Senin, 30 November 2020

Makna dan Fungsi Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu

 



Berbicara tentang yajna, maka tentu tidak lepas dari sarana atau peralatan yang diperlukan dalam upacara yajna (korban suci). Sarana dapat dikatakan sebagai penentu utama berhasil tidaknya suatu upacara yang dilaksanakan oleh umat Hindu. Sebab Sarana adalah media konsentrasi untuk dapat mendekatkan diri dengan Brahman (Sang Hyang Widhi) serta manisfestasinya yang dipuja.


Selain digunakan sebagai media untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, penggunggunaan sarana juga dapat menciptakan hubungan harmonis antara lingkungan, sesame manusia, tumbuh-tumbuhan, para pitara (roh suci leluhur) serta keharmonisan lainya dalam kehidupan di dunia ini. 





Foto: Mutiarahindu.com
Setiap sarana yang digunakan dalam upacara yajna tentunya memiliki arti, fungsi, dan makna masing-masing. Baik dari segi nilai kesucian, kemulian, dan nilai spiritual. Dari setiap sarana yang dipergunakan, tuntunya kita memiliki suatu harapan suci. Untuk itu, sangat penting untuk mengetahui setiap arti, fungsi dan makna dari setiap sarana yang dipergunakan dalam upacara yajna. Sebab tampa mengetahui, arti, fungsi dan makna dari setiap sarana yang digunakan, maka mustahil harapan kita dapat tercapai seperti disebutkan dalam Manawa Dharmasastra 3.97:

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“Nasyanti hawwyah kawyani naranamawijajanatam, bhasmi bhutesu wipresu mohad dattani datrbhid”


Terjemahan:


“Persembahan kepada Dewa dan Leluhur yang dilakukan oleh orang yang tidak tahu peratunyanya adalah sia-sia, kalau memberi karena kebodohanya memberikan bagianya kepada Brahmana, persembahannya tidak ada bedanya dengan abu.”


Dari sloka yang diambil dari Manawa Dharmasastra 3.97 diatas, dapat disimpulkan bahwa wajib hukumnya untuk mengetahui tujuan dan makna upacara yajna yang dilaksanakan agar tidak sia-sia. Untuk itu melalui artikel ini, mutiara hindu akan membahas arti, fungsi dan makna Air dalam upacara yajna.


Makna Dan Fungsi Air Dalam Upacara Yajna


Air dalam kehidupan sehari-hari merupakan sumber kehidupan bagi manusia dan makhluk lainya seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan. Dengan adanya air, maka manusia dapat hidup dengan bersih, sehat dan dapat mencapai ketentraman. Penggunaan air dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari yang fungsinya air biasa disebut dengan odaka atau odakam.



Selain berfungsi sebagai sumber kehidupan, air juga memiliki fungsi yang sangat penting dalam upacara yajna. Air dalam upacara yajna memiliki fungsi yang sangat sacral, sehingga sering disebut air suci atau Tirta. Air suci dalam kitab Bhagavad Gita disebut Toyam atau toya. Toya/tirta adalah air suci yang secara khusus dipergunakan dalam kaitanya dengan upacara keagaman yang memiliki kekuatan magis dan kekuatan eligius yang bersumber dari kekuatan Ida sang Hyang Widhi Wasa.


Menurut Drs. I Kt. Wiana: 91, dalam bukunya Arti dan Fungsi Sarana Persembahyangan, tirta dapat juga diartikan permandian atau sungai, kesucian atau setitik air, toya atau air suci, sungai yang suci, permandian/ sungai/ air suci, tempat perziarahan, mengunjungi tempat-tempat suci, bersuci dengan air, air suci, permandian, tempat mandi atau tempat yang dapat disebrangi. Demikianlah ienjelasan singkat makna dan fungsi air sebagai tirta dalam upacara yajna.


Selain berfungsi sebagai sarana dalam upacara yajna yang dipersembahkan kepada Tuhan, disisi lain air juga adalah anugra yang diberikan Tuhan ketika kita melaksanakan yajna (karma). Hal ini ditegaskan dalam Bhagavad Gita III.14 yang berbunyi demikian:


“Annad bhawanii bhutani, parjanyad annasamhawah, yajnad bhawanii parjanjo, yajnan karma samudhhawan”.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Terjemahan:


“Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yajna, adanya yajna karena karma”


Dari sloka Bhagavad Gita III.14 diatas, dapat kita pahami bahwa air merupakan sarana yang diperlukan dalam ber-Yajna dan dengan yajna manusia memohon anugra berupa air kehidupan berwujud air hujan sehingga manusia menjadi sehat dan selamat.


Makna Tirta, dalam kaitannya dengan persembayangan dan sehabis menghanturkan sembah dilanjutkan dengan memohon, nunas tirta dengan ketentuan dipercikkan keseluruh tubuh masing-masing tiga kali, diminum tiga kali, dan diraupkan sebanyak tiga kali, adalah sebagai penyucian sabda, bayu dan idep.


Pemercikan tirta pada anggota badan bermakna untuk penyucian badan atau sthula sarira dengan tirta Kundalini. Tirta yang diminum bermakna penyucian kotoran dan perkataan atau suksma sarira (Tirta Kamandalu). Dan tirta pada saat diraup bermakna kesucian dalam kekuatan hidup (Tirta Pawitra Jati).
Ketiga sasaran pemercikan tirta tersebut di atas pada diri manusia, tentunya bermakna agar manusia memperoleh kesucian diri. Ada pun mantra yang digunakan adalah sebagai berikut:


Pada Saat Pemercikan Ke Badan


“Om Budha Pawitra ya namah, Om Budha Maha Tirta ya namah, Om Sanggya Maha Toya ya namah”



Pada Saat Diminum


“Om Brahma Pawaka, Om Wisnu Amerta, Om Iswara Jenyana”


Pada Saat Diraup


“Om Ciwa Sampuma ya namah, Om Sadha Ciwa na namah, Om Parama Ciwa ya namah”


Fungsi Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu


Memperhatikan tentang makna dan jenis-jenis air suci (baca postingan sebelumnya jenis-jenis air tirta dalam upacara yajna), sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka dalam penjelasan berikutnya akan dijelaskann mengenai fungsi air suci atau Tirta adalah sebagai berikut:

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

1. Tirta Berfungsi sebagai Lambang Penyucian atau Pembersihan


Dalam yajna setiap sarana yang digunakan untuk persembahan terlebih dahulu disucikan agar dapat diterimah dengan penuh kesucian. Maka dalam hal ini yang menjadi sarana untuk menyucikanya bisanya digunakan sarana berupa air suci tirta, oleh karena itu tirta sebagai langbang penyucian atau pembersihan. 



RELATED:
Makna dan Fungsi Bunga Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Macam-Macam Jenis Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Jenis-Jenis Uang Kepeng dan Fungsinya
2. Tirta Berfungsi sebagai Pengurip Alam Penciptaan


Dikatakan sebagai pengurip karena dengan memercikan tirta sebuah yajna menjadi persembahan yang memiliki nilai spiritual dan menjadi suci adanya. Tirta juga dapat memberikan kehidupan pada Yajna yang kita persembahkan serta dapat memiliki nilai magis. Yajna yang suci dapat mendatangkan dan menyatuhkan kehidupan manusia dengan alam Tuhan atau dengan Hyang Pencipta. Dengan senyuguhkan persembahan seolah-olah Tuhan terasa hadir di hadapan yang menyembah-Nya. (Baca: Reg Weda Mandala I Sukta 3, sloka 10, 11 dan 12, Reg Weda Mandala I Sukta 5, sloka 6). Dalam Reg Weda ini menegaskan tentang fungsi tirta yang sekaligus menjadi sarana yang dapat memberikan daya cipta yang tinggi untuk mengundang kedatangan atau kehadiran Tuhan pada umatnya, dapat menciptakan suasana, perilaku, perkataan dan pikiran yang serba suci menuju kepada keteranga yang abadi. (Susila. 2009:89)


3. Tirta Berfungsi sebagai Pemelihara


Semua orang tentunya mendambaka kenyamanan, ketenangan, kesejahteraan lahir dan batin. Termaksuk juga ciptaan tuhan yang lainya membutuhan kesinambungan dan kelestarian. Antara satu kehidupan dengan kehidupan lainnya ada yang memelihara da nada yang dipelihara. Dengan demikian bahwa dalam dunia ini senantiasa ada kebersamaan antara yang satu dengan yang lainya. Misalnya manusia dapat hilang hausnya karena air, pohon-pohan tidak layu karena disiram dengan air, binatang-binatang hidup dengan nyaman karena adanya air. Begitulah manfaat dan fungsi air bagi kehidupan ini. Dalam yajna bahwa air terutama tirta juga berfungsi sebagai pemelihara. Dalam Tri Murti, Dewa Wisnu sebagai penguasa air guna memelihara (stithi) semua ciptaan Tuhan, dan Dewa Indara sebagai penguasa hujan yang dapat memberikan air kehidupan dan air kesumburan pada semua makhluk hidup. (Baca: Reg Weda 1 bagian kedua, 5,2, Reg Weda 1, 2, 5, 5, Reg Weda. XIII, 65,2)



Dalam mantra Reg Weda diatas dijelaskan bahwa Dewa Indra menganugrahkan air suci untuk memelihara kehidupan dan untuk menemukan kebahagiannya. Kemudian disebutkan juga tentang fungsi air sebagai pemelihara kehidupan.


Kalau diperhatikan secara umum , air sebagai sarana upacara agama dipergunakan sebagai berikut:

Sebagai alat penyuci sarana upacara (tirta pembersih)
Sebagai Tirta Amerta atau sumber kehidupan
Sebagai wasuh pada yang disebut ancamannya dan padyargha
Sebagai air penyuci roh orang meninggal dalam fungsinya sebagai tirta pengentas
Sebagai air minum untuk tarpana dan juga keperluan minum sehari-hari.

Syarat Memohon Air Tirta


Dalam memperoleh air suci atau tirta, tentunya memiliki ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Ada pun syarat-syarat memohon tirta air suci adalah sebagai berikut:

Harus orang yang sudah bersih lahir batin. 
Memakai pakaian yang khusus yang berhubungan dengan hal-hal yang suci.
Pemohon harus menghadap ke arah terbit matahari atau gunung setempat.
Kedua tangan diangkat sampai ke atas kepala dengan memegang suatu tempat khusus untuk tirta berisi bunga dalam air dan dupa sudah dinyatakan dipegang; (Upadesa:82)

Demikianlah beberapa uraian tentang makna dan fungsi air suci tirta sebagai sarana upacara umat hindu.


Reff: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/makna-dan-fungsi-air-suci-tirta-dalam.html
Susila, I Nyoman, dkk. 2009. Materi Pokok Acara Agama Hindu. Jakarta: Depag RI Dirjen Bimas Hindu
Wijaya, I Gde._.Upacara Yajna Agama Hindu. _:_
Wiana, I Ketut. 1994. Air Dan Fungsi Sarana Persembahyangan. _:_
Bhagavad Gita III.14

Arti, Makna, Fungsi dan Jenis Jenis Api dalam Upacara Yajna

 Berbicara tentang yajna, maka tentu tidak lepas dari sarana atau peralatan yang diperlukan dalam upacara yajna (korban suci). Sarana dapat dikatakan sebagai penentu utama berhasil tidaknya suatu upacara yang dilaksanakan oleh umat Hindu. Sebab Sarana adalah media konsentrasi untuk dapat mendekatkan diri dengan Brahman (Sang Hyang Widhi) serta manisfestasinya yang dipuja.



Selain digunakan sebagai media untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, penggunggunaan sarana juga dapat menciptakan hubungan harmonis antara lingkungan, sesame manusia, tumbuh-tumbuhan, para pitara (roh suci leluhur) serta keharmonisan lainya dalam kehidupan di dunia ini. 




Foto: Mutiarahindu.com
Setiap sarana yang digunakan dalam upacara yajna tentunya memiliki arti, fungsi, dan makna masing-masing. Baik dari segi nilai kesucian, kemulian, dan nilai spiritual. Dari setiap sarana yang dipergunakan, tuntunya kita memiliki suatu harapan suci. Untuk itu, sangat penting untuk mengetahui setiap arti, fungsi dan makna dari setiap sarana yang dipergunakan dalam upacara yajna. Sebab tampa mengetahui, arti, fungsi dan makna dari setiap sarana yang digunakan, maka mustahil harapan kita dapat tercapai seperti disebutkan dalam Manawa Dharmasastra 3.97:

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“Nasyanti hawwyah kawyani naranamawijajanatam, bhasmi bhutesu wipresu mohad dattani datrbhid”


Terjemahan:
“Persembahan kepada Dewa dan Leluhur yang dilakukan oleh orang yang tidak tahu peratunyanya adalah sia-sia, kalau memberi karena kebodohanya memberikan bagianya kepada Brahmana, persembahannya tidak ada bedanya dengan abu.”


Dari sloka yang diambil dari Manawa Dharmasastra 3.97 diatas, dapat disimpulkan bahwa wajib hukumnya untuk mengetahui tujuan dan makna upacara yajna yang dilaksanakan agar tidak sia-sia. Untuk itu melalui artikel ini, mutiara hindu akan membahas arti, fungsi dan makna api dalam upacara yajna.


Arti, Makna dan Fungsi Api



Api merupakan salah satu sarana yang sangat penting dalam upacara agama Hindu. Penggunaan api sangat banyak kita jumpai sesuai dengan jenis yajna yang dilaksanakan. Ada yang menggunakan dupa, dipa, api, takep, pasepan dan lainya sebagainya.


Dhupa atau dupa adalah nyala bara yang berisi wangi-wangian atau astanggi yang dipakai dalam upacara dan untuk menyelesaikan upacara. Dipa yaitu api yang nyalanya sebagai lampu yang terbuat dari minyak kelapa. Api takep yaitu api sebagai sara upacara dengan nyala bara yang terbuat dari kulit kelapa yang sudah kering (sabut kelapa). Pasepan yaitu api sebagai nyala bara yang ditaruh diatas tempat tertentu atau dulang kecil yang di isi dengan potongan kayu kering yang dibuat kecil-kecil. Kayu yang dipergunakan biasanya yang harum seperti kayu menyan, cendana, kayu majegau, dan lainya. Semua penggunaan api diatas memiliki makna tertentu. (Susila, dkk. 2009:77)


Dupa merupakan lambing aksara tattwa, dan dipa adalah lambang sakti tattwa. Dijelaskan arti dupa bahwa:

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“wijil ing dhupa sakeng wisma, dipa sakeng Ardha candra landepi sembah”. 


Terjemahan:
“bahwa tajamnya sembah sakti itu (dengan) dhupa yang tercipta dan Wisma (sarwa alam) dan dipa yang terdiri dan Ardha Candra (bulan sabit) atau dengan istilah lain bahwa terwujudnya cipta pujaan itu akan dapat diintensifkan dengan mempergunakan dhupa dan dipa itu:” (Wedaparikrama:103)


Penggunaan api sebagai sarana upacara agama juga disebut dengan agni. Peranan api dalam upacara agama sangat penting sekali seperti dijelaskan dalam Wedaparikrama:44-45, bahwa api adalah pengantar upacara yang menghubungkan antara manusia dengan Sang HYang Widhi Wasa, Agni adalah Dewa yang mengusir Raksasa dan membakar habis semua mala sehingga menjadikanya suci, Agni adalah pengawas moral dan saksi yang abadi, agnilah yang menjadi pemimpin upacara Yajna yang sejadi menurut Veda. 


Dikatakan bahwa suatu upacara yajna belum lengkap kalau tidak ada unsur api di dalamnya, sebab dengan api umat Hindu dapat melaksanakan upacara dengan sempurnah, api untuk penyucian, dapat menghalau roh-roh jahat atau mendatangkan pengaruh-pengaruh baik karena api sebagai pengantar, sebagai pemimpin upacara dan juga saksi.


Dalam agama Hindu api yang sangat diharapkan yakni api yang mengeluarkan asap harum, dan yang tidak diharapkan api yang terbuat dari lilin karena tidak mengeluarkan asap berbau harum. Sedangkan untuk Dipa, Dupa, dan lainya memang sudah dirangkai khusus agar mengeluarkan bauh harum yang dilengkapi dengan kemenyn, gula, kulit duku, kayu cendana, kayu majegau dll.


Jenis-Jenis Api Dalam Upacara Yajna Agama Hindu 



Berdasarkan beberapa sastra ada beberapa jenis pembagian api dalam upacara yajna adalah sebagai berikut:


Api yang ada di dapur
Api yang ada pada diri manusia
Api yang ada pada Matahari


Dari semua jenis api diatas, memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia baik dalam keseharian, kehidupan social maupun budaya dan keagamaan. Dalam Kitab Sarasamuccaya: 59 dijelaskan tiga jenis api seperti berikut:


“---Taat mengadapan puja kepada tiga api suci, yang disebut Tryagni: yaitu tiga api suci, perinciannya adalah: ahawaniya, garhaspatya, dan citagni, ahawaniya artinya api tukang masak untuk memasak makanan, garhaspatya artinya api upacara perkawinan,itulah api yang dipakai saksi pada waktu perkawainan dilangsungkan, Citagni artinya api untuk membakar mayat, itulah yang disebut tiga api suci---“


Dari kutipan Kitab Sarasamuccaya: 59 dijelaskan tiga jenis api yang disebut Sang Hyang Tryagni diantaranya adalah sebagai berikut:

Ahawaniya, yaitu api yang dipergunakan untuk memasak
Garhaspatya adalah api upacara perkawinan
Citagni adalah api yang digunakan dalam upacara pembakaran mayat.

Tryagni diatas merupakan sarana yang sangat penting dalam upacara agama hindu sesuai dengan yajnanya yang dilaksanakan. Api dalam istila ajaran agama hindu juga disebut dengan Apuy, Agni, Wahni.



RELATED:
Makna dan Fungsi Bunga Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Macam-Macam Jenis Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Makna dan Fungsi Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Dikatakan juga bahwa api adalah sumber kehidupan dan kekuatan Brahma untuk menciptakan alam semesta dan isinya. Dalam Agastya Parwa, juga dijelaskan tentang pentingnya penggunaan Dhupa (api) dalam upacara yajna seperti:


“kita lihat orang kaya, keluarganya tidak kekuarangan suatu apa, sementara ia menikmati kebahagiannya dengan penuh kesenangan, maka ia pun di tawan orang, dirampas, dijual, dituduh berbuat dosa walaupun sesungguhnya ia tidak berdosa. Orang yang demikian di dunia, demikian tingkah lakunya dahulu gemar memuja Bhatara yang menyebabkan bhatara menjadi suka cita. Namun karenya pemujaanya itu dahulu tampa dilengkapi dengan dupa, maka usahanya itu kehilangan makna upacara agama, sebab tujuan adanya dupa itu adalah untuk menjaga pahala pemujaan itu kelak.”


Fungsi Api Dalam Upacara Yajna 


Selain uraian di atas berikut ada beberapa penjelasan tentang pentingnya api dalam dalam upacara yajna agama hindu. Aka diuraikan sebagai berikut:

Api sebagai pendeta pemimpin upacara (Pejelasan baca: Isa Upanisad. 18, Reg Veda Mandala I)
Api sebagai perantara pemuja dan yang dipuja (Penjelasan baca:Mds.I.23, Bhagavad Gita IV.24-25)
Api sebagai pembasmi segala kekotoran dan pengusir roh jahat (Penjelasan baca: Bhagavad Gita IX.26, Wedaparikrama: 102, Reg Veda Mandala I sukta sloka 5,7,10, Reg Veda Mandala I,12.5, Reg Veda Mandala I.12.7, Reg Veda Mandala I.12.10, Lontar Sundarigama,)
Api sebagai saksi upacara dalam kehidupan. (Penjelasan baca: Upadeca.7, Agama Hindu II, Gd. Pudja, M.A., S.H., 167-168)

Demikianlah uraian singkat tentang pentingnya api dalam upacara yajna. Sebenarnya sangat banyak sastra-sastra atau kita suci veda yang mengulas tentang pentingnya penggunaan api dalam upacara Yajna, tetapi dalam artikel ini hanya dijelaskan secara singkat.


Reff: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/arti-makna-fungsi-dan-jenis-jenis-api.html
Susila, I Nyoman, dkk. 2009. Materi Acara Agama Hindu. Jakarta: Depag RI Dirjen Bimas Hindu
Transkripsi Lontar Sundari Gama, UNHI Dempasar
Beberapa sumber kitab suci hindu seperti yang tertera di setiap sloka.

Makna Penggunaan Kajang Dalam Upacara Ngaben

 



Secara etimologi Kajang berasal dari bahasa Jawa Kuno yakni tirai atau tutup. Kajang pada umumnya terbuat dari kain putih yang memiliki ukuran kurang lebih satu setengah meter. Dalam tradisi Hindu khusunya di Bali, kajang ditulisi aksara Modre dan aksara Swalalita kemudian diletempatkan pada pelengkungan orang yang akan diaben. Kajang dalam tradisi Hindu Bali merupakan simbol (pengawak) dari badan rohani dan jasmani orang yang telah meninggal.




Foto: Nirmalajati
Rerajahan yang terdapat pada kain putih orang yang diaben melambangkan lapisan badan rohani dan atman. Sedangkan kain putih sendiri adalah lambang badan jasmani. Rejahan yang digunakan pada kain putih merupakan lambing dari dewa-dewa manifestasi Sang Hyang Widhi. Kajang pada umumnya dibuat dengan suatu upacara dan puja oleh pandita pemimpin upacara. Tahap pembuatan kajang, dari awal sampai melaspas menggunakan banten dan puja tertentu, hal ini dilakukan agar kajang yang dihasilkan bernilai sacral.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Aksara suci yang digunakan untuk merajah pada kain putih kajang adalah aksara suci yang disebut Dasaksara. Dasaksara merupakan lambing urip bhuwana simbol kemahakuasaan Tuhan. Lapisan-lapisan yang membungkus atman dilukiskan dalam kajang tersebut. Lontar Wrhaspati Tattva mengatakan badan manusia terdiri dari tiga badan yang disebut Tri Sarira yaitu Stula, Suksma dan anta karana Sarira. (Wiana. 2002.54)



Lain halnya dengan lontar Taittiriya Upanisad mengatakan bahwa badan manusia terdiri dari lima lapisan yang disebut Panca Maya Kosa. Adapun bagian-bagiannya adalah sebagai beriku: 

Anamaya Kosa adalah lapisan badan manusia yang berasal dari makanan.
Pranamaya Kosa yaitu lapisan tenaga.
Manomaya Kosa yaitu lapisan pikiran
Wijnanamaya Kosa yaitu lapisan kebijaksanaan
Anandamaya Kosa yaitu lapisan kebahagian


Lapisan-lapisan inilah yang kemudian digambarkan dengan kajang dalam upacara Ngaben. Pada umumnya lukisan aksara kajang berbeda-beda berdasarkan warna orang yang akan diaben. Misalnya untuk Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Alasan perbedaan tersebut di dasarkan pada Guna (bakat) dan karma (perbuatan/pekerjaan) dari masing-masing warna. Gina Karma dari Brahmana Warna sangat berbeda dengan Guna Karma dari Ksatrya Karma. Demikian Juga Guna Karma Waisya dan Sudra Warna. Masing-masing kajang juga berbeda. (Wiana. 2002.54)


Contohnya misalnya kajang Brahmana terdiri dri berbagai jenis misalnya, Kajang Brahmana Outus, Kajang Brahmana Utama, Brahmana Walaka. Kemudian Contoh Kajang Kesatrya adalah Kajang Kesatrya Utama, Kajang Kesatrya Anyakra Werti, Kajang Kesatrya Waisya Putus, Kajang Prasatria dan lain sebagainya.



Pada umumnya, kajang diberikan oleh Pandita yang menjadi Nabe atau Guru Kerohanian. Selain itu, kajang juga dapat diperoleh dari Pura Kawitanya dan dari keluarga dekat. Kajang merupakan badan pengganti dari atman yang sudah lepas dari badanya yang lama. Karena badan itu sangat penting sebagai kendaraan Atman menuju alam Niskala. Sebagai badan pengganti tentunya sangat diharapkan badan itu badan yang searah dengan sifat-sifat suci Atman. Dengan demikian antara wada dan isinya menyatu.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Kajang yang dibuat oleh Pandita diharapkan Kajang yang Suci, karena jika tidak justru akan menutup sinar suci Atman. Demikian juga Kajang Kawitan dan Kajang dari keluarga haruslah suci karena itu akan dijadikan wahana baru oleh Atman menghadap Sang Hyang Widhi. Kajang sebagai pelindung sang Pitara menuju alam niskala.


Cerita yang berkaitan dengan Makna Penggunaan Kajang dalam upacara Ngaben terdapat di dalam Kekawin Bharatayudha ketika Dewi Hidimbi memohon kepada Drupadi agar diberikan penutup diri agar di perjalanannya ke Swarga menemui leluhur tidak mendapat hambatan. Dikatakan Juga bahwa Kajang adalah anugra yang diberikan Batara Siva.



RELATED: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/makna-penggunaan-kajang-dalam-upacara.html
Makna dan Fungsi Bunga Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Macam-Macam Jenis Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Makna dan Fungsi Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Reff:
Wiana, I Ketut. 2002. Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita

Lontar BHUWANA KOSA

 


Adapun ajarannya dapat dijelaskan sebagai berikut : Tuhan dalam Bhuwana Kosa disebut Bhatāra Śiwa, yaitu :
Beliau Maha Esa, tanpa bentuk, tanpa warna, tak terpikirkan, tak tercampur, tak bergerak, tak terbatas dan sebagainya. 
Ia yang tak terbatas digambarkan secara terbatas, karena itu Ia sering disebut dengan nama yang berbeda, seperti : Brahma, Wisnu, Iswara / Rudra, sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Dalam Lontar Bhuwana Kosa ini Bhatāra Śiwa dijelaskan juga bersifat immanent dan transcendent.


Immanent, Ia meresapi segalanya, hadir pada segala termasuk meresap pada pikiran dan indriya (sira wyapaka).
Transcendent, Ia meliputi segalanya, tetapi Ia berada di luar batas pikiran dan indriya.
Meskipun Ia Immanent dan Transcendent pada semua makhluk, tetapi Ia tidak dapat dilihat dengan kasat mata, karena Ia bersifat sangat rahasia, abstrak. Karena kerahasiaannya Ia digambarkan bagaikan api dalam kayu, minyak dalam santan. Dan Ia ada dimana-mana, pada semua yang ada ini. 
Ia tidak tampak, 
tetapi Ia ada. 
Sungguh sangat rahasia adanya. Alam semesta (Bhuwana Agung) dengan segala isinya dan manusia adalah ciptaanNya juga.
Semua ciptaanNya itu merupakan wujud mayanya yang bersifat tidak kekal, karena dapat mengalami kehancuran dan pada saat mengalami kehancuran semua ciptaanNya itu akan kembali kepadaNya, karena Ia adalah asal dan tujuan.


Demikian juga disebutkan dalam beberapa petikan mantra dalam Tattwa III referensi Lontar Bhuwana Kosa yang sebagaimana dijelaskan Berkedudukan di alam Satya Loka, Bhatara Siva Maha gaib, tanpa awal, tanpa pertengahan, tanpa akhir, amat suci:
“Keadaan Sang Hyang Siva berada di hati semua mahluk, tanpa awal, tanpa pertengahan dan tanpa akhir, Keberadaan Beliau kekal berwujud seperti putaran air".
Berkedudukan di alam Tapa Loka, Beliau Bhatara Siwa menguasai semua pengetahuan dan  selalu terhindar dari ketuaan dan kematian.

Rabu, 09 September 2020

Lowongan Kerja Online Freelance tanpa syarat pendidikan




ini adalah pekerjaan freelance untuk kalian yg lagi butuh banget penghasilan. Kenapa hanya untuk orang yg butuh banget penghasilan? Karena pekerjaan yg satu ini penghasilannya ga besar,  sekitar $0,5 sampai $1,5 per jam. Jadi memang sebaiknya untuk orang yg sangat membutuhkan penghasilan. Bisa dapat lebih tinggi dari itu jika akurasi, kecepatan, dan jumlah jam kerjanya tinggi. Semakin banyak jam kerja kalian, semakin tinggi bayaran per jamnya. Begitu pula dengan akurasi dan kecepatan.

Pekerjaannya seputar annotation, terbagi menjadi 2: 2D annotation dan 3D annotation. Singkatnya, ada gambar 2D atau 3D yg harus kalian anotasi untuk menunjukkan objek apa saja yg ada di gambar itu. Yg 2D annotation lebih mudah tapi bayarannya lebih rendah dan spek komputer bisa lebih rendah juga. Kalau 3D annotation, lebih kompleks dan butuh spek yg lebih tinggi (ga bisa spek kentang), tapi bayarannya juga lebih tinggi. saya sarankan pake Microsoft Edge yg paling ringan.

Hasil dari pekerjaan kalian akan digunakan untuk berbagai macam teknologi salah satunya robotik. pernah dengar ada mobil yg bisa jalan sendiri tanpa supir? nah data-data perkerjaan kalian akan digunakan untuk mengembangkan teknologi itu. dari situlah kalian mendapatkan upah.

Sebelum kalian mulai kerja tentu saja kalian harus melewati tahapan training dulu. Setiap project trainingnya beda. Tapi trainingnya tidak lama. Paling 2-3 hari udah selesai kalau dikerjain full.

jam kerjanya bebas kalian bisa ambil berapapun atau kapanpun tidak ada jam kerja tapi setiap tugas harus diselesaikan kurang dari 2 hari karena jika lewat mala perkerjaan dianggap hangus dan akan diserahkan ke orang lain dan kalian harus mulai pekerjaan lainnya dari awal.

Upah dikirim via Paypal setiap minggu sekitar hari kamis.

PERINGATAN !! SEMUA KETERANGAN MENGGUNAKAN BAHASA INGGRIS

Rabu, 26 Agustus 2020

Kembali Mulat Sarira

https://phdi.or.id/images/artikel/

Sarira itu tubuh. Kata ‘mulat’ dalam bahasa Kawi berarti melihat. Jadi, ‘kembali mulat sarira’ ialah kembali melihat tubuh. Jargon ‘mulat sarira’ seringkali disinonimkan dengan ‘introspeksi diri’. Tubuh dan diri seringkali diperlakukan sama, padahal sekaligus berbeda. Masalahnya adalah bagaimana menyamakan sekaligus membedakan keduanya.
Oleh karena bertubuh maka mampu berdiri. Ia yang terampil menubuh disebut mandiri. Jadi, tubuh adalah sebab, diri adalah akibat. Menubuh atau bersetubuh itu luar biasa nikmatnya, karena di situ ada segala rasa, campuhan rasa. Teks-teks tattwa kuno juga berkata demikian. Semisal, ketika berkendara, terjadi persetubuhan antara pengendara dengan kendaraan. Begitu nikmatnya berkendara hingga disebut lupa diri sedang berkendara, seperti dalam kalimat, “Saya ngebut tadi lho!” Tidak ada jarak antara pengendara dengan motornya. Dalam posisi itu, kata ‘saya’ berarti diri dan tubuh. Berbeda halnya jika, “Saya berkendara ngebut tadi lho!”, tapi kalimat ini terlalu kaku diujarkan.
Keadaan ini disebut pengalaman estetis yang berpuncak pada peristiwa ekstase, lango, lupa diri. Keadaan ini mirip seperti yang digambarkan Claire Holt (2000:122) sebagai “ketiadaan yang terkonsentrasi, seperti tidak yang dikejar para seniman, yang kemudian diekspresikan dalam suatu ciptaan, karya (struktur). Jadi, menubuh atau bersetubuh adalah sebab kehadiran sesuatu, lingga harus menubuh dalam yoni dalam lupa untuk menghadirkan suatu ciptaan.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI
Kemudian, pembedaan atau penjarakan diri dengan (tubuh) kendaraan terjadi ketika kendaraan mengalami masalah, misalnya, “Motor saya bannya pecah”. Begitu juga dengan tubuh, “Tangan saya kotor”; “Tangan saya sakit terkena pisau”; “Kaki saya patah”. Artinya, tubuh hanya diberi kesempatan memperlihatkan dirinya secara subjektif ketika ia mengalami masalah, itupun dengan tetap dikontrol pronomina posesif saya’, tetapi sudah membedakan. Alain Badiou (2018) menyatakan, “Kalau kamu ingin hidupmu punya makna, kamu harus tetap berada dalam suatu jarak dari kekuasaan.” Artinya, dalam situasi keberjarakan atau perbedaan itulah dimungkinkan terjadinya pemaknaan. Inilah yang disebut fase etis yang memungkinkan momen' untuk memilih, ingat dengan kebertubuhan, lalu melakukan sesuatu seperti, membiarkan atau membersihkan dan mengobati tubuh itu.
Dengan demikian, diri harus berjarak dengan tubuh untuk memberinya peluang subjektif secara kebahasaan. Lalu, bagaimana mungkin terdapat dua subjek? Artinya, ketika dua subjek terbentuk, terdapat peluang saling mengobjekkan satu sama lain, saling melihat satu sama lain, saling mengadakan. Sehingga, dengan begitu terdapat bahasa, “Itu adalah aku.” Karena sejatinya diri bersifat subjektif, maka tugas berat yang harus dilakukan adalah meletakkan diri pada posisi objek. Dengan mengobjekkan diri, dimungkinkan peristiwa diri menguasai diri, memerintah diri, mengkritik diri, bahkan membunuh diri.


Cara tradisional untuk mengobjekkan diri atau paling tidak dapat dikatakan sebagai suatu cara latihan pengobjekan adalah dengan mewujudkan diri menjadi suatu objek di luar diri, yang seringkali disebut ‘simbolisasi’ atau ‘pangawak’. Para kawi mewujudkan diri dalam sastra adiluhung seringkali dengan nama samaran sebagai penanda “bunuh diri’’ secara puitis. Para anak muda mengekspresikannya dalam wujud ‘ogoh-ogoh’. Analogi ini juga mengisyaratkan bahwa kata ‘mulat’ juga identik dengan kata bahasa Bali ‘(ma)ulat’, menjalin ikat. Mudahnya, ogoh-ogoh tidak ubahnya salah satu pemurtian diri dengan cara mulat, refleksi lihat saja wajah dan bentuk ogoh-ogoh seringkali mirip pembuatnya-umumnya berbentuk demonik.
Posisi subjek tidak pemah bisa dilepaskan dari suatu pengobjekan; diri sebagai subjek melihat diri sebagai objek yang sekaligus subjek yang juga mengobjekkan dengan memakai kata ganti orang ketiga, “ia melakukan sesuatu terhadap sesuatu”. Cara mengobjekkan diri paling mudah selanjutnya adalah dengan bercermin. Dengan bercermin, kita melihat bayangan diri dan bentuk tubuh. Bayangan di cermin itu disebut refleksi. Tentu saja, refleksi pada cermin bersifat terbalik antara kiri-kanan dan menampilkan satu sisi saja. Untung saja tidak membalik antara atas dan bawah, tetapi paling tidak sudah mampu melihat diri.
Namun, semakin jauh dari cermin diri terlihat makin kecil, namun makin utuh. Mirip dengan selfie atau swafoto dan swavideo. Selanjutnya, cara lain adalah dengan mengandalkan logika, perbandingan, dan kata para nabi. Sekali lagi, itu juga terbatas.

Dagang Banten Bali




Cara yang paling sulit adalah dengan menutup mata (baca: indera) dan membayangkan diri dalam meditasi. Mata terpejam artinya menarik diri dari luar dan memungkinkan imajinasi. Agama menyarankan, ketika menutup mata imajinasikanlah Tuhan, penguasa jagat raya, dewa idola, istadewata. Apakah lalu kita mengobjekkan Tuhan? Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak. Iya, ketika posisi kesadaran memuja, “Aku memuja Tuhan”. Tidak, ketika dalam posisi mensubjekkan, “Tuhan datang dan memberkatiku.” Juga tanpa keduanya, posisi setara, “aku adalah Tuhan, Tuhan adalah aku”.
Situasi mata terpejam hampir sama dengan sedang tidur lalu bermimpi. Di dalam mimpi kita bisa melihat diri sedang melakukan apa terhadap apa. Namun, kata ‘mimpi’ selalu diidentikkan dengan keadaan bawah sadar atau ketidaksadaran. Padahal, menurut Freud, dalam mimpilah pengalaman melihat diri yang sejak lama direpresi oleh kesadaran. Dalam mimpi juga, diri sejati dapat dialami, diri yang melihat diri yang jujur atau tanpa represi.
Setelah itu, apakah kita terus-menerus memejamkan mata dalam meditasi atau bermimpi agar dapat melihat diri yang jujur? Dalam meditasi ternyata ada jebakan ‘lupa diri’ tadi, lupa makan, lupa minum, lupa mendunia, lupa daratan, dan tentu saja lupa sedang menjadi manusia. Di situlah jargon mulat sarira memegang posisi kunci sebagai epistemologi Bali; tubuh sebagai gudang pengetahuan. Mulat sarira juga kritik terhadap doktrin pencerahan, cogito ergo sum, akal sebagai pusat pengetahuan yang mengesampingkan tubuh.
Mulat sarira memungkinkan terkikisnya jarak antara mata terpejam dan terbuka, setengah terbuka setengah terpejam; mengecilnya jarak mimpi dan realitas; jarak tidur dan sadar; jarak ketidaksadaran dengan kesadaran menipis. Semakin menipis lalu manunggal. Itulah klimaks, segala objek yang diwujudkan, diimajinasikan, “dibunuh” secara religius, termasuk diri yang lain dan Tuhan yang diobjekkan, ogoh-ogoh pun dibakar. Yang tinggal hanya diri se-ati, diri yang jujur, diri yang sepi, diri yang religius. Diri kembali kepada tubuh, menyatu bersatu padu tanpa sekat dalam mulat sarira dan manusia kembali pada kemanusiaannya.
Oleh: W.A. Sindhu Gitananda
Source: Majalah Wartam Edisi 48 l Februari 2019

Mengembangkan Disiplin Kepemimpinan Spiritual Melalui Bhagavad Gita


(Foto: Ketua Umum Pengurus Harian PHDI Pusat Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya (tengah baju putih) berfoto bersama dengan peserta Gita Camp On Leadership)
Cibubur - Dalam rangka merayakan hari disabdakannya Bhagavad Gita ke dunia ini, panitia Gita Jayanti Nasional 2017 menyelenggarakan Gita Camp On Leadership di Buperta, Cibubur, pada tanggal 7–8 Oktober 2017.
Menurut Ketua Pelaksana, Yadu Nandana, Gita Camp On Leadership merupakan salah satu rangkaian kegiatan Gita Jayanti Nasional tahun 2017 yang puncak kegiatannya akan dilaksanakan pada bulan Desember mendatang. Kegiatan ini sebagai ajang pendidikan karakter kepemimpinan bagi pemuda-pemudi Hindu berdasarkan Kitab Bhagavad Gita. “Acara ini adalah untuk membentuk karakter pemimpin bagi pemuda-pemudi Hindu dan juga untuk memperdalam ajaran kitab Bhagavad Gita, sebagai salah satu kitab suci umat Hindu” ujarnya.
Yadu Nandana mengatakan, kegiatan Gita Camp on Leadership diikuti kurang lebih 300 orang peserta yang merupakan pemuda–pemudi dari 11 provinsi di Indonesia. “Ada dari Bali, Palembang, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan DI Yogyakarta,” jelasnya. Sebagai awal dari rangkaian acara Gita Camp on Leadership ini dilakukan Gita Puja yaitu Pemujaan kepada kitab Bhagavad Gita dan juga pelafalan mantra–mantra Veda guna memohon karunia dari Hyang Widhi Wasa.

Dagang Banten Bali



Acara Gita Camp on Leadership dibuka secara resmi oleh Dirjen Bimas Hindu, Prof. Drs. I Ketut Widnya. M.A., M.Phil., Ph.D. sekaligus sebagi pemateri pada sesi pertama bersama KRT Gaura Mancacaritadipura, Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Pada sesi pertama dibahas materi mengenai “Spiritual Awarness – Kesadaran Atman” yang dimoderatori I Wayan Kantun, S.Ag, M.Fil.H.


Sementara Pada sesi kedua diisi Ketua Umum Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat, Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya yang membahas mengenai “Mengambil Tanggung Jawab Dharma”.
Total ada lima sesi pada hari pertama. Pokok pembahasan lainnya yang dibahas pada hari pertama adalah “Pengendalian Diri & Karakter Sattvika” yang dibawakan KRT Gaura Mancacaritadipura dan “Kerjasama & Saling Ketergantuangan” yang dibawakan I Wayan Kantun, S.Ag, M.Fil.H.
Pada malam harinya, terdapat satu sesi special tentang berbagi pengalaman dan juga penerapan Bhagavad Gita dalam kehidupan sehari-hari oleh KRT Gaura Mancacaritadipura, yang mana beliau ini sebelumnya adalah warga negara Australia yang kini telah menjadi warga negara Indonesia dan memeluk Hindu secara taat yang awalnya didasari oleh Bhagavad Gita. Acara pada hari pertama ditutup dengan pelaksanaan Agni Hotra Yadnya dan juga pembacaan Bhagavad Gita.
Keesokkan harinya, para peserta mengikuti kegiatan Yoga. Adapun kegiatan Yoga ini dimulai dari subuh pada saat brahma muhurta, yang mana dikatakan bahwa pada saat inilah kondisi Sattvika (kebaikan) berada. Persembahyangan Tri Sandya dan kegiatan yoga ini dibimbing oleh Yayasan Anand Krishna dan STAH Dharma Nusantara Jakarta.
Setelah pelaksanaan yoga, para peserta mengikuti outbond dan juga games yang bertujuan untuk melatih kedisiplinan dan juga pembentukan kerjasama antar pemuda-pemudi Hindu. Games bernama “Reinkarnasi” ini dibawakan I Nyoman Lasya yang berasal dari kesatuan Koppasus. Para peserta mengikuti games ini dengan sangat antusias dan penuh dengan kegembiraan.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Selanjutnya pemaparan materi “Swadarma Membela Negara” diisi Rektor Universitas Pertahanan, Letjen TNI Dr. (Cand) I Wayan Midhio M.Phil. “Generasi muda seperti para peserta Gita Camp on Leadership harus menjadi pemimpin yang selalu berada dalam jalan Dharma, sesuai dengan ajaran Bhagavad Gita” ujarnya.
Sesi terakhir mengambil tema “Menjadi Pemimpin Muda Dharma” dikemas dalam acara Talk Show yang dibawakan tokoh-tokoh muda Hindu yang berprestasi dibidangnya, yaitu Dr. I Nyoman Marpa, S.E., M.BA., M.M., Agung Wiradana (Golden Memories Indosiar), KS. Arsana, S.Psi dan Drs. I Ketut Ardana, M.Pd dan dimoderatori Pande Kadek Yuda Bakti selaku ketua panitia Gita Jayanti Nasional 2017.
Kegiatan Gita Camp on Leadership diselenggarakan Panitia Gita Jayanti Nasional 2017 (Perkumpulan ISKCON) dan didukung Kementerian Agama RI, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) dan organisasi-organisasi Hindu Nasional lainnya.
Oleh: admin
Source: Press Release dari Panitia Pelaksana