Minggu, 11 Desember 2016

Tebasan Pasupati




Tebasan Pasupati 
tamas, kain barak, baas barak, pis bolong, kulit sayut, raka, tumpeng barak metancepan bunga pucuk barak, meplekir endong, kojong rasmen, 2 tulung sangkur misi nasi barak, peras tulung, payasan, elok-elok misi baas n tetebus barak, rantasan barak, penyapuhan endong, kuangen 1 mebunga barak, sampyan nagasari endong, canang 




Tebasan Saraswati

Dagang Banten Bali


Banten Saraswati serta Pemaknaaannya



Tiap-tiap proses hari suci Saraswati senantiasa memakai bebanten (upakara) dalam memuja Dewi Saraswati yang di kenal dengan sebutan banten Saraswati atau tebasan Saraswati. Banten Saraswati sebagai lambang (nyasa) terdiri atas jajan cecak, bubur, nyanyah geringsing, daun beringin, penyeneng serta canang.


Jajan cecek menyimbulkan pengetahuan dapat hidup dimana-mana, daun beringin lambang keabadian, nyanyah geringsing lambang persembahan pada Beliau.
Jajan cecak berikut yang paling utama sebagai isi banten Saraswati di mana mempunyai makna pengetahuan dapat ada dimana-mana. Pada pelaksaan pemujaan Dewi Saraswati buku, lontar, pustaka, kitab suci mesti diupacarai dengan banten saraswati, tetapi ketika pemujaan semua umat pantang untuk membaca serta menulis. 

Dalam lontar sundarigama dijelaskan tan wenang ngujar sastra, tan wenang nelengi sastra berarti tak diperkenankan membaca serta menulis, hari Saraswati adalah puncak yoga yang berada dalam kondisi diam atau kosong.


Melayani pembuatan aneka banten untuk upacara \hindu Bali
piodalan
pawiwahan
otonan
tiga bulanan


Melayani aneka Upacara
Ngelangkir
Menikah
Ngaben

hubungi via WA, Telp atau sms
0882 - 9209 - 6763
0896-0952-7771

Telp
0361 - 464096

alamat
jl Gandapura Gg 1c No1 Kesiman Kertalangu
dan
jl sedap malam 117a kebon kuri
Denpasar

Pesan Via Facebook Klik Disini


Tebasan Merta Uttama



Tebasan Merta Uttama/Tebasan baas kuning 
tamas, tumpeng meplekir, 2 tulung sangkur, 1 takir baas kuning, raka, kojong rasmen, kuangen, sampyan nagasari

Tebasan Merta Sari




Tebasan Merta Sari/Tebasan baas putih
tamas, tumpeng meplekir, 2 tulung sangkur, 1 takir baas, raka, kojong rasmen, kuangen, sampyan nagasari

Rabu, 07 Desember 2016

Banten Butha Yadnya


Kalau Banten Butha Yadnya itu masih menggunakan nasi dengan lauknya bawang jahe belum menggunakan hewan itu disebut Segehan. Segehan itu pun banyak jenisnya. Ada segehan Nasi Sasah, ada Segehan Nasi Kepel, Segehan Nasi Wong-Wongan, ada Segehan Naga dan sebagainya. Kalau banten Butha Yadnya itu sudah menggunakan ayam, banten itulah yang disebut Caru. Ada Caru Eka Sata, Panca Sata, Panca Sanak, Panca Kelud. Balik Sumpah.
Menurut Lontar Dang Dang Bang Bungalan, kalau banten Butha Yadnya itu sudah menggunakan binatang kerbau tidak lagi ia disebut banten Caru. Banten itu sudah bernama Banten Tawur. Misalnya Tawur Agung sudah menggunakan binatang kerbau seekor. Umumnya dipergunakan untuk Tawur Kesanga setiap menyambut tahun baru Saka.
Kalau ditambah lagi dengan tiga ekor kerbau disebut Mesapuh Agung, ditambah lagi dengan lima ekor kerbau. Demikian antara lain disebutkan dalam Lontar Dang Dang Bang Bungalan. Namun pada hakekatnya semuanya itu tujuannya adalah mecaru mewujudkan keharmonisan sistem alam semesta



Uparengga mapralina dan mlaspas Sumur.
Memakai iwak kakul,
Kakul mampu hidup di lumpur dan penanda kadar air masih tinggi. Dan nasi wong-wongan simbol bhuta ngurip sumber air. Bila ia bhuta dengan perlakuan benar, maka ia menghidupi. Bila bhuta diperlakukan buruk menadi durga gangga. Ia Adalah Wisnu dewa sumber kemakmuran. Ia Dewi Danuh dalam Sad Kertih penjaga segala sumber mata air.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Selasa, 06 Desember 2016

Bukti Perang Nuklir Pada Jaman Mahabharata



CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Kisah Mahabharata adalah kisah yang berhasil tercatat dalam sejarah umat manusia. Dimana dalam kisah tersebut menceritakan bahwa telah terjadi konflik besar-besaran antara keturunan Pandu dan Dretarastra dalam memperebutkan tahta kerajaan. Menurut sumber mengatakan, epos ini ditulis pada tahun 1500 SM. Namun fakta sejarah yang dicatat dalam buku tersebut masanya juga lebih awal 2.000 tahun dibanding penyelesaian bukunya. Artinya peristiwa yang dicatat dalam buku ini diperkirakan terjadi pada masa ± 5.000 tahun yang silam.


Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Michael Cremo tahun 2003, seorang arkeolog senior dari AS.
Ia menemukan nama-nama yang tertera di kitab Veda tersebut ada di India.
Ditemani tim dan rekannya, Dr. Rao, arkeolog terkemuka India, ia meneliti dengan perangkat canggih "penjejak waktu" (thermoluminenscence dating method) untuk setiap obyek yang ditemukan.


 Michael Cremo mengadakan penelitian di daratan, diantaranya: Indraprasta, Hastinapura, dan padang Kurukshetra, bekas perang itu terjadi. Seperti diketahui, Indraprasta merupakan tempat bermukim keluarga Pandawa di awal perjuangan merebut Hastina. Kurukshetra adalah bekas pertempuran dahsyat keluarga Bharata.

Para ahli menemukan banyak bukti yang mengejutkan. Tanah tegalan luas itu ternyata tak ditumbuhi tanaman apa pun, karena tercemar radio aktif. Pada puing-puing bangunan atau sisa-sisa tengkorak manusia yang ditemukan di Mohenjo-Daro juga tercemar residu radio aktif yang cukup pekat. Pada kerangka-kerangka tersebut terdapat sisa radioaktif yang tinggi, sama dengan yang dijumpai di Hiroshima dan Nagasaki.

http://terungkaplagi.blogspot.co.id/2014/03/bukti-perang-nuklir-pada-jaman.html?m=1


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Jumat, 02 Desember 2016

Waktu dalam Veda




menurut kitab Brahmavaivarta-Purana dan Bhagavad-Gita. Dalam Ilmu Weda, perhitungan waktu atau kala adalah dimulai dari perhitungan yang kecil kemudian merambah hingga pada satu kesatuan yang besar. “Nemisa” adalah satu perhitungan waktu yang terkecil. Satu nemisa adalah hitungan pertama. Kemudian kita akan menemukan kalkulasi sebagai berikut:
15 nemisa akan membentuk yang bernama 1 “kastha”. Kastha berkumpul dan dijumlahkan hingga sebanyak 30, maka akan membentuk 1 “Kala”. 30 Kala akan membentuk 1 “Muhurtha”. 30 Muhurtha akan membentuk 1 Hari (Dina). Dalam Weda satu hari dinyatakan sebagai “Ahoratra”. Dalam perhitungan Weda, hari para Dewa jika dibandingkan dengan hari alam manusia, akan membentuk perbandingan sebagai berikut.
Satu tahun alam manusia, sama dengan satu hari alam para Dewa. Jadi dalam alam manusia, sudah dilewati satu tahun, di alam para Dewa baru satu hari. Enam bulan manusia, adalah malam hari di alam para Dewa. Dalam enam bulan manusia yang berikutnya merupakan siang hari para Dewa, waktu ini disebut dengan Uttarayana. Sedangkan malam harinya adalah Daksinayana. Jadi jika dikalkulasikan akan mendapatkan angka 360 tahun manusia, barulah akan membentuk 1 tahun para Dewa.
Dalam perhitungan waktu ini jugalah, Hindu mengenal empat jaman yang masing-masing memiliki kurun waktu yang berbeda satu sama lainnya. Ada empat jaman yang terdapat dalam perhitungan Weda, yakni:
1. Satya Yuga berlangsung 1.440.000 tahun manusia.
2. Tretha Yuga berlangsung 1.080.000 tahun manusia.
3. Dvapara Yuga berlangsung 720.000 tahun manusia.
4. Kali Yuga berlangsung 360.000 tahun manusia.
Dalam setiap peralihan pergantian dari yuga ke yuga, terdapat waktu peralihan selama 720.000 tahun. Maka jika kita kalkulasikan kembali antara empat Yuga tersebut dengan waktu peralihan masing-masing Yuga, akan di dapatkan sejumlah angka 4.320.000 tahun. Inilah yang disebut dengan satu Mahayuga. Sedangkan dalam Brahmavaivarta-Purana, dinyatakan dengan angka lebih fantastis lagi, “Empat Milyar tiga ratus dua puluh juta tahun”.
Dengan kata lain, satu Mahayuga tersebut adalah 4 yuga tersebut dan ditambah dengan masa peralihan antara satu yuga dengan yuga yang lainnya. Dalam perputaran waktu tersebut di alam ini, ada satu perhitungan masa yang masing-masing masa tersebut dipimpin oleh satu Manu. Jadi ada 14 Manu yang memerintah dalam satu perhitungan kurun waktu yang disebut dengan “Manvantara”. Jika ada 14 Manu, maka di dalam satu kurun waktu ini ada 14 Manvantara. Satu Manvantara tersebut sama dengan 71 “Mahayuga”. Jadi jika kita kalkulasikan kembali dengan perhitungan waktu sebelumnya akan mendapatkan angka 296.720.000 tahun manusia.
Jika sudah membentuk 1000 Mahayuga itu akan membentuk satu “kalpa”. Satu Kalpa adalah satu harinya bagi Dewa Brahma, yang dalam agama Hindu adalah Dewa pencipta alam semesta. Jika seribu Kalpa, maka akan membentuk satu harinya bagi Dewa Brahma. Jadi betapa panjang satu hari di alam “Brahmaloka” (Tempat kediaman Dewa Brahma). Kemudian 1000 Kalpa, akan membentuk satu tahun Dewa Brahma. 


Sang Hyang Brahma adalah “jivatattva”. Beliaulah yang menjadi arsiteknya alam semesta ini selain Dewitu wiswakarma yang juga arsiteknya para dewa. dalam perhitungan waktu-Nya, maka Sang Hyang Brahma memiliki satu otoritas dimana Beliau akan melebur seluruh ciptaan material dalam perhitungan waktu satu “kalpa”. Pada malam hari-Nya, Sang Hyang Brahma tertidur dan seluruh alam material dilebur terserap dalam sebuah proses yang disebut pralaya. Itulah Black Hole dalam setiap galaksi yang mana kita ketahui ada milyaran galaksi banyaknya di alam semesta. Masing-masing galaksi akan dipimpin oleh Dewa Brahma berbeda, ada Brahma kepala Sembilan, dua belas, bahkan ratusan dan ribuan. (alam semesta kita menurut Hindu, adalah dipimpin Brahma Catur Mukha (Brahma dengan empat kepala) Menyerap semua unsur material jagat raya, dan menelannya, tidak ada yang dapat lewat dari sana. Tetapi kita masih bisa bernafas lega, sebab Black Hole di galaksi Bimasakti (Milkyway) kita masih dalam keadaan stabil. Setiap Galaksi memiliki lubang hitamnya masing-masing. Maka dalam kitab Mahapurana, kita akan melihat bahwa Sang Hyang Brahma yang mengatur tiap-tiap galaksi (alam semesta secara terklasifikasi) dengan tampilan yang berbeda. ada Brahma berkepala 4, 6, 12, hingga 1000. untuk galaksi dan alam semesta material kita, menurut Hindu yang menjadi Pithamahanya adalah Sang Hyang Brahma berkepala empat (Caturmukha). Konsep ini adalah mengenai periode waktu terciptanya dan dileburnya kembali alam material secara keseluruhan.
Kemudian di siang hari-Nya, Sang Hyang Brahma menciptakan kembali alam semesta yang telah di lebur malam tersebut. Jadi betapa luasnya kurun waktu yang kita bicarakan ini. ada sebuah perbedaan mendasar yang jarang diketahui oleh orang-orang tetang perhitungan waktu seperti ini. jadi ada dua golongan Dewa yang menempati ruang siang dan malam menurut perhitungan alam Dewa. Pertama yang menempati Surgaloka, dan yang menempati Brahmaloka. Maka perhitungan waktu alam surga yang dinaungi oleh Bhatara Indra (menurut Hindu) akan berbeda dengan alam Brahma Loka.
Uttarayana adalah saat siang hari para Dewa, dan dalam perhitungan dunia manusia saat ini, dinyatakan bawah Matahari bergerak ke Utara. Sedangkan Daksinayana adalah saat Matahari menuju Selatan. Pada perhitunganmya, maka tentang Uttarayana, ini terjadi pada bulan April-September. Sedangkan Daksinayana adalah jatuh pada bulan September-April. Dalam ilmu Astronomi modern, ini berhubungan dengan “Gerak Semu Matahari”.
Matahari memiliki pergeseran antara Garis Balik Utara (GBU) yakni pada 23,5 LU (Lintang Utara) dengan Garis Balik Selatan (GBS) pada 23,5 LS (Lintang Selatan) pada pertengahan bulan Maret. Ketika Matahari berada pada GBU yakni 23,5 LU, inilah yang disebut dengan Uttarayana, demikian sebaliknya.
Pada pertengahan bulan Maret, Matahari bergeser ke arah Utara setelah 3 bulan. Saat pertengahan bulan Juni, menuju ke arah Garis Balik Utara. Lalu ke khatulistiwa, pertengahan September matahari kembali ke Khatulistiwa. Kemudian perlahan menuju ke arah selatan, dan sampi pada Garis Balik Selatan, pada pertengahan Desember. Dalam perhitungan ilmu Weda, saat Matahari bergerak ke Utara, inilah yang disebut dengan Uttarayana. Demikian sebaliknya.
Ini diakibatkan revolusi Bumi mengelilingi Matahari, yang dapat mengakibatkan kedudukan Matahari terhadap Bumi berubah. Jadi dengan perhitungan tersebut, maka Uttrayana adalah pada saat bulan April-September. Sedangkan Daksinayana adalah bulan September-April. Namun perhitungan Uttarayana dan Daksinayana, ini berlaku pada alam Bumi dan Surga-loka, yang disemayami oleh Sang Hyang Indra.
Uttarayana adalah saat dimana siang harinya para Dewa, sedangkan Daksinayana adalah malam hari para Dewa. Karena dalam perhitungan itu, satu tahun manusia adalah satu hari para Dewa. Tetapi perhitungan ini tidak sama dengan perhitungan di alam Brahmaloka. Dalam kitab Bhagavadgita dinyatakan:
"Sahasra yuga paryatam
Ahar yad Brahmano viduh
Ratrin yuga sahasrantam
Te ho-ratra vido janah"
“Menurut perhitungan manusia, seribu jaman, sama dengan kurun waktu satu hari bagi Sang Hyang Brahma. Malam hari bagi Dewa Brahma, adalah sepanjang itu juga”. (Bhagavadgita. 8.17)
Sebenarnya adalah waktu itu dipengaruhi oleh tempat, dan lokasi. Jangankan kita berbicara masalah komparasi waktu yang terdapat di Brahmaloka, di Bumi saja, tempat dataran tinggi dan rendah secara langsung membawa pengaruh bagi perputaran sebuah perjalanan waktu yang ditempuh manusia dan secara pasti menentukan umur serta tingkat keremajaan manusia itu sendiri.
Contoh klasik yang dapat kita gunakan untuk kasus yang satu ini adalah, ada dua anak kembar. Yang satu hidup di daerah dataran rendah, yakni di tepi laut. Sedangkan yang satu lagi, tinggal di pegunungan atau dataran tinggi. Setelah jangka waktu 50 tahun, maka menjadi lima detik lebih muda dari saudaranya yang bermukim di pegunungan atau dataran tinggi.
Nah apalagi kita berbicara waktu di alam lain. Tentu berbeda. Apalagi menurut agama Hindu, ada banyak sekali alam-alam rohani yang dihuni oleh insane dengan kualitas berbeda. Ada Bhurloka, Bhuvah Loka, Svah Loka, Surga Loka (Indra Loka), Jana Loka, Tapa Loka, Maha Loka, Satya Loka, Brahma Loka, Vaikuntha Loka dan sebagainya. Nah, berbicara ini tidak akan ada habisnya. Mari renungkan sendiri, cukup sekian dulu ya dari saya (Gede Agus Budi Adnyana/Penyair Bunga Persik)