Minggu, 13 Desember 2020

Dewata Nawa Sanga - Penguasa 9 Penjuru Mata Angin

 





Penguasa 9 Penjuru Mata Angin
Dewata Nawa Sanga tidak sama dengan Sang Hyang Widh. Dewa adalah perwujudan sinar suci dari Hyang Widhi (Tuhan) yang memberikan kekuatan suci untuk kesempurnaan hidup mahluk. Dewa berasal dari bahasa Sansekerta “div” yang artinya sinar. Dewa adalah perwujudan sinar suci dari Hyang Widhi (Tuhan) yang memberikan kekuatan suci untuk kesempurnaan hidup mahluk. Dewa berasal dari bahasa Sansekerta “div” yang artinya sinar. Istilah Deva sebagai mahluk Tuhan adalah karena Deva dijadikan ( dicipta-kan ) sebagaimana dukemukakan di dalam kitab Reg Veda X. 129.6. Dengan diciptakan ini berarti Deva bukan Tuhan melainkan sebagai semua mahluk Tuhan yang lainnya pula, diciptakan untuk maksud tujuan tertentu yang mempunyai sifat hidup dan mempunyai sifat kerja ( karma ) .

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Disamping pengertian di atas, dalam Reg Veda VIII.57.2, dijelaskan pula tentang banyaknya jumlah Deva yaitu sebanyak 33 yang terdapat di tiga ( 3 ) alam ( mandala ) . Ketigapuluh tiga Deva tersebut terdiri dari 8 Vasu ( Basu ), 11 Rudra, 12 Aditya, Indra dan Prajapati.
lebih lengkapnya silahkan baca: Dewa dan Bhatara (Betara)


Berikut ini adalah nama dan makna menurut Upanishad Brihadaranyaka dan itihasa Mahabharata, Kedelapan Vasu tersebut adalah:

Agni ( Dewa api - "Panas api" ), atau Anala (juga disebut Agni) yang bermakna "Hidup"
Prthivi ( Dewa tanah - "Bumi" ), atau Dhara yang bermakna "Dukungan"
Vayu ( Dewa angin - "Angin" ), atau Anila yang bermakna "Angin"
Dyaus ( Dewa langit - "Langit" ), atau Prabhasa yang bermakna "Bersinar fajar"
Aditya ( Dewa matahari - "Abadi", nama yang sangat umum untuk matahari adalah Surya ), atau Pratyūsha yang bermakna "Pra-fajar", yaitu senja pagi, tetapi sering digunakan hanya berarti "cahaya"
Savitra ( Dewa antariksa - "Ruang" ), atau Ha yang bermakna "Meresapi"
Chandramas ( dewa bulan - "Bulan" ), atau Soma yang bermakna "Soma-tanaman", dan nama yang sangat umum untuk bulan
Nakstrani ( Dewa bintang - "Bintang" ), atau Dhruva yang bermakna "Bergerak", nama Polestar
Rudra sebagai salah satu aspek Deva-deva, merupakan unsur hidup dan kehidupan yang disebut sebagai Rudra prana. Kesebelas Rudras yang mengatur alam semesta (buana agung dan buana alit), diantaranya Kapali, pingala, Bima, Virupaksha, Vilohita, Shasta, Ajapada, Abhirbudhnya, Shambu, Chanda, dan Bhava.

Kapali menunjukkan tulang (dinyatakan dalam istilah feminin) atau cangkir / mangkuk yang digunakan untuk menyimpan makanan. Dengan kata lain bisa disebut sebagai kepala perempuan atau penyedia perempuan. Ini menunjukkan kekuatan Rudra tertanam jauh di dalam Amba.
Pingala menunjukkan api coklat kemerahan. Ini adalah api yang dimulai di Amba bawah pengaruh Purusha
Bima menunjukkan kekuatan, kuat hebat dan luar biasa. Ini adalah gaya Prana (Angkatan Kuat atau gluon dalam istilah modern) yang terbentuk api di Amba,
Virupa-aksha menunjukkan multi-lipat, multi-warna mata. Ini adalah Aksi / Caksu kekuatan ( tenaga lapangan) yang berasal dari Amba,
Vilohita menunjukkan kekuatan merah tua. Merah menunjukkan jarak jauh. Ini adalah Higgs kekuatan-bidang yang memiliki jangkauan panjang dengan intensitas rendah (Higgs lapangan)
Abhirbudnya menunjukkan sesuatu yang di kedalaman atau jauh di dalam inti. Ini adalah Getaran yang menyebabkan senar terbentuk pada Amba bergetar seperti partikel Core (Baryon),
Shasta menunjukkan untuk menahan, mengendalikan, perintah atau perintah. Ini adalah getaran yang menyebabkan senar terbentuk pada Amba terlihat seperti partikel tersembunyi, yang merupakan 'Mana' Partikel (meson)
Ajapada menunjukkan kambing berkaki. Ini adalah getaran yang menyebabkan senar terbentuk pada Amba untuk menjauh dan membentuk partikel Satelit (lepton) dengan Getaran yang berbeda. Ini adalah kekuatan yang membawa dalam Apana (mengusir kekuatan atau Angkatan Lemahnya boson W dan Z) dan memulai proses dari Peluruhan Radio-aktif yang tidak lain adalah kematian. Hal ini disebut sebagai kambing berkaki dengan kekuatan atom bisa dibentuk dengan penta / struktur heksagonal. (Orbit elips beberapa partikel satelit sekitar partikel inti membentuk struktur kaki berbentuk kambing)
Bhava menunjukkan datang ke keberadaan atau kelahiran. Ini adalah getaran yang menyebabkan ziznam.
Chanda menunjukkan memikat atau mengundang. Ini adalah getaran yang menyebabkan Reta yang berarti aliran bergerak atau mengalir.
Shambu menunjukkan mempertemukan atau bertemu atau bergabung. Ini adalah getaran yang menyatukan ziznam, reta dan Apa dan menyediakan platform untuk hidup.
Semua makhluk biologis memiliki dimensi kesembilan, kesepuluh dan kesebelas, di alam semesta Ruang. Medan gaya yang hadir di ruang mana-mana (yang berasal dari Amba) mendorong proses penciptaan protein, medium asam dan basa menengah yang memulai proses kehidupan biologis. Bidang ini berlaku dapat dipahami sebagai mewujudkan sebagai kondisi lingkungan untuk evolusi kehidupan biologis (untuk misalnya, suhu air dll) di seluruh alam semesta untuk membuat protein, asam dan basa.




Dewa Astadikapala
Adapun Deva -deva yang lainnya yaitu Aditya dilambangkan sebagai hukum tertinggi, sebagai pengatur alam semesta di bawah kekuasaan Tuhan. Selain sifat – sifat Deva dia atas dalam Reg Veda X.36.14 , dijelaskan pula bahwa fungsi Deva adalah sebagai Dikpala, yaitu penguasa atas penjuru mata angin ( arah ) .

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dasar pemikiran ini bersumber pada pengertian bahwa Tuhan Maha Ada, sebagai hakekat yang memenuhi ruang dan waktu. Atas dasar pola pemikiran di atas timbul pula konsep – konsep baru tentang hubungan Deva-deva dengan penjuru arah mata angin dan membaginya menjadi sembilan sesuai dengan arah mata angin yang biasa. Namun menjadi sebelas dimasukkan zenit dan nadir . Kesembilan arah mata angin tersebut secara rinci diuraikan dalam pembahasan berikut.


Dewa juga ciptaan Tuhan yang berfungsi untuk mengendalikan alam semesta. Dewa-dewa dihubungkan dengan aspek-aspek tertentu dan khusus dari phenomena yang ada di alam semesta ini. Setiap aspek dikuasai oleh satu Dewa tertentu dengan ciri-ciri dan lambang yang khusus.


Masing-masing Dewa memiliki sakti yang tidak terpisahkan darinya, seperti halnya suami istri, karena Dewa tidak dapat melakukan tugas sesuai fungsinya apabila tidak dengan saktinya. Sehingga jika Dewa diwujudkan dalam bentuk laki-laki, maka saktinya diwujudkan dalam bentuk wanita, maka dengan perpaduan Dewa (Purusa) dan Sakti (Pradana) tugasnya dapat dilakukan sesuai fungsinya.


Dalam Hinduism, sebagai sinar suci atau manifestasi Tuhan yang menguasai, menjaga alam semesta, Dewa juga dilengkapi dengan senjata, kendaraan dan juga diwujudkan dalam bentuk simbol atau aksara.


Misalnya Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Tri Murti yaitu :

Dewa Brahma dengan saktinya Dewi Saraswati, kendaraannya Angsa, senjatanya Danda/Gada dengan aksara suci “Ang”
Dewa Wisnu dengan saktinya Dewi Sri (Laksmi), kendaraannya burung Garuda, senjatanya Cakra dengan aksara suci “Ung”
Dewa Siwa dengan saktinya Dewi Durga (Uma), kendaraannya Lembu, senjatanya Padma dengan aksara suci “Mang”
Semua perwujudan Dewa dan Saktinya diwujudkan berbeda-beda tergantung dari penggambaran umat Hindu terhadap beliau. Misalnya wujud Dewa dan Saktinya di India dan di Bali sangatlah berbeda, namun fungsinya sama.

Semua sakti-sakti para Dewa itu digambarkan memiliki paras yang cantik, namun Dewi Uma yang cantik apabila dalam tugasnya sebagai Dewi Maut (Durga) memiliki wajah yang sering digambarkan dalam wujud Rangda oleh masyarakat Bali.
Dewa Brahma berwujudkan sebagai Maha Rsi yang tua karena usia beliau melebihi alam semesta, dikarenakan Dewa Brahma-lah yang bertugas menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini, beliau juga diwujudkan dalam bentuk berwajah empat (Catur Muka).
Dewa Wisnu berwujudkan sebagai Dewa yang berparas paling elok, beliau juga diwujudkan dalam bentuk berkepala tiga (Tri Sirah).
Dewa Siwa berwujudkan seorang Pertapa, karena beliaulah yang menguasai hidup manusia sehingga beliaulah yang akan meleburnya kembali, beliau juga diwujudkan bertangan empat (Catur Buja).
Dari perwujudan sesuai gambaran umatnya inilah dibuatkan patung (arca).


Dalam ajaran Hindu, jumlah Dewa adalah banyak sekali sesuai setiap fungsi yang ada dalam alam semesta ini. Diibaratkan Sang Hyang Widhi adalah Matahari, maka Dewa adalah sinar matahari yang jumlahnya tak terhingga. Matahari dikatakan panas, namun sinar nyalah yang menyentuh kita secara langsung.


Demikian juga dengan Sang Hyang Widhi, Dewa sebagai sinar sucinya lah yang menghubungkan kita langsung denganNya. Mungkin dalam agama lain disebutkan Dewa itu sebagai Malaikat.

Dalam ajaran Hindu ada sebutan Tri Murti, Panca Dewata/Panca Brahma, Dewata Nawa Sanga, Asta Dewata, Panca Korsika dan lainnya. Panca Dewata adalah manifestasi Sang Hyang Widhi sebagai penjaga segala penjuru mata angin yaitu :

Sadyojata (Iswara) di Timur dengan aksara suci “Sa”
Bamadewa (Brahma) di Selatan dengan aksara suci “Ba”
Tat Purusa (Maha Dewa) di Barat dengan aksara suci “Ta”
Aghora (Wisnu) di Utara dengan aksara suci “A”
Isana (Siwa) di Tengah dengan aksara suci “I”
Panca Dewata disebut juga dengan Panca Brahma, sehingga kelima aksara suci “Sa Ba Ta A I” disebut “Panca Brahma Wijaksara”.


Disamping itu ada juga lima manifestasi Hyang Widhi lainnya yaitu :

Maheswara di Tenggara dengan aksara suci “Na”
Rudra/Ludra di Barat Daya dengan aksara suci “Ma"
Sangkara di Barat Laut dengan aksara suci “Si”
Sambu di Timur Laut dengan aksara suci “Wa”
Siwa di Tengah dengan aksara suci “Ya”
Kelima aksara suci “Na Ma Si Wa Ya” disebut dengan Panca Aksara.


Namun dalam ajaran agama Budha Mahayana, Panca Dewata (Panca Brahma) disebut dengan “Panca Tatagata” yaitu:

Aksobhya di Timur dengan aksara suci “Ah”
Ratnasambhawa di Selatan dengan aksara suci “Ung”
Amitaba di Barat dengan aksara suci “Trang”
Amogasidhi di Utara dengan aksara suci “Hrih”
Wairocana di Tengah dengan aksara suci “Ang”
Sehingga kelima aksara “Ah Ung Trang Hrih Ang” disebut dengan Panca Wijaksara Tatagata sedangkan Panca Aksara Budha nya “Na Ma Bu Da Ya”.


Apabila dalam Panca Aksara dan Panca Brahma Wijaksara digabungkan menjadi Dasa Aksara “Sa Ba Ta A I Na Ma Si Wa Ya”, jika ditambahkan dengan aksara “Om” maka disebut “Eka Dasa Aksara”.


Dewata Nawa Sanga sering disebut juga dengan “Loka Pala”.




Asta Dewata adalah delapan manifestasi sifat Hyang Widhi sebagai penguasa yaitu :

Indra menguasai Hujan
Baruna menguasai Lautan
Yama menguasai Arwah Manusia
Kuwera menguasai Kekayaan Alam
Bayu menguasai Angin
Agni menguasai Api
Surya menguasai Matahari
Candra menguasai Bulan
Beberapa sebutan lain manifestasi Sang Hyang Widhi di penjuru mata angin adalah Panca Korsika, yaitu:

Sang Hyang Korsika di Timur
Sang Hyang Garga di Selatan
Sang Hyang Mentri di Barat
Sang Hyang Kurusya di Utara
Sang Hyang Prutanjala di Tengah

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dewata Nawasanga adalah sembilan dewa atau manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menjaga atau menguasai sembilan penjuru mata angin. Sembilan dewa itu adalah Dewa Wisnu, Sambhu, Iswara, Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, dan Siwa.



Ersanya / Timur Laut
Urip : 6.

Dewa : Sambhu.
Sakti : Maha Dewi.
Senjata : Trisula.
Warna : Biru.
Aksara : Wa.
Bhuwana Alit : Ineban.
Tunggangannya : Wilmana.
Bhuta : Pelung.
Tastra : Pa dan Ja.
Sabda : Mang mang.
Wuku : Kulantir, Kuningan, Medangkungan, Kelawu.
Caturwara : Sri.
Sadwara : Urukung.
Saptawara : Sukra.
Astawara : Sri.
Sangawara : Tulus.
Dasawara : Sri.
Dewa Sambhu merupakan penguasa arah timur laut (Ersanya), bersenjata Trisula, wahananya (kendaraan) Wilmana, shaktinya Dewi Mahadewi, aksara sucinya "Wa", di Bali beliau dipuja di Pura Besakih terletak di Kabupaten Karangasem.
Banten : Dewata-dewati, Sesayut Telik Jati, Tirta Sunia Merta.
Mantra : Ong trisula yantu namo tasme nara yawe namo namah, ersanya desa raksa baya kala raja astra, jayeng satru, Ong kalo byo namah.

Purwa / Timur
Urip : 5.

Dewa : Iswara.
Sakti : Uma Dewi.
Senjata : Bajra.
Warna : Putih.
Aksara : Sa (Sadyojata)
Bhuwana Alit : Pepusuh.
Tunggangannya : Gajah.
Bhuta : Jangkitan.
Tastra : A dan Na.
Sabda : Ngong ngong.
Wuku : Taulu, Langkir, Matal, Dukut.
Dwiwara : Menga.
Pancawara : Umanis.
Sadwara : Aryang.
Saptawara : Redite.
Astawara : Indra.
Sangawara : Dangu.
Dasawara : Pandita.
Dewa Iswara merupakan penguasa arah timur (Purwa), bersenjata Bajra, wahananya (kendaraan) gajah, shaktinya Dewi Uma, aksara sucinya "Sa", di Bali beliau dipuja di Pura Lempuyang.
Banten : Penyeneng, Sesayut Puja Kerti.
Mantra : Ong bajra yantuname tasme tikna rayawe namo namah purwa desa, raksana ya kala rajastra sarwa, satya kala byoh namah namo swaha.



Genya / Tenggara
Urip : 8.

Dewa : Mahesora / Maheswara.
Sakti : Laksmi Dewa.
Senjata : Dupa.
Warna : Dadu/Merah Muda.
Aksara : Na.
Bhuwana Alit ; Peparu.
Tunggangannya : Macan.
Bhuta : Dadu.
Tastra : Ca dan Ra.
Sabda : Bang bang.
Wuku : Uye, Gumbreg, Medangsia, Watugunung.
Caturwara : Mandala.
Sadwara : Paniron.
Saptawara : Wraspati.
Astawara : Guru.
Sangawara : Jangu.
Dasawara : Raja.
Dewa Maheswara merupakan penguasa arah tenggara (Gneyan), bersenjata Dupa, wahananya (kendaraan) macan, shaktinya Dewi Lakshmi, aksara sucinya "Na", di Bali beliau dipuja di Pura Goa Lawah terletak di Kabupaten Klungkung
Banten : Canang, sesayut Sida Karya, Tirta Pemarisuda.
Mantra : Ong dupa yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, genian dasa raksa raksa baya kala rajastra, jayeng satru kala byoh namo namah.



Daksina / Selatan
Urip : 9.

Dewa : Brahma.
Sakti: Saraswati Dewi.
Senjata : Gada / Danda.
Warna : Merah.
Aksara : Ba (Bamadewa).
Bhuwana Alit : Hati.
Tunggangannya : Angsa.
Bhuta : Langkir.
Tastra : Ka dan Da.
Sabda : Ang ang.
Wuku : Wariga, Pujut, Menail.
Triwara : Pasah.
Pancawara : Paing.
Sadwara : Was.
Saptawara : Saniscara.
Astawara : Yama.
Sangawara : Gigis.
Dasawara : Desa.
Dewa Brahma merupakan penguasa arah selatan (Daksina), bersenjata Gada, wahananya (kendaraan) angsa, shaktinya Dewi Saraswati, aksara sucinya "Ba", di Bali beliau dipuja di Pura Andakasa terletak di Kabupaten Karangasem.
Banten : Daksina, Sesayut Candra Geni, Tirta Kamandalu.
Mantra : Ong danda yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, daksina desa raksa baya, kala rajastra jayeng satru, Ong kala byoh nama swaha.



Noritya / Barat Daya
Urip : 3.

Dewa : Rudra.
Sakti : Santani Dewi.
Senjata : Moksala.
Warna : Jingga.
Aksara : Ma.
Bhuwana Alit : Usus.
Tunggangannya : Kebo.
Bhuta : Jingga.
Tastra : Ta Dan Sa.
Sabda : Ngi ngi.
Wuku : Warigadian, Pahang, Prangbakat.
Caturwara : Laba.
Sadwara : Maulu.
Saptawara : Anggara.
Astawara : Ludra.
Sangawara : Nohan.
Dasawara : Manusa.
Dewa Rudra merupakan penguasa arah barat daya (Nairiti), bersenjata Moksala, wahananya (kendaraan) kerbau, shaktinya Dewi Samodhi/Santani, aksara sucinya "Ma", di Bali beliau dipuja di Pura Uluwatu terletak di Kabupaten Badung.
Banten : Dengen dengen, Sesayut Sida Lungguh, Tirta Merta Kala, Tempa pada Usus.
Mantra : Ong moksala yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, noritya desanya raksa baya kala rajastra, jayeng satru Ong kala byoh nama swaha.





Pascima / Barat
Urip : 7.

Dewa : Mahadewa.
Sakti : Saci Dewi.
Senjata : Nagapasa.
Warna : Kuning.
Aksara : Ta (Tat Purusa).
Bhuwana Alit : Ungsilan.
Tunggangannya : Naga.
Bhuta : Lembu Kanya.
Tastra : Wa dan La.
Sabda : Ring ring.
Wuku : Sinta, Julungwangi, Krulut, Bala.
Triwara : Kajeng.
Pancawara : Pon.
Sadwara : Tungleh.
Saptawara : Buda.
Astawara : Brahma.
Sangawara : Ogan.
Dasawara : Pati.
Dewa Mahadewa merupakan penguasa arah barat (Pascima), bersenjata Nagapasa, wahananya (kendaraan) Naga, shaktinya Dewi Sanci, aksara sucinya "Ta", di Bali beliau dipuja di Pura Batukaru terletak di Kabupaten Tabanan.
Banten : Danan, Sesayut tirta merta sari, Tirta Kundalini.
Mantra : Ong Naga pasa yantu namo tasme tiksena nara yawe namo, pascima desa raksa bala kala rajastra, jayeng satru, Ong kala byoh namo namah swaha.



Wayabya / Barat Laut
Urip : 1.

Dewa : Sangkara.
Sakti : Rodri Dewi.
Senjata : Angkus /Duaja.
Warna : Wilis / Hijau.
Aksara : Si.
Bhuwana Alit : Limpa.
Tunggangannya : Singa.
Bhuta : Gadang/Hijau.
Tastra : Ma dan Ga.
Sabda : Eng eng.
Wuku : Landep, Sungsang, Merakih, Ugu.
Ekawara : Luang.
Caturwara : Jaya.
Astawara : Kala.
Sangawara : Erangan.
Dasawara : Raksasa.
Dewa Sangkara merupakan penguasa arah barat laut (Wayabhya), bersenjata Angkus/Duaja, wahananya (kendaraan) singa, shaktinya Dewi Rodri, aksara sucinya "Si", di Bali beliau dipuja di Pura Puncak Mangu terletak di Kabupaten Badung.
Banten : Caru, Sesayut candi kesuma, Tirta Mahaning.
Mantra : Ong duaja yantu namo tiksena nara yawe namo, waybya desa raksa baya kala rajastra, jayeng satru, Ong kalo byoh namo namah swaha.



Uttara / Utara
Urip : 4.

Dewa : Wisnu.
Sakti : Sri Dewi.
Senjata : Cakra.
Warna : Ireng / Hitam.
Aksara : A (Aghora).
Bhuwana Alit : Ampru.
Tunggangannya : Garuda.
Bhuta : Taruna.
Tastra : Ba dan Nga.
Sabda : Ung.
Wuku : Ukir, Dungulan, Tambir, Wayang.
Dwiwara : Pepet.
Triwara : Beteng.
Pancawara : Wage.
Saptawara : Soma.
Astawara : Uma.
Sangawara : Urungan.
Dasawara : Duka.
Dewa Wisnu merupakan penguasa arah utara (Uttara), bersenjata Chakra Sudarshana, wahananya (kendaraan) Garuda, shaktinya Dewi Sri, aksara sucinya "A", di Bali beliau dipuja di Pura Ulundanu terletak di Kabupaten Bangli.
Banten : Peras, Sesayut ratu agung ring nyali, Tirta Pawitra.
Mantra : Ong cakra yantu namo tasme tiksena ra yawe namo namah utara desa raksa baya, kala raja astra jayeng satru, Ong kala byoh namo namah swaha.
BACA JUGA
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan


Madya / Tengah
Urip : 8.

Dewa : Siwa.
Sakti : Uma Dewi (Parwati).
Senjata : Padma.
Warna : Panca Warna brumbun.
Aksara : I (Isana) dan Ya.
Bhuwana Alit : Tumpuking Hati.
Tunggangannya : Lembu.
Bhuta : Tiga Sakti.
Tastra : Ya dan Nya.
Sabda : Ong.
Saptawara : Kliwon.
Sangawara : Dadi.
Dewa Siwa merupakan penguasa arah tengah (Madhya), bersenjata Padma, wahananya (kendaraan) Lembu Nandini,senjata Padma shaktinya Dewi Durga (Parwati), aksara sucinya "I" dan "Ya", di Bali beliau dipuja di Pura Besakih terletak di Kabupaten Karangasem.
Banten : Suci, Sesayut Darmawika, Tirta Siwa Merta, Sunia Merta, Maha Merta.
Mantra : Ong padma yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, madya desa raksa baya, kala rajastra jayeng satru kala byoh namo swaha.


Hal ini didukung oleh beberapa data tambahan yang diambil dari 2 sumber yaitu :


Geguritan Gunatama
Dalam geguritan Gunatama diceritakan bahwa I Guna Tama pergi kepada pamannya Ki Dukuh untuk meminta ilmu pengetahuan di Gunung Kusuma . Hal pertama yang oleh Ki Dukuh perintahkan kepada I Gunatama adalah agar ia belajar berkonsentrasi melalui pemahaman terhadap warna bunga. Hal itu dapat dilihat pada geguritan berikut :


Bunga petak maring purwa, kembang jingga gnewan sami, sekar abang ring daksina, ring pascima kembang jenar, mapupul maring wayabia, Bunga ireng ring utara, ersania birune sami, mancawarnane ring madia, punika tandur ring kayun, apang urip dadi mekar, to uningin, patute anggon padapa.


Geguritan tersebut berarti :
“ Bunga putih ditimur, bunga jingga gnewan semua, bunga merah di selatan, yang di barat bunga kuning, berkumpul di barat laut. Bunga hitam di utara, timur laut semuanya biru, panca warna di tengah, itulah ditanam di hati, supaya hidup berkembang, ketahuilah itu, kebenaran dipakai selimut “


Kidung Aji Kembang
Yang dilagukan dalam upacara Ngaben ( Ngereka ) :



Ring purwa tunjunge putih,
Hyang Iswara Dewatannya.
Ring papusuh prehania,
alinggih sira kalihan,
panteste kembange petak.
Ri tembe lamun numadi suka sugih tur rahayu dana punya stiti bakti

Ring geneyan tunjunge dadu,
Mahesora Dewatannya
Ring peparu prenahira.
Alinggih sira kalihan,
Pantesta kembange dadu,
Ri tembe lamun dumadi widagda sire ring niti, subageng sireng bhuwana

Ring daksina tunjunge merah,
Sang Hyang Brahma Dewatannya
Ring hati prenahira.
Alinggih sira kalihan Pantesta kemabang merah.
Ring tembe lamun dumadi Sampurna tur dirga yusa. Pradnyan maring tatwa aji

Ring Nriti tunjunge jingga.
Sang Hyang Rudra Dewatannya
Ring usus prenahira,
Alinggih sira kalihan.
Pantes te kembange jingga,
Ring tembe lamun numadi, Dharma sira tur susiila. Jana nuraga ring bhumi

Ring Pascima tunjunge jenar,
Mahadewa Dewatannya
Ring ungsilan prenahira,
Alinggih sire kalihan,
Pantesta kemabnge jenar,
Ring tembe lamun dumadi, Tur Sira Cura ring rana, prajurit, watek angaji

Ring wayabya tunjunge wilis,
Hyang Sangkara Dewatannya
Ring lima pranahira,
alinggih sira kalihan.
Pantesta kembang wilis.
Ring tembe lamun dumadi, Teleb tapa brata, gorawa satya ring bhudi

Ring utara tunjunge ireng.
Sang Hyang Wisnu Dewatannya
Ring ampu prenahira,
Alinggih sira kalihan.
Panteste kembange ireng,
Ring tembe lamun numadi, Suudira suci laksana, surupa lan sadu jati

Ring airsanya tunjunge biru .
Sang Hyang Sambu Dewatannya
Ring ineban prenahira,
Alinggih sira kalihan.
Panteste kembange biru ,
Ring tembe lamun numadi, Pari purna santa Dharma, sidha sidhi sihing warga

Tengah tunjunge mancawarna,
Sang Hyang Ciwa Dewatannya
Tumpukung hati prenahira,
Alinggih sira kalihan.
Panteste kembange mancawarna ,
Ring tembe lamun numadi, Geng prabhawa sulaksana, satya bratha tapa samadi

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, arti dari masing-masing geguritan di atas sama dengan diskripsi warna dalam Dewata Nawa Sanga, tambahan yang diberikan adalah adanya akibat dari penggunaan tunjung (teratai) dengan sembilan warna tersebut adalah sebagai berikut :

Penggunaan tunjung warna putih akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang kaya raya, dermawan dan sejahtera
Penggunaan tunjung warna dadu akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang kaya raya, dermawan dan sejahtera
Penggunaan tunjung warna merah akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang kaya raya, dermawan dan sejahtera
Penggunaan tunjung warna biru akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang sempurna , dan pintar (berilmu pengetahuan)
Penggunaan tunjung warna jingga akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang sabar serta menjalankan Dharma, susila,
Penggunaan tunjung warna hijau akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yangberani bertarung di medan laga, sebagai prajuurit sejati dengan watak yang sangat baik ( berpendidikan )
Penggunaan tunjung warna kuning akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang tekun mengerjakan tapa , brata, dan mempunyai budi yang luhur
Penggunaan tunjung warna hitam akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang berkelakuan baik, suci laksananya, tampan dan dan senantiasa menimbulkan kedamaian
Penggunaan tunjung panca warna akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang keseluruhan hidupnya diliputi oleh kebaikan, disayangi oleh setiap orang
Disamping hal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa dari 8 warna dasar yang diberikan oleh Berlin dan Kay, dalam Agama Hindu terutama dalam Dewata Nawa Sanga terdiri dari dari empat warna dasar yaitu : merah, putih, kuning, dan hitam. Hal ini disebabkan karena warna hijau yang berada di barat laut ( barat dan utara ) merupakan perpaduan antara kuning dan hitam ; warna dadu yang berada di tenggara ( timur dan selata ) merupakan perpaduan antara putih dengan merah ; warna jingga yang berada di barat daya ( barat dan selatan ) merupakan perpaduan antara merah dengan kuning.






Fungsi dan Makna Warna dalam Dewata Nawa Sanga
Berdasarkan simbol simbol yang ada dalam Dewata Nawa Sanga, maka fuungsi dan makna warna dalam Dewata Nawa Sanga dalam Agama Hindu dapat dianalisis seperti dibawah ini :


1. Warna Hitam yang berada disebelah utara dengan Dewa Wisnu menurut budaya hindu berarti gunung, dengan fungsi sebagai pemelihara. Menurut makna MSA berarti arang, gelap, sedangkan makna universal memiliki makna : heightàgreatness, massà generousity, source of living, gelap, ketakutan, sial, kematian, penguburan, penghancuran, berkabung, anarkisma, kesedihan, suram, gawat (kesan buruk) dan (kesan baik) berarti : kesalehan, kealiman, kemurnian, kesucian, kesderhanaan India ; pemelihara kehidupan, limitless, immortal.


2. Warna Merah yang berada di Selatan dengan Dewa Brahma dengan pusaka Gada dan tanda api memiliki makna budaya laut, pencipta dan kekuatan, sedangkan menurut MSA berarti api dan darah. Makna universal yang terkandung dalam warna merah adalah : sumber dari segala sumber, berani, cinta , emosi , darah (rudhira), kehidupan, kebesaran, emosi, kemegahan, murah hati, cantik, hangat, berani, api, panas, bahaya, cinta (manusia à ß Tuhan), perang, sumber panas, benih dari kehidupan.

3. Warna Putih dengan Dewa Iswara yang bersenjata Bajra, berada di sebelah Timur, dan dengan tanda jantung mempunyai makna matahari, pelebur, dan sumber kebangkitan. Makna putih dari MSA berarti terang, salju, dan susu dan makna universal berarti penerangan, pahlawan , sorga, kebangkitan, centre of human body, cinta, kesetiaan, penyerahan diri, absolut, suci, murni, lugu, tidak berdosa, perawan, simbol persahabatan, damai, jujur, kebenaran, bijaksana, alat untuk mencapai surga, kekeuatan angin.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

4. Warna Kuning disebelah Barat dengan Dewa Mahadewa dengan senjata Nagasapah dan tanda lingkungan kabut memiliki makna budaya matahari terbenam, penjaga keseimbangan dan kekuasaan, sedangkan MSA berarti matahari. Makna universal dari warna kuning adalah end of journey, passive, (bad image) ; cemburu, iri, dengki, dendam,bohong, penakut, (good image) ; cahaya, kemuliaan, keagungan, kesucian, murah hati, bijaksana, penyatuan unsur udara + air dan tanah à evolutive process.


5. Warna Hijau yang berada di sebelah barat laut dengan Dewa Sangkara dan senjata angkus, dengan tanda lingkungan mendung memiliki makna budaya penyatuan matahari terbenam & laut, keseimbangan, kesempurnaan dalam MSA berarti tumbuh-tumbuhan, dan secara universal memiliki makna akhir dari segalanya, tumbuhan, kehidupan, kesuburan, vitalitas, muda, kelahiran kembali, harapan, kebebasan, dan simbol : kesuburan, kurir (messenger ), prophet
Makna warna Biru yang dalam Dewata Nawa Sanga berada di Timur Laut dengan Dewa Sambu bersenjata Trisula, dengan tanda lingkungan awan tebal memiliki makna budaya penyatuan matahari & laut, keseimbangan alam, penyatuan kebang-kitan, pemeliharaan dan pemusnahan ; kebebasan rohani. Dalam MSA biru berarti laut, langit, sedangkan makna universalnya adalah sumber dari segala sumber, senser, assosiated with the idea of birth and rebirth, sorga, langit, bangsawan, melankolis, jujur, cinta, setia, kebenaran, distincttion, excellence, kesedihan, dan makna asosiasi : hujan, banjir, kesedihan.


7. Warna Dadu yang dalam Dewata Nawa Sanga berada disebelah tenggara dengan dewa Mahesora bersenjata dupa dan tanda lingkungan rambu (awan tipis) memiliki makna budaya penyatuan antara gunung dan matahari, keseimbangan alam, pembunuh indria. Menurut MSA, warna dadu memiliki makna yang sama dengan makna asali dari warna putih dan merah. Makna universalnya adalah : kebangkitan, kesadaran, kesadaran, kehidupan, halus, anggun, megah, persahabatan, kedamaian, emosional, dan dingin.


8. Warna Jingga dengan Dewa Rudra bersenjata Moksala yang berada di sebelah Barat Daya dengan tanda lingkungan halilintar, memiliki makna budaya penyatuan matahari terbenam dan gunung, pembasmi, kedahsyatan, sumber kemurkaan. Sedangkan makna Jingga menurut MSA merupkan makna yang terkandung dalam warna merah dan kuning. Makna Universal warna kuning adalah darah, the concept of circulation, kematian, bahaya, kehidupan, hangat, dendam, murka, pengorbanan, penyerahan diri, active force, supreme creative power, illumination, penyerahan, dan pengorbanan.


9. Warna Brumbun yang merupakan campuran warna putih + kuning + hitam + merah yang berada di tengah dengan Dewa Ciwa bersenjata Padma dan tanda lingkungan topan memiliki makna budaya pusat, pemusnah dan dasar dari semua unsur, kesucian. Makna warna ini menurut MSA adalah makna asali dari warna putih, kuning, hitam dan merah, sedangkan makna universalnya adalah : moving from : multiplicityà unity, space à spacelessness, time à timelessness, a mean toward contemplation and concentration, kesucian, victory, denote the interco-munication between inferior and the supreme, 5 = health, love , controller, violent, evil power.


Demikian sekilas tentang dewata nawa sanga, mohon masukan dan kritikan atas tulisan diatas guna menyempurnakan tulisan ini. dan secara tidak langsung ini merupakan materi wajib di bali, sehingga Orang Bali WAJIB ketahui hal ini. terima kasih.

Sumber Artikel : Cakepane.blogspot.com
Sumber Foto : Pengastawa Istha Dewata Lan Samudaya

Penjelasan Apa Itu Ngereh

 




Setelah dicari-cari pada beberapa kamus Bahasa Bali ternyata tidak mencantumkan kata ngereh. Begitu juga pada Kamus Bahasa Bali karangan Simpen AB juga tidak ditemukan kata ngereh.

Namun beberapa lontar memang ada memberi petunjuk mengenai ngereh, antara lain Lontar Canting Mas (Informasi dari Ida Pedanda Bang Buruan pada majalah taksu, 196 th 2007), Widhi Sastra dan Ganapati Tatwa dan lontar pengerehan. Lontar-lontar tersebut ternyata memberikan penjelasan mengenai ngereh atau kerauhan dalam perspektif yang luas, sehingga menimbulkan kesan bahwa ngereh hanyalah prosesi mistik yang sangat rahasia. Disebut rahasia sebab dilakukan di kuburan tengah malam, hal ini merupakan pengertian ngereh yang sempit yang hidup dan berkembang dalam benak masyarakat Hindu Bali.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Jadi ngereh merupakan suatu prosesi ritual mistik yang dilakukan dikuburan pada tengah malam dan merupakan tahapan akhir dari proses sakralisasi petapakan Ida Bhatara Rangda atau Barong Landung. Atau tahapan akhir dari proses sakralisasi setelah memperbaiki petapakan yang lama atau rusak.

Menurut Ida Pedanda Bang Buruan Manuaba dari Gria Muding Kerobokan Kabupaten Badung bahwa ngereh merupakan simbulis kumpulan aksara-aksara suci yang terdapat dalam swalita dan mudra yang dirangkum menjadi satu sehingga menjadi kalimusada dan kalimusali yang biasanya dipakai untuk surya sewana. Dari kalimusada dan kalimusali ini muncul dwijaksara diakulturasikan menjadi dasa aksara menjadi panca aksara kemudian menjadi Tri Aksara, Dwi Aksara dan akhirnya menjadi Eka Aksara.

Kaitannya dengan ngereh adalah menghidupkan kekuatan Ista Dewata atau lingga beliau yang sesuai dengan fungsinya, khususnya mengidupkan benda-benda yang dibikin oleh manusia.

Dalam beberapa lontar yang ada yang memuat tentang ngereh yakni lontar Canting Mas dan Siwer Mas peninggalan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh / Dang Hyang Dwi Jendra, ngereh mempunyai arti yakni menghidupkan organ inti manusia yang berupa cakra-cakra dalam tubuh manusia.

Didalam tubuh manusia terdapat tujuh cakra yang harus dihidupkan menjadi kundalini yang menjadi rah atau ngereh. Dengan kata lain kita harus menyatukan ongkara ngadeg dan ongkara sungsang dalam tubuh. Ini berfungsi untuk mengaktifkan kekuatan diri sendiri untuk mencapai kesadaran diri dan dapat menyatu dengan sifat-sifat beliau ( ketuhanan ). Dengan sifat-sifat ketuhanan yang lebih mantap akan memudahkan kita berbuat baik dalam menjalani hidup. Di masyarakat dikenal dengan membangkitkan aura (taksu) yang berdasarkan kekuatan batin. Jadi tidak selalu ngerehang itu bersifat menyeramkan. Kalaupun itu bersifat menyeramkan berarti merupakan spesifikasi dari ngerehang. Khusus terhadap ngerehang rangda dan barong landung haruslah mengacu pada dresta yang berlaku setempat.

Menurut Drs. I Made Karda, M.Si yang juga sebagai tukang saluk rangda pada tulisannya di majalah Taksu 169 Thun 2007 menjelaskan bahwa Ngereh lebih dekat dengan kata kerauhan atau kesurupan, yang artinya kemasukan roh manifestasi Tuhan. Mereka akan menggeraklan tubuhnya sesuai dengan kekuatan yang menempatinya.

Ditambahkan bahwa kerauhan di Bali ada 2 (dua) konsep :


Pertama : kerauhan yang biasanya terjadi ketika piodalan di pura, sanggah kemimitan ataupun dirumah yang memberi isyarat bahwa yadnya telah berhasil dengan baik atau sebaliknya tidak berhasil dengan alasan ada kesalahan. 
Kedua : kerauhan untuk menghadirkan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa pada saat mengangkat seorang pemangku secara niskala pada suatu pura atau sanggah kemimitan. Ini disebut dengan ketapak ditunjuk secara niskala oleh Ida Bhatara.
Kerauhan yang lain adalah untuk pasupati tapel rangda yang terbuat dari kayu Pule setelah dipasupati tidak lagi disebut Tapel rangda tetapi disebut dengan Ratu Ayu sebutan lain yang disepakati oleh masyarakat penyungsungnya.

Ida Bagus Sudiksa seorang tokoh spiritual, dalang dan pembuatan pratima, barong dan rangda dari Desa Adat Kerobokan Kabupaten Badung menyatakan bahwa setelah selesai pembuatan tapakan Ida Bhatara kemudian dilakukan pengatepan, melaspas, nueden, pasupati oleh Sang Sulinggih dan terakhir barulah dilaksanakan pengerehan.

Desebutkan bahwa ngereh adalah pesucian dari tapakan Ida Bhatara yang ada di Pura. Adapun makna dari pengerehan adalah pengijakan pertama pada Ibu Pertiwi untuk menghidupkan kekuatan magis barong atau rangda yang dilakukan di setra. Ritual di setra ini berhubungan dengan kekuatan magis dan alam gaib dan erat hubungannya dengan jiwa Agama Hindu di Bali yang menganut paham Siwaisme.

Terkait dengan ngereh selain lontar Kala Maya Tatwa ada juga beberapa Lontar tentang pengerehan yakni Lontar Barong Swari yang memuat tentang Kanda Pat, pembuatan barong, rangda, telek, jauk dan lain-lainnya.

Seorang tokoh juga dari Desa Adat Kerobokan Kabupaten Badung Jro Mangku Drs Made Meja Swarata juga berprofesi sebagai dalang dan sejak masih muda biasa memimpin Ritual Ngereh, walaupun beliau tidak terjun langsung selaku pengeranya mengatakan bahwa Ngereh adalah kegiatan yang dilaksanakan dengan tujuan memohon sesuatu pasupati / kekuatan / kehidupan kepada Ida Bhatara terhadap sesuatu petapakan atau palawatan Ida Bhatara misalnya Rangda atau Barong Landung.

Ritual ini dilakukan setelah Barong Landung/Rangda (petapakan) selesai diperbaiki (bagi yang lama) atau bagi petapakan yang baru dibuat akan mulai dipergunakan. Sesudah tentunya sebelum ritual ngereh ini, terhadap petapakan ini terlebih dahulu dilaksanakan penyucian dan pemlaspas serta pasupati (sekala).



Ngereh biasanya berhubungan dengan Upacara Sakral berupa : Pasupati, Ngatep dan Mintonin.
BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali
Ngereh artinya memusatkan pikiran, dengan mengucapkan mantra dalam hati, sesuai dengan tujuan yang bersangkutan. Pasupati artinya kekuatan dari Dewa Siwa. Ngatep artinya mempertemukan dan Mintonin adalah bahasa Jawa Kuna yang artinya menampakkan diri.

Dalam prosesi Ngereh Petapakan Ida Betara diperlukan tiga tingkatan upakara seperti ; Prayascita dan Mlaspas, Ngatep dan Pasupati, Masuci dan Ngerehin


Tahap Prayacitta dan Melaspas. Tujuan dari upacara ini adalah untuk menghapuskan noda baik yang bersifat sekala maupun niskala yang ada pada kayu dan benda lain yang digunakan untuk pembuatan Petapakan Betara. Noda ini dapat saja ditimbulkan oleh sangging (seni ukir) ataupun bahan itu sendiri. Dengan Upacara Prayascitta diharapkan kayu atau bahan itu menjadi bersih dan suci serta siap untuk diberikan kekuatan. Upakara tersebut dihaturkan kehadapan Sang Hyang Surya, Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Sapujagat.
Tahap Ngatep dan Pasupati dapat dilakukan oleh Pemangku (orang suci) dan Sangging (seni ukir). Dengan upacara ini terjadilah proses Utpeti (kelahiran) terhadap Petapakan Betara. Mulai saat itu dapat difungsikan sebagai personifikasi dari roh atau kekuatan gaib yang diharapkan oleh penyungsungnya (Pemujanya).
Tahap Masuci dan Ngrehin, merupakan tingkat upacara yang terakhir dengan maksud Petapakan Betara menjadi suci, keramat dan tidak ada yang ngeletehin (menodai). Tujuan upacara adalah untuk memasukkan kekuatan gaib dari Tuhan. Dengan demikian diharapkan Petapakan Betara mampu menjadi pelindung yang aktif. Upacara ini biasanya dilakukan pada dua tempat yaitu di pura dan di kuburan. Apabila dilakukan di kuburan yang dianggap tenget (angker), maka diperlukan tiga tengkorak manusia yang berfungsi sebagai alas duduk bagi yang memundut (mengusung). Begitu pula bila dilakukan di pura maka tengkorak manusia dapat diganti dengan kelapa gading muda. Upacara ini biasanya dilakukan pada tengah malam terutama pada hari-hari keramat seperti hari kajeng kliwon menurut kalender Bali. Sebagai puncak keberhasilan upacara ini adalah adanya kontak dari alam gaib yaitu berupa seberkas sinar yang jatuh tepat pada pemundutnya (pengusungnya). Si pemundut (pengusung) yang kemasukan sinar itu akan dibuat kesurupan (trance) dan pada saat itu pula si pemundutnya (pengusungnya) menari-nari. Kejadian lain yang menandakan upacara ini berhasil adalah apabila Petapakan Betara bergoyang tanpa ada yang menyentuhnya.
Demikianlah beberapa difinisi berdasarkan pendapat beberapa orang yang memang sudah cukup berpenglaman terkait dengan ngereh itu. Memperhatikan bebeapa pendapat yang telah diuraikan di depan, pada intinya ngereh itu adalah suatu ritual niskala yang bersifat magis yang merupakan kelanjutan dari ritual sekala yang dilaksanakan terhadap suatu petapakan (biasanya Barong Landung atau Rangda). Jadi ngereh ini bermakna memohonkan kekuatan kehadapan Ida Bhatara agar petapakan menjadi sakral dan memiliki kekuatan gaib sehingga mampu dan diyakini melindungi masyarakat penyungsungnya serta warga disekitarnya.

Ngereh adalah ritual yang langka dan bernuansa magis serta gaib, maka untuk lokasinya pastilah disesuikan. Tentunya, tidak dilaksanakan pada tempat-tempat umum atau keramaian, malah sebaliknya mencari lokasi yang sepi, tenget, sakral jauh dari hiruk piuk keramaian. Dipastikan tempat itu adalah setra (kuburan). Hal ini diperkuat lagi dengan bunyi salah satu definisi atau pengertian dari Ngereh yakni penginjakan pertama pada ibu pertiwi untuk penghidupan pada barong dan rangda yang dilakukan di setra (kuburan).

Pernah satu kali di dalam prosesi ngereh di sebuah kuburan di tengah kota Denpasar yang di sebut Sema Badung. Prosesi itu dimaksudkan untuk membuktikan atau mengetahui apakah Ida Bhatara Rangda yang baru dibuat telah memperoleh atau memiliki kesaktian. Entah karena alasan apa, mungkin pengerahan tidak dapat berkondentrasi lantaran disekitar kuburan itu kendaraan lalu lalang dengan suara yang memekakkan telinga atau karena hubungan antara manusia dengan alam niskala itu telah terputus, maka prosesi itu tidak berhasil atau gagal. Padahal, ngereh kali ini merupakan bagian akhir dari proses sakralisasi merupakan yang sesungguhnya telah melewati tahapan-tahapan yang demikian rumit, panjang dan kompleks.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Lokasi ngereh memang di kuburan, yang kalau dahulu suasana serta keberadaannya betul-betul sepi dan menyeramkan dengan pepohonan besar-besar yang angker. Semak-semak betul-betul rimbun, tenpa tembok pembatas. Namun sejalan dengan perkembangan dan kemajuan jaman, maka kuburan yang semula disebut sama berubah menjadi setra dan kemudian mengikat lagi statusnya menjadi setra gandamayu. Kalau yang disebut dengan sema, memang kondisi kuburan itu betul-betul masih terbelakang yakni dengan ciri-ciri tanpa tembok pembatas/penyengker, semak-semak yang lebat rimbun dan suasananya kumuh, kuburan masih banyak berisi batu nisan dan gegumuk yang letaknya tidak beraturan, begitu juga palinggih-palinggih dan tata cara penanganan kematian sudah professional, seperti dapat dilihat di setra Gandamayu Dalem Kerobokan Desa Adat Kerobokan Kabupaten Badung. Kalau ritual atau prosesi ngereh dilaksanakan disana, maka tentunya saja kalau dilihat secara sepintas, maka suasananya tidak akan seram atau berbau magis, karena memang suasana kesehariannya bagaikan taman kota. Tembok panyengker yang indah, tata tetamanan yang asri, rerumputan menghijau rapi, pohon-pohon besar ditanam teratur, patung-patung artistik dan lampu penerangan yang bercahaya terang.

Namun demikian bukan berarti, kuburan itu tidak memiliki nuansa magis yang tinggi, jika digunakan sebagai lokasi ngereh, maka keberadaan Setra Gandamayu ini akan dikondisikan agar nuansa seram, magis dan gaib betul-betul terasa. Pada saat prosesi ngereh, seluruh kendaraan yang biasa lewat di jalan yang membelah Setra Gandamayu Dalem Kerobokan dialihkan arus lalu lintasnya sehingga suasana betul-betul tenang dan hening. Lampu-lampu penerang jalan, pura, setra dan termasuk bangunan serta perumahan disekitar kuburan seluruhnya dimatikan. Tentu saja hal ini memerlukan koordinasi yang betul-betul intensif dengan pihak-pihak yang terkait. Dengan terciptanya suasana yang bernuansa magis seperti itu ditambah dengan kedisiplinan dan kelascaryaan serta subakti yang tulus iklas niscaya ngereh itu berhasil.

Mengapa pengerehan dilaksanakan di setra?

Karena setra atau kuburan merupakan tempat pemujaan terhadap Dewi Durga Bhirawi (Dewanya kuburan sesuai dengan Lontar Bhairawi Tatwa), yang merupakan perwujudan dari Dewi Durga. Dalam mitologinya, Dewa Siwa berubah wujud untuk menemui saktinya Dewi Durga (berupa rangda), sehingga memunculkan beberapa kekuatan yang menyeramkan untuk menguasai dunia. Inilah alasannya kenapa setra dipakai sebagai tempat ngerehang Barong Landung atau Rangda. Karena penuh dengan kekuatan gaib atau Black Magic, sehingga dalam ngerehang ini jika sudah mencapai puncaknya maka ia akan hidup, setelah hidup, rangda akan memanggil anak-anak buahnya berupa leak atau makhluk lainnya.

Tengetnya setra seperti yang tercantum pada Lontar Kala Maya Tattwa, di mulai dengan cerita diadakannya rapat di Sorga Loka oleh Siwa, Sadasiwa dan Paramasiwa sebagai perlambang Tri Purusa. Sedangkan sebagai petugas yang melayani rapat adalah Dewi Uma saktinya dari Siwa yang dibantu oleh para bidadari. Apa yang terjadi ? Ternyata pada saat rapat berlangsung Dewi Uma sedang menstruasi (haid), namun Dewi Uma tidak mau terbuka dan menutupi hal tersebut. Menurut peraturan di Sorga Loka bahwa wanita yang sedang menstruasi (haid) tidak boleh mengikuti kegiatan di Kahyangan.

Kejadian Dewi Uma sedang kotor kain (haid)ini diketahui oleh para Dewa lainnya yang sedang mengikuti rapat, namun Dewi Uma tidak peduli dan berlaku cuek saja. Hal ini diketahui oleh Sada Siwa yang memimpin rapat dan segera memberitahukannya kepada Paramasiwa. Akhirnya kotor kainnya Dewi Uma jatuh dan diketahui oleh Paramasiwa yang menyebabkan beliau marah. Maka diusirlah Dewi Uma dari sorga dan mengutuknya menjadi Dhurga bertempat tinggal di Setra Gandamayu.

Lama-kelamaan Siwa menjadi rindu kepada saktinya Dewi Uma di Setra Gandamayu yang telah berubah menjadi Dhurga. Siwa bermaksud turun ke dunia ingin bertemu dengan Dewi Uma, namun beberapa kali selalu diketahui oleh para Dewa lainnya. Untuk menghindari supaya tidak diketahui oleh para Dewa lainnya, maka Siwa berubah (memurti) menjadi raksasa.

Kemudian bertemulah Dewa Siwa dengan Dewi Uma yang telah menjadi Dewi Dhurga. Mereka bercengkrama yang kemudian mengeluarkan sprema Siwa (raksasa). Untuk sperma yang jatuh di tanah menjadi beberapa macam kayu, yakni pule, kepah, kepuh dan kayu jaran. Sedangkan sperma yang jatuh ditubuhnya menjadi beberapa makhluk seperti Bengala-bengali, bhuta-bhuti, bebai, leak, umik-imikan dan lain-lainnya. Dengan terciptanya tetumbuhan dan makhluk-makhluk seram ini membuat kuburan menjadi angker yang akhirnya memang cocok dipergunakan sebagai lokasi ngereh.

Disamping itu, kelurlah bisama beliau kepada manusia yang isinya agar membuat pura dimana mereka bercengkrama yang diberi nama Pura Prajapati. Pura ini berfungsi untuk meminta keselamatan masyarakat melalui Desa Pakraman, agar terhindar dari malapetaka, grubug maupun penyakit / hama yang menyerang pertanian. Maka dibuatkan pelawatan atau petapakan beliau seperti topeng, barong, rangda dan lain-lainnya.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Kanda Pat - Saudara Kandung Manusia

 







Kanda Pat yang merupakan saudara yang akan menemani manusia sejak lahir hingga meninggal nanti.

Kanda Pat adalah Empat Teman : Kanda = Teman, Pat = Empat, yaitu kekuatan-kekuatan Hyang Widhi yang selalu menyertai roh (Atman) manusia sejak embrio sampai meninggal dunia mencapai Nirwana.

Menurut Kitab Suci Lontar Tutur Panus Karma, nama-nama Kanda Pat berubah-ubah menurut keadaan/ usia manusia:

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI


Kanda Pat Rare :

Embrio; Karen, Bra, Angdian, Lembana.

Kandungan 20 hari; Anta, Prata, Kala, Dengen.


Kandungan 40 minggu; Ari-ari, Lamas, Getih, Yeh-nyom.

Lahir, tali pusar putus; Mekair, Salabir, Mokair, Selair.




Kanda Pat Butha :

Bayi bisa bersuara; Anggapati, Prajapati, Banaspati, Banaspatiraja.




Kanda Pat Sari :

14 tahun; Sidasakti, Sidarasa, Maskuina, Ajiputrapetak.

Bercucu; Podgala, Kroda, Sari, Yasren.
BACA JUGA
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan




Kanda Pat Atma :

Meninggal dunia; Suratman, Jogormanik, Mahakala, Dorakala.




Kanda Pat Dewa :

Manunggal (Moksa); Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa, Suniasiwa.





Bentuk-bentuk kandapat yang dapat dilihat dan diraba secara nyata adalah ari-ari, lamas, getih dan yeh-nyom. Setelah mereka dikuburkan (segera setelah bayi lahir) maka perubahan selanjutnya adalah abstrak (tak berwujud) namun dapat dirasakan oleh manusia yang kekuatan bathinnya terpelihara.

Bagan di atas dapat juga dibaca terbalik dengan pengertian sebagai berikut:

Hyang Widhi mewujudkan diri menjadi empat manifestasi, kemudian keempatnya itu yaitu:


Hyang Siwa selanjutnya mewujudkan dirinya menjadi ari-ari
Hyang Sadasiwa mewujudkan diri sebagai lamas
Hyang Paramasiwa mewujudkan diri menjadi getih, dan
Hyang Suniasiwa mewujudkan diri menjadi Yeh-nyom.



Keempat teman yang abstrak ini menyertai terus sampai manusia mati dan rohnya menghadap ke Hyang Widhi. Mereka juga menjaga dan melindungi roh, serta mencatat sejauh mana atman (roh) terpengaruh oleh indria keduniawian. Semua pengalaman hidup di record oleh Sang Suratman yang dahulu berbentuk ari-ari. 

Inilah catatan subha dan asubha karma yang menjadi penilaian dan pertimbangan kesucian roh untuk menentukan tercapainya moksa (bersatunya atman-brahman) ataukah samsara (menjelma kembali). Kandapat ada dalam diri/ tubuh manusia, namun ketika tidur, kandapat keluar dari tubuh. Maka mereka perlu dibuatkan pelinggih berupa "pelangkiran" di kamar tidur, tempat bersemayamnya kanda pat ketika kita tidur pulas.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Tradisi Ngurek

 



Ngurek adalah atraksi menusuk diri dengan menggunakan senjata keris, ini berlangsung ketika para pelaku berada dalam keadaan kerasukan (di luar kesadaran). Ngurek berkaitan erat dengan ritual keagamaan bahkan di sejumlah desa adat di Bali dan tradisi ini wajib dilangsungkan.

Ngurek bisa disebut juga dengan Ngunying. Ngurek merupakan wujud bakti seseorang yang dipersembahkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Ngurek termasuk dalam upacara Dewa Yadnya yaitu pengorbanan/persembahan suci yang tulus ihklas. Menurut ajaran agama Hindu, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia, mahluk hidup beserta isinya berdasarkan atas Yadnya, maka dengan itu manusia diharapkan dapat memelihara, mengembangkan dan mengabdikan dirinya kepada Sang Pencipta yakni Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).


Ngurek berasal dari kata ‘urek‘ yang berarti lobangi atau tusuk. Jadi Ngurek dapat diartikan berusaha melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan keris, tombak atau alat lainnya saat berada dalam kondisi kerasukan. Karena Ngurek dilakukan dalam kondisi kerasukan atau di luar kesadaran, maka roh lain yang masuk ke dalam tubuh akan memberi kekuatan, sehingga orang yang melakukan Ngurek ini menjadi kebal, dan ini merupakan suatu keunikan sekaligus misteri yang sulit dijelaskan.

Tradisi Ngurek tidak tahu kapan mulai dilakukan. Konon ini terjadi pada jaman kejayaan kerajaan. Saat itu sang raja ingin membuat pesta yang tujuannya untuk menunjukkan rasa syukur kepada Sang Pencipta dan sekaligus menyenangkan hati para prajuritnya. Setelah dilakukan sejumlah upacara, kemudian memasuki tahap hiburan, mulai dari sabung ayam, hingga tari-tarian yang menunjukkan kedigdayaan para prajurit, maka dari tradisi ini munculah Tari Ngurek atau Tari Ngunying.

Ngurek, menusuk diri dengan keris dalam keadaan kerasukan atau tidak sadar ini pada zamannya hanya dilakukan oleh para pemangku, namun kini orang yang melakukan Ngurek tak lagi dibedakan statusnya, bisa pemangku, penyungsung pura, anggota krama desa, tokoh masyarakat, laki-laki dan perempuan. Tapi suasananya tetap yaitu mereka melakukannya dalam keadaan kerasukan atau trance. Kendati keris yang terhunus itu ditancapkan ke tubuh, namun tidak setitikpun darah yang keluar atau terluka.

Ngurek ini biasa dilakukan di luar kompleks pura utama. Sebelum Ngurek dilakukan, biasanya Barong dan Rangda serta para pepatih yang kerasukan itu keluar dari dalam kompleks pura utama dan mengelilingi wantilan pura sebanyak 3 kali. Saat melakukan hal itulah, para pepatih mengalami titik kulminasi spiritual tertinggi.


Kerasukan dalam Ngurek, biasanya terjadi setelah melakukan proses ritual. Untuk mencapai klimaks kerasukan, mereka harus melakukan beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut secara garis besar dibagi menjadi tiga yang terdiri dari:

Nusdus adalah merangsang para pelaku ngurek dengan asap yang beraroma harum menyengat agar segera kerasukan.
Masolah merupakan tahap menari dengan iringan lagu-lagu dan koor kecak atau bunyi-bunyian gamelan.
Ngaluwur berarti mengembalikan pelaku ngurek pada jati dirinya
Masuknya roh ke dalam diri para pengurek ini ditandai oleh keadaan: badan menggigil, gemetar, mengerang dan memekik, dengan diiringi suara gending gamelan, para pengurek yang kerasukan, langsung menancapkan senjata, biasanya berupa keris pada bagian tubuh di atas pusar seperti dada, dahi, bahu, leher, alis dan mata. Walaupun keris tersebut ditancapkan dan ditekan kuat kuat secara berulang ulang, jangankan berdarah, tergores pun tidak kulit para pengurek tersebut, roh yang ada di dalam tubuh para pengurek ini menjaga tubuh mereka agar kebal, tidak mempan dengan senjata.

Ngurek mempunyai gaya masing-masing, ada yang berdiri sembari menancapkan keris ke bagian tubuh, seperti dada atau mata, ada pula yang bersandar di pelinggih. Setelah upacara selesai, para pelaku ngurek kembali ke kompleks pura utama.

Tradisi Ngurek ini merupakan kebiasaan masyarakat Bali, dimana saat upacara mengundang roh leluhur dilakukan, para roh diminta untuk berkenan memasuki badan orang-orang yang telah ditunjuk, dan menjadi sebuah tanda, bahwa roh-roh yang diundang telah hadir di sekitar mereka. Tradisi Ngurek juga dipercaya, untuk mengundang Ida Bhatara dan para Rencang-Nya, berkenan menerima persembahan ritual saat upacara. Jika orang-orang yang ditunjuk sudah kerasukan dan mulai Ngurek, maka masyarakat bisa mengetahui dan meyakini kalau Ida Bhatara sudah turun ke marcapada (dunia), maka umat yang mengikuti prosesi ritual kian mantap dengan semangat bhaktinya.


Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, apa pun yang kita lakukan dengan pasrah, berserah diri dan ihklas kepada Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa), maka akan mendapat anugrah dan karunia.
*Adi Sudiatmika

Foto : INDONESIA. Bali. Village of Batubulan.
Barong dance. 1949. The "Kris dancers" in
a trance, they are doing the self-stabbing
with kris, ngurek. From Magnum Photos.

#BALITEMPOEDULOE
#BUDAYA #SENI
#TAKSUHINDUBALI #ADATBUDAYA#

Video Tari Barong dan Ngurek - Bali Tempo Doeloe https://www.facebook.com/108159370949700/posts/202003568231946/

Petapakan Ida Betara Rangda Ngereh

 











Petapakan adalah topeng dalam wujud sosok makhluk magis yang meyeramkan, terbuat dari kayu tertentu, dibentuk sedemikian rupa sebagai simbol unsur niskala (tidak nampak) dari adanya Ida Betara Rangda.

Ketakson berasal dari kata taksu mendapat awalan ke dan akhiran an sehingga menjadi kata ketaksuan dan orang Bali lebih mudah mengucapkan dengan kata ketakson yang artinya kesaktian dari proses sakralisasi

Panungrahan artinya Pemberian dari Dewa

Petapakan Ida Betara Rangda Ngereh Petapakan Ida Betara Rangda itu, diyakini tidak saja mampu mengusir gerubug [wabah penyakit] yang pada musim-musim tertentu datang mengancam penduduk Bali, namun juga diyakini dapat mengayomi masyarakat sehingga merasa tenang dan aman dari ancaman niskala itu. Rasa aman semacam itu menjadi penting, meskipun masyarakat Bali telah menjadi masyarakat modern dan berpendidikan tinggi. Aktualisasi dari rasa aman dari ancaman niskala ini adalah di setiap desa, atau Pura mesti ada Petapakan Ida Betara, sebagai tanda atau kendaraan adanya Ida Betara Rangda, yang jika dipahami dengan baik adalah sisi lain dari kepercayaan akan kemahakuasaan Siwa. 

Dalam kaitan dengan dunia mistik Hindu Bali, pemujaan terhadap Siwa dilakukan dengan banyak cara, namun terfokus pada Durga sebagai saktinya Siwa. Di bagian-bagian tertentu negeri India, mungkin Siwa tidak sepopuler di Bali, mungkin Wisnu yang lembut dan kebaikannya tidak diragukan lebih popular, atau mungkin Krisna atau Rama. Menarik diteliti mengapa Siwa dalam manifestasinya sebagai Dewa Pralina yang bertugas menghancurkan itu justru lebih popular daripada Wisnu atau Brahma yang lembut.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Dalam kisah cerita Calonarang diungkapkan, setelah Raja Airlangga memutuskan untuk menyerang kediaman Calonarang Janda Dirah, maka janda penekun ilmu hitam ini mengajak murid-muridnya ke kuburan untuk menghadap Dewi Durga. Untuk itu, janda dari Dirah itu harus menyiapkan sarana dan prosesi menyambut kedatangan Dewi Durga. 

Setelah sarana upacara dan prosesi pemujaan berlangsung, muncullah Dewi Durga dalam wujud yang menyeramkan, mulut menganga, taring mencuat dan saling bergesekan, rambut mengombak, membentangkan kain selendang pada susu, penuh hiasan, letak kedua kakinya miring, memakai kain setengah badan, matanya membelalak bagaikan matahari kembar, terus menerus mengeluarkan api, kemudian dengan suara berteriak menanyakan apa tujuan walu ing girah (janda dari girah atau dirah) menghadap.

Citra perwatakan Dewi Durga yang demikian seram itu, kelak muncul dalam rangda yang sesungguhnya merupakan hasil ciptaan para seniman Bali. Entah siapa yang menjadi pelopor, tampaknya seniman pertama yang menciptakan. Sosok rangda di Bali tidak dikenal, sosok rangda muncul di sejumlah desa di Bali sebagai wujud aktualisasi rasa magis masyarakat Bali. Kelahirannya itu, agaknya tidak sekedar melewati proses penciptaan yang biasa, mesti mengacu pada petunjuk mitos atau lontar tertentu. 

Lontar-lontar (daun pohon lontar yang berisi aksara suci) itu memberi petunjuk mengenai sah tidaknya sebuah petapakan untuk mendapatkan anugrah ketakson. Sementara itu, mitos-mitos yang diciptakan berfungsi untuk menambah bobot magis petapakan tersebut. Cerita-cerita mengenai makhluk-makhluk magis yang seram disampaikan oleh mitos-mitos itu, dipahami oleh penduduk Hindu Bali sebagai ancaman niskala pada kehidupan sehari-hari, jika petunjuk-petunjuknya tidak dipenuhi. 


Dalam mitos-mitos itu, selalu disebutkan bahwa makhluk-makhluk magis itu menyebarkan wabah penyakit pada musim-musim tertentu. Tidak heran, bila kemudian penduduk Bali merasa takut terhadap ancaman wabah penyakit itu, lalu seniman sakral Bali menciptakan mitos baru yang merupakan perwujudan dari sosok makhluk-makhluk magis itu. Salah satu ciptaan itu adalah Petapakan Ida Betara Rangda.

Pasti ada unsur yang bertugas mentrafsormasikan kesadaran mistik orang Bali dari generasi ke generasi sehingga kesadaran mistik tersebut tetap hidup dan bertahan dalam memori penduduk Bali. Walaupun tidak harus dikatakan bahwa kesadaran mistik itu, bergerak dan hidup di dalam memori semua penduduk Bali, namun tidak dapat dipungkiri kalau pada sebagian orang Bali kesadaran mistik itu masih hidup, muncul dan tenggelam. Artinya, sebagian penduduk Bali mungkin tidak lagi memperhatikan dan terlibat di dalam prosesi untuk menghidupkan kesadaran mistik itu, namun tidak dapat ditolak kalau kesadaran mistik itu tetap hidup di dalam memori mereka. Hal ini, misalnya tampak pada sedikit orang yang masih menghidupkan tradisi ngereh, namun bukan berarti kesadaran mistiknya telah terkikis. Inilah Keajaiban Bali.


Unsur perekat macam apa yang mampu mempertahankan kesadaran purba tersebut? kalau saja tidak ada teks, lebih khusus teks cerita Calonarang, yang dengan rajin disalin dan dibuatkan teks-teks baru mengenai makhluk-makhluk magis yang mengancam keselamatan penduduk Bali bila terjadi dis-harmoni terhadap mereka pastilah “rasa takut” itu berkurang. Baiklah, kalaupun berpikir positif, ancaman secara niskala semacam itu, ternyata juga membuat seniman [undagi] Bali menjadi kreatif dan karya-karya mereka memperkaya khasanah kebudayaan Bali. 

Persoalan kemudian penduduk Hindu Bali menjadi bertambah kerepotannya ketika karya-karya itu harus mendapatkan anugrah ketakson atau kesaktian melalui proses sakralisasi. Jika tidak, perasaan terancam secara niskala itu sangat mengganggu irama hidup penduduk Bali.

Dis-harmoni tidak boleh terjadi. Berbagi upakara harus diciptakan dan dipersembahkan, bukan untuk menghancurkan makhluk- makhluk magis itu, melainkan untuk dikembalikan ke wilayahnya, somnya (dinetralkan). Hal ini berarti, kedatangan wabah penyakit adalah akibat dari dis-harmonis tersebut, dan dis-harmonis terjadi karena ada yang melewati atau melanggar batas-batas wilayah masing-masing. Batas-batas itu bisa niskala, bisa juga sekala. Bagi yang melanggar batas-batas, sekali lagi, tidak harus dihancurkan atau dibunuh, melainkan dikembalikan ke alam semula, atau diberi sanksi agar kembali ke wilayah semula.



Puncak harmonisasi antara makhluk- makhluk mitologis itu dengan penduduk Hindu Bali adalah saling memberi kekuatan atau kesaktian, maka prosesi ngereh merupakan bukti adanya kesadaran mistik itu. Petapakan yang mendapatkan ketakson, merupakan bentuk presentasi dari kesadaran mistik Hindu Bali tersebut.

Agar petapakan itu dapat menjalankan fungsinya sebagai penangkal ancaman niskala-mistik itu, disamping dapat mengayomi penduduk dari ancaman niskala itu, maka petapakan itu harus sakti, memiliki taksu, dan agar sakti harus melalui proses sakralisasi. Sakralisasi ini sudah mulai dijalankan pada saat mencari kayu yang akan dijadikan bahan petapakan itu. 

Umumnya, kayu yang digunakan bahan petapakan, adalah jenis kayu yang dipercaya memiliki kekuatan magis, antara kayu pule, kapuh (rangdu), jaran, kapas, waruh teluh, dan kepah. Masing-masing jenis kayu ini ternyata memiliki mitologinya sendiri, yang narasinya berusaha menggambarkan keunikan dan kemagisan kayu-kayu tersebut. Sakralisasi juga tampak pada hari baik yang harus dipilih saat mulai mengerjakan petapakan itu, yang disebut hari kilang-kilung menurut kalender Bali. Sakralisasi ini masih harus dijalankan dalam beberapa tahapan, antara lain tahapan pasupati, ngatep, mintonin dan akhirnya ngerehang.







Teknik Ngereh Petapakan Ida Betara Rangda

Tempat pelaksanaan ngereh biasanya di tengah-tengah setra (kuburan) pada hari tilem (gelap) dan hari keramat di malam hari. Jam pelaksanaannya sekitar jam dua puluh tiga yang diawali dengan matur piuning (Pemujaan), ngaturang caru (menghaturkan sesajen yang ditaruh diatas tanah ) dan nyambleh kucit butuhan (memotong babi jantan yang masih muda).

Orang yang ditugaskan ngereh duduk berhadapan dengan Petapakan Ida Betara Randa. Lidah Petapakan Ida Betara Rangda dilipat ke atas kepalanya. Diantara orang yang ngereh dengan Petapakan Ida Betara Rangda itu ditempatkan upakara, yang pokok adalah getih temelung (darah dari babi jantan) yang ditaruh pada takir (daun pisang). Pengereh bersemedi, sedangkan rekan-rekannya yang lain berjaga-jaga di sekitar setra (kuburan). Malampun bertambah larut . suasana magis mulai terasa ditambah desiran angin semilir membuat bulu kuduk berdiri.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Untuk menjadi Pengereh diperlukan kesiapan mental, keberanian dan kebersihan pikiran dan badan serta yang paling penting adalah lascarya (pasrah, tulus, ikhlas). Tidak boleh sesumbar atau menambah serta melengkapi diri dengan kekuatan-kekuatan lainnya seperti : sesabukan (Jimat kesaktian). Adanya benda-benda asing di luar kekuatan asli yang berada di badan akan mengganggu masuknya kekuatan Ida Bhatara.

Gegodan (gangguan niskala) mulai mengetes keteguhan hati pengereh, apakah dia akan bisa bertahan dan berhasil atau malah kabur yang berarti gagal. Beberapa jenis gegodan, antara lain :


BACA JUGA
Kamus Hindu Bali
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Semut yang mengerubuti sekujur tubuh pengereh dan semut ini besar-besar, jika tidak tahan maka pengereh akan menggaruk-garuk seluruh tubuhnya maka gagallah dia.
Nyamuk yang menggigit serta menyengat muka sampai terasa sakit, rasa-rasanya muka akan hancur, jika tidak tahan pengereh akan mengusap atau menepuk-menepuk mukanya dan gagallah dia.
Ular besar yang melintasi paha pengereh bergerak perlahan yang terasa geli, dingin dan mengerikan. Jika pengereh geli, ketakutan maka gagallah dia.
Celeng (babi) yang datang menguntit pantat pengereh yang sedang khusuknya bersemedi jika takut dan merasa terusik, gagallah si pengereh itu.
Angin semilir yang membawa Aji sesirep, jika tidak waspada akhirnya ketiduran, gagallah dia.
Kokok ayam dan galang kangin (bahasa bali) artinya suasana hari mendekati pagi diiringi dengan ayam berkokok, jika Pengereh terpengaruh dan menghentikan semedi karena merasa hari sudah pagi, maka gagallah dia.
“Bikul nyuling” (tikus meniup seruling) menggoda, sehingga membuat si pengereh tertawa karena lucu melihat tikus meniup seruling, maka gagallah dia.
“Talenan (alas untuk memotong daging) bersama blakas (pisau besar)” yang datang dengan bunyi….tek….tek….tek….dan akan melumat si pengereh, langsung dicincang. Kalau sudah seperti ini si pengereh harus kabur menyelematkan diri, karena kehadiran talenan bersama blakas ini adalah ciri kegagalan.
Kedengaran bunyi gemerincing…..cring…….cring, cring,cring,cring, kalau sudah begini berarti sudah gagallah prosesi ngereh ini, dan si pengereh tidak perlu lagi melanjutkan dan harus secepatnya angkat kaki menyelematkan diri. Hal ini menandakan akan hadir Banaspati Raja (Raja hantu) ancangan (anak buah) Ida Betara Bairawi yang berkuasa di Setra (kuburan).



Kalau yang disampaikan diatas adalah kegagalan ngereh, maka keberhasilannnya adalah ditandai dengan adanya gulungan api, atau tiga bola api yang datang menghampiri kemudian masuk ke petapakan Ida Betara Rangda. Jika sudah masuk ke Petapakan Ida Betara Rangda, ditandai dengan menjulurnya lidah Petapakan Ida Betara Rangda yang semula diatas kepalanya kemudian turun berjuntai mengarah ke takir (daun pisang ) yang berisi getih temelung (darah babi jantan) dan menyedotnya sampai habis, selanjutnya si pengereh akan kerauhan (trance) kemudian masuk ke Petapakan Ida Betara Rangda dan ngelur (berteriak) menggelegar; akhirnya tangkil (datang) ke Pura Dalem, permisi lanjut menuju pura tempat peyogan (persemadian) Ida Betara Durga.

Mengenai 9 jenis gegodan (gangguan) itu tidak terjadi sekaligus kesembilannya pada saat ritual ngereh. Gangguan (gegodan) yang terjadi bisa 1 atau 2 atau 3 atau 4 dan seterusnya tergantung situasi dan kondisi serta keberadaan si pengereh, kelengkapan upacara dan kemungkinan penyebab lainnya.







Petapakan Ida Betara Rangda diisi Kekuatan Sakti Panca Durga

Dalam ngerehang pun memanggil Panca Dhurga untuk mengisi kekuatan rangda. Untuk upacaranya perlu dibuatkan segehan agung (sesajen besar yang ditaruh di atas tanah) beserta perangkatnya yang sesuai dengan lontar pengerehan.

Adapun yang dimaksud dengan Sakti Panca Durga adalah lima macam kekuatan Durga yaitu :


Kala Durga, 
Durga Suksemi, 
Sri Durga, 
Sri Dewi Durga, dan 
Sri Aji Durga. 



Lima macam kekuatan Durga inilah yang menguasai ilmu arah mata angin di dunia niskala (tidak nampak) dan bisa menimbulkan kemakmuran bagi umat manusia maupun bencana apa bila dilanggar batas-batas wilayahnya.


Bali memang tidak bisa lepas dari upacara keagamaan yang dilakukan masyarakatnya, sehingga menambah kemagisan pulau ini, begitu halnya dengan upacara ngereh atau pengerehan yang lazim dilakukan oleh masyarakat dalam rangka menghidupkan sesuatu yang ada hubungannya dengan wahana atau petapakan Ida Betara Rangda di Pura.

Dalam ajaran Agama Hindu di Bali sarat dengan lokal genius yang berdasarkan sastra-sastra Agama, termasuk diantaranya ngereh. Dalam lontar Kanda Pat, ngereh atau pengerehan erat kaitannya dengan Petapakan Ida Betara Rangda yang berupa benda yakni tapel rangda (topeng rangda).

Sedangkan ngerehan rangda sesuai dengan Lontar Pengerehan, Kanda Pat, bahwa ngerehang rangda mempunyai kekhususan sendiri. Sebab ini berhubungan dengan sifat magis yang dimiliki oleh rangda itu sendiri, karena rangda merupakan simbol rajas (emosi) yang penuh dengan nafsu untuk menguasai. Dalam lontar Calonarang, rangda artinya janda yang memiliki nafsu tak terbendung atau kemarahan yang tak tertahankan karena dendam. Rangda sendiri merupakan sifat manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya sehingga menyebabkan gejolak dalam diri kita sebagai manusia.

Rangda pengerehan dilaksanakan di setra (kuburan), karena setra (kuburan) merupakan tempat pemujaan terhadap Dewa Bhairawi yaitu Dewa kuburan dalam lontar Bhairawa Tatwa, yang merupakan wujud dari Dewi Durga. Dalam mitologinya, disini Dewa Siwa berubah wujud untuk menemui saktinya Dewi Durga berupa rangda sehingga muncullah beberapa kekuatan yang menyeramkan untuk menguasai dunia. Inilah alasannya kenapa setra (kuburan) dipakai sebagai tempat ngerehang rangda. Karena penuh dengan kekuatan black magik. Sehingga dalam ngerehang rangda, kalau sudah mencapai puncaknya ia akan hidup. Setelah hidup rangda akan memanggil anak-anak buahnya berupa leak (setan) atau makhluk halus lainnya.

Sarana Ngereh Petapakan Ida Betara Rangda Di Kuburan Berupa Pala Walung

“Sebelum ngerehan, maka disiapkan berbagai sarana dan bebantenan (sesajen sakral). Sarana yang penting tersebut adalah memohon pala walung (tengkorak manusia) sebanyak tiga buah. Untuk itu dilakukan matur piuning (pemujaan) kehadapan Ida Betara di Mrajapati. Setelah itu, sekitar jam dua belas siang jero mangku (orang suci) beserta krama (masyarakat) mencari-cari tengkorak di sekitar setra (kuburan). Pala walung atau tengkorak yang didapat tersebut kemudian dicuci dengan toya kumkuman (air suci dari air kelapa) dan ketiganya dihaturkan rayunan cenik (suguhan berupa hidangan).

“Hal lain yang perlu adalah mempersiapkan juru pundut (pengusung) ketika upacara ngereh.

“Pada hari pengerehan tersebut, juru pundut (pengusung) yang kasudi (ditugaskan) atau ditunjuk dilakukan upacara sakral di Pura Dalem. Setelah itu ngiderang (mengelilingi) gedong Pura Dalem sebanyak tiga kali. Kemudian juru pundut (pengusung) tersebut menghaturkan sembah kepada Ratu Gede Penyarikan, Mrajapati. Proses ini berlangsung sekitar jam dua puluh dua tiga puluh menit (jam 20.30 ) malam.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Pada tengah malam sekitar jam dua puluh tiga, tiga puluh menit (jam 23.30) malam, barulah Petapakan Ida Betara Rangda diikuti oleh para damuh (masyarakat penyungsung) menuju ke setra (kuburan) untuk upacara ngereh. Di sana telah disediakan banten (sesajen). Semua banten (sesajen) tersebut diastawa (dipuja) oleh jero mangku (orang suci). Di tempat tersebut ditancapkan sebuah sanggah cucuk (tempat sesajen dari pohon bambu) yang berisi sesajen sakral. Sedang Ida Betara Rangda diletakkan diatas gegumuk (gundukan tanah).

Pemundut (pengusung) kemudian duduk bersimpuh di hadapan banten (sesajen) dan prerai (muka topeng) Petapakan Ida Betara Rangda. Duduk bersimpuh dimana kedua lututnya beralaskan pala walung (tengkorak manusia), dan satu lagi di bagian pantatnya. Mencakupkan tangan memegang kuangen (sarana bunga), ngulengang kayun (konsentrasi) kehadapan Ida Betara Durga. Dihadapannya diletakkan sebuah pengasepan (tempat api). Setelah itu areal tempat ngerehan dikosongkan dari orang termasuk pemangku (orang suci). Semua berada dalam jarak yang jauh”.

Jadi pengertian ngereh pada intinya adalah Petapakan Ida Betara Rangda mesuci (membersihkan diri) di setra (kuburan). Salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan kesidian (kesaktian) beliau. Setelah upacara ngereh Petapakan Ida Betara Rangda selesai, kemudian pala walung yang tadinya dimohon, dikembalikan ke tempatnya semula, agar tidak ngerebeda (mengganggu atau menimbulkan hal yang tidak diinginkan).

Petapakan Ida Betara Rangda di Bali diyakini mampu mengusir gerubug (wabah penyakit) dan dapat mengayomi masyarakat sehingga merasa tenang, aman dan tentram dalam irama kehidupan umat Hindu di Bali. Oleh Adang Suprapto




Sumber : cakepane.blogspot.com