Selasa, 12 Januari 2021

Kamus Hindu Bali

 







Kamus Hindu Bali agar tidak menggunakan dan pinjam istilah orang lain:




Syukur = Angayubagia

Amin = Swaha, sidhirastu

Ikhlas = Tulus, Lascarya

Halal = Suklaà

Haram = Cemer, Leteh, Letuh

Kiamat = Prelaya

Sabar = Ksanti


Berkat, Ridho = Pasuecan, Anugraha


- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Istilah yang Sering Keliru :

Insyaallah = Om Awighnamastu (Artinya semoga tidak ada halangan)

Alhamdulillah = Astungkara

KEBANYAKAN DARI KITA LATAH MENGUCAPKAN ASTUNGKARA SAJA SEHINGGA PENEMPATANNYA KURANG TEPAT (Mohon diperhatikan perbedaan diatas)*

Bajik = Sukerthi

Ethika = Sesana, Anggah Ungguh

Tidak etis = Dursesana

Dosa = Dosa, Mala, adharma

Hasil perbuatan dosa = mala petaka

Murtad = Tulah

Laknat = Durjana

Khianat = Linyok

Maksiat = Smara dudu

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Almarhum = Sang sampun lina, Sang petala, Suwargi

Khasanah = Wawengkon

Allah SWA = Ida Sang Hyang Widhi Waça

Ibadah = Bhakti, Muspa, Maturan

Amal Ibadah = Kerthi yasa

Jenazah = Layon

Wafat = Seda, Pelatra, Lampus, Kelayu Sekaran


Nikah = Nganten, Wiwaha, Alaki Rabi,

Iman = Sraddha

Taqwa (taat) = Satya, Bhakti,

Ridho = Pasuecan, Waranugraha

Halal bihalal = Sima Krama, Gendu Wirasa, temu wirasa

Sedekah = Punia

Amal jariah = Dana Punia, Dana Paramitha

Ahlak = Budi Pekerti

Dagang Banten Bali

Pemujaan Dewi Gangga dan Rambut Sedana di Pura Beji Langon

 






BEJI: Pura beji Langon, Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung. (AGUNG BAYU/BALI EXPRESS)

BALI EXPRESS, MENGW - Selain ditemukan patung gajah dengan ukuran yang cukup besar, di Pura beji Langon, Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung ini juga ditemukan patung perwujudan dua pendeta sebagai lambang Siwa dan Buddha.


Adanya keradaan patung perwujudan dua pendeta di atas patung Gajah berukir ini dikatakan Mangku Pura Beji Langon, I Gusti Ngurah Wirawan karena pada masa terdahulu, pura Beji ini merupakan tempat pemujaan Siwa Budhha. “Ini salah satu pura pesician yang cukup tua, dan pada masa itu, Pura ini merupakan tempat pemujaan Siwa Buddha,” jelasnya.

Adapun manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi yang dipuja di Pura Beji Langon ini adalah Dewi Gangga, sebagai Dewi penguasa air yang bertugas untuk menyucikan alam semesta ini. Sehingga pura Beji ini berfungsi sebagai tempat Pesucian bagi Ida Bhatara dan pengelukatan bagi manusia (pembersihan secara sekala dan niskala).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Selain dilihat dari fungsi pura, dipujanya Dewi Gangga di Pura Beji ini karena dipura ini ditemukan patung dewi yang berstana di tengah Kolam utama Pura Beji Langon. “Patung Dewi ini ada di beberapa tempat, yakni di Sambiyang utama yang ada di ditengah kolam dan pada tebing padas yang ada di sisi timur Kolam Urama,” lanjutnya.

Selain memuja Dewi Gangga sebagai dewi Air yang bertugas untuk menyucikan alam semesta ini beserta isinya, yang dipuja di Pura Beji Langon ini adalah Sang Hyang Rambut Sedana yang dalam mitologi ajaran agama Hindu dikenal sebagai Manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kemakmuran yang disebut dengan Dewi Laksmi.

Adapun alasan kenapa Dewi Laksmi juga dipuja di Pura Beji Langon ini, seperti dituturkasn Mangku Wirawan, karena piodalan di Pura Beji Langon jatuh pada hari Buda Cemeng Kelawu yang secara khusus merupakan bentuk pemujaan terhadap Ida Bhatara Rambut Sedana sebagai simbol dewa uang kemakmura.



Selain karena piodalan yang bertepatan pada hari Buda Cemeng Kelawu, dipujanya Dewi Laksmi sebagai dewi Kemakmuran juga tidak terlepas dari ditemukannya Patung batu padas dengan perwujudan Dewi Laksmi di pada Sambiyang utama Pura Beji. “Sehingga Sang Hyang Rambut Sedana juga dipuja di Pura Beji ini,” jelasnya lebih lanjut.

Bagi yang ingin melakukan ritual pengelukatan di pura Beji Langon ini, Mangku Wirawan menyebutkan masyarakat bisa langsung datang ke Pura Beji Langon dengan membawa pejati. Untuk melakukan ritual melukat ini, sebelum dilukat dengan tirtha yang berasal dari kolam utama Pura Beji Langon, masyarakat yang ingin melukat terlebih dahulu melakukan pembersihan diri secara sekala dengan cara mandi di pancuran yang ada di sisi barat Pura.

Setelah mandi, barulah ritual melukat dilakukan dengan menghaturkan pejati di pelinggih utama Pura Beji Langon. “Sebelum melukat dilakukan persembahyangan dan setelah melukat juga dilakukan persembahyangan lagi,” tambahnya. 

(bx/gek/art/bay/yes/JPR)

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Berubah Jadi Daerah Kosong, Pura Pulaki Pernah Menghilang

 






PULAKI: Suasana di Pura Pulaki, Buleleng, yang menjadi bukti jejak perjalanan Dang Hyang Nirartha. (Dian Suryantini/Bali Express)





SINGARAJA, BALI EXPRESS-Kisah berdirinya Pura Pulaki di pesisir Pantai Desa Banyupoh, Gerokgak, Buleleng, tidak terlepas dari sejarah perjalanan Dang Hyang Nirartha dari Blambangan (Jawa Timur) ke Dalem Gelgel (Bali), pada masa pemerintahan Dalem Sri Waturenggong (1460-1550 M). 


Pura Pulaki yang terletak di tepi jalan Singaraja-Gilimanuk (sekitar 53,5 km dari Kota Singaraja) ini, merupakan Pura Kahyangan Jagat yang dipuja (disungsung) seluruh umat Hindu di Bali. Sejak pemugaran besar-besaran yang dimulai tahun 1984, Pura Pulaki kini tampak megah dan luas, sehingga memungkinkan umat Hindu melakukan persembahyangan bersama dengan leluasa. 



Pura Pulaki sebenarnya merupakan pusat dari serangkaian pura sekitarnya, yaitu Pura Kerta Kawat di KM-51 dari Singaraja (sekitar 750 meter sebelah selatan jalan raya), Pura Melanting, Pura Pabean, dan Pura Pemuteran. 

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Urut-urutan upacara yang diadakan saat piodalan yang jatuh pada Purnamaning Kapat dimulai dari Pura Pulaki. Kemudian Pura Melanting dan Kerta Kawat. Lalu Pura Pemuteran, dan terakhir Pura Pabean. 

Letaknya yang strategis di tepi jalan raya, sehingga tidaklah mengherankan sangat banyak mendapat kunjungan dari wisatawan asing ataupun domestik. Apalagi sudah tersedia tempat yang sangat baik untuk beristirahat dan tempat parkir yang sangat luas.

Di kawasan Pura Pulaki, tepatnya di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa perkakas yang dibuat dari batu. Antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat dari batu lainnya. 

Berdasarkan temuan itu, dan jika dilihat dari tata letak maupun struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.

Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang berada di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad yang lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang dibutuhkan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku. 

Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah terjadi perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan bukti dengan ditemukannya tananam lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki. 

Dari uraian itu, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut sampai dengan peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi.

Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa, tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana, lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki, dan Wangaya. 

Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan Agama Hindu sekte Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku 'Bhuwana Tatwa Maharesi Markandeya' yang disusun Ketut Ginarsa. 

Kisah tentang Pulaki terdapat juga dalam buku 'Dwijendra Tatwa' yang ditulis I Gusti Bagus Sugriwa. Di situ terdapat uraian : "Baiklah adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan, agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki”.

Panglingsir Pura Pulaki, Ida Bagus Mangku Kade Temaja, menceritakan, keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirartha dengan peristiwa dipralina-nya Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama. 

Jadi, Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak tahun1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. 

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Namun sebelum itu, sejak zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Betara Dang Hyang Nirarta 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga maupun Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya, dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai berwarna merah, hitam, dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki. 

“Suatu daerah yang tak dihuni selama ini, sudah pasti menjadi hutan belantara dan hanya dihuni binatang buas, babi hutan, harimau, banteng, dan lain-lainnya,” terangnya. 

Kendati begitu, lanjut Ida Bagus Mangku Kade Temaja, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di sekitarnya tetap setia ngaturang bhakti kepada bhatara di Pulaki dengan naik perahu dari Pantai Kalisada.

“Namun saat itu, pura sudah tak ada lagi. Sehingga pemujaannya dilakukan pada tumpukan batu yang ada di sekitar Pura Pulaki, yang lokasinya berada pada tempat sekarang ini,” terangnya.

Ida Bagus Mangku Kade Temaja menduga Pura Pulaki sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di tempat yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat pangayatan (pemujaan dari jarak jauh), karena warga tak berani masuk ke dalam hutan. 

Mengingat tempat ini sudah dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin ada orang yang berani masuk ke pedalaman hutan.

Tahun 1920, Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh pemerintah Kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What. 

Kawasan ini kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950, yang selanjutnya dilakukan pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu. Pemugaran Pura Pulaki dan pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950.

Dijelaskan Ida Bagus Mangku Kade Temaja, Pura Pulaki dan pasanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatung, Pura Puncak Manik, dan Pura Pemuteran, tidak bisa dipisahkan.

Dilihat dari lokasi sejumlah pura tersebut dan sesuai konsep Hindu Bali, lanjutnya, itu termasuk konsep Sapta Loka, yakni konsep tentang Sapta Patala atau tujuh lapisan alam semesta.

“Jadi, Pura Pulaki yang dibangun atas dasar perpaduan antara daerah pegunungan dan laut atau teluk, sehingga tata letak, struktur, dan lingkungan Pura Pulaki ini ditemukan unsur segara dan gunung yang menyatu,” lanjutnya.

Ditambahkan pula, dalam sejarah Pura Pulaki dinyatakan bahwa Dang Hyang Nirartha datang ke Bali memiliki tujuan, antara lain melantik Dalem Watu Renggong yang memerintah di Bali tahun 1460-1550 M. 

Dagang Banten Bali


Perjalanan beliau ke Klungkung dilakukan dari Desa Gading Wani. Anak-anaknya ditinggalkan di Desa Gading Wani. Beliau berjanji akan segera kembali setelah acara di Klungkung berakhir. Tetapi ternyata, Dang Hyang Nirartha tidak datang dalam jangka waktu yang lama. 

Putri beliau, Ida Ayu Swabhawa akhirnya sangat gusar. Penduduk desa-desa di sekitarnya yang berjumlah delapan ribu orang dikutuk menjadi wong samar. Semua menjadi wong samar termasuk dirinya. 

Ida Ayu Swabhawa dengan ribuan pengiringnya tinggal di bawah pohon-pohon besar. Pohon-pohon itu memiliki sulur-sulur tempat bergelayut (ngelanting). Di areal pohon itulah Ida Ayu Swabhawa dibuatkan palinggih yang disebut Pura Melanting.

“Beliau dengan wong samar itulah yang menjadi penguasa pasar. Barang siapa yang melakukan transaksi jual-beli pagi tidak sesuai dengan etika moral dharma, akan diganggu hidupnya oleh Dewi Melanting dengan anak buahnya. Kalau kegiatan di pasar mengikuti dharma, maka Dewi Melanting itulah yang akan melindunginya,” tuturnya.

Di samping distanakan di Pura Melanting, ada juga stana beliau yang disebut Pura Tedung Jagat. Pura inilah yang kemudian disebut Pura Pulaki, dan juga distanakan roh suci Dang Hyang Nirarta. Karena itu, Pura Melanting dan Pura Pulaki merupakan lambang predana-purusa sebagai tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran ekonomi.

Pura Pulaki disungsung subak di sekitar Pulaki. Selain itu, Pura Pabean merupakan tempat pemujaan bagi para nelayan dan para pedagang antarpulau. Mungkin identik dengan Pura Ratu Subandar di Pura Batur dan Besakih. Pura Kerta Kawat juga termasuk kompleks Pura Pulaki sebagai stana Tuhan, untuk memohon tegaknya moral etika dan hukuman dalam berbisnis. 

Di pura ini disebut stana Bhatara Kertaningjagat. Selanjutnya Pura Gunung Gondol yang terletak 3 km dari pusat Pura Pulaki sebagai stana untuk memuja Dewa Mentang Yudha, yaitu Tuhan dalam fungsinya sebagai pelindung dari segala bahaya seperti Dewa Ganesa.



(bx/dhi/rin/JPR)

Pura Tegal Penangsaran Dijaga Dadong Jagal, Tempat Adili Roh

 






PALINGGIH: Deretan palinggih Pura Tegal Penangsaran di Desa Tukadmungga, Buleleng, diyakini sebagai tempat mengadili roh. (Dian Suryantini/Bali Express)

BULELENG, BALI EXPRESS-Pura Tegal Penangsaran tak hanya ada di Pura Dalem Puri Besakih, Karangasem. Namun, juga ada di Desa Tukadmungga, Buleleng. Seperti diceritakan, Pura Tegal Penangsaran diyakini menjadi tempat para roh dihakimi dan yang belum diupacarai Pitra Yadnya. 


Di tempat inilah para roh ditentukan, apakah menuju tempat yang baik ataukah buruk. Dan, keputusannya disesuaikan dengan perbuatannya semasa hidup di dunia. 

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Pura Tegal Penangsaran di Desa Tukadmungga, Buleleng, yabg piodalannya jatuh saat Purwani Tilem Kapitu atau Siwaratri ini, juga diyakini sebagai tempat penghakiman bagi para roh. 


Menurut cerita terdahulu dari tetua di desa tersebut, sebelum palinggih dibangun di pura ini, areal itu hanya terdapat satu Pohon Bunga Menori Putih yang tumbuh di sebuah tanah lapang di Desa Tukadmungga. 

Tanah tersebut tidak berbentuk persegi seperti lahan kosong pada umumnya, namun berbentuk segitiga sempurna. 

Kemudian, masih menurut cerita, konon karena warga sekitar tidak mengetahui tempat tersebut angker, ada salah satu warga yang mencabut Pohon Menori tersebut, dan ditanam di rumahnya. 

Tidak berapa lama, warga tersebut pun dibayang-bayangi makhluk gaib. Dia juga selalu diteror dan diminta untuk mengembalikan benda yang diambil dari tanah lapang tersebut. Benda yang dimaksud adalah Pohon Menori itu. 

Selain dibayang-bayangi makhluk gaib, kejadian aneh juga dirasakan warga itu. Seperti ketika usai memasak, nasi yang yang telah matang tiba-tiba habis bersama lauk-pauknya. Padahal, warga itu belum sempat menikmati masakannya. 

Akhirnya warga tersebut mengembalikan dan menanam kembali Pohon Menori di tempat semula, sembari menghaturkan Guru Piduka. Saat itulah terkuak jika tanah lapang berbentuk segitiga itu merupakan tempat berkumpulnya para roh yang akan diadili Sang Jogormanik.

Kejadian lain juga terjadi saat akan dilakukan pembangunan untuk mendirikan pura tersebut. Pohon Kamboja besar yang ada di tanah lapang itu dicabut dan dijual ke salah satu pemilik vila. 

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Setelah itu, si penjual tidak pernah merasakan tidur dengan tenang. Setiap malam terbangun dan mendengar suara agar mengembalikan Pohon Kamboja itu ke tempatnya.

Kejadian itu terjadi berulang kali, hingga akhirnya penjual pohon tersebut tidak tahan, dan mengembalikan Pohon Kamboja itu dan menanamnya kembali di tempat semula. Kini posisi Pohon Kamboja tersebut terletak di dalam area pura sebelah kanan pintu masuk.

Pangliman Desa Adat Tukadmungga, Gede Parca, menceritakan, seiring berjalannya waktu, warga setempat membangun sebuah palinggih sebagai tempat berstananya Sang Dewa Bagus sebagai ganti Pohon Menori itu. Serta medirikan palinggih sebagai tempat berstananya Ratu Niang. 

“Sebelumnya banyak warga yang melihat hal-hal aneh di sekitar tempat itu saat belum dibangun pura seperti sekarang. Dari sana muncul inisiatif warga untuk membuatkan palinggih, " paparnya.

Awalnya, lanjut Gede Parca, cuma ada satu palinggih yang dibangun, yakni Palinggih Dewa Bagus. "Kemudian setelah beberapa lama atau sekitar tahun 1999-2000, baru dibangun lagi palinggih lainnya. Seperti palinggih Ratu Niang. Warga disini sering menyebutnya sebagai Dadong Jagal. Serta dibangun pula palinggih yang lain,” ungkapnya. 

Dituturkan pula, Dadong Jagal yang berstana di Pura Tegal Penangsaran bersama Dewa Bagus adalah salah satu hakim untuk mengadili para roh yang belum diupacarai Pitra Yadnya. 

Dadong Jagal atau Ratu Niang ini dibantu Sang Jogormanik untuk menentukan hukuman yang pantas bagi roh-roh tersebut.

“Beliaulah penentunya roh-roh itu mau masuk tempat yang baik atau tidak. Beliau yang menentukan jalan kita sesuai karma kita. Jika semasa hidupnya suka mencuri misalnya, maka hukumannya akan disesuaikan. Layaknya hidup di keduniawian, jika mencuri hukuman penjara 7 tahun misalnya, maka di alam baka beda lagi urusanya, mungkin lebih kejam lagi,” tutur Anak Agung Ngurah Dwipa dari PHDI Desa Adat Tukadmungga, akhir pekan kemarin.

Dagang Banten Bali


Agung Ngurah juga menyebutkan, dalam lontar Atmaprasangga dijelaskan, Tegal Penangsaran ini disediakan bagi atma yang penuh dosa, karena perbuatannya selalu membuat orang lain sengsara atau panas hati. 

“Seperti yang saya jelaskan tadi, ini semua sudah diatur. Dalam lontar juga sudah disebutkan seperti itu. Jadi, perbuatan di masa hidup saat bahagia melihat orang susah dan kerap membuat orang susah, maka akan dibayar dan dirasakan sendiri saat penghakiman nanti,” tambahnya.

(bx/dhi/rin/JPR)

Pura Prapat Agung Jejak Nirartha Terakhir Ditemukan

 






PERADABAN : Pura Prapat Agung diyakini menjadi tempat cikal bakalnya peradaban masyarakat Bali. (GDE RIANTORY/BALI EXPRESS)

JEMBRANA, BALI EXPRESS-Dalam Lontar Dwijendra Tattwa, yang merupakan babon kisah sejarah perjalanan suci Dang Hyang Nirartha, disebutkan ada 35 tempat yang berkaitan dengan perjalanan suci siar keagamaan Dang Hyang Nirartha. Kemudian di tempat tersebut didirikan pura untuk mengenang dan memuja jasanya. Salah satu tempatnya adalah Pura Prapat Agung yang berada di dalam kawasan hutan lindung Taman Nasional Bali Barat (TNBB).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Berdasarkan Lontar Dwijendra Tattwa, Pura Prapat Agung sejatinya adalah asal permandian Ida Bhatara Sakti Dwijendra. Di tempat inilah awal Dang Hyang Nirartha mempelajari dan menyelami peradaban masyarakat Bali. Hal ini ditandai dengan adanya tempat ‘payogan’ bersamadhi Dang Hyang Nirartha di sisi kiri utama mandala Pura Prapat Agung.


Selain mendalami tentang peradaban masyarakat Bali, dari payogannya, Dang Hyang Nirartha juga menciptakan sebuah telaga (kolam) yang diperuntukkan hewan-hewan yang kehausan. Telaga tersebut tidak pernah kering, meskipun terjadi kemarau panjang.


TELAGA : Telaga dengan air warna-warni, jadi penanda tempat tersebut bukti perjalanan Dang Hyang Nirartha. (GDE RIANTORY/BALI EXPRESS)



Kini di sisi utara telaga dibangun Pura Taman Beji, sebagai bagian dari Pura Dang Kahyangan Prapat Agung, terutama saat pelaksanaan pujawali. Berdasarkan penelusuran Lontar Deijendra Tatwa, sekitar tahun 1990 Pura Dang Kahyangan Prapat Agung beserta telaga warna yang ditemukan di areal hutan TNBB.

“Ketika masih di dalam telaga, warna air biasa-biasa saja. Tetapi kalau diambil dan ditempatkan dalam wadah tersendiri, warnanya akan berbeda. Luas telaga sekitar 4 x 6 meter. Airnya memiliki lima warna berbeda, yakni merah, hitam, kuning, putih jernih, dan biru,” tutur Ketua Umum Yayasan Pengembang Dang Kahyangan Prapat Agung, Ida Bagus Susrama, akhir pecan kemarin.

Keberadaan telaga ini, lanjut Susrama, merupakan salah satu penanda (land mark) Pura Prapat Agung, seperti yang tertera dalam Lontar Dwijendra Tatwa. “Di lontar itu disebutkan ciri-ciri keberadaan pura, salah satunya adalah telaga tersebut,” terangnya.

Keberadaan Pura Dang Kahyangan Prapat Agung, diyakini merupakan salah satu pura yang didirikan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh, atau yang juga dikenal dengan sebutan Dang Hyang Nirartha. Dalam perjalanan spiritualnya dari Kerajaan Majapahit, beliau mendirikan tempat peribadatan yang cukup banyak di Kabupaten Jembrana, seperti Pura Dang Kahyangan Jati, Pura Dang Kahyangan Gede Perancak, Pura Dang Kahyangan Rambut Siwi, Pura Dang Kahyangan Mertasari, dan Pura Dang Kahyangan Prapat Agung.

“Pura Dang Kahyangan Prapat Agung ditemukan paling terakhir dibanding pura-pura peninggalan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Penelusuran dilakukan karena umat merasa masih ada satu pura yang belum ditemukan sesuai yang tercantum dalam Lontar Dwijendra Tatwa, yaitu Pura Prapat Agung ini,” imbuh Susrama. Keberadaan pura ini tidak diketahui karena posisinya di dalam hutan, berbeda dengan pura lainnya yang berada di kawasan permukiman penduduk.

Dengan mendapat konsesi lahan seluas 3 hektare dari Kementerian Kehutanan, pengembangan pura, termasuk infrastruktur yang dibangun harus memperhatikan kelestarian lingkungan. Dengan pola pelestarian lingkungan, pengembangan pura termasuk akses jalan tidak merusak lingkungan, sehingga umat Hindu tidak saja dapat bersembahyang di pura, juga mendapatkan pemandangan alam yang indah di kawasan hutan. Pengunjung juga dapat menuju tempat itu melalui jalur laut. Dari Pelabuhan Penyebarangan Gilimanuk-Ketapang hanya dibutuhkan waktu 15 menit.

Untuk menuju telaga, para pengunjung juga dapat melalui jalan utama ruas Gilimanuk-Singaraja. Setelah itu, memasuki kawasan hutan yang kondisi jalannya tidak beraspal, sehingga nuansa alaminya dapat dipertahankan.

Meskipun pengunjung harus melalui kawasan yang secara administrasi masuk wilayah Kabupaten Buleleng, Susrama mengakui, pura dan telaga itu tetap berada di wilayah Kabupaten Jembrana. “Memang jalurnya melingkar. Tapi lingkaran itu kembali berujung-pangkal di wilayah Kabupaten Jembrana,” pungkasnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

(bx/tor/rin/JPR)

Mengenal Bahasa Atau Istilah Keseharian di Desa Pedawa

 






UNIK: Selain keunikan dalam bahasa sehari-hari, Desa Pedawa juga memiliki keunikan tetkait tempat pemujaan, dengan adanya Sanggah Kamulan Nganten, seperti yang tampak di salah satu rumah warga Desa Pedawa. (Dian Suryantini/Bali Express)

SINGARAJA, BALI EXPRESS-Masyarakat Desa Pedawa secara umum memiliki karakteristik bahasa yang berbeda dari masyarakat Bali pada umumnya. Bahkan, bahasa di Desa Pedawa tidak mengenal tingkatan bahasa, seperti bahasa desa lainnya di Bali. Berikut arti sejumlah bahasa di Desa Pedawa di Kecamatan Banjar, Buleleng. 

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Aisti Baa biasanya diucapkan atau diungkapkan ketika merasa sedih dan menyesal. Aku berarti saya, yang biasa digunakan dengan teman sejawat. Alanganga artinya dihabiskan. Ames berarti lahap. Apik artinya bersih dan rapi. Ara artinya tidak. Ayang artinya mengajak.


Kemudian, Babuan artinya di atas. Berek artinya bau. Binlatasan artinya sebentar lagi. Carah artinya seperti. Da artinya jangan. Dangla artinya aneh. Dot artinya ingin.


Ee artinya iya. Gubane artinya penampilan. Gujat-gujet artinya terguncang. Inem artinya minum. Ingken artinya kenapa. Jaa artinya dimana. Kado artinya percuma.

Selanjutnya, Kaka artinya kakak. Kaka merupakan bentuk penghormatan kepada seorang kakak. Kal artinya mau. Kanti artinya sama. Kayuan artinya tempat permandian. Kedeng artinya tarik. Kicak artinya kecil. Kinto artinya begitu. Ko artinya kamu. Kosen artinya boros. Kual artinya nakal.

Bahasa umum Pedawa selanjutnya, Kutanga artinya dibuang. Lem-lem artinya pucat. Likad artinya jalan yang rusak.

Madak artinya semoga. Maku artinya kesana. Mangle artinya asam. Mecacad artinya bertengkar. Mediman artinya berciuman. Megentet artinya berpegangan tangan. Meglebug artinya jatuh. Mekale artinya rebut. Mekarep artinya berpacaran. Mekepres artinya menggunakan parfum.



Melemeng artiya menginap. Men artinya menikah. Nang artinya dengan. Ngalap artinya memetik. Ngamah artinya makan. Di Bali pada umumnya Ngamah dikenal sebagai bahasa yang kasar karena biasanya ditujukan kepada binatang, namun di Desa Pedawa kata tersebut merupakan kata yang akrab.

Ngelamit artinya tidak membayar pada saat berbelanja. Ngewalek artinya mengejek. Ngulungang artinya menjatuhkan. Ngunuh artinya mencari. Ngunya merupakan prosesi yang dilakukan sebelum pernikahan antara orang Pedawa, ngunya biasanya dilakukan pada sore hari.

Selanjutnya, Nira merupakan kata yang biasa digunakan untuk menyebut diri kepada orang yang lebih tua. Nyegang artinya menaruh. Nyilem artinya menyelam.

Nyuang artinya mengambil. Panteg artinya tertimpa. Sander artinya disambar petir. Sangkol artinya menggendong. Sema artinya kuburan. Sembe artinya lampu.

Singa artinya seperti itu. Suh artinya suruh. Uba artinya sudah. Unden artinya belum. Uraang artinya katakan. Was artinya pergi. Waya artinya jalan.



(bx/dhi/rin/JPR)

Simbolisasi dan Makna Wadah, Bade, dan Lembu

 





NGABEN: Prosesi ngaben massal di Bali. (AGUNG BAYU/BALI EXPRESS)

BALI EXPRESS, DENPASAR - Upacara Ngaben adalah ritual mengantar arwah keluarga atau orang yang disayangi menuju ke alam sunia. Dalam prosesinya, selain menggunakan Wadah, Bade, juga disertai Lembu. Apa makna sesunggungnya Wadah, Bade, dan Lembu itu? 

Wadah, Bade, dan Lembu umumnya memiliki fungsi yang sama sebagai perlengkapan untuk melaksanakan ritual Ngaben di Bali. Namun, penggunaan Wadah biasanya digunakan oleh seseorang yang tidak berkasta. Sedangkan Bade dan Lembu digunakan oleh mereka yang memiliki kasta lebih tinggi. "Dalam filosofinya, Wadah dan Bade merupakan simbol dari bagian bawah dari Gunung Maliawan," papar Undagi yang juga Ketua Yayasan Gases Bali, Dr. Komang Indra Wirawan,S.sn kepada Bali Express (Jawa Pos Group) akhir pekan kemarin di Denpasar.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Tak disanggahnya belakangan ada kecenderungan melaksanakan pangabenan secara berlebihan, bahkan dianggap menyalahi makna Ngaben itu sendiri.

Dikatakan Indra, adanya fenomena melaksanakan pangabenan secara mewah dan besar - besaran, dengan membeli Wadah yang lengkap dan besar dengan tujuan agar atman dapat lebih mudah tiba di Nirwana merupakan stigma yang keliru. 

Menurutnya Wadah, Bade, dan Lembu hanya sarana pangabenan, bukan penentu seseorang itu akan mudah masuk surga atau tidak.


“Atman dimudahkan menuju Suargan atau Nirwana, bukan karena Wadah yang digunakan, tapi tergantung seperti apa karma sang atman itu," bebernya.


Kadang orang salah kaprah, lanjutnya, ketika orang tuanya telah tiada mereka seolah membayar utang mereka dengan menyelenggarakan upacara Ngaben secara jor – joran. "Wadah harus yang paling mahal dan lengkap, baju yang digunakan layonnya harus baju yang terbaik ketika dibakar. Padahal, itu semua tidak perlu. Itu semua tidak dapat memengaruhi sang atman sampai ke Nirwana,” ujarnya.

Indra menyebutkan, secara fisik, Wadah dan Bade memiliki perbedaan yang mencolok. Bade umumnya memiliki tumpang, jumlah atap tumpangnya dibuat menyesuaikan kasta orang yang akan melaksanakan upacara pangabenan. Sedangkan, jika tak memiliki tumpang, atau hanya berbentuk tempat jenazah biasa yang menjulang tinggi disebut Wadah. “Memang berbeda, meski fungsinya sama, yaitu untuk membawa dan membakar jenazah ketika ngaben, namun secara riilnya berbeda," urainya.


Bentuk Wadah yang paling sederhana bertumpang satu. Wadah ini, bentuknya seperti keranda tanpa penutup, dan diusung oleh empat orang. Lalu ada pula Wadah yang disebut dengan Papageh. Papageh umumnya sudah berbentuk seperti Wadah, namun lebih kecil ukurannya. Selain itu, ada juga Wadah (batur sari), yakni Wadah umumnya yang sering digunakan oleh masyarakat kebanyakan. Dan, terakhir ada Bade. "Nah Bade merupakan prasaranan yang paling lengkap. Biasanya menggunakan boma, angsa, Bedawang Nala,Garuda, dan Meru atau tumpang,” ujar pria yang akrab disapa Komang Gases ini.



Dikatakan pria yang usianya berkepala tiga ini, penggunaan Bade umumnya memiliki aturan khusus . Bade biasanya ada beberapa jenis, ada yang tumpang sembilan, tumpang solas (sebelas), tumpang pitu (tujuh), tumpang lima dan seterusnya. Nah masing – masing tumpang sudah ditentukan kasta apa yang dapat menggunakannya. Contohnya keturunan Dalem, biasanya diperbolehkan menggunakan Bade tumpang sebelas (11) lengkap dengan Naga Banda dan kelengkapan upakara lainnya.


Indra memaparkan, memang benar dalam tiap inci bagian yang ada pada Bade maupun Wadah memiliki arti dan filosofi khusus. Dalam Lontar Dharma Laksana, dijelaskan makna dari bagian – bagian Bade. “Bade dan Wadah umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu bagian kepala, badan, dan kaki. Dalam undagi biasanya disebut ornamen parta punggel. Itu biasanya berbentuk ornamen simbol,” ujarnya.


Ornamen - ornamen yang ada pada Bade merupakan simbol. Dikatakan Indra, dalam teori Widi Tattwa menyebutkan, agama Hindu di Bali dalam setiap segmen kehidupan, menggunakan media simbol, simbol sebagai sebuah tanda dalam makna kehidupan. Semua tradisi dan kepercayaan di Bali merupakan simbol. Contohnya banten itu simbol, canang itu juga simbol, segehan juga simbol. Begitu juga Wadah dan Bade adalah simbol. "Jadi, bukan berarti dengan menggunakan Wadah bertumpang solas, orang tersebut bisa lebih mudah tiba di Nirwana,” ujarnya.


Dalam Bade ada simbol Bedawang Nala. Wa dalam Bedawang Nala artinya tanah pertiwi. “Jika ditilik dari makna filosofinya, Bedawang Nala merupakan simbolisasi dari rwabhineda, yang artinya manusia harus dapat memilah mana yang baik dan buruk dalam hidup,” ujarnya. Selain itu, ada juga ornamen Naga. Ornamen ini, bisa diartikan sebagai simbol 'Kamerta pangurip jagat'. Naga identik dengan niat rakus atau momo. Simbol ini menggambarkan, manusia diikat oleh rasa tamasika. "Diletakkannya simbol naga pada Bade diharapkan sifat tamasika orang yang meninggal akan dilebur dan tidak terbawa ke alam sunia. Naga ini merupakan simbolisasi dari Naga Basuki.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Selanjutnya ada juga ornamen yang disebut Boma. Boma merupakan gambaran kepala raksasa yang memiliki caling (taring) dengan mulut terbuka. Boma merupakan simbol perwatakan wujud manusia dari rasa tidak pernah puas. “Boma itu kan simbolisasi seorang manusia dengan hasrat tidak pernah puasnya hidup di dunia. Contohnya mereka yang gila harta, seberapa pun penghasilan yang didapat, mereka tetap merasa kurang dan terus menginginkan lebih,” tuturnya.


Selain itu, terdapat juga ornamen Garuda dalam Bade. Bungsu dari tiga bersaudara ini menjelaskan, Garuda merupakan simbol dari kendaraan Dewa Wisnu. Garuda dipercaya akan membantu menerbangkan segala sesuatu yang masih mengikat sang atman di Mercapada. Kemudian ada juga Angsa yang dinilai simbol istimewa. Sebab, Angsa berarti kembalinya sang atman pada yang kuasa. “Nah sampai di alam sunia, yang bisa dipertanggungjawabkan adalah karma. Jadi, seberapa pun mahalnya Wadah tak akan bisa mengurangi dosa karma kita di Mercapada ini,” ujarnya


Dalam upacara pangabenan banyak tahapan yang harus dilakukan, salah satunya adalah tradisi unik memberi bekal kepada yang meninggal yang hingga kini terus dipertahankan.
"Fenomena memberi bekal berupa uang dan benda – benda berharga bagi jenazah yang akan dibakar, tindakan salah kaprah, " ujarnya.


Menurutnya, apa yang mereka lakukan adalah hal yang percuma. Sebab, orang yang meninggal tidak membawa benda - benda itu ke alam Nirwana. “ Daripada memberi mereka uang berjuta – juta ketika sudah mati, lebih baik mereka memberinya ketika orang tersebut masih hidup. Ini mereka jor – joran memberi ketika orangnya sudah tiada. Ketika masih hidup, justru mereka menyia – nyiakannya,” paparnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

(bx/tya/bay/yes/JPR)