Sabtu, 03 Oktober 2015

Ngiring




Penjelasan dr. Wedastra tentang waham induksi ini memiliki korelasi dengan beberapa kasus orang yang Ngiring. Orang tersebut mengklaim dirinya Ngiring karena sebelumnya mengalami suatu keluhan penyakit kemudian datang ke seorang balian, dan oleh balian tersebut pasien tersebut dikatakan harus Ngiring. Karena merasa yakin dan diyakinkan oleh balian, maka menjadilah ia orang Ngiring (baru). Kasus seperti ini sering dihadapi oleh Ida Bagus Putu Adriana, Pembina Ghanta Yoga. Usai seminar tersebut ia menyebutkan pihaknya sering menerima pengaduan dan keluhan dari orang-orang yang “Ngiring” karena merasakan kehidupannya tambah susah secara mental maupun material, dikarenakan masalahnya tidak selesai dengan menjalani Ngiring, tetapi kewajiban bertambah-tambah sesuai petunjuk balian yang didatanginya sebelumnya.
Sementara itu Jro Ketut Sandika, yang Ngiring sesuhunan Bhatari Dalem dalam presentasinya menyatakan, Ngiring sebenarnya istilah yang sangat sakral dan spiritual, karena bermakna sebagai pengikut yang setia dan taat kepada ista dewata pujaannya. Oleh sebab itulah orang-orang yang Ngiring dipanggil “Jro” di depan namanya yang mengisyaratkan bahwa mereka ini memiliki kedalaman atau mencari ke dalam dirinya, mencari hakikat diri sejatinya. Memang, Sandika mengakui Ngiring dalam batasan religius-spiritual sangat susah dijelaskan, tetapi fenomena yang sering muncul ke permukaan adalah lebih banyak citra magis dan kegaiban. Sebebanrnya, ia menambahkan, untuk memperoleh predikat Ngiring dan diakui secara sosial (umum) memerlukan proses yang panjang dan ketat dengan berbagai liturgi atau sakramen yang sulit dilakoni oleh orang kebanyakan. Sebagaimana halnya tradisi yang masih berlangsung hingga kini di daerah Batur dalam mentasbihkan jro-jro disana (jro alitan, jro duuran, dan lain-lain).
Menurut pemuda lajang asal Desa Nyalian, Klungkung ini, sekarang ini memang sering dijumpai fenomena orang yang menganggap dirinya Ngiring justru mengekspose simbol-simbol keluar dirinya. “Apa yang semestinya dibawa ke dalam diri untuk mencari hakikat jati diri justru diputarbalikkan dengan menonjol-nonjolkan atribut fisik agar terkesan mencolok. Misalnya rambut meprucut, ada yang bawa tongkat atau danda, dan lain-lain,” sebutnya. Ia mengingatkan rambut meprucut dan membawa danda mestinya hanya menjadi atribut sulinggih, tetapi mungkin atas pawisik atau kleteg keneh ada juga oknum-oknum bukan sulinggih memakai atribut itu dengan alasan sudah berstatus sulinggih di dunia niskala.
Pada presentasi sebelumnya, dr. Wedastra menilai Ngiring sepatutnya dijalani secara ikhlas saja, tanpa dibumbui atau diimbuhi kreasi pribadi yang berada di luar koridor agama maupun sosial. Dan jika ada tanda-tanda mencurigakan atau kurang yakin, pihak keluarga disarankan mengajak keluarganya yang mengaku-ngaku Ngiring tersebut memeriksakan diri ke psikiater. Senada dengan Wedastra, Ketut Sandika mengutip lontar Kuranta Bolong yang menyebutkan bahwa pertanda orang yang mengalami gangguan mental disebut “tampias” atau kedewan-dewan yang termasuk kategori penyakit “bebainan.” Demikian pula halnya tidak setiap orang kerauhan berarti maju secara spiritual. Jika dr. Wedastra dari sisi medis melihat orang kerauhan bisa dipicu oleh kelelahan dan panik, sehingga perempuan lebih mudah kerauhan karena lebih emosional dan suka berfantasi, maka Sandika menyebut kerauhan bisa muncul karena kerasukan bhuta dan kala, kerauhan pepatih (orang-orang ngunying) dalam upacara Pujawali, dan ada juga karena kerauhan dewa. Untuk itu umat Hindu diharapkan untuk teliti dan arif bijaksana dalam menyikapi hal-hal seperti itu.
Apabila Ngiring dikaitkan dengan praktik keagamaan, maka menurut Sandika, idealnya orang-orang tersebut juga harus belajar sastra agama. Hanya melalui tuntunan tutur, tattwa, seseorang dapat petunjuk yang benar untuk berjalan di dalam kerohanian untuk menyucikan diri. “Asalkan dilakoni dan dilakukan dengan menaati sesana, maka Ngiring akan menginspirasi warga masyarakat sekitarnya, tetapi kalau mengharapkan kultus individu dan eksklusifisme apalagi merusak tatanan agama yang sudah ada, maka tentu oknum bersangkutan akan mendapatkan sanksi sosial,” tegasnya, sebagaimana ia ceritakan ada oknum yang mengatakan dirinya Ngiring dan perwujudan dari Sanghyang Acintya yang membuat upacara besar menjadi terganggu sehingga yang bersangkutan kemudian diamankan dan diajak ke rumah sakit jiwa dan positif dinyatakan mengalami gangguan mental.
Seorang dasaran yang hadir dalam seminar itu menanyakan adanya kepercayaan bahwa orang-orang Ngiring seperti dirinya tidak boleh menikmati santapan yang disuguhkan di rumah orang cuntaka, seperti orang meninggal atau di rumah orang menggelar upacara pawiwahan. “Kalau tyang kundangan nengokin nak nganten, ten kelaparan tyang?” sebutnya yang disambut tawa para peserta lainnya.
Menjawab pertanyaan tersebut Ketut Sandika yang juga seorang undagi barong-rangda ini mengatakan, bahwa kepercayaan semacam itu memang lazim di kalangan masyarakat Bali, tetapi ia menyatakan dirinya sendiri biasa melayat ke rumah orang meninggal bahkan turut memandikan jenazah, demikian juga menikmati suguhan makanan di rumah orang upacara pawiwahan biasa baginya. “Sebenarnya bisa asal ada ritual yang dilakukan sepulang ke rumah kita. Dalam Yama Purana Tattwa ada disebutkan penglukatan yang mesti dilakukan sepulang dari rumah orang cuntaka, seperti melukat Brahma di dapur,” terangnya. Ia melihat kepercayaan semacam itu lebih kepada rasa keagamaan dan tentu bisa dineteralisir dengan pemahaman keagamaan.
Pembina Ghanta Yoga, Ida Bagus Putu Adriana (Tu Aji) yang bertindak selaku tuan rumah memberikan clossing statement pada sesi terakhir. Ia menandaskan Ngiring apabila harus dilakoni oleh seseorang, maka semua tergantung penyikapan. Bagaimana menyikapinya, maka itulah awal apakah predikat Ngiring itu akan mengantar seseorang pada kebaikan atau sebaliknya. Ditegaskannya, jika ada keyakinan bahwa diri harus Ngiring, maka cukup di-iya-kan saja. “Yang sering memicu masalah adalah apabila setelah dinyatakan Ngiring yang bersangkutan sibuk dengan pikiran dan praduga masing-masing, misalnya harus begini begitu sehingga menjadi sangat sibuk untuk urusan Ngiring, sementara masalah keluarga termasuk pekerjaan terbengkalai. Biasanya itu yang menjadi masalah,” sebutnya mengingatkan. Tua Aji menambahkan, untuk menjalani proses Ngiring tersebut biarkanlah niskala yang menuntun hendak dituntun menjadi “pregina” apa nantinya, sehingga kita tidak bergerak sendiri atas keinginan pribadi, sebab kalau kehendak sendiri yang diinginkan hendak diwujudkan, misalnya begitu disebut Ngiring kemudian terbayang akan menjadi balian, maka itu bukan Ngiring lagi namanya. Ngiring adalah menaati dan mengikuti kehendak yang Kairing dan berusahalan lebih dekat dulu dengan yang Kairing, sehingga terjadi interkasi yang harmonis dan akan menjadikan kehidupan di dunia sekala harmonis juga. Dan sebagai catatan, yang Kairing itu haruslah mencerahkan orang yang Ngiring, sehingga kehidupannya jagadhita.











Selasa, 29 September 2015

Konsep Ketuhanan dalam Agama Hindu




"Agama Hindu adalah agama politheisme yang menyembah banyak Tuhan?". Hal ini sering saya dengar dari saudara beda agama yang mungkin belum mengerti tentang konsep ketuhanan dalam Hindu. Dengan demikian maka sering muncul pemikiran yang cenderung merendahkan karena ketidakjelasan Tuhan mana sebenarnya yang disembah. Padahal sebenarnya Hindu bukanlah agama monotheisme, politheisme, atheisme ataupun lainnya. Konsep agama Hindu adalah Panteisme yaitu agama universal (satu Tuhan untuk semuanya).
Kenapa Agama Hindu disebut Panteisme? Memang terdapat perbedaan dalam proses tata cara penyembahan dan bahkan perbedaan nama Beliau yang disembah sesuai dengan alirannya tetapi sebenarnya mereka tetap menyembah satu Tuhan yang disebut Brahman/Ida Sang Hyang Widhi Wasa dikarenakan Beliau mempunyai banyak gelar seperti yang disebutkan oleh sloka-sloka berikut :
"Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangruwa" yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada Dharma/Tuhan yang lainnya.
"Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadhanti" artinya Tuhan hanya satu, tetapi para resi bijaksana menyebut Beliau dengan banyak nama.
Berbeda dengan monotheisme yang hanya menyembah satu Tuhan, tetapi sayangnya hanya berpihak pada satu kelompok saja, sedangkan kelompok lain adalah kaum musuh yang harus dibasmi. Atau paham politheisme yang jelas-jelas menunjukkan perbedaan dan penyembahan berhala.
Lalu siapakah sebenarnya Tuhan dalam Agama Hindu ?
Tuhan dalam agama Hindu disebut Brahman ("bukan Dewa Brahma") atau di Bali biasa disebut Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang artinya Tuhan yang maha besar dan tahu segalanya. Segala sesuatu tentang Brahman/Ida Sang Hyang Widhi Wasa tidak secara gampang bisa kita pahami kecuali kita sudah memiliki hati yang tulus, bijaksana dan tidak memiliki keterikatan terhadap apapun masalah keduniawian dikarenakan sifat-sifat beliau. Sifat-sifat Beliau banyak disebutkan dalam kitab suci. Dalam Weda disebutkan 4 sifat kemahakuasaan dari Tuhan yang disebut Cadu Sakti yang diantaranya :
Wibhu Sakti : Tuhan Maha Ada yang memenuhi dan meresapi seluruh bhuana/dunia dan berada dimana-mana, tidak terpengaruh dan tidak berubah ("Wyapi Wyapaka Nir Wikara") dan tidak ada tempat yang kosong bagi Beliau karena beliau memenuhi segalanya. Beliau ada di dalam dan di luar ciptaan-Nya.
Prabhu Sakti : Tuhan Maha Kuasa yang menjadi raja dari segala raja (Raja Diraja), yang menguasai segalanya baik dalam hal penciptaan (Utpetti), pemeliharaan (Stiti), dan Pelebur (Prelina).
Jnana Sakti : Tuhan Maha Tahu yang mengetahui segala sesuatu yang terjadi baik di alam nyata maupun tidak nyata, yang terjadi di masa lampau(Atita), yang sedang terjadi (Nagata), ataupun yang akan terjadi (Wartamana).
Krya Sakti : Tuhan Maha Karya yang setiap saat tidak pernah berhenti melakukan aktifitas baik dalam penciptaan, pemeliharaan, pelebur, pengawasan, penjagaan, sutradara dalam sandiwara kehidupan (demi memberikan pembelajaran dan pengetahuan) dan segala aktifitas lainnya.
Disamping sifat kemahakuasaan di atas, Tuhan/Brahman/Ida Sang Hyang Widhi juga memiliki sifat sebagai berikut seperti yang disebutkan dalam kitab Wrhaspati Tattwa yang disebut sebagai Asta Iswara yang diantaranya :
Anima : Tuhan bagaikan setiap atom yang mempunyai kehalusan yang bahkan lebih halus dari partikel apapun
Lagima : Sifat Tuhan yang sangat ringan bahkan lebih ringan dari ether
Mahima : Dapat memenuhi segala ruang, tidak ada tempat kosong bagi Beliau
Prapti : Segala tempat bisa dicapai, Beliau dapat pergi kemanapun yang dikehendaki dan Beliau telah ada.
Prakamya : Segala kehendakNya akan selalu terjadi.
Isitwa : Tuhan merajai segala-galanya, dalam segala hal yang paling utama
Wasitwa : Menguasai dan dapat mengatasi apapun.
Yatrakamawasayitwa : Tidak ada yang dapat menentang kehendakNya.
Adapun sifat-sifat Tuhan yang merupakan sumber dari segala kehidupan (Parama Atma) adalah :
Achintya : tak terpikirkan
Awikara : tak berubah-ubah
Awyakta : tak terlahirkan.
Achodya : tak terlukai oleh senjata
Adhaya : tak terbakar oleh api
Akledya : tak terkeringkan oleh angin
Achesyah : tak terbasahi oleh air
Nitya : kekal abadi
Sarwagatah : ada dimana-mana
Sthanu : tak berpindah-pindah
Acala : tak bergerak
Sanatana : selalu dalam keadaan sama
Atarjyotih : maha sempurna sesempurna-purnanya.
Dengan adanya sifat-sifat Beliau seperti di atas sangatlah sulit bagi orang awam untuk bisa mengerti dan memahami Tuhan kecuali kita sudah memiliki keyakinan teguh, berusaha untuk memahami dan menghayati keberadaan Beliau, melepaskan semua ikatan terhadap keinginan duniawi, dan memasrahkan sepenuhnya untuk Beliau.
Lalu apakah fungsi Dewa-Dewi? Apakah mereka bukan Tuhan?
Dewa berasal dari kata "Div" yang artinya sinar suci dari Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi. Dewa adalah belahan dari Tuhan yang mana sebenarnya sama dengan mahluk lainnya termasuk manusia yang merupakan percikan terkecil dari Beliau karena Beliau adalah sumber dari segala kehidupan hanya saja Dewa berbentuk Sarira/roh/atma yang mempunyai sifat dan kemahakuasaan yang hampir sama dengan Tuhan. Diantara nama Dewa-Dewa yang ada hanya ketiga dewa yang mempunyai sifat yang mendekati sama dengan Tuhan diantaranya Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa sehingga ketiga dewa tersebut dijadikan dewa tertinggi dalam agama Hindu yang disebut Tri Murti.
Fungsi para dewa adalah untuk mengatur jalannya roda kehidupan baik dalam penciptaan, perjalanan waktu, dan peleburan serta proses setelah kematian. Mereka juga membantu makluk lainnya termasuk manusia untuk bisa mengerti konsep ketuhanan dan mengatur tatatan hidup manusia. Sehingga secara tidak langsung mereka adalah wakil dari Tuhan yang mengatur segala kehidupan sesuai dengan tugasNya masing-masing dan juga sebagai penghubung antara Tuhan dengan ciptaanNya. Dengan kata lain apabila manusia melakukan persembahan kepada salah satu dewa maka sama artinya mereka menyembah Tuhan dan dewa lainnya karena mereka semua adalah satu tetapi berbeda karena fungsinya. Sama halnya dengan kita sendiri, dengan menjaga diri sendiri dan menghormati orang lain artinya juga kita menjaga dan menghormati Tuhan karena Tuhan juga bersemayam dalam diri manusia.
Jika diibaratkan dalam sebuah perusahaan besar, Tuhan adalah sebagai pemilik perusahaan dan Tri Murti adalah Owner Representative, Dewa Indra yang merupakan raja dari para dewa adalah sebagai General Manager dan dewa-dewa lainnya sebagai departement head/manager. Dan disini manusia adalah staff yang harus tetap tunduk dan patuh terhadap atasan. Seorang staff sangatlah susah untuk bertemu langsung dengan pemilik perusahaan sehingga mereka harus menggunakan penghubung yaitu atasannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Hindu tidak menganut paham monotheisme, politeisme, atheisme tetapi panteisme yang bersifat universal sehingga Hindu bisa menyatu dengan unsur daerah manapun tanpa adanya perselisihan sehingga penyebaran agama Hindu tidak pernah sekalipun dilakukan melalui kekerasan. Hindu tetap menyembah satu Tuhan yang disebut Brahman/Ida Sang Hyang Widhi hanya saja karena sifat dan kemahakuasaan Beliau sangat sulit untuk bisa dipahami akal manusia yang masih sangat terbatas sehingga manusia lebih cenderung untuk menyembah Dewa-Dewa yang sebenarnya sama artinya dengan dengan menyembah Tuhan.

Hindu bukanlah agama monotheisme, politheisme, atheisme ataupun lainnya. Konsep agama Hindu adalah Panteisme yaitu agama universal (satu Tuhan untuk semuanya).
Kenapa Agama Hindu disebut Panteisme? Memang terdapat perbedaan dalam proses tata cara penyembahan dan bahkan perbedaan nama Beliau yang disembah sesuai dengan alirannya tetapi sebenarnya mereka tetap menyembah satu Tuhan yang disebut Brahman/Ida Sang Hyang Widhi Wasa dikarenakan Beliau mempunyai banyak gelar seperti yang disebutkan oleh sloka-sloka berikut :
"Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangruwa" yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada Dharma/Tuhan yang lainnya.
"Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadhanti" artinya Tuhan hanya satu, tetapi para resi bijaksana menyebut Beliau dengan banyak nama.





Lontar Markadya Purna




Iti kaweruhakna denta apa mimitannya rat iki, matangnya hana khayangan besakih, jatinya kadi iki. Sedurung hana paran paran kewala hana taru warna balantara, sedurung hana segara rupek , ingaran pulo panjang, duk ikang jagat saha nama pulo dawa. Ring java purwa ring giri rawang hana wong sanunggal sang yogi markanya.
sang yogi Markandya kawit hana saking hindu, saku weha ning carakanya anambat sang yogi markandya bhatara giri rawang , wireh antuk kawidnyanan sira mandi.
..........
arti bebasnya,
ini harus diketahui bagaimna asal mula tempat ini, maka adanya khayangan besakih, sebenarnya adalah demikian. Sebelum ada apa apa dimana dimana hanya ada pohon kayu di dalam hutan belantara di tempat ini, sebelum adanya selat bali pulau ini bernama pulau panjang (Pulau panjang meliputi jawa, madura dan bali) . di jawa tepatnya di jawa timur yaitu tepatnya di gunung rawung, ada seorang yogi bernama sang yogi markandya.
sang yogi ini berasal dari hindu ( india), yg oleh rakyatnya beliau dijuluki bhatara giri rawang. oleh karena ketinggian ilmu bhatinnya, kesucian rohaninya, serta kecakapan dan kebijaksanaan beliau....
........ .....Beliau disebut bhatara giri rawang karena beliau berasal dari giri rawung / gunung rawung, disana ada desa aga, yg kmudian jdi cikal bakal bali aga di bali. bali adalah pulau tersendiri sejak terbentuknya pulau ini ( versi babad pasek), ........................ .. terbentuknya selat Bali jauh sebelum jaman Glasial es mencair dimana selat Bali adalah salah satu selat terdalam yang ada di kepulauan Nusantara.. Sedangkan waktu kedatangan Maha Rsi Markandeya ke Bali diperkirakan pada abad ke 7 Masehi...

IBU Dalam konsep Hindu Bali




IBU berasal dari kata “bu” artinya “lahir”. IBU artinya “yang melahirkan”. Dalam konsep Hindu Bali, IBU adalah kemanunggalan aspek laki-laki dan perempuan (Meme - Bapa) / (Bapa Akasa - Ibu Pertiwi) / (Lingga - Yoni). Penyatuan kedua aspek ini yang mengadakan manusia di dunia.
Ketika bayi lahir, membuat banten "bu".
Beliau para leluhur yang telah suci di alam sunya disebut BETARA HYANG IBU / BETARA KAWITAN / BETARA LELANGIT / BATUR KALAWASAN PETAK.
Kumpulan keluarga - keluarga dalam satu garis keturunan (soroh) membuat tempat pemujaan leluhur yang disebut dengan PURA IBU.
Ikatan kekeluargaan dari keluarga-keluarga dalam satu garis keturunan disebut PAIBON (disebut pula Panti atau Dadya).
HARI IBU sejatinya penghormatan kepada orangtua (Meme - Bapa), termasuk di dalamnya Pekak – Dadong, Kumpi, Buyut, Klab, Klambiyung, Bungkar, Wareng, Klewaran, dan seterusnya yang disebut dengan para leluhur / Batara Ibu / Kawitan.

Rabu, 23 September 2015

TAK ADA KETURUNAN HINDU




TAK ADA KETURUNAN  HINDU
OM Svastyastu
Ajaran Hindu merupakan sebuah 'cara hidup' di mana kita diarahkan untuk hidup selaras dengan aturan universal dan kekuatan abadi dalam alam semesta ini. Dalam perjalanan kesadaran ini kita diberikan kebebasan untuk mencari jati diri yang tertinggi untuk mencapai pembebasan secara spiritual. Jadi ajaran Hindu memiliki sebuah lautan pengetahuan dan pesisir mutiara kesadaran untuk mengarahkan kita kepada kesadaran-kesadaran yang semakin tinggi, yang selanjutnya akan membawa kita kepada puncak-puncak kejernihan dan keheningan.
Adakah orang baru lahir yang sudah mengetahui dan mampu menerapkan cara hidupnya menurut ajaran Hindu? Tentu tidak ada, maka oleh karena itu tidak ada yang lahir ke dunia ini sebagai Hindu (Penganut Ajaran Hindu). Kita perlu introspeksi diri mengenai peran kita sebagai penganut ajaran Hindu demi kelanjutan ajaran yang agung dan mulia ini, karena yang jelas bukan kelahiran dan keturunan yang akan menentukan kelanjutannya ajaran Hindu.



Berbeda dengan Budaya dan Tradisi, Ajaran Hindu tidak diturun temurunkan secara warisan leluhur atau dari Bapak ke Anak, melainkan terutama dilanjutkan, dilestarikan dan diamankan oleh mereka-mereka yang mencapai puncak kesadarannya, ingin belajar dan ingin meluangkan tenaga dan waktu untuk mencerahkan orang lain dalam perguruan. Sejak masa para Rishi Kuno, ajaran Hindu hanya dapat diamankan secara jelas antara Guru dan Sisya, terlepas dari keturunan atau tidak. Orang yang paling mampu dan paling tepat secara menyeluruh untuk menerapkan dan mengamankan ajaran Veda dapat menjadi Sisya dan selanjutnya suatu hari juga menjadi Guru.
Pada jaman di mana pengetahuan Veda dan ajaran Hindu mulai dilanjutkan secara turun temurun mulai muncul kejanggalan karena tidak lagi berdasarkan kejernihan yang diperolehkan atau bersemayam antara Guru dan Sisya. Pengetahuan Veda yang murni akhirnya dicampuri pemahaman sosial, adat, politik, budaya dan tradisi karena sistem Guru - Sisya disampingkan. Akhirnya yang merupakan ajaran Hindu dan yang merupakan budaya atau tradisi semakin tidak jelas. Jadi masa kini dalam hal ini, sebagai penganut ajaran Hindu kita perlu introspeksi diri dan berusaha dengan betul untuk mengenal kebenaran ajaran Hindu bukan pembenaran penganut ajaran Hindu..
Ajaran Hindu bersemayam dalam pengetahuan abadi, Veda, dan mereka yang menerapkannya dengan sungguh-sungguh, mereka yang memiliki pendalaman, berwawasan dan mampu menjelaskan atau mencerahkan orang lain tentang ajaran Hindu dapat mengamankannya untuk generasi-generasi mendatang. Jadi, sebelum ada yang menyatakan dirinya bangga terlahir sebagai orang Hindu, saya ingin Anda memikirkan kata-kata itu, karena sesungguhnya tidak ada orang yang lahir sebagai penganut ajaran Hindu. Ajaran seseorang sesungguhnya bertumbuh dalam kesadarannya sendiri dan akan juga ditentukan oleh orang itu sendiri sepanjang hidupnya. Leluhur kita siapa dan mereka menganut ajaran atau pemahaman apa, warisan tradisi, budaya ataupun orang tuanya sendiri bukan yang menentukan kita penganut ajaran Hindu atau tidak. Hanya diri kita sendiri yang menentukan hal ini.
Ajaran Hindu sesungguhnya merupakan sebuah cara hidup terkait dengan kesadaran, dan kedua hal ini tidak diperolehkan dari kelahiran, melainkan akan berkembang dari keinginan sendiri untuk mempelajari diri berdasarkan Keyakinan, Ketekunan dan Kedisiplinan.
Jika Anda ingin mengtahui ajaran apa yang sesungguhnya dianut seseorang, cara terbaiknya adalah melihat cara dia hidup. Berusaha melihat orang bukan dari apa YANG  mereka Katakan atau Tulis, tetapi mengenal mereka dari cara mereka berbicara, cara mereka hidup dan berperilaku. Di situ akan terlihat apakah seseorang menganut ajaran Hindu atau hanya meyakini dirinya terlahir sebagai orang Hindu.


Hindu adalah agama "yg mengajarkan kesadaran"ketika masih tingkat SMA salah seorang guru agama mengatakan. Alam semesta itu ibaratnya bagai seekor sapi yg rela susunya diisap oleh warga alam semesta.itu artinya sbg manusia kita patut menyembahnya. Bukan karena dia sebagai pemberi susu, tetapi yg kita sembah adalah kesadaran. Sebagai pemberi hidup.itulah yg diajarkan oleh keuniversalan Hindu sebagai agama.

Cara Hidup itu, menurut ajaran Hindu, perlu berada dalam harmoni dan selaras dengan aturan abadi alam semesta ini. Membunuh demi khayalan merupakan sebuah cara hidup dalam kegelapan dan ketidak tahuan dan ajaran Hindu menekankan pada mengingatkan bahwa untuk setiap tindakan, akan ada konsekuensinya.



- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI




EKAM SAD VIPRA BAHUDHA VADANTI




EKAM SAD VIPRA BAHUDHA VADANTI
OM Svastyastu 
ORANG BIJAKSANA MENYEBUTKAN SANG SATU EKSISTENSI DENGAN BERBAGAI NAMA
Mantra Rig Veda ini menyebutkan bahwa Sang Satu (Tuhan) memiliki berbagai kekuatan yang diberikan berbagai nama, yakni Agni, Indra, Vayu, Soma, Ashvin, Aditi, Sarasvati, Yama, Matarishvanam, Rudra, Vishnu, Surya, Savitur dan lain sebagainya.
Nama para Deva dari Sang Satu dinyatakan memiliki kekuatan eksistensial maupun psikologis dalam kesadaran manusia. Dengan demikian banyak nama untuk Sang Satu kita dapat juga mengetahui bahwa para Rishi kuno telah mendengar, melihat dan mengalami kekuatan-kekuatan kosmis para Deva yang semuanya dapat mempengaruhi kesadaran manusia. Di sini mulai terungkap sebuah cara rahasia yang digunakan oleh para Rishi kuno sebagai cara untuk mengalami kebenaran eksistensial, bukan hanya meyakiniNya secara psikologis. Nama para Deva merupakan energi dan kekuatan yang dapat dibangkitkan melalui kesadaran. Ada aturannya, urutannya, awalnya dan tujuannya seperti terurai dalam simbolisme makna berganda dalam Rig Veda. Metode ini dan simbolisme Rig Veda akan saya bahas lebih lanjut di lain kesempatan.
Walau Sang Satu disebutkan dipanggil dengan banyak nama yang berbeda-beda ini tidak berarti bahwa semua Agama dan Ajaran memiliki cara atau melalui jalan spiritual yang sama. Selanjutnya pencapaian spiritual seseorang tidak ditentukan oleh filosofi, upacara, etika atau moral melainkan berawal dan berakhir dalam cara kita mengelola kesadaran untuk mencapai diri yang tertinggi.
Seperti seorang insinyur mampu merubah dunia luar dengan metode tertentu, ajaran Veda pula memberikan petunjuk-petunjuk yang mampu merubah diri kita dari dalam. Kini kita memiliki sebuah lautan petunjuk mutiara kesadaran dari para Rishi kuno yang telah mencari, menemukan dan mengalami kebenaranNya dan caranya mencapai pengalaman itu. Para Rishi kuno tidak mengatakan cukup Anda meyakini saja melainkan memberikan formulanya, metodenya, caranya dalam simbolisme untuk mencapai dan mengalaminya sendiri.
Kini tinggal kita menentukan apakah kita ingin sampai di bukit, atau di puncak gunung. Langkah pertamanya adalah siapkan sepatu yang kuat, peralatan lainnya dan latihan mendaki bukit-bukit dulu. Anda akan tahu sendiri kapan saatnya Anda sudah siap untuk mendaki ke puncak gunung yang sangat indah itu.
Om, Santih, Santih, Santih, Om | Sarvam Shantih

Selasa, 22 September 2015

EMPAT KAWITAN



"asal muasal jadi manusia"
1. Sang Pencipta/Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah kawitan kita yg utama. Kawitan berasal dari kata wit yg berarti asal-usul, yang menjadikan semua ini ada. Beliaulah yang penciptakan segala mahkluk di bhur loka, sesuai dengan anugerah bayu sabda idepnya. (1) bayu - tumbuhan, (2) bayu, sabda - hewan, (3) bayu, sabda, idep - manusia. Jadi kita adalah mahluk yg paling sempurna dari yang tidak sempurna. Tumbuhan dan hewan adalah saudara kita lahir bersama dari Sang Pencipta.
2. Bhatare Dalem
Kawitan yg kedua adalah Dalem, Pura Dalem memegang peranan penting. Segalanya adalah atas izinNya. Saat mendak kawitan purusa predana selalu mendak ke Dalem, Begitu juga bagi yang akan mendirikan kawitan, kemimitan, selalu medak ke Dalem.
3. Kemulan Rong Telu
Kawitan selanjutnya adalah Bhatara Hyang Guru, berdasarkan Brahma, Wisnu, Siwa. Dari sinilah kita berasal. Dibawah pelinggih adalah stana Hyang Leluhur yg sudah disucikan. Dari sinilah Beliau akan numitis.
4. Orang Tua
Kawitan terdekat kita adalah orang tua. Disebut kawitan sekala. siapa orang paling hebat di dunia ini, bagi kita hanya mereka, orang tua kita yg paling hebat, karena mereka yg melahirkan kita.

kawit Nike Jero , yening anut ring tutur dalem Kawi yg ada di dese adat pekraman , tri kayangan linggih ide , Yen di keluarga , di kemulan linggih ide , Yen di sekale di meme bape ide Napak .

Wit manuse /MANU ngaran Sanghiang agama, SE ngaran sesane . Mawit saking kemulan madye , betare siwe guru haram mie Tan tios mewaste guru suwadiaya , RI sedek ngerke manuse , ngetel damah/damuh/peluh ,metemahan manuse sewiji .