Selasa, 30 Juni 2015

Tamiang kolem untuk kuningan

 







Hari raya Kuningan, identik dengan adanya tamiang.

Namun apakah makna sebenarnya tamiang.

Berikut penjelasan Jero Mangku Ketut Maliarsa kepada Tribun Bali Rabu 21 April 2021.

"Setiap hari suci Kuningan memang menggunakan sarana tamiang. Tamiang adalah simbol kekuatan untuk menjaga hal-hal yang negatif agar tidak sampai mengena kita sebagai umat manusia," katanya.

Lanjut pensiunan kepala sekolah ini, kata tamiang dari kata tameng.

Dan tameng sendiri adalah sebagai pelindung diri, sehingga dikatakan melambangkan kekuatan dalam mempertahankan kemenangan yang diperoleh saat hari suci Galungan.

"Selain itu, tamiang juga sebagai niyasa Dewa Nawasanga sebagai penjaga seluruh arah mata angin," sebutnya.

Dapat dibayangkan bahwa sembilan penjuru mata angin melindungi umat manusia. Agar aman dan selamat.


"Makanya ada mantra 'Om Ano Badrah Karthawo yanthu wiswathah' yang artinya semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru atas karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa," katanya.

Selain itu, hari ini Buda Paing Kuningan adalah satu diantara hari penting dalam Hindu Bali.

Sebab hari ini adalah payogan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Ida Bhtara Wisnu.

Hari suci ini jatuh satu Minggu setelah hari suci Galungan, dan tiga hari menjelang hari suci Kuningan, tepatnya pada Buda Paing Kuningan.


Dan para umat Hindu sangat menghormati hari suci ini.

Sebab payogan Ida Bhatara Wisnu, sebagai pemelihara alam semesta beserta isinya, termasuk umat manusia itu sendiri sebagai bhuana alit, dan alam semesta sebagai bhuana agung-nya.

Umat Hindu sangat meyakini bahwa Ida Bhatara Wisnu, sebagai bagian dari Tri Murti yang berfungsi sebagai pemelihara alam semesta beserta isinya.

Maka pada hari suci ini, para umat Hindu meyakini dengan mempersembahkan sesaji atau upakara minimal canang asebit sari atau sakasidan (sekemampuan).

"Sehubungan dengan itu, luangkanlah waktu sejenak untuk menghaturkan sembah bakti kehadapan Ida Bhatara Wisnu. Agar beliau selalu melindungi, memelihara dan mengayomi umatnya sehingga memperoleh anugerah shanti dan jagadhita dalam mengarungi hidup dan kehidupan sebagai umat manusia," jelas pemangku asli Bon Dalem ini.

Di sini berlaku konsep doa dan usaha, selalu meluangkan waktu untuk bersembahyang memuja dan memuji keagungan-Nya sebagai sang pemelihara agar melimpahkan rahmat dan karunia - Nya pada umat manusia sehingga mencapai kesejahteraan hidup.



Di samping itu juga, sebagai umat Hindu berusaha dengan sungguh- sungguh melaksanakan swadharma masing- masing sebagai tatanan menjalankan kewajiban masing-mading sehingga memperoleh hasil sesuai dengan harapan karena atas waranugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa selaku pemelihara

"Maka dengan itu, dapat dikatakan bahwa hidup sebagai umat Hindu harus selalu menjalankan doa dan usaha. Sebab tanpa disertai dengan usaha nyata sebagai umat manusia tidak ada artinya," tegasnya.

Demikian juga usaha tanpa doa akan sia-sia.

"Oleh karena itu, wajib kita sebagai umat Hindu selalu melaksanakan dua hal ini secara sinergi," imbuhnya.


Maka akan terwujud sesuai dengan tujuan agama Hindu yaitu mencapai "Moksartam Jagadhita Ya Ca Iti Dharma", mencapai kebahagiaan lahir dan batin.

Baik di dunia, maupun di akhirat berdasarkan ajaran kebenaran.


"Hal ini mengindikasikan bahwa pada hari suci Buda Paing Kuningan wajib hukumnya para umat Hindu memuja dan memuji keagungan beliau sebagai Sang Pemelihara alam beserta isinya," tegasnya.

Menurut lontar Sundarigama, bahwa umat Hindu wajib menghaturkan sembah bakti kepada Ida Bhatara yang malingga dan malinggih di pura paibon sebagai wujud nyata ucapan syukur dan terimakasih atas limpahan rahmat dan karunia - Nya sehingga memperoleh kesejahteraan, kemakmuran, dan keharmonisan hidup dan kehidupan sebagai umat manusia. (*)



Melayani pembuatan aneka banten untuk upacara \hindu Bali
piodalan
pawiwahan
otonan
tiga bulanan


Melayani aneka Upacara
Ngelangkir
Menikah
Ngaben

hubungi via WA, Telp atau sms
0882 - 9209 - 6763
0896-0952-7771

Telp
0361 - 464096

alamat
jl Gandapura Gg 1c No1 Kesiman Kertalangu
dan
jl sedap malam 117a kebon kuri
Denpasar

Pesan Via Facebook Klik Disini


Melaspasin umah dan pelinggih/merajan



Pemelaspasan / Melaspas adalah upacara pembersihan dan penyucian bangunan yang baru selesai dibangun atau baru ditempati lagi, seperti rumah, kantor, toko dan lain sebagainya. Kata melaspas berasal dari bahasa Bali yang terdiri atas dua kata yakni Mlas dan PasMlas artinya pemisah dan Pas artinya cocok. Dari kedua rangkaian kata tersebut, melaspas berarti pembuatan bangunan biasanya terbuat dari dua unsur, yakni kayu dan batu dan apabila disatukan akan berbentuk bangunan cocok dan sangat layak untuk ditempati dan ditinggali. Bagi umat Hindu, upacara ini wajib dilaksanakan dan sudah menjadi tradisi turun-temurun hingga saat ini. Upacara ini digelar agar orang yang akan tinggal di bangunan tersebut merasa aman dan tentram serta betah dan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Sebelum upacara Melaspas, yang dilakukan terlebih dahulu adalah Macaru. Hal ini memiliki tujuan untuk nedunang Bhutakala atau mengundang sang Bhutakala untuk dhaturkan Labaan (sesajen). Dengan harapan agar Bhutakala tersebut kembali ke  tempatnya masing-masing  atau mengembalikan berbagai roh-roh yang tadinya tinggal atau mendiami bangunan tersebut ke tempat asalnya. Kemudian menghadirkan Dewa Ghana yang diyakini sebagai Dewa Rintangan yang bertujuan untuk menghalangi hadirnya roh-roh pengganggu.

Setelah Pacaruan selesai, baru dilanjutkan dengan rangkaian dari upacara Melaspas, yaitu mengucapkan orti pada mudra bangunan sebagai permohonan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Orti adalah simbol komunikasi, sebagai permohonan dalam perlengkapan upacara dalam pamelaspasan.

Melayani pembuatan aneka banten untuk upacara \hindu Bali
piodalan
pawiwahan
otonan
tiga bulanan


Melayani aneka Upacara
Ngelangkir
Menikah
Ngaben

hubungi via WA, Telp atau sms
0882 - 9209 - 6763
0896-0952-7771

Telp
0361 - 464096

alamat
jl Gandapura Gg 1c No1 Kesiman Kertalangu
dan
jl sedap malam 117a kebon kuri
Denpasar

Pesan Via Facebook Klik Disini


Melaspasin dapur

sesayut putih kuning
sesayut prayascita
sesayut durmangala
caru siap selem
biak aon
pengulapan pengambean
sodan
sanggah cucuk
gegantungan
wadah tirta
peras daksina
canang
segehan barak ...segehan untuk di dapur untuk Deva Brahma

Dagang Banten Bali


Melayani pembuatan aneka banten untuk upacara \hindu Bali
piodalan
pawiwahan
otonan
tiga bulanan


Melayani aneka Upacara
Ngelangkir
Menikah
Ngaben

hubungi via WA, Telp atau sms
0882 - 9209 - 6763
0896-0952-7771

Telp
0361 - 464096

alamat
jl Gandapura Gg 1c No1 Kesiman Kertalangu
dan
jl sedap malam 117a kebon kuri
Denpasar

Pesan Via Facebook Klik Disini


Kamis, 25 Juni 2015

Kidung Dewa Yadnya




  1. Kawitan Warga Sari - Pendahuluan sembahyang

    1. Purwakaning angripta rumning wana ukir.
      Kahadang labuh. Kartika penedenging sari.
      Angayon tangguli ketur. Angringring jangga mure.

    2. Sukania harja winangun winarne sari.
      Rumrumning puspa priyaka, ingoling tangi.
      Sampun ing riris sumar. Umungguing srengganing rejeng


  2. Pangayat - Menghaturkan sajen
    Kidung Warga Sari


    1. Ida Ratu saking luhur. Kawula nunas lugrane.
      Mangda sampun titiang tanwruh. Mengayat Bhatara mangkin.
      Titiang ngaturang pajati. Canang suci lan daksina.
      Sami sampun puput. Pratingkahing saji.

    2. Asep menyan majagau. Cendana nuhur dewane,
      Mangda Ida gelis rawuh. Mijil saking luhuring langit.
      Sampun madabdaban sami. Maring giri meru reko.
      Ancangan sadulur, sami pada ngiring.

    3. Bhatarane saking luhur. Nggagana diambarane.
      Panganggene abra murub. Parekan sami mangiring.
      Widyadara-widyadari, pada madudon-dudonan,
      Prabhawa kumetug. Angliwer ring langit.

  3. Pamuspan - Sembahyang
    Merdu - Komala


    1. Ong sembah ning anatha. Tinghalana de Triloka sarana.
      Wahya dyatmika sembahing hulun ijeng ta tan hana waneh.
      Sang lwir agni sakeng tahen kadi minyak sakeng dadhi kita.
      Sang saksat metu yan hana wwang hamuter tutur pinahayu.

    2. Wyapi-wyapaka sarining paramatatwa durlabha kita.
      Icantang hana tan hana ganal alit lawan hala-hayu.
      Utpatti sthiti lina ning dadi kita ta karananika.
      Sang sangkan paraning sarat sakala-niskalatmaka kita.

    3. Sasi wimbha haneng: ghata mesi banyu.
      Ndan asing suci nirmala mesi wulan.
      lwa mangkana rakwa kiteng kadadin.
      Ring angambeki yoga kiteng sakala.

    4. Katemun ta mareka sitan katemu.
      Kahidepta mareka si tankahidep.
      Kawenang ta mareka si tan ka wenang.
      Paramartha Siwatwa nira warana.

  4. Nunas tirtha - Mohon tirtha

    1. Turun tirtha saking luhur. nenyiratang pemangkune.
      Mekalangan muncrat mumbul. Mapan tirtha mrtajati.
      Paican Bhatara sami, panglukatan dasa-mala.
      Sami pada lebur. Malane ring gumi.
Kaambil saking : http://wikantra.blogspot.com/2011/09/kidung-dewa-yadnya.html

Makna Upacara Piodalan (Dewa Yadnya)

 



1.    MITOLOGI YADNYA
Sri Maharaja Sagara yang memerintah negeri Ayodhya mempunyai putra bernama Ansuman yang lahir dari istri pertama, yang setelah dewasa menjadi seorang pertapa. Sedangkan dari istri kedua beliau dianugrahi putra berjumlah enam puluh ribu orang. Diceritakan pada suatu ketika raja berkeinginan mengadakan yadnya yang besar yang disebut upacara korban kuda (aswamedhayadnya). Upacara ini seharusnya adalah yadnya yang harus dilandasi oleh keinginan tulus berdasar pada kesucian pikiran, perkataan dan perbuatan. Namun, inti yadnya ini tidak dipegang teguh oleh raja. Ia mengadakan aswamedhayadnya adalah dilandasi sifat egoisme individual, hanya ingin mendapatkan kemasyuran pribadi dan pamer kekuasaan. Para Dewa (Dewa Indra) yang mengetahui maksud Raja Sagara, kemudian berinisiatif untuk menggagalkan upacara ini. Dewa Indra kemudian menjelma menjadi orang jahat (asura) dan menghalau kuda yang digunakan dalam upacara itu masuk ke dalam tanah.


Mengetahui kejadian ini, Raja Sagara amat marah. Beliau memerintahkan putranya yang berjumlah enam puluh ribu itu mencari kuda yang raib. Ketika putra-putranya gagal mencari kuda yang hilang itu, maka murkalah sang raja. Beliau segera memrintahkan kembali untuk mendapatkan kuda tersebut dan tidak diperkenankan kembali sebelum upayanya mendapatkan hasil. Kuda yang dicari itu kemudian ditemukan ditempat pertapaan Bhagawan Kapila. Tanpa basa-basi, putra-putra Raja Sagara menuduh Sang Bhagawanlah yang mencuri kuda-kuda tersebut. Akibat perbuatannya ini, maka Bhagawan Kapila menghukum semua putra-putra Raja Sagara dengan membakarnya menjadi abu lewat pancaran sinar suci yang keluar dari mata beliau.

Raja Sagara menjadi cemas dan gelisah karena putra-putranya tidak pulang. Diperintahkanlah Ansuman untuk menyusul saudara-saudaranya. Setelah sampai ditempat Bhagawan Kapila, ia dengan sopan dan penuh hormat bertanya kepada Bhagawan tentang kuda-kuda yang ditemuinya. Beliau kemudian menjelaskan bahwa kuda-kuda itu bukanlah miliknya. Kemudian kuda-kuda itu diserahkan kepada Ansuman.

 

Sebelum mohon diri, Ansuman menanyakan tentang hal ikhwal saudaranya. Tentu Ansuman menjadi sedih mendengar penjelasan Bhagawan. Namun Sang Bhagawan bersedia menghidupkan semua putra-putra Raja Sagara itu jika Dewi Gangga berkenan turun dari surga ke bumi. Sang Bhagawan berkata, “Lakukanlah tapa untuk memohon agar Dewi Gangga turun ke dunia!”. Sang Ansuman menyatakan bersedia dan mohon pamit sambil menuntun kuda-kudanya pulang menuju kerajaan. Apa yang dialaminya kemudian diceitakan kepada ayahnya, begitu pula tentang cara menghidupkan kembali semua putranya. Dari sinilah raja baru menyadari seluruh perilakunya yang salah. Kerajaan kemudian diserahkan kepada putranya Ansuman untuk memegang tampuk pemerintahan. Sedangkan ia melakukan tapa memohon agar Dewi Gangga turun ke bumi. Sampai akhrir ayat, tapa Sagara belum juga dikabulkan. Tapa kemudian dilanjutkan oleh Ansuman, namun belum juga dikabulkan. Begitu pula dengan putra Ansuman yang bernama Dilipa juga belum berhasil.

Akhirnya atas perkenaan Dewa Brahma dan Dewa Siwa, maka Dewi Gangga dapat diturunkan dari surga berkat tapa Sang Bagirtha (putra Dilipa). Karena derasnya aliran dari Gangga tersebut, maka Dewa Siwa menahannya sehingga alirannya menjadi tercerai berai menjadi aliran besar dan kecil yang kemudian dikenal dengan asta tirta yang diantaranya terdiri atas  Yamuna da Saraswati. Sementara sumber mata air pertama yang berada di surga disebut parama siwa.

Menyimak isi cerita tersebut di atas, secara implisit tersirat fungsi penyucian terhadap alam semesta melalui yadnya. Bahwa yadnya bukanlah hanya sebuah pengorbanan (bhakti) yang berwujud secara konkret berupa hal-hal secara fisikal semata seperti yang dilakukan oleh Raja Sagara yang hendak melakukan aswamedhayadnya.

2.    TUJUAN YADNYA.
Sebagai mana halnya seperti apayang diungkapkan didepan, tentang pengertian dan makna dari Yadnya, maka sekarang kami akan paparkan tentang Tujuan Yadnya.:

a)    Untuk membebaskan diri dari ikatan dosa 
Adapun yang menjadi tujuan melaksanakan Yadnya adalah sebagai mana dimuat dalam Bhagawad Gita, III,12, yang terjemahannya sebagai berikut :
1)    Dipelihara oleh Yadnya, Para Dewa akan memberi kamu kesenangan yang kamu inginkan, Ia yang menikmati pemberian-pemberian ini, Tanpa memberikan balasan kepada Nya, Adalah pencuri.

2)    Orang-orang yang baik, Makan apa yang tersisa dari Yadnya, Mereka itu terlepas dari segala dosa, Akan tetapi mereka yang jahat Menyediakan, makanan untuk kepentingan dirinya sendiri, Mereka itu adalah makan dosanya sendiri.

b)    Untuk membebaskan diri dari ikatan karma.
Tujuan selanjutnya tentang Yadnya adalah untuk membebaskan diri manusia dari ikatan hukum karma. Hal dapat dipetik dari Kitab :
1)    Bhagawad Gita, III,09, yang terjemahannya sebagai berikut :
Kecuali pekerjaan apa yang dilakukan sebagai dan untuk yadnya, Dunia ini juga terikat oleh Hukum Karma, Oleh karena O Arjuna, lakukanlah pekerjaanmu sebagai yadnya, Bebaskan diri dari semua ikatan, Yadnya dengan melakukan pekerjaan tanpa mengikatkan diri dengan ikhlas untuk Tuhan.

2)    Bhisma Parwa :
“apan ikang karma kabeh kaentas krta tekap ning yadnya niyatannya. Artinya : segala karma itu akan dapat dibebaskan dengan pelaksanaan yadnya yang sesungguhnya.

c)    Yadnya adalah salah satu jalan untuk mencapai Sorga .
Hal ini dapat kita temui dalam kitab Agastya Parwa “ tiga ikang karya amuhara swarga, lwire, tapa, yadnya, kirtti “ artinya ada tiga jalan untuk mencapai Sorga yaitu tapa, yadnya dan kirtti.

d)    Pada akhirnya tujuan dari pada Yadnya adalah untuk mencapai “kelepasan“ yaitu manunggalnya antara Atma dengan Paramatma. Hal ini sebagai mana dimuat dala Bhagawad Gita, IV,31 yang terjemahannya sebagai berikut :
Mereka yang memakan makanan suci
Dari sisa Yadnya, akan mencapai Brahman
Dunia ini bukan untuk ia
Yang tidak memberikan pengorbanan
Apalagi dunia lainnya
O Arjuna yang terbaik dari para Kuru.

3.    MAKANA YADNYA
Ada tiga jenis kewajiban  pokok atau Tri Rna yang harus dilakukan antara lain (1) Dewa rna yaitu kewajiban umat Hindu dalam melaksanakan ajaran agama, melaksanakan dharma dengan cara memelihara semua ciptaan-Nya yakni Panca Mahabhuta (Sthana dari Dewa Agni, Bayu, Dewa Apah, Dewi Pertiwi, dan Akasa), Tumbuh-tumbuhan (sthana Dewa Sangkara), Binatang/ Janggama (Sthana dari Dewa Sambhu); (2) Rsi rna yaitu kewajiban dan tanggungjawab umat Hindu terhadap kehidupan para Rsi, Pendeta, Pandita, Pinandita serta melaksanakan ajaran para rsi atau guru; (3) Pitra rna yaitu kewajiban dan tanggungjawab anak terhadap kehidupan orang tua semasih hidup dan melaksanakan upacara setelah beliau meninggal sampai ngalinggihang di kawitan sebagai Dewa Hyang Pitara.
Sebenarnya ketiga rna ini dapat ditambahi dengan dua rna lagi yang mengacu pada panca yadnya sehingga menjadi panca rna yaitu lima buah kewajiban sebagai manusia yaitu (4) Manusia rna adalah kewajiban terhadap sesama manusia  agar dapat hidup rukun dan damai. (5) Bhuta rna yaitu kewajiban terhadap panca mahabhuta beserta tumbuh-tumbuhan dan binatang memelihara kelestarian agar dapat hidup nyaman. Dari kelima kewajiban/ rna ini mendasari pelakasanaan upacara yang disebut dengan panca yadnya yaitu : 1) Dewa yadnya; 2) Rsi yadnya; 3) Pitra yadnya; 4) Manusia yadnya dan; 5) Bhuta yadnya.
Dalam lontar Agastya Parwa dijelaskan tentang Panca Yadnya tersebut sebagai berikut :


“ Kunang ikang yadnya lima pratekanya, lwirnya : Dewa yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Butha yadnya, Manusa Yadnya. Nahan tang panca yadnya ring loka. Dewa yadnya ngaranya taila pwa karma ri bhattara siwagni, maka gelaran ring mandala ring Bhatara, yeka dewa yadnya ngaranya; Rsi Yadnya ngaranya kapujan sang pandita muwang sang wuh ri kalingan ing dadi wang; ya rsi yadnya ngaraniya: pitra yadnya ngaraninya tileman buat hyang siwa sraddha, yeka pitra yadnya ngaranya; bhuta yadnya ngaranya Tawurmwang kapujam ing tuwuh pamunggwan kunda wulan makadi walikrama, ekadasa dewata mandala; yeka bhuta yadnya ngaranya; aweh mangan ing kraman ya manusa yadnya ngaranya; ika ta limang wiji ring sedeng ni lokacara mangbhyasa ika maka bheda lima ( agastya parwa, 35, b ).

Artinya :
Yadnya itu lima jenisnya, yaitu Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, Manusa Yadnya. Itulah Panca Yadnya di masyarakat. Dewa Yadnya ialah persembahan minyak kepada Bhatara Siwagni, yang ditaruh di tempat Bhatara itulah yang disebut Dewa Yadnya. Rsi Yadnya ialah Penghormatan kepada para pandita dan orang yang mengetahui hakikat kelahiran menjadi manusia. Itulah Rsi Yadnya. Pitra Yadnya ialah upacara kematian yang dipersembahkan kepada Siwa sebagai penguasa upacara kematian. Itulah Pitra Yadnya. Bhuta Yadnya adalah Tawur dan penghormatan kepada Sarwa Bhuta Pamungwan, tempat api pemujaan, wulan, terutama walikrama (Panca Walikrama), wilayah dewa-dewa yang sebelas (Eka Dasa Rudra). Itulah Bhuta Yadnya. Manusa Yadnya ialah memberikan makan kepada masyarakat. Itulah lima jenis upacara yang umum dilaksanakan orang, lima jenisnya.

Upacara yadnya merupakan wahana untuk menggerakkan alam semesta beserta semua isinya termasuk manusia untuk ditingkatkan menuju kehidupan yang semakin meningkat baik dalam kehidupan fisik material maupun mental spiritual dan ini dapat dicapai dari yadnya yang berkualitas dan kualitas yadnya amat ditentukan oleh kemampuan umat untuk meletakkan kegiatan yadnya sesuai dengan kitab suci weda dan kitab sastra agama yang lainnya.
Banten dalam Lontar Yadnya Prakerti memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sangat sakral. Dalam Lontar tersebut Banten disebutkan : Sahananing Banten Pinake Ragante Tuwi, Pinake Warna Rupaning Ida Batara, Pinaka Anda Bhuwana. Dalam Lontar ini ada tiga hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh Banten yaitu:
1.    Pinaka Raganta twi artinya banten adalah lambang dirimu atau diri kita, contohnya adalah Banten Tataban Alit, Banten Peras, Penyeneng dan Sesayut.
2.    Pinaka Warna Rupaning Ida Batara artinya Banten merupakan Lambang Kemahakuasaan Tuhan, contohnya adalah banten dewa-dewi.
3.    Pinaka Anda Bhuwana artinya banten merupakan Lambang Alam Semesta (Bhuwana Agung), contohnya adalah pebangkit, pulegembal dan lain-lain.

Selanjutnya Banten disebut juga upakara yang merupakan bagian terpenting dari Upacara Yadnya. Dalam Kitab suci Bhagawadgita XVII,II,12 dan 13 menyebutkan ada tiga tingkatan Yadnya dilihat dari segi kualitasnya, yaitu:
1.    Tamasika yadnya, yaitu tanpa mengindahkan petunjuk-petunjuk sastranya, (jor-joran)
2.    Rajasika yadnya, yaitu dilakukuan untuk pamer saja.
3.    Satwika yadnya, yaitu yadnya yang dilakukan berdasarkan petunjuk sastra,


Secara terperinci ada tujuh syarat suatu yadnya disebut Satwika, yaitu:
1.    Sradha, artinya keyakinan
2.    Lascarya, artinya penuh keiklasan (tanpa pamrih)
3.    Sastra, artinya sesuai petunjuk sastra
4.    Daksina, artinya ada penghormatan dihaturkan secara iklas kepada pendeta
5.    Mantra dan Gita, artinya setiap upacara atau yadnya haruslah ada mantra dan panca gita
6.    Annasewa, artinya Pelayanan pendeta, tamu dan orang sekeliling
7.    Nasmita, artinya tidak pamer kemewahan atau kekayaan untuk membuat tamu atau tetangga berdecak kagum.

4.    MAKNA UPACARA PIODALAN
Piodalan sendiri dapat diartikan sebagai perayaan hari jadi tempat suci. Upacara piodalan merupakan kewajiban karma desa dalam rangka membayar hutang kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta seluruh manifestasinya yang disthanakan di pura kayangan desa. Piodalan ini terbagi menjadi dua yaitu (1) Piodalan alit (nyanang) dan (2) Piodalan Ageng dan di ikuti oleh seluruh warga karma baik yang tinggal di luar Desa maupun di desa itu sendiri yang terdiri dari berbagai dadia (klen).  Piodalan yang dilaksanakan di pura kayangan desa ada yang melaksanakan setiap 6 (enam) sekali dan ada yang melaksanakan setiap satu tahun sekali. Tujuan dari upacara piodalan adalah untuk mewujukan kehidupan yang harmonis dan sejahtera lahir batin dalam masyarakat.


Dalam Lontar Sundari Gama ada disebutkan bahwa, barang siapa yang tidak memelihara dan tidak melaksanakan kewajiban di Pura Puseh  tentu masyarakat sekitarnya akan kekurangan sandang pangan, dan tidak terpeliharanya kehidupan masyarakat setempat karena Dewa Wisnu sebagai Pemelihara ( Stiti ) dengan Saktinya Dewi Sri yang menguasai makanan tidak akan merestui Nya.


Barang siapa yang secara tulus berbhakti dan melaksanakan kewajiban terhadap Pura Bale Agung, tentu masyarakatnya akan menjadi rukun dan tenteram, karena Dewa Brahma yang distanakan di Pura Bale Agung sebagai tempat untuk bermusyawarah, dan Saktinya Dewi Saraswati akan menebarkan pengetahuan kesucian agar menjadikan sama dalam perkataan, sama dalam perbuatan dan sama dalam pemikiran. Sehingga apa yang menjadi harapan bersama akan dapat terwujud dengan baik.


Dan barang siapa yang tulus berbhakti dan melaksanakan kewajibannya terhadap Pura Dalem, tentu masyarakat itu akan menjadi aman dan damai dan harmonis karena terhindar dari mara bahaya, karena Dewa Siwa / Iswara yang dipuja dengan Saktinya Dewi Durga  sebagai penguasa kematian dan  Dewi Uma akan senantiasa menjauhkan segala rintangan mara bahaya kepada umatnya. Bila terjadi ketidakharmonisan dimasyarakat maka akan dilakukan upacara  “ Guru Piduka “ kehadapan Betara di Pura Dalem, dan bila ketidakharmonisan itu muncul akibat mewabahnya “ sasab – merana “ maka upacara itu dipersembahkan kepada Dewi Durga / Uma sebagai penguasai kekuatan sasab merana.

5.    PENUTUP
Pelaksanaan Upacara piodalan adalah merupakan Swadharma Agama masing-masing desa adat di Bali. Upacara Piodalan goals pemujaannya secara fisik adalah air dan bumi sehingga yang di puja dalam Upacara Piodalan Desa adalah dewa-dewa yang memberikan kesejahteraan dan keselamatan seperti Deswa Wisnu penguasa air Perthiwi dewi bumi, dan dewa siwa yang memberikan perlindungan dan keselamatan. Dalam pelaksanaan upacara piodalan ini agar air dan bumi (tanah) memiliki kekuatan dan kesuburan sehingga daun, bunga, buah, batang atau umbinya dapat di nikmati oleh umat manusia dan akhirnya dapat mencapai tujuan hidup yaitu moksartham jagadhittaya ca iti dharma.



Sampian Galungan

 




Berikut adalah penjelasan tentang Tamiang, Ter, Endongan dan Sampian Gantung.

Kuningan biasanya berlangsung hingga sebelum pukul 12.00 WITA. Selain itu, Kuningan juga identik dengan nasi kuning yang diatruh di sebuah tempat kecil bernama sulanggi yang kemudian di haturkan.

Di beberapa tempat, saat Kuningan juga diadakan sebuah tradisi yakni Mekotek di Desa Munggu, Badung.



Saat memasuki perayaan Kuningan tentu umat Hindu merayakannya dengan suka cita dengan berbagai saran upacara di dalamnya.


Namun jika Anda memperhatikan, ada satu sarana yang hanya ada saat Kuningan yakni tamiang.

Tamiang terbuat dari janur (dibeberapa tempat ada yang menggunakan ental/ lontar) yang berbentuk bulat dan memiliki diameter berbeda-beda serta memiliki hiasan yang berbeda-beda.



Tamiang dikatakan sebagai symbol dari Dewata Nawa Sanga karena menunjukkan 9 arah mata angin.

Dewata Nawa sanga adalah sembilan dewa atau manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menjaga atau menguasai sembilan penjuru mata angin.



Dan sembilan dewa itu adalah Dewa Wisnu, Sambhu, Iswara, Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, dan Siwa.

Dalam hari raya Kuningan biasanya tamiang dipasang di rumah dan di pelinggih. Tamiang ada dua jenis yakni:

Tamiang Hias
Tentu dari kata hias kita telah mengetahui jika tamiang hias memang diperuntukkan dalam acara tertentu seperti pernikahan dan sebagainya.

Tamiang hias biasnaya tidak bersisi porosan sebab memang tamiang jenis ini untuk acara biasa.


Ada beberapa ciri tamiang hias yang bisa dilihat seperti bentuknya yang bervariasi, penggunaan bunga yagn beragam, ada unsur ornamen tambahan, dan warna yang leih menarik.

Tamiang Upacara
Tentu fungsi utama dari tamiang ini untuk upcara keagamaan seperti kuningan. Tamiang jenis ini lebih sederhana dan terkesan lebih baku.

Dalam tamiang jenis ini berisi porosan sebagai perlambang Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa sebagai simbol Tri Murti.


Lalu ada bunga sebagai sarana rasa bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang mempersembahkan yadnya sebagai wujud upakaranya.

Selain tamiang, ada juga sarana lain yang menyertai tamiang yakni endongan. Menurut Kamus Bali-Indonesia (Dinas Pendidikan Dasa Provinsi Bali, 1991) kata endongan diartikan sebagai “tempat bekal dari tapis kelapa”.


Endongan biasanya dimaknai sebagai alat atau wadah untuk menempatkan perbekalan. Sarana lainnya, yakni ter dan sampian gantung.

Ter adalah simbol panah (senjata) karena bentuknya memang menyerupai panah. Sementara sampian gantung sebagai simbol penolak bala. ***

Sampyan untuk kuningan



penyeneng n nagasari


CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI






 tamyang







Di Indonesia, mayoritas penduduk beragama Hindu ada di pulau Bali. Agama Hindu memiliki banyak tradisi, budaya , dan juga hari suci keagamaan. Salah satunya yaitu hari raya Galungan dan Kuningan. Setelah beberapa hari lalu melewati perayaan hari raya Galung, sekarang tibalah saatnya merayakan hari raya Kuningan.

Hari raya Kuningan jatuh pada Saniscara ( Sabtu ) Kliwon Kuningan. Sama seperti perayaan hari raya Galungan, semua orang akan sembahyang di merajan masing-masing , dan juga ke Pura. Namun semua kegiatan persembahyangan harus selesai sebelum jam 12.00 dan juga harus sudah ngelungsur banten ( mengambil persembahan ). 

Karena mereka percaya bahwa pada jam 12.00 para Dewata sudah kembali dan agar persembahan tidak dilangkahi atau diambil Bhuta Kala. Biasanya pada hari raya Kuningan , semua orang akan membuat nasi kuning sebagai simbol hari raya kuningan.

Salah satu tradisi unik pada saat hari raya Kuningan yaitu membuat sampian. Adapun 5 jenis atau sampian untuk hari raya Kuningan., yang memiliki fungsi dan arti yang berbeda-beda. 


Sampian yang pertama yaitu sampian gantung mesalang, sampian ini terdiri dari 2 buah gantung-gantungan atau sepasang yang dipasang di sisi kanan dan kiri sanggah, yang kedua yaitu tamyang, bentuk tamyang identic dengan perisai perang atau tameng yang bermakna untuk melindungi diri. 

Biasanya tamyang dipasang di bangunan suci atau pojok rumah.  Yang ketiga yaitu endongan,bentuknya seperti tempat bekal. Endongan biasanya dimaknai sebagai tempat perbekalan. Keempat yaitu tungked, dan yang terakhir yaitu ikut sudang. Tungked dan ikut sudang biasanya diletakkan di tengah-tengah pelinggih .

Semua sarana upacara tersebut identik dengan dengan peralatan perang. Ini karena hari raya Galugan dan Kuningan disebut hari kemenangan antara Dharma melawan Adharma.


Kreator: Ayu Ira Amelia Dewi




endong




CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI




- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI