Rabu, 11 Januari 2017

TAT TWAM ASI


Dagang Banten Bali



“Tat Twam Asi”. Selama beribu-ribu tahun, beribu-ribu brahmin dan berjuta-juta umat Hindu mengucapkan mantra pendek dalam Upanishad itu. Yang menarik, di abad ke-20 seorang yang bukan brahmin, bukan Hindu, seorang atheis, ikut meyakininya.
Edwin Schrödinger, salah satu tokoh fisika kuantum, ilmuwan Austria pemenang Hadiah Nobel di tahun 1933, menerbitkan “Mein Leben, meine Weltansicht” (Hidupku, Pandangan Hidupku), yang dikumpulkan dari tulisan-tulisan dari tahun 1925. Di dalamnya kita temukan tafsirnya atas “tat twam asi”:
“Kau bisa rebahkan tubuh rata ke atas tanah, terentang di atas Ibu Bumi, dengan keyakinan bahwa kau satu dengan dia dan dia dengan kau”.
“Tat Twam Asi”: aku-adalah-dia, kau-adalah-itu. Kau-aku-adalah.. selalu merupakan satu. Semua makhluk secara intim terhubung dengan energi semesta. Di abad ke-8, seorang pemikir Hindu, Adi Shankara, menggunakannya sebagai dasar ajarannya, Advaita Vedanta: tiap kita, tiap atom kita, adalah bagian Ia Yang Kekal, Luhur, Sempurna. Dengan kata lain Atman, diri, adalah Brahman, yang abadi.
Atman = Brahman; Schrödinger mengikuti “persamaan” ini. Ajaran “tat twam asi” ini memang pas bagi pemikirannya. Ia salah satu pionir fisika kuantum yang tak lagi berurusan dengan partikel sebagai butir-butir pejal, melainkan sebagai taburan elektron yang tak jelas di mana, yang tak punya “individualitas”, terkadang sebagai gelombang, terkadang bukan dan kemudian diketahui sebagai “medan” (fields).. Perilaku mereka lain dari logam dan air yang kita pelajari dulu dalam fisika SMA.
Dalam suratnya kepada Einstein di tahun 1935, Schrödinger berbicara tentang fenomena yang paling ganjil dari “dunia” ini, yakni “Verschränkung” (diterjemahkan sebagai entanglement): dua partikel yang saling berkelindan bagai bayi kembar, berperilaku persis sama meskipun terpisah beribu-ribu kilometer. Tak ada “lokalitas”.
Einstein, yang ilmunya bermula dalam fisika klasik, menganggap fisika kuantum belum menjelaskan keganjilan itu — yang ia ejek sebagai “spukhafte Fernwirkung” , gerak di kejauhan yang mirip hantu.
Schrödinger juga tak sepenuhnya mengikuti para pelopor fisika kuantum yang berkelompok di Kopenhagen di bawah Niels Bohr. Bagi mereka, tak ada hubungan antara dunia sehari-hari yang “makroskopik” dan wujud di tingkat kuantum, sementara Schrödinger masih menggunakan rumus-rumus matematika dari fisika klasik, berasumsi (atau “berharap”?) ada hubungan antara dunia sehari-hari dengan obyek yang ditelaah fisika kuantum..
Memang ada titik pertemuan antara Schrodinger dan Einstein: kedua fisikawan dari generasi yang berbeda itu menganggap alam semesta sebuah proses yang tak seluruhnya acak, tanpa sebab-akibat. Ucapan Einstein yang terkenal, “Tuhan tak bermain dadu”. Baginya ada dasar yang lebih dasar yang menyatukan yang acak-acakan. Jangan-jangan ada variabel yang tersembunyi.
Sampai hari ini anggapan Einstein belum terbukti.
Tapi “Tat Twam Asi”. Dengan atau tanpa variabel itu, Schrödinger memandang alam semesta tunggal. Sifat acak dan plural adalah ilusi. Kemajemukan itu hanya “maya” — “ilusi yang persis seperti yang dihasilkan sebuah galeri cermin”. Lihat, “Gaurisankar dan Gunung Everest ternyata puncak yang sama yang tampak dari lembah yang berlain-lainan.”
Schrödinger, seperti ajaran Advaita Vedanta, menafikan dualisme. Aku (sebagai kesadaran yang mengamati) dan dunia (yang diamati), sebenarnya tak terpisah sebagai subyek dan obyek. Tapi sains memisahkannya. Sains bekerja dengan tekad “obyektifitas”, sepenuhnya bebas dari pengaruh subyektif,.
Dalam “Nature and the Greek and Science and Humanism”, Schrödinger mengemukakan dua anggapan dasar sains. Pertama, anggapan bahwa “dunia bisa difahami”. Kedua, anggapan bahwa untuk memahami dunia yang rumit ini, sang subyek, “the subject of cognizance”, hanya memfokuskan diri sebagai intelek; ia menafikan sumbangan pancaindera dan tubuh buat pengetahuan.
Tapi perspektif itu berubah. Di abad ke-20, fisika kuantum memulihkan hubungan subyek dan obyek yang dikaburkan fisika klasik. Bohr dan Heisenberg menunjukkan, obyek tak terlepas dari subyek yang mengamatinya. Kedua fisikawan itu, kata Schrödinger, telah “mendorong ilmu fisika ke arah batas yang misterius antara subyek dan obyek, yang ternyata bukan batas yang tajam sama sekali”.
Kita tahu, Schrödinger menyetujui itu, meskipun ia tak menganggapnya penemuan baru. Yang baru adalah pengakuan bahwa ada jejak “yang tak terhindarkan dan tak terkendalikan” dari subyek ke dalam obyeknya dan sebaliknya. Itu tak berarti, menurut Schrödinger, beda subyek dari obyek niscaya “tergantung dari hasil kuantitatif ukuran fisika dan kimia”, dengan spektroskop, mikroskop teleskope, alat pengukur radiasi Geiger…
Kita kembali kepada “Tat Twam Asi”. Aku-Kita-Kau-Dia-Mereka=Satu. Sebuah pandangan yang, menurut penganut positivisme, “tidak ilmiah”
Positivisme melihat sains sesuatu yang terpisah — bahkan menyisihkan —filsafat. Tentu itu bukan satu-satunya kebenaran. Bagi fisikawan seperti Schrödinger sains adalah bagian usaha kita menjawab “satu pertanyaan filsafat yang penting”, yakni “Siapa gerangan kita”.
Memang, ada suara di Kopenhagen yang menjawab: jangan bertanya, hitung saja, bikin saja matematikanya! Tapi bisakah ilmuwan membungkam rasa ingin tahu, sebab dari situ juga sains tumbuh?

Zaman Mahabharata setelah berakhirnya Bharatayudha, bagaimana perbuatan memperolok orang suci berakibat besar untuk sebuah kerajaan.
Kisah ini diceritakan terjadi di Kerajaan Dwaraka, kerajaannya Sri Krishna. Saat itu Sri Krishna sudah berada di dalam kerajaannya, setelah selesai urusannya dengan para Pandawa dan sesudah penobatan Prabu Yudistira.
Diceritakan pada suatu hari ada rombongan tujuh resi agung melewati Kerajaan Dwaraka. Beberapa orang dari wangsa Yadawa, sebutan penduduk di Kerajaan Dwaraka, memperolok ke tujuh resi agung itu. Mereka ingin melecehkan para resi itu. Mereka mendandani seorang anak muda lelaki seolah-olah perempuan yang sedang hamil besar. Lalu kepada tujuh resi agung itu, seseorang bertanya: “Kapan bayi anak ini lahir dan apa kira-kira jenis kelaminnya?”
Orang-orang Yadawa berharap para resi akan menjawab anak itu lelaki atau perempuan. Apa pun jenis kelaminnya tentu tak penting bagi mereka, yang lebih penting para resi itu mau menjawabnya. Dan pastilah kalau jawaban para resi itu keluar, mereka akan tertawa terbahak-bahak, dan membuka kedoknya bahwa semua ini olok-olok karena orang yang seperti hamil itu adalah anak lelaki.
Ternyata tujuh resi agung itu serius berembug sebelum menjawab. Apa jawaban para resi? “Perempuan hamil ini akan melahirkan satu gada besar yang akan menghancurkan wangsa Yadawa dan menenggelamkan Kerajaan Dwaraka”. Orang-orang Yadawa kaget sebentar lalu tertawa terbahak-bahak. Ketika mereka mau memperolok para resi itu lebih lanjut, ternyata para resi sudah menghilang, tak tahu ke mana arahnya.
Tak berapa lama setelah wangsa Yadawa itu tertawa-tawa, tiba-tiba ada suatu keanehan yang mengagetkan mereka. Lelaki yang didandani seperti perempuan hamil itu, ternyata betul melahirkan sebuah gada baja. Mereka pun ketakutan dan bingung. Akhirnya gada yang keluar dari perut lelaki itu itu dibawanya kepada seseorang yang bernama Ugrasena, salah seorang tokoh dari klan Yadawa. Ugrasena lalu menggiling gada itu menjadi tepung dan membuangnya ke laut. Aneh tepung itu kembali lagi ke pantai dan berubah menjadi rumput ilalang yang setajam pisau. Sebagian serpihan gada yang dilempar ke laut ditelan oleh seekor ikan. Kemudian seorang nelayan yang bernama Jaras berhasil menangkap ikan itu. Jaras menemukan sekeping gada itu lalu diberikannya kepada sahabatnya, seorang pemburu. Kepingan gada itu dijadikan anak panah.


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Inilah awal dari kehancuran wangsa Yadawa dan Kerajaan Dwaraka. Sri Krishna sudah tahu pertanda alam ini dan kepada Dewa Narada, Krishna sudah berpesan inilah saatnya tiba dia akan kembali ke alam dewata, kembali sebagai Wisnu setelah selesai menjalani tugas sebagai awatara.
Bagaimana wangsa Yadawa bisa punah? Berawal dari suatu pesta besar di tepi pantai. Tiba-tiba terjadi kerusuhan tanpa jelas sebabnya. Masing-masing orang saling menyerang menggunakan rumput ilalang menyerupai pisau itu. Perkelahian di antara para wangsa Yadawa menjadi demikian dasyat sehingga seluruh warga mati di tepi pantai itu.
Setelah mengetahui bahwa seluruh wangsa Yadawa telah meninggal, Sri Krishna pergi ke hutan dan berbaring di bawah sebatang pohon. Seorang pemburu sedang ada di hutan itu. Pemburu melihat jari kaki Krishna dan mengira itu seekor burung. Pemburu memanah



“burung” itu, dan darah pun mengucur. Darah Sri Krishna. Pemburu kaget dan bersimpuh di depan Krishna memohon pengampunan. Krishna tersenyum dan memberi tahu pemburu itu bahwa itulah jalannya untuk kembali menuju alam dewa, dari panah yang berasal dari gada. Dan ia mengingatkan kepada pemburu, Kerajaan Dwaraka akan segera tenggelam oleh air bah dari laut.

Oleh : mpujayaprema


Ida Bagus Parta Om Swastyastu Ida Mpu..
Para Rsi itukah yang menciptakan Gada itu ?
Apakah Makna Gada sebenarnya. ?
Apakah laki-laki itu sang Samba ?
Apakah tepung gada yang menjadi ilalang ada kaitannya dengan Nyasa Siwa Lingga dalam upacara agama ?
Apakah panah dari pecahan gada mampu membunuh krisna. ? Apa makna sesungguhnya.
Mohon pencerahannya
Om Shanti Shanti Shanti Om.


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Senin, 02 Januari 2017

Cymatics Om


Dagang Banten Bali

Om Swatyastu, Semeton....
"Di antara para Maharishi, Akulah Bhrgu; di antara akshara-akshara suci, Akulah Om yang Maha Suci; di antara yajna, Akulah Japa (chanting); dan, di antara yang kukuh dan dan tak tergoyahkan, Akulah Himalaya."
(Bhagavad Gita 10:25)
"Pranava atau Sabda Awal Om adalah Ungkapan Verbal-Nya (Paramatma)"
(Yoga Sutra Patanjali I.27)
Seluruh umat Hindu mengetahui kebenaran ini. Bahwa dari keadaan yang tidak bisa dipikirkan dan dirasakan, ada Nada atau Sabda yang oleh para rishi didengar sebagai Om.
Om adalah sabda yang menghasilkan alam semesta, yang memeliharanya, dan yang mendaur-ulangnya. Sabda Om senantiasa terdengar hingga kini, "saling sahut-sahutan", seiring berbagai penciptaan dan daur-ulang yang secara konstan terjadi.
Disebut sebagai prana awal atau utama, Pranava, maka dari Sabda Om, muncul prana yang menjadi sumber energi penciptaan. Setelahnya, pikiran dan perasaan alam semesta terbentuk dari materi halus. Demikian, dari Om, muncul nada-nada lain yang pada akhirnya menciptakan pikiran dan perasaan manusia, serta Pancha Mahā Butha yang menghasilkan badan manusia.
Baru-baru ini, NASA berhasil membuat suara "desis lidah" matahari dapat didengar oleh telinga manusia. Dan itu terdengar sebagai Om.
Artinya, matahari (Surya) adalah sumber prana semua makhluk di bumi. Tanpa Om (dan prana) dari matahari, tak ada satu pun makhuk di bumi yang mampu bergerak.
Om juga memiliki bentuk geometri yang dapat dilihat oleh mata kita.
Dr. Hans Jenny mempopulerkan istilah cymatics yang bermakna "ilmu terapan yang membuat suara atau sound dapat terlihat oleh mata manusia".
Dalam usahanya, Dr. Hans menciptakan seperangkat alat, yang disebut tonoscope, yang bisa membuat suara terlihat wujudnya.
Dr. Hans mengundang beberapa schoolar-brahmin untuk penelitiannya terhadap Suara Om. Melalui tonoscope, para brahmin (brahmana) itu mengucapkan Suara Om.
Hanya setelah mengucapkan Om dengan tepat, dengan irama yang benar, tanpa sedikitpun disimpangkan bunyinya, maka terbentuk geometri Shri Yantra/Shri Chakra. Awalnya (saat suara A dan U yang berbunyi O dibunyikan) terbentuk lingkaran dan kubus. Tetapi saat suara "m" dari Om terucap, segitiga-segitiga mulai terbentuk menyusun geometri Shri Yantra.
Artinya, alam semesta ini sesungguhnya adalah wujud nyata dari geometri/yantra yang berwujud Shri Yantra. Ada penguasa atau Deva disetiap sudut dan disetiap segitiganya. Dan ada bindu di pusat yantra sebagai sumber Sabda Om dari Paramatma.
Tetapi, itu adalah sisi materi atau kebendaannya. Ada sisi lainnya, yaitu Om sebagai Shabda Paramatma atau Shabda Brahman. Brahman memiliki dua (2) aspek, yaitu Shabda Brahman, yang merupakan getaran Nada Om dan nada-nada turunannya, serta Prakash Brahman, yang merupakan materi alam semesta yang terlihat/visible.
Bukan berarti suara selain Om adalah salah. Tidak.Tetapi dari penelitian Dr. Hans, nyatanya hanya suara Om yang diuncarkan dengan tepat saja yang menghasilkan geometri yang indah. Yang artinya, membenarkan visi dari rishis masa lampau.
Om dan suara lain dari sebuah mantra adalah usaha manusia untuk men-dekodifikasi aspek-aspek tertentu dari pikiran dan perasaan alam semesta. Setiap mantra adalah suara yang berusaha mengakses bagian tertentu dari alam semesta.
Sedangkan untuk "kembali" pada Paramatma, sumber dari Om itu sendiri, pengulangan Om secara tepat di saat kita menghembuskan prana yang terakhir, "sudah cukup" untuk menghantar kita pada Moksha.
Om, dengan nada-nada lain pada mantra, menghantar kita pada segala aspek materi atau kebendaan. Om pula yang menghantarkan kita pada moksha.
Asalkan pengucapan kita tepat. Asalkan kita melatih diri seumur hidup, agar saat ajal menjemput, hal tersebut sudah otomatis terucap.
Om adalah sumber dari Shri Yantra, sumber dari kejayaan Peradaban Hindu Dharma.
Sampai jumpa lagi, Semeton....Matur Suksma.

Minggu, 01 Januari 2017

KETIKA ALAM MASIH KOSONG SAMPAI TRI LINGGA TURUN KE BALI



Om A No Bhadrah Kratawo Yantu Wiswatah,
Para pembaca yang budiman, sebelum saya mulai menghaturkan jalannya ceritera Betara Kasuhun Pasek Gelgel Pesawangan di Sawangan, khususnya leluhur kami (“Kaki Bongol dan Kaki Djelantik”), marilah kita heningkan pikiran sejenak, menghormat Kehadapan Betara Iswara, Betara Hyang Agni Jaya, Hyang Putra Jaya, Hyang Dewi Danuh, Betara Mpu Gni Jaya apriyangan di Lempuyang Madya, Betara Mpu Ghana apriyangan di Dasar Bhuwana, BetaraMpu Semeru apriyangan di Besakih, Betara Mpu Kuturan apriyangan di Silayukti dan Sang Hyang Aji Saraswati.
Memohon semoga Betara-Betari, asung lugraha dan asung kertha wara nugraha, kepada kita sapretisentananya, yang ingin mengetahui adanya Betara-Betari di Bali khususnya di Sawangan.
Sekali lagi, damuh Paduka Betara-Betari (Penulis), dengan hati yang penuh kesucian, mohon agung pangampura kehadapan Paduka Betara, karena damuh Paduka Betara-Betari berani (langgana) mengisahkan dan menyebut-nyebut nama-nama Paduka Betara-Betari, yang tiada lain karena tujuan suci, berbhakti kehadapan Betara-Betari, agar para damuh Paduka Betara-Betari, sama mengenal Paduka Betara-Betari.
‘Ksamakna hulun de Hyang Mami, mwang Dewa Bhatara makadi Hyang Kawitan, moghi hulun tan kneng upadrawa tulah pamidi, nimitaning hulun, ngutaráken katatwan ira, sang wusamungguh ring tmagawasa, lepihaning kawitan, kang wenang kasungsung de treh…………’. (Leluhur Orang Bali, Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, hal. 1).
Artinya :
‘Maafkanlah hamba oleh junjungan hamba, dan para dewa-dewa pelindung, seperti halnya para leluhur, semoga hamba tidak mendapat kutukan, lancang. Sebab hamba menuturkan prihalnya beliau, yang telah bersthana pada lempengan tembaga, lempiran Leluhur, yang seterusnya dijunjung oleh turunan………’.
Semoga setelah sama mengenal Betara-Betari, akan segera ingat kembali kepada sumbernya, timbul suatu hasrat suci, berbhakti kehadapan Betara-Betari, setia mengemban lingning Bhisama, demikian juga setia mengemban Kahyangan dan selalu ingat kepada Pamujawalinya.
Selanjutnya, sebelum saya haturkan kisah Pasek Gelgel Sawangan Pratisentana Kaki Bongol dan Kaki Djelantik, terlebih dahulu akan saya haturkan sedikit tentang turunnya Tri Lingga di Bali.
Seperti terungkap dalam Babad Pasek bahwa pada jaman bahari tahun Çaka 11 (tahun 89 M), Gunung Agung meletus dengan dahsyatnya, yang mengakibatkan rusaknya Nusa Bali. Hyang Harimbawa sangat mudahnya menggoyahkan Nusa Bali dan Seleparang (Lombok). Pasca bencana alam tersebut, di Bali hanya masih tersisa 4 gunung (Catur Loka Pala) yaitu di Timur Gunung Lempuyang, di sebelah Barat Gunung Watukaru, di sebelah Selatan Gunung Andakasa, dan di sebelah Utara Gunung Beratan. Karena demikian rusaknya Nusa Bali, maka Hyang Pasupati yang bersthana di Gunung Semeru, sangat prihatin melihatnya, maka Hyang Pasupati berkenan membongkar sebagian di bagian barat dari lereng Gunung Semeru, untuk dipindahkan ke Bali dan Seleparang (Lombok).
Perintah Hyang Pasupati ; Ki Bedawang Nala diperintahkan sebagai dasar Gunung yang akan dipindahkan, Sang Naga Basukih dan Sang Ananta Boga menjadi tali pengikat, Sang Naga Taksaka yang menerbangkannya, lanjut diturunkan di Bali dan Seleparang, pada hari Wrhaspati (Kamis) Umanis, wara Merakih, panglong ping 15, Sasih Karo, Tenggek 1, Rah 1, Candra Sangkala Eka Tang Bhumi, tahun Çaka 11 (Bulan Agustus 89 M). Ketika membawa potongan gunung itu ada bagian-bagian yang tercecer. Bagian yang kecil menjadi Gunung Lebah (Gunung Batur terletak di Kintamani, Bangli) sedangkan bagian yang lebih besar menjadi Gunung Tohlangkir yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Agung di daerahKarangasem. Banyak hal-hal yang terjadi pada waktu itu, mulai saat itulah awal mula NusaBali. Setelah terwujud kesemuanya itu, Hyang Pasupati di Gunung Semeru memanggil semua putra-putranya, setelah sama-sama berada di hadapan Hyang Pasupati, sabda Betara Kasuhun :
“ Wahai anakku bertiga, Agni Jaya, Putra Jaya dan Dewi Danuh, tidak lain anakku bertiga kusuruh pergi ke Bali, membangun kembali Nusa Bali dan nantinya anakku bertiga menjadi pujaan orang Bali”.
Betara Tiga menghaturkan sembah, serta haturnya : “Paduka Betara, hamba ini masih kanak-kanak, tidak tahu jalan menuju Nusa Bali dan belum sanggup memelihara Nusa Bali”.
Sabda Hyang Pasupati: “Anakku bertiga, jangan kamu bersusah hati aku akan memberi engkau bertiga wahyu, supaya kehendakmu semua tercapai, kamu bertiga adalah anakku tercinta, wajib nanti menjadi pujaan orang-orang Bali, sampai akhir jaman”.
Hyang Pasupati beryoga, memberikan anugrah kepada anaknya bertiga, segera juga Betara bertiga menghaturkan sembah penghormatan kehadapan Hyang Pasupati. Betapa ramainya suara genta pemberkatan dan suara genta penghormatan dari Betara bertiga (Hyang Agni Jaya, Hyang Putra Jaya dan Hyang Dewi Danuh) kehadapan Hyang Pasupati. Banyak hal-hal yang terjadi pada waktu itu.
Setelah Betara bertiga diberkati, segera digaibkan ke dalam seludang kelapa gading, dikirim/berjalan melalui dasar laut dan bumi. Demikian cepatnya, Betara bertiga telah sampai di Puncak Gunung Tohlangkir (Agung), pada hari Sukra (Jumat) Kliwon, wara Tolu, sasih Kelima, Penanggal ping 3, rah tenggek 13 (Bulan November) tahun Çaka 113 (191 M), Gunung Agung meletus sangat hebatnya, api menyembur keluar dari lubang kepundan Gunung Agung, gempa, kilat berkesinambungan tiada putus-putusnya. Ditambah pula dengan suara dentuman-dentuman letusan, hujan sangat lebatnya, lahar mengalir ke seluruh penjuru, kejadian ini berlangsung sampai dua bulan lamanya. Demikian suatu pertanda kehadiran Batara bertiga di Nusa Bali.
Tidak beselang lama, entah beberapa tahun kemudian, Betara bertiga sama-sama membagi tugas: Hyang Agni Jaya yang menjalankan tugas Kependetaan, ngemban Betara Iswara di Pura Sadkahyangan Agung Lempuyang luhur, Hyang Putra Jaya, yang mengemban tugas Kepemerintahan, apryangan di Gunung Agung (Tohlangkir), Hyang Dewi Danuh yang mengemban tugas Kemakmuran apryangan di Ulundanu Batur.
Hyang Pasupati di Gunung Semeru, mengutus lagi Putra Putrinya datang ke Bali, memperkuat kedudukan Betara bertiga, masing-masing yaitu : Hyang Tugu, Hyang Manik Gayang, Hyang Manik Gumawang dan Hyang Tumuwuh. Setibanya di Bali langsung menghadap Hyang Putra Jaya di Gunung Agung – Puncak Tohlangkir. Gunung Agung meletus pada waktu Sang Catur Purusa tiba di Bali. Setelah selesai penghadapan kehadapan Betara Tiga, Sang Catur Purusa ditugaskan:
1. Hyang Tugu ditugaskan apryangan di Gunung Andakasa.
2. Hyang Manik Gayang ditugaskan apryangan di Pejeng.
3. Hyang Manik Gumawang ditugaskan apryangan di Gunung Beratan.
4. Hyang Tumuwuh ditugaskan apryangan di Gunung Watukaru.
Demikianlah taatnya Sapta Dewata-Dewati menjalankan swadharmanya masing-masing, mulailah tenang keadaan Nusa Bali, Sang Harimbawa tidak dapat lagi menggoyahkan NusaBali dan Seleparang.
Pada suatu hari yang sangat baik, ketujuh Putra-Putri Hyang Pasupati, sama berkumpul pada suatu tempat yang suci di kaki Gunung Agung, berbincang-bincang. Adapun yang diperbincangkan tiada lain mengenai keadaan Nusa Bali, yang masih sunyi senyap. Bertalian dengan hal-hal tersebut diatas, ketujuh Putra-Putri Hyang Pasupati mengambil suatu keputusan, untuk menghadap kehadapan Hyang Pasupati ke Gunung Semeru. Tiada diceritakan hal-hal yang terjadi dalam perjalanan, karena telah sama-sama berbadan suci, begitu pergi begitu pula sampai di tempts tujuan. Segera saja menghadap Hyang Pasupati, dengan tata cara kedewataan, Hyang Maha Suci. Melihat Putra-Putrinya datang, memperkenankan mereka sama duduk lalu bersabda : “Wahai Putra-Putriku tercinta, apa gerangan tujuan anakku menghadap ayahanda”. Matur Betara-Betari semua, sambil mengucapkan mantra sucinya, sebagai dasar penghormatan kehadapan Hyang Pasupati : “Betara, anaknda datang menghadap ini, perlu menyampaikan adanya Nusa Bali yang sangat kosong, tiada seorang manusiapun yang menyungsung anaknda. Kiranya patut, hanugrahilah anaknda manusia ke Bali, untuk turut mengemban Nusa Bali dan menyungsung anaknda di Bali”.
Sabda Hyang Pasupati yang disertai dengan mantra sucinya: “Anakku semua, terimalah anugrahku, segala kehendak anaknda akan berhasil, tunggulah ayah di Nusa Bali”.
Betara Hyang Agni Jaya beserta adik-adiknya, menghormat menghaturkan puja kedamaian, bergema suara genta, bagaikan kumbang mengisap sari, lalu semuanya mohon diri pulang keBali. Banyak hal-hal yang terjadi pada waktu itu, Sapta Dewata-Dewati, semua sudah sama berbadan suci, begitu pamitan begitu pula sampai di Bali, serta langsung menuju Parhyangan masing-masing. Tiada beselang lama, di Gunung Semeru, Hyang Pasupati/ Hyang Premesti Guru menyusul turun ke Bali, diiringi oleh Dewata-Dewati, Rsi Gana dan Dewata Nawa Sanga, semua pergi ke Bali.
Betara Parameswara mempergunakan Padma Manik Anglayang diapit payung dan umbul-umbul, bergema suaranya genta serta doa puji-pujian, hujan kembang dari angkasa. Sedangkan Betara yang lain berbeda-beda kendaraannya, semua gembira mengiringi Hyang Pasupati. Banyaklah hal-hal yang terjadi pada waktu itu. Sedemikian cepatnya rombongan telah sampai di Bali/Puncak Tohlangkir, segera disambut oleh Hyang Agni Jaya beserta adik-adiknya, dengan tata cara kependetaan, ramai suara genta penyambutan.
Sabda Hyang Pasupati, setelah upacara penyambutan selesai : “Wahai anak-anakku semua, marilah kita sekarang pergi ke Ulundanu ke Kahyangan Dewi Danuh, disana kita semua beryoga semadhi, agar segera tercipta manusia yang anaknda cita-citakan”. Setelah bersabda lalu berangkat ke Ulundanu, begitu cepatnya akhirnya sampai di Kahyangan Hyang Dewi Danuh. Setelah selesai upacara penyambutan oleh Hyang Dewi Danuh, akhirnya semua Dewata-Dewati mencari suatu tempat yang suci, disana sama beryoga dengan sangat tekunnya, dihadapan api pedipaan, dengan harapan segera tercipta manusia.
Hyang Basundari (Tanah) diambil diyogai agar menjelma menjadi manusia. Tiba-tiba datang Betara Yamadipati, berwujud anjing hitam, tidak hentinya mengganggu yoga Betara Kabeh seraya berkata: “Betara-Betari, sekarang Betara berkehendak menciptakan manusia dari tanah, saya sangat sangsi, mustahil tanah itu akan menjadi manusia, saya akan bersumpah; saya akan sanggup memakan kotoran manusia itu bila tanah itu dapat menjadi manusia”.
Betara bersabda : “Apa katamu anjing, besar sekali kesanggupanmu kepadaku, sekarang dengarlah kataku baik-baik, bila aku tidak dapat menciptakan manusia, aku bukanlah kepala dari semua Dewa-Dewa. Patut aku ditenggelamkan ke dalam kotoran anjing”, terlalu sengit perdebatan itu.
Kemudian Betara beryoga, dengan tekunnya mempersatukan kekuatan bhatinnya, berkobar api dalam pemujaan, menjulang asapnya ke angkasa. Akhirnya setelah tercipta manusia, tiba-tiba manusia itu rusak, disaat itu, anjing hitam itu menggonggong; kong….kong…..kong suaranya. Kembali Betara beryoga, rusak lagi ciptaanya, anjingpun menggonggong lagi, hal ini terjadi sampai berulang-ulang, namun belum berhasil menciptakan manusia. Dewata-Dewati karena dikalahkan anjing, kembali beryoga dengan berbadankan Tri Loka, berkobar api pedipaan, Nusa Bali jadi bergetar, Sang Hyang Amerta keluar segera saja tercipta manusia ciptaan itu.
Betara Premesti Guru bersabda: “Hai anjing, sekarang kamu benar-benar telah kalah, ingatlah sumpahmu itu, mulai sekarang sampai seterusnya anjing harus memakan kotoran manusia”. Betapa malunya anjing itu menerima kutukan Betara, dia tiada menjawab apa-apa, kembali pulang dengan hati yang sangat sedih, menyesali akan perbuatannya, kembali berubah wujud menjadi Yamadipati, kembali pulang ke Yama Loka. Begitu tiba di Yama Loka, lalu berkata kepada seluruh rakyatnya, terutama kepada Ki Buta Kalika, katanya : “Hai Kalika dan para Kingkara Bala semua, kamu akan kuperintah turun ke dunia, menggantikan aku memakan kotoran manusia, turun-temurun, apa sebab demikian adalah karena aku kalah bertaruhan dengan Hyang Pasupati. Terimalah perintahku, gantilah diriku menjadi anjing, kelak apabila manusia telah meninggal, pada saat itu engkau bersama saudara-saudaramu menyiksa roh manusia yang berbuat jahat”. Demikian sabda Hyang Yamadipati, seluruh Kingkara Bala menunduk sambil berpikir, handainya menolak titah Betara Yamadipati itu, tentu akan dimusnahkan. Ki Buta kalika dan Kingkara Bala dengan sedih menuruti perintah Hyang Yamadipati.
Kembali kepada yoga Betara Ghuru, dalam menciptakan manusia dari serabut kelapa gading lahirlah dua orang manusia laki-perempuan, yang laki diberi nama Ki Ktokpita dan yang perempuan Ni Jnar. Kemudian mereka dikawinkan, berbahagialah perkawinan mereka, sangat baik suami istri, karena kehendak Dewata. Perkawinan mana menurunkan keturunan tidak putus-putusnya, laki atau perempuan. Selanjutnya Betara Kasuhun, beryoga kembali menciptakan manusia, akhirnya tercipta dua orang laki-perempuan, yang laki diberi nama Ki Abang dan yang perempuan diberi nana Ni Barak. Setelah mereka sama dewasa, lalu dikawinkan, lanjut menurunkan anak laki-perempuan. Banyaklah sudah manusia-manusia laki-perempuan ciptaan Betara di Bali, anak beranak kelanjutannya, yang terbanyak tinggal di Gunung Batur.
Hyang Premesti Ghuru, memerintahkan para Dewata-Dewati, agar sama turun ke Bali, mengajar apa-apa yang patut dilaksanakan manusia, lebih-lebih dalam hal mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Manusia-manusia itu mulai merasa lapar, dahaga, kedinginan, maka mulailah mereka diajar bercocok tanam, bersawah, atau berladang. Daerah Danau Baturlah yang menjadi pusat pertanian yang kepertama, bagi orang-orang ciptaan Dewata di Nusa Bali. Karena Hyang Dewi Danuh memegang kekuasaan di bidang kemakmuran.
Ramailah sekarang orang-orang menyungsung Hyang Dewi Danuh di Ulun Danu Batur. Sedemikian cepatnya perkembangan orang-orang di Nusa Bali, terpencar menyungsung Dewata-Dewati Putra-Putri Hyang Pasupati.
Kembali kepada Ki Abang dan Ni Barak yang sudah berumah tangga, mereka suami istri pindah ke tepi Danau, karena tempat itu cocok untuk bercocok tanam, Ki Abang mempunyai lima orang anak; empat orang laki-laki dan seorang perempuan. Lama-lama tempat Ki Abang disebut Desa Abang. Tentramlah keadaan Nusa bali, Sapta Dewata Dewati sangat tekunnya menjalankan swadharmanya masing-masing, demi keselamatan Nusa Bali.
Manusia tidak putus-putusnya mempunyai keturunan, saling ambil keambil tehadap misan mindon. Adapun mata manusia pada saat itu adalah semua hitam, serta dapat melihat dan berbicara dengan Dewa-Dewa. Para Dewata tetap menuntun manusia-manusia, bercocok tanam, bersawah, berkebun dan menanam segala keperluan hidupnya. Tidak terkatakan subur tanam-tanamannya itu, hingga pada suatu senja, tatkala Betara Kasuhun sedang berjalan-jalan, melihat perkampungan orang-orang ciptaannya, demikian juga sawah ladangnya, terutama mengenai hasil pertanian mereka.
Kemudian Betara dilihat oleh orang-orang, dengan segera mereka matur dengan sangat hormatnya, diantaranya matur “Betara hendak pergi kemana, sekarang”; Betara bersabda : “Aku hendak berjalan-jalan melihat-lihat tanam-tanaman dan pertanianmu”. Seorang diantara mereka matur lagi; “Bila demikian Paduka Betara, hamba akan mempersembahkan hasil pertanian hamba, yang paduka Betara kehendaki”, Betara berdiam tiada bersabda apa-apa. Percakapan itu didengar oleh Ki Baluan, betapa marahnya Ki Baluan melihat manusia matur kehadapan Betara sambil buang air. Ki Baluan berkata dengan marahnya kepada manusia itu, katanya; “Ih kamu manusia, yang rendah budi, tidak tahu peraturan, matur kehadapan Betara sambil buang air, pantaslah kamu penjelmaan berasal dari tanah di kepal-kepal”. Manusia itu menjawab dengan kemarahan juga, katanya ; “Apa Baluan, terlalu kata-katamu, mengungkapkan asal-usulku, sungguh kamu juga sangat hina, pura-pura tahu tatwa sesana, tidak menyadari juga asal-usulmu dari kumatat-kumitit. Iri padaku pura-pura saleh, lihatlah Betara tidak merasa tersinggung kepadaku”. Balik Ki Baluan berkata : “Engkau manusia yang sangat dungu, hina rupa hina pikiran, semoga kamu menjadi orang desa seterusnya atas dosamu merendahkan Dewa”, demikian keluar kata-kata Ki Baluan, karena panas hatinya.
Oleh karena peristiwa tersebut, Betara memanggil manusia semua, setibanya di penghadapan mereka diperintahkan menengadah dan mendelik matanya, Betara segera menoreh matanya dengan Kapur disertai kutukan, bahwa mulai saat ini manusia tidak dapat melihat para Dewa lagi sampai seterusnya, karena dosanya matur sambil buang air. Demikian kutukan Betara kepada manusia.
Sabda Betara : “Ini ada anugrahku kepadamu, seandainya kamu berkehendak menemuiku, kamu akan dapat bertemu denganku, apabila ajalmu telah sampai”. Begitulah sabda Hyang Parama Wisesa. Semua hadirin menyembah Paduka Betara dan seterusnya pulang ke rumah masing-masing dengan hati yang sangat sedih. Demikianlah asal mula manusia tidak dapat melihat Para Dewa. Dalam perjalanan pulang, mereka bertemu dengan Ki Baluan. Manusia itu berkata kepada Ki Baluan, katanya: “Hai kamu Baluan, kebetulan kita bertemu lagi, aku bersumpah padamu, bahwa mulai sekarang sampai seterusnya manusia akan menjadi musuhmu, kelak keturunanku akan membunuh keturunanmu terus menerus”. Menjawab Ki Baluan; “Aku tidak menolak apa kata-katamu, tetapi ada pula sumpahku padamu. Pada waktu kajeng kliwon, waktu itu keturunanku akan membunuh keturunanmu dengan jalam menjilat mata kaki dan hulu hatinya sampai keturunanmu menemui ajalnya. Baiklah, hal ini kita akan sampaikan kepada turunan masing-masing”. Ki Baluan mohon anugrah Dewata, agar badannya dapat berubah-ubah, sesuai dengan tempatnya, untuk mengelabui kejelasan pandangan manusia.
************************
"Salam penuh cinta kasih

Kamis, 29 Desember 2016

SASTRA JENDRA



Waktu-waktu terbentuknya mimpi ada tiga, yaitu titiyoni, gondoyoni dan puspatajem
Tetapi dalam kondisi sadar dan tidak tidur, kondisi-kondisi memasuki waktu-waktu tersebut bisa sangat berguna, sebagai contoh apabila telah memasuki jam Gondoyoni.
Di jam-jam itu, bagi yang terbiasa melekan akan mulai KLEBON SETAN (kemasukan setan), kumat edane dan mulai NGLAYUNG.
Sebenarnya kondisi ngomong nglantur, pikiran seperti kosong di jam GONDOYONI itu justru jadi SEMA’AN di sesi NGRASUK.
Kenapa?
Karena yang berbicara bukan lagi SADARNYA, melainkan BAWAH SADARNYA.
Bawah Sadar Sang Kiai akan BERBICARA dengan Bawah Sadar para Cantrik.
Apakah interupsi dilakukan pada saat target tidur?
Jam biologis adalah waktu tubuh yang otomatis mengeluarkan hormon-hormon tertentu, sehingga otak berada pada kondisi tertentu (theta).
Jadi, kondisi tidur atau kondisi bangun sama saja.
Jam EMAS GONDOYONI ini terjadi antara pukul 01.30-02.00.
Kenapa?
Karena di saat itu aktifnya Sushumna.
Ilmu Gendam Gondoyoni
Bagi Anda yang mau menggendam pasangan untuk tunduk, lakukan di jam emas Gondoyoni ini.
Dan… bagi Anda yang mau menyedot jiwa pasangan Anda, Anda HARUS ADA di jam emas Gondoyoni ini.
Kalau untuk MEMBANGUN JIWA ANAK-ANAK kita, ini tekniknya…
Pegang pipinya, atau elus kepalanya, dan katakan:
“Adek/kakak, kalau sudah besar jadi Komisaris yang adil, bijaksana, kaya raya yang bermanfaat buat orang banyak dan sehat selalu ya…?
Kakak/Adek, mau ya…?
Lalu cium antara 2 alis…
Teknik kunci memasukkan Ilmu Gendam Gondoyoni ini ada di:
Gunakan Kalimat Tanya
Elus pipinya dan tanya sampai dia mengangguk
Ini kunci utamanya, ditanya sampai dia mengangguk.
Tetapi tekniknya akan sedikit berbeda jika Anda sudah menguasai pengetahuan AJI RAJAH KALACAKRA.
Anga cukup menyentuh kakinya, atau bahkan cukup memandangi wajahnya melalui foto atau sambil memegang benda-benda yang masih memiliki BAU TARGET.
Inilah mengapa disebut sebagai GONDOYONI yang artinya kekuatan GAIB yang menggunakan media BAU.
Anda secara langsung dapat melakukan INTERUPSI JARAK JAUH.
Inilah namanya Santet Cinta.
Jadi, bagaimana membentuk Jiwa seseorang yang tempatnya jauh dan mensugesti diri sendiri?
Berdoalah dengan doa-doa positif di jam antara jam 03.00 sampai dengan menjelang subuh.
Jika kamu bangun pukul 3 hingga 5 pagi, tandanya Tuhan sedang berusaha berbicara padamu.

Senin, 26 Desember 2016

Sloka



Sloka adalah syair, ayat atau bait yang bersumber dari kitab suci dan umumnya berbahasa Sansekerta.
Sebagai upaya pelestarian seni budaya dalam lagu-lagu suci kerohanian yang dalam beberapa contoh Dharma Gita, biasanya sloka terdiri dari empat baris dalam satu bait dengan jumlah suku kata yang sama setiap barisnya.
Dahulu juga diceritakan, pada saat jaman satya yuga para manu mendiktekan hukumnya dalam seratus ribu sloka dalam kitab suci Manawa Dharmasastra kepada Maharshi Brghu, yang pada gilirannya mengajarkan kepada Rsi Narada
Kemudian Rsi Narada, berdasarkan pertimbangannya mengurangi aturan itu menjadi dua belas ribu sloka. Kitab hukum ini kemudian dikurangi lagi menjadi delapan ribu sloka oleh Rsi Markandeya yang mempunyai banyak ilmu.
Terkadang bait-bait sloka-sloka yang ada dibaca dengan menggunakan irama mantra sebagaimana dijelaskan RPP, SMP N 3 Susut dalam mata pelajaran pendidikan agama Hindu, yaitu :
Sloka biasanya terdiri dari empat baris dalam satu padartha dengan suku kata yang sama pada setiap baris, yang isinya tentang pujaan-pujaan atas keagungan dan kemahakuasaan Tuhan.
Untaian sloka-sloka seperti halnya yang terdapat dalam Slokantara dsebutkan syair – syairnya berbahasa Sansekerta yang dapat pengaruh kuat dari bahasa-bahasa lokal yang ditulis dengan kombinasi aksara swalalita dan digunakan dalam kitab-kitab suci, misalnya :
  • Sloka 1- 11 Sarasamuscaya berkaitan dengan tujuan hidup manusia dilahirkan di dunia ini.
  • Sloka yang disebutkan dalam Lontar Sundarigama disebutkan 
    • Soma ribek, dirayakan pada soma Pon Sinta.
    • Sugihan Jawa sebagai hari pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh yang bermakna menyucikan bhuana agung di luar dari manusia.
    • Pada purnama sasih kapat (oktober), pada saatnya bulan penuh ini maka beryogalah Bhatara Paramecwara, 
    • dll

  • Sloka Rig Veda 10.129, berisi tentang penciptaan alam semesta ini yang disebut dengan nâsadâsìya sebagai sumber utama kosmologi Hindu.
  • Bhagawad Gita IX sloka 26 menyebutkan 
    • bunga sebagai unsur pokok dalam upakara selain buah-buahan, daun dan air yang bunyinya : "Pattram Puspamtoyam Yo me bhakty prayacchati Tad aham bhaktyupahrtam Asn-mi prayat-tmanah" yang dalam aspek relegi pertamanan tradisional Bali disebutkan artinya bahwa
      • siapa pun dengan kesujudan hati mempersembahkan pada Ku (Tuhan) daun, bunga, buah-buahan dan air, 
      • persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari lubuk hati yang suci, aku terima.


Minggu, 25 Desember 2016

Leak, Bukan Ilmu Yang Menyakiti


Dagang Banten Bali


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
Leak, Bukan Ilmu Yang Menyakiti
Pada zaman sekarang ini orang bertanya-tanya apa betul leak itu ada? Apa betul leak itu menyakiti? Secara umum leak itu tidak menyakiti. Leak itu proses ilmu yang cukup bagus bagi yang berminat. Karena ilmu leak juga mempunyai etika-etika tersendiri. Dibutuhkan kemampuan yang prima untuk mempelajari ilmu leak. Di masyarakat sering kali leak dicap menyakiti bahkan bisa membunuh manusia, padahal tidak seperti itu. Ilmu leak sama dengan ilmu lainnya yang terdapat dalam lontar-lontar kuno Bali.
Jaman dahulu, ilmu leak tidak dipelajari sembarang orang. Ini karena ilmu leak masuk kategori ilmu yang cukup rahasia sebagai pertahanan serangan dari musuh. Orang Bali Kuno yang mempelajari ilmu ini adalah para petinggi-petinggi raja disertai dengan bawahannya. Tujuannya untuk sebagai ilmu pertahanan dari musuh terutama serangan dari luar. Orang-orang yang mempelajari ilmu ini memilih tempat yang cukup rahasia, karena ilmu leak ini memang rahasia. Jadi tidak sembarangan orang yang mempelajari. Namun zaman telah berubah, otomatis ilmu ini juga mengalami perubahan sesuai dengan zamannya. Namun esensinya sama dalam penerapan. Yang jelas ilmu leak tidak menyakiti.
Yang menyakiti itu ilmu teluh atau nerangjana, inilah ilmu yang bersifat negatif, khusus untuk menyakiti orang karena beberapa hal seperti balas dendam, iri hati, ingin lebih unggul. Ilmu inilah yang disebut pengiwa. Ilmu pengiwa inilah yang banyak berkembang di kalangan masyarakat dan seringkali dicap sebagai ilmu leak. Leak itu memang ada dan dibagi sesuai dengan tingkatan ilmunya, termasuk dengan endih leak. Endih leak ini biasanya muncul pada saat mereka sedang latihan atau lagi bercengkrama dengan sesama leak lainnya, baik sejenis maupun lawan jenis. Munculnya ‘endih’ itu pada saat malam hari khususnya tengah malam.
Mengapa ditempat angker?
Ini sesuai dengan ilmu leak dimana orang yang mempelajari ilmu ini harus di tempat yang sepi, biasanya di kuburan atau di tempat sepi. Endih ini bisa berupa fisik atau jnananya (rohnya) sendiri, karena ilmu ini tidak bisa disamaratakan bagi yang mempelajarinya. Untuk yang baru-baru belajar, endih itu adalah lidahnya sendiri dengan menggunakan mantra atau dengan sarana. Dalam menjalankan ilmu ini dibutuhkan sedikit upacara. Sedangkan yang melalui jnananya (rohnya), pelaku menggunakan sukma atau intisari jiwa ilmu leak. Sehingga kelihatan seperti endih leak, padahal ia diam di rumahnya. Yang berjalan hanya jiwa atau suksma sendiri.
Bentuk ‘endih leak’ ini beraneka ragam sesuai dengan tingkatannya. Ada yang berwujud seperti bola atau kurungan ayam, tergantung pakem (etika yang dipakai). ‘Endih’ atau sinar Leak di Bali ini tidak sama dengan sinar penerangan lainnya. Endih leak ini biasanya tergantung dari yang melihatnya. Bagi yang pernah melihatnya, ‘endih’ berjalan sesuai dengan arah mata angin. Endih ini kelap-kelip tidak seperti penerangan lainnya hanya diam. Warnanya pun berbeda-beda. Kalau endih leak itu melebihi dari satu warna dan berjalan sedangkan, sinar penerangan biasa hanya satu warna dan diam. Endih leak ini memiliki sifat gelombang elektromagnetik mempunyai daya magnet.


Ilmu leak tidak menyakiti
Orang yang kebetulan melihatnya tidak perlu waswas.`Bersikap sewajarnya saja.`Kalau takut melihat, ucapkanlah nama nama Tuhan. Endih ini tidak menyebabkan panas. Endih juga tidak bisa dipakai untuk memasak karena sifatnya beda. Endih leak bersifat ‘niskala’ atau gaib, tidak bisa dijamah.
Pada dasarnya, ilmu leak adalah ilmu kerohanian yang bertujuan untuk mencari pencerahan lewat aksara suci. Dalam aksara Bali tidak ada yang disebut leak. Yang ada adalah “liya, ak” yang berarti lima aksara (memasukan dan mengeluarkan kekuatan aksara dalam tubuh melalui tata cara tertentu).
Filosofi Leak Ngendih di Bali Lima aksara tersebut adalah Si, Wa, Ya, Na, Ma.
– Si adalah mencerminkan Tuhan
– Wa adalah anugrah
– Ya adalah jiwa
– Na adalah kekuatan yang menutupi kecerdasan
– Ma adalah egoisme yang membelenggu jiwa
Kekuatan aksara ini disebut panca gni (lima api). Manusia yang mempelajari kerohanian apa saja, apabila mencapai puncaknya dia pasti akan mengeluarkan cahaya (aura). Cahaya ini keluar melalui lima pintu indria tubuh yakni telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan. Pada umumnya cahaya itu keluar lewat mata dan mulut. Sehingga apabila kita melihat orang di kuburan atau tempat sepi, api seolah-olah membakar rambut orang tersebut.
Pada prinsipnya, ilmu leak tidak mempelajari bagaimana cara menyakiti seseorang. Yang dipelajari adalah bagaimana mendapatkan sensasi ketika bermeditasi dalam perenungan aksara tersebut. Ketika sensasi itu datang, maka orang itu bisa jalan-jalan keluar tubuhnya melalui ‘ngelekas’ atau ‘ngerogo sukmo’. Kata ‘ngelekas’ artinya kontaksi batin agar badan astra kita bisa keluar.
Apabila sedang mempersiapkan puja batinnya disebut ‘angeregep pengelekasan’. Sampai di sini roh bisa jalan-jalan dalam bentuk cahaya yang umum disebut ‘endihan’.
Bola cahaya melesat dengan cepat. Endihan ini adalah bagian dari badan astral manusia (badan ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu). Di sini pelaku bisa menikmati keindahan malam dalam dimensi batin yang lain. Dalam dunia pengeleakan ada kode etiknya. Sebab tidak semua orang bisa melihat endihan. Juga tidak sembarangan berani keluar dari tubuh kasar kalau tidak ada kepentingan mendesak.
Peraturan yang lain juga ada seperti tidak boleh masuk atau dekat dengan orang mati. Apabila ada mayat baru, anggota leak wajib datang ke kuburan untuk memberikan doa agar rohnya mendapat tempat yang baik sesuai karmanya. Begini bunyi doa leak memberikan berkat : ong, gni brahma anglebur panca maha butha, anglukat sarining merta. mulihankene kite ring betara guru, tumitis kita dadi manusia mahatama. ong rang sah, prete namah.
Sambil membawa kelapa gading untuk dipercikan sebagai tirta. Di sinilah ada perbedaan pandangan bagi orang awam. Dikatakan bahwa leak ke kuburan memakan mayat, atau meningkatkan ilmu. Kenapa harus di kuburan? Paham leak adalah apa pun status dirimu menjadi manusia, orang sakti, sarjana, kaya, miskin, akan berakhir di kuburan. Tradisi sebagian orang di India tidak ada tempat tersuci selain di kuburan. Kenapa demikian? Di tempat inilah para roh berkumpul dalam pergolakan spirit.
Di Bali kuburan dikatakan keramat, karena sering muncul hal-hal yang menyeramkan. Ini disebabkan karena kita jarang membuka lontar tatwaning ulun setra. Sehingga kita tidak tahu sebenarnya kuburan adalah tempat yang paling baik untuk bermeditasi dan memberikan berkat doa.
Sang Buda Kecapi, Mpu Kuturan, Gajah Mada, Diah Nateng Dirah, Mpu Bradah, semua mendapat pencerahan di kuburan. Di Jawa tradisi ini disebut tirakat. Leak juga mempunyai keterbatasan tergantung dari tingkatan rohani yang dipelajari. Ada tujuh tingkatan leak, yaitu :
Leak barak
Leak bulan
Leak pemamoran
Leak bunga
Leak sari
Leak cemeng rangdu
Leak siwa klakah. Leak siwa klakah inilah yang tertinggi. Sebab dari ketujuh cakranya mengeluarkan cahaya yang sesuai dengan kehendak batinnya.
Ilmu tersebut bisa membabi buta atau bumerang bagi dirinya sendiri. Hal inilah membuat rusaknya nama perguruan. Sama halnya seperti pistol, salah pakai berbahaya. Makanya, kestabilan emosi bagi yang mempelajarinya sangat penting, dan disini sang guru sangat ketat sekali dalam memberikan pelajaran.
Selama ini leak dijadikan kambing hitam sebagai biang ketakutan serta sumber penyakit, atau aji ugig bagi sebagian orang. Padahal ada aliran yang memang spesial mempelajari ilmu hitam disebut ‘penestian’. Ilmu ini memang dirancang bagaimana membikin celaka, sakit, dengan kekuatan batin hitam.
Ada pun caranya adalah dengan memancing kesalahan orang lain sehingga emosi. Setelah emosi barulah dia bereaksi. Emosi itu dijadikan pukulan balik bagi penestian. Ajaran penestian menggunakan ajian-ajian tertentu, se
perti aji gni salembang, aji dungkul, aji sirep, aji penangkeb, aji pengenduh, aji teluh teranjana. Ini disebut pengiwa (tangan kiri). Kenapa tangan kiri, sebab setiap menarik kekuatan selalu memasukan energi dari belahan badan kiri.
‘Pengiwa’ banyak menggunakan rajah-rajah (tulisan mistik). Juga pintar membuat sakit dari jarak jauh, dan dijamin tidak bisa dirontgent di laboratorium rumah sakit. Yang paling canggih adalah cetik (racun mistik). Aliran ini bertentangan dengan pengeleakan. Ilmu Leak ini sampai saat ini masih berkembang karena pewarisnya masih ada, sebagai pelestarian budaya Hindu di Bali.