Senin, 30 November 2020

MASYARAKAT BALI MENYIMPAN HASIL SAWAHNYA DI DALAM LUMBUNG PADI ATAU DI BALI DI SEBUT "JINENG"TAHUN 1930AN

 


Lumbung adalah bangunan tradisional Bali yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan padi. Lumbung dapat dibedakan menjadi empat jenis, antara lain: Jineng, Kelumpu,Gelebeg, dan Kelingking.

Jineng atau lumbung itu adalah sebagai tempat menyimpan padi bukan beras dan juga menyimpan sumber bahan makanan yang lainnya seperti jagung dan padi-padian lainnya. Hal ini melambangkan agar penggunaan hasil kekayaan yang diusahakan dari bumi ini digunakan secara hemat dan tepat. Menyimpan dalam bentuk padi itu bertujuan untuk menghemat secara tepat. Agar jangan menggunakan hasil kekayaan bumi ini dengan cara yang tidak benar.


Sesungguhnya adanya jineng itu jangan dilihat dari fungsi nyata (sekala) dewasa ini. Jineng di Pura Banua itu hendaknya dilihat dari sudut niskala sebagai simbol sakral. Simbol sakral berupa jineng itu sebagai media untuk menanamkan sikap hidup produktif dan hemat kepada umat. Ke depan ada baiknya jineng itu dibangun kembali untuk dijadikan media menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar ia bisa hidup produktif dan hemat sebagai cara membangun hidup yang makmur secara berkelanjutan. (https://sudarmadakaripura.wordpress.com/)

Dalam Tri Mandala Pura Besakih, Jineng di Pura Banua sebagai hulunya lumbung di Bali.

Pura Banua Hulunya Lumbung di Bali
Vaisyah krsivalah karyo-
gopah sasya bhrtvratah,
vartayukto grhopatah-
ksetra palo tha Vaisyah.
(Slokantara, 37)

Maksudnya:
Swakarma vaisya varna adalah bertani, mengembala ternak mengumpulkan padi-padian, berdagang, mengusahakan rumah penginapan dan menjadi pelindung ladang.

BERTANI dan beternak merupakan mata pencaharian awal dari manusia sebelum adanya perkembangan industri barang maupun industri jasa. Dari bertani dan beternak itulah munculnya usaha dagang sebagai lapangan pekerjaan untuk melangsungkan kehidupan. Orang yang bekerja di sektor ekonomi ini disebut Vaisya Varna dalam sistem profesi untuk mendapatkan mata pencaharian berdasarkan Weda.

Dagang Banten Bali


Tugas petani sebagai Vaisya Varna di samping memproduksi hasil-hasil tersebut agar dapat digunakan sehemat mungkin. Tentunya tidak sampai mengurangi fungsinya untuk membangun hidup sehat sejahtera lahir batin. Memproduksi sumber-sumber kebutuhan hidup sehari-hari itu dan juga menggunakannya agar hemat dan tepat guna bukan pekerjaan yang dapat dilakukan begitu saja.

Pekerjaan itu harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan dan juga ketenangan hati. Membina sikap hidup produktif yang hemat tepat guna dapat dilakukan dengan memulainya dari pemujaan pada Tuhan. Pemujaan ini untuk menumbuhkan bahwa pemahaman bahwa Tuhan menghendaki agar semua ciptaan-Nya ini tidak ada yang tersia-siakan. Swami Satya Narayana menyatakan bahwa ada empat hal yang tidak boleh diboroskan. Empat hal ini adalah rezeki, makanan, tenaga, dan waktu.

Hidup produktif dan hemat itu ditanamkan juga dalam sistem pemujaan pada Tuhan oleh umat Hindu di Bali. Karena hidup produktif dan hemat itu salah satu cara untuk membangun hidup yang sejahtera. Hal itu dikembangkan di salah satu kompleks Pura Besakih yang disebut Pura Banua. Di pura ini Tuhan dipuja sebagai Dewa Sri, Sakti Dewa Wisnu sebagai Dewi Kemakmuran.

Pura Banua ini salah satu kompleks Pura Besakih yang juga berkedudukan sebagai hulunya lumbung di Bali. Pura ini terletak bersebelahan dengan Pura Basukian di kanan jalan menuju Pura Penataran Agung Besakih. Kata ”banua” dalam bahasa Bali kuno artinya desa menurut pengertian sekarang. Banua dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu wilayah pemukiman untuk membina kerja sama membangun dan memelihara kesejahteraan hidup bersama yang produktif dan hemat. Pelinggih atau bangunan suci yang paling utama di pura ini adalah sebuah pelinggih berbentuk Gedong sebagai stana pemujaan Batari Sri sebagai sakti atau power-nya Dewa Wisnu sebagai Dewa Kemakmuran.

Di pura ini ada sebuah jineng dalam ukuran besar yaitu lumbung padi menurut tradisi umat Hindu di Bali. Sayang lumbung yang disebut jineng itu setelah rusak tidak diperbaiki lagi sehingga bangunan tersebut terhapus. Di lumbung besar itulah hasil-hasil tanah laba Pura Besakih disimpan.

Umat Hindu di Bali kalau memanen padi di sawah umumnya menyisihkan seikat kecil padinya terus diupacarai dan distatuskan sebagai simbol Dewa Nini. Dewa Sri yang dalam hal ini disebut Dewa Nini. Seikat padi yang disimbolkan sebagai Dewa Nini inilah yang distanakan di bagian hulu atau keluwan di ruangan dalam lumbung yang ada di Pura Banua tersebut. Mungkin karena kurang paham akan makna jineng atau lumbung itu maka saat rusak tidak lagi diperbaiki karena saat ini tidak ada lagi orang menyimpan padi dengan cara tradisi seperti dahulu.

Sesungguhnya adanya jineng itu jangan dilihat dari fungsi nyata (sekala) dewasa ini. Jineng di Pura Banua itu hendaknya dilihat dari sudut niskala sebagai simbol sakral. Simbol sakral berupa jineng itu sebagai media untuk menanamkan sikap hidup produktif dan hemat kepada umat. Ke depan ada baiknya jineng itu dibangun kembali untuk dijadikan media menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar ia bisa hidup produktif dan hemat sebagai cara membangun hidup yang makmur secara berkelanjutan.

Untuk masyarakat awam ajaran agama yang abstrak itu divisualisasikan dalam bentuk simbol. Dengan simbol itulah berbagai hal bisa dijelaskan secara lebih mudah kepada umat kebanyakan. Apa lagi simbol tersebut terkait dengan pemujaan pada Dewi Sri, Sakti Dewa Wisnu manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kemakmuran. Kehadiran Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran diwujudkan sebagai Dewi Sri di pelinggih Gedong dan sebagai Dewa Nini di lumbung pura.


Dewi Sri lambang Tuhan dalam spirit kemakmuran, sedangkan Dewa Nini dalam wujud kongkretnya. Dewi Sri ibarat jiwa atau Purusa-nya, sedangkan Arca Dewa Nini sebagai wujud fisik atau Pradana-nya. Demikianlah dapat diumpamakan. Karena itu Dewa Nini itu disimbolkan dengan seikat padi. Padi yang dijadikan simbol Dewa Nini itu tentunya padi dari pilihan yang terbaik sehingga menjadi contoh produksi untuk diupayakan oleh masyarakat petani mempertahankan kualitas produknya.

Ini artinya seikat padi terpilih sebagai simbol arca itu, di samping bermakna sebagai simbol sakral ia juga memiliki nilai sebagai simbol material untuk dijadikan contoh oleh pada petani dalam mempertahankan dan mengembangkan kualitas produknya.

Di Pura Banua ini di samping ada Gedong dan Jineng stana Dewi Sri dan Dewa Nini ada juga Balai Pesamuan yang terletak di sebelah kiri Gedong Dewi Sri. Balai Pesamuan ini bertiang delapan dan dibagi menjadi dua bagian yang disekat dengan sebilah papan. Balai Pesamuan ini sebagai tempat bertemunya para pemimpin masyarakat Desa Besakih dengan telah ditentukan tempat duduknya masing-masing.

Balai Pesamuan ini sebagai simbol bahwa dalam membangun kehidupan ekonomi agraris itu tidak bisa para petani berjalan sendiri-sendiri. Apa lagi kehidupan petani sangat tergantung pada iklim dan musim yang ditentukan oleh dinamika alam. Para petani harus mendapat tuntunan dari para akhli dan praktisi astronomi yang dalam ajaran Weda disebut Jyothisa.

Di samping ditentukan oleh musim bertani itu juga ditentukan oleh hari baik atau dewasa menanam padi. Yang juga amat menentukan adalah manajemen irigasi. Hal-hal inilah yang akan menjadi pembahasan umat petani dalam mengembangkan kemakmuran bersama. Hidup bersama itu harus dikembangkan berbagai kebijakan melalui suatu musyawarah agar semua informasi yang ada dapat ditata sesuai dengan fungsi dan profesi yang dimiliki oleh masyarakat bersangkutan.* i ketut gobyah
http://www.babadbali.com/

#BALITEMPOEDULOE #TROPENMUSEUM # #SEJARAH # #BALILAWAS # #BALIAGE #KEUNIKANBALI #ADATTRADISI #ADATBUDAYA #

Makna dan Fungsi Bunga Dalam Upacara Yajna Agama Hindu

 


Bunga dalam bahasa latin berarti flos. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, Bunga adalah bagian tumbuhan yang akan menjadi buah, biasanya elok warnanya dan harum baunya. (kbbi. Kemdikbud. go. id Online. Diakses tanggal 20 Pebruari 2018, pukul 21:47 Wib)


Foto: mutiarahindu.com
Dalam ajaran agama Hindu, bunga merupakan sarana yang sangat penting dan paling banyak kita jumpai dalam setiap persembahyangan (upacara yajna). Seperti misalnya dalam bebantenan. Baik dalam yajna waktu-waktu tertentu (naimitika karma) maupun dalam yajna nitya karma (sehari-hari). Bunga juga digunakan oleh umat hindu sebagai hiasaan untuk mengindahkan tempat-tempat seperti pada aktivitas keluarga, masyarakat, hari nasional, pawiwahan, dan kunjungan ke tempat-tempat tertentu. Tentunya penggunaan bunga disini berfungsi agar lingkungan sekitarnya menjadi nyaman.


Dalam kegiatan keagamaan umat hindu, bunga memiliki nilai spiritual, religius dan nilai kesucian yang sangat tinggi. Tentunya, bunga yang digunakan disini, bukanlah Bunga asal dapat atau asal ada, tetapi bunga pilihan sesuai dengan petunjuk kitab atau sastra suci Hindu. Sebab, bunga dalam agama hindu bermakna sebagai sarana untuk menyampaikan rasa hati dan bakti ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hal ini dipertegas dalam kitab Bhagavad Gita IX.26 yang berbunyi:

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“patram puspam phalam toyam, yo me bhaktya prayacchati, tad aham bhakti-upahrtam, asnami prayatatmanah”


Terjemahan:


“Kalau seorang mempersembahkan daun, bunga atau air dengan cinta bhakti, Aku akan menerimahnya”



Dari sloka diatas dapat kita simpulkan bahwa seseorang dengan penuh ketulusan dan rasa bhakti kepada Tuhan, maka seseorang akan dapat mencapai kebahagian tertinggi walaupun hanya dengan sarana persembahan bunga. Tak heran jika dikatakan bahwa tanpa bunga suatu upacara umat hindu tidak akan sempurna. 


Puspa atau bunga disini merupakan wujud benda yang disuguhkan sebagai cara menunjukkan perasaan yang dapat memberikan kepuasan. Puspa atau kembang merupakan sarana untuk menyampaikan cetusan hati dan rasa bhakti kepada Hyang Widhi Wasa yang mempersembhahkan Yajna sebagai wujud upakaranya. (Susila. 2009:96)


Kemudian di mantra Wedaparikrama terdapat mantra untuk bunga (puspa), aksata dan gandha yang berbunyi demikian:


“Om puspa-dantaya namah (puspa)
Om kum kumara wijaya naham (akcala).
Om cri gandhecwari-amertebhyo namah svaha (gandha)”


Mantra diatas mejelaskan bahwa puspa-danta adalah Siva (gelar untuk siwa). Artinya bahwa bunga yang digunakan untuk sembahyang, bukan hanya sebagai alat tetapi merupakan lambang dari Tuhan itu sendiri (Siwa). Seperti disebutkan dalam Reg Veda bahwa pada awal penciptaan Maha Purusa melakukan Yajna dengan mengorbankan diriNya sendiri. Dengan demikian segala isi alam semesta merupakan bagian dari Siva. Demikian pula dengan puspa merupakan lambing dari tuhan itu sendiri.
Catatan: Puspa yang dimaksud merupakan wujud dari Sang Hyang Puspadanta yaitu gelar Siva (Tuhan).


Dalam Website Parisada Hindu Dharma Indonesia tentang Arti Sarana Persembahyangan dijelaskan bahwa bunga dalam agama Hindu memiliki dua fungsi yakni bunga adalah simbol Tuhan (Siva) dan bunga sebagai sarana untuk sembahyang. Bunga sebagai simbol Tuhan digunakan ketiga sembahyang diletakan pada ujung tangan saat menyembah (dalam Panca Sembah), sedangkan bunga sebagai sarana persembahyangan digunakan pada bebanten. Bunga dalam hal ini bermakna sebagai lambang ketulusan dan kesucian hati semba-bhakti kepada Tuhan.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Kemudian penjelasan makna bunga juga terdapat di dalam Kitab Surya Sewana (Kitab pagelaran pandita), ketika pandita membuat air suci Tirta, puspa (bunga) adalah lambang Dewi Gangga dewanya tirtha. Kekawin Negara Kerthagama menjelaskan bahwa bunga digunakan sebagai penyucian Roh Leluhur dalam upacara Saradha sehingga Jiwatman bisa Mur Amungsi Maring Siwa Buda Loka (jiwatman bisa menyatu kea lam Siwa). 


Penjelasan lain juga terdapat di dalam Lontar Yajna Prakerti dikatakan bahwa bunga merupakan lambang ketulusan hati, keiklasan dan kedamaian seperti berikut:


“… Sekare Pinaka Katulusan Pikayunan Suci”.


Terjemahan:



“Bunga itu sebagai lambang ketulus-ikhlasan pikiran yang suci”

Dagang Banten Bali

Kesimpulan


Bunga merupakan sarana pokok dalam upacara yajna agama Hindu yang berfungsi sebagai lambang restu tuhan, lambang jiwa dan alam pikiran. Bunga yang dipakai dalam upacara yajna harus menggunakan bunga yang bagus seperti bunga yang tidak dimakan ulat, bunga yang mekar, bunga yang tidak ada semutnya, bunga tidak layu dan bunga yang tidak berasal dari kuburan. (Kitab Agastya Parwa). Penjelasan selanjutnya akan dibahas pada tulisan berikutnya tentang jenis-jenis bunga yang baik untuk upacara yajna sesuai kitab suci Hindu.


Reff: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/makna-dan-fungsi-bunga-dalam-upacara.html


Susila, I Nyoman, dkk. 2009. Materi Acara Agama Hindu. Jakarta: Depag RI Dirjen Bimas Hindu.
Lontar Yajna Prakerti.
Bhagavad Gita Menurut Aslinya terjemahan Swami Prabhupada.

Macam-Macam Jenis Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu

 dalam Lontar Adi Parwa dikatakan bahwa tirta Amrta adalah air suci kehidupan yang abadi yang muncul dari Ksirarnawa ketika perputaran Gunung Mandara Giri. Air tirta ini memiliki fungsi masih-masing sesuai dengan jenisnya seperti dalam penyucian, pengurip alam ciptaan, tirta sebagai pemelihara dan lain sebagainya. Apa pun jenis-jenis tirta tersebut adalah sebagai berikut:





Foto: Mutiarahindu.com
Jenis-Jenis Air Suci Tirta


Dilihat dari cara memperolehnya, tirta dapat dibedakan menjadi dua macam. Ada pun kedua macam tirta tersebut adalah sebagai berikut:

Tirta atau air suci yang dibuat sendiri oleh Pandita atau Sulinggih
Tirta atau air suci yang diperoleh melalui memohon oleh pemangku/ dalang/ balian atau Sang Yajmana.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Jika kita perhatikan dalam kaitanya dengan Panca Yajna, maka jenis-jenis tirta dapat dibedakan menjadi enam macam yaitu:

Tirta pembersihan yaitu air suci yang digunakan untuk mensucikan atau membersikan sarana (bebanten) upakara dan diri manusia sebelum melakukan persembahyangan. Pada umumnya di pura-pura tirtah pembersihan diletakkan di depan pintu masuk atau di dekat tempat dupa dan sentang.
Tirta pengelukatan yaitu air suci yang fungsinya digunakan pada penglukatan atau pensucian alat upacara, bangunan atau diri manusia. Selain itu tirtha ini, biasanya dipergunakan untuk mensucikan canang dan banten dengan cara percikan tiga kali. Tirta ini pada umumnya di dapat dari para pandita dan telah di pasupati.
Tirta Wangsuhpada juga disebut dengan banyun cokor atau kekuluh yaitu jenis tirta yang digunakan pada akhir persembahyangan. Tirta ini sebagai simbol sembah dan bhakti kita kepada Tuhan agar diberikan anugra berupa air suci kebahagian.
Tirta Pemanah yaitu yaitu jenis tirta yang digunakan pada saat memandikan jenazah. Tirta ini diperoleh dari air suci pada saat upakara Ngening.
Tirta Penembak yaitu jenis tirta air suci yang digunakan saat memandikan jenazah yang maknanya mensucikan badan jenazah secara lahir dan batin.
Tirta Pengentas yaitu tirta yang fungsinya untuk memutuskan hubungan roh orang yang meninggal dengan badannya agar cepat melupakan keduniawian. Tirta ini merupakan penentu utama berhasilnya suatu upacara ngaben. Tirta Pengentas pada umumnya dibuat oleh sulinggih.



Kalau dilihat dari penggunaannya pada persembahyangan agama Hindu sehari-hari, tirta dapat dibedakan menjadi tiga jenis diantanya:

Tirtha Kundalini yaitu tirta yang dipercikan ke badan sebanyak tiga kali ketika persembahyangan.
Tirtha Kamandalu yaitu tirta yang diminum.
Tirtha Pawitra Jati yaitu tirta yang diraup ke muka atau kepala sebanyak tiga kali.

Kemudian dalam pustaka Purwa Bhumi, ada disebutkan lima jenis Tirtha yang terdapat di lima gunung atau Panca Giri, sebagai berikut:

Tirtha Sveta Kamandalu di Gunung Indrakila, dijaga oleh Indra dan Sang Hyang Iswara atau Sadyijata
Tirtha Ganga Hutasena di Gunung Gandharnadana, dijaga oleh Barna Dewa
Tirtha Ganga Sudha-Mala di Gunung di Gunung Pgat atau Udaya, dijaga oleh Tatpurusa
Tirtha Ganga Amrta-Sanjivani di Gunung Rsymukka di jaga oleh Aghora
Tirtha Ganga Amrta-Jiva di Gunung Kailasa dijaga bersama Ardhanareswari.

Panca Tirtha tirta diatas dapat diperoleh di lereng Panca Giri. Ada pun fungsinya adalah digunakan untuk menyucikan Bhuta dan Kala, terutama pada hari Raya Nyepi, dan juga dilakukan menjelang upacara-upacara penting lainya dalam rangkaian pelaksanaan Yajna umat Hindu.

Reff: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/macam-macam-jenis-air-suci-tirta-dalam.html
Tim Penyusun dan Peneliti Naskah. _.Weda Kuning 100-101.
Susila, I Nyoman, dkk. 2009. Materi Acara Agama Hindu. Jakarta: Depag RI Dirjen Bimas Hindu

- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar

Makna dan Fungsi Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu

 



Berbicara tentang yajna, maka tentu tidak lepas dari sarana atau peralatan yang diperlukan dalam upacara yajna (korban suci). Sarana dapat dikatakan sebagai penentu utama berhasil tidaknya suatu upacara yang dilaksanakan oleh umat Hindu. Sebab Sarana adalah media konsentrasi untuk dapat mendekatkan diri dengan Brahman (Sang Hyang Widhi) serta manisfestasinya yang dipuja.


Selain digunakan sebagai media untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, penggunggunaan sarana juga dapat menciptakan hubungan harmonis antara lingkungan, sesame manusia, tumbuh-tumbuhan, para pitara (roh suci leluhur) serta keharmonisan lainya dalam kehidupan di dunia ini. 





Foto: Mutiarahindu.com
Setiap sarana yang digunakan dalam upacara yajna tentunya memiliki arti, fungsi, dan makna masing-masing. Baik dari segi nilai kesucian, kemulian, dan nilai spiritual. Dari setiap sarana yang dipergunakan, tuntunya kita memiliki suatu harapan suci. Untuk itu, sangat penting untuk mengetahui setiap arti, fungsi dan makna dari setiap sarana yang dipergunakan dalam upacara yajna. Sebab tampa mengetahui, arti, fungsi dan makna dari setiap sarana yang digunakan, maka mustahil harapan kita dapat tercapai seperti disebutkan dalam Manawa Dharmasastra 3.97:

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“Nasyanti hawwyah kawyani naranamawijajanatam, bhasmi bhutesu wipresu mohad dattani datrbhid”


Terjemahan:


“Persembahan kepada Dewa dan Leluhur yang dilakukan oleh orang yang tidak tahu peratunyanya adalah sia-sia, kalau memberi karena kebodohanya memberikan bagianya kepada Brahmana, persembahannya tidak ada bedanya dengan abu.”


Dari sloka yang diambil dari Manawa Dharmasastra 3.97 diatas, dapat disimpulkan bahwa wajib hukumnya untuk mengetahui tujuan dan makna upacara yajna yang dilaksanakan agar tidak sia-sia. Untuk itu melalui artikel ini, mutiara hindu akan membahas arti, fungsi dan makna Air dalam upacara yajna.


Makna Dan Fungsi Air Dalam Upacara Yajna


Air dalam kehidupan sehari-hari merupakan sumber kehidupan bagi manusia dan makhluk lainya seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan. Dengan adanya air, maka manusia dapat hidup dengan bersih, sehat dan dapat mencapai ketentraman. Penggunaan air dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari yang fungsinya air biasa disebut dengan odaka atau odakam.



Selain berfungsi sebagai sumber kehidupan, air juga memiliki fungsi yang sangat penting dalam upacara yajna. Air dalam upacara yajna memiliki fungsi yang sangat sacral, sehingga sering disebut air suci atau Tirta. Air suci dalam kitab Bhagavad Gita disebut Toyam atau toya. Toya/tirta adalah air suci yang secara khusus dipergunakan dalam kaitanya dengan upacara keagaman yang memiliki kekuatan magis dan kekuatan eligius yang bersumber dari kekuatan Ida sang Hyang Widhi Wasa.


Menurut Drs. I Kt. Wiana: 91, dalam bukunya Arti dan Fungsi Sarana Persembahyangan, tirta dapat juga diartikan permandian atau sungai, kesucian atau setitik air, toya atau air suci, sungai yang suci, permandian/ sungai/ air suci, tempat perziarahan, mengunjungi tempat-tempat suci, bersuci dengan air, air suci, permandian, tempat mandi atau tempat yang dapat disebrangi. Demikianlah ienjelasan singkat makna dan fungsi air sebagai tirta dalam upacara yajna.


Selain berfungsi sebagai sarana dalam upacara yajna yang dipersembahkan kepada Tuhan, disisi lain air juga adalah anugra yang diberikan Tuhan ketika kita melaksanakan yajna (karma). Hal ini ditegaskan dalam Bhagavad Gita III.14 yang berbunyi demikian:


“Annad bhawanii bhutani, parjanyad annasamhawah, yajnad bhawanii parjanjo, yajnan karma samudhhawan”.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Terjemahan:


“Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yajna, adanya yajna karena karma”


Dari sloka Bhagavad Gita III.14 diatas, dapat kita pahami bahwa air merupakan sarana yang diperlukan dalam ber-Yajna dan dengan yajna manusia memohon anugra berupa air kehidupan berwujud air hujan sehingga manusia menjadi sehat dan selamat.


Makna Tirta, dalam kaitannya dengan persembayangan dan sehabis menghanturkan sembah dilanjutkan dengan memohon, nunas tirta dengan ketentuan dipercikkan keseluruh tubuh masing-masing tiga kali, diminum tiga kali, dan diraupkan sebanyak tiga kali, adalah sebagai penyucian sabda, bayu dan idep.


Pemercikan tirta pada anggota badan bermakna untuk penyucian badan atau sthula sarira dengan tirta Kundalini. Tirta yang diminum bermakna penyucian kotoran dan perkataan atau suksma sarira (Tirta Kamandalu). Dan tirta pada saat diraup bermakna kesucian dalam kekuatan hidup (Tirta Pawitra Jati).
Ketiga sasaran pemercikan tirta tersebut di atas pada diri manusia, tentunya bermakna agar manusia memperoleh kesucian diri. Ada pun mantra yang digunakan adalah sebagai berikut:


Pada Saat Pemercikan Ke Badan


“Om Budha Pawitra ya namah, Om Budha Maha Tirta ya namah, Om Sanggya Maha Toya ya namah”



Pada Saat Diminum


“Om Brahma Pawaka, Om Wisnu Amerta, Om Iswara Jenyana”


Pada Saat Diraup


“Om Ciwa Sampuma ya namah, Om Sadha Ciwa na namah, Om Parama Ciwa ya namah”


Fungsi Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu


Memperhatikan tentang makna dan jenis-jenis air suci (baca postingan sebelumnya jenis-jenis air tirta dalam upacara yajna), sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka dalam penjelasan berikutnya akan dijelaskann mengenai fungsi air suci atau Tirta adalah sebagai berikut:

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

1. Tirta Berfungsi sebagai Lambang Penyucian atau Pembersihan


Dalam yajna setiap sarana yang digunakan untuk persembahan terlebih dahulu disucikan agar dapat diterimah dengan penuh kesucian. Maka dalam hal ini yang menjadi sarana untuk menyucikanya bisanya digunakan sarana berupa air suci tirta, oleh karena itu tirta sebagai langbang penyucian atau pembersihan. 



RELATED:
Makna dan Fungsi Bunga Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Macam-Macam Jenis Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Jenis-Jenis Uang Kepeng dan Fungsinya
2. Tirta Berfungsi sebagai Pengurip Alam Penciptaan


Dikatakan sebagai pengurip karena dengan memercikan tirta sebuah yajna menjadi persembahan yang memiliki nilai spiritual dan menjadi suci adanya. Tirta juga dapat memberikan kehidupan pada Yajna yang kita persembahkan serta dapat memiliki nilai magis. Yajna yang suci dapat mendatangkan dan menyatuhkan kehidupan manusia dengan alam Tuhan atau dengan Hyang Pencipta. Dengan senyuguhkan persembahan seolah-olah Tuhan terasa hadir di hadapan yang menyembah-Nya. (Baca: Reg Weda Mandala I Sukta 3, sloka 10, 11 dan 12, Reg Weda Mandala I Sukta 5, sloka 6). Dalam Reg Weda ini menegaskan tentang fungsi tirta yang sekaligus menjadi sarana yang dapat memberikan daya cipta yang tinggi untuk mengundang kedatangan atau kehadiran Tuhan pada umatnya, dapat menciptakan suasana, perilaku, perkataan dan pikiran yang serba suci menuju kepada keteranga yang abadi. (Susila. 2009:89)


3. Tirta Berfungsi sebagai Pemelihara


Semua orang tentunya mendambaka kenyamanan, ketenangan, kesejahteraan lahir dan batin. Termaksuk juga ciptaan tuhan yang lainya membutuhan kesinambungan dan kelestarian. Antara satu kehidupan dengan kehidupan lainnya ada yang memelihara da nada yang dipelihara. Dengan demikian bahwa dalam dunia ini senantiasa ada kebersamaan antara yang satu dengan yang lainya. Misalnya manusia dapat hilang hausnya karena air, pohon-pohan tidak layu karena disiram dengan air, binatang-binatang hidup dengan nyaman karena adanya air. Begitulah manfaat dan fungsi air bagi kehidupan ini. Dalam yajna bahwa air terutama tirta juga berfungsi sebagai pemelihara. Dalam Tri Murti, Dewa Wisnu sebagai penguasa air guna memelihara (stithi) semua ciptaan Tuhan, dan Dewa Indara sebagai penguasa hujan yang dapat memberikan air kehidupan dan air kesumburan pada semua makhluk hidup. (Baca: Reg Weda 1 bagian kedua, 5,2, Reg Weda 1, 2, 5, 5, Reg Weda. XIII, 65,2)



Dalam mantra Reg Weda diatas dijelaskan bahwa Dewa Indra menganugrahkan air suci untuk memelihara kehidupan dan untuk menemukan kebahagiannya. Kemudian disebutkan juga tentang fungsi air sebagai pemelihara kehidupan.


Kalau diperhatikan secara umum , air sebagai sarana upacara agama dipergunakan sebagai berikut:

Sebagai alat penyuci sarana upacara (tirta pembersih)
Sebagai Tirta Amerta atau sumber kehidupan
Sebagai wasuh pada yang disebut ancamannya dan padyargha
Sebagai air penyuci roh orang meninggal dalam fungsinya sebagai tirta pengentas
Sebagai air minum untuk tarpana dan juga keperluan minum sehari-hari.

Syarat Memohon Air Tirta


Dalam memperoleh air suci atau tirta, tentunya memiliki ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Ada pun syarat-syarat memohon tirta air suci adalah sebagai berikut:

Harus orang yang sudah bersih lahir batin. 
Memakai pakaian yang khusus yang berhubungan dengan hal-hal yang suci.
Pemohon harus menghadap ke arah terbit matahari atau gunung setempat.
Kedua tangan diangkat sampai ke atas kepala dengan memegang suatu tempat khusus untuk tirta berisi bunga dalam air dan dupa sudah dinyatakan dipegang; (Upadesa:82)

Demikianlah beberapa uraian tentang makna dan fungsi air suci tirta sebagai sarana upacara umat hindu.


Reff: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/makna-dan-fungsi-air-suci-tirta-dalam.html
Susila, I Nyoman, dkk. 2009. Materi Pokok Acara Agama Hindu. Jakarta: Depag RI Dirjen Bimas Hindu
Wijaya, I Gde._.Upacara Yajna Agama Hindu. _:_
Wiana, I Ketut. 1994. Air Dan Fungsi Sarana Persembahyangan. _:_
Bhagavad Gita III.14

Arti, Makna, Fungsi dan Jenis Jenis Api dalam Upacara Yajna

 Berbicara tentang yajna, maka tentu tidak lepas dari sarana atau peralatan yang diperlukan dalam upacara yajna (korban suci). Sarana dapat dikatakan sebagai penentu utama berhasil tidaknya suatu upacara yang dilaksanakan oleh umat Hindu. Sebab Sarana adalah media konsentrasi untuk dapat mendekatkan diri dengan Brahman (Sang Hyang Widhi) serta manisfestasinya yang dipuja.



Selain digunakan sebagai media untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, penggunggunaan sarana juga dapat menciptakan hubungan harmonis antara lingkungan, sesame manusia, tumbuh-tumbuhan, para pitara (roh suci leluhur) serta keharmonisan lainya dalam kehidupan di dunia ini. 




Foto: Mutiarahindu.com
Setiap sarana yang digunakan dalam upacara yajna tentunya memiliki arti, fungsi, dan makna masing-masing. Baik dari segi nilai kesucian, kemulian, dan nilai spiritual. Dari setiap sarana yang dipergunakan, tuntunya kita memiliki suatu harapan suci. Untuk itu, sangat penting untuk mengetahui setiap arti, fungsi dan makna dari setiap sarana yang dipergunakan dalam upacara yajna. Sebab tampa mengetahui, arti, fungsi dan makna dari setiap sarana yang digunakan, maka mustahil harapan kita dapat tercapai seperti disebutkan dalam Manawa Dharmasastra 3.97:

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“Nasyanti hawwyah kawyani naranamawijajanatam, bhasmi bhutesu wipresu mohad dattani datrbhid”


Terjemahan:
“Persembahan kepada Dewa dan Leluhur yang dilakukan oleh orang yang tidak tahu peratunyanya adalah sia-sia, kalau memberi karena kebodohanya memberikan bagianya kepada Brahmana, persembahannya tidak ada bedanya dengan abu.”


Dari sloka yang diambil dari Manawa Dharmasastra 3.97 diatas, dapat disimpulkan bahwa wajib hukumnya untuk mengetahui tujuan dan makna upacara yajna yang dilaksanakan agar tidak sia-sia. Untuk itu melalui artikel ini, mutiara hindu akan membahas arti, fungsi dan makna api dalam upacara yajna.


Arti, Makna dan Fungsi Api



Api merupakan salah satu sarana yang sangat penting dalam upacara agama Hindu. Penggunaan api sangat banyak kita jumpai sesuai dengan jenis yajna yang dilaksanakan. Ada yang menggunakan dupa, dipa, api, takep, pasepan dan lainya sebagainya.


Dhupa atau dupa adalah nyala bara yang berisi wangi-wangian atau astanggi yang dipakai dalam upacara dan untuk menyelesaikan upacara. Dipa yaitu api yang nyalanya sebagai lampu yang terbuat dari minyak kelapa. Api takep yaitu api sebagai sara upacara dengan nyala bara yang terbuat dari kulit kelapa yang sudah kering (sabut kelapa). Pasepan yaitu api sebagai nyala bara yang ditaruh diatas tempat tertentu atau dulang kecil yang di isi dengan potongan kayu kering yang dibuat kecil-kecil. Kayu yang dipergunakan biasanya yang harum seperti kayu menyan, cendana, kayu majegau, dan lainya. Semua penggunaan api diatas memiliki makna tertentu. (Susila, dkk. 2009:77)


Dupa merupakan lambing aksara tattwa, dan dipa adalah lambang sakti tattwa. Dijelaskan arti dupa bahwa:

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“wijil ing dhupa sakeng wisma, dipa sakeng Ardha candra landepi sembah”. 


Terjemahan:
“bahwa tajamnya sembah sakti itu (dengan) dhupa yang tercipta dan Wisma (sarwa alam) dan dipa yang terdiri dan Ardha Candra (bulan sabit) atau dengan istilah lain bahwa terwujudnya cipta pujaan itu akan dapat diintensifkan dengan mempergunakan dhupa dan dipa itu:” (Wedaparikrama:103)


Penggunaan api sebagai sarana upacara agama juga disebut dengan agni. Peranan api dalam upacara agama sangat penting sekali seperti dijelaskan dalam Wedaparikrama:44-45, bahwa api adalah pengantar upacara yang menghubungkan antara manusia dengan Sang HYang Widhi Wasa, Agni adalah Dewa yang mengusir Raksasa dan membakar habis semua mala sehingga menjadikanya suci, Agni adalah pengawas moral dan saksi yang abadi, agnilah yang menjadi pemimpin upacara Yajna yang sejadi menurut Veda. 


Dikatakan bahwa suatu upacara yajna belum lengkap kalau tidak ada unsur api di dalamnya, sebab dengan api umat Hindu dapat melaksanakan upacara dengan sempurnah, api untuk penyucian, dapat menghalau roh-roh jahat atau mendatangkan pengaruh-pengaruh baik karena api sebagai pengantar, sebagai pemimpin upacara dan juga saksi.


Dalam agama Hindu api yang sangat diharapkan yakni api yang mengeluarkan asap harum, dan yang tidak diharapkan api yang terbuat dari lilin karena tidak mengeluarkan asap berbau harum. Sedangkan untuk Dipa, Dupa, dan lainya memang sudah dirangkai khusus agar mengeluarkan bauh harum yang dilengkapi dengan kemenyn, gula, kulit duku, kayu cendana, kayu majegau dll.


Jenis-Jenis Api Dalam Upacara Yajna Agama Hindu 



Berdasarkan beberapa sastra ada beberapa jenis pembagian api dalam upacara yajna adalah sebagai berikut:


Api yang ada di dapur
Api yang ada pada diri manusia
Api yang ada pada Matahari


Dari semua jenis api diatas, memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia baik dalam keseharian, kehidupan social maupun budaya dan keagamaan. Dalam Kitab Sarasamuccaya: 59 dijelaskan tiga jenis api seperti berikut:


“---Taat mengadapan puja kepada tiga api suci, yang disebut Tryagni: yaitu tiga api suci, perinciannya adalah: ahawaniya, garhaspatya, dan citagni, ahawaniya artinya api tukang masak untuk memasak makanan, garhaspatya artinya api upacara perkawinan,itulah api yang dipakai saksi pada waktu perkawainan dilangsungkan, Citagni artinya api untuk membakar mayat, itulah yang disebut tiga api suci---“


Dari kutipan Kitab Sarasamuccaya: 59 dijelaskan tiga jenis api yang disebut Sang Hyang Tryagni diantaranya adalah sebagai berikut:

Ahawaniya, yaitu api yang dipergunakan untuk memasak
Garhaspatya adalah api upacara perkawinan
Citagni adalah api yang digunakan dalam upacara pembakaran mayat.

Tryagni diatas merupakan sarana yang sangat penting dalam upacara agama hindu sesuai dengan yajnanya yang dilaksanakan. Api dalam istila ajaran agama hindu juga disebut dengan Apuy, Agni, Wahni.



RELATED:
Makna dan Fungsi Bunga Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Macam-Macam Jenis Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Makna dan Fungsi Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Dikatakan juga bahwa api adalah sumber kehidupan dan kekuatan Brahma untuk menciptakan alam semesta dan isinya. Dalam Agastya Parwa, juga dijelaskan tentang pentingnya penggunaan Dhupa (api) dalam upacara yajna seperti:


“kita lihat orang kaya, keluarganya tidak kekuarangan suatu apa, sementara ia menikmati kebahagiannya dengan penuh kesenangan, maka ia pun di tawan orang, dirampas, dijual, dituduh berbuat dosa walaupun sesungguhnya ia tidak berdosa. Orang yang demikian di dunia, demikian tingkah lakunya dahulu gemar memuja Bhatara yang menyebabkan bhatara menjadi suka cita. Namun karenya pemujaanya itu dahulu tampa dilengkapi dengan dupa, maka usahanya itu kehilangan makna upacara agama, sebab tujuan adanya dupa itu adalah untuk menjaga pahala pemujaan itu kelak.”


Fungsi Api Dalam Upacara Yajna 


Selain uraian di atas berikut ada beberapa penjelasan tentang pentingnya api dalam dalam upacara yajna agama hindu. Aka diuraikan sebagai berikut:

Api sebagai pendeta pemimpin upacara (Pejelasan baca: Isa Upanisad. 18, Reg Veda Mandala I)
Api sebagai perantara pemuja dan yang dipuja (Penjelasan baca:Mds.I.23, Bhagavad Gita IV.24-25)
Api sebagai pembasmi segala kekotoran dan pengusir roh jahat (Penjelasan baca: Bhagavad Gita IX.26, Wedaparikrama: 102, Reg Veda Mandala I sukta sloka 5,7,10, Reg Veda Mandala I,12.5, Reg Veda Mandala I.12.7, Reg Veda Mandala I.12.10, Lontar Sundarigama,)
Api sebagai saksi upacara dalam kehidupan. (Penjelasan baca: Upadeca.7, Agama Hindu II, Gd. Pudja, M.A., S.H., 167-168)

Demikianlah uraian singkat tentang pentingnya api dalam upacara yajna. Sebenarnya sangat banyak sastra-sastra atau kita suci veda yang mengulas tentang pentingnya penggunaan api dalam upacara Yajna, tetapi dalam artikel ini hanya dijelaskan secara singkat.


Reff: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/arti-makna-fungsi-dan-jenis-jenis-api.html
Susila, I Nyoman, dkk. 2009. Materi Acara Agama Hindu. Jakarta: Depag RI Dirjen Bimas Hindu
Transkripsi Lontar Sundari Gama, UNHI Dempasar
Beberapa sumber kitab suci hindu seperti yang tertera di setiap sloka.

Makna Penggunaan Kajang Dalam Upacara Ngaben

 



Secara etimologi Kajang berasal dari bahasa Jawa Kuno yakni tirai atau tutup. Kajang pada umumnya terbuat dari kain putih yang memiliki ukuran kurang lebih satu setengah meter. Dalam tradisi Hindu khusunya di Bali, kajang ditulisi aksara Modre dan aksara Swalalita kemudian diletempatkan pada pelengkungan orang yang akan diaben. Kajang dalam tradisi Hindu Bali merupakan simbol (pengawak) dari badan rohani dan jasmani orang yang telah meninggal.




Foto: Nirmalajati
Rerajahan yang terdapat pada kain putih orang yang diaben melambangkan lapisan badan rohani dan atman. Sedangkan kain putih sendiri adalah lambang badan jasmani. Rejahan yang digunakan pada kain putih merupakan lambing dari dewa-dewa manifestasi Sang Hyang Widhi. Kajang pada umumnya dibuat dengan suatu upacara dan puja oleh pandita pemimpin upacara. Tahap pembuatan kajang, dari awal sampai melaspas menggunakan banten dan puja tertentu, hal ini dilakukan agar kajang yang dihasilkan bernilai sacral.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Aksara suci yang digunakan untuk merajah pada kain putih kajang adalah aksara suci yang disebut Dasaksara. Dasaksara merupakan lambing urip bhuwana simbol kemahakuasaan Tuhan. Lapisan-lapisan yang membungkus atman dilukiskan dalam kajang tersebut. Lontar Wrhaspati Tattva mengatakan badan manusia terdiri dari tiga badan yang disebut Tri Sarira yaitu Stula, Suksma dan anta karana Sarira. (Wiana. 2002.54)



Lain halnya dengan lontar Taittiriya Upanisad mengatakan bahwa badan manusia terdiri dari lima lapisan yang disebut Panca Maya Kosa. Adapun bagian-bagiannya adalah sebagai beriku: 

Anamaya Kosa adalah lapisan badan manusia yang berasal dari makanan.
Pranamaya Kosa yaitu lapisan tenaga.
Manomaya Kosa yaitu lapisan pikiran
Wijnanamaya Kosa yaitu lapisan kebijaksanaan
Anandamaya Kosa yaitu lapisan kebahagian


Lapisan-lapisan inilah yang kemudian digambarkan dengan kajang dalam upacara Ngaben. Pada umumnya lukisan aksara kajang berbeda-beda berdasarkan warna orang yang akan diaben. Misalnya untuk Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Alasan perbedaan tersebut di dasarkan pada Guna (bakat) dan karma (perbuatan/pekerjaan) dari masing-masing warna. Gina Karma dari Brahmana Warna sangat berbeda dengan Guna Karma dari Ksatrya Karma. Demikian Juga Guna Karma Waisya dan Sudra Warna. Masing-masing kajang juga berbeda. (Wiana. 2002.54)


Contohnya misalnya kajang Brahmana terdiri dri berbagai jenis misalnya, Kajang Brahmana Outus, Kajang Brahmana Utama, Brahmana Walaka. Kemudian Contoh Kajang Kesatrya adalah Kajang Kesatrya Utama, Kajang Kesatrya Anyakra Werti, Kajang Kesatrya Waisya Putus, Kajang Prasatria dan lain sebagainya.



Pada umumnya, kajang diberikan oleh Pandita yang menjadi Nabe atau Guru Kerohanian. Selain itu, kajang juga dapat diperoleh dari Pura Kawitanya dan dari keluarga dekat. Kajang merupakan badan pengganti dari atman yang sudah lepas dari badanya yang lama. Karena badan itu sangat penting sebagai kendaraan Atman menuju alam Niskala. Sebagai badan pengganti tentunya sangat diharapkan badan itu badan yang searah dengan sifat-sifat suci Atman. Dengan demikian antara wada dan isinya menyatu.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Kajang yang dibuat oleh Pandita diharapkan Kajang yang Suci, karena jika tidak justru akan menutup sinar suci Atman. Demikian juga Kajang Kawitan dan Kajang dari keluarga haruslah suci karena itu akan dijadikan wahana baru oleh Atman menghadap Sang Hyang Widhi. Kajang sebagai pelindung sang Pitara menuju alam niskala.


Cerita yang berkaitan dengan Makna Penggunaan Kajang dalam upacara Ngaben terdapat di dalam Kekawin Bharatayudha ketika Dewi Hidimbi memohon kepada Drupadi agar diberikan penutup diri agar di perjalanannya ke Swarga menemui leluhur tidak mendapat hambatan. Dikatakan Juga bahwa Kajang adalah anugra yang diberikan Batara Siva.



RELATED: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/makna-penggunaan-kajang-dalam-upacara.html
Makna dan Fungsi Bunga Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Macam-Macam Jenis Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Makna dan Fungsi Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Reff:
Wiana, I Ketut. 2002. Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita

Lontar BHUWANA KOSA

 


Adapun ajarannya dapat dijelaskan sebagai berikut : Tuhan dalam Bhuwana Kosa disebut Bhatāra Śiwa, yaitu :
Beliau Maha Esa, tanpa bentuk, tanpa warna, tak terpikirkan, tak tercampur, tak bergerak, tak terbatas dan sebagainya. 
Ia yang tak terbatas digambarkan secara terbatas, karena itu Ia sering disebut dengan nama yang berbeda, seperti : Brahma, Wisnu, Iswara / Rudra, sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Dalam Lontar Bhuwana Kosa ini Bhatāra Śiwa dijelaskan juga bersifat immanent dan transcendent.


Immanent, Ia meresapi segalanya, hadir pada segala termasuk meresap pada pikiran dan indriya (sira wyapaka).
Transcendent, Ia meliputi segalanya, tetapi Ia berada di luar batas pikiran dan indriya.
Meskipun Ia Immanent dan Transcendent pada semua makhluk, tetapi Ia tidak dapat dilihat dengan kasat mata, karena Ia bersifat sangat rahasia, abstrak. Karena kerahasiaannya Ia digambarkan bagaikan api dalam kayu, minyak dalam santan. Dan Ia ada dimana-mana, pada semua yang ada ini. 
Ia tidak tampak, 
tetapi Ia ada. 
Sungguh sangat rahasia adanya. Alam semesta (Bhuwana Agung) dengan segala isinya dan manusia adalah ciptaanNya juga.
Semua ciptaanNya itu merupakan wujud mayanya yang bersifat tidak kekal, karena dapat mengalami kehancuran dan pada saat mengalami kehancuran semua ciptaanNya itu akan kembali kepadaNya, karena Ia adalah asal dan tujuan.


Demikian juga disebutkan dalam beberapa petikan mantra dalam Tattwa III referensi Lontar Bhuwana Kosa yang sebagaimana dijelaskan Berkedudukan di alam Satya Loka, Bhatara Siva Maha gaib, tanpa awal, tanpa pertengahan, tanpa akhir, amat suci:
“Keadaan Sang Hyang Siva berada di hati semua mahluk, tanpa awal, tanpa pertengahan dan tanpa akhir, Keberadaan Beliau kekal berwujud seperti putaran air".
Berkedudukan di alam Tapa Loka, Beliau Bhatara Siwa menguasai semua pengetahuan dan  selalu terhindar dari ketuaan dan kematian.