Rabu, 26 Agustus 2020

Tradisi Upacara Neteg Pulu


Neteg = Enteg = Mantap
Memantapkan Pernikahan dan kehidupan Rumah Tangga
Ada yang unik dalam Upacara Nganten Neteg Pulu atau Melepeh. Karena tidak semua masyarakat Bali melaksanakan upacara ini. Tapi bagi kami di Desa Bualu, Nusa Dua upacara ini merupakan hal yang biasa walaupun tidak semua Orang melaksakannya. Sebutan lain untuk Neteg Pulu ada bermacam macam seperti Melepeh. Di Desa Bugbug Karangasem disebut dengan Mesih.

Image by: Kompas Life Style

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Upacara dan Upakara Nganten Neteg Pulu lebih besar dari Ngaten Biasa, begitu juga dengan Pemimpin Upacara yang muput.
Sebenarnya upacara Nganten Neteg Pulu atau Melepeh adalah tahapan dari upacara perkawinan. Karena pada dasarnya
Tata pelaksanaan upacara perkawinan memiliki empat tahapan yaitu:
1. Upacara Mekala kalaan
2. Upacacara Mejaya-Jaya
3. Pewarangan atau Mejauman
4. Melepeh atau Neteg Pulu
Melepeh atau neteg pulu adalah merupakan runtutan upacara perkawinan, namun kenyataan yang berlaku di masyarakat, jarang sekali upacara melepeh ini dilaksanakan pada waktu upacara perkawinan tetapi kebanyakan upacara melepeh atau neteg pulu ini mencari hari tersendiri, kadang-kadang setelah umur lanjut baru dilaksanakan. Sehingga ada ungkapan
” Menikah yang Kedua ” atau
….. I Meme jak I Bapa Nganten atau I Pekak jak I Dadong Nganten …..
Neteg Pulu bisa juga dilakukan secara masal. Tapi sebenarnya Nganten Neteg Pulu bisa dilakukan saat Pasangan Suami Istri baru menikah atau flexibel masalah waktu pelaksanaannya
Semoga pernikahan langgeng.
Artikel diolah dari berbagai sumber.

Memahami Sanggah Kamulan

Dagang Banten Bali

Sanggah Kamulan adalah tempat pemujaan asal atau sumber, Hyang Kamulan atau Hyang Kamimitan. Kamimitan berasal dari kawa Wit, (huruf m adalah sekeluarga huruf W). Kamimitan adalah lain ucapan dari kata kawiwitan, berasal dari kata wit, yang berarti asal atau sumber pula. Dengan pengertian ini sebenarnya kita sudah dapat menarik atau menyimpulkan bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan itu tidak lain yang merupakan sumber atau asal dari mana manusia itu ada.
Dalam lontar Sivagama kita jumpai suatu uraian tentang pendirian Hyang Kamulan. Kutipannya sebagai berikut;
“bhagawan manohari, Sivapaksa sira, kinwa kinon de Sri Gondarapati, umaryanang sadhayangan, manista madya motama, mamarirta swadarmaning wong kabeh. Lyan swadadyaning wang saduluking wang kawan dasa kinon magawe pangtikrama. Wwang setengah bhaga rwang puluhing saduluk, sanggarpratiwi wangunen ika mwang kamulan panunggalanya sowing”
Artinya: Bhagawan Manohari pengikut Siva, beliau disuruh oleh Sri Gondarapati, untuk membangun Sad Khayangan Kecil,  sedang maupun besar. Yang merupakan beban kewajiban orang semua. Lain kewajiban sekelompok orang untuk empat pulih keluarga harus membangun panti. Adapun setengah bagian dari itu yakni 20 keluarga, harus membangun ibu. Kecilnya 10 keluarga pratiwi harus dibangun, dan kamulan satu-satunya tempat pemujaan (yang harus dibangun) pada masing-masing pekarangan.
Dengan kutipan di atas jelaslah bagi kita, bahwa setiap keluarga yang menempati karang perumahan tersendiri wajib membangun Sanggah Kamulan. Jadi lontar Sivagama inilah yang merupakan dasar hukum bagi pendirian Sanggah Kamulan.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI
Hyang Kamulan adalah Sanghyang Triatma. Kamulan atau kawitan adalah merupakan sumber atau asalnya manusia. Lalu siapakah yang dimaksud sumber atau asal itu? Siapakah yang menyebabkan adanya manusia atau jatma itu? Manusia umumnya dalam bahasa Bali halus disebut “jatma” yang berasal dari akar kata Ja, yang artinya lahir, dan atma berarti roh.  Jadi jatma berarti roh yang lahir. Dengan ungkapan itu maka sesungguhnya manusia ada karena adanya atma yang lahir, dengan demikian atmalah yang menjadi sumber adanya manusia itu sesungguhnya.
Hal ini akan sesuai benar dengan pernyataan lontar-lontar Gong Wesi, Usana Dewa, tattwa kepatian dan Purwa bhumi kamulan. Lontar-lontar tersebut menyebutkan bahwa yang bersthana pada Sanggah Kamulan adalah Sanghyang Triatma atau tiga aspek dari atma itu sendiri.
Dalam lontar Usana Dewa disebutkan :
ring kamulan ngaran ida sang hyang atma, ring kamulan tengen bapa ngaran sang paratma, ring kamulan kiwa ibu ngaran sang sivatma,ring kamulan tengah ngaran raganya, tu brahma dadi meme bapa, meraga sang hyang tuduh.
Artinya:
Pada sanggah Kamulan beliau bergelar Sang Hyang Atma, pada ruang kamulan kanan ayah, namanya Sang Hyang Paratma. Pada kamulan kiri ibu, disebut Sivatma. Pada kamulan ruang tengah diri-Nya, itu Brahma, menjadi purusa pradana, berwujud Sang Hyang Tuduh (Tuhan yang menakdirkan).
Demikian juga lontar Gong Wesi, kita jumpai kutipan yang hampir sama dengan yang tersurat pada Usana Dewa.
Kutipannya adalah sebagai berikut :
ngaran ira sang atma ring kamulan tengen bapanta, nga, sang paratma, ring kamulan kiwa ibunta, nga, sang sivatma, ring kamulan madya raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi sanghyang tunggal, nungalang raga (Lontar Gong Wesi, lembar 4b).
Artinya : nama beliau sang atma, pada ruang kamulan kanan bapakmu, yaitu Sang Paratma, pada ruang kamulan kiri ibumu, yaitu Sang Sivatma, pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi Sanghyang Tunggal menyatukan wujud
Dari dua kutipan lontar di atas jelaslah bagi kita, bahwa yang bersthana pada sanggah kamulan itu adalah Sanghyang Triatma, yaitu; Paratma yang diidentikkan sebagai ayah (purusa), Sang Sivatma yang diidentikkan Ibu (predana) dan Sang Atma yang diidentikkan sebagai diri sendiri (roh individu). Yang hakekatnya Sanghyang Triatma itu tidak lain dari pada Brahma atau Hyang Tunggal/ Hyang Tuduh sebagai pencipta (upti).
Hyang Kamulan adalah Roh suci Leluhur
Dalam lontar Purwa Bhumi Kamulan disebutkan bahwa atma yang telah disucikan yang disebut Dewapitara, juga disthanakan di sanggah kamulan, seperti disebutkan :
riwus mangkana daksina pangadegan Sang Dewa Pitara, tinuntun akena maring sanggah kamulan, yan lanang unggahakena ring tengen, yan wadon unggahakena maring kiwa, irika mapisan lawan dewa hyangnya nguni (Purwa Bhumi kamulan, lembar: #).
Artinya: Setelah demikian daksina perwujudan roh suci dituntun pada Sang Hyang Kamulan, kalau bekas roh itu laki naikkan pada ruang kanan, kalau roh suci itu bekas perempuan dinaikkan di sebelah kiri, disana menyatu dengan leluhurnya terdahulu.
Dalam lontar Tatwa Kapatian disebutkan bahwa Sang Hyang atma (roh) setelah mengalami proses upacara akan bersthana pada sanggah kamulan sesuai dengan kadar kesucian atma itu sendiri. Atma yang masih belum suci, yang hanya baru mendapat “tirtha pangentas pendem” atau upacara sementara (ngurug) juga dapat tempat pada Sanggah Kamulan sampai tingkat “batur kamulan”, seperti disebutkan :
Mwah tingkahing wong mati mapendem, wenang mapangentas wau mapendem, phalanya polih lungguh Sang Atma munggwing batur kamulan (Rontal Tattwa Kapatian, 1a. 1b).
Artinya: Dan prihalnya orang mati yang ditanam, harus memakai tirtha pangentas baru diurug, hasilnya mendapatkan tempat Sang Atma pada Batur Kamulan
Dari kutipan-kutipan di atas jelaslah bagi kita bahwa Hyang Kamulan yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah juga roh suci leluhur, roh suci Ibu dan Bapak ke atas yang merupakan leluhur lencang umat yang telah menyatu dengan Sang Penciptanya, yang dalam lontar Gong Wesi/ Usana Dewa sebagai Hyang Tuduh atau Brahma, yang merupakan asal muasal adanya manusia di dunia ini.
Hyang Tri Murti Dewanya Sanghyang Tri Atma
Kalau kita renungkan lebih mendalam, tentang Sanghyang Tri Atma seperti disebutkan pada Gong Wesi dan Usana Dewa, maka pengertian Hyang Kamulan sesungguhnya akan lebih tinggi lagi. Karena telah disebutkan bahwa Penyatuan Sanghyang Tri Atma adalah Hyang Tuduh/Tunggal yang menjadi Brahma sebagai Sang Pencipta.
Di samping itu, ketiga tingkatan Sanghyang Tri Atma itu juga ditinjau dari segi filsafat Siwa Tattwa, maka “atma” adalah yang menjadikan hidup pada mahkluk. Sivatma adalah sumber atma di alam nyata (sekala) ini. Sedangkan Paratma adalah sumber atma (roh) di alam niskala. Ia adalah atma tertinggi. Ia adalah Tuhan menurut sistim yoga. Ia adalah identik dengan Paramasiva dalam Siva Tattwa. Dalam sistim wedanta ia adalah Tuhan Nirguna Brahma.
Dalam mantram “Sapta Omkaratma” disebutkan yang dimaksud dengan Tri Atma, adalah: Am, Atma dewanya Brahma, Antara atma dewanya Wisnu, dengan wijaksaranya Um, dan Paramatma dewanya adalah Iswara dengan wijaksaranya Mang. Ketiga dewa tersebut dalam sekte Siwa Sidhanta umum disebut Tri Murti. Ketiga dewa tersebut adalah merupakan roh alam semesta. Sebagai roh (atma) alam semesta ia adalah juga bergelar Tri Purusa atau Trilingga.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
Sesungguhnya yang merupakan jiwa (atma) atau roh dari jagat kita ini termasuk mahkluk hidup utamanya manusia adalah beliau yang bergelar Tri Murti., Tri Purusa dengan wujud Trilingganya. Sebagai roh (atma) dengan sendirinya beliau itu adalah Ida Hyang Widhi, yang didalam penunggalan-Nya adalah Ida Hyang Widhi, yang di dalam lontar Usana Dewa dan Gong Wesi disebut Hyang Tuduh/ Tunggal atau Brahma sebagai pencipta alam dengan isinya termasuk manusia.
Siwa adalah Tuhan dalam dimensi imanen. Sadasiwa adalah Tuhan dalam dimensi sakala-niskala, sedangkan Paramasiwa adalah Tuhan dalam dimensi niskala.
Siwa dalam ketiga wujud di atas, dalam lontar Siwagama digelari Batara Guru, karena beliau (Siwa) menjadi “Dang Guru ing Iswara” di jagat kita ini. Konon gelar Batara Guru dihaturkan oleh murid Beliau terpandai yakni Dewa Surya, setelah Dewa Surya dianugerahi gelar Siwa Raditya oleh Siwa sendiri sebagai Dang Guru .
Oleh karena Siwa beraspek tiga, sebagai Tri purusa maka Guru pun ada tiga aspek pula, yakni Guru Purwam, Guru Madyam, Guru Rupam. Guru purwam, guru dalam dimensi niskala, Guru Madyam, guru dalam dimensi sakala-niskala, sedangkan Guru Rupam, adalah guru dalam dimensi sakala. Tri Guru, dalam mantram “ngaturang bakti ring kawitan” juga merupakan objek yang dipuja, seperti dinyatakan :
Om Guru Dewa Guru Rupam
Guru Madyam Guru Purwam
Guru Pantaram dewam
Guru Dewa Sudha nityam
Artinya: Om Guru Dewa, yaitu Guru Rupam (sakala), Guru Madya (sakala-niskala) dan Guru Purwa (niskala) adalah guru para dewa. Dewa Guru Suci selalu
Jadi melihat uraian dan kutipan mantra di atas, jelaslah bagi kita bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan pada hakekatnya adalah Tuhan/ Hyang Widhi, baik sebagai Hyang Tri Atma, yang sebagai roh (atma) alam semesta dengan isinya (jagat) yang dewanya adalah Brahma, Wisnu dan Iswara, yang merupakan aspek Tuhan dalam bentuk horizontal dan Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa, aspek Tuhan dalam bentuk vertikal (Tri Purusa). Sebagai Tri Purusa beliau juga disebut Guru Tiga. Oleh karenanya umum juga menyebutkan bahwa Sanggah Kemulan “sthana” Bhatara Guru/Hyang Guru.
Dengan demikian pengertian Kamulan atau Kawitan sesungguhnya mengandung pengertian yang sangat tinggi, yang merupakan asal muasal manusia yang tidak lain dari Ida Sang Hyang Widhi sendiri dengan semua manifestasinya.
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar

Fungsi Sanggah Kamulan

Setelah mengerti dan memahami Sanggah Kemulan, bagaimana sejarahnya dan apa saja yang dipuja pada sanggah kemulan pada artikel kali ini kita akan memahami fungsi sanggah kemulan
merajan
Photo: Koleksi pribadi. Merajan di Belitang II OKU TIMUR
  1. Tempat Pemujaan Ida Hyang Widdhi
    Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa pengertian Hyang Kamulan, adalah Sanghyang Tri Atma yang panunggalannya adalah Hyang Tuduh atau Hyang Tunggal. Sanghyang Tri Atma yakni : Atma, Sivatma dan Paratma adalah Tuhan, dalam manifestasinya sebagai Roh. Menurut sistim Yoga, Ia adalah identik dengan Tri Purusa (Siva, Sadasiva dan Paramasiva) menurut filsafat Siva Sidhanta dan sesuai pula dengan Brahma, Visnu, Isvara. Ia juga sesuai dengan fungsi Siva sebagai Guru. Oleh karenanya Hyang Kamulan adalah juga Bhatara Guru, yang berdimensi tiga pula, yaitu Guru Purwam (Paramasiva), Guru Madyam (Sadasiva) dan Guru Rupam (Siva). Jadi dengan demikian sesungguhnya yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah Ida Hyang Widhi dalam wujud sebagai Sanghyang Tri Atma, Sanghyang Tri Purusa (Bhatara Guru) dan Sanghyang Tri Murti.
  2. Tempat Memuja Leluhur
    Dalam lontar Purwabhumi kamulan dinyatakan bahwa Sanggah Kamulan adalah tempat Ngunggahang Dewapitara,
    ti kramaning anggunggahaken pitra ring kamulan (Rontal Purwabhumi Kamulan, lembar 53).
    Ngunggahang Dewapitara pada kamulan dimaksudkan adalah untuk “melinggihkan” atau mensthanakan” dewa pitara itu.


Yang dimaksud dengan dewa pitara adalah : roh leluhur yang telah suci, yang disucikan melalui proses upacara Pitra Yadnya, baik Sawa Wedana maupun Atma Wedana.
Ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan adalah mengandung maksud mempersatukan dewa pitara (roh leluhur yang sudah suci) kepada sumbernya (Hyang Kamulan). Kalimat “irika mapisan lawan dewa Hyangnia nguni” mengandung pengertian bersatunya atma yang telah suci dengan sumbernya, yakni Sivatma (ibunta) dan Paratma (ayahta). Hal ini merupakan realisasi dari tujuan akhir Agama Hindu yakni mencapai moksa (penyatuan Atma dengan paratma).
Dari segi susila (aspek etika) ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan, adalah bermaksud mengabdikan/melinggihkan roh leluhur yang telah suci pada Sanggah Kamulan untuk selalu akan dipuja, mohon doa restu dan perlindungan.

Dagang Banten Bali

Atma yang dapat diunggahkan pada Sanggah Kamulan adalah Atma yang telah disucikan melalui proses upacara Nyekah atau mamukur seperti dinyatakan dalam rontal :
iti kramaning ngunggahakan pitra ring kamulan, ring wusing anyekah kurung muah mamukur, ri tutug rwa wales, dinanya, sawulan pitung dinanya
Artinya: Ini perihalnya menaikkan dewa pitara pada Kamulan, setelah upacara nyekah atau mamukur, pada dua belas harinya, atau 42 harinya
Jadi upacara ngalinggihang Dewapitara adalah merupakan kelanjutan dari upacara nyekah atau mamukur itu. Tetapi karena pitara sudah mencapai tingkatan dewa, sehingga disebut Dewapitara, maka upacara ini tidak tergolong pitra yadnya lagi, melainkan tergolong Dewayadnya. Dari uraian di atas itu, jelaslah bagi kita, bahwa Sanggah Kamulan disamping untuk memuja Hyang Widhi, juga tempat memuja roh suci leluhur yang telah menunggal dengan sumbernya (Hyang Kamulan, atau Hyang Widdhi).

Mengenal Fungsi Taksu

Dagang Banten Bali


Pada areal Sanggah Kamulan, ada sebuah pelinggih yang penting lagi disebut “Taksu”. Kata taksu sudah merupakan bahasa baku dalam kosa kata Bali, yang dapat diartikan sebagai daya magis yang menjadikan keberhasilan dalam segala aspek kerja, misalnya para seniman, seperti pragina, balian, dalang dan lain-lain, yang berhasil disebut “mataksu”.
Dan dalam ajaran Tantrayana, taksu itu bisa diartikan sama dengan “sakti” atau “Wisesa”. Dan yang dimaksud dengan sakti itu adalah simbul dari pada “bala” atau kekuatan. Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energi atau “kala”.
Dalam Tattwa, daya atau sakti itu tergolong “Maya Tattwa”. Energi dalam bahasa Sanskrit disebut “prana” adalah bentuk ciptaan yang pertama dari Brahman. Dengan mempergunakan “prana” barulah muncul ciptaan berikutnya (Panca mahabhuta). Dengan digerakkan oleh “prana” kemudian terciptalah alam semesta termasuk mahluk isinya secara evolusi. Tuhan Nirguna Brahma atau Paramasiva dalam sistem Siva Tattwa, memanfaatkan energi atau sakti itu, sehingga Ia menjadi Maha Kuasa, memiliki Cadu Sakti dengan asta Aisvaryanya. Dalam keadaan yang demikian itu, Ia adalah Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur, yang dalam Wrhaspati Tattwa disebut Sadasiva Tattwa dan di dalam Filsafat Vedanta Ia disebut “Saguna Brahma”.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
Menyimak dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kalau Purusa (Sanghyang Tri Purusa) dang Sanghyang Tri Atma kita puja melalui palinggih kamulan, maka Sakti atau Mayanya dipuja melalui “Taksu”. Dalam upacara “nyekah” disamping adanya “sekah” sebagai perwujudan Atma yang akan disucikan, juga kita mengenal adanya “Sangge”. Menurut penjelasan  Ida Pedanda Putra Manuaba (almarhum). Sangge itu adalah simbul dari “Dewi Mayasih”. Siapakah Dewi Mayasih itu? Bukankah ia mewakili unsur “Maya Tattwa” (pradana atau sakti) itu? Yang juga bersama-sama Atma, dalam upacara Nyekah ikut disucikan. Dalam ajaran “kandapat” kita mengenal adanya saudara empat, yang mana setelah melalui proses penyucian saudara empat itu dikenal dengan sebutan: Ratu Wayan Yangkeb Langit, Ratu Ngurah Teba, Ratu Gede Jalawung, Ratu Nyoman Sakti Pangadangan. Ratu Nyoman Sakti Pangandangan itulah dianggap dewaning taksu .
Kemungkinan dalam upacara Ngunggahang Dewapitara, unsur maya (sakti)nya yang telah ikut disucikan juga disthnakan pada palinggih taksu. Disinilah unsur sakti dari atma individu “menyatu dengan unsur sakti” dari Hyang Tripurusa, dan Atma itu sendiri menyatu dengan Hyang Tripurusa, pada Kamulan itu. Sehingga dengan demikian utuhlah pemujaan pada Sanggah Kamulan, adalah pemujaan Tuhan Tripurusa, dengan sakti (maya)nya.
Khusus palinggih Taksu, adalah berfungsi untuk memohon “kesidhian” atau keberhasilan untuk semua jenis profesi seperti seniman, pedagang, petani, pemimpin masyarakat dan sebagainya.

Makna dan Cara Mabija Yang Benar

Tahap terakhir persembahyang selain nunas tirtha kita juga nunas bija (mebija atau mewija). Bija atau wija didalam bahasa Sansekerta disebut gandaksata yang berasal dari kata ganda dan aksata yang artinya biji padi-padian yang utuh serta berbau wangi.

Image by: Koleksi Pribadi. Besakih 08 April 2018.
Wija atau bija biasanya dibuat dari biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL) sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning.Wija atau bija adalah lambang kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an/Kedewataan yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Sehingga disarankan agar dapat menggunakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata). Alasan ilmiahnya, beras yang pecah atau terpotong tidak akan bisa tumbuh.
Cara Menempatkan Bija
Dalam menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an / Kedewataan dalam tubuh, tentu meletakkannya juga tidak sembarangan. Ibaratnya menumbuh kembangkan tananam buah kita tidak bisa menamamnya sembarangan haruslah di tanah yang subur. Maka dari itu menaruh bija di badan manusia ada aturannya, agar dapat menumbuh kembangkan sifat kedewataan /ke-Siwa-an dalam diri.
Hendaknya bija diletakan pada titik-titik yang peka terhadap sifat dari kedewataan /ke-Siwa-an. Dan titik-titik dalam tubuh tersebut ada lima yang disebut Panca Adisesa. Yaitu sebagai berikut:
  1. Di pusar yang disebut titik manipura cakra.
  2. Di hulu hati (padma hrdaya) zat ketuhanan diyakini paling terkonsentrasi di dalam bagian padma hrdaya ini (hati berbentuk bunga tunjung atau padma). Titik kedewataan ini disebut Hana hatta cakra.
  3. Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan yang disebut wisuda cakra.
  4. Di dalam mulut atau langit-langit.
  5. Di antara dua alis mata yang disebut anjacakra.sebenarnya letaknya yang lebih tepat, sedikit diatas, diantara dua alis mata itu.

Dagang Banten Bali

Pada umumnya dikarenakan ketika persembahyangan dalam sarana pakaian lengkap tentu tidak semua titik-titik tersebut dapat dengan mudah diletakkan bija. Maka cukup difokuskan pada 3 titik yaitu :
  1. Pada Anja Cakra, sedikit diatas, diantara dua alis. Tempat ini dianggap sebagai tempat mata ketiga (cudamani). Penempatan bija di sini diharapkan menumbuhkan dan memberi sinar-sinar kebijaksanaan kepada orang yang bersangkutan.
  2. Pada Wisuda Cakra, Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan. Sebagai simbol penyucian dengan harapan agar mendapatkan kebahagiaan.
  3. Di mulut, langsung ditelan jangan digigit atau dikunyah. Alasannya seperti tadi kalau dikunyah beras itu akan patah dan akhirnya tak tumbuh berkembang sifat kedewataan manusia.Sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.


Kenyataannya hingga dewasa ini dalam masyarakat Hindu, selain pada titik-titik diatas. Ada juga yang meletakkan pada titik-titik yang lain. Misalnya ditaruh diatas pelipis, sebelah luar atas alis kanan dan kiri. Ada juga yang menaruh pada pangkal di telingah bagian luar.
Bisa dikatakan kurang tepat menaruh bija selain pada 3 titik-titik yang telah disebutkan diatas. Karena titik-titik yang lain dalam tubuh kurang peka terhadap sifat kedewataan atau Tuhan yang ada dalam diri manusia. Sehingga cukup sulit menumbuh kembangkan sifat Kedewataan dalam diri.
Jadi dapat disimpulkan bahwa makna dari penggunaan Bija dalam persembahyangan ialah untuk menumbuh kembangkan sifat Kedewataan/Ke-Siwa-aan/sifat Tuhan dalam diri. Seperti yang disebutkan dalam Upanisad bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu tidak berada di surga atau di dunia tertinggi melainkan ada pada setiap ciptaan-Nya.

Pura Luhur Tamba Waras

Dagang Banten Bali


Pura Luhur Tamba Waras letaknya dilereng Gunung Batukaru pada ketinggian 725mdpl (meter diatas permukaan laut), tepatnya di Desa Sangketan, Penebel, kurang lebih 22km dari pusat kota Tabanan. Pura Luhur Tamba Waras atau juga disebut Tambo Waras dikenal sebagai gudang farmasinya jagat raya.
Pura Tamba Waras dibangun sekitar abad ke-12. Berdasarkan catatan sejarah, konon Raja Tabanan yakni Cokorda Tabanan sakit keras dan tidak ditemukan pengobatannya. Para abdi berupaya mencari obat sesuai dengan petunjuk gaib yang diterima, dimana akan ada asap sebagai petunjuknya. Setelah berjalan didalam hutan Batukaru, dijumpai asap mengepul yang berasal dari sebuah kelapa di tanah di dalam rumpun bambu. Setelah memohon di tempat itu, didapatkanlah obat. Setelah obat tersebut diaturkan kepada raja, ternyata sang raja sembuh dan sehat kembali. Di tempat itu dibangunlah tempat pemujaan yang dinamakan Tambawaras.
Kata Tambawaras berasal dari kata tamba + waras. Tamba artinya obat, sedangkan waras artinya normal kembali. Pura Luhur Tamba Waras bermakna pemujaan kekuatan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi dalam fungsi sebagai penyedia gudang farmasi alam semesta (bhuwana agung). Dengan demikian permohonan kerahayuan, kesehatan, kebijaksanaan untuk mencapai kesejahteraan merupakan objek pemujaan di pura ini.
Pura ini salah satu Pura Catur Angga, berstatus sebagai Sad Kahyangan Jagat Bali. Pura Luhur Tamba Waras termasuk dalam jajar kemiri, yakni juringan yang membangun kekuatan. Gunung Batukaru dengan puncaknya Kedaton merupakan bentuk manifestasi Hyang Widhi sebagai pelindung kehidupan sarwa prani, dengan menganugerahkan pangurip gumi. Adapun pura jajar kemiri yang dimaksud adalah Pura Luhur Muncaksari dan ke bawahnya Pura Tamba Waras yang terletak di sebelah kanan Pura Luhur Batukaru.
Sementara di sebelah kiri terdapat Pura Patali dan Pura Besikalung. Kesempurnaan antara kedua sisi ini dapat memperkuat alam semesta. Dengan demikian Pura Luhur Tamba Waras merupakan satu kekuatan penyangga keutamaan fungsi Ida Batara Sang Hyang Tumuwuh yang berstana di Luhur Batukaru.
Kesehatan lahir dan batin merupakan modal awal untuk menjalani hidup dengan benar. Pura Tamba Waras adalah kekuatan pemberi anugerah di bidang kesehatan lahir batin dan kelestarian alam semesta. Manifestasi Catur Loka Pala Batukaru sebagai Aswinodewa. Kebijaksanaan, kejujuran, kemuliaan hati merupakan kesehatan batin untuk menjalani kehidupan yang lebih baik, di samping kesehatan jasmani atau fisik yang kuat.
Kedua hal ini dapat dimohonkan di pura ini, baik dengan melakukan yoga maupun pelaksanaan ritual yang didasari dengan hati yang suci guna memohon berkat-Nya.
Desa Adat Sangketan merupakan krama adat Pekandel. Sementara Jero Subamia merupakan pangenceng dari pura ini. Buda Umanis Prangbakat merupakan piodalan yang diselenggarakan di pura ini. Sementara karya mamungkah, mupuk pedagingan dan ngenteg linggih dilaksanakan mulai Saniscara Pon Pahang dan berakhir Buda Pon Watugunung.

Memilih Tempat Melukat Yang Benar

Melukat berasal dari kata sulukat yakni su yang berarti baik dan lukat yang artinya pensucian. Upacara Melukat dipimpin oleh seorang pemangku. Banten yang digunakan seperti prascita dan bayuan yang disiapkan dengan diberikan mantra-mantra. Orang yang akan diupacarai akan dimantrai terlebih dahulu oleh pemangku. Setelah proses pemantraan selesai, orang yang akan diupacarai disiram dengan air kelapa gading. Setelah mandi air kelapa gading, ritual dilanjutkan dengan pemandian di danau, sungai, laut atau tempat pemandian yang diyakini membawa berkah. Upacara (melukat) ini sangat baik dilakukan pada saat bulan purnama, tilem, Kajeng Kliwon.

Photo: Koleksi pribadi. Tirtha Empul Gianyar.
Melukat adalah upacara pembersihan pikiran dan jiwa secara spiritual dalam diri manusia. Upacara ini dilakukan secara turun-temurun oleh umat Hindu hingga saat ini. Pensucian secara rohani artinya menghilangkan pengaruh kotor/klesa dalam diri. Melukat menjadi salah satu ciri khas spiritualisme Hindu. Sebab melukat telah ada sejak jaman Veda, dimana dalam Veda sendiri tentang melukat ada dibahas dalam belasan sloka. Tapi dalam agama lain juga ada, seperti misalnya dalam tata cara Buddha di Tibet dan Kamboja. Melukat adalah menerima pembersihan dan penyembuhan langsung dari Ibu pertiwi dan Bapak alam semesta. Medianya adalah air, karena air di alam berfungsi sebagai media penghantar dan sekaligus  sumber vibrasi energi suci alam semesta yang sangat baik. Energi-energi negatif yang menghambat di dalam diri kita dicerai-beraikan, untuk kemudian diselaraskan dengan energi alam semesta yang suci. Fenomena ketidakseimbangan aliran energi ini sendiri bisa dideteksi sejak awal mula sekali, melalui kondisi kesehatan kita dan bagaimana riak-riak emosi dan perasaan kita sendiri.
Dalam Veda disebutkan bahwa tubuh dan pikiran kita ini sebuah sistem [bhuana alit] yang merupakan bagian dari maha-sistem [alam semesta/bhuana agung]. Semuanya saling mempengaruhi satu sama lain, melalui vibrasi-vibrasi yang tidak bisa kita lihat dengan mata, yang disebut vibrasi kosmik. Energi suci yang ada di alam semesta dapat mentransformasi kecenderungan negatif di dalam lapisan tubuh kita menjadi positif.

Dagang Banten Bali

Lokasi melukat sangatlah penting untuk kita perhatikan, baik secara niskala maupun sekala. Melukat harus dilaksanakan pada tiga lokasi titik air di alam yang terbaik, yaitu : sumber mata air dimana dijadikan tempat suci [misalnya : beji, pathirtan, dll], sungai suci atau pada campuhan [titik pertemuan dua buah sungai atau lebih] tertentu atau bisa juga di pantai [laut].
Upahvare girinam samghate ca
Nadinam, dhiya vipro ajayata | [Rig Veda VIII.6.28]
Artinya: Di tempat-tempat yang hening, di gunung-gunung [daerah pegunungan] pada pertemuan dua buah sungai [campuhan], disanalah para maharsi mendapatkan pemikiran yang jernih [suci].
Tam u sucim sucayo didivansam
Apam napatam parithasthur apah | [Rig Veda II.35.3].
Artinya: Air suci murni yang mengalir, baik dari mata air maupun dari laut, mempunyai kekuatan yang menyucikan.
Lokasi-lokasi seperti ini umumnya memiliki vibrasi positif yang sangat kuat. Kalau mata bathin kita sudah terbuka, kita akan bisa melihat bahwa di beji, pathirtan atau campuhan umumnya sangat disukai oleh mahluk-mahluk halus, karena mereka sendiri juga mendambakan energi positif dari tempat ini.
Ada dua hal yang sebaiknya kita perhatikan :
Secara niskala: sumber mata air, campuhan atau pantai tempat melukat, selayaknya dipilih yang memiliki vibrasi energi alam yang kuat. Akan tetapi tentunya hal ini tidak bisa dilihat oleh orang biasa secara kasat mata, hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang mata bathinnya sudah terbuka. Tapi seandainya kita orang biasa yang tidak tahu caranya, kita bisa mencoba berbagai tempat melukat terlebih dahulu. Lalu kita bisa memastikannya dengan merasakannya sendiri, lokasi mana yang paling bisa membuat bathin kita menjadi jernih dan sejuk.
Secara sekala: sumber mata air, campuhan atau pantai tempat melukat, harus memiliki air yang bersih atau jernih dan tidak tercemar. Karena hal ini juga ikut mempengaruhi kualitas air sebagai media perantara.
** artikel diolah dari : Berbagai sumber