Kamis, 14 Januari 2021

Ini Makna dan Jenis Piodalan untuk Pemujaan Umat Hindu






PIODALAN: Piodalan dilaksanakan, setelah sebuah pura dianggap lahir atau ada ketika sudah dilakukan upacara Ngenteg Linggih. (dok)





DENPASAR, BALI EXPRESS-Selain menjadi tempat merayakan hari besar keagamaan, seperti Galungan, Kuningan hingga Nyepi, pura yang ada di Bali juga memiliki hari rayanya sendiri, disebut dengan piodalan, yang identik sebagai 'hari lahirnya' pura tersebut.




Menurut Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, selain sebagai ungkapan rasa terima kasih umat kepada Ida Sang Hyang Widi atas segala anugerah yang diberikannya, piodalan secara etimologi, dapat diartikan sebagai hari lahir atau peringatan kelahiran sebuah pura.





“Sesuai dengan beberapa sastra disebutkan, sebuah pura dianggap lahir atau ada ketika sudah dilakukan upacara Ngenteg Linggih,” jelasnya.


Pada saat dilakukannya upacara Ngenteg Linggih inilah Ida Betara diyakini sudah mulai malinggih atau berstana di pura atau Pameranjan atu Palinggih tersebut.

Jika dilihat dari beberapa litertur yang ada, lanjut Ida Rsi, dapat dijelaskan saat dilakukan prosesi Ngenteg Linggih tersebut, pura diberikan kekuatan atau tenaga kehidupan atau prana oleh Ida Sang Hyang Widhi.

Bila melihat tata cara dan pelaksanaan Piodalan di Bali pada masa lalu, Ida Rsi menyebutkan, dapat ditemui beberapa macam bentuk pelaksanaan piodalan. Seperti Piodalan Biasa, Piodalan Nadi serta Piodalan Nyepen.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Jenis-jenis piodalan tersebut, lanjutnya, ada beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya pelaksanaan piodalan di Bali pada masa lalu. Salah satunya pola hidup agraris, dimana faktor-faktor pelaksanaan piodalan di Bali tidak terlepas dari pola musim. Seperti musim tanam dan musim pane.

Ketika piodalan jatuh bertepatan pada musim tanam, maka piodalan akan diselenggarakan dengan cara yang lebih sederhana. Ini karena konsentrasi masyarakat saat musim ini masih terfokus pada aktivitas menanam padi di sawah.

Namun, jika piodalan jatuh pada musim panen, dimana pada musim ini konsentrasi masyarakat di sawah sudah selesai dan masyarakat Bali memiliki hasil panen yang melimpah, maka ketika piodalan yang jatuh pada musim ini, penyelenggaraannya dibuat lebih meriah.

“Apalagi jika piodalan bertepatan dengan bulan purnama, maka piodalan akan dibuat lebih meriah lagi, bahkan sampai menyelenggarakan acara hiburan,” ungkapnya.

Lantas bagaimana dengan Piodalan Nyepen? Ida Rsi menyebutkan, pelaksanaan Piodalan Nyepen atau yang juga dikenal dengan istilah Ngempet, berasal dari kata nyepi atau sepi. Ini biasanya dilakukan umat Hindu jika piodalan jatuh pada saat masyarakat menderita kekeringan atau musim paceklik.

(bx/gek/rin/JPR)

Piodalan Bisa Mengacu dengan Dua Sistem Waktu






SISTEM : Piodalan yang digelar umat Hindu di Bali, tergantung sistem waktu yang dipilih. (dok)





DENPASAR, BALI EXPRESS-Piodalan secara etimologi, dapat diartikan sebagai hari lahir atau peringatan kelahiran sebuah pura. Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, Piodalan dapat dilakukan dengan dua sistem kalender. Yakni sistem Pawukon (wuku) dan sistem Sasih.


Untuk sistem wuku, pelaksanaan Piodalan dilaksanakan setiap enam bulan sekali atau 210 hari sekali. Karena sistem pawukon ini ditentukan oleh putaran hari yang terdiri dari tujuh hari, dan putaran wuku yang terdiri dari 30 wuku.






“Dalam konsep Balinya dikenal dengan istilah wewaran, yang terdiri dari putaran hari, putaran wuku dan putaran wewaran lainnya, seperti Tri Wara, Ingkel dan Sapta Wara,” paparnya, kemarin.


Selanjutnya adalah Piodalan yang menggunakan sistem sasih. Piodalan ini tidak akan tergantung pada perputaran wuku seperti Piodalan pada sistem pawukon. Selain itu, rentang waktu dari pelaksanaan Piodalan dengan sistem Sasih ini tidak jatuh setiap enam bulan sekali, tetapi setiap satu tahun sekali.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Untuk proses penghitungannya pun, lanjut Ida Rsi, memiliki perbedaan dengan sistem Pawukon. Pada sistem Sasih, perhitungan piodalan tidak tergantung pada hari, tetapi berpatokan pada sistem pengalihan, karena dalam penghitungan Sasih tersebut berpatokan pada sistem Pananggal dan Panglong.

Adapun yang disebut dengan Pananggal adalah hitungan tanggal 1 atau pananggal ping pisan menuju hari Purnama. Sedangkan Panglong adalah hitungan tanggal 1 atau Panglong pisan menuju Tilem (bulan mati). “Digunakannya tegak odalan menurut Sasih ini biasanya untuk menghindari terjadinya perubahan iklim dan cuaca. Sehingga pelaksanaan Piodalan bisa jatuh pada musim yang menguntungkan,” tambahnya.

Jika menggunakan hitungan Sasih ini, umat Hindu pada zaman dahulu, biasanya menetapkan Piodalan pada saat Purnamaning Sasih (purnama yang jatuh pada sasih atau bulan tertentu). Seperti pada Purnamaning Sasih Kapat (purnama pada sasih atau bulan keempat), Purnamaning Sasih Kalima, Purnamaning Sasih Kadasa, dan Purnamaning Sasih Jyesta.

Penetapan ini dilakukan karena pada sasih-sasih tersebut, pola musim di Bali tidak masuk pada musim penghujan. Sehingga pelaksanaan piodalan tidak terganggu cuaca dan didukung sinar bulan yang terang. Karena bertepatan dengan bulan Purnama.



(bx/gek/rin/JPR)

Ketika Ilmu Leak Jadi Salah Kaprah




Ketika Ilmu Leak Jadi Salah Kaprah



LONTAR : Pembaca dan Penulis Lontar, Putu Suarsana, menunjukkan jejeran lontar, koleksi Gedong Kirtya, Singaraja. (Dian Suryantini/Bali Express, Amurwa Bhumi.)





SINGARAJA, BALI EXPRESS-Fenomena ilmu hitam atau black magic di Bali sangat kental. Bahkan, di zaman modern ini, ilmu hitam masih dipercaya, seperti halnya Ilmu Leak di Bali.


Sejak lama berbagai fenomena bermunculan akibat kesalahpahaman masyarakat tentang ajaran Ilmu Leak. Tak terkecuali masyarakat Bali, yang juga sering 'salah kaprah' terhadap budaya, tradisi, seni, dan ritualnya sendiri.




Hal tersebut terjadi karena budaya yang diturunkan masih sebagian besar bersifat lisan, sehingga belum ada usaha mencari akar dari pelaksanaan budaya, tradisi, seni dan ritualnya.


Sama halnya seperti Ilmu Pangleakan ini. Banyak orang bermunculan memiliki cara pandang tersendiri. Sebagian besar orang memandang Leak tersebut adalah sosok manusia jadi-jadian. Atau ada pula yang menafsirkan, Leak tersebut adalah manusia yang berubah wujud menjadi makhluk yang menyeramkan.

Banyaknya spekulasi yang bermunculan membuat Leak tersebut secara tidak langsung telah terdoktrin dalam pikiran, bahwa Leak tersebut menyeramkan serta berbahaya. Namun, dalam lontar Aji Pangleakan, Pangiwa hingga Surya Panengen, tidak dijelaskan definisi Leak. Begitu pula dengan perubahan wujud yang sering menjadi perbincangan di masyarakat.

“Dalam lontar tidak disebutkan apa itu Leak. Tidak ada definisi tentang itu. Sebenarnya bukan Leak, tapi Liak. Linggih Aksara. Li adalah Linggih, Ak maksudnya Aksara. Jadi, yang disebut oleh orang-orang itu adalah Tutur Tinular. Tutur yang dituturkan lagi,” jelas Putu Suarsana, Pembaca dan Penulis Lontar Gedong Kirtya, Singaraja, Jumat (2/10) lalu.

Suarsana menambahkan, Ilmu Liak dikenal masyarakat sebagai ilmu hitam. Hal tersebut menyebar hingga masyarakat luar Pulau Bali. Liak didefinisikan sebagai sosok menyeramkan yang memiliki lidah panjang dan dapat terbang untuk mencari tumbal. 

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Pemikiran tersebut tentu datang ketika melihat sebuah sumber yang berbasis hiburan, sehingga masyarakat percaya, itu adalah hal yang sebenarnya. “Padahal Ilmu Liak adalah salah satu ilmu warisan nenek moyang Bali yang telah ada sebelum agama

masuk ke Indonesia. Berbagai isu tentang Ilmu Liak menjadi terkesan menyeramkan, mulai dari perubahan fisik yang akan terjadi bila mempelajari Ilmu Liak,” jelasnya.

Ilmu Liak sering dikaitkan dengan cerita Calonarang dengan lakon bernama Nyi Calon Arang. Cerita tersebut dianggap menjadi sejarah kemunculan Ilmu Liak di Bali. Nyi Calon Arang membawa lontar saktinya dari Girah ke Bali pada zaman Kerajaan Kediri, masa pemerintahan Raja Airlangga.

Padahal, yang dilakukan Nyi Calon Arang dengan menyebarkan wabah penyakit saat itu, merupakan salah satu pengaplikasian Ilmu Liak yang buruk. “Sekarang tergantung pelakunya saja. Mau dibawa kemana ilmu yang dipelajari ini. Kalau dibawa ke hal yang buruk, maka dampaknya akan buruk, begitu juga sebaliknya,” ungkapnya.

Ilmu Liak merupakan bagian dari Ilmu Tantra. Dan, biasanya praktik Ilmu Tantra bersifat rahasia. Hal tersebut menimbulkan banyak persepsi masyarakat yang menduga-duga, sehingga berita yang terdengar menjadi simpang siur.

“Ketika seseorang bercerita, tentu yang diceritakan adalah hal yang seru. Salah satu gosip yang beredar adalah mengenai tingkatan Ilmu Liak dengan perubahan fisik, seperti Rangda, Celuluk atau lainnya yang menyeramkan,” kata dia.

Suarsana menegaskan, sesungguhnya tidak ada tingkatan Ilmu Liak hingga perubahan fisik saat mempelajari Ilmu Liak. Dalam lontar itu tidak dijelaskan. “Yang jelas Ilmu Liak ini seperti Pangiwa, Panengen, dan yang lainnya, dan itu tidak dijelaskan tingkatannya seperti apa. Begitu juga perubahan fisik.

Lontar Liak ini dibuat bukan untuk menyakiti seseorang atau berbuat buruk untuk orang lain. Melainkan Ilmu Liak ini dibuat untuk kepuasan diri sendiri dan mencapai kebahagiaan yang sempurna. Selain itu, juga untuk kadirgayusan, dan agar mendapat tempat yang baik saat menuju alam baka,” tutur Suarsana.



(bx/dhi/rin/JPR)

Pranala Mahapatih Gajah Mada Diyakini Muasal Trah Dalem Bali






PRASADA : Prasada (tempat suci) yang terdapat Pranala Mahapatih Gajah Mada di wilayah Tegal Sahang, Desa Samplangan, Gianyar. (Putu Agus Adegrantika/Bali Express)





GIANYAR, BALI EXPRESS – Sebuah bangunan yang nampak seperti pura terdapat di areal Tegal Sahang, Desa Samplangan, Gianyar. Di lokasi itu terdapat tiga bangunan palinggih yang baru dibangun, yang disebut dengan Prasada sejenis bangunan Jawa-Bali, Padmasana, dan Penjarakan.


Areal Prasada yang dekat dengan Pura Dalem Pingit, berada di atas aliran Sungai Sangsang dengan Sungai Cangkir itu, diyakini sebagai asal-usul Trah Dalem di Bali.





Penanggung Jawab pembangunan Prasada, Ida Cri Bhagawan Sabda Murthi Dharma Kerti Maha Putra Manuaba, didampingi Ida Cri Bhagawan Istri, akhir pekan kemarin, menjelaskan, pembangunan Prasada tersebut sudah berjalan empat bulan lalu.



Tempat Suci, Pranala Maha Patih Gajah Mada Diyakini Asal Usul Trah Dalem di Bali (Putu Agus Adegrantika)





“Dibangun di sini, karena tanah yang ada di areal persawahan dan ladang ini, merupakan tanah bekas puri atau Istana Kerajaan Dinasti Ida Bhatara Dalem Cri Aji Kresna Kepakisan. Selain saya dapat petunjuk, juga masih adanya beberapa bukti yang ada. Salah satunya ada dua sungai, adanya tanah muntig atau gegumuk,” jelasnya.

Lebih jauh, Ida Bhagawan yang merupakan pensiunan Polisi ini, juga menambahkan, di lokasi itu diyakini sebagai tempat perkemahan Gajah Mada. Selama penyelidikan Kerajaan Bedahulu (setelah runtuh), maka datanglah Adipati Sri Kresna Kepakisan sebagai raja.

Bahkan, disampaikannya, di areal itu merupakan wilayah kerajaan Bali tengah pada zaman itu. “Setelah sekian tahun, barulah pindah ke Klungkung, sementara di sini tidak ada yang menghiraukan karena raja pindah ke arah timur wilayah ini,” sambungnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Diyakini wilayah tegalan itu merupakan pasraman terdahulu, sebab Gajah Mada diperkirakan datang dari Majapahit menggunakan perahu dan menepi di Pantai Lebih. Kemudian melewati Sungai Sangsang dan turunlah di tepi sungai yang kini disebut dengan Pura Dalem Pingit. Bahkan, saat ini pura tersebut masih ada dengan melintasi persawahan.

“Setelah menepi, barulah beliau naik di tempat ini yang dahulunya disebut perkemahan Gajah Mada untuk melanjutkan membuat keraton. Seiring waktu sirna, karena tidak ada yang hiraukan tempat ini lagi. Ratu baca babad dan petunjuk dari beliau, membangun di carik untuk disuruh mengingatkan tempat ini asal mula beliau di Bali,” sambungnya.

Dalam proses pembangunan Prasada tidak ada hambatan sama sekali, bahkan dana punia untuk membangun selalu ada. Bukan berupa uang, melainkan berupa barang yang dihaturkan oleh Trah Dalem dan yang masih eling dengan leluhurnya. Maka didirikan awal sebuah Padma, Prasada, dan Penjarakan.

“Prasada ini supaya ada gambar Majapahit, sebagai panunggalan Majapahit di Bali. Di atasnya menjulang ke atas, tapi bukan tumpang. Istilahnya peninggalan Majapahit dan Bali. Karena di sini asal mulai beliau datang ke Bali," urainya.

Setelah tiga Prasada, lanjutnya, beliau kembali datang lagi melalui pawisik (petunjuk gaib) agar dibangun Pranala pemujaan sakral Gajah Mada. "Maka sekarang ini ada patungnya di sini,” tandas Ida Cri Bhagawan.

Patung itu pun disebutkan bukan sebagai dekorasi, dan tempat itu disebut sebagai istilahnya membuat sejarah baru dalam peradaban lama dengan konsep panunggalan Jawa dan Bali.

Dengan adanya bangunan yang sekarang ini, Ida Cri Bhagawan berharap sentana kembali untuk berkumpul. “Elingan asal mulai lelangit (leluhur) tiba di Bali,” sambungnya.

Prasada yang berdiri di barat Sungai Sangsang itu akan dirampungkan 25 November 2020 ini dengan prosesi upacara Tawur Balik Sumpah. Dilanjutkan 28 November prosesi Nilawati, 30 November Mlaspas dan Ngenteg Linggih. “Lahannya ini milik I Dewa Gede Bisma yang juga selaku keturunan Dalem juga,” cetusnya.

Disinggung fungsi dari gumukan tanah yang berisikan batu tersebut? Ida Cri Bhagawan menjelaskan di areal itu diyakini sebagai Merajan beliau yang masih merupakan Keraton. Lantaran dari pawisik yang didapatkan, lanjutnya, di bawah gumukan itu ditanam sebuah abu dari leluhur beliau.

“Sebenarnya raja besar di sini, setelah Bedahulu. Tapi dilupakan oleh leluhur. Ratu tiap hari ke sini kalau tidak ada muput. Kadang bermalam juga di sini, begadang disini.Untuk akses sudah lancar, astungkara subak sudah kasi pinjam jalan,” imbuhnya.

Untuk mencari Prasada itu memang butuh tenaga ekstra, bagi yang pertama kali berkunjung. Sebab, harus memasuki areal persawahan, namun telah diisi paving. Hanya saja menuju Prasada tersebut, baru bisa dilintasi menggunakan sepeda motor. Jalannya masih tanah yang baru dipadatkan sekitar 1 kilometer masuk ke dalam tegalan.

Lokasinya di Timur Balai Banjar Samplangan, terdapat jalan yang diberi nama Jalan Pura Dalem Pingit Samplangan di Selatan jalan. Ikuti jalan tersebut, masuk sekitar 500 meter akan terlihat banner Prasada. Selanjutnya masuk kembali dengan menyusuri jalan setapak kurang lebih 1 kilometer, dan di ujung jalan itulah Prasada Trah Dalem dibangun.



(bx/ade/rin/JPR)

Pengobatan Tradisional Ulat Gigi, masih Ada dan Diminati

 

Pengobatan Tradisional Ulat Gigi, masih Ada dan Diminati

TRADISIONAL: Prosesi pengobatan sakit gigi secara tradisional dengan mengeluarkan ulat pada gigi yang berlubang. (DEWA RASTANA/BALI EXPRESS)


BALI EXPRESS, SEMARAPURA - Di jaman yang serba modern, tidak bisa dipungkiri pengobatan tradisional masih menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat di Bali. Pengobatan tradisional dinilai menjadi salah satu alternatif, ketika penanganan medis dinilai tak mampu mengatasi keluhan yang dialami.

Salah satu pengobatan tradisional yang mungkin terdengar asing namun unik, yakni pengobatan sakit gigi. Pengobatan tradisional ini memang jarang terdengar. Tapi kenyataannya, pengobatan tradisional sakit gigi itu memang ada dan diminati sebagian orang. Dan uniknya pengobatannya dilakukan dengan cara mengeluarkan ulat yang bersarang pada gigi yang bermasalah.

Pengobatan yang berada di Banjar Koripan Kangin, Desa Banjarangkan, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung ini sudah sejak lama dilakoni I Wayan Cepeg, 70. Mungkin pengobatan ini tidak begitu dikenal masyarakat. Namun setiap harinya ada saja masyarakat yang datang untuk mengobati gigi mereka yang sakit.

Saat ditemui beberapa waktu lalu, Cepeg menuturkan, praktek pengobatan tradisional tersebut sudah dia lakukan sejak tahun 1980an. Awalnya, dirinya mengalami sakit gigi yang tidak kunjung sembuh, hingga dirinya mencari cara untuk menyembuhkan sakit gigi yang dialaminya. “Saya coba cari cara dan ketemu cara seperti ini,” ujarnya.

Cara yang dimaksud yakni dengan mengeluarkan ulat kecil yang bersarang pada gigi yang bermasalah, pada umumnya gigi berlubang. Namun hal itu tentu tidak terlepas dari bantuan niskala, yakni sesuhunan yang disungsung Cepeg. Hanya saja dia tidak bisa menyebutkan secara pasti. Konon katanya, Cepeg mendapatkan ilham pengobatan itu dari sesuhunan yang ada di Tukad Bubuh. Sebuah sungai yang tepat berada di sisi timur rumahnya. “Ya saya dibantu sesuhunan driki (disini) agar mepaice tamba (mendapatkan berkah obat),” lanjutnya.

Adapun tamba (obat) yang diberikan berupa minyak, yang pertama-tama akan dioleskan pada gigi pasien yang berlubang. Setelah sebelumnya Cepeg melakukan pengecekan pada gigi pasien, untuk mengetahui, apakah gigi pasien itu memang berisi ulat atau tidak. Jika iya, maka proses pengobatan akan dilanjutkan.

“Dicek dulu giginya, berisi ulatnya atau tidak,” sambung kakek 7 orang cucu tersebut.

Setelah dicek, maka Cepeg akan mengoleskan minyak pada gigi yang bermasalah tersebut. Sembari dirinya memanaskan celebingkah (pecahan genteng) dengan bantuan strongking.

Menurutnya, kini memanaskan celebingkah sudah lebih mudah dibandingkan dulu yang tanpa bantuan strongking. “Dulu menghidupkan api cukup lama. Lalu ada yang menawarkan saya bantuan untuk memodifikasi strongking yang saya punya, untuk memudahkan memanaskan celebingkah itu. Jadi sekarang lebih cepat,” paparnya.

Sambil menunggu celebingkah panas, dirinya juga menyiapkan sebuah paso (gerabah) dari tanah liat yang diisi air sedikit. Kemudian dia meletakkan sebuah batu di dalamnya. Batu inilah yang digadang-gadang juga merupakan paica dari sesuhunan yang disungsung Cepeg. Selanjutnya setelah celebingkah panas, maka celebingkah diletakkan diatas batu, kemudian ditutup menggunakan kau (tempurung kelapa) yang diatasnya sudah dipasang selang plastik kecil. Dengan segera, pasien diminta meletakkan ujung selang pada gigi yang bermasalah, lalu ditiup hingga air pada paso bergelembung.

“Nanti akan keluar ulatnya berwarna putih yang langsung masuk air. Uap dari celebingkah yang panas itu yang diperlukan. Kalau uapnya sudah habis celebingkah itu dipanaskan lagi,” tuturnya.

Dan benar saja, saat wartawan koran ini menyambangi rumah Cepeg, kebetulan pula ada seorang pasien yang sedang berobat. Ternyata setelah meniup selang tersebut, satu per satu ulat kecil berwarna putih keluar dan ‘berenang’ di dalam air di paso tersebut.

Praktek pengobatan tradisional ini bisa dibilang cukup sederhana. Bahkan tempat pengobatannya pun hanya pada sebuah bedeng di sisi timur rumah Cepeg. Namun pasien yang datang untuk berobat berasal dari berbagai daerah di Bali. Meskipun terdengar masih asing, namun keampuhan pengobatan Cepeg tidak diragukan lagi.

Hal itu diakui salah seorang pasien yang sudah beberapa kali melakukan pengobatan tersebut. Pria yang mengaku bernama I Made Narta, 34, mengatakan, dirinya memang memiliki satu gigi berlubang, dan kadang kala kambuh. Sehingga sakit giginya tak tertahankan, meskipun sudah sempat dibawa ke dokter. “Kemudian ada teman yang menyarankan agar dicari saja ulat giginya. Awalnya saya terkejut, kok ada pengobatan seperti ini. Tetapi saya penasaran, akhirnya saya coba datang,” ujarnya.

Dan benar saja, setelah ulat gigi dikeluarkan, rasa sakit yang dialaminya langsung hilang dan jarang kambuh lagi. Bagi pasien yang ingin berobat, juga cukup membawa canang dan diisi sesari seikhlasnya.

(bx/ras/yes/JPR)

Bayi Rentan Diganggu Makhluk Halus, Ini Alasan dan Solusinya






NASI WONG-WONGAN : Segehan dengan nasi kepelan dan wong-wongan bisa diletakkan di bawah tempat tidur si bayi, untuk menangkal gangguan ilmu hitam atau makhluk halus. (SURPA ADISASTRA/BALI EXPRESS)





BALI EXPRESS, DENPASAR - Menjaga bayi adalah pekerjaan yang gampang-gampang sulit. Oleh karena itu, diperlukan kesabaran dan ketelatenan. Meski demikian, terkadang sebagai pengasuh, terutama orang tua, bisa saja mengalami hal yang membingungkan. Misalnya bayi tiba-tiba menangis tak wajar pada jam-jam tertentu, khususnya tengah malam. Ketika dicek secara medis, ternyata si bayi sehat walafiat. Namun, tetap saja setiap malam si bayi menangis tidak karuan, seperti ketakutan. Bagaimana cara menangkalnya?


Sebagai masyarakat nusantara, khususnya Bali, fenomena semacam itu tak jarang dialami keluarga yang baru dikaruniai seorang anak. Oleh karena itu, bayi orang Bali diperlakukan dengan sangat ketat, terutama dari segi ritual. Perlakuan bayi, ari-ari, dan sang ibu yang baru melahirkan, sangat spesial.



Salah satu akademisi Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Dr. I Made Adi Surya Pradnya atau yang populer dengan nama Jro Dalang Nabe Roby, tak menampik ada kepercayaan masyarakat Bali terhadap fenomena gaib yang terjadi pada bayi. Masyarakat Bali yang lekat dengan budaya religius magis, kata dia, percaya jika bayi rawan diganggu oleh makhluk halus atau orang yang mengamalkan ilmu hitam.


"Dalam Kanda Pat Rare, bayi disebut orang yang masih suci. Jadi, orang yang masih suci menjadi 'makanan empuk' dari orang-orang yang mengamalkan ilmu gaib secara negatif," ujarnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Selasa (30/5/2017) lalu.

Konon, makhluk halus atau orang yang mengamalkan ilmu hitam, lanjutnya, mencium aroma bayi yang baru lahir seperti masakan yang lezat. "Jadi, baunya sangat enak, seperti masakan," ungkapnya.

Berkenaan dengan hal itu, bayi menurutnya harus mendapat perlakuan ekstra, tak hanya secara medis, juga secara ritual. Tak hanya si bayi, namun berdasarkan ajaran Kanda Pat, seorang lahir ke dunia bersama Catur Sanak atau empat orang saudara. Yang paling tua berwujud fisik yeh nyom (air ketuban) dan dinamakan Anggapati. Kedua berwujud fisik getih (darah) dengan nama Mrajapati. Ketiga berwujud fisik ari-ari (plasenta) dengan nama Banaspati. Sedangkan yang keempat berwujud fisik lamas (lapisan lemak yang membungkus janin) dengan nama Banaspati Raja. Keempat saudara inilah yang dipercaya menemani dan menjaga manusia selama hidupnya, meski kelak tak ada lagi wujud fisiknya, sehingga harus diperlakukan dengan hati-hati.

Salah satu yang biasanya dibawa pulang ke rumah dan dikubur di pekarangan adalah ari-ari. Ari-ari tersebut pun tak sekadar dikubur, namun diberikan ritual dan dijaga dengan berbagai benda, seperti ditutup dengan batu, diberi pandan berduri, dan ditutup dengan keranjang. Bahkan, setiap hari diberikan sesajen dan diberikan penerangan berupa lampu minyak. "Menjaga Sang Catur Sanak ini penting, karena untuk menyerang si bayi, bisa saja melalui nyama patnya," jelas doktor termuda IHDN tersebut.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Selain itu, biasanya distanakan pula Sang Hyang Kumara di pelangkiran. Seperti yang tercantum dalam mitologi, Sang Hyang Kumara atau Sang Hyang Rare Kumara adalah putra Dewa Siwa yang bertugas menjaga bayi.

Nah, jika segala perlakuan secara medis maupun ritual telah dilaksanakan, namun si bayi menangis setiap sandi kala (pergantian waktu), khususnya pada sore hari menjelang malam atau pada tengah malam, maka tidak menutup kemungkinan ada hal gaib yang mengganggu.

"Bayinya sehat, mengapa menangis terus. Padahal, susu juga sudah diberikan, ternyata tetap menangis. Pasti ada faktor lain," ujarnya.

Dengan demikian, Jro Dalang Nabe Roby mengatakan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, Sang Hyang Rare Kumara setiap hari harus dibantenin (diberikan sesajen) dan diisi mainan. Demikian pula ari-arinya. "Apabila si bayi masih menangis setiap jam 12 malam, maka perlu dibuatkan segehan kepelan berisi nasi wong-wongan yang dihaturkan di bawah tempat tidur si bayi. Itu dihaturkan sebagai upah, agar tidak si bayi yang diganggu," paparnya.

Selanjutnya, ia mengatakan, ada cara lainnya, yakni dengan air klebutan atau air yang diambil dari mata air langsung atau sumur. Selanjutnya air tersebut dilemparkan ke atap dapur dan air yang jatuh ditadah dengan kukusan dan diwadahi panci tanah liat.

"Air tersebut kemudian dipercikkan sebagai tirtha kepada bayi. Itu panugerahan Brahma Geni. Jadi, itu yang dipakai ngeseng (membakar) energi negatif," jelasnya.

Selain itu, Jro Dalang mengatakan, perlu juga pengecekan pekarangan. "Sebelum bayi dibawa ke rumah, rumah harus dibersihkan dahulu. Terutama di panunggun karang, harus ngatur piuning dan menyampaikan bahwa akan ada anak kecil di rumah itu dan agar ikut menjaga," bebernya.

Dari semua itu, ia menegaskan, yang paling penting untuk menenangkan bayi adalah sentuhan dan pelukan seorang ibu. Tidak bisa dipungkiri, antara bayi dan ibu ada ikatan jiwa dan emosional yang sangat kuat. "Jadi, sentuhan dan pelukan seorang ibu sangatlah penting," tandasnya.



(bx/adi/yes/JPR)

Diganggu Wong Peri Jika Tengai Tepet, Sandikala dan Tidak Sopan






PANTANG: Jika ingin melukat di Pura Beji Utama, pantang dilakukan pada tengai tepet, sandikala dan berbicara tidak sopan. Jika itu terjadi, siap – siap diganggu wong peri. (KUSUMA YONI/BALI EXPRESS)





MENGWI, BALI EXPRESS - Pura Beji Utama Sari atau yang sebelumnya dikenal dengan nama Pura Beji Gerobogan yang berlokasi di Banjar Lebah Sari Desa Adat Gulingan Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung. Pura ini tidak saja menjadi tempat penyucian bagi Ida Bhatara yang berstana di Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Gulingan, pura ini juga menjadi salah satu tempat melukat bagi umat Hundu.


Menurut Pemangku Pura Beji Utama Sari, Jro Mangku Made Sarya, Pura Beji Utama Sari (wawancara dilakukan Juli 2016) yang juga dikenal dengan nama Pura Beji Taman Sari ini adalah salah satu Pura Beji yang ada di Lingkungan Desa Adat Gulingan yang memiliki kaitan dengan pengembaraan Ida Pedanda Sakti Telaga atau yang lebih dikenal dengan nama Ida Pedanda Sakti Ender dari tempat tinggalnya di Gelgel menuju Desa Gulingan pada masa pemerintahan Tjokorda Pugangga sebagai Raja Mengwi.




Seperti yang diceritakan Sarya, Ida Pedanda Sakti Ender, selama pengembaraannya, Beliau sempat singgah di Desa Gulingan dan di Desa ini Pedanda Sakti Ender memiliki banyak murid. “Perjalanan Beliau di Gulingan ini dimulai dari arah Timur, selanjutnya ke Selatan sampai di Banjar Batulumbung, dan akhirnya berhenti di Pancoran Utama Sari untuk beristirahat,” jelasnya.


Ketika beristirahat di Pancoran Utama Sari ini, Ida Pedanda Ender sempat melakukan Puja Samadi karena suasana di Pancoran tersebut sangat tenang, setelah melakukan puja semadhi, Ida Pedanda Ender pun tertarik dengan kesejukan air Pancuran, dan akhirnya Ida Pedanda Sakti Ender mandi di Pancuran tersebut.

Ketika mandi di Pancuran Utama Sari ini, Ida Pedanda dikatakan Mangku Sarya diganggu oleh Wong Peri yang ada di pancuran t e r s e b u t . K a re n a m e r a s a terganggu oleh kejahilan Wong Peri ini, akhirnya Ida Pedanda Ender marah dan menggunakan kesaktiannya untuk menemukan Wong Peri yang menganggunya.

Setelah berhasil menemukan para wong Peri yang menganggunya ini, para wong peri ini akhirnya mengakui kesaktian dari Ida Pedanda Ender. Karena menganggu Ida Pedanda ketika mandi, akhirnya Wong peri ini o leh Ida Pedanda Sakt i Ender diberikan tugas untuk menjaga pancoran Utama Sari ini. “Selain itu para wong peri ini juga diberikan kuasa untuk mengganggu siapa saja yang mandi ketika waktu matahari berada di atas kepala (tengai tepet) dan ketika Sandikala dan bagi mereka yang berbicara t i d a k s o p a n d i a re a l B e j i Gerobogan itu,” paparnya.

Wong Peri ini dikatakan Sarya diberikan tugas untuk menjaga Beji Utama Sari ini untuk selamanya, sehingga sampai saat ini masyarakat percaya jika mandi pada waktu matahari di atas kepala dan saat sandikala, maka dipercaya yang mandi akan diganggu oleh wong Peri yang menjaga Pancoran Utama Sari ini.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Selain memberikan tugas kepada para wong peri untuk menjaga Pancoran ini, Pedanda Sakti Ender dikatakan Sarya juga memberikan nama baru kepada pancoran ini, sebelum bernama pancoran Utama Sari, Pancoran ini bernama Pancoran Gerobogan karena sumber air di pancoran ini hanya satu dan dialirkan dengan pipa yang terbuat dari batang bambu.

Nama Pancoran Utama Sari dikatakan Sarya mengandung makna, pancoran yang utama atau pancoran yang memiliki sumber air yang utama dan istimewa yang mampu memberikan kehidupan bagi masyarakat yang ada di desa adat Gulingan. Karena itulah dikatakan Mangku Sarya, air pancoran ini selain berfungsi sebagai sarana melukat juga berfungsi sebagai sumber air minum bagi masyarakat.

Pura Beji yang piodalannya jatuh pada Purnama Kedasa ini, dikatakan Mangku Sarya saat ini diemong oleh 48 pekarangan rumah yang berasal dari beberapa banjar di Desa Adat Gulingan. “48 pekarangan inilah yang bertindak sebagai pengemong dari Pura Beji Utama Sari dan bertanggung jawab atas aktivitas dan perawatan di Pura Beji ini,” jelasnya.

Untuk piodalan di Pura Beji Utama Sari ini, Mangku Sarya menyebutkan jika upakara yang digunakan dalam melaksanakan ritual piodalan banten dengan tingkatan yang sederhana tetapi namun tetap pada tingkat yang utama, yakni pad atingkat banten Taman Pulegembal.

Pada hari piodalan tersebut, juga hadir beberapa undakan (barong dan rangda) dari beberapa banjar yang ada di Desa Gulingan. “Para undakan ini memang hadir setiap hari Pujawali di Pura Beji Utama Sari ini,” paparnya.



Berkhasiat Untuk Mengobati Sakit Mata

SELAIN air Beji Utama Sari dimanfaatkan sebagai sumber air suci dan tempat untuk melukat bagi masyarakat di sekitar Desa Adat Gulingan bahkan dari Seluruh wilayah di Bali, air dari Beji Utama Sari ini diakui Mangku Sarya juga dipercaya memiliki khasiat untuk menyembuhkan sakit mata.

Seperti yang diungkapkan Mangku Sarya, sejak dahulu air Beji Utama Sari sudah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengobati sakit mata. “Jika ada wabah sakit mata, masyarakat disekitar sini percaya jika air pancoran Utama Sari ini berkhasiat untuk mengobati sakit mata yang disebabkan oleh virus,” paparnya.

Selain digunakan untuk obat sakit mata, khasiat air Beji Utama Sari juga dikenal sebagai tempat untuk melukat, yang datang melukat di Beji Utama Sari ini diakui Mangku Sarya tidak saja masyatakat yang berasal dari Kabupaten Badung saja, melainkan berasal dari hampir seluruh wilayah yang ada di Bali.

Rata-rata yang datang melukat ke Beji Utama Sari ini adalah mereka yang mendapat petunjuk dari orang pintar supaya melakukan ritual pengelukatan di Beji Utama Sari ini. “Untuk yang mendapatkan petunjuk ini mereka biasanya datang dengan upakara dan sarana yang sudah ditentukan oleh orang pintar tersebut,” paparnya.

Selain itu, ada beberapa manfaat lain dari air Beji Utama Sari ini, antara lain adalah untuk mengairi areal persawahan yang ada di lingkungan Subak Batan Badung Munduk Bukti Tuh. Selain itu fungsi Beji juga berfungsi sebagai tempat penyucian bagi Ida Bhatara yang berstana di Pura Kahyangan tiga di Desa Adat Gulingan. “Selain itu Beji ini juga digunakan untuk ritual Ngening jika ada upacara atma wedana,” tambahnya.



(bx/gek/yes/JPR)