Selasa, 04 Agustus 2015

saMskrta for kids



 Berkenalan dengan huruf devaanaagaarii

anacaraka
a     na   ca   ra   ka   da
ta    sa   va   la   ma   ga
ba   ha   pa   ja   ya   jna



bermain dan bersenang-senang dengan huruf devaanaagaarii

















Berkenalan dengang saMskrta



saMskrtam





















samskrta dasar untuk TK & SD
















Dagang Banten Bali


Melayani pembuatan aneka banten untuk upacara \hindu Bali
piodalan
pawiwahan
otonan
tiga bulanan


Melayani aneka Upacara
Ngelangkir
Menikah
Ngaben

hubungi via WA, Telp atau sms
0882 - 9209 - 6763
0896-0952-7771

Telp
0361 - 464096

alamat
jl Gandapura Gg 1c No1 Kesiman Kertalangu
dan
jl sedap malam 117a kebon kuri
Denpasar

Pesan Via Facebook Klik Disini




- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Senin, 03 Agustus 2015

Banten Upacara Bayi



-Bayi baru lahir hari pertama 
-kepus pungsed
-12 hari
-dedinan/35 hari 
-bajang colong/mecolongan/42 hari
-3 bulanan/nyambutin 
-Otonan pertama 

 

-Bayi baru lahir hari pertama 

 1. Ketika Anak Baru Lahir
Ucapkan Mantram Gayatri sebanyak mungkin, minimum tiga kali. Kalau bisa sambil membawa Japamala (ganitri). Maha Mantra Gayatri disebut juga sebagai Mantra Savitri atau Mantra Savita, sebagai ibu dari Veda yang memberikan pencerahan kepada kecerdasan dalam menapak kehidupan menuju kesempurnaan. Bisikkan Maha Mantra Gayatri tiga kali masing-masing di telinga kanan (dharma) dan kemudian di telinga kiri (sakti).
2. Waktu Dikasi Ari-Ari
Ketika sudah diberikan ari-ari dari pihak rumah sakit, bidan dll. Bungkus dengan kain putih sukla, sebaiknya sudah disiapkan payuk tanah yang cukup besar, dengan tutupnya, lalu ari-ari itu dimasukkan ke dalam payuk setelah itu di bawa pulang
3. Mencuci Ari-Ari
Setelah sampai di rumah maka oleh ayah si anak ari – ari diletakan di dalam baskom/ember baru yang setelah itu alat tersebut tidak boleh dipakai lagi. Lalu ari – ari tersebut di cuci dengan air. Sang ayah harus membersihkan ari – ari dengan bersih dengan menggunakan kedua tangan, tanpa perasaan jijik dan dilakukan dengan perasaan penuh syukur dan kasih sayang, setelah bersih lalu di bilas dengan air kumkuman (air bunga).
4. Tahapan Dalam Menanam Ari-Ari
Siapkan sebuah kelapa ukuran besar yang masih lengkap dengan kulitnya, lalu dipotong dan dikeluarkan airnya. Pada bagian atas kelapa (bagian tutupnya) ditulis aksara Ah yang melambangkan Akasa dan pada bagian bawahnya ditulis aksara Ang yang melambangkan Pertiwi.
Lalu ari -ari dimasukan kedalam kelapa tersebut, diisi dengan 1 buah kwangen yang berisi 11 kepeng uang bolong yang diletakan di atas ari – ari, 1 potong lontar / ental yang ditulis aksara Ongkara, 1 ikat duri – durian (3macam duri), Rempah – rempah (anget – angetan), wewangian dan boleh juga di isi pesan – pesan lain dari sang ayah dalam hal ini mengacu kepada Desa Kala Patra.
Sesudah lengkap lalu kelapa tersebut dibungkus dengan ijuk lalu dibungkus kain putih dan selanjutnya di tanam. Untuk bayi laki – laki maka ari – ari di tanam di pekarangan dengan posisi di sebelah timur pintu masuk kamar si bayi (misalnya lokasi bayi di bale daja) sedangkan bayi perempuan di tanam di sebelah barat pintu. 

Masukan ari – ari tersebut ke dalam lubang lalu ucapkan mantram :
Om Sang Hyang Ibu Pertiwi
rumaga bayu
rumaga amrtha sanjiwani
ang amertham sarwa tumuwuh (nama si bayi)
mangda dirghayusa nutugang tuwuh “

Setelah itu barulah ari – ari di timbun dan diatasnya diletakkan batu bulitan sebagai tanda dan ditanam pandan berduri. Hal ini secara sekala bertujuan menjaga ari – ari agar tidak diganggu hewan dan secara niskala bertujuan untuk menghindari gangguan jahat. Dan sanggah cucuk diisi lilin, usahakan tetap menyala selama 42 hari. Kemudian ditutup dengan kurungan ayam.

5. Banten Untuk Menanam Ari-Ari
Banten yang digunakan yaitu : banyuawang, dapetan, nasi kepel 3, pengulapan, pengambean, daksina. Daksina ditaruh di sanggah cucuk yang ditancapkan di atas tanah menanam ari-ari. Lalu buatkan segehan lima warna yaitu warna hitam di sebelah utara, putih sebelah timur, merah sebelah selatan, kuning sebelah barat dan manca warna di tengah.



Pura Bhur Bwah Swah yang berada di Desa Seraya Tengah, Karanagsem- Bali

https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7064956473689545303#editor/target=post;postID=198552802566298180;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=33;src=postname


-kepus pungsed
 dapetan
-12 hari
 dapetan
-dedinan/35 hari 
 dapetan
-bajang colong/mecolongan/42 hari
 dapetan
  colong dari pahpah nyuh : bokor daksina mealed putih kuning, peras tulung, pahpah digambar wajah, tipat nasi 2 n 1 blayag, .......


-3 bulanan/nyambutin 

Upacara Tiga Bulanan dilaksanakan pada saat bayi berusia 105 hari atau tiga bulan menurut perhitungan Kalender Bali, yaitu 3 x 35 hari = 105 hari. Tujuannya adalah:
  1. Berterima kasih kepada “nyama bajang” atas bantuannya menjaga si-bayi sewaktu masih di dalam kandungan dan karena tugasnya sudah selesai, memohon nyama bajang kembali ke tempatnya masing-masing.
  2. Menguatkan kedudukan Atman yang “numitis” di tubuh si-bayi.
  3. Mensucikan si-bayi.
  4. Meresmikan nama yang diberikan orang tua kepada si-bayi.


Menurut Lontar Tutur Panus Karma, Nyama Bajang adalah kelompok kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa yang bertugas membantu “Kanda Pat” dalam menjaga si-bayi dalam kandungan.
Nyama Bajang terdiri dari 108 mahluk halus, antara lain bernama: bajang colong, bajang dedari, bajang dodot, bajang lembu, bajang yeh, bajang tukad, bajang ambengan, bajang papah, bajang lengis, bajang bukal, bajang kunir, bajang simbuh, bajang deleg, bajang bejulit, bajang yuyu, bajang sapi, bajang kebo, bajang helang, bajang kurkuta, bajang lelawah, bajang kalong, bajang kamumu, bajang haa, dan lain-lain.
Kanda Pat adalah: ari-ari, lamas, getih, dan yeh nyom. Bila nyama bajang tugasnya selesai segera setelah bayi lahir, maka Kanda Pat terus menemani bayi sampai besar – tua bahkan sampai meninggal dunia dengan perubahan nama sebagai berikut:
Segera setelah si-Ibu tidak menstruasi, Kanda Pat terbentuk dengan nama Karen (calon ari-ari), Bra (calon lamas), Angdian (calon getih), dan Lembana (calon yeh nyom); embrio bernama Lengprana.
Ketika kandungan berusia 20 hari Kanda Pat bernama Anta (calon ari-ari), Prata (calon lamas), Kala (calon getih), Dengen (calon yeh nyom); si-jabang bayi bernama Lilacita.
Kandungan berusia 40 minggu/ bayi lahir, Kanda Pat bernama Ari-ari, Lamas, Getih, dan Yeh nyom; bayi bernama I Pung.
Setelah tali pusar mengering dan putus, Kanda Pat bernama I Mekair (ex ari-ari), I Salabir (ex lamas), I Mokair (ex getih), dan I Selair (ex yeh-nyom); si bayi bernama I Tutur Menget.
Setelah bayi belajar berkata-kata, Kanda Pat bernama Sang Anggapati (ex ari-ari), Sang Prajapati (ex lamas), Sang Banaspati (ex getih), dan Sang Banaspati Raja (ex yeh nyom); si bayi bernama I Jiwa.
Anak remaja berusia 14 tahun atau gadis yang telah menstruasi pertama, Kanda Pat bernama Sang Sida Sakti (ex ari-ari), Sang Sida Rasa (ex lamas), Sang Maskuina (ex getih), dan Sang Aji Putra Petak (ex yeh nyom); anak bernama I Lisah.
Manusia sudah tua/ bercucu, Kanda Pat bernama Sang Podgala (ex ari-ari), Sang Kroda (ex lamas), Sang Sari (ex getih), dan Sang Yasren (ex yeh nyom); manusia bernama Sang Ramaranurasi.


Upakara kecil: 3 bulanan  panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara dan tataban.
 Upakara besar: panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara, tataban, pula gembal, banten panglukatan, banten turun tanah.

 Tata Cara :
     1. Pandita / Pinandita memohon tirtha panglukatan.
    2. Pandita / Pinandita melakukan pemujaan, memerciki tirtha pada sajen dan pada si bayi.
3. Bila si bayi akan memakai perhiasan-perhiasan seperti gelang, kalung dan lain-lain, terlebih dahulu benda tersebut diparisudha dengan diperciki tirtha.
4. Doa dan persembahyangan untuk si bayi, dilakukan oleh ibu bapaknya diantar oleh Pandita / Pinandita.
     5. Si bayi diberikan tirtha pengening (tirtha amertha) kernudian ngayab jejanganan.
     6. Terakhir si bayi diberi natab sajen ayaban, yang berarti memohon keselamatan.


 http://manggala upacara.blogspot.com/2012/09/manggala-upacara-2.html

 ayah dan ibu bayi mebeakala dengan tujuan menghilangkan cuntaka karena melahirkan.

 Nyama bajang dan kandapat "diundang" untuk dihaturi sesajen sebagai ucapan terima kasih 

 Bayi natab banten bajang colong artinya menerima lungsuran (prasadam) dari "kakaknya" yaitu kandapat

 Bayi "mepetik" (potong rambut, terus digundul, menghilangkan rambut "kotor" yang dibawa sejak lahir).

 Bayi "mapag rare" (disambut kelahirannya) di Sanggah pamerajan, memberi nama, dan menginjakkan kaki pertama kali di tanah didepan Kemulan.

 Bayi menerima lungsuran (prasadam) Hyang Kumara yaitu manifestasi Hyang Widhi yang menjaga bayi.

 Bayi "mejaya-jaya" dari pemangku/sulinggih 

atau

Upacara Tiga Bulanan
Sang pinandita tetap mengawali dengan pembersihan diri, ngarga tirtha, kemudian puja-puja seperti:
- Nuwur tirtha pengelukatan
- Ngajum Bayakawon
- Ngajum Durmanggala
- Ngajum Prayascita
- Ngajum Pengulapan
- Ngastawa Surya
- Ngastawa Sang Hyang Tiga Guru

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Upacara Macolongan “1 Bulan 7 Hari (42 hari)” Bayi Baru Lahir
Pada saat umur bayi satu bulan tujuh hari (42 hari), maka akan di buatkan suatu upacara yang di sebut “ upacara Macolongan “. Seperti yang di uraikan dalam Buku Kanda Empat Rare. Bahwa bayi dalam pertumbuhannya di dalam kandungan, sangat di bantu oleh empat unsur berdasarkan fungsinya masing – masing. Keempat unsur itu kemudian di sebut “Catur Sanak” yang berarti empat saudara yang meliputi Yeh nyom, Getih, Lamad/puser, dan ari – ari.
Dalam ajaran Kanda Empat Rare nama saudara empat ini, akan berganti – ganti sesuai dengan pertumbuhan si bayi, sehingga akan terdapat banyak nama untuk mereka. Disini, di dalam upacara macolongan ini Sang Catur Sanak di panggil dengan sebutan “Nyama Bajang”.
Yang di maksud “nyama bajang” adalah semua kekuatan – kekuatan yang membantu Sang Catur Sanakd di dalam kandungan. Menurut beberapa sulinggih “nyama bajang” ada sebanyak 108, dan salah satu di antaranya bernama “bajang colong”. Nama Bajang Colong inilah yang mungkin kemudian di jadikan nama upacara tersebut, sehingga disebut “Upacara Macolongan”.
Setelah bayi berumur 42 hari (Satu bulan tujuh hari sejak kelahirannya), maka sudah waktunya untuk mengembalikan si “nyama bajang” itu ketempat asalnya, karena di anggap tidak memiliki tugas lagi, bahkan kadang – kadang sering mengganggu si bayi. Dan sebagai pengganti nyama bajang tersebut adalah dua ekor ayam, satu jantan dan satu betina. Ayam ini pada umumnya di sebut “pitik”. Dan pitik ini biasanya tidak boleh di sembelih, karena di anggap sebagai pengasuh si bayi.
Banten Pecolongan
Banten pecolongan ini pada dasarnya di persembahkan kepada “nyama bajang”. Nyama bajang adalah kekuatan yang di anggap membantu Sang Catur Sanak dalam mewujudkan pertumbuhan si bayi di dalam kandungan. Atas semua jasanya itu,agar tidak ngerubeda (merusak), maka perlu di berikan abaan / lelabaan berupa banten pecolongan. Sedangkansebagai simbol bentuk perwujudan Nyama Bajang adalah:
1.Sebuah buki ( periuk tanak yang bagian bawahnya bolong) diberikan kalung tapis. Disebut sebagai bajang
Sebuah pusuh biu (jantung pisang) diisi pis bolong (uang kepeng) sebanyak 3 kepeng. Disebut Bajang Pusuh
2.Papah Nyuh (pelepak kelapa) yang berlubang diisi secarik kain (putih – kuning) dan ditandai tapak dara dengan kapur sirih. Disebut Bajang Papah
3.Dilengkapi sebuah genjer yang dibuat dari pelepah jaka, dihiasi bunga berwarna merah / bunga kembang sepatu (Pucuk Bang) disebut Bajang Raregek.
4.“Pitik” yaitu dua anak ayam laki – perempuan yang disebut dengan Bajang Colong
Dan masih banyak bajang-bajang yang lainnya. Tujuan upacara ini adalah untuk mengucapkan terima kasih kepada bajang-bajang tersebut, karena telah membantu merawat si bayi selama didalam kandungan, sampai kemudian lahir dan berumur 42 hari. Dan sekarang tugas mereka telah selesai, maka setelah diberikan lelabaan (upacara pecolongan), mereka dipersilahkan kembali ke asal masing-masing.

Melukat di Brahma
Upacara mecolongan ini biasanya tidak berdiri sendiri, dia merupakan rangkaian upacara yang bertujuan untuk membersihankan si bayi dan ibunya dan juga bapaknya, dari segala leteh sebel kendal/cuntaka papa petaka yang diakibatkan oleh adanya kelahiran si bayi.
Menurut Kanda Empat Rare setelah bayi berumur 42 hari, maka disebut utug Akambuh. Maka sudah saatnya untuk mengadakan pembersihan lahir dan batin bagi si Ibu dan anaknya, juga bapaknya. Agar terbebas dari sebel – Kendel, cuntaka papa – petaka. Prosisi ini pada umumnya dilakukan di dapur, dengan istilah “Melukat di Brahma”. Kalau tidak di dapur maka boleh di halaman rumah menghadap ke selatan. Upakaranya, tentu menurut desa kala patra yang ada.
Diawali dari upacara mebakala, prayascita, natab, mebakti, metirta, yang mengandung makna pembersihan secara sekala – niskala, dan mohon keselamatan agar si bayi dan orang tuanya terhindar dari berbagai gangguan sekala – niskala. Disisi lain, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang numadi, khusunya Ida Sanghyang Widi Wasa , agar senantiasa memberikan keselamatan kepada umatnya.
Dan sebagai symbol para “nyama bajang” ini tidak lagi menunggui si bayi, maka sehabis upacara mecolongan ini, sanggah cucuk, kelangsah dan segala atribut yang ada di tempat menanam ari-ari boleh dibongkar, boleh dibersihkan.
sumber : Buku Kanda Empat Rare 

 Banten 3 bulanan:
jejanganan : ebeg , aled raka, daksina, aled raka, tumpeng 1, kojong umah, ceper tipat nasi, suci, .......... nasi bangkalan, jajan jejanganan, 



pengakulan
ebeg : aled besar, daksina, 11 ituk-ituk nasi raka, sesenden 


sesenden : pada pengakulan pasepan besar berisi beras, pisang, peselan n gantusan, tebu, 11 lekesan (kojong seperti kuangen mini diisi base n mako), taluh siap matah, payuk pere misi kakul mati/kulitnya/rumahnya, 

 -Otonan pertama 

Bagia Pula-Kerti




Banten Bagia Pula-Kerti mengandung makna sesuai dengan namanya yaitu bagia = kebahagiaan; pula = menanam; kerti = perbuatan. Jadi arti keseluruhannya : kebahagiaan karena telah berhasil menanamkan perbuatan (suci). Maknanya lebih jauh : bukti telah melakukan upacara yadnya yang utama. Upacara yadnya itu misalnya upacara ngenteg linggih, mapedudusan, nubug pedagingan, mecaru panca kelud, yang dilakukan pada saat membangun/memperbaiki Pura/Sanggah Pamerajan, dan diulang setiap 10 tahun. Banten inti adalah bebangkit akedengan, di masukkan kedalam sebuah gentong besar, kemudian dihias dengan kwangen 33 buah, orti, kekecer, tegteg. Dalam gentong juga diisi panca datu. Bagia Pula-Kerti ditanam di hulu Pura.


MENUKAR ”ANUGRAH” DENGAN ”BABI GULING”





Entah kapan dimulainya masyarakat Hindu di Bali sangat umum melakukan persembahan ”Babi Guling” dalam suatu acara, apakah piodalan, hari baik, atau sekedar Nawur Sesangi (bayar janji). Kenapa Nawur sesangi? Umumnya ketika umat ini menghadapi suatu masalah, atau ada keinginan tertentu seperti naik pangkat, anak dapat sekolah, atau sehat dari sakit, dll maka kepasrahan rupanya tidak cukup jadi perlu perjuangan atau menjanjikan sesuatu kepada sang Pencipta, atau agar tidak dibilang tidak tahu terima-kasih, maka Hyang Whidi dijanjikan Babi Guling, padahal semua yang ada didunia ini termasuk kita adalah ciptaan beliau, kenapa harus dipersembahkan babi guling ini kepada beliau?. Waktu berjalan dan suatu saat tercapai niatnya, maka pada hari yang dianggap baik dipersembahkanlah Babi Guling, ibaratnya Anugrah diterima, babi guling dipersembahkan, ini seperti barter anugrah ditukar dengan babi guling. Bentuk lain adalah persembahan babi guling ditujukan kepada ”Penunggun Karang/Penglurah” yang sebenarnya Bhuta (Bhuta Dewa/satpam para Dewa), jika ini dilakukan maka sudah tidak percayakah umat pada Hyang Whidi sehingga harus meminta pada Bhuta. Fenomena seperti ini sudah berlangsung secara turun temurun dan menjadi kebiasaan sehingga umat banyak yang tidak tahu atau tidak perlu tahu apakah cara-cara itu dibenarkan menurut ajaran Hindu. Yang menjadi pertanyaan apakah sudah seperti itu pola pikir masyarakat akan makna persembahan, sebebelum sampai kesitu coba kita simak kenapa ada persembahan Babi Guling kepada Hyang Whidi atau Penunggun Karang.
Seperti diketahui jaman dulu kita belum mengenal nama Hindu seperti sekarang ini, yang ada adalah sebuah Mazab/Sekte/Pakse yang merupakan penonjolan Ista Dewata tertentu, sehingga ada : Sekte Siwa, Sekte Waisnawa, Sekte Bhairawa, juga ada sekte Budha, dll dimana pada abad XI oleh Mpu Kuturan di Bali sudah di-fusi menjadi satu dengan pemujaan Ista Dewara Tri Murti dalam bentuk Pelinggih Kemulan Rong Tiga dan ditingkat desa berupa Desa Pakraman dengan Pura Desa, Dalem, dan Puseh. Rupanya fusi ini tidak otomatis menghilangkan salah satunya atau memunculkan sesuatu yang baru sama sekali karena ciri khas sekte itu masih ada, sebut saja : Sekte Bhairawa yang disebutkan dalam persembahyangan perlu mabuk, sehingga yang masih bisa dilihat sekarang Caru dengan tuak/arak, pemotongan binatang/darah binatang, persembahan Babi Guling, bahkan lawarpun konon peninggalan dari para penganut sekte Bhairawa, sehingga sekarang ini tidak mudah memisahkan hal itu dari kebiasaan masyarakat. Apakah kemudian kita berhenti makan lawar atau berhenti mempersembahkan Babi Guling? tentunya sebelum memutuskan itu alangkah baiknya disimak dulu apa sebenarnya makna persembahan bagi kita? Kepada siapa persembahan itu ? Hyang Whidi, Ista Dewata, Bhatara, Leluhur, atau Bhuta Penunggun karang/Panglurah. Coba kita lihat pertama dari sikap, itu saja sudah dibedakan, sikap pada Hyang Whidi, Ista Dewata atau Bhatara dengan tangan dicakupkan didahi menghadap keatas, sementara kepada leluhur didepan hidung, kepada sesama didada, dan kepada bhuta didada menghadap kebawah. Selanjutnya sarana sembahyang bagaimana ?. Disebut dalam Bhagawad-Gita sbb : ”patram puspam phalam toyam, yo me bhaktya prayacchati, Tad aham bhakty-upahrtam asmani prayatatmanah “ (Kalau seseorang mempersembahkan daun,bunga,buah atau air, dengan cinta bhakti, Aku akan menerimanya. Bhagavad-Gita 9.26), jadi tidak pernah tersurat disana persembahan dengan binatang atau babi guling. Kita lihat lagi sarana persembahan : “Banten Pejati”, menekankan kesejatian bhakti kita, “banten suci” mengandung pesan hati yang suci diwaktu bersembahyang, “Pareresik (Byekaon,durmenggala,prayascita)” mengandung makna pensucian tiga alam Bhur-Bwah-Swah loka, pada diri manusia Bhur=pusar kebawah, Bwah=pusar sampai leher, Swah=kepala, dan bentuk sarana lainnya seperti Canang, dan lain-lain, semua persembahyangan itu justru merupakan pesan kesucian bagi para penyembah (Bhakta). Lalu bagaimana yang punya kemampuan menari mempersembahkan tarian, yang bisa menabuh dengan megamel, atau yang punya pohon mangga mempersembahkan mangga, dll bukankah itu juga dipersembahkan kenapa boleh, itu semua merupakan “ucapan terima-kasih” karena Hyang Whidi telah memberikan anugrah buat kita berupa pengetahuan dan hasil bumi. Kalau begitu benar bukan, kalau Babi guling juga dipersembahkan? Untuk ucapan terima-kasih terkait dengan hewan termasuk Babi, ada “tumpek kandang” namanya, tetapi pada hari itu tidak ada penyembelihan hewan tersebut ! Memang ada disuatu desa yang penulis tahu sehubungan dengan babi mereka beranak-pinak, maka dipersembahkan babi yang terkecil untuk dipersembahkan (di-guling), tetapi sebenarnya itu tidak sejalan dengan makna tumpek kandang, jadi hanya dikai-kaitkan agar dapat mempersembahkan babi guling atau bisa makan babi guling. Kalau kita tanya bagi sebagian umat yang mempersembahkan babi guling, umumnya mereka tidak mengerti itu pengaruh sekte Bhairawa, atau tidak mempertanyakan itu ada dasar sastranya atau tidak, yang mereka tahu mereka masih suka makan babi guling dan sebelum dimakan maka dipersembahkan dulu kepada Hyang Whidi sehingga lungsuran/prasadam yang dimakan jadi tidak makan dosa. Sekilas kelihatannya benar, namun ada cara yang lebih mengena, sebelum memotong babi lakukan permohonan “tirta pengentas” agar si Babi dikelahiran nanti bisa menjadi lebih baik, misalnya menjadi manusia karena kita umat Hindu percaya dengan re-inkarnasi, dan ketika akan menikmatinya boleh saja bersembahyang dulu atau panjatkan doa ucapan terima-kasih karena telah dianugrahi babi sehingga bisa disantap dengan benar (bukan menyantap dosa). Penulis berharap walau tidak dipaksakan, secara pelan-pelan kesenangan makan daging termasuk babi guling sebaiknya dikurangi kalau bisa dihilangkan, karena ketika makan daging sesungguhnya sifat-sifat raksasa yang masih ada pada diri manusia menjadi dominan, seharusnya sifat-sifat dewata yang dominan sehingga kita tidak perlu menyantap daging, jika memungkinkan yang dimakan adalah “Catur Kahuripan yaitu : daun, buah, bunga, akar/umbi, karena makanan tersebut secara ilmu kesehatan adalah makanan sehat apalagi bagi yang sudah usia diatas 40 tahun. Selanjutnya sesuai ajaran Catur Asrama kita bisa menapak fase ketiga (Wanaprastha) dengan mulai banyak belajar Weda, mulai sering tirta-yatra ke pura-pura atau petilasan, atau melakukan japa dirumah. Dengan pola seperti ini kita juga telah mendukung “Global Warming” karena mereka menyebutkan penyembelihan hewan dan makan daging hewan juga termasuk yang ikut andil terhadap pemanasan global. Akhirnya apapun yang kita lakukan akan ada pahalanya sesuai ajaran Kharma Phala, jika yang suka makan daging atau yang tidak makan daging bahkan vegetarian, akan mendapat pahala masing-masing, minimal dari sisi kesehatan yang tidak bisa ditukar dengan babi guling, beda halnya engan hari raya Galungan umat di wajibkan memakai sesajen daging babi untuk di persembahkan kepada sangyang kala tiga, (karena kesehatan adalah terkait dengan pola hidup khususnya pola makan. Semoga semua mahluk saling menyayangi .. Aum


Dagang banten bali


Melayani pembuatan aneka banten untuk upacara \hindu Bali
piodalan
pawiwahan
otonan
tiga bulanan


Melayani aneka Upacara
Ngelangkir
Menikah
Ngaben

hubungi via WA, Telp atau sms
0882 - 9209 - 6763
0896-0952-7771

Telp
0361 - 464096

alamat
jl Gandapura Gg 1c No1 Kesiman Kertalangu
dan
jl sedap malam 117a kebon kuri
Denpasar

Pesan Via Facebook Klik Disini