagai berikut, bunga putih diletakkan di arah timur yang merupakan simbol Sang Hyang Iswara. Bunga Merah diletakakan di arah selatan yang merupakan simbol Dewa Brahma. Bunga Kuning diletakkan di arah barat yang merupakan simbol Dewa Mahadewa. Bunga biru atau hijau diletakkan di arah utara yang merupakan simbol Dewa Wisnu.

“Dan, yang terakhir adalah Kembang Rampai yang diletakkan di tengah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata,” jelasnya.

Dengan demikian, canang mengandung makna sebagai permohonan umat Hindu kehadapan Sang Hyang Widhi (berwujud Ongkara), bahwa umatnya memohon kekuatan agar Beliau bermanifestasi menjadi Ista Dewata.

Berikut Beberapa jenis canang yang dikenal di Bali: 
1. Canang Sari


Canang Sari (ISTIMEWA)


Canang Sari adalah sebuah canang yang alasnya menggunakan ceper atau tamas kecil dan sampian urasarinya membentuk astadala, sehingga bentuknya bundar yang berfungsi sebagai sarining yadnya.

Canang sari terdiri dari dua jenis, yaitu Canang Sari Ageng dengan sampian urasari berbentuk astadala dan Canang Sari Alit yang pada sampian urasarinya menunjuk empat arah mata angin, namun maknanya tetap sama. 
2. Canang Genten


Canang Genten (ISTIMEWA)


Canang Genten, pada intinya sama dengan canang sari hanya ditambahkan dengan jajan kiping, pisang mas dan bubur sesuruh merah dan putih. Di masing-masing bubur tersebut dibungkus dengan janur yang digiling menyerupai sebatang rokok serta diletakkan di bawah sampaian urasari.

Fungsi canang ini adalah untuk memohon anugerah keremajaan, sehingga sering digunakan pada saat upacara matatah atau menek kelih (beranjak dewasa).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

3. Canang Pesucian

Canang Pesucian yang dialasi dengan sebuah taledan kecil yang berbentuk segi empat panjang dan memiliki satu sibeh pada bagian pangkalnya. Di atas taledan ini dijahitkan lima buah celemik dengan posisi tempatnya di atas yang berisi tepung tawar, merupakan simbol kekuatan Sang Hyang Iswara.

Di kanan yang berisi lenga wangi yang telah dicampur dengan kapas berisi minyak wangi yang merupakan simbol Sang Hyang Brahma. Di bawah berisi daun dapdap yang merupakan simbol Sang Hyang Mahadewa. Di kiri berisi sisig yang merupakan simbol kekuatan Sang Hyang Wisnu dan di tengah berisi burat wangi yang merupakan simbol kekuatan Sang Hyang Siwa.



4. Canang Gantal

Pada prinsipya hampir sama dengan canang pesucian. Hanya, di tengahnya ditambahkan base tubungan matungkas. Kata ‘Gantal’ berasal dari kata Gana yang mengandung arti pertemuan, sedangkan kata ‘Tal’ dapat diartikan bersatu. Dengan demikian, Canang Gantal memiliki makna permohonan kedamaian kepada Tuhan. 
5. Canang Pangrawos


Canang Pangrawos (ISTIMEWA)


Model lainnya adalah Canang Pangrawos, yang pada prinsipnya memiliki kesamaan dengan canang gental, hanya di tengahnya mempergunakan sebuah takir berisi lima buah lekesan. Hal ini bertujuan untuk memohon kebulatan pendapat berdasarkan ketenangan hati untuk mencapai kedamaian.

Canang ini biasa digunakan saat rapat ataupun pengajuman. 
6. Canang Tubungan


Canang Tubungan (ISTIMEWA)


Model selanjutnya yakni Canang Tubungan. Canang ini pada prinsipnya sama dengan canang pangerawos, bedanya hanya terdapat pada lekesannya saja. Kalau di canang pangerawos terdapat lima, sedangkan di canang tubungan hanya satu.

Canang ini merupakan penghormatan terhadap Ida Sang Hyang Widi agar dianugerahkan kekuatan. Canang ini biasanya digunakan saat upacara nuntun atau mamendak. 

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


7. Canang Raka


Canang Raka (ISTIMEWA)


Selanjutnya Canang Raka, yang pada prinsipnya sama dengan canang sari. Pada canang raka tedapat buah-buahan sebanyak lima macam yang merupakan simbol permohonan pengeleburan panca mala. Baik terhadap bhuwana agung maupun bhuwana alit. Selain itu, canang ini juga bertujuan agar dianugerahkan Panca Amertha, yakni Amertha Sanjiwani yang disimbolkan dengan pisang kayu, Amertha Kamandalu yang disimbolkan dengan buah salak, Amertha Kundalini yang disimbolkan dengan buah yang berwarna kuning, Amertha Pawitra yang disimbolkan dengan buah manggis, dan Amertha Maha Mertha yang disimbolkan dengan buah jeruk.

Canang ini biasa dugunakan saat upacara Panca Yadnya, khususnya saat mendem pedagingan dan nyejer.

8. Canang Tadah Sukla

Pada prinsipnya sama dengan membuat Canang Payasan, hanya isi celemiknya yang berbeda. Pada canang ini isi celemiknya masing-masing, yakni celemik pada bagian kiri atas berisi kacang ijo, celemik pada bagian kanan atas berisi kacang komak, celemik pada bagian kiri bawah berisi ubi lima iris, celemik pada bagian kanan bawah berisi keladi lima iris, dan celemik pada bagian tengah bersisi kacang botor dan pisang kayu mentah sebanyak lima iris. Kemudian di atasnya diletakkan canang sari.

Canang ini merupakan simbol kekuatan iman, kesucian dan kesejahteraan. Canang ini biasa digunakan saat upacara pebersihan. 
9. Canang Pangengkeb


Canang Pangengkeb (ISTIMEWA)


Canang ini pada prinsipnya sama dengan Canang Payasan, hanya ditengahnya berisi dua bua takir dengan posisi tempat kanan dan kiri. Yang di kanannya berisi beras kuning dengan satu buah base tubungan, sedangkan takir yang kiri berisi cendana.

Canang ini bertujuan agar dianugerahkan kekuatan kewibawaan atau taksu dalam berkesenian. Canang ini biasa digunakan saat pementasan tarian sakral. 
10. Canang Saraswati


Canang Saraswati (ISTIMEWA)


Canang ini menggunakan tamas kecil atau sebuah ceper sebagai alasnya. Di dalamnya berisi jajan, pisang, tebu, porosan, sampian plaus yang diletakkan pada bagian hulunya. Kemudian dipasangkan lima buah celemik. Celemik bagian atas berisi jajan suci bungan temu putih kuning, celemik di bagian kanan berisi jajan suci karang putih kuning, celemik di bagian bawah berisi jajan suci kekuluhan putih kuning, di bagian kiri berisi jajan karna putih kuning, di bagian tengah berisi jajan suci candigara putih kuning.

Di atas tetandingan jajan suci tadi disusunkan lagi sebuah ceper yang merupakan ceper kedua yang di dalamnya berisi lima buah celemik. Masing-masing celemik berisi pala bungkah dan pala gantung. Kemudian di atas panca ini disusun sebuah ituk-ituk yang berisi eteh-eteh tetukon. Selanjutnya ituk-ituk ini diisi dengan jajan saraswati yang dialas dengan daun beringin, selanjutnya di atas jajan saraswati diisi dengan pesucian dan canang sari.

Canang ini bertujuan untuk memohon anugerah kepintaran dan biasa digunakan saat hari Suci Saraswati. 

(bx/rin/gus /yes/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2017/12/03/31018/ini-bentuk-isi-serta-makna-sepuluh-canang-yang-digunakan-di-bali

Jyotisha Ilmu Astronomi dan Astrologi Hindu Kuno






NYEPI: Surya Pramana tentukan sasih Kasanga dan jatuhnya tilem melalui perhitungan Candra Pramana untuk memastikan jatuhnya Hari Raya Nyepi. (ISTIMEWA)





Meramal nasib hingga prediksi fenomena alam berdasar posisi bintang, sudah menjadi ilmu tersendiri dalam Agama Hindu. Bahkan, sudah ada dan diterapkan ribuan tahun silam.


Astrologi dan Astronomi, dua ilmu yang tidak bisa dipisahkan walau memiliki perbedaan. Astronomi melihat posisi bintang dan dengan perhitungan khusus bisa mengetahui prediksi fenomena alam, sedangkan Astrologi adalah mengamati posisi bintang untuk mengetahui pengaruhnya pada kehidupan manusia.





Dikatakan Kepala Program Studi S-2 Ilmu Komunikasi di IHDN, DR I Gede Sutarya,
Astrologi dan Astronomi dalam Hindu masuk dalam Jyotisha yang sudah ada sejak ribuan tahun silam.


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


"Jyotisha adalah Ilmu Astrologi sekaligus Ilmu Astronomi Hindu Kuno. Berasal dari bahasa Sansekerta, yakni Jyoti yang berarti cahaya, dan Ish bermakna Tuhan. Sehingga Jyotisha bermakna Tuhan pengendali cahaya, " terang Sutarya, ahli wariga yang juga penyusun kalender Bali ini.


Dijelaskan Sutarya, Jyotisha masuk dalam percabangan Wedangga yang merupakan bagian tubuh dari kitab suci Weda.


Pengunaan Jyotisha bisa dilihat juga dalam film bertemakan Hindu, seperti Mahabahrata saat Rsi Jaimini memprediksi hasil perang Mahabharata dengan Marahaja Drestarata dan Maharani Gandari.


Ilmu Astronomi dan Astrologi Hindu kuno ini sampai sekarang tetap digunakan. "Hal ini dapat dilihat masih kentalnya budaya India untuk melihat ramalan jodoh anak-anak mereka yang akan dinikahkan. Bahkan di Bali masih sering dipakai, terutama dalam menentukan hari raya, masa tanam, ramalan kelahiran dan lainnya oleh umat Hindu,” ujar Sutarya kepada Bali Express (Jawa Pos Group) pekan kemarin.


Dikatakannya, penentuan posisi bintang dilakukan oleh para Maharsi terdahulu dengan melakukan pengamatan, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan. Perhitungan Astronomi ini akan menghasilkan waktu kapan sesuatu terjadi, seperti hari raya apa saja yang akan jatuh dari tilem (bulan mati) sampai tilem berikutnya, dan kapan terjadinya gerhana matahari ataupun gerhana bulan.


Perhitungan di Jyotisha menggunakan bumi sebagai patokan, dimana planet lain mengitarinya. Hal ini semata-mata digunakan untuk penyederhanaan perhitungan Astronomi yang dilakukan, sebab dalam Weda menganut Heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya), bukan geosentris (bumi sebagai pusat tata surya), seperti termuat dalam kitab Sama Weda 121. “Matahari tidak pernah terbenam ataupun terbit, sebab bumi yang berotasi,” ujar dosen Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar ini.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Ditambahkannya, pengamatan dari posisi planet, matahari, bulan dan bintang menimbulkan pemaknaan, yang akhirnya menjadi Ilmu Astrologi. Melihat posisi planet dan bintang, para Maharsi pada zaman dahulu bisa memprediksi hadirnya kehancuran, bencana, hadirnya raja baru, dan lain sebagainya. “Di India banyak sudah riset tentang Jyotisha ini, bahkan para sarjana barat juga banyak melakukan penelitian. Sehingga kini semakin mudah mencari referensi tentang ilmu ini, sebab sudah banyak diartikan dalam Bahasa Inggris,” ujar Sutarya.


Penerapannya di Indonesia belum begitu banyak, lanjutnya, namun di Bali sudah ada pada Ilmu Wariga yang dikenal secara umum.


Ilmu Jyotisha termasuk kategori ilmu yang bersifat ilmiah, jika dilihat pada bagian Astronominya. Sebab, dengan perhitungan Astronomi, fenomena alam bisa dihitung kapan terjadinya. Sedangkan pada Astrologi tidak bisa dipastikan 100 persen kebenarannya, mengingat mengartikan posisi bintang terhadap ramalan hidup manusia perlu pembuktian jelas. “Kalau mengenai pemaknaan posisi bintang (Astrologi), saya tidak berani mengatakan ilmu Astrologi pada Jyotisha 100 persen tepat juga,” ujar Sutarya.


“Anggap saja ketika purnama misalnya kekuatan seorang sedang dalam puncaknya, kemudian ada arti hari kelahiran dan sebagainya perlu pembuktian yang tidak mudah,” tegasnya.
Film asal India bertemakan Hindu sering memperlihatkan para Maharsi meramal masa depan, lalu kenapa selalu bisa tepat?


Menurut Sutarya, hal itu terjadi karena Maharsi pada masa lampu mempelajari kitab Astrologi secara khusus. Mereka melihat konstelasi bintang dan mengartikan makna dari hasil pengamatan tersebut. Maharsi tentu dahulu mempelajari dengan baik, sedangkan kini masih riset di India.
Perkembangan Ilmu Jyotisha dari India sampai ke Jawa, kemudian akhirnya sampai di Bali sekitar abad ke-10 Masehi dengan berbagai penyesuaian. Sutarya menjelaskan diperkirakan di masa pemerintahan Mpu Sindok itu terjadi. Kala sang putri, yakni Mahendradatta menikah dengan Raja Udayana, dimana pernikahan turut juga membawa ajaran perhitungan pawukon dan wewaran. “ Pengetahuan itu masuk dari Bali Utara oleh Sang Ratu Luhur Sri Gunapriya Dharmapatni (gelar Ratu Mahendradatta). Jadi, wewaran pawukon di Bali itu dari Jawa sebenarnya,” terang Sutarya.


Perkembangannya selanjutnya di Bali, Ilmu Astronomi dan Astrologi kemudian dikenal menjadi Ilmu Wariga. Patokan yang digunakan di Bali adalah perhitungan Surya Chandra Pramana atau yang akrab di telinga sebagai solar dan lunar system yang sampai sekatang tetap dipakai di kalender khas Bali. Penggunaan itu salah satunya pada saat menentukan jatuhnya Hari Raya Nyepi, yakni menentukan sasih kasanga melalui perhitungan Surya Pramana (jatuh setiap sasih yang sama) dan menentukan jatuhnya tilem melalui perhitungan Candra Pramana.


Ditambahkannya,perkembangan Wariga di Bali juga menyebabkan ada banyak percabangan Ilmu Wariga yang mirip dengan Jyotisha. “Bisa dilihat, ada Wariga untuk pertanian, jodoh, kelahiran, pedewasan, dan lainnya. Mirip dengan Astronomi dan Astrologi pada Jyotisha,” pungkasnya.

Cara dan Mantra Menanam Ari-ari Menurut Hindu

 






BATU BULITAN: Batu bulitan sebagai simbol anugerah panjang umur untuk bayi. (ISTIMEWA)


Bayi yang terlahir ke dunia tak sendirian. Berdasar kepercayaan Hindu, ada empat saudara yang mengikuti yang disebut Catur Sanak. Lantaran itu pula, ada prosesi ritual khusus, salah satunya menanam Ari-ari sang bayi.

Ari-ari merupakan bagian dari kehidupan sang bayi yang menjadi personifikasi dari Sang Catur Sanak, yakni Sang Anta Preta, Sang Kala , Sang Bhuta, dan Sang Dengen

Sang Anta Preta merupakan sebutan dari air ketuban atu yeh nyom sebagai personifikasi saudara tertua dari sang bayi karena air ketuban sebagai pengantar bayi lahir ke dunia. Sang Kala merupakan sebutan darah yang keluar a saat melahirkan sebagai sumber energi dari bayi, sehingga bayi bisa bergerak aktif untuk keluar dari perut Ibu. Selanjutnya Sang Bhuta, merupakan sebutan untuk selaput ari atau lamas yang membungkus tubuh bayi, berguna sebagai penetralisir suhu udara sebelum lahir maupun saat lahir, sehingga suhunya menjadi seimbang dan sekaligus sebagai sarana pelicin saat bayi lahir. Dan, yang terakhir adalah Sang Dengen, yakni sebutan untuk Ari-ari atau placenta yang ikut lahir.



Ida Pedanda Gede Manara Putra Kekeran yang saat walaka bernama Drs. Ida Bagus Putu Sudarsana, MBA, mengatakan, Ari-ari sangat berguna sebagai sumber kehidupan bayi dalam kandungan. Sebab, ari-ari merupakan transformator dan mediator zat-zat makanan dari ibu kepada bayi dalam pertumbuhannya sekaligus sebagai selimut dalam menjaga stabilitas suhu tubuh bayi terhadap suhu badan si ibu

Lebih lanjut dijelaskan, saat bayi lahir, ada upacara khusus yang harus dilakukan untuk mendem Ari - ari si bayi.

Saat si ibu dalam proses bersalin, maka disiapkan sebuah periuk tanah yang berisi tutup untuk tempat Ari-ari, setelah bayi lahir.

Ari-ari tersebut, dibawa pulang, dan setelah itu diletakkan di dalam baskom atau ember baru, dan ember itu tidak boleh dipakai lagi. Lalu, Ari – ari tersebut dicuci dengan air. Sang ayah harus membersihkannya dengan bersih, menggunakan kedua tangan, tanpa perasaan jijik dan dilakukan dengan perasaan penuh syukur dan kasih saying. Setelah bersih lalu dibilas dengan air kumkuman (air bunga). Siapkan sebuah kelapa ukuran besar yang masih lengkap dengan kulitnya, lalu dipotong dan dikeluarkan airnya. Pada bagian atas kelapa (bagian tutupnya) ditulis aksara Ah yang melambangkan Akasa, dan pada bagian bawahnya ditulis aksara Ang yang melambangkan Pertiwi.

"Jadi, penanaman Ari-ari memiliki tujuan untuk menyatukan pertiwi dan akasa guna memberikan keseimbangan perjalanan si bayi," imbuhnya.

Kemudian Ari-ari dimasukkan kedalam kelapa tersebut, diisi dengan 1 kwangen yang berisi 11 kepeng uang bolong yang diletakan di atas Ari - ari, 1 potong lontar atau ental yang ditulis aksara Ongkara, 1 ikat duri - durian (3 macam duri), Rempah - rempah (anget - angetan), wewangian dan boleh juga diisi pesan - pesan lain dari sang ayah dalam hal ini mengacu kepada Desa Kala Patra.

Tempat menanamnya sesuai dengan jenis kelamin si bayi. Kalau si bayi laki-laki, maka ditanam di sebelah kanan pintu balai, sedangkan kalau bayinya perempuan, maka Ari-arinya ditanam di sebelah kiri pintu balai (dilihat dari dalam rumah).

Di lain pihak, Mangku I Wayan Satra menjelaskan, sebelum mulai menanam Ari-ari, pertama harus menyalakan dupa untuk memohon perlindungan dan amertha ke hadapan Sang Hyang Ibu Pertiwi dengan mantra “ Om Ang sri basunari jiwa mertha, trepti paripurna ya namah suaha. Selanjutnya dengan ucapan “Pukulun Sang Hyang Ibu Pertiwi, pinakengulun aminta sih, ingsun angengkap pertiwi, ngulati amendem Ari-ari, tan kenang sira keletehan, rinaksanan denira Sang Catur Sanak, manadi pageh uripe di jabang bayi, Om sidhi rastu ya namah swaha.”

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Setelah mengucapkan mantra tersebut, lanjutnya, barulah membuat lubang, selanjutnya Ari-ari dicuci dengan air biasa sampai bersih. Sesudah itu diusapi dengan boreh gading sampai rata, kemudian dibilas dengan air kumkuman agar bersih. Semua air pencucinya dimasukkan ke lubang tersebut. Ari-ari dimasukkan ke dalam kelapa yang dibelah menjadi dua dan diisi ngad, lontar yang telah ditulisi aksara, kewangen yang berisi uang bolong 11 kepeng, duri-duri, isin ceraken, anget-anget, dan wangi-wangian dibungkus dengan serabut ijuk, serta diluar ijuk dibungkus dengan kain putih, dibuat simpul di atasnya, dan dipasangkan kwangen di atasnya. Masukkan Ari-ari ke dalam lobang atau bangbang dengan muka kwangen ke arah halaman rumah. Sambil meletakkan di dalam lubang, ucapkan mantra dalam hati

“Om presadha stiti sarisa sudha ya namah“ dan ucapakn "Ong sang ibu pertiwi rumaga bayu, rumaga amertha sanjiwani, ngamertanin sarwa tumuwuh, ( nama bayi ) mangda dirgayusa nutugang tuwuh.

"Artinya, Om Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai pertiwi, penguasa segala kekuatan, penguasa kehidupan, menghidupi segala yang lahir atau tumbuh, si anu (nama si bayi) semoga panjang umur.

Setelah ditanam, di atasnya ditanami pohon pandan dan batang kantawali, sebatang buluh guna memasukkan air nantinya ke ari-ari tersebut kemudian diletakkan sebuah batu hitam atau batu bulitan. Di atas batu diletakkan sebuah lampu Bali yang telah menyala dan dibiarkan tetap menyala sampai bayi kepus pusar, kemudian ditutup dengan sangkar ayam.

Di bagian hulu dari ari-ari, ditanam ditancapkan sebuah sanggah tutuan dihiasi dengan bunga merah, lengkap berisi sampian, gantung-gantungan, sebagai stana Sanghyang Maha Yoni.

Suguhkan segehan beralaskan daun taru sakti (dapdap) pada Ari-ari sebanyak empat tanding yang merupakan persembahan kepada Catur Sanak yakni, kepelan putih satu tanding, lauknya garam menghadap ke timur. Kepelan merah (bang) satu tanding, dengan lauk bawang menghadap ke selatan.

Kepelan kuning satu tanding, lauk jahe menghadap ke barat. Kepelan hitam (ireng) satu tanding, lauk uyah areng menghadap ke utara, dengan mantra "Ong sang butha preta, empu semeton jrone sang rare, mangde pageh angemit."

Kemudian percikkan tetabuhan berem dan arak, dan lakukan ritual menghaturkan segehan ini setiap rahinan jagat, kliwon serta petemuan dina kelahiran bayi. Selanjutnya setiap hari di atas batu bulitan atau batu hitam disajikan banten nasi segenggam di atas daun dapdap dengan lauk garam dan arang. 

Setiap selesai memandikan bayi, siramkan air memandikan bayi tersebut di batu hitam tersebut. Menghaturkan soda putih kuning, canang sari pada sanggah tutuan, dengan mantra “Om pakulun paduka Sang Hyang Maha Yoni maka dewaning rare astana ring pelantaran, penyawangan, pinakengulun sang adruwe jabang bayi anganturaken bhakti seprakaraning penek putih kuning, maduluran kesuma, pinakengulun aminta nugeraha, kemit rareningulun rahina kelawan wengi, anulak sarwa ala, sakwehing joti maetmahan jati, Ang, Ah amertha sanjiwani ya namah swaha.”

Selain itu, ada beberapa makna yang terkandung dalam perlengkapan menanam Ari-ari, yakni batu bulitan mengandung makna sebagai permohonan kehadapan Sang Hyang Widhi agar sang bayi dianugrahi panjang umur. Pohon pandan duri diwujudkan sebagai buaya putih sebagai penjaga bayi terhadap gangguan yang bersifat black magic. Lampu ini berbahan bakar minyak kelapa yang dicampur dengan minyak lampu wayang (tunasin ring jro dalang) serta minyak kelapa (nyuh surya). Lampu Bali yang menyala melambangkan Sanghyang Surya Candra, yaitu memiliki kekuatan Widia, oleh karena itu lampu tersebut ditatabkan atau ayab dengan mantra “Om Ang Ah surya candra gumelar ya namah swaha.“

Ini sebagai lambang kekuatan maya Sang Hyang Widhi dan sebagai Cakra Jala (batas pandang alam semesta), di mana Catur Sanak merupakan bagian mayanya Sang Hyang Widhi dan merupakan unit kehidupan maya di alam semesta, serta menjadi pelindung bayi. "Sanggah Tutuan merupakan simbol dari stananya Sang Hyang Maha Yoni sebagai Dewa pengasuh sang bayi," tutup Satra.



https://baliexpress.jawapos.com/read/2017/11/12/26172/ini-cara-dan-mantra-menanam-ari-ari-menurut-hindu