Minggu, 02 September 2018

TATA TITI LENGKAP INDIK NGABEN



Dagang Banten Bali


TATA TITI LENGKAP INDIK NGABEN
PENGERTIAAN NGABEN DAN PITRA YADNYA


Ngaben sering dipersepsikan dengan arti negatif yaitu “ngabehin” (berlebihan). Ada pula yang menyebut “ngabin” atau nampa. Ada juga yang mengartikan “Ngabuin” (menjadikan abu. Ngaben asal katanya “Api”, mendapat prefix ang menjadi “ngapi”, kemudian mendapat suffix “an” menjadi “ngapen”. Kemudian terjadi perubahan fonem P menjadi B menjadi ngaben. Upacara ngaben merupakan proses pengembalian unsur Panca Maha Butha kepada Sang Pencipta. Kekuatan Panca Maha Butha menciptakan adanya “Stula Sarira” yaitu Pertiwi (kulit), Teja (darah daging), Akasa (urat-urat), Bayu (tulang belulang), Apah (sumsum). Ada juga yang mengartikan lain, ngaben berasal dari kata beya (biaya atau bekal). Dari ngaben muncul kata meyanin atau ngabeyanin yang disingkat menjadi ngaben. Ngaben juga disebut sebagai Pitra Yadnya (Lontar Yama Purwana Tattwa). Pitra artinya leluhur atau orang yang mati, yadnya adalah persembahan suci.
Runtutan upacara Pitra Yadnya
1. Upacara Atiwa-tiwa
2. Upacara Pengabenan
3. Upacara Pemukuran (Penyekahan)
4. Upacara Pengelemijian
5. Upacara Pengrorasan (pada pengabenan)
6. Upacara Nilapati (ngunggahang Betara Hyang)
Tahapan ini dapat diringkas menjadi empat bagian yaitu:
1. Atiwa-tiwa
2. Pengabenan
3. Pemukuran/Penyekahan/Pengerorasan
4. Nilapati.
Upacara Atiwa-tiwa memiliki tatanan upacara sebagai berikut:
1. Ngeringkes (Upacara mebersih dan penyucian atau ngeringkes).
2. Upacara menghaturkan Saji Pitra
3. Upacara Pepegatan
4. Upacara Pengiriman
5. Upacara Pengrorasan

MAKNA UPACARA ATIWA-TIWA
Asal kata Atiwa-tiwa: Ati = berkeinginan, Awa = terang atau bening atau bersih. Artinya: Keinginan melaksanakan pebersihan dan penyucian jenasah dan kekuatan Panca Maha buthanya. Atiwa-tiwa juga disebut upacara melelet atau upacara pengeringkesan. Merupakan upacara pebersihan dan penyucian secara permulaan thd jenasah dari kekuatan Panca Maha Butha. Dikenal dg Puja Pitara utk meningkatkan kesucian Petra menjadi Pitara.


Ngeringkes atau Ngelelet pengertiannya adalah pengembalian atau penyucian asal mula dari manusa yaitu berupa huruf2 suci sehingga harus dikembalikan lagi. Manusia lahir diberi kekuatan oleh Sang Hyang Widhi berupa Ongkara Mula, didalam jasad bermanifestasi menjadi Sastra Mudra, Sastra Wrestra (Nuriastra) dan Sastra Swalalita. Ketiga kekuatan sastra ini memberi makna Utpti, Stiti, Pralina (lahir, hidup, mati). Ketiga sastra ini kemudian bermanifestasi lagi memberi jiwa kepada setiap sel tubuh. Sebagai contoh Sastra Wrestra (Nuriastra) antara lain:
1. A = kekuatan pada Ati Putih
2. Na = kekuatan pada Nabi (pusar)
3. Ca = cekoking gulu (ujung leher)
4. Ra = tulang dada (tulang keris)
5. Ka = pangrengan (telinga)
6. Da = dada
7. Ta = netra (mata)
8. Sa = sebuku-buku (sendi)
9. Wa = ulu hati (Madya)
10. La = lambe (bibir)
11. Ma = cangkem (mulut)
12. Ga = gigir (punggung)
13. Ba = bahu (pangkal leher)
14. Nga = irung (hidung
15. Pa = pupu (paha)
16. Ja = jejaringan (penutup usus)
17. Ya = ampru (empedu)
18. Nya = smara (kama)

Tubuh manusia memiliki 108 Sastra Dirga (huruf-huruf suci) yang pada waktu meninggal sastra2 itu dikembalikan ke sastra Ongkara Mula atau disebut Ongkara Pranawa. Proses pengembalian ini disebut Ngeringkes yang memerlukan upacara dan sarana. Atiwa-tiwa sudah merupakan pensucian tahap permulaan, sehingga setelah atiwa-tiwa jenasah sudah bisa digotong dinaikkan ke paga atau wadah. Jika dikubur tanpa atiwa-tiwa sesungguhnya jenasah tidak boleh digotong, tetapi dijinjing karena masih berstatus Petra.


FILOSOFI PENGABENAN DARI GUGURNYA RESI BISMA
Pengabenan umat Hindu menggunakan filosofi yang diambil dari Gugurnya Resi Bisma dalam perang Berathayudha ditengah Kuru Setra. Badannya penuh dengan panahnya Sang Arjuna. Setelah rebah bdanya sama sekali tidak menyentuh tanah krena disangga ribuan panah. Resi Bisma gugur karena pembeyaran sumpahnya Dewi Amba yang reinkarnasi menjadi Sri Kandhi. Senjata Sri Kandhi yang pertama kali menembus kekebalan badannya Resmi Bisma, setelah kekebelannya hilang sbg pembayaran sumpahnya Dewi Amba, kemudian senjatanya Dresta Jumena dan ribuan panahnya Arjuna menembus seluruh tubuh Resi Bisma. Nilai-bilai yang dapat diambil dari sini adalah:
1. Resi Bisma. Resi adalah orang yang telah mencapai tingkat kesucian tinggi. Dari sini diambil filosofi bahwa jasad harus melalui proses penyucian. Bisma berasal dari kata Wisma atau tempat atau wadah, yaitu wadahnya Sang Jiwatman atau Stula Sarira atau unsur-unsur Panca Maha Butha. Kata Resi Bisma mengandung filosofi proses penyucian terhadap Panca Maha Butha.
2. Sri Kandhi. Sri = sinar suci (Div) kemudian menjadi Dewa. Kandi = kanda = dudonan atau tahapan.
3. Dresta Jumena: Dresta = pedoman
4. Seribu panahnya Sang Arjuna (Sang Dananjaya) = Dana dan Jaya artinya tulus iklas. Angka 1000 diambil dari angka Samkhiya adalah mengembalikan unsur Panca Maha Butha dari alam Bhur Loka ke Swah Loka (kehadapan Sang Pencipta).
5. Mohon toya pemanah (Toya Manah). Air minum yang diminta oleh Rsi Bisma diberikan oleh Duryudhana mempergunakan sebuah Kundi Manik sebagai simbul indriya, ditolak oleh Rsi Bisma sebagai simbol penolakan indria (tidak lagi ngulurin indria), lalu minta kepada Arjuna, digunakan sebuah anak panah (manah = intuisi = keneh, suara hati), air muncrat dari tanah (air klebutan). Ini merupakan dasar filosofi Manah Toya. Tirta Pemanah artinya: toya berasal dari sindhu atau hindu atau windhu artinya kosong atau sunya. Pemanah artinya: pe dan manah = alam pikiran. Tirta Pemanah = untuk mengembalikan Panca Maha Butha berdasar ketulusan hati.
6. Tiga anak panah sebagai bantal Rsi Bisma sbg simbul leluhur, juga mengandung makna Gegalang pisang kayu dan pis bolong 250 kepeng.
7. Air untuk membersihkan badan diminta kepada Duryudana, diberikan menggunakan tempayan emas, tapi ditolak, sebagi simbul penolakan segala gemerlap duniawi. Arjuna menggunakan dua panah dipanahkan keatas kmd panah pertama jatuh diatas kepala Resi Bisma, dan panah yang satunya lagi jatuh di kaki. Oleh karena itu pembersihan harus dimulai dari kepala. Dari sini diambil filosofi Toya Penembak yang diambil dari Campuhan pada tengah malam tanpa lampu (gelap) dan diambil oleh sanak keluarga. Maknanya sebagai sarana pemrelina mantuk maring Sangkan Paran (Ah … Ang) dan untuk menetralisir awidyanya sang lampus. Toya Penembak: pe = pemutus; nembak = pembuka jalan. Tirta Penembak: untuk memutuskan agar terbentuk jalan ke Sunya Mertha.
8. Menjelang menghembuskan nafas terakhir Rsi Bisma berpesan kepada Arjuna agar jasadnya dibakar menggunakan senjata Geni Astra yang disimbulkan sebaga tirta pengentas. Tirta Pengentas: Pe = pegat, ngen = ngen-ngen = trena, tas = hangus. Tirta Pengentas untuk memutuskan dan menghilangkan Tresna agar kembali kepada kekuatan amertha yaitu ke Siwa Merta.
9. Senjatanya Dresta Jumena adalah pelukatan. Dresta = sima = adat. Jumene = jumeneng = dikukuhkan sebagai pedoman.
10. Page yang dipakai untuk pebersihan menggunakan paga karena badan Resi Bisma tidak menyentuh tanah melainkan ditunjang oleh panah.
11. Penggunaan page dan leluhur merupakan ciri unsur bhur, bwah, swah loka.


UPAKARA ATIWA-TIWA
1. Upakara Munggah di Kemulan
Peras, soda, daksina, suci alit asoroh, tipat kelanan, canang suci.
2. Upakara Munggah di Surya
Peras, soda, daksina, tipat kelanan, canang pesucian
3. Upakara disamping jenasah
Peras, soda, daksina. Tipat kelanan. Banten saji pitara asele. Peras pengambean, penyeneng, rantasan. Eteh-eteh pesucian, pengulapan, prayascita, bayekawonan. Banten isuh-isuh, lis degdeg (lis gede), bale gading (Kereb Akasa).
4. Upakara Pepegatan
Pejati asoroh, banten penyambutan pepegatan angiyu, sebuah lesung, segehan sasah 9 tanding.
5. Upakara Pengiriman
Pejati lengkap 4 soroh (termasuk pekeling di Prajapati), Saji Pitra asele, punjung putih kuning, tipat pesor dan nasi angkeb, Peras Pengambean, segehan sasah 9 tanding.
6. Upakara Pengentas Bambang
Pejati lengkap asoroh, tumpeng barak, soda barak ulam ayam biying mepanggang, prayascita, bayekawonan, pengulapan, segehan barak atanding.
7. Upakara di Sanggah Cucuk
Pejati asoroh, canang payasan, banten peras tulung sayut.

UPACARA PENGABENAN MEWANGUN
Semua organ tubuh (sebagai awangun) memperoleh material upakara sehingga upakaranya banyak. Ngaben jenis ini diikuti dengan Pengaskaran. Ada dua jenis: (1) Upacara Pengabenan mewangun Sawa Pratek Utama, ada jenasah atau watang matah. (2) Upacara Pengabenan mewangun Nyawa Wedana, tidak ada jenasah tetapi disimbulkan dg adegan kayu cendana yang digambar dan ditulis aksara sangkanparan. Nyawa Wedana berasal dari kata Nyawa atau nyawang (dibuat simbul). Wedana = rupa atau wujud. Dengan demikian Nyawa Wedana artinya dibuatkan rupa2an (simbolis manusia).

UPACARA PENGABENAN PRANAWA
Pengabenan dengan sarana upakaranya ditujukan kepada 9 lobang yang ada pada diri manusia. Pranawa berasal dari kata Prana (lobang, nafas, jalan) dan Nawa (artinya 9). Kesembilan lobang yang dimaksud adalah:
1. Udana (lobang kening), mempengaruhi baik buruknya pikiran
2. Kurma (lobang mata) mempengaruhi budhi baik atau buruk , terobos ke dasendriya
3. Krkara (lobang hidung), pengaruh Tri Kaya, jujur atau tidak
4. Prana (mulut). Dosa bersumber dari mulut (Tri Mala Paksa)
5. Dhananjya (kerongkongan). Kekuatan mempengaruhi manah – sombong dan durhaka
6. Samana (lobang pepusuhan), pengaruh jiwa menjadi loba dan serakah.
7. Naga (lobang lambung) pengaruh karakter yang berkaitan dg Sad Ripu
8. Wyana (lobang sendi) pengaruhi perbuatan memunculkan Subha Asubha Karma.
9. Apana (pantat kemaluan) pengaruhi kama yg berkaitan denga Sapta Timira.
Kesembilan lobang manusia ini dapat mengantar manusia kelembah dosa. Pengabenan Pranawa juga diikuti dengan upacara pengaskaran.


GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Ada lima jenis Pengabenan Pranawa
1. Sawa Pranawa: Disertai jenasah atau watang matah
2. Kusa Pranawa : dg watang matah atau hanya dengan adegan saja. Adegannya disertakan pengawak dari 100 katih ambengan. Memakai upacara pengaskaran.
3. Toya Pranawa. Sama dg Kusa Pranawa, hanya didalam adegannya berisi payuk pere, berisi air dan dilengkapi dengan eteh2 pengentas. Juga memakai Pengaskaran.
4. Gni Pranawa. Sama dengan pranawa lainnya, juga melakukan pengaskaran tapi pengaskaran nista yang dilakukan di setra setelah sawanya menjadi sekah tunggal. Tanpa uperengga seperti Damar kurung, tumpang salu, pepelengkungan, ancak saji, bale paga, tiga sampir, baju antakesuma, paying pagut. Hanya memakai dammar layon, peti jenasah dan pepaga/penusangan.
5. Sapta Pranawa. Upaca ini dilakukan dirumah, menggunakan damar kurung dan pengaskaran. Tapi tidak menggunakan Bale Paga pd waktu mengusung jenasah ke setra. Hanya menggunakan pepaga/penusanganb. juga dilaksanakan langsung di setra tapi pelaksanaan pengabenannya mapendem, serta pelaksanaan pengentasnya diata bambang.

PENGABENAN SWASTHA
Pengabenan sederhana, dengan tingkat terkecil karena tidak dengan pengaskaran. Berarti tidak menggunakan kajang, otomatis tanpa upacara Pengajuman Kajang. Tidak menggunakan bale paga, damar kurung, damar layon, damar angenan, petulangan, tiga sampir, baju antakesuma dan payung pagut. Hanya menggunakan peti jenasah dan Pepaga/penusangan untuk mengusung ke setra. Pelaksanaan upacara di setra saja. Pengabenan Swastha Geni ini sering rancu dengan pengabenan Geni Pranawa.
Swasta asal katanya “su” (luwih, utama). Astha berasal dari Asthi (tulang, abu). Dengan demikian Swastha berarti pengabenan kembali ke intinya tapi tetap memiliki nilai utama. Pengabenan swstha terdiri dua jenis:
1. Pengabenan Swastha Geni. Penyelesaian di setra dengan cara membakar jenasah maupun tanpa jenasah. Hanya ada pelaksanaan “pengiriman” setelah dibuatkan bentuk sekah tunggal, kemudian dilanjutkan dengan upacara nganyut. Setelah itu selesai.
2. Pengabenan Swastha Bambang. Semua runtutan pelaksanaannya upakaranya dilaksanakan di atas bambang penguburan jenasah. Kwantitas upakaranya sama dengan pengabenan Swastha Geni hanya saja dalam upakaranya ditambah dengan “pengandeg bambang”. Pengabenan swastha bambang ini tidak disertakan upacara pengerekan dan penganyutan , karena tidak dilakukan pembakaran melainkan dikubur. Sedangkan “pengelemijian” dan pengerorasan tetap dilaksanakan seperti ngaben biasa. Pengabenan Swastha Geni atau Swastha Bambang termasuk pengabenan nista utama, tidak memakai bale paga, tidak melaksanakan pengaskaran dan pada saat ke setra memakai tumpang salu saja.
3. Pengabenan Kerthi Parwa. Termasuk pengabenan tingkat nistaning utama. Dilakukan pada umat Hindu yang gugur di medan perang. Tidak dilakukan pengaskaran, hanya upacara ngentas dan pengiriman saja. Pelaksanaanya seperti pengabenan Swastha Geni.
4. Pengabenan Ngelanus. Sebenarnya tidak termasuk bagian dari jenis pengabenan. Hanya teknisnya yang dibuat cepat. Ada dua jenis:
a. Ngelanus Tandang Mantri. Pengabenan dan pemukuran diselesaikan dalam satu hari. Pengabenan ini mengacu pada sastra agama “Lontar Kramaning Aben Ngelanus”. Disebut juga dengan Pemargi Ngeluwer. Pengabenan ini hanya untuk para Wiku, tidak diperkenankan untuk walaka.
b. Ngelanus Tumandang Mantri. Dilakukan untuk walaka dalam kurun waktu satu sampai dua hari untuk para walaka . Upakara dan upacaranya tergantung kwantitas upakara dan upacaranya.


TATA CARA NYIRAMANG LAYON
Persiapan sarana
1. Tirta:
a. Tirta penglukatan pebersihan dari wiku
b. Tirta peleletan dari wiku
c. Tirta Pekuluh dari mrajan.
d. Tirta khusus:
i. Tirta Pengentas Bangbang: selesai atiwa-tiwa jika jenasah akan dikubur atau mekingsan di Gni, sebaiknya menggunakan tirta diatas agar sewaktu-waktu bisa ngaben. Jika tidak maka sebelum setahun tidak boleh ngaben
ii. Tirta SH Prajapati: bila jenasah dikubur atau mekingsan di Gni mempergunakan tirta ini, krn tirta ini memiliki kekuatan pengembalian ke sumbernya. SH Prajapati bersifat Mulaning Mula (wit = sumber). Prajapati adalah tempat kehidupan bermula.
2. Persiapan sarana pebersihan
Toya kumkuman, Sisig ambuh, Sisir dan petat, Minyak rambut, Wastra pesalin sepradeg, Boreh kuning, Kain pengusap rai, Kain pengusap raga.
3. Persiapan Sarana Penyucian:
a. Gegaleng 1 ijas pisang kayu 9 atau 11 bulih, belayag berisi uang kepeng 225/250 biji, tebu ratu mesurat sangka paran, semuanya dibungkus kain putih. Ada juga yang menyebut Bantal Segi Tiga sebagai gegaleng.
b. Momon (cincin mirah Windhusara) utk ngerajah dan momon. Simbul menetralkan sifat serakah manusia (momo) semasa hidupnya. Juga untuk mencegah bau busuk. Secara niskala simbul Jiwatma yang telah meninggalkan jenasah.
c. Beberapa lembar kain putih yang dirajah huruf Modre (kajang).
d. Simbul penyucian organ tubuh sensitif yang menimbulkan kama dan indriya selama hidupnya. Penukup yang dimaksud ialah: Penukup Siwa dwara (ubun-ubun), Penukup dua daun telinga, Penukup lambe (mulut), Penukup muka atau prerai, Penukup purus atau baga (kemaluan).
e. Sebatang tebu ratu dan batang kayu sakti, disurat sbg Panca Datunya.
f. Wewalungan (tulang belulang) yang dirangkai diletakkan diatas layon.
g. Umbi skapa diiris-iris (usapang pada setiap persendian jenasah, sbg simbul penyucian wyana dari dasa prana).
h. Daun intaran (simbul ardha Chandra). Kuncup kembang melati (pusuh menuh) untuk lubang hidung simbul SH Waruna. Bunga teleng putih (slagan alis)
i. Daun delem (untuk telinga) sbg simbul SH Kwera.
j. Malem 2 pulung (untuk lubang telinga), simbul apah, simbul Sang Blegode.
k. Keramas (santen berisi air dapdap). Blonyoh putih (beras kencur), blonyoh kuning (beras kencur temutis). Juga bebek anget-anget. Kapas.
l. Pecahan cermin 2 buah untuk kedua netranya. Simbul Teja (SH Surya Candra).
m. Tali penyalin secukupnya
n. Bebek (serbuk cendana) secukupnya. Taburi seluruh tubuh sbg simbul Pertiwi (SH Carman).
o. Sebidang daun tunjung berisi kain hitam dan semburan (boreh) rempah-rempah utk sedaka lanang. Sedaka istri memakai sebidang daun tuwung bolo 3 lembar dilapisi kain hitam berisi rempah2 (anget2) pada kemaluan, simbul SH Smara.
p. Pisau “sudha mala” atau pemutik untuk mekerik (lanang), pisau mejejahitan untuk istri. Pisau Sudha Mala (ujungnya tri sula) utk menetralisir kekuatan Sadripu dan Sapta Timira yang kelak mempengaruhi perbuatan (karmanya). Dari Tatwa: penyucian Dewa Kuku (SH Kenaka Manik) yang telah dikotori perilaku manusia (lontar Tutur Agastyaprana).
q. Dua untai benang tetebus (benang putih) untuk ituk-ituk. Untuk ikat ibu jari kaki dan tangan. Simbul penyatuan Panca Budhindriya dengan Panca Karmendriya agar menyatu dengan manah untuk kembali ke Ahamkara.
r. Sebuah ante dari bambu, ditulisi aksara suci di bagian kepala, ulu hati dan kaki. Sebidang tikar plasa yang sudah dirajah
s. Tiga buah kereb Sinom. Kereb Sinom dibuat dari daun enau muda dan bunga pinang (blangsah buah) dianyam 10-15 Cm, panjang 75-90 cm. Kereb Sinom adalah simbul Tri Kaya, bahwa Rokh mendapat sorga tergantung hasil Tri Kayanya (Karma Wasana).
t. Upakara Beyakala, jejaritan Bale Gading dan lis degdeg.
u. Kain putih untuk menggulung. Kain putih melelancing dengan lapis kain 11 lapis (untuk kajang solas)
v. Dua lempeng perak dibungkus tiga helai daun kayu sakti sebagai pegembelnya. Kepingan waja 4 tebih (untuk gigi) simbul Bayu, simbul dari SH Bayu.
w. Peti jenasah yang sudah diupacarai, tumpang salu, pepelengkungan. Ancak saji: pagar tempat jenasah dibaringkan.
x. Kain putih berisi sesuratan dedayang sebagai sarana ulon.
y. Sebuah pelepah Pisang Udang Sabha (warga Pasek sesuai Bhisama menggunakan daun biyu kaikik), nantinya ditindih oleh jenasah. Ditulis huruf “Rwa Bhinneda”. Kata Udang = Uda + Ang. (Uda = air = Wisnu = Ung) (Ang = Ah = Sunia). Daun Pisang Udang Saba bermakna: “karmanyalah menentukan sorga (sunya loka) atau tidak.

4. Persiapan tempat pebersihan yaitu Pepaga atau pandyusangan atau penusangan. Pemandian sawa sebagai simbul bumi, dibuat dg kawat mas, perak tembaga (tridatu). Diberi alas tikar dan pandan berduri sebelum dipakai. Pepaga (penusangan) dibuat dari bambu (kalau bisa bambu kuning), bertiang empat tingginya 175 Cm, ujung atas dari tiang dipasangi leluwur. Pepaga dibuat setinggi puser sang “yajamana” (pemilik upacara), dipasangi leluwur. Pojok timur laut dari tiang dipasang 11 uang kepeng sebagai simbul tingkatan alam sunia yg dituju. Panjang bambu dua jengkal lebih dari ukuran jenasah dengan lebar 80 Cm atau sesuai lebar jenasah. Galarnya menggunakan perhitungan “Ante” (cekur, pinggang, nyawan, galar, ante, guling). Etika pemasangan: jika laki tengahnya menengadah lainnya tengkurep, wanita sebaliknya.
5. Persiapan peti jenasah (simbul kekuatan maya SHW). Pada bagian kaki dilubangi sebesar “aguli” (ajari tengah) sebagai jalannya Panca Maha Butha keluar dari maya menuju alam “Sapta Petala”. Lubang dibagian kepala adalah jalan keluar jiwatma menuju Sapta Sunia.
6. Upakara ayaban setelah melelet diletakkan diwulu tempat layon (luanan), baik nista, utama atau madya. Contoh: Banten ayaban tumpeng 27, hulunya daksina gede sarwa 4 lengkap dengan banten sucinya, Banten Saji Tarpana, Banten Pulegembal, Banten Pengulapan, prayascita, bayekawonan.
7. Seember air antiseptic (air + daun intaran/daun base, atau air diisi bahan kimia antiseptic yang dibeli ditoko) untuk cuci tangan orang ikut ngeringkes.
8. Tata Cara Upacara Ngelelet
a) Mengikuti subha dewasa peleletan, menunggu kesiapan krama banjar (perintah Klian banjar)
b) Penurunan layon dari Bale Gede, dilakukan sanak keluarga, diserahkan kpd krama banjar dicacapan bale, keluarga tetap memopong bagian kepala. Menuju pepaga, posisi kaki layon tetap lebih dahulu.
c) Pada waktu memandikan, layon tidak langsung ditelanjangi. Busana hanya dibuka bagian dada saja dulu.
d) Wiku nyurat sastra diraga dengan cincin mirah. (AH – Nabi; Dasaksara – perut; Mang = ulu hati; Ang = bahu kiri; Ung = bahu kanan; Adu muka = selagan alis; Ang = ubun2.)
e) Pertama kali keramas dengan toya ambuh, mesisig, bilas air bersih, bilas air kumkuman. Mantra ngeramasi: Om banyu klemukan, banyu pawitra pangilanging papa klesa, danda upata atemahan sudha nirmala yns. Ong2 angurah candra dimuka yns
f) Keringkan rambut dan muka dengan kain putih. Rambut dipetat dan disisir. Pusung gelung gota (irtri) pusungan mudra lingga (lanang)
g) Setelah keramas barulah busana dibuka seluruh, keluarga menutup bagian kemaluannya.
h) Seluruh badan dibilas air biasa , gosok dg blonyoh (boreh kuning), dibilas. Setelah bersih barulah disirami air kumkuman secara merata, keringkan dengan kain. Mantra memandikan: Om sarira suda yns. Om gangga paripurna yns.
i) Memakai busana kewikuan. Tirta Bayekala di kakinya saja, perciki tirta pebersihan dengan bale gading dan lis degdeg.
j) Wiku memercikkan tirta kekuluh merajan (tirta aswapada Hyang Guru), dengan posisi tangan layon memegang sebuah kwangen berisi 11 pis bolong.
k) Sanak keluarga mohon restu ke SH Raditya dg kwangen, posisi tangan di selagan alis, dan kwangen diletakkan di kaki layon. Mantra: Om Swargantu, Om Suniantu, Om Moksantu, Om Mursantu, Om Ksama Sampurna yenamah swaha. Sembahyang:
a) Tangan puyung (utpeti sembah)
b) Ke surya (SH Siwa Raditya) dg kewangen: mohon banugerah kekuatan widya kepada Sang Lina (Stiti sembah)
c) Sembah ke Sang Lina sbg pengaksama agar sang lina melepas tresnanya kpd keluarga yg ditinggalkan

Selesai pebersihan (pebersihan hidup), dilanjutkan dengan penyucian atau Pengeringkesan sebagai berikut:
a) Memasang gegaleng di kepala layon
b) Wiku memercikkan tirta pengeringkesan ke seluruh tubuh
c) Pengerikan kuku (dg pisau sudamala atau pisau banten). Kerikan kuku dibungkus tiga helai daun kayu sakti diletakkan di kaki layon.
d) Memasang sarana Panca Dathu sbb:
d) Wewalungan di atas dada layon
e) Cermin di dua mata (simbul teja)
f) Daun intaran pada kedua alis (ardha Chandra)
g) Lempeng waja di gigi (SH Bayu)
h) Bunga celeng putih selagan alis
i) Malem pada lubang telinga
j) Daun delem pada daun telinga
k) Tali itik2 pd dua ibu jari tangan dan kaki
l) Memasang kwangen:
1. Penyolasan pd setiap persendian
2. Kwangen jari: setiap kwangen berisi lima tubungan (diplintir sekecil2nya ujungnya diisi irisan bawang putih (lambing kuku). Juga kwangen jari kaki. Total membuat 20 tubungan.
3. Memasang kwangen isi 33 kepeng pd panggul
4. Kwangen di ulu hati: menghadap keatas berisi 2 kepeng, menghadap kebawah berisi 2 kepeng.
5. Total semua uang kepeng yang digunakan 225 biji
m) Penangkeb baga atau purus
n) Memasang tebu yg sudah ditulis pd tulang punggungnya.
o) Memasang sepotong kayu sakti yg sudah ditulis pd tulang dada
p) Memasang momon pada rongga mulut.
q) Memasang kajang (angkeb rai, karna, siwa dwara, cangkem, prana)
r) Layon digulung dengan kaun penggulung, kemudian tikar, ante yang sudah disurat di bagian kepala–uluhati-kaki, ikat dg tali ketekung (tali rotan) yang sudah disurat, dipasang melingkar di bagian kepala, uluati, panggul. Tali lingkaran kepala dihubungkan ke bagian ulu hati dan bagian panggul. Tali rotan adalah simbul “melepaskan diri dari ikatan tali samsara (panumitisan). Maka perbaikilah karmamu yang asubakarma menjadi subakarma.


s) Digotong ke bale gede dg posisi kaki layon didepan. Masuk peti, petinya sudah berada diatas tumpang salu.
t) Memasang pelengkungan, diatasnya kain putih melelancing dengan lapis kain 11 lapis (kajang solas).
u) Tiga buah kereb Sinom. Kereb Sinom dibuat dari daun enau muda dan bunga pinang (blangsah buah) dianyam 10-15 Cm, panjang 75-90 cm. Kereb Sinom adalah simbul Tri Kaya, bahwa Rokh mendapat sorga tergantung hasil Tri Kayanya (Karma Wasana).
v) Setelah ngayab, dilanjutkan “Upacara Pepegatan”
w) Wiku memuja ngaturang Saji Tarpana (Narpana Saji).

Tata cara diatas juga merupakan tata cara untuk meraga wiku. Sedikit penyederhanaan untuk ngelelet layon meraga welaka adalah sebagai berikut:
1. Persiapan Sarana Pebersihan
a. Air bersih dan air kumkuman
b. Air keramas, sisig, minyak wangi
c. Berbagai jenis bunga harum
d. Pakaian seperadeg/pesaluk/pesehan (pakaian sembahyang lengkap)
i. Pesaluk hidup laki (kain, saput udeng)
ii. Pesaluk hidup wanita (tapih, kain, sabuk, kamben cerik
iii. Pesaluk mati, laki perempuan sama, kain putih untuk yang sudah kawin, kain kuning bagi yang belum kawin.


DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

e. Pakaian untuk ngulung dan kain putih.
f. Tikar
g. Samsan atau sekarura: beras kuning ditambah irisan daun temen diisi 33 pis bolong, ditempatkan dalam wakul yng dibungkus kain putih.
h. Beberapa jenis tirta:
i. Tirta Penglukatan dan Pebersihan (untuk menghilangkan mala petaka atau pembersihan
jenasah.
ii. Tirta Aswapada Betara Hyang Guru
iii. Tirta Pengresikan
iv. Tirta sesuhunan keluarga (pura2, kawitan, kemulan). Maksud: trita restu agar perjalanan
lancer.
v. Tirta Kahyangan: pakeling bahwa sang atma akan menghadap ke kahyangan
vi. Tirta pengulung: diperecikkan pd waktu ngulung mayat.
vii. Tirta penembak: memandikan jenasah membersihkan kotoran lahir bathin.
viii. Tirta pengentas: tirta pemutus hubungan (memutuskan ikatan purusa. Tiuk pengentas
adalah pisau untuk memutus hubungan.
ix. Tirta manah toya ning: adalah petitis keneh (manah).
x. Tirta prelina atma: agar jiwatma yang meninggal pergi kealam asalnya, tideak ngrebeda.
2. Pelaksanaan Ngelelet
Sama dengan Wiku, hanya ngambuhin bagian duur dapat dilakukan penglingsir.
Pebersihan 10 prana sebagai dosa manusia sebagai “dasa mala”. Sepuluh prana itu ialah:
1. Prana (lubang mulut)
2. Udana (lobang kepala/kening)
3. Samana (lobang pepusuhan)
4. Wyana (lobang persendian)
5. Kurma (lobang mata)
6. Krkara (lobang hidung)
7. Dewa Data (lobang bibir)
8. Dhananya (lobang tenggorokan)
9. Naga (lobang lambung)
10. Apana (lobang dubur dan kelamin)


UPACARA PENGASKARAN

Ngaskara (askara=penyucian=pebersihan) adalah penyucian roh dari Atma Petra (roh orang baru meninggal) menjadi Pitara. Ketika kematian terjadi, prakerti (badan kasar) terpisah dg atma (roh) (antahkarana sarira) tapi masih diikuti oleh suksma sarira (alam pikiran, perasaan, keinginan, nafsu). Karenanya roh perlu dibersihkan dg askara (inisiasi). Oleh krn itu roh yang tidak diaben puluhan tahun akan berubah jadi Bhuta Cuil (roh yg tidak bersih) yang mengganggu kehidupan manusia
Pelaksanaan Ngaben harus diikuti upacara Pengaskaran untuk mengembalikan unsur Panca Maha Butanya secara sempurna, sehingga kesucian dari Sang Petra terus ditingkatkan, dari Petra menjadi Pitra, pitra menjadi Dewa Pitara, kemudian dari status Dewa Pitara menjadi Hyang Pitara atau Betara Hyang. Contoh puja masing-masing status tersebut adalah:
Status Petra: Om Tigantu Atma Petras ca, Tigantu Atma Petranam, Tigantu Atma Petra, Sarwa yn Swadah.
Status Pitara: Om Jagrantu Pitara Ganem, Jagantu Pitara Ganem, Jagrantu Pitarah, Sarwa yn Swadah
Status Hyang Pitara: Ong Ayantu Pitara Dewa, Ayantu cariman pujam, Ayantu I A Se Te I, Siprathisto siprathisto, yn swadah, Ong nama wah pitaro suksma yn swadah. Ong namo wah pitara turya yn swadah. Ong nama wah pitaro ktan, yn swadah.

Pengabenan sepatutnya disertakan “Pengaskaran” (Samskara Atma Preta) baik Utama, Madya, Nista. Prinsipnya Petra itu harus diproses agar menjadi sifat pitara, kemudian disucikan lagi menjadi Dewa Pitara, disucikan lagi menjadi Hyang Pitara (Betara Hyang), agar bias distanakan di Pemerajan (Hyang Kemulan). Jika tidak melaksanakan Pengaskaran berarti belum sempurna penyucian terhadap Sang Petra, hal inilah yang dapat merusak jagat.
Upakara dasar Pengaskaran adalah sebagai berikut:
Upakara surya paling kecil memakai banten “Ardha Nareswari, Banten pebersihan, Banten Dyus Kamaligi, Banten pisang jati, Banten kerayunan, Banten Peguruyagan, dapat diganti dg banten Guru Piduka, Banten Penebusan, Banten Penebusan alit, Banten pengadang-ngadang, Laban Kalika, Caru ayam brumbun, Laban rare, Laban kawah, Laban Cikrabala dan Kingkarabala (tetandingan balung Gegending dan Ketupang

Sarana Pengaskaran
1. Bale Pawedan (Pamiosan) untuk pandita. Jika di mrajan, Bale Piasan bisa digunakan untuk Pamiosan pandita. Dibuat leluhur.
2. Banten pengajuman kajang, banten pemerasan.
3. Sanggah surya: daksina, sesantun, suci 2 soroh, pejati, peras, pengambean, sesayut ardenareswri, rayunan putih kuning, rantasan, pesucian, klungah nyuh gading (dikasturi).
4. Banten di sor sanggah surya: pejati dan suci asoroh, gelar sanga, segehan cacahan.
5. Banten arepan sawa: banten ayaban (pemereman), uel kurenan, sesantun, suci, banten saji, panjang hilang matah lebeng, banten pengadang-ngadang, bubuh pirate putih kuning, nasi angkeb, penek catur warna, caru beten kolong sawa, diyuskamaligi, pejati, eteh-eteh pemetikan (gunting, blayag, tunjung putih), pemanahan, caru siap brumbun (caru tapakan sawa).
6. Banten pengresikan: Prayascita, Bayekawonan, durmanggala, lis bale gading, pengulapan.
7. Banten arep sulinggih: daksina gede, sesantun alit, suci asoroh, pejati, peras, pengambean, pemanisan, segehan warna lima asoroh.


MAKNA BERBAGAI SIMBUL PENGASKARAN
1. Tirta Pengentas: Pe = pegat, ngen = ngen-ngen = trena, tas = hangus. Tirta Pengentas untuk memutuskan dan menghilangkan Tresna agar kembali kepada kekuatan amertha yaitu ke Siwa Merta.
2. Tirta Pemanah artinya: toya berasal dari sindhu atau hindu atau windhu artinya kosong atau sunya. Pemanah artinya: pe dan manah = alam pikiran. Tirta Pemanah = untuk mengembalikan Panca Maha Butha berdasar ketulusan hati.
3. Toya Penembak: pe = pemutus; nembak = pembuka jalan. Tirta Penembak: untuk memutuskan agar terbentuk jalan ke Sunya Mertha.
4. Pengawak Adegan: simbul dari Panca Maha Butha. Wakul simbul pertiwi, sampian simbul akasa, kwangen simbul apah, tongkat adegan simbul bayu, prerai simbul teja.
5. Tiga Sampir: untuk memendak toya pemanah dan memendak daun beringin. Tiga sampir sebagai simbul tiga sosok apsari: Widyadari Nilotama, Widyadari Supraba, Widyadari Ken Sulasih. Ketiganya utusan Dewata untuk membawakan tirtha pawitra sebagai tirta penglukatan.
6. Baju antakesuma: sebagai simbul kekuatan pelepasan dalam proses pengembalian Panca Maha Butanya kepada sumbernya dalam arti mengandung konsep Moksartham Atmanam.
7. Payung Pagut: untuk mendak toya pemanah atau mohon daun beringin, sebagai simbul Bale Salunglung yaitu stana para Dewata mengadakan peparuman untuk memberikan keputusan kepada setiap mahluk di dunia yang Beliau kehendaki sesuai dengan kodratnya.
8. Puspa Lingga: pada upacara pemukuran yang menjadi obyek penyucian adalah badan puspa lingga. Setelah Panca Maha Butha disucikan, kemudian distanakan di pengawak adegan. Tapi setelah menjadi puspa lingga, Panca Maha Buta menjadi Panca Tan Matra dan dibuatkan simbul sbb:
a. Tangkai sekah dari bambu buluh gading sbg simbul Ganda Tan Matra
b. Daun beringin sbg simbul Rasa Tan Matra
c. Jemeknya (mirahnya) sebagai simbul Rupa Tan Matra
d. Menurnya sbg simbul Sabda Tan Matra
e. Namenya sbg simbul Sparsa Tan Matra.
9. Kwangen Pengerekan (ngereka). Kwangen penyolasan untuk mengisi persendian berisi 225 uang kepeng (jumlahnya 9 artinya pranawa/pralina). Gegaleng 250 dijumlah menjadi 7 artinya sebagai simbul sapta sunia.
10. Daun beringin. SH Widhi pd waktu menciptakan seisi alam bermanifestasi menjadi SH Prajapati. SH Prajapati bermanifestasi menjadi SH Kalpa Wrksa dengan pangkal pohonnya berada di alam sorga, sedang ujungnya berada di alam semesta (Phon Beringin Sunya Mertha). Kalpa Wrksa ini bermanifestasi kea lam semesta sebagai:
a. Ranting (bangsingnya) menjadi sarwa denawa, danuja dan sarwa raksasa
b. Daunnya bermanifestasi menjadi kekuatan Panca Maha Butha
c. Batang pohon bermanifestasi menjadi kekuatan urip dari semua mahluk
d. Cabangnya menjadi karma dari semua mahluk dunia
e. Bunganya menjadi sarwa dewa, sarwa dewata sbg kekuatan Betara di ala mini.
f. Buahnya menjadi hukum Rta nya SH Widhi
g. Setetes air yang gemerlapan di ujung daunnya sbg percikan atma ke alam semesta ini (Lontar Praja Pati Tattwa).
11. Kekecer: sarananya: tangkai bambU, seuntai padi, bulu ayam, bulu angsa, kain sutra. Digunakan pd waktu jenasah diberangkatkan ke setra , kececer ditancapkan setiap 9 meter sambil menghaturkan banten peras jalan. Sebagai pembuka jalan dan mengandung konsep Moksrtam Atmanam. Padi = pada= padang = galang apadang. Bulu angsa = angesah artinya telahpergi. Bulu ayam = simbul panca maha butha. Kain sutra = panca maha butanya telah disucikan shg berwujud lebih halus. 


URUTAN UPACARA PENGASKARAN
Upacara pengaskaran (Inisiasi) memisahkan pengaruh suksma sarira terhadap antah karana sarira (roh). Inisiasi dilakukan terhadap adegan (simbul atman atau roh atau purusa atau antah karana sarira) dengan melaksanakan dwijati terhadap roh yang meninggal, bukan jasadnya. Dwijati ditandai dengan acara pemetikan adegan.
Urutan upacara pengaskaran adalah sebagai berikut:
1. Ngeringkes kajang, digulung oleh pemangku dg penglingsir dan keluarga. Letakkan kembali di Bale Pengajuman.
2. Sang Pemuput melakukan:
a. Ngarga Tirta
b. Surya Sewana
c. Ngangge Giri Pati Stawa
d. Ngangge Brahma Stawa. Dll
3. Untuk pengabenan welaka tingkat madya dan kanista boleh menggunakan tirta sudah puput (wiweka jnana).
4. Mujanin pedudusan selengkapnya
5. Tirta yang dibuat Sang Pemuput:
a. Manah toya (jika belum manah toya ditempat toya). Membuat tirta pemanahan (manah toya) 3X pd tirta jun (air klebutan) dengan panah dan bunga teratai.
b. tirta pareresik, tirta pengajum kajang, tirta pengringkes kajang, Tirta pasupati kajang dan pasupati adegan.
c. tirta penembak. Air (tirta) ini dicari oleh keluarga pada tengah malam di air klebutan.
d. tirta pebersihan, tirta saji, tirta pemerasan, tirta pengentas, tirta pralina, tirta penyaeb, utik gni pemrelina (Korek api dan kayu api khusus dipakai nyulut api pertama di pemuhunan).
1. Memercikkan tirta ke kajang dan adegan.
7. Ngutpeti Dewa Damar Kurung sampai selesai
8. Ngutpeti Butha Petra
9. Nguweci Desa, lalu mesirat keluhur dengan astra Sriyambhawantu.
10. Puja ngumpulang Dewa termasuk Hyang Prajapati
a. Aturin Dewa Pratista
b. Aturin udanjali dan pedudusan selengkapnya
11. Puja “Banten Penebusan” sampai selesai pemuktiannya
12. “Lukat Sang Atma Banda”, ngeseng rebegeding atma petra dening puja “Merta Karani”
13. Angesahakna sang atma petra saking banten krayunan, surupakna maring adegan, didasari dengan puja pengupeti atmapetra, dan rangsukakna mantra “Unapa Bhiseka” selanjutnya disambung dengan Puja Ayantu Atma Petra paweha “Diyus Kamaligi”, lanjut Puja Tigantu, Tisthantu, lalu henengakna sang atma.
14. Lanjut “memuja keluhur”, ngaturang “puja pejaya-jaya” kehadapan Bethara dengan “Pradnya Paramitha”.
15. Nama Pengaksaran. Tuduhan sang Atma dening idep, muspa ring Betara Surya, Sang Hyang Prajapati, Betara Guru, dan kehadapan Betara Siwa Dharma untuk memohon penugrahan sebagai sisya pengaskaran serta memohon Nama Pengaskaran.


DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

16. Penapakan: Memanggil sang atma untuk dibersihkan. Berikan wangsuh pada nilah, nyuwun kehadapan Betara Siwa Dharma kasinanggeh Dang Guru, kemudian ditapak dengan penuntun Surya (Sapta Ongkara) tidak dengan kaki sang pemuput, hanya dengan kekuatan jnana.
17. Mepetik. Ambil “pengerebodan” tiwakin kepada adegannya, kemudian mengambil gunting, bunga tunjung putih, lalang seset mingmang (panca mustika) idep megunting rambutnya secara panca muka, kenyataannya secara simbul megunting ampyagnya sebanyak 5 kali. Bekas guntingannya dimasukkan kedalam blayag dan diisi kwangen. Kemudian diberikan eteh2 pedudusan selengkapnya.
18. Kemudian dautaknya sang atma maserana bunga kalpika, melaksanaka Puja Pengesengan, agar menjadi ongkara sungsang nunggal kelawan sang pemuput mengaran ongkara madumuka. Seolah-olah sudah menunggal sang Sisya kelawan dangguru. Kemudian berikan tirta penglukatan, pebersihandan puja pejaya-jaya, puja Pitra Byah, nama pitra, rangsukan mantra ke jero, jaya-jaya dengan Mantra Swaha Swada, pengidepnia sudah disaksikan oleh para leluhurnya yang telah berstana di pisang jati , selanjutnya mesirat di pisang jati.
19. Kemudian nguncarang Puja Gangjantu, Jagrantu, dan nguncarang Puja Dewa Pitara Pratistha, pangidepnia sang pemuput, disuruh Dewa Pitara mengingat sanak keluarganya, disinilah baru disertakan membaca Mpu Plutuk Aben dan Pustaka Adhi Parwa.
20. Selanjutnya Sang Pemuput mesirat keluhur, Ngaturang Dewa Buktem, serta Muktiang ke Dewa, kemudian mujanin Saji Dewa Tarpana, pemuktian saji kepada Dewa Pitara.
21. Selanjutnya mujanin banten bebangkit (kalau ada). Kalau tidak ada, hanya banten pengadang-ngadangnya saja, sampai selesai pemuktian.
22. Nguncarang Puja Pemerelina Butha.
23. Malih mesirat keluhur, jaya-jaya ring Betara ngangge Puja Indrani Kesama Jagatnatha.
24. Selanjutnya keluarga dituntun pengubaktiannya kehadapan:
a. Sang Hyang Surya
b. Sang Hyang Prajapati
c. Sang Hyang Siwa Dharma
d. Dewa Pitara
25. Terakhir Sang Pemuput memberikan pewisik kpd Dewa Pitara. Dilanjutkan Puja Pengelepas Dewa Pitara agar kembali ke Sangkan Paraning Dumadi. Kalau upacara pengabenannya memakai upacara matetangi, maka tidak memakai puja pengelepas, hanya memakai puja pesimpen.
1. Hanya Pandita yang sudah medwijati dan mapulanglingga yang diperkenankan muput pengaskaran. Pinandita ekajati tidak wenang ngaskara. Apabila dilanggar maka „nyumuka”.
2. Setelah pengaskaran dilanjutkan dengan „pejayan-jayan” dan pebaktian seluruh keluarga.
3. Dilanjutkan Pemerasan dan tarpana saji, dimana adegan dan kajang mengelilingi banten pemerasan diikuti oleh sanak keluarga semua termasuk cucu dan buyut.


UPACARA MEBUMI SUDHA
Upacara pembersihan dan
penyucian ditempat pengesengan sawa berdasar nista, madya, utama. Tujuannya
menyucikan tempat pengesengan dengan tirta Kahyangan Tiga, tirta Kawitan, Tirta
Pengentas. Tirta ini tidak kena kecemeran. Dilakukan pada semua jenis
pengabenan

UPACARA PEMRELINA DAN MEWANGUN SEKAR
TUNGGAL DI SETRA.

Setelah adegan atau jenasah selesai
dibakar, arangnya ditutupi pelepah daun pinang (papah buah) yang daunnya sudah
disurat bergambar “Cakra”. Kemudian disiram dengan Toya Pemanah. Kmudian arang
tulang diambil satu persatu menggunakan sepit atau cincin permata mirah
Windhusara, diletakkan dalam kukusan. Dibersihkan lagi dengan air kumkuman.
Selanjutnya dilakukan “pangerekan” diatas “Panca Layuan” serta disucikan lagi
dengan eteh2 pesucian. Kemudian arang tadi digilas diatas sebuah
sesenden, kemudian dibungkus menjadi sekah tunggal.

Makna berbagai uparengga yang
digunakan adalah:

1. Penutup pelepah
daun pinang: makna kembalinya ke unsur2 Panca Maha Butha dan penumadiannya
nanti tergantung buah karmanya.

2. Toya Pemanah
yang dipakai: bukan toya penembak.

3. Arang diambil
dengan cincin mirah: sarana pengentas agar unsur Panca Maha Buthanya cepat
kembali ke sumbernya Sang Pencipta. Cincin mirah sebagai simbul kekuatan Siwa.
Sepit sebagai simkbul kekuatan Ardha Candra sebagai simbul kekuatan nada.
Setelah selesai. Wiku melaksanakan upacara pengiriman, sekah dihanyut.
Sebelumnya dilakukan meprelina dimana sekah tunggal dikelilingkan di Pengesengan
dengan arah prasawya (kekiri) kemudian baru nagkil ke Pemuput (wiku) untuk
memohon restu.


SAWA MEKINGSAN DI GENI DAN MEKINGSAN
DI PERTIWI (MEPENDEM).

Perlu menggunakan tirta Pekingsan,
karena bila sudah menggunakan tirta Pekingsan maka sewaktu-waktu dapat
melaksanakan upacara pengabenan. Namun jika tidak menggunakan tirta pengentas
pekingsan maka tidak diperkenankan ngaben sebelum setahun dipendem
(Lontar Yama Purana Tatwa).

UPACARA
PEMUKURAN/PENYEKAHAN/PENGRORASAN

Mukur asal katanya Bhuk (alam
bawah), Ur atau urdah (swah loka). Mukur adalah proses penyucian lanjutan dari
unsur2 Panca Mahabuta agar manjadi status Dewa untuk dikembalikan kealam
kedewataan shg disebut Dewa Pitara dan pada puncak kesuciannya disebut Hyang
Pitara.

Uperengga pada Damar Kurung
mempergunakan simbul Kupu-Kupu Dedari (seekor kupu2 berkepala widyadari)
sebagai simbul wahanyanya Hyang Pitara pulang kesumbernya. Ini terlihat dari
puja Penglepasan Pitra memohon kepada Sang Kepupu Wong. Demikian
juga pada upacara pengabenan, damar kurungnya berisi simbul burung garuda
berkepala raksasa sebagai wahanya Dewa Pitara. Puja Penglepasannya memohon
kepada Kaki Badra Lim (manuk Raja) untuk mengantar Dewa Pitara ke
sumbernya.


UPACARA PENGLIWETAN
Upacara pemukuran disertai upacara
Pangliwetan. Pengeliwetan mengandung maksud dan tujuan Pengeluweran yaitu
mengembalikan unsur2 Panca Maha Butha, unsur Rokh dan unsur atmanya kealam
masing2 yaitu: unsur Panca Maha Buthanya ke Prakerthi Tattwa (kekuatan
acetana), sedangkan unsur rokhnya kembali ke Purusa Tattwa dan unsur atmanya
kembali ke alam Parana Nirbana (kealam moksa). (lontar Tattwa Jnana).

Dalam proses Ngeliwet, dibuatkan bubur nasi yang berasnya diseruh sebanyak 11
kali (simbul dari alam Siwa. Angka 11 jika dijumlah menjadi 2 (simbul Windu
Sunia) atau alamnya Siwa. (Lontar Tutur Saraswati). Bubur ini dicampur dengan
menyan, madu, empehan (lontar Pengerorasan), bukan telur goreng dan bawang
goreng. Menyan sebagai simbul Sang Hyang Brahma (mengembalikan unsur Panca Maha
Buthanya), madu sebagai simbul kekuatan Sang Hyang Wisnu (mengembalikan unsur
rokhnya), empehan sebagai simbul kekuatan SH Siwa (mengembalikan unsur Atmanya.
Setelah bubur kental kemudian dikepal-kepal 108 buah sebagai simbul titik
puncak kekuatan Pralina (Tattwa Samkhya) dari angka 108 menjadi 9 merupakan
angka sakti Hindu (titik lebur), sedangkan angka 0 merupakan simbul Windhu
Sunia.


UPACARA NILAPATI
Upacara Nilapati adalah upacara
ngeluwuirang Hyang Pitara atau Dewa Hyang setelah pemukuran atau penyekahan.
Nilapati asal katanya Nila (hitam) yaitu Wisnu sebagai simbul kehidupan setelah
kematian. Upacara Nilapati adalah suatu upacara untuk menstanakan Dewa yang
berada dalam alam kehidupan yang tidak nyata.

INDIK PEDEWASAN PENGABENAN
Ada hari (dina) yang biasanya
dihindari dalam pengambilan dewasa atiwa-tiwa atau pengabenan. Pelanggaran
terhadap pengambilan dewasa dipercaya akan menimbulkan hal-hal yang fatal dalam
kehidupan sosial. Beberapa hari yang dihindari adalah.


Was Penganten. Tidak boleh dipakai hari penguburan dan ngaben. Pahalanya
dapat mengakibatkan kematian berturut-turut dalam satu banjar dan keluarga yang
ditinggalkan tidak putus-putusnya kegeringan.

Semut Sedulur. Juga tidak boleh. Pahalanya tidak putus-putusnya ada
penguburandalam satu desa dan keluarga yang ditinggalkan tidak putus2nya
menemukan kesusahan.

Catus Pemanggawan. Pada perhitungan hari ini tidak diperkenankan penguburan
atau ngaben. Kasureksa De Betara Yamadipati tan sida sang Pitra ngemangguhin
swargania.

Kala Gotongan. Tidak diperkenankan karena sang Pitra tidak habis-habisnya
menemui sengsara di alam bakha.

Hari Purnama, Tilem, Piodalan
Kahyangan Jagat. Tidak diperkenankan karena hal
ini disebut Amundung Kesucian Sang Hyang Siwa Butha, Sang Pitra tan urungan
kesinamberaning gelap sengsara kang pitra (lontar Yama Tatwa Wariga).

Pedewasan Sejeroning Pitung Rahina. Kurun waktu 7 hari dari meninggalnya, dapat dipakai salah
satu harinya namun tetap melihat larangan-larangan hari seperti diatas,
ternyata dalam kurun waktu 7 hari tersebut ada hari yang dilarang asal tidak
Was Penganten, masih bias memakai hari yang lain berkisar dalam tujuh hari
tersebut. Tapi kalau larangan harinya lebih dari satu dan kepepet, carikan
pedewasan diluar perhitungan tujuh hari tersebut, (Lontar Aji Janantaka).
Jika melkasanakan penguburan atau ngaben dalam kurun waktu tersbut dari
tidak ada larangan hari maka dewasa tersebut dikatakan jalan Sang maninggal
sangat utama sekali.

UPACARA NGAJUM KAJANG
Ngajum = memuji. Ngajum dalam kaitan
ngaben adalah menghias atman orang yang akan diaben. Panjang kajang 1,5 – 2
meter (sedepa astamusti), ditulis dengan aksara suci (Mudre). Aksara kajang
terdiri dari Sodasaksara yaitu gabungan Ongkara, dwiaksara, triaksara serta
dasaksara. Kajang adalah selimut orang yang meninggal yang dibawa menuju kealam
sorga. Oleh sebab itu aksara2 modre dalam kajang memiliki kaitan erat dengan
tattwa2 agama, khususnya ajaran kedyatmikan seperti tutur Kelepasan dan ajaran
Kemoksan yaitu ajaran untuk mencapai tujuan akhir menuju Sang Pencipta. Ngajum
kajang dilakukan sehari sebelum pembakaran.

Sarana yang digunakan untuk ngajum
kajang adalah sebagai berikut:
1. Persiapan tempat untuk ngajum kajang berupa bale atau meja.
2. Kain putih sebagai dasar pengajuman kajang
3. Selembar kain cepuk
4. Kajang klasa
5. Kajang pemijilan
6. Kajang sari
7. Ukur/wukur (uang kepeng yg dirangkai sbg manusia disebut ukur Deling, ukur balung menyerupai tulang). Wukur adalah tempat
pekoleman atma.
8. Jarum sekitar 3 lusin (tergantung banyaknya keluarga yg ikut)
9. Kwangen
10. Sekar Ura
11. Rurub Sinom
12. Rantasan
13. Minyak wangi


BEBERAPA JENIS KAJANG
1. Kajang Klasa: kajang dari sulinggih untuk alas kajang utama atau kajang pemijilan.
2. Kajang Pemijilan atau Kajang Utama: kajang yang dibuat sulinggih, ditaruh paling atas. Kajang ini yang akan diajum bersama ukur.
3. Kajang Sari: kajang dari dadia atau keluarga terdekat. Ditaruh dibawah kajang utama.
Kajang menurut pemakainya (soroh).
1. Kajang Brahmana : untuk sulinggih
2. Kajang Kesatria: untuk raja2
3. Kajang Jaba: untuk walaka (diluar untuk pandita dan raja)
4. Kajang soroh: atau kajang sesuai kawitan masing-masing. Kajang ini selanjutnya menjadi Kajang Utama.
Urutan penempatan ukur, kajang,
cepuk dan kain putih
1. Kasa putih (paling bawah)
2. Kasa putih
3. Kasa putih
4. Kain cepuk
5. Kajang Klasa
6. Kajang pemijilan (paling atas)
7. Ukur (diatas kajang pemijilan)

UPAKARA NGAJUM KAJANG
1. Ayaban tumpeng lima
2. Sesayut alit
3. Suci
4. Daksina gede (satu)
5. Banten sorohan
6. Banten pemelaspas
7. Sesayut pasupati
8. Pesucian


TATA CARA UPACARA NGAJUM KAJANG DAN
PEMERASAN

1. Pengabenan Sawa
Prateka (ada jenasah) ditaruh dibersihkan dimandikan ditaruh di semanggen. Sawa
Prateka (tanpa jenasah), dilakukan upacara ngendagh dan ngangkid. Jika tidak
diketahui kuburnya dilakukan upacara ngulapin

2. Sebelum
pengajuman, lakukan upacara pengulapan dg sanggah Urip (tempat roh yang
dipanggil akan diaben). Sanggah urip dibuat dari daun kelapa dumala, ditaruh
pada adegan, ditaruh disebelah jenasah yang akan diaben di semanggen.

3. Ngajum kajang
di natar mrajan disaksikan leluhur dan Dewa Pitara, dipimpin sulinggih. Kajang
dan adegan tidak kena kesebelan. Adegan adalah simbul atma dan ”atma tan kekeng
kesebelan karena atma percikan dari Brahman.

4. Kajang adalah
selimut kebesaran dari atma yang akan dibawa ke sorga.


DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

5. Adegan dan
kajang bukan bagian dari raga sarira (badan kasar/prakerti) yang kena
kesebelan, melainkan bagian dr Antah Karana Sarira (purusa)yang bebas
dari kesebelan.

6. Pemerasan dilakukan
di luar merajan, karena ada upacara simbolis sang atma turun ke alam manusia.

7. Setelah kajang
selesai di ajum maka Sulinggih mulai memuja pasupati kajang, kemudian
dilanjutkan ngaskara dan upacara mepetik.

8. Dilanjutkan
dengan Pemerasan. Diikuti oleh seluruh keluarga sebatas buyut. Adegan dan
kajang diarak mengelilingi upakara pemerasan sbg simbul Sang Hyang Atma turun
ke dunia manusia bertemu dg keluarga.

9. Selanjutnya
adegan dan kajang diletakkan diatas peti jenasah,

10. Menunggu pemberangkatan ka
setra.

URUTAN JALANNYA NGAJUM KAJANG
1. Siapkan sebuah asagan (bale, meja) dg kasur kecil, tikar dan bantal. Tikar dirajah Padma ditengah padma ditulis aksara
Ongkara Mertha dan Aksara Rwa Bhineda. Diatas bale2 diisi leluhur.
Disamping bale ditaruh banten: ayaban tumpeng 5, sesayut alit, suci,
daksina gde, sorohan, banten pemelaspas, peras pemelaspas, sesayut
pasupati, pesucian.
2. Siapkan sarana Ngajum Kajang: kain putih, selembar kain cepuk, kajang klasa, kajang pemijilan, kajang sari, ukur, jarum, kwangen,
sekar ura, rurub sinom, rantasan, minyak wangi.
3. Letakkan kain kasa 1,5 – 2 m diatas tikar sbg alas kajang sekaligus sbg pembungkus
4. Diatasnya kain cepuk. Diatas kain cepuk ditaruh Kajang Klasa
5. Diatasnya kajang sari (bila ada) (kajang dari dadia atau dari teman2)
6. Diatasnya kajang Pemijilan (dari sulinggih). Kajang Pemijilan ini kajang inti (kajang utama) yang akan di Ajum.
7. Ukur. Untuk laki2: Seleh (sisi pis bolong yang berisi dua huruf) menghadap keatas. Untuk wanita Kerep (empat huruf) menghadap
keatas. Membuat ukur harus memperhatikan Seleh dan Kerep.
8. Ngajum dimulai dg menusukkan jarum pada kajang melalui lubang uang kepeng sehingga ukur menyatu dg kajang seperti dijarit.
Diawali oleh penglingsir (pemangku/pinandita) menusuk pada bagian kepala.
Yang lebih muda dari yang diaben tidak boleh menusuk pd bagian kepala.
9. Dilanjutkan pebersihan dg air kumkuman, keramas, sisig, minyak wangi, boreh miik seperti memandikan orang meninggal. Lanjut
menghias kepala ukur dengan bunga.
10. Memasang kwangen seperti upacara nyiramang layon, di kepala 1, ulu hati 1, kedua siku, bahu, pergelangan tangan, pangkal paha,
lutut, pergelangan kaki.
11. Ditabur sekar rura diatas ukur, semprot minyak wangi. (sekar rura: macam2 bunga, kembang rampe, boreh miyik).
12. Memasang rurub sinom (dari blangsah pinang) sebanyak 3 buah (kepala, badan, kaki).
13. Menaruh rantasan diatasnya dan canang sari diatas rantasan.
14. Pemangku memercikkan tirta penglukatan, pebersihan, prayascita.
15. Melaspas kajang.
16. Sulinggih memberi tirta Pengajuman (tirta pasupati kajang) dan Tirta Saji. Bersamaan dengan pemujaan sulinggih membuat
tirta2: pengajuman kajang, tirta penembak, tirta pengentas, tirta prelina,
tirta penyaeb, tirta penganyutan dan lain-lain.
17. Setelah ngetisang tirta pengajuman, tirta pasupati kajang, rurub sinom dan rantasan diambil sementara lalu dilanjutkan ngeringkes
kajang. Kain putih tiga lembar paling bawah sebagai pembungkus. Sama
seperti ngeringkes jenasah, laki: kain pembungkus sisi kananmenutup,
wanita: pembungkus sisi kiri menutup. Pembungkus diikat dengan
benang tukelan dan tali rotan di tiga tempat, kepala, dada dan kaki.
Ketiga ikatan itu disambung dengan benang memanjang. Rurub sinom kembali
dipasang.
18. Setelah Ngaskara Adegan selesai, dilanjutkan upacara pemerasan. Kajang dan adegan dipanggul mengelilingi banten pemerasan
sebanyak tiga kali diikuti oleh sanak keluarga.
19. Kajang ditaruh diatas peti jenasah di Bale Semanggen. Nantinya akan dibawa ke setra untuk dibakar. 


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Ada lima jenis Pengabenan Pranawa
1. Sawa Pranawa: Disertai jenasah atau watang matah
2. Kusa Pranawa : dg watang matah atau hanya dengan adegan saja. Adegannya disertakan pengawak dari 100 katih ambengan. Memakai upacara pengaskaran.
3. Toya Pranawa. Sama dg Kusa Pranawa, hanya didalam adegannya berisi payuk pere, berisi air dan dilengkapi dengan eteh2 pengentas. Juga memakai Pengaskaran.
4. Gni Pranawa. Sama dengan pranawa lainnya, juga melakukan pengaskaran tapi pengaskaran nista yang dilakukan di setra setelah sawanya menjadi sekah tunggal. Tanpa uperengga seperti Damar kurung, tumpang salu, pepelengkungan, ancak saji, bale paga, tiga sampir, baju antakesuma, paying pagut. Hanya memakai dammar layon, peti jenasah dan pepaga/penusangan.
5. Sapta Pranawa. Upaca ini dilakukan dirumah, menggunakan damar kurung dan pengaskaran. Tapi tidak menggunakan Bale Paga pd waktu mengusung jenasah ke setra. Hanya menggunakan pepaga/penusanganb. juga dilaksanakan langsung di setra tapi pelaksanaan pengabenannya mapendem, serta pelaksanaan pengentasnya diata bambang.


PENGABENAN SWASTHA
Pengabenan sederhana, dengan tingkat terkecil karena tidak dengan pengaskaran. Berarti tidak menggunakan kajang, otomatis tanpa upacara Pengajuman Kajang. Tidak menggunakan bale paga, damar kurung, damar layon, damar angenan, petulangan, tiga sampir, baju antakesuma dan payung pagut. Hanya menggunakan peti jenasah dan Pepaga/penusangan untuk mengusung ke setra. Pelaksanaan upacara di setra saja. Pengabenan Swastha Geni ini sering rancu dengan pengabenan Geni Pranawa.
Swasta asal katanya “su” (luwih, utama). Astha berasal dari Asthi (tulang, abu). Dengan demikian Swastha berarti pengabenan kembali ke intinya tapi tetap memiliki nilai utama. Pengabenan swstha terdiri dua jenis:
1. Pengabenan Swastha Geni. Penyelesaian di setra dengan cara membakar jenasah maupun tanpa jenasah. Hanya ada pelaksanaan “pengiriman” setelah dibuatkan bentuk sekah tunggal, kemudian dilanjutkan dengan upacara nganyut. Setelah itu selesai.
2. Pengabenan Swastha Bambang. Semua runtutan pelaksanaannya upakaranya dilaksanakan di atas bambang penguburan jenasah. Kwantitas upakaranya sama dengan pengabenan Swastha Geni hanya saja dalam upakaranya ditambah dengan “pengandeg bambang”. Pengabenan swastha bambang ini tidak disertakan upacara pengerekan dan penganyutan , karena tidak dilakukan pembakaran melainkan dikubur. Sedangkan “pengelemijian” dan pengerorasan tetap dilaksanakan seperti ngaben biasa. Pengabenan Swastha Geni atau Swastha Bambang termasuk pengabenan nista utama, tidak memakai bale paga, tidak melaksanakan pengaskaran dan pada saat ke setra memakai tumpang salu saja.
3. Pengabenan Kerthi Parwa. Termasuk pengabenan tingkat nistaning utama. Dilakukan pada umat Hindu yang gugur di medan perang. Tidak dilakukan pengaskaran, hanya upacara ngentas dan pengiriman saja. Pelaksanaanya seperti pengabenan Swastha Geni.
4. Pengabenan Ngelanus. Sebenarnya tidak termasuk bagian dari jenis pengabenan. Hanya teknisnya yang dibuat cepat. Ada dua jenis:
a. Ngelanus Tandang Mantri. Pengabenan dan pemukuran diselesaikan dalam satu hari. Pengabenan ini mengacu pada sastra agama “Lontar Kramaning Aben Ngelanus”. Disebut juga dengan Pemargi Ngeluwer. Pengabenan ini hanya untuk para Wiku, tidak diperkenankan untuk walaka.
b. Ngelanus Tumandang Mantri. Dilakukan untuk walaka dalam kurun waktu satu sampai dua hari untuk para walaka . Upakara dan upacaranya tergantung kwantitas upakara dan upacaranya.

ini beberapa contoh pilihan jenis pengabenan menurut lontar yame tatwa bagi yang kurang mampu masih bisa memulih jenis ngaaben yang lebih rigan tanpa mengurngi makna ini copas dari yame tatwa

Kamis, 19 Juli 2018

Bhāgavad Gītā disebut sebagai Pañcama Veda karena Mahābhārata dan Rāmāyana (Itihāśa) dan Purāṇa




Om Swastyastu, pada tanggal 10 September 2020 yang lalu, seorang "pejuang" memposting sebuah pertanyaan di wall Facebook nya, yaitu :
//Sekarang serius ini saya bertanya kepada ahli kitab karena ketidaktahuan. Kenapa Bhagawad Gita dikatakan Pancamo Weda dan Mahabarata tidak disebutkan Pancamo Weda sementara Gita ada dalam Mahabarata itupun di dalam Bhisma Parva ????//
Atau bisa juga di akses dalam link ini :
Atas pertanyaan ini, maka saya akan menjawabnya, bahwa Bhāgavad Gītā disebut sebagai Pañcama Veda karena Mahābhārata dan Rāmāyana (Itihāśa) dan Purāṇa telah di sebutkan sebagai Veda kelima.
Itu lah dasar mengapa Bhāgavad Gītā disebut sebagai Pañcama Veda, karena Gītā terhimpun didalam Mahābhārata yang adalah Pañcama Veda, makanya di identifikasikan sebagai Pañcama Veda juga.
Mengenai dasarnya, sebenarnya terdapat banyak referensi yang dapat kita temukan, namun saya akan memberikan 1 saja referensi mengenai keberadaan Itihāśa dan Purāṇa sebagai Pañcama Veda, yaitu didalam Kautumiya Chandogya Upanisad 7.1.4 yang merupakan himpunan yang ada dalam Śruti :
नाम वा ऋग्वेदो यजुर-वेदह साम-वेद अथर्वनस कथि इतिहास-पुरानाह पंचमो वेदानम् वेदः ||
Artinya :
"Sungguh, Rg, Yajur, Sama dan Atharva adalah nama dari empat Veda. Itihāśa dan Purāṇa adalah Veda kelima."
Jelas disini dapat kita lihat bahwa Itihāśa dan Purāṇa merupakan bagian dari Veda. Terdapat beberapa referensi lain yang bisa didapatkan dalam Veda, seperti misalnya dalam himpunan Veda yang biasanya di jadikan referensi dalam Hindu Nusantara, yaitu Sarassamucaya sloka 39 yang menyebutkan juga bahwa pembelajaran Veda harus melalui Itihāśa dan Purāṇa.
Satu komentar menarik yang dapat saya lihat dalam post nya adalah komentar tentang Pañcama Veda yang katanya hanya di lontarkan bagi orang yang tidak paham akan Veda :
//Karena yg mengatakan seperti itu adalah orang sejatinya tidak memahami Wedha, tapi mengaku paham. Disamping itu yg mengatakan begitu punya kepentingan untuk menyebarkan ajaran kelompoknya untuk mencari pengikut.//
"Pejuang" yang satu ini mungkin juga tidak mengetahui bahwa konsep Itihāśa dan Purāṇa sebagai Pañcama Veda sesungguhnya telah terdapat dalam Śruti itu sendiri.
Mungkin sekian tanggapan saya saat ini, saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisannya, terimakasih.
Om Śānthi Śānthi Śānthi Om

PERISTIWA BANJIR BESAR DALAM TRADISI AGAMA SEMIT DAN ARYA




By: Menachem Ali
Airlangga University
SANSKRIT COSMOPOLIS
1. Prof. Sheldon Pollock menegaskan adanya "Sanskrit Cosmopolis" dalam karyanya yang berjudul "The Language of the Gods in the World of Men: Sanskrit, Culture and Power in pre-Modern India (University of California Press, 2006).
2. "Sanskrit Cosmopolis" dapat dibuktikan melalui kajian inskripsi, linguistik diakronis, dan kajian sastra keagamaan.
3. "Sanskrit Cosmopolis" membuktikan adanya migrasi teks Sanskrit ke Asia Tenggara dan migrasi teks Sanskrit dalam budaya Semit (Asia Barat).
INSKRIPSI "BOGHAZKOI" (1400 BC).
1. Inskripsi perjanjian antara Suppiluliuma, raja Hitti dan Mattiwaza, raja Mitani, ditulis dalam bahasa Akkadia.
2. Tertulis nama-nama para dewa: "Mitra", "In-da-ra", "Varuna" dan "Natasya" (lihat Rig-Veda I.64.46).
Indram, Mitram, Varunam, Agnim ahur
athodivyah sa suparno Garutman
ekam sad vipra bahudha vadanti
Agnim Yamam Matarisvanam ahuh
SRIMAD BHAGAVATAM, TABLET EPIK GILGAMESH (BABEL) DAN BIBLE
1. Peristiwa banjir besar tercatat dalam teks keagamaan rumpun Arya dan Semit, yakni kitab Srimad Bhagavatam Purana, Epik Gilgamesh dan Bible (Sefer Bereshit).
2. Intertekstualitas pada level tekstual dan pada level tradisi. Ada 4 opsi dalam membahas kesejajaran narasi "BANJIR BESAR" yang meliputi seluruh bumi.
* Epik Gilgamesh mengadopsi dari Bible
* Bible mengadopsi dari Epik Gilgamesh
* Keduanya mengadaptasi dari sumber yang sama.
* Srimad Bhagavatam Purana sbg sumber.
LINTAS TRADISI: MANU - NOACH - NUH
1. Semua teks dari berbagai latar agama yang bermacam-macam, sebenarnya merekam "the great heritage" yang sumbernya berasal dari Yang Maha Agung yang mengisahkan tentang keturunan orang yang saleh, yang naik ke bahtera Nuh. Itulah sebabnya kita dapat berkata: אנחנו בני אב אחד - Anahnu b'nei Av echad (Kita berasal dari Bapa yang satu), yakni Nuh atau Manu, dan dialah sebenarnya nenek moyang kita semua.
2. Agama-agama Abrahamik yang merujuk pada 3 agama besar, yakni Yahudi, Kristen dan Islam faktanya memang belum lahir dalam pentas sejarah.
3. Kitab Manu Smriti-veda sebagai kitab hukum memang diwahyukan TUHAN dan diterima oleh Manu pasca peristiwa banjir besar yang menenggelamkan seluruh bumi. Manu saat itu mempunyai 3 orang putra; dalam teks Vedic Sanskrit namanya disebut Charma, Sharma, dan Yapeti; dan dalam teks Septuagint Yunani dan teks Vulgata Latina - nama mereka disebut dengan nama Cham, Sem, Iapheth (Genesis 7:13). Sementara itu, dalam kitab تنوير المقباس من تفسير ابن عباس (Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibni 'Abbas) nama-nama bertradisi Arya tersebut juga ada kesejajarannya dalam versi tradisi Arab-Islam, yakni حام (Cham), سام (Sam) dan يافث (Yafats).
Tatkala membahas teks Quran khususnya ayat dari QS. Hud 11:48 maka Ibnu 'Abbas berkata:
وكان معه ثلاتة بنين سام وحام ويافث
"Wa kana ma'ahu tsalastah banin Sam, wa Cham wa Yafats" (dan Nuh disertai 3 putranya yakni Sam, Cham dan Yafats), see al-Fayruzabadi (ed.), Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn 'Abbas (Lubnan: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2011), hlm. 237
Manu diperintahkan TUHAN untuk menaiki bahtera besar sehingga hanya Manu dan orang-orang suci saja yang selamat dari banjir besar tersebut. Peristiwa banjir besar ini merupakan "pralaya" atau "total destruction." Catatan mengenai peristiwa banjir besar yang melanda seluruh permukaan bumi tersebut diabadikan dalam teks suci Hindu.
"Srimad Bhagavatam Purana." I.3.15.
rupam sa jagrhe matsyam
caksusodadhi-samplave
navy aropya mahi-mayyam
apad vaivastavam manum.
"Ketika terjadi banjir bandang pasca periode Caksusa Manu dan seluruh dunia tenggelam. Tuhan berinkarnasi sebagai ikan dan melindungi Vaivasvata Manu, dengan menempatkan beliau ke atas kapal." Lihat AC. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. Srimad Bhagavatam (Bhagavata Purana). Skanda Satu - Jilid 1 "Ciptaan" (Jakarta: Hanuman Sakti, 2015), hlm. 205-206
Dalam kitab Srimad Bhagavatam Purana VIII.24.41 tertulis demikian:
tata samudra udvelah
sarvatah plavayan mahim
vardhamano maha-meghair
varsadbhih samadrsyata
"Thereafter, gigantic clouds pouring incessant water swelled the ocean more and more. Thus the ocean began to overflow onto the land and inundate the entire world." see AC. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. Srimad Bhagavatam. Eighth Canto-Part Three (New York: the Bhaktivedanta Book Trust, 1976), pp. 253-254.
"Kemudian, awan-awan mahabesar mencurahkan hujan mahadahsyat yang membuat permukaan lautan terus semakin meninggi. Demikianlah kemudian lautan mulai meluap membanjiri daratan di seluruh dunia." Lihat AC. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. Srimad Bhagavatam (Bhagavata Purana) Skanda VIII Jilid 3 "Peleburan Ciptaan Alam Semesta" (Jakarta: Hanuman Sakti, 2015), hlm. 288.
Itulah sebabnya, kitab hukum yang diterima Manu ini disebut juga kitab Manu Smriti-veda atau disebut kitab Manawa Dharmasastra. Menariknya, nama Manu seakar dengan penyebutan "Man" atau "human" dalam bahasa English, yang satu rumpun dengan bahasa Sanskrit, dan dari istilah Manu inilah kita semua disebut "manusia", sebab kita semua adalah keturunan Manu yang selamat dari peristiwa banjir besar tersebut. Menariknya, istilah Manu dalam bahasa Sanskrit bermakna "berpikir" atau "kecerdasan", dan itulah sebabnya "manusia" disebut sebagai "animale rationale." Sementara itu, dalam tradisi agama-agama Abrahamic bertradisi Semitik, tokoh Manu ini ternyata sejajar dan identik dengan figur Nuh (نوح) ataupun Noach (נוח), yang juga diperintahkan oleh TUHAN untuk membuat bahtera besar. Pasca peristiwa banjir besar itulah maka akhirnya TUHAN memberikan hukum Nuh (Noach) yang kemudian disebut Noachic Laws, sebagaimana yang tercatat dalam kitab Mishnah, sebagai תורה שבעל-פה (Torah she be'al phe) bagi penganut agama Yahudi.

Pariprashna bukan Intelektual Extravaganza


Dalam meniti jalan spiritual, jalan Dharma, Sanatana Dharma, peran intelek sangatlah penting. Itulah sebabnya dlm do'a, dlm Rk Savitri yg populer sbg Gayatri Mantra kita memohon kpd Tuhan yg disebut sbg Savita, agar membimbing dan menuntuk Intelek kita shg bergerak menuju pencerahan.
"Bhargo devasya dhiimahi,
dhiiyo yo nah pracodayat..."
Apakah peran intelek shg begitu penting dlm meniti dharma? Dan mengapa pula Intelek perlu dituntun? Apakah jadinya bila intelek kita tdk dituntun/diarahkan dg benar?
Adalah fakta bahwa manusia sbg mahluk berpikir dan inteleknya sangat menentukan arah pikirannya. Itu pula sebabnya dr Catur Marga ada JINANA MARGA, yaitu jalan Intelektual, jalan analisa, path of reasoning.
Lalu apa itu Pariprashna? Mungkin kita pernah membaca/mendengar buku bernama Prashna Upanisad. Yg isinya adlh pertanyaan2 dan dr pertanyaan itu diberikanlah jawaban yg mencerahkan.
Dlm Bhagavad Giita juga dijelaskan pentingnya Pariprashna,
Tad viddhih pranipatena pariprashnena sevaya,
Upadiksyantite jinanam jininah tattva darsinah.
Pelajarilah kebenaran itu dari para bijaksana melalui pranipatta (bhakti), pariprashna (pengetahuan), dan sewa (pelayanan-karma).
Jadi Pariprashna adalah pertanyaan2 yg diajukan guna memperoleh jawaban dan dg jawaban tersebut dpt memberikan pencerahan, penerangan bgmn melangkah meniti jalan Dharma.
Lalu apakah intelektual extravaganza? Dia adlh pertanyaan2 yg bukan untuk mendapatkan jawaban, tapi semata untuk menguji, mencari celah perdebatan, atau menunjukkan superioritas diri dg beradu argument (berdebat). Intelektual semacam ini nanyak sekali kita temukan sekarang, ya... manusia sekarang perkembangan intelektualnya sdh cukup berkembang baik dibandingkan generasi sebelumnya, tetapi akibat absennya "PARIPRASHNA" potensi intelektual ini terbuang sia2, hanya menghabiskan waktu dan energy untuk memperdebatkan sebuah topik tanpa manfaat pd akhirnya. Dan ironisnya lbh banyak menyumbangkan kebingungan bagi kaum awam akibat dispersi pendapat pr intelektual yg cenderung saling menjatuhkan/menyalahkan.
Oleh karena itu mari kita giatkan PARIPRASHNA dan hindari INTELEKTUAL EXTRAVAGANZA. Agar seperti do'a yg setiap hari kita panjatkan,
Dhiiyo yo nah pracodayat....
Bimbinglah intelek kami agar menuju pencerahan...
Melalui Pariprashna, bukan dg Intelektual Extravaganza.

Rabu, 11 Juli 2018

Perkembangan Sanatana Dharma Global





Perkembangan Sanatana Dharma (Hinduisme)di Afrika (1)
Afrika Selatan dan Arya Samaj bagian pertama
Sejak dari jaman dahulu Afrika khususnya Afrika Utara (Mesir) memiliki hubungan dagang dan peradaban dengan India. Penyakit cacar di India konon ditularkan lewat perdagangan dengan Mesir. Beberapa cantrik Yunani yang belajar matematika dan filsafat ada yang melanjutkan pelajaran hingga ke India misanya Pherekides, salah satu guru Phytagoras yang mengajarkan Phytagoras konsep reinkarnasi, dan salah satunya orang yang menginspirasi Phytagoras belajar ke Mesir.
Negeri India disebut Punt oleh orang Mesir kuno dan orang Mesir mengimpor resin, kayu jati, cendana, binatang eksotik liar untuk kaum bangsawan dan orang kaya Mesir, emas, kayu eben, dan lain-lainnya. Perdagangan Mesir -India dilakukan lewat jalur laut laut dan pelabuhan India di selatan yakni Ovir. Sejumlah sejarahwan ada yang mengkaitkan peradaban bangsa Dravida yang berkulit hitam dengan peradaban bangsa Mesir kuno yang berkulit hitam dan bangsa Sumeria (di Irak kuno) yang juga berkulit hitam. Mitlogi ketiga bangsa pun memiliki banyak kesamaan. Namun catatan tertulis Mesir pertama tentang ekspedisi ke India adalah pada mas firaun Sahure (abad ke-25 Sebelum Masehi) atau lebih dari 4000 tahun yang lalu.
Ketika Afrika dan India adalah jajahan Inggris, pemerintah Inggris sering memakai orang India sebagai pegawai adminstrasi kolonial, tentara, dan pekerja kasar ; misalnya untuk pembangunan jalur kereta api di Afrika. Migrasi orang India ini kemudian membuat kantong -katong diaspora India di Afrika hingga sekarang. Negeri Afrika yang didominasi keturunan India adalah Mauritius dengan populasi lebih dari 50 persen. Negara lain yang memiliki populasi diaspora India yang besar adalah Afrika Selatan yang mencapai lebih dari 500.000 orang. Mahatma Gandhi muda misalnya pernah tinggal di Afrika Selatan.
Orang India di Afrika memiliki banyak kepercayaan terutama Hinduisme, Islam, dan Nasrani. Akan tetapi di Afrika Selatan jumlah penganut Hindu mengalami penyusutan karena ada yang beralih ke Protestanisme khususnya ajaran Pantekosta. Angka resmi konversi tak diketahui dan tak dicatat di Afrika Selatan yang sekuler. Selain misionarisme, hal ini disebabkan oleh problem orang Hindu sendiri di Afrika Selatan, Orang Kristen India di Afrika Selatan berasal dari kalangan rendah India yang terkonversi pada masa kolonial sedang konversi setelah abad ke-20 selain disebabkan pelayanan sosial kemanusiaan berupa layanan kesehatan dan pendidikan juga karena celah kelemahan sistem kasta yang mendapat serangan dari paham-paham luar Hinduisme. Di Afrika Selatan, orang kaya India dari umumnya kasta atas sangat mempertahankan status sosial mereka dan menjaga jarak dengan kaum kasta rendah. Pernikahan antara dua golongan pun sulit sehingga ada yang beralih kepercayaan untuk pernikahan. Menurut Hindusm Today hal ini desebabkan oleh kurangnya pemahaman kaum Hindu Afrika Selatan akan sendi-sendi utama ajaran Veda., serta kurangnya pengetahuan akan sastra dan aksara Hindu. Para pemuka agama Hindu kurang memberikan pencerahan dan pengajaran spiritual kepada umat dan sibuk dengan tradisi dan upacara. Sistem kasta yang bukan ajaran Veda tapi sistem sosial bentukan manusia seiring zaman menenggelamkan kemuliaan Hinduisme.
Di lain pihak di luar dugaan angka orang Arika asli khususnya yang berkulit hitam yang memilih paham Sanatana Dharma di Afrika mengalami peningkatan signifikan. Lalu bagaimana hal ini bisa terjadi di tengah penurunan umat Hindu keturunan India di Afrika?. Ternyata paham paham Sanatana Dharma yang masuk dan diambil oleh orang Afrika kulit hitam adalah paham-pham Sanatana Dharma yang spiritual (sering disebut secara populer paham Yoga), dan paham Hinduisme modern semisal Arya Samaj yang bebas sistem kasta.
Di Afika Selatan nektar Hinduisme disampaikan terutama oleh sebuah organsasi Vaishnava dan Arya Samaj. Paham Arya Samaj dibawa ke Afrika Selatan oleh Bhai Pharmanand dan Svami Shankarand yang diutus oleh gerakan reformasi Hindu ini pada tahun 1905. Ia memberikan pracar/dharma wacana (dakwah) kepada komunitas India tentang ketuhanan, peradaban dan agama Hindu yang benar menurut paham Arya Samaj yang reformis, serta pentingnya bahasa Sanskerta dan bahasa ibu. Salah satu pendengar setia kelas-kelas Arya Samaj di Afrika Selatan adalah Mahatma Gandhi muda.
Arya Samaj (Masyarakat yang Mulia) didirikan di India tepatnyadi Mumbai oleh Dayananda Saraswati seorang yang anti sistem kasta pada 10 April 1875. Pada masa aktifnya beliau berusaha untuk mematahkan hegemoni pendidikan a la Ingris di India dengan membuat sistem pendidikan berdasarkan ajaran kuno India yang ia bangkitkan lagi yakni sistem Gurukula. Ia mengajarkan pengajaran berbasis nilai Veda, pemisahan kelas antara anak lelaki dan anak perempuan, budaya, Satya (kebajikan) dan Sanantana Dharma nama kuno untuk Hinduime yang bermakna menurut Arya Samaj esensi dari kehidupan.