Minggu, 13 Desember 2020

Filosofis dan Persembahan Penuh Makna dari Segehan

 




Segehan merupakan salah satu ritual Bhuta Yadnya.
Kata segehan, berasal kata "Sega" berarti nasi (bahasa Jawa: sego).
Oleh sebab itu, banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan.

Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang atau janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Segehan artinya "Suguh" (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan).

Bhuta Kala dari kaca spiritual tercipta dari akumulasi limbah pikiran, perkataan dan perbuatan manusia, yang dipelihara oleh kosmologi semesta ini. Jadi segehan yang dihaturkan di Rumah bertujuan untuk mengharoniskan kembali kondisi rumah terutama dari sisi niskalanya, yang selama ini terkontaminasi oleh limbah yang kita buat. Jadi Caru yang paling baik adalah bagaimana kita dapat menjadikan rumah bukan hanya sebagai tempat untuk tidur dan beristirahat, tapi harus dapat dimaknai bahwa rumah tak ubanya seperti badan kita ini.

Segehan dihaturkan kepada aspek SAKTI (kekuatan ) yaitu Dhurga lengkap dengan pasukannya termasuk Bhuta Kala itu sendiri. Segehan dan Caru banyak disinggung dalam lontar KALA TATTVA, lontar BHAMAKERTIH. Kalau dalam Susastra Smerti (Manavadharmasastra) ada disebutkan bahwa setiap kepala keluarga hendaknya melaksanakan upacara Bali (suguhan makanan kepada alam). dan menghaturkan persembahan ditempat tempat terjadnya pembunuhan, seperti pada ulekan, pada sapu, pada kompor, pada asahan pisau, pada talenan.

Segehan ini adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.

Macam - Macam Segehan :

Segehan Kepel Putih

Alas dari daun / taledan kecil yang berisi tangkih di salah satu ujungnya. taledan = segi 4, melambangkan 4 arah mata angin.
Nasi putih 2 kepal, yang melambangkan rwa bhineda
Jahe, secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional.
Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek)
Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin).
Diatasnya disusun canang genten.
Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang/mati.Segehan Kepel Putih Kuning
BACA JUGA
Kamus Hindu Bali
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di BaliSama seperti segehan kepel putih, hanya saja salah satu nasinya diganti menjadi warna kuning.


Segehan Kepel Warna Lima
Sama seperti segehan kepel putih, hanya saja warna nasinya menjadi 5, yaitu putih, merah, kuning, hitam dan brumbun.
segehan kepelan manca warna, disamping di pakai dalam ritual bhuta yadnya saat kajeng klion, juga sering digunakan oleh krama bali yang menekuni ajaran kanda pat bhuta, yang merupakan tahap awal belajar tenaga dalam spiritual bali. khusus untuk banten segehan kepelan manca warna ini dibuat dengan cara khas, yakni dengan menggambil gegenggam nasi sesuai warna, yang kemudian dikepalkan sekuat tenaga, hanya dalam sekali kepalan saja, dan bagaimanapun hasil kepalannya, itulah yang dijadikan nasi kepal ini, sehingga kadang kala, hasil kepalannya kurang bagus, baik pecah ataupun agak hancur (rapuh). nasi kepal ini di buat dengan 5 warna, yang diupayakan menggunakan pewarna alami:

Putih - Ketan. atau nasi putih
Merah - Beras merah. atau nasi dengan pewarna dari campuran air parutan kunyit dengan sedikit kapur (pamor)
Kuning - Beras, atau nasi dengan pewarna dari air parutan kunyit
Hitam - Ketan hitam (injin). atau nasi dengan pewarna hitam/arang,
Panca Warna - Gabungan 4 warna beras diatas.Segehan Cacahan
segehan ini sudah lebih sempurna karena nasinya sudah dibagi menjadi lima atau delapan tempat. sebagai alas digunakan taledan yang berisikan tujuh atau Sembilan buah tangkih.
kalau menggunakan 7 (tujuh) tangkih;

5 Tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di timur, selatan, barat, uatara dan tengah.
1 Tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam.
1 Tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras.
Kemudian diatas disusun dengan canang genten.Kalau menggunakan 11 (sebelas) tangkih :

9 Tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di mengikuti arah mata angin.
1 Tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam.
1 Tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras.
Kemudian diatas disusun dengan canang genten.Ke-empat jenis segehan diatas dapat dipergunakan setiap kajeng klion atau pada saat upacara – upacara kecil, artinya dibebaskan penggunaanya sesuai dengan kemampuan.

Segeh Agung
Merupakan tingkat segehan terakhir. segehan ini biasanya dipergunakan pada saat upacara piodalan, penyineban Bhatara, budal dari pemelastian, serta menyertai upacara bhuta yadnya yang lebih besar lainnya. adapun isi dari segeh agung ini adalah; alasnya ngiru/ngiu, ditengahnya ditempatkan daksina penggolan (kelapanya dikupas tapi belum dihaluskan dan masih berserabut), segehan sebanyak 11 tanding, mengelilingi daksina dengan posisi canangnya menghadap keluar, tetabuhan (tuak, arak, berem dan air), anak ayam yang masih kecil, sebelum bulu kencung ( ekornya belum tumbuh bulu yang panjang) serta api takep (api yang dibuat dengan serabut kelapa yang dibuat sedemikian rupa sehingga membentuk tanda + atau tampak dara).

Adapun maksud simbolik banten ini yaitu :

Alasnya ngiru/ngiu, merupakan kesemestan alam
Daksina, simbol kekuatan Tuhan
Segehan sebanyak 11 tanding, merupakan jumlah dari pengider-ider (9 arah mata angindan arah atas bawah) serta merupakan jumlah lubang dalam tubuh manusia diantaranya; 2 lubang mata, 2 lubang telinga, 2 lubang hidung, 1 lubang mulut, 1 lubang dubur, 2 lubang kelamin serta 1 lubang cakra (pusar).
Zat cair yaitu arak (putih/Iswara), darah (merah/Brahma), tuak (kuning/Mahadewa), berem (hitam/Wisnu) dan air (netral/siwa).
Anak ayam, merupakan symbol loba, keangkuhan, serta semua sifat yang menyerupai ayam
Api takep, api simbol dewa agni (baca: Agni Hotra versi Bali) yang menghancurkan efek negatif, dan bentuk + (tampak dara) maksudnya untuk menetralisir segala pengaruh negatif.Adapun tata cara saat menghaturkan segehan yang harusnya setiap Orang Bali Wajib Ketahui adalah

Pertama menghaturkan segehannya dulu yang berdampingan dengan api takep, 
Kemudian buah kelapanya dipecah menjadi lima, di taruh mengikuti arah mata angin, 
Kemudian anak ayam di putuskan lehernya sehingga darahnya menciprat keluar dan dioleskan pada kelapa yang telah dipecahkan tadi.
Telor kemudian dipecahkan, di”ayabin” 
Kemudian ditutup dengan tetabuhan.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Tingkatan Ilmu Leak di Bali

 




Ilmu leak dalam hal kewisesan ilmu pengliakan ini bisa dipelajari dari lontar-lontar yang memuat serangkaian ilmu pengeleakan, antara lain; “Cabraberag, Sampian Emas, Tangting Mas, Jung Biru”. Lontar - lontar tersebut ditulis pada zaman Erlangga, yaitu pada masa Calonarang masih hidup.

Pada Jaman Raja Udayana yang berkuasa di Bali pada abab ke 16, saat I Gede Basur masih hidup yaitu pernah menulis buku lontar Pengeleakan dua buah yaitu “Lontar Durga Bhairawi” dan “Lontar Ratuning Kawisesan”. Lontar ini memuat tentang tehnik-tehnik Ngereh Leak Desti.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Selain itu lontar yang bisa dipakai refrensi diantaranya; “Lontar Tantra Bhairawa, Lontar Kanda Pat dan Lontar Siwa Tantra”.

Leak mempunyai keterbatasan tergantung dari tingkatan rohani yang dipelajari. Ada tujuh tingkatan leak.

Leak barak (brahma). Leak ini baru bisa mengeluarkan cahaya merah api.
Leak bulan,
leak pemamoran,
Leak bunga,
leak sari,
leak cemeng rangdu,
leak siwa klakah.Leak siwa klakah inilah yang tertinggi. Sebab dari ketujuh cakranya mengeluarkan cahaya yang sesuai dengan kehendak batinnya.

Di samping itu, ada tingkatan yang mungkin digolongkan tingkat tinggi seperti :

Calon Arang
Pengiwa Mpu Beradah
Surya Gading
Brahma Kaya
I Wangkas Candi api
Garuda Mas
Ratna Pajajaran
I Sewer Mas
Baligodawa
Surya Mas
Sanghyang Aji Rimrim.Dalam gegelaran Sanghyang Aji Rimrim, memang dikatakan segala Leak kabeh anembah maring Sang Hyang Aji Rimrim, Aji Rimrim juga berbentuk Rerajahan. Bila dirajah pada kayu Sentigi dapat dipakai penjaga (pengijeng) pekarangan dan rumah, palanya sarwa bhuta-bhuti muang sarwa Leak kabeh jerih.

Dan berikut kutipan mantranya:

Ih ibe bute leak, enyen ngadakang kite, sangiang mrucu kunda sangkan ibe ngendih, sangiang brahma menugra sire, kai sangiang siwa menugra kai, angimpus leak, angawe leak bali grubug, tutumpur punah, pengawe pande tikel, pengawen dewa tulak, aku sarinning sangiang rimrim, asiyu bale agung wong ngleak, kurang peteng 3x, jeng. Om ram rimrim durga dewi dan seterusnya....

Disamping itu, ada sumber yang mengatakan ilmu leak mempunyai tingkatan. Tingkatan leak paling tinggi menjadi bade (menara pengusung jenasah), di bawahnya menjadi garuda, dan lebih bawah lagi binatang-binatang lain, seperti monyet, anjing ayam putih, kambing, babi betina dan lain-lain. selain itu juga dikenal nama I Pudak Setegal (yang terkenal cantik dan bau harumnya), I Garuda Bulu Emas, I Jaka Punggul dan I Pitik Bengil (anak ayam yang dalam keadaan basah kuyup).

Dari sekian macam ilmu Pengleakan, ada beberapa yang sering disebut seperti
BACA JUGA
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Bajra Kalika yang mempunyai sisya sebanyak seratus orang,
Aras Ijomaya yang mempunyai prasanak atau anak buah sebanyak seribu enam ratus orang. Di antaranya adalah I Geruda Putih, I Geringsing, I Bintang Sumambang, I Suda Mala, Pudak Setegal, Belegod Dawa, Jaka Tua, I Pering, Ratna Pajajaran, Sampaian Emas, Kebo Komala, I Misawedana, Weksirsa, I Capur Tala, I Anggrek, I Kebo Wangsul, dan I Cambra Berag. Disebutkan pula bahwa ada sekurang-kurangnya empat ilmu bebai yakni I Jayasatru, I Ingo, Nyoman Numit, dan Ketut Belog. Masing-masing bebai mempunyai teman sebanyak 27 orang. Jadi secara keseluruhan apabila dihitung maka akan ada sebanyak 108 macam bebai.Di lain pihak ada pula disebutkan bermacam-macam ilmu pengLeakan seperti :
Aji Calon Arang, Ageni Worocana, Brahma Maya Murti, Cambra Berag, Desti Angker, Kereb Akasa, Geni Sabuana, Gringsing Wayang, I Tumpang Wredha, Maduri Geges, Pudak Setegal, Pengiwa Swanda, Pangenduh, Pasinglar, Pengembak Jalan, Pemungkah Pertiwi, Penyusup Bayu, Pasupati Rencanam, Rambut Sepetik, Rudra Murti , Ratna Geni Sudamala, Ratu Sumedang, Siwa Wijaya, Surya Tiga Murti, Surya Sumedang, Weda Sulambang Geni, keputusan Rejuna, Keputusan Ibangkung buang, Keputusan tungtung tangis, keputusan Kreta Kunda wijaya, Keputusan Sanghyang Dharma, Sang Hyang Sumedang, Sang Hyang Surya Siwa, Sang Hyang Geni Sara, Sang Hyang Aji Kretket, Sang Hyang Siwer Mas, Sang Hyang Sara Sija Maya Hireng, dan lain-lain yang tidak diketahui tingkatannya yang mana lebih tinggi dan yang mana lebih rendah.
Hanya mereka yang mempraktekkan ilmu-ilmu tersebut yang mengetahuinya.



Tingkatan Leak pun sebenarnya sangat banyak. Namun karena suatu kerahasiaan yang tinggi, jadinya tidak banyak orang yang mengetahui. Mungkin hanya sebagian kecil saja dari nama-nama tingkatan tersebut sering terdengar, karena semua ini adalah sangat rahasia. Dan tingkatan-tingkatan yang disampaikan pun kadangkala antara satu perguruan dengan perguruan yang lainnya berbeda. Demikian pula dengan penamaan dari masing-masing tingkatan ada suatu perbedaan. Namun sekali lagi, semuanya tidak jelas betul, karena sifatnya sangat rahasia, karena memang begitulah hukumnya.

Setiap tingkat mempunyai kekuatan tertentu. Di sinilah penganut leak sering kecele, ketika emosinya labil. Ilmu tersebut bisa membabi buta atau bumerang bagi dirinya sendiri. Hal inilah membuat rusaknya nama perguruan. Sama halnya seperti pistol, salah pakai berbahaya. Makanya, kestabilan emosi sangat penting, dan disini sang guru sangat ketat sekali dalam memberikan pelajaran.

Selama ini leak dijadikan kambing hitam sebagai biang ketakutan serta sumber penyakit, atau aji ugig bagi sebagian orang. Padahal ada aliran yang memang spesial mempelajari ilmu hitam disebut penestian. Ilmu ini memang dirancang bagaimana membikin celaka, sakit, dengan kekuatan batin hitam. Ada pun caranya adalah dengan memancing kesalahan orang lain sehingga emosi. Setelah emosi barulah dia bereaksi.

Emosi itu dijadikan pukulan balik bagi penestian. Ajaran penestian menggunakan ajian-ajian tertentu, seperti aji gni salembang, aji dungkul, aji sirep, aji penangkeb, aji pengenduh, aji teluh teranjana. Ini disebut pengiwa (tangan kiri). Kenapa tangan kiri, sebab setiap menarik kekuatan selalu memasukan energi dari belahan badan kiri.

Pengwia banyak menggunakan rajah-rajah ( tulisan mistik) juga dia pintar membuat sakit dari jarak jauh, dan “dijamin tidak bisa dirontgen dan di lab” dan yang paling canggih adalah cetik ( racun mistik). Dan aliran ini bertentangan dengan pengeleakan, apabila perang beginilah bunyi mantranya, "ong siwa gandu angimpus leak, siwa sumedang anundung leak, mapan aku mapawakan ……….."

Yang paling canggih adalah cetik (racun mistik). Aliran ini bertentangan dengan pengeleakan. Apabila perang, beginilah bunyi mantranya; ong siwa gandu angimpus leak, siwa sumedang anundung leak, mapan aku mapawakan segara gni………..…

Ilmu Leak ini sampai saat ini masih berkembang karena pewarisnya masih ada, sebagai pelestarian budaya Hindu di Bali dan apabila ingin menyaksikan leak ngendih datanglah pada hari Kajeng Kliwon Enjitan di Kuburan pada saat tengah malam.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Ki Balian Batur - Raja Leak di Pesisir Timur Bali

 




Grubug Agung Di Pesisir Timur Kerajaan Mengwi
Dikisahkan sekitar awal tahun 1700 M ada seorang termashyur kesaktiannya tentang ilmu hitam keturunan Sengguhu Bintang Danu, karena mendapatkan penugrahan Ida itu Hyangning Hulundanu Batur orang ini kemudian dikenal dengan nama Ki Balian Batur, bertempat tinggal di dusun Teledunginyah, di sebelah Barat desa Cau. Mempunyai asrama wilayah di desa Ketegan Alas Kedangkan di dekat abian timbul, sekarang dikenal dengan nama Banjar Rangkan Desa Ketewel Sukawati.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Sosok Ki Balian Batur seorang lelaki berambut panjang, dengan kebiasaan apabila mencuci rambutnya pergi ke Alas Rangkan untuk mengeringkannya. Ki Balian Batur banyak mempunyai sisya (murid), salah satu muridnya yang terkemuka adalah I Gede Mecaling.

Merasa dirinya ditantang oleh Kerajaan Mengwi yang dengan senjata lengkap memasuki wilayahnya, disamping karena adanya penghinaan prajurit kerajaan mengwi yang menghina Anaknya ditudah berdagang dengan menyebarkan ilmu leak dengan ilmu hitamnya, Ki Balian Batur memerintahkan semua muridnya melakukan penyerangan terhadap kekuasaan kerajaan Mengwi dibawah rajanya I Gusti Agung Putu yang juga bergelar Cokorda Sakti Blambangan.

Murid-murid Ki Balian Batur mulai melakukan penyerangan dengan menciptakan epidemi (grubug) di pesisir Timur kekuasaan kerajaan Mengwi, sehingga banyak rakyat Mengwi di desa Cau sampai ke desa Keramas seketika sakit dengan gejala-gejala muntaber dan berkahir dengan kematian tanpa putus-putusnya.

Sebab itu Anglurah Taro mempermaklumkan kepada Raja Mengwi. Mengetahui hal itu I Gusti Agung Putu menjadi murka. Kemudian Raja Mengwi bersama rakyat pilihannya dipimpin oleh Ki Gumiar Bandesa Mengwi kemudian bersiap – siap menyerang Ki Balian Batur dusun Teledunginyah. Di Desa Keramas, Raja Mengwi membuat kemah dan disana bersama – sama menyerang Ki Balia Batur

I Gusti Agung Putu beserta laskar Mengwi kebingungan menghadapi lawan yang bersifat gaib. Di dalam serangan ini, beberapa murid Ki Balian Batur berhasil dibunuh. Namun Ki Balian Batur tidak apat dibinasahkan. Terjadilah pertempuran sengit antara Ki Balian Batur dengan rakyat mengwi pimpinan Bendesa Gumiar dari Mengwi. Ketika itu Ki Balian Batur menyerukan kepada Raja Mengwi, bahwa ia tidak bisa dibunuh dengan keris pusaka milik Raja Mengwi.

Akhirnya terdengarlah suara di angkasa, yang memberitahukan I Gusti Agung Putu. Bahwa Ki Balian Batur hanya dapat ditundukkan dengan bedil Ki Narantaka dengan peluru Ki Seliksik milik I Dewa Agung Klungkung.



Mendengar wahyu tersebut I Gusti Agung Putu mundur dari pertempuran dan segera berangkat ke istana Smarajayapura Klungkung menghadap Dewa Agung Jambe, serta memberitahukan maksud kedatangannya. Dewa Agung Jambe berkenan memberikan Ki Narantaka dengan peluru Ki Selisik, tetapi mengutus Puteranya Dewa Agung Anom Sirikan untuk melaksanakan tugasnya membunuh Ki Balian Batur beserta para sisyanya. Dalam Persiapan penyerangan Dewa Agung Anom dibuatkan asrama di pinggir Alas Kedangkan.

Singkat cerita Dewa Agung Anom bersama Gusti Agung Putu dan Ki Bendesa Gumiar kembali menyerang Teledu Nginyah. Maka terjadilah pertempuran sengit antara Raja Mengwi melawan Ki Balian Batur.

Dengan tidak membuang kesempatan, beliau mengangkat bedil Ki Narantaka dan menembak kan peluru Ki Selisik tepat mengenai kuku ibu jari Ki balian Batur, tembus sampai ke kepalanya. Ki Balian Batur akhirnya gugur dengan meninggalkan pesan agar sebagian wilayah Mengwi diberikan kepada Dewa Agung Anom sebagai balas jasa kepada I Gusti Agung Putu. Apabila tidak maka sukma Ki Balian Batur tidak akan henti-hentinya membuat grubug di bumi Mengwi.
BACA JUGA
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Setelah Ki Balian Batur wafat, Cokorda sakti Belambangan mendirikan Perhyangan di Rangkan Sukawati diberi nama Arjakusuma. Selain itu raja juga membangun pesanggerahan bersama Jro Kangin. Lokasi perhyangan dengan Jro tersebut bersanding, kemudian perhyangan tersebut diberi nama Pura Penataran Agung tempat pemujaan raja Klungkung, Raja Mengwi, warga Brahmana, Rsi Siwa Buddha, para anglurah dan seluruh rakyat.

I Gede Mecaling setelah mendengar pesan dari Ki Balian Batur, I Gusti Agung Putu berangkat Ke Smarajayapura Klungkung memohon agar Dewa Agung Anom diperkenankan tinggal di Baturan, di desa Timbul menjadi pacek menduduki wilayah Mengwi dengan batas-batas:


Utara sampai pegunungan Batur, 
Selatan sampai di laut, 
Timur sampai di sungai Ayung, dan 
Selatan sampai di sungai Pakerisan. 
Permohonan Anglurah Mengwi ini juga dikabulkan oleh Dewa Agung Klungkung.

Adapun perjalanan beliau didampingi oleh beberapa orang, diantaranya terdapat tenaga yang cukup mahir, seperti:


I Dewa Babi, ahli di bidang ilmu pengiwa dan penengen
Kyai Batu Lepang, mahir di bidang politik dan strategi
Ki Pula Sari, ahli di bidang upakara
Diceritakan sekarang salah seorang murid terkemuka Ki Balian Batur bernama I Gede Mecaling, anak ke empat dari Dukuh Jumpung yang tinggal di Tegallinggah Banjaran Jungut, di desa Baturan. I Gede Mecaling memiliki sifat usil suka mengganggu orang yang datang ke desa Baturan dengan menggunakan kedigjayaan ilmu hitamnya.

Dewa Agung Anom mendengar hal tersebut memerintahkan kepada Dewa Babi dan Kyai Batu Lepang untuk menuntaskan membebaskan bumi Timbul dari ilmu hitam. Singkat cerita Dewa Babi dan I Gede Mecaling sepakat mengadu kesaktian, dengan menggunakan sarana Babi Guling. Ada dua pilihan tali, yaitu tali benang dan tali kupas (tali dari pohon pisang). Dewa Babi memilih tali benang dan I Gede Mecaling memilih tali kupas. Kaki belakang dan depan babi guling diikat lalu dipanggang sampai matang. Dewa Babi dan I Gede Mecaling sama – sama memusatkan pikiran, ternyata tali kupas putus sebelum Babi Guling matang. Berarti ini merupakan kekalahan I Gede Mecaling dan harus pergi meninggalkan bumi Timbul sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.

Sebelum memenuhi perjanjian tersebut I Gede Mecaling menuju ke suatu tempat untuk meninjau daerah yang akan dituju. Tempat untuk melihat atau meninjau daerah yang akan dituju disebut Peninjoan sekarang. Dari tempat ini I Gede Mecaling melihat daerah tujuannya yaitu: desa Jugut Batu, Nusa Penida.

Demikianlah sekilas tentang Ki Balian Batur - raja Leak di pesisir Timur Bali. semoga bermanfaat.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Sejarah Desa Ketewel - Sukawati

 




Tersebutlah seorang keturunan Pasek Prawangsa dari Lembah Tulis Majapahit, datang ke Bali, beliau menjadi pamongmong Widhi di Pasar Agung Besakih. Beliau sangat bijaksana dan mendalami filsafat ketuhanan (Widhi Tatwa), beliau bernama Mangku Sang Kulputih. Mangku Sang Kulputih mempunyai dua orang putera yang bernama I Wayan Pasek dan I Made Pasek. Kedua bersaudara itu sudah beristri dan masing - masing mempunyai keturunan. Mereka berdua sama-sama bijaksana dalam ilmu pengetahuan Ketuhanan.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Beberapa lamanya Mangku Sang Kulputih menjadi pamongmong di Pasar Agung Besakih, tentramlah pulau Bali ini, dan akhirnya beliau berpulang ke Sorga (meninggal dengan jalan moksah).

Sepeninggal Mangku Sang Kulputih, maka putera beliau I Made Pasek meninggalkan Pasar Agung Besakih bersama-sama dengan istri dan putra beliau mengembara keluar masuk hutan. Di dalam perjalanannya diam-diam beliau dibuntuti oleh seekor burung perkutut putih. Pada suatu ketika di tengah perjalanan I Made Pasek merasa lelah, maka mendekatlah burung perkutut putih itu serta memberikan tiga butir biji kuning untuk di makan sekedar menambah tenaga. Dengan dimakannya pemberian burung perkutut itu maka I Made Pasek kembali segar bugar serta melanjutkan perjalanan.

Sepanjang perjalan I Made Pasek dengan setia memuja serta memohon anugrah Ida Hyang Widhi agar mereka selamat dalam perjalanan.

Beberapa tahun lamanya I Made Pasek mengembara di hutan-hutan akhirnya sampailah beliau di alas Jerem (hutan jerem). Karena kelelahan akhirnya beliau tertidur di tepi alas jerem tersebut. Tidak beberapa lama beliau merasa seolah-olah mimpi hingga beliau terkejut dan terbangun. Tatkala itu terdengarlah suara gaib dari angkasa, yang isinya :

"Hai engkau manusia keturunan Pasek Prawangsa, Aku adalah Hyang Pasupati datang memberitahukan kepadamu, hentikanlah perjalananmu, aku memberikan tugas suci kepadamu untuk menjadi Tukang sapu, pamongmong di Kahyangan-Ku yaitu di Pura Jogan Agung di hutan Jirem ini dan Aku memberikan panugrahan kepadamu yaitu menjadi wangsa Dukuh Murti, selanjutnya mulai saat ini engkau tidak boleh lagi mengingat Wangsa Pasekmu sebagai asal kawitanmu" Demikianlah sabda dari Hyang Pasupati.



Setelah beberapa kurun waktu Dukuh Murti menjadi pamongmong di Pura Payogan Agung di hutan Jerem, beliau sangat setia terhadap tugas dan taat melakukan tapa brata, serta mengadikan diri sepenuhnya terhadap Hyang widhi.

BACA JUGA
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di BaliPutra Dukuh Murti yang diberi nama Dukuh Centing Tinggal di alas Mercika (Mercika Wana) yang sehari-harinya melaksanakan Yoga Semadi dan melakukan Brahmacari (tidak kawin).

Diceritakan sekarang pada hari baik yaitu Soma Wage Dukut purnamaning Kasa, sampailah waktunya beliau terpanggil pulang ke alam baka (meninggal dunia) dengan jalan moksa tanpa meninggalkan jasad. Beliau meninggalkan setetes darah untuk meyakinkan putranya Dukuh Centing bahwa beliau beserta istrinya telah meninggal.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Bertepatan dengan meninggalnya Dukuh Murti, Dukuh Centing selalu dihinggapi perasaan gelisah dengan adanya firasat-firasat buruk sehingga beliau memutuskan untuk kembali ke alas Jerem menemui orang tuanya. Sesampainya beliau di alas Jerem, keadaan sunyi senyap baik di kahyangan Payogan Agung maupun di pondoknya. Tiba-tiba tercium bau wangi dari angkasa serta ditemukan setetes darah. Dalam keprihatinnannya yakinlah Dukuh Centing bahwa darah itu adalah darah orang tuanya yang membuktikan bahwa orang tuanya telah meninggal. Oleh karena itu diambilnyalah darah itu dan diupacarai sebagaimana mestinya. Setelah diupacarai abunya lalu ditanam di pekarangan pondok beliau. Kemudian Dukuh Centing kembali ke Mercika Wana untuk melanjutkan Yoga semadinya.

Tidak beberapa lama Dukuh Centing melakukan yoga semadi, kembalilah beliau pulang ke alas jerem untuk menghadap ke kahyangan Payogan Agung. Tiba-tiba beliau dikagetkan dengan adanya dua batang pohon nangka yang sudah besar sekali, padahal beliau meninggalkan alas jerem dalam waktu tidak beberapa lama.

Dalam kebingungannya yang dihantui oleh rasa takut tiba-tiba terdengar suara gaib dari angkasa, sebagai berikut:

"Hai kamu Dukuh Centing janganlah engkau pergi dan takut,ini ada tumbuh dua batang pohon nangka yang membuktikan bahwa orang tuamu Dukuh Murti telah mejelma kembali kedunia ini. Pada saatnya nanti apabila pohon ini telah sama-sama dewasa, maka dari kedua pohon ini akan lahirlah 2 orang laki dan perempuan, yang laki diberi nama Gede Mawa dan yang perempuan bernama Ni Mawit Sari, yang selanjutnya Gede Mawa bergelar I Gede Ketewel, karena beliau lahir dari pohon nangka. Nantinya atas restuku, Aku perkenankan kepada seluruh keturunannya menggunakan Wangsa Ketewel dimanapun dia berada di pulau Bali ini, dan alas Jerem Aku jadikan sebuah desa yang bernama Desa Ketewel"

Sumber : cakepane.blogspot.com

Sejarah Tari Legong di Bali

 




Tari Legong dalam khasanah budaya Bali termasuk ke dalam jenis tari klasik karena awal mula perkembangannya bermula dari istana kerajaan di Bali. Tarian ini dahulu hanya dapat dinikmati oleh keluarga bangsawan di lingkungan tempat tinggal mereka yaitu di dalam istana sebagai sebuah tari hiburan. Para penari yang telah didaulat menarikan tarian ini di hadapan seorang raja tentu akan merasakan suatu kesenangan yang luar biasa, karena tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam istana.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Mengenai tentang awal mula diciptakannya tari Legong di Bali adalah melalui proses yang sangat panjang. Menurut Babad Dalem Sukawati, tari Legong tercipta berdasarkan mimpi I Dewa Agung Made Karna, Raja Sukawati yang bertahta tahun 1775-1825 M. Ketika beliau melakukan tapa di Pura YoganAgung desa Ketewel ( wilayah Sukawati ), beliau bermimpi melihat bidadari sedang menari di surga. Mereka menari dengan menggunakan hiasan kepala yang terbuat dari emas.

Ketika beliau sadar dari semedinya, segeralah beliau menitahkan Bendesa Ketewel untuk membuat beberapa topeng yang wajahnya tampak dalam mimpi beliau ketika melakukan semedi di Pura Jogan Agung dan memerintahkan pula agar membuatkan tarian yang mirip dengan mimpinya. Akhirnya Bendesa Ketewel pun mampu menyelesaikan sembilan buah topeng sakral sesuai permintaan I Dewa Agung Made Karna. Pertunjukan tari Sang Hyang Legong pun dapat dipentaskan di Pura Jogan Agung oleh dua orang penari perempuan.

Tak lama setelah tari Sang Hyang Legong tercipta, sebuah grup pertunjukan tari Nandir dari Blahbatuh yang dipimpin I Gusti Ngurah Jelantik melakukan sebuah pementasan yang disaksikan Raja I Dewa Agung Manggis, Raja Gianyar kala itu. Beliau sangat tertarik dengan tarian yang memiliki gaya yang mirip dengan tari Sang Hyang Legong ini, seraya menitahkan dua orang seniman dari Sukawati untuk menata kembali dengan mempergunakan dua orang penari wanita sebagai penarinya. Sejak itulah tercipta tari Legong klasik yang kita saksikan sekarang ini.



Bila ditinjau dari akar katanya, Legong berasal dari kata “ leg “ yang berarti luwes atau elastis dan kata “gong” yang berarti gamelan. Kedua akar kata tersebut bila digabungkan akan berarti gerakan yang sangat diikat ( terutama aksentuasinya ) oleh gamelan yang mengiringinya (Dibia, 1999:37).
BACA JUGA
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan
Sebagai sebuah tari klasik, tari Legong sangat mengedepankan unsur artistik yang tinggi, gerakan yang sangat dinamis, simetris dan teratur. Penarinya pun adalah orang-orang yang berasal dari luar istana yang merupakan penari pilihan oleh raja ketika itu. Maka, tidaklah mengherankan jika para penari merasakan kebanggaan yang luar biasa jika menarikan tari Legong di istana. Begitu pula sang pencipta tari. Akan menjadi suatu kehormatan besar apabila dipercaya untuk menciptakan suatu tarian oleh seorang pengusa jaman itu. Walaupun nama mereka tidak pernah disebutkan mencipta suatu tarian kepada khalayak ramai, mereka tidak mempersoalkan itu asalkan didaulat mencipta berdasarkan hati yang tulus dan penuh rasa persembahan kepada sang raja. Ini dapat dilihat dari hampir seluruh tari-tari klasik maupun tari tradisi lain yang berkembang di luar istana seperti tari Legong, Baris, Jauk dan Topeng.

Kini di jaman yang tidak lagi menganut paham feodalisme, keseian Legong telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dari segi kuantitas maupun kualitas. Disebutkan bahwa tari Legong Keraton ( karena berkembang di istana ) keluar dari lingkungan istana pada awal abad ke-19. Para penari wanita yang dahulunya berlatih dan menari Legong di istana kini kembali ke desa masing-masing untuk mengajarkan jenis tarian ini kepada masyarakat. Sebagaimana diketahui, orang Bali adalah orang yang sangat kreatif sehingga gaya tari masing-masing pun sedikit berbeda sesuai dengan kemampuan membawakannya. Oleh karena itu, timbul style-style Palegongan yang tersebar di berbagai daerah seperti di desa Saba, Peliatan, Bedulu, Binoh, Kelandis dan beberapa tempat lainnya. Dari sekian daerah perkembangan tari Legong, hanya desa Saba dan Peliatan yang masih kuat mempertahankan ciri khasnya dan mampu melahirkan jenis-jenis tari Palegongan dengan berbagai nama.

Tari-tari legong yang ada di Bali pada awalnya diiringi oleh gamelan yang disebut Gamelan Pelegongan. Perangkat gamelan ini terdiri dari dua pasang gender rambat, gangsa jongkok, sebuah gong, kemong, kempluk, klenang, sepasang kendang krumpungan, suling, rebab, jublag, jegog, gentorang. Sebagai tambahan, terdapat seorang juru tandak untuk mempertegas karakter maupun sebagai narrator cerita melalui tembang. Namun, seiring populernya gamelan gong kebyar di Bali, akhirnya tari-tari palegongan ini pun bisa diiringi oleh gamelan Gong Kebyar, karena tingkat fleksibilitasnya.

Kiriman: Ida Bagus Gede Surya Peradantha, SSn., Alumni ISI Denpasar
Sumber : isi-dps.ac.id dan cakepane.blogspot.com

Makna Nama - Nama Orang Bali

 




Nama orang Bali ini merupakan salah satu keunikan yang ada di Bali dan hingga saat ini sebagian besar orang Bali masih menggunakannya.
Mungkin Anda yang bukan orang Bali bertanya-tanya; mengapa nama depan orang Bali ada kemiripan satu sama lainya.

Orang Bali umumnya memiliki nama depan seperti I Putu, I Wayan, I Gede, I Made, I Nyoman, I Ketut, dst. Ada juga yang memiliki nama depan seperti: Ida Bagus, Cokorda, I Gusti, Anak Agung, dst. Lalu apa sebenarnya makna dari nama depan tersebut?

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Nama Orang Bali pada umumnya relatif panjang. Sebagai contoh I Dewa Agung Made Mahendra. Cukup panjang bukan? Itu padahal nama intinya hanya satu kata yaitu “Mahendra”, bisa jadi lebih panjang lagi jika nama intinya lebih dari satu kata.


Lalu apa maksud dari “I Dewa Agung Made” pada nama saya?

Nama orang Bali umumnya diawali dengan sebutan yang mencirikan kasta (wangsa) dan urutan kelahiran. Sebelum saya melanjutkan, disini saya tidak ingin membahas masalah kasta yang sering menjadi pro dan kontra di masyarakat khususnya di Bali.

Jadi, nama orang Bali menjadi panjang karena di depannya ada embel-embel kasta atau nama keluarga (semacam marga) dan urutan kelahiran. Seperti saya, “I Dewa Agung” adalah mencirikan saya berasal dari kasta Ksatria. Selain itu ada juga I Gusti, I Gusti Ngurah, Anak Agung, Cokorda, I Dewa, Ida Bagus, Ida Ayu dan lainnya. Selain embel-embel kasta, ada juga kata "Made". Ini adalah ciri bahwa saya anak kedua. Jadi pada umumnya orang Bali bisa diketahui dia anak ke berapa dari nama depannya.

Menurut "sastra kanda pat sari", Nama-nama depan khas Bali itu sejatinya tidak lebih sebagai semacam penanda urutan kelahiran sang anak, dari pertama hingga keempat, adalah sebagai berikut:

Anak pertama biasanya diberi awalan “Wayan” diambil dari kata wayahan yang artinya tertua / lebih tua, yang paling matang. Selain Wayan, nama depan untuk anak pertama juga kerap kali digunakan Putu atau Gede. Dua nama ini biasanya digunakan oleh orang Bali di belahan utara dan barat, sedangkan di Bali Timur dan Selatan cenderung memilih nama Wayan. kata “Putu” artinya cucu. Sedangkan “Gede” artinya besar / lebih besar. Dan untuk anak perempuan kadang diberi tambahan kata “Luh” Contoh : I wayan budi mahendra, Ni Putu Erni Andiani, I Gede Suardika, Ni Luh Putu Santhi dll
"Made" diambil dari kata madya (tengah) sehingga digunakan sebagai nama depan anak kedua. Di beberapa daerah di Bali, anak kedua juga kerap diberi nama depan "Nengah" yang juga diambil dari kata tengah. Ada juga yang menggunakan kata “Kadek” merupakan serapan dari “adi” yang kemudian menjadi “adek” yang bermakna utama, atau adik. Contoh: I Kadek Mardika, Ni Made Suasti, Nengah Sukarmi dll
Anak ketiga biasanya diberikan nama depan "Nyoman" atau "Komang" yang konon diambil dari kata nyeman (lebih tawar) yang mengambil perbandingan kepada lapisan kulit pohon pisang, di mana ada bagian yang selapis sebelum kulit terluar yang rasanya cukup tawar. Nyoman ini konon berasal dari serapan “anom + an” yang bermakna muda. Kemudian dalam perkembangan menjadi komang yang secara etimologis berasal dari kata uman yang bermakna “sisa” atau “akhir”. Jadi menurut pandangan hidup kami, sebaiknya sebuah keluarga memiliki tiga anak saja. Setalah beranak tiga, kita disarankan untuk lebih “bijaksana”. Namun zaman dahulu, obat herbal tradisional kurang efektif untuk mencegah kehamilan, coitus interruptus tidak layak diandalkan, dan aborsi selalu dipandang jahat, sehingga sepasang suami istri mungkin saja memiliki lebih dari tiga anak. Contoh: I Nyoman Indrayudha, Ni Komang Ariyuni dll
Anak keempat : diawali dengan sebutan “Ketut”, yang merupakan serapan “ke + tuut” – ngetut yang bermakna mengikuti mengikuti atau mengekor. Ada juga yang mengkaitkan dengan kata kuno Kitut yang berarti sebuah pisang kecil di ujung terluar dari sesisir pisang. Ia adalah anak bonus yang tersayang. Karena program KB yang dianjurkan pemerintah, semakin sedikit orang Bali yang bertitel Ketut. Itu sebabnya ada kekhawatiran dari sementara orang Bali akan punahnya sebutan kesayangan ini. Contoh: I Ketut Nugraha, Ni Ketut Sudiasih dllOrang Bali memiliki sebuah tabu bahwa petani tidak boleh menyebut kata tikus, di Bali disebut bikul, di sawah, karena hal ini bagai mantra yang bisa memanggil tikus. Untuk itu di sawah, orang memanggilnya dengan julukan spesial ” Jero Ketut”. Ia bermakna tuan kecil. Ini berangkat dari pandangan bahwa tikus bagimanapun juga adalah bagian dari keseimbangan alam.



Bila keluarga berancana gagal, dan sebuah keluarga memiliki lebih dari empat anak? Di sini ada 2 alternatif yang bisa dipakai orang tua untuk memberi nama depan pada anak kelima, keenam, dan seterusnya:

Nama depan untuk anak kelima dan seterusnya mengulang kembali nama-nama depan sebelumnya sesuai urutannya.
Ada orang tua yang sengaja menambahkan kata "Balik" setelah nama depan anaknya untuk memberi tanda bahwa anak tersebut lahir setelah anak yang keempat. Contohnya: I Wayan Balik Suandra. Jadi nama depannya adalah "I Wayan Balik" yang menandakan bahwa dia adalah anak kelima, atau anak yang lahir setelah putaran 1 sampai 4.Selama ini, kalau seseorang sudah menggunakan nama depan Made, Komang atau Ketut, bisa dipastikan sebagai orang Jaba-kecuali untuk kelompok Brahmana di desa Buda Keling, Karangasem yang masih mempertahankan tradisi pemakaian nama Ida Wayan, Ida Made dan seterusnya.

BACA JUGA
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di BaliTidak jelas benar, kapan tradisi pemberian nama depan ini mulai muncul di Bali. Yang pasti, menurut pakar linguistik dari Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. nama depan itu ditemukan muncul pada abad ke-14 yang dipakai oleh raja Gelgel saat itu bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang kemudian dilanjutkan putranya, Dalem Ketut Ngulesir. Dalem Ketut Kresna Kepakisan merupakan putra keempat dari Sri Kresna Kepakisan yang dinobatkan mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai penguasa perpanjangan tangan Majapahit di Bali.

Namun, Jendra belum berani memastikan apakah hal itu berarti tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Yang jelas, hal ini terpelihara sebagai tradisi yang cukup lama. Masyarakat Bali hingga akhir abad XX masih tunduk menggunakannya hingga akhirnya menjadi semacam ciri khas untuk membedakan orang Bali dengan orang luar Bali, sebelum akhirnya secara perlahan mulai bergeser, tidak lagi ditaati secara ketat oleh orang Bali. Pengingkaran ini sejatinya telah dimulai ketika nama-nama pokok yang mengikuti nama depan orang Bali juga mulai bergeser.

Selanjutnya, untuk membedakan jenis kelamin, orang bali mengawali setiap nama dengan menambah satu kata lagi, yaitu

Awalan “I” untuk anak lelaki
Awalan “Ni” untuk anak perempuanTapi tidak semua kasta (wangsa) orang Bali menggunakan kata I atau Ni. Misalnya dari golongan Anak Agung semuanya akan diawali dengan kata “Anak Agung”, "Cokorda" dll.

Selain menunjukkan urutan kelahiran, ada nama depan tertentu yang menunjukkan kasta di bali. Penamaan berdasarkan Kasta ini merupakan gelar warisan turun temurun yang melekat pada keturunan orang Bali yang dulunya memiliki kelas tersendiri berdasarka profesinya.

Nama depan seperti "Ida Bagus" untuk pria atau "Ida Ayu" untuk wanita, menunjukkan bahwa dia berasal dari keturunan kasta Brahmana di Bali. Brahmana adalah kasta dari penggolongan profesi sebagai pemuka agama; misalnya pendeta. Contohnya: Ida Bagus Dharmaputra, Ida Ayu Diah Tantri.
Nama depan seperti "Anak Agung", "I Gusti Agung", "Cokorda", "I Dewa", "Desak" (perempuan), "Dewa Ayu" (perempuan), "Ni Gusti Ayu" (perempuan), dan "I Gusti Ngurah", ini berasal dari kasta Ksatria yang merupakan golongan profesi dari pelaksana pemerintahan dan pembela negara. Contohnya: Anak Agung Komang Panji Tisna, Anak Agung Ayu Wulandari, Cokorda Rai Sudarta, I Dewa Putu Kardana, I Gusti Ngurah Adiana, dll.Namun sering kali nama depan dari kasta-kasta (wangsa) di atas juga diikuti dengan urutan kelahiran. Seperti misalnya: Ida Bagus Putu Puja, Ida Ayu Komang Rasmini, I Gusti Agung Made Jayandara, Ni Gusti Ayu Putu Anggraeni, dll.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Sehingga bila ada yang bernama “I Dewa Agung Made Mahendra” itu artinya

“I” menunjukan jenis kelamin Pria
“Dewa Agung” menunjukan gelar Wangsa bukanlah kasta di bali
“Made” menujukan urutan kelahiran, dalam hal ini anak ke 2
“Mahendra” menunjukan nama.Disamping itu ada sapaan yang biasa diberikan oleh orang yang lebih kecil kepada yang lebih tua dan sebaliknya. Diantaranya:

Sapaan “Bli” atau "Wi" untuk setiap pria yang ditemui. Terlepas itu benar atau salah, orang Bali tidak pernah mempermasalahkan. Mereka lebih cenderung untuk menghargai pengunjung yang berusaha “menghormati” dengan sebutan yang lebih akrab seperti “Bli”.
Sebutan “Mbok” diberikan untuk wanita Bali.
Sapaan “Adi / adik” atau menyebut nama langsung diberikan kepada wanita ataupun pria yang lebih muda.Selain itu ada panggilan akrab yang sering didengar untuk memanggil orang bali yang masih kecil, anak remaja atau lebih muda (kira – kira belum menikah) diantaranya

Panggilan "Gus" untuk laki-laki. Gus ini bersumber pada kata “bagus” yang artinya tampan, ganteng
Panggilan "Gek" merupakan singkatan dari “Jegeg” yang artinya cantik, ayu.
Bila kita melihat maksud dan tujuan dari penyampaian yang tersirat dalam budaya masyarakat asli Bali, ada pelajaran yang dapat kita ambil didalamnya, yaitu kita harus selalu dapat menghormati kepada yang lebih tua. Dengan kata lain budaya merupakan pembelajaran norma-norma kehidupan yang tidak terlepas dari pada apa yang diajarkan oleh Tuhan kepada kita dalam hidup di alam semesta ini.

Demikian penjelasan saya tentang arti di balik nama-nama orang Bali. Semoga bermanfaat buat rekan yang membacanya. Mohon maaf bila ada nama saudara-saudara di Bali yang kebetulan saya sebutkan sebagai contoh dalam tulisan saya ini. Apabila ada kekurangan dalam penjelasan ini, saya menerima kritik dan saran dari rekan sekalian. Terima kasih

Sumber : cakepane.blogspot.com

Sistem Kasta di Provinsi Bali

 




Sampai saat ini umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali masih mengalami polemik. Hal ini menyebabkan ketidaksetaraan status sosial diantara masyarakat Hindu. Masalah ini muncul karena pengetahuan dan pemahaman yang dangkal tentang ajaran Agama Hindu dan Kitab Suci Weda yang merupakan pedoman yang paling ampuh bagi umat Hindu agar menjadi manusia yang beradab yaitu memiliki kemampuan bergerak (bayu), bersuara (sabda) dan berpikir (idep) dan berbudaya yaitu menghormati sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa tanpa membedakan asal usul keturunan, status sosial, dan ekonomi.

Banyak Orang terpengaruh terhadap propaganda pandangan orang-orang Barat tentang Kasta, padahal di Hindu (Veda) tidak ada kasta yang ada adalah "WARNA".

Apa itu Kasta ?

Kasta, dalam Dictionary of American English disebut: Caste is a group resulting from the division of society based on class differences of wealth, rank, rights, profession, or job. Uraian lebih luas ditemukan pada Encyclopedia Americana Volume 5 halaman 775; asal katanya adalah “Casta” bahasa Portugis yang berarti kelas, ras keturunan, golongan, pemisah, tembok, atau batas.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Timbulnya istilah kasta dalam masyarakat Hindu adalah karena adanya proses sosial (perkembangan masyarakat) yang mengaburkan pengertian warna. Pengaburan pengertian warna ini melahirkan tradisi kasta yang membagi tingkatan seseorang di masyarakat berdasarkan kelahiran dan status keluarganya. Istilah "kasta" tidak diatur di dalam kitab suci Weda. Kata "Kasta" itu sendiri dalam bahasa Sanskerta berarti "kayu".

Empat Kasta tidak sama dengan Catur Warna dalam Weda. Kasta tidak pernah ada dalam tradisi Hindu baik Zamannya Wayang Mahabaratamaupun Zaman Majapahit. Kasta mulai ada di India semenjak kedatangan Bangsa Arab dan Kristen, Bangsa Arab dan Kristen terbiasa dengan perbudakan (baca Imamat,timotius dll, Juga An Nisaa, al Mu’kminuum).

Istilah kasta dilekatkan pada agama Hindu mulai ada semenjak Max Muller, menterjemahkan Weda kedalam Bhs Inggris. Max Muller menterjemahkan Catur Warna sama dengan empat colour/ras. bukti kesalahan Muller: Bagawan Wiyasa (jawa disebut Abiyoso) berkulit hitam, hidung lebar, bibir tebal, mata mellotot, jelas bukan ras Arya yang berkulit terang, hidung mancung, mata biru. Kasta yang kaku tidak pernah ada di India sebelumnya contohnya: Bambang ekalaya seorang rakyat biasa bisa menjadi ksatrya, Radeya anak kusir kereta bisa menjadi adipati/ksatrya, Govinda anak gembala sapi bisa menjadi raja, Narada anak pelayan (Babu) bisa menjadi Brahmana. Di Jawa sebelum runtuhnya Majapahit seorang perampok Ken Arok, bisa menjadi Raja, seorang pengangon kuda, Damar Wulan bisa menjadi Raja Majapahit dengan gelar Brawijaya.

Di Bali kasta mulai ada semenjak runtuhnya majapahit. Sebelumnya, pada jaman pemerintahan Sri Kresna Kepakisan (Raja Bali I) belum dikenal adanya sistim kasta, saat itu masih mengunakan sistim warna yang sesuai dengan ajaran Dharma. Setelah kedatangan pendeta suci Danghyang Nirarta yang pindah ke bali akibat terdesak kerajaan Islam dan kemudian diangkat jadi penasehat Raja Gelgel. Danghyang Nirarta tiba di Bali sekitar abad 15, hampir bersamaan dengan kedatangan Portugis di India (kerajaan Goa India jatuh ketangan Portugis th. 1511 ) dan Istilah kasta mulai diperkenalkan di India.

Kasta sebenarnya ada di mana-mana ketika peradaban belum begitu maju. Atau kelas-kelas sosial di masyarakat ini berusaha dilestarikan oleh golongan tertentu yang kebetulan “berkasta tinggi”. Dari sini muncul istilah-istilah yang sesungguhnya adalah versi lain dari kasta, seperti “berdarah biru”, “kaum bangsawan” dan sebagainya yang menandakan mereka tidak bisa dan tak mau disamakan dengan masyarakat biasa. Bagi mereka yang berada “di atas” entah dengan sebutan “darah biru” atau “bangsawan” umumnya mempunyai komplek pemukiman yang disebut keraton atau puri.

Di masa sekarang ini, kraton atau puri tentu tak punya kuasa apa-apa, namun penghuninya berusaha untuk tetap melestarikannya. Ada pun penerimaan masyarakat berbeda-beda, ada yang mau menghormati ada yang bersikap biasa saja.

Di India kasta itu jumlahnya banyak sekali. Hampir setiap komunitas dengan kehidupan yang sama menyebut dirinya dengan kasta tertentu. Para pembuat gerabah pun membuat kasta tersendiri.

Kasta di Bali yang berlaku sampai saat ini
Riwayat Kasta dibali dimulai ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah, kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.

Pada masyarakat Hindu di Bali, terjadi kesalahan pahaman kasta dibali dan kekaburan dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan. Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal (dalam arti ada satu Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain). Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk merubah pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh karena itu, lebih baik tidak diperdebatkan lagi.

Yang jadi persoalan, ketika kasta diperkenalkan di Bali di masa penjajahan itu, nama-nama yang dipakai adalah nama Catur Warna: Brahmana, Kesatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu semua fungsi Catur Warna diambil alih oleh kasta, termasuk gelarnya.

Celakanya kemudian, gelar-gelar itu diwariskan turun temurun, diberikan kepada anak-anaknya tak peduli apakah anak itu menjalankan fungsi sosial yang sesuai dengan ajaran Catur Warna atau tidak. Contohnya, kalau orang tuanya bergelar Cokorde, jabatan raja untuk di daerah tertentu, anaknya kemudian otomatis diberi gelar Cokorde pada saat lahir. Kalau orangtuanya Anak Agung, juga jabatan raja untuk daerah tertentu, anaknya yang baru lahir pun disebut Anak Agung. Demikianlah bertahun-tahun, bahkan berganti abad, sehingga antara kasta dan ajaran Catur Warna ini menjadi kacau.

Dalam pergaulan sehari-hari pun masyarakat yang berkasta sudra (Jaba) berkedudukan sangat rendah. Seperti misalnya seorang yang berasal dari kasta sudra harus menggunakan Sor Singgih Basa, untuk menghormati kasta-kasta yang lebih tinggi.

Kasta itu dibuat dan dikemas sesuai dengan garis keturunan Patrinial, diantaranya :

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

1. Kasta Brahmana merupakan kasta yang memiliki kedudukan tertinggi, dalam generasi kasta brahmana ini biasanya akan selalu ada yang menjalankan kependetaan. Dalam pelaksanaanya seseorang yang berasal dari kasta brahmana yang telah menjadi seorang pendeta akan memiliki sisya, dimana sisya-sisya inilah yang akan memperhatikan kesejahteraan dari pendeta tersebut, dan dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh anggota sisya tersebut dan bersifat upacara besar akan selalu menghadirkan pendeta tersebut untuk muput upacara tersebut. Dari segi nama seseorang akan diketahui bahwa dia berasal dari golongan kasta brahmana, biasanya seseorang yang berasal dari keturunan kasta brahmana ini akan memiliki nama depan “Ida Bagus untuk anak laki-laki, Ida Ayu untuk anak perempuan, ataupun hanya menggunakan kata Ida untuk anak laki-laki maupun perempuan”. Dan untuk sebutan tempat tinggalnya disebut dengan "Griya".



2. Kasta Ksatriya merupakan kasta yang memiliki posisi yang sangat penting dalam pemerintahan dan politik tradisional di Bali, karena orang-orang yang berasal dari kasta ini merupakan keturuna dari Raja-raja di Bali pada zaman kerajaan. Namun sampai saat ini kekuatan hegemoninya masih cukup kuat, sehingga terkadang beberapa desa masih merasa abdi dari keturunan Raja tersebut. Dari segi nama yang berasal dari keturunan kasta ksariya ini akan menggunakan nama “Anak Agung, Dewa Agung, Tjokorda, dan ada juga yang menggunakan nama Dewa”. Dan untuk nama tempat tinggalnya disebut dengan "Puri". Sedangkan Masyarakat yang berasal dari keturunan abdi-abdi kepercayaan Raja, prajurit utama kerajaan, namun terkadang ada juga yang merupakan keluarga Puri yang ditempatkan diwilayah lain dan diposisikan agak rendah dari keturunan asalnya karena melakukan kesalahan sehingga statusnya diturunkan. Dari segi nama kasta ini menggunakan nama seperti I Gusti Agung, I Gusti Bagus, I Gusti Ayu, ataupun I Gusti. Dimana untuk penyebutan tempat tinggalnya disebut dengan "Jero".


3. Kasta Sudra (Jaba) merupakan kasta yang mayoritas di Bali, namun memiliki kedudukan sosial yang paling rendah, dimana masyarakat yang berasal dari kasta ini harus berbicara dengan Sor Singgih Basa dengan orang yang berasal dari kasta yang lebih tinggi atau yang disebut dengan Tri Wangsa - Brahmana, Ksatria dan Ksatria (yang dianggap Waisya). Sampai saat ini masyarakat yang berasal dari kasta ini masih menjadi parekan dari golongan Tri Wangsa. Dari segi nama warga masyarakat dari kasta Sudra akan menggunakan nama seperti berikut : Wayan, Made, Nyoman dan Ketut. Dan dalam penamaan rumah dari kasta ini disebut dengan "umah".


Kehidupan Kemasyarakatan Kasta
Pada jaman dahulu, kasta sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Kasta di Bali mulai kental saat masa penjajahan Belanda, sehingga penjajah dapat dengan leluasa memisahkan raja dengan rakyatnya. Selama berabad-abad penduduk Bali telah diajari bahwa kasta yang tinggi harus lebih dihormati, sehingga bila kita berbicara dengan orang yang berkasta tinggi, baik lebih muda, lebih tua, atau seusia, kita harus menggunakan bahasa bali yang halus. Tetapi bila bicara dengan orang berkasta rendah, kita tidak diwajibkan menggunakan bahasa halus.

Misalnya ada seorang ketua organisasi berkasta Waisya, dengan salah seorang anggotanya berkasta Brahmana. Secara otomatis, ketua organisasi tersebut harus menggunakan kata-kata yang halus kepada anggotanya yang berkasta brahmana tersebut. Ada juga kasus seperti seorang guru yang memiliki kasta lebih rendah dari muridnya. Guru tersebut harus berkata sopan kepada muridnya yang berkasta tinggi. Walau begitu, bukan berarti sang murid dapat bertindak sewenang-wenang seperti berkata tidak sopan terhadap gurunya.

Selain perbedaan dalam menggunakan bahasa, kasta juga mempengaruhi tatanan upacara adat dan agama, seperti pernikahan, dan tempat sembahyang. Pada Pura-Pura besar (seperti Pura Besakih), semua kasta bisa sembahyang dimana saja, tetapi pada Pura-Puta tertentu yang lebih kecil, ada pembagian tempat sembahyang antara satu kasta dengan kasta yang lain, agar tidak tercampur.

Kasta Dalam Pernikahan
Kasta juga sangat sering menjadi pro dan kontra, terutama dalam masalah pernikahan. Pada jaman dulu, masyarakat Bali tidak diperbolehkan menikah dengan kasta yang berbeda, layaknya pernikahan beda agama dalam Islam. Seiring perkembangan jaman, aturan tersebut seharusnya sudah tidak berlaku lagi. Namun sebagian penduduk Bali masih ada yang mempermasalahkan pernikahan beda kasta.

Pernikahan dengan kasta yg berbeda dibolehkan dengan syarat kasta yang perempuan harus mengikuti yg laki-laki. Jika kasta perempuan dari kasta yg tinggi, menikah dng kasta yg lebih rendah, maka kasta si perempuan akan turun mengikuti suaminya. Begitu juga sebaliknya, Karena di Bali laki-lakilah yg menjadi ahli waris dari generasi sebelumnya.

Pernikahan beda kasta sendiri ada dua macam, yaitu :

1. Kasta istri lebih rendah dari kasta suami. 
Pernikahan beda kasta ini-lah yang sudah sering terjadi di Bali. Pernikahan semacam ini biasanya memberikan kebanggan tersendiri bagi keluarga perempuan, karena putri mereka berhasil mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi. Dan secara otomatis kasta sang istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Tetapi, sang istri harus siap mendapatkan perlakuan yang tidak sejajar oleh keluarga suami. Saat upacara pernikahan, biasanya batenan untuk mempelai wanita diletakan terpisah, atau dibawah. Bahkan dibeberapa daerah, sang istri harus rela melayani para ipar dan keluarga suami yang memiliki kasta lebih tinggi. Walaupun jaman sekarang hal tersebut sudah jarang dilakukan, tapi masih ada beberapa orang yang masih kental kasta-nya menegakan prinsip tersebut demi menjaga kedudukan kasta-nya. 

2. Kasta istri tinggi dari kasta suami. 
Pernikahan beda kasta seperti ini sangat dihindari oleh penduduk Bali. Karena pihak perempuan biasanya tidak akan mengijinkan putri mereka menikah dengan lelaki yang memiliki kasta lebih rendah. Maka dari itu, biasanya pernikahan ini terjadi secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut sebagai "ngemaling" atau kawin lari sebagai alternatifnya. Kemudian, perempuan yang menikahi laki-laki yang berkasta lebih rendah akan mengalami turun kasta mengikuti kasta suaminya, yang disebut sebagai "nyerod". Menurut kabar, sebagian besar penduduk bali lebih menyukai dan lebih dapat menerima laki-laki yang bukan orang Bali sebagai menantu, dari pada menikah dengan laki-laki berkasta lebih rendah, dan mengalami penurunan kasta.
Warna, apakah itu ?
Keterangan yang cukup menarik tentang Catur Warna yang sering dikaburkan dengan kasta dapat kita lihat dalam kitab Pancamo Weda (Bhagavad-Gita) yang menjelaskan struktur masyarakat berdasarkan Warna. Menurut isi dari Bhagavad-Gita ini pembagian masyarakat menjadi empat kelompok- kelompok yang disebut warna itu, terjadi karena pengaruh "guna" yang merupakan unsur pembawaan sejak lahir (bakat).

Dalam hubungan ini dijelaskan sistem warna itu atas dasar pengertian fisik.

Di dalam Bab Karma Kanda-nya dijelaskan bahwa dunia aktif (bergerak, bekerja) dan gerak ini disebabkan oleh guna itu sendiri. Ada tiga macam guna dikemukakan yaitu

Satwam, kebajikan 
Rajah, keaktifan 
Tamah, kepasifan atau masa bodohSifat- sifat ini selanjutnya memberikan pengaruh lebih luas lagi sehingga menimbulkan warna dalam kelahiran manusia di dunia. Seseorang yang kelahirannya diwarnai oleh Guna Satwam akan menampilkan sifat- sifat kesucian, kebajikan, dan keilmuan. Seseorang yang diwarnai oleh Guna Rajah akan menampilkan kehidupan yang penuh kreatif, ingin berkuasa, ingin menonjol. Berbeda dengan seseorang yang kehidupannya diwarnai oleh Guna Tamah, akan selalu menampakkan sifat- sifat malas, bodoh, pasif, lamban dalam segala- galanya.

Ketiga sifat ini terdapat di dalam setiap tubuh manusia yang lahir dan masing- masing guna ini berjuang saling mempengaruhi dalam badan manusia. Bagi mereka yang teguh iman maka Satwam itulah yang menguasainya, sedangkan Rajah dan Tamah itu akan diatasi seluruhnya. Sebaliknya kalau Rajah lebih kuat, maka Tamah dan Satwam itu akan ditundukkannya. Begitu pula apabila Tamah yang berkuasa, maka Rajah dan Satwam akan ditundukkannya. Dengan jalan seperti inilah Bhagavad-Gita menjelaskan timbulnya garis perbedaan pembawaan seseorang yang disebut Warna kelahiran dari kecenderungan sifat- sifat guna itu.



Dalam Bhagavadgita percakapan ke-IV sloka ke-13 ditulis:


Chatur Varnyam Maya Srishtam,
Guna Karma Vibhagasah,
Tasya Kartaram Api Mam,
Viddhy Akartaram AvyayamArtinya:
Catur warna adalah ciptaan-Ku, menurut pembagian kualitas dan kerja, tetapi ketahuilah walaupun penciptanya, Aku tidak berbuat dan mengubah diri-Ku.

Warna adalah profesi atau bidang kerja yang dilaksanakan seseorang menurut bakat dan keahliannya; tidak ada perbedaan derajat diantaranya karena masing-masing menjalankan karma dengan saling melengkapi.

Mantram-mantram dari Yajurveda sloka ke-18, 48 antara lain berbunyi:

Rucam No Dhehi Brahmanesu,Rucam Rajasu Nas Krdhi,Rucam Visyesu Sudresu,Mayi Dhehi Ruca Rucam

Artinya:
Ya Tuhan Yang Maha Esa bersedialah memberikan kemuliaan pada para Brahmana, para Ksatriya, para Vaisya, dan para Sudra. Semoga Engkau melimpahkan kecemerlangan yang tidak habis-habisnya kepada kami.

Yajurveda Sloka ke 30, 5 berbunyi:

Brahmane Brahmanam, Ksatraya, Rajanyam, Marudbhyo Vaisyam, Tapase Sudram

Artinya:
Ya Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan Brahmana untuk pengetahuan, para Ksatriya untuk perlindungan, para Vaisya untuk perdagangan, dan para Sudra untuk pekerjaan jasmaniah.

Profesi yang empat jenis itu adalah bagian-bagian (berasal) dari Tuhan Yang Maha Esa yang suci, diibaratkan sebagai anatomi tubuh manusia dalam tatanan masyarakat, sebagaimana Yajurveda sloka 31, 11 menyatakan:

Brahmano Asya Mukham Asid,Bahu Rajanyah Krtah,Uru Tadasya Yad Vaisyah,Padbhyam Sudro Ajayata

Artinya:
Brahmana adalah mulut-Nya Tuhan Yang Maha Esa, Ksatriya lengan-lengan-Nya, Vaisya paha-Nya, dan Sudra kaki-kaki-Nya.

Selanjutnya doa yang mengandung harapan agar masing-masing profesi/ warna melaksanakan swadharma yang baik terdapat pada Yajurveda sloka 33,81:

Pravakavarnah Sucayo Vipascitah

Artinya: para Brahmana seharusnya bersinar seperti api, bijak, dan terpelajar.

Yajurveda sloka 20,25:

Yatra Brahma Ca Ksatram Ca,Samyancau Caratah Saha,Tam Lokam Punyam Prajnesam,Yatra Devah Sahagnina

Artinya:
Di negara itu seharusnya diperlakukan warga negaranya sebaik mungkin, di sana para Brahmana dan para Kesatriya hidup di dalam keserasian dan orang-orang yang terpelajar melaksanakan persembahan (pengorbanan).

BACA JUGA
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Riwayat Kasta di Bali
Riwayat Kasta Di BaliBhagawata Purana
Di dalam Bhagawata Purana dan Smrti Sarasamuçcaya pasal 63 dengan tegas dijelaskan bahwa sebenarnya tidak ada suatu warna kalau tanpa dilihat dari segi perbuatannya.
Dari perbuatan dan sifat-sifat seperti tenang, menguasai diri sendiri, berpengetahuan suci, tulus hati, tetap hati, teguh iman kepada Hyang Widhi, jujur adalah gambaran seseorang yang berwarna Brahmana. Tetapi orang yang gagah berani, termasyhur, suka memberi pengampunan, perlindungan maka mereka itulah yang disebut Ksatrya.

Sukra Niti
Purana Sukra Niti memberi keterangan bahwa keempat warna itu tidak ditentukan oleh kelahiran, misalnya dari keluarga Brahmana lalu lahir anak Brahmana juga, tetapi sifat dan perbuatan mereka itulah yang menentukan sehingga mereka menjadi demikian seperti adanya empat warna itu.

Wiracarita Mahabarata
Di sini dijelaskan bahwa sifat-sifat Brahmana ialah: jujur, suka beramal/ berderma, pemaaf, pelindung, takwa, cenderung untuk melakukan pertapaan. Dan dijelaskan pula bahwa kelahiran anak dari seorang Sudra yang dikatakan mempunyai sifat- sifat seperti tersebut di atas, mereka bukanlah Sudra tetapi mereka adalah Brahmana. Tetapi seorang keturunan Brahmana yang tidak mempunyai sifat- sifat seperti itu, maka ia sesungguhnya Sudra.

Dari sumber- sumber tersebut di atas kita peroleh suatu pandangan dan pengertian yang sama mengenai Catur Warna, yaitu merupakan pembidangan karya dan sikap mental manusia yang mewarnai pengabdiannya dalam swadharma masing-masing. Warna itu realistis dan idealnya semua profesional berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama dan kesejahteraan umat manusia.

Wiana (2000) menjelaskan perbedaan antara warna dan kasta. Warna merupakan penggolongan masyarakat berdasarkan fungsi dan profesi. Dalam ajaran Agama Hindu dikenal adanya Empat Warna/Catur Warna yaitu :




1. Brahmana

Orang-orang yang menekuni kehidupan spiritual dan ketuhanan, para cendikiawan serta intelektual yang bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual. Atau seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai rohaniawan.





2. Ksatria
Orang orang yang bekerja / bergelut di bidang pertahanan dan keamanan/pemerintahan yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan serta rakyatnya. Atau seseorang yang memilih fungsi sosial menjalankan kerajaan: raja, patih, dan staf - stafnya. Jika dipakai ukuran masa kini, mereka itu adalah kepala pemerintahan, para pegawai negeri, polisi, tentara dan sebagainya. 




3. Waisya
Orang yang bergerak dibidang ekonomi, yang bertugas untuk mengatur perekonomian atau seseorang yang memilih fungsi sosial menggerakkan perekonomian. Dalam hal ini adalah pengusaha, pedagang, investor dan usahawan (Profesionalis) yang dimiliki Bisnis / usaha sendiri sehingga mampu mandiri dan mungkin memerlukan karyawan untuk membantunya dalam mengembangkan usaha / bisnisnya.




4. Sudra
Orang yang bekerja mengandalkan tenaga/jasmani, yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan menjadi pelayan atau pembantu orang lain atau seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai pelayan, bekerja dengan mengandalkan tenaga. seperti: karyawan, para pegawai swasta dan semua orang yang bekerja kepada Waisya untuk menyambung hidupnya termasuk semua orang yang belum termasuk ke Tri Warna diatas.


Warna dan gelar serta namanya sama sekali tidak diturunkan atau diwariskan ke generasi berikutnya. Warna tidak bersifat statis, tetapi dinamis. Artinya, warna bisa berubah setiap saat sesuai dengan fungsi dan profesinya. penggolongan ini tidak diturunkan, Artinya kalau sang Ayah Brahmana tidak otomatis anaknya menjadi Brahmana.

Menurut Veda, Brahmana menempati posisi yang diagungkan, artinya Veda mendukung masyarakat yang dipimpin oleh orang-orang Intelektual/Bijaksana (Civil society) dan tidak sekedar kekuasaan/kekuatan.



Apa yang terjadi di India adalah distorsi dari ajaran-ajaran Veda, di Indonesia sendiri kasta tidak ada, yang ada adalah wangsa (garis leluhur).

Wangsa yang ada di Bali sebagai contoh hanya sebagai pengenal bahwa garis leluhurnya mereka dahulu berasal dari keluarga tertentu :

Misalnya,
Soroh pande, artinya keluarga mereka pada jaman dahulu adalah "pengrajin/pande-besi",
Arya Kenceng Tegeh Kori contoh lain artinya jaman dahulu keluarga mereka dari kelompok "Arya" (ksatria yang berasal dari jawa masuk ke Bali)

Jadi tidaklah benar kalau umat Hindu itu mengenal kasta, ini merupakan bentuk pelecehan. Maka masyarakat Bali dan nama Hindu menjadi buruk, banyak saudara - saudara dibali masih salah paham tentang Kasta, apalagi orang-orang lain yang tinggal di luar Bali. mungkin karena Umat Hindu kurang mensosialisasikan secara gamblang apa itu wangsa/warna.

Nama Orang Bali itu bukan kasta tapi Wangsa
Contoh :
Nama saya misalnya “I Wayan Bagus”, dan leluhur saya dulu adalah Ksatria yaitu keturunan Dalem Tarukan, apakah saya sudra??? Tentu bukan!

Karena Saya seorang Pegawai Pemerintahan bekerja mengabdikan diri pada negara. Maka saya seorang KESATRIA - Pegawai pemerintah (punggawa istana)

Siapa itu para SUDRA ???

Para sudra adalah orang – orang yang bekerja di swasta, buruh, konsultan dan atau orang yang digaji orang lain karena usaha kerja kerasnya.

Siapa itu para WESIA ???

Para wesia adalah orang – orang yang Pemilik Usaha, Bisnisman, Investor yang memiliki karyawan dan menggaji orang lain untuk kemajuan usahanya.

Siapa itu para BRAHMANA ???

Para brahmana adalah orang – orang yang berprofesi sebagai guru, guru spiritual, pemangku (pinandita) dan Pandita (begawan, mpu, pedanda)

Hubungan di antara golongan pada warna hanya dibatasi oleh “dharma”-kewajiban yang berbeda-beda tetapi menuju satu tujuan yakni kesempurnaan hidup. Jadi, catur warna sama sekali tidak membeda-bedakan harkat dan martabat manusia dan memberikan manusia untuk mencari jalan hidup dan bekerja sesuai dengan sifat, bakat, dan pembawaannya sejak lahir hingga akhir hayatnya.

Sedangkan kasta merupakan penggolongan status sosial masyarakat dengan mengadopsi konsep catur warna (brahmana, ksatria, wesyia, dan sudra) yang gelar dan atribut namanya diturunkan dan diwariskan ke generasi berikutnya. Artinya, walaupun keturunannya tidak lagi berprofesi sebagai pendeta atau pedanda tetapi masih menggunakan gelar dan nama yang dimiliki leluhurnya yang dulunya menjadi pendeta atau pedanda. Ini sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang yang belum tentu atau tidak memiliki sifat-sifat brahmana harus disebut sebagai brahmana, dan juga terjadi pada kasta yang lainnya.

Terlebih lagi nama dan gelar warisan masing-masing leluhurnya sekarang ini semakin diagung-agungkan dan digunakan untuk mempertajam kesenjangan di antara golongan kasta yang ada. Tetapi, jika nama dan gelarnya yang dipakai keturunannya hanya dijadikan sebagai tanda penghormatan kepada leluhurnya, maka tindakan ini merupakan tindakan yang sangat mulia dan terhormat.

Transformasi Kekuasaan Di Bali
Menurut Agus Salim Pola perubahan sosial ada dua macam yaitu



Datang dari negara (state)
Datang dari bentuk pasar bebas (free market).Perubahan yang dikelola oleh pemerintah berorientasi pada ekonomi garis komando yang datang secara terpusat, sedangkan dari pasar bebas-campur tangan pemerintah sangat terbatas. Negara memberi pengaruhnya secara tidak langsung, sehingga pasar bebas lebih dominan. Jika pada bagian struktur kekuasaan masyarakat Bali telah disampaikan bagaimana sistem kekuasaan Bali melalui sistem kasta, namun setelah mendapat pengaruh globalisasi kehidupan masyarakat Bali yang diwujudkan dalam usaha pengalihan sistem kasta menjadi sistem warna. Adapun gambaran mengenai sistem warna dapat dijelaskan sebagai berikut.

Bagi sebagian orang di Indonesia dan mungkin sebagian masyarakat Bali tidak mengenal sistem Warna dalam masyarakat Bali karena selama ini mengenal bahwa sistem pembagian masyarakat Bali hanya berdasarkan kasta saja. Namun tidak dapat dipungkiri memang kasta telah menjadi suatu sistem pengelompokan dan pemetaan kuasa masyarakat di Bali.

Warna adalah suatu sistem pembagian atau pengelompokan masyarakat berdasarkan fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang tersebut bekerja sebagai seorang pendeta atau menjalankan fungsi-fungsi kependetaan maka dia akan berfungsi sebagai warna brahmana, jika orang tersebut bekerja sebagai pemimpin di masyarakat maka dia akan berfungsi sebagai wangsa ksatriya, atau jika seseorang bekerja sebagai seorang pejabat penting lainnya dia akan disebut sebagai orang yang menjalankan warna weisya, dan jika seseorang yang melaksanakan pekerjaan sehari-harinya sebagai buruh atau tenaga lepas dari seseorang maka ia dikatakan sebagai seseorang yang menjalankan fungsi sebagai warna sudra.

Akhir-akhir ini perdebatan mengenai kasta dan warna di Bali semakin menuai banyak pendapat, baik itu yang bersifat menerima apa adanya sebagai warisan leluhur, ada yang mencoba mengkritisi sebagai bentuk protes sosial dan upaya untuk menciptakan sirkulasi elit, ada yang mencoba memilahnya sesuai dengan situasi yang ada misalnya menerapkan konsep kasta ketika pada situasi adat istiadat namun menerima sistem warna sebagai praktek dalam kehidupan modern, dan terakhir ada yang menganggap bukan permasalahan serius ketika kekuasaan bisa diraih dengan berbagai macam cara.

Salah satu pendapat yang mencoba mengkritisi kasta dan warna, sebagaimana yang disampaikan oleh Made Kembar Kerepun, bahwa sistem Kasta di Bali merupakan sebuah rekayasa yang dibuat oleh masyarakat di Bali yang sangat cerdas dimana untuk menguatkan rekayasa tersebut para masyarakat yang disebut dengan aktor cerdas tersebut dengan sengaja membuat acuan-acuan dalam teks yang dalam kehidupan masyarakat Bali disebut dengan lontar yang bertujuan untuk membuat perlindungan utuk menguatkan rekayasa tersebut, dimana penulis mengemukakan sebagai payung hukum, dan pembenar. Made Kembar juga menyampaikan bahwa dengan adanya rekayasa tersebut telah merugikan, mensubordinasi, memarjinalkan, bahkan mendiskriminasi kaum di luar lingkungan Tri Wangsa dalam kehidupan sehari-hari.

Di Bali tranformasi kekuasaan pada masyarakat ditunjukkan oleh terjadinya pergeseran pada pemegang kekuasaan. Dimana pada kekuasaan dengan sistem kasta menempatkan Puri sebagai penguasa penuh, namun dengan adanya pengaruh pandangan baru terhadap masyarakat Bali merubah peta kekuasaan itu sendiri yang ditandai dengan lahirnya elit-elit baru di masyarakat Bali.

Selain dari dominasi terhadap jabatan Pemerintahan (Gurbernur dan Bupati), indikasi terhadap memudarnya kekuasaan Puri – puri di bali juga bisa dilihat dari munculnya elit-elit baru yang mampu menguasai sumber-sumber ekonomi masyarakat Bali. Dengan pengaruh globalisasi dengan sistem kapitalismenya adanya elit baru di bidang ekonomi tersebut membuat terjadinya pergeseran pandangan masyarakat terhadap siapa yang berkuasa, karena dengan melihat kondisi perekonomian masyarakat Karangasem maka masyarakat akan cenderung “ikut” pada pemilik modal.

Kekacauan Sisitim kemasyarakatan antara KASTA dan WARNA ini lama-lama menjadi kesalah-pahaman. Konsep kasta sangat bertentangan dengan konsep warna dalam ajaran agama hindu. Namun, kesalahan pemahaman tentang kasta dan warna masih saja terjadi dan terus berlangsung hingga sekarang ini. Misalnya, ada anggapan bahwa yang berhak menjadi rohaniawan (pendeta Hindu) hanyalah mereka yang keturunan Brahmana versi kasta, yang nama depannya biasanya Ida Bagus. Mereka yang tak punya nama depan Ida Bagus disebut bukan keturunan Brahmana, jadi tak bisa menjadi pendeta. Begitu pula kasta lainnya, yang berhak menjadi pemimpin hanya keturunan Kesatria. Orang seperti I Made Mangku Pastika yang tak punya “nama gelar” tak akan bisa menjadi pemimpin karena kastanya hanya Sudra. Kenyataan saat ini tentu sudah beda. Saya sendiri yang saat walaka (sebelum menjadi pendeta) bukan bernama awal Ida Bagus, toh nyatanya bisa menjadi pendeta atau Brahmana saat ini. Jika terjadi kesalahpahaman yang berkelanjutan maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi konflik, perpecahan, dan kekacauan di masa yang akan datang.

Tidak dapat dipungkiri banyak konflik yang terjadi akibat perbedaan kasta ini, seperti Konflik antar masyarakat yang terjadi pada Bulan Maret 2007 di Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung-Bali merupakan salah satu buntut dari tidak harmonisnya hubungan antara kaum brahmana dan sudra. Puluhan rumah kaum “kasta brahmana” dirusak dan dihanguskan oleh masyarakat sehingga masyarakat yang rumahnya hancur harus dievakuasi dan diamankan serta ditampung di MAPOLRES (Markas Polisi Resor) Klungkung. Perlu dipertanyakan kenapa ini terjadi? Tak bisa dibayangkan lagi bagaimana benci dan marahnya masyarakat terhadap kaum brahmana sehingga tega melakukan hal-hal yang anarkis ini. Belum ada penjelasan dari aparat berwenang mengenai penyebab kejadian ini. Walaupun demikian, patut diacungi jempol para masyarakat di sana bisa berdamai dan hidup berdampiangan kembali serta membuat pernyataan damai di antara masyarakat yang berkonflik.

Demikianlah kesalah-pahaman itu, akhirnya dikoreksi terus menerus setelah majelis agama Hindu (Parisada Hindu Dharma Indonesia) berdiri pada 1959. Jauh sebelumnya, yakni pada 1951, DPRD Bali sudah menghapus larangan perkawinan “antar-kasta” yang merugikan “Kasta” bawah seperti Sudra.

Kesulitan yang dihadapi dalam menghapus Kasta di Bali itu tentu karena masalah ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, bahkan berganti abad. Namun yang menyebabkan kesalah-pahaman itu bisa dijernihkan adalah adanya toleransi dan merupakan kesepakatan yang tak perlu ditulis, yakni masyarakat akhirnya memperlakukan nama-nama depan yang dulu merupakan gelar pemberian penjajah tetap bisa dipakai sebagai nama keturunan. Tetapi tidak ada kaitan dengan fungsi sosial, juga tak ada kaitan dengan ajaran Catur Warna. Artinya, siapa pun berhak menjadi Brahmana (rohaniawan atau pendeta), tidak harus dari keluarga Ida Bagus. Siapa pun berhak menjadi pemimpin (misalnya Bupati atau Gubernur), tak harus dari yang bergelar Kesatria versi kasta masa lalu.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Era modernisasi ikut mengubur perjalanan kasta di Bali. Banyak orang yang tidak memakai nama depan yang “berbau kasta”, dan nama itu hanya dipakai untuk kaitan upacara di lingkungan keluarga saja. Apalagi nama-nama orang Bali modern sudah kebarat-baratan atau ke india-indiaan. Juga faktor pekerjaan di mana orang yang dulu disebut berkasta Sudra, misalnya, kini memegang posisi penting, sementara yang berkasta di atasnya menjadi staf. Dengan demikian hormat-menghormati sudah tidak lagi berkaitan dengan “KASTA” yang feodal itu.

Ketika Mayor Jenderal Polisi I Made Mangku Pastika mencalonkan diri sebagai Gubernur Bali, ada elite politik di Jakarta yang tak yakin dengan kemenangannya. Alasannya ternyata sangat aneh. Dia mengatakan, pemimpin di Bali harus dari orang yang berkasta tinggi. Kalau kastanya rendah seperti Sudra tak akan bisa terpilih sebagai Gubernur Bali. Lantas dia menyebut nama gubernur-gubernur Bali sebelumnya, seperti Dewa Beratha, Ida Bagus Oka, Ida Bagus Mantra. Made Mangku Pastika dianggap berkasta Sudra.

Pernyataan ini membuktikan bahwa masalah kasta di Bali masih membingungkan banyak orang dan masalah kasta masih dikait-kaitkan dengan berbagai macam pekerjaan. Di Bali sendiri masalah kasta sudah tidak relevan lagi dibicarakan, dan boleh disebutkan sudah tidak lagi menjadi “kesalah-pahaman”. Mungkin hanya masih berlaku di pedesaan dan itu pun pada kalangan tua. Generasi muda Bali sudah lama meninggalkan kasta. Dengan demikian menjadi aneh terdengar justru di luar Bali orang masih membicarakan kasta dengan segala embel-embelnya seperti di masa lalu.

Ajaran Catur Warna dalam Hindu adalah menempatkan fungsi sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Orang boleh memilih fungsi apa saja sesuai dengan kemampuannya. Fungsi sosial ini bisa berubah-ubah. Pada awalnya semua akan lahir sebagai Sudra. Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan, atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya melekat pada diri orang itu saja. Kalau orangtuanya Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Kesatria atau Wesya. Begitu pula kalau orangtuanya Sudra, anaknya bisa saja Brahmana. Itulah ajaran Catur Warna dalam Hindu.

I Made Mangku Pastika pun bisa menjadi Gubernur Bali, yang kalau dikaitkan dengan kasta masa lalu, tergolong Sudra. Wakil Gubernur adalah Anak Agung Puspayoga, yang kalau dikaitkan dengan kasta masa lalu, tergolong Kesatria. Staf di kantor gubernuran banyak yang bernama depan Ida Bagus, yang jika dikaitkan dengan kasta masa lalu adalah Brahmana. Kalau saja kasta versi masa lalu masih dianggap eksis, tentu aneh Gubernur Bali orang Sudra, wakil dan stafnya orang Kesatria bahkan Brahmana. Ini tentu tak masuk logika, karena itu logikanya memang sudah tak benar.

Dari penjelasan diatas jelas sudah perbedaan pandangan mengenai kasta, warna, dan wangsa. Kita sebagai umat Hindu yang memiliki intelektual sudah menjadi kewajiban memahami konsep ini agar tidak terjadi pandangan yang salah yang dapat menyebabkan kesenjangan sosial antarumat Hindu lebih-lebih bisa menyebabkan konflik yang berkepanjangan. Namun, sekarang ini nampaknya ada usaha-usaha untuk semakin mempertajam kesenjangan umat Hindu khususnya di Bali. Sebagai contoh mengenai pembagian wewenang, hak dan kewajiban pendeta. Pedanda (pendeta yang berasal dari kalangan Kasta Brahmana) memiliki wewenang yang jauh lebih tinggi dari pada pemangku (pendeta yang berasal dari Kasta Sudra). Pendanda bisa menyelesaikan kelima upacara keagamaan yang ada dalam agama hindu di Bali yang lazim disebut sebagai Panca Yadnya.

Dalam Bhagawad Gita secara jelas disebutkan bahwa dasar persembahan kepada Tuhan adalah “keiklasan” dan sama sekali tidak berdasarkan besar atau kecilnya persembahan dan siapa yang menyelesaikan upacara karena semua manusia sama di hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Apa yang dijelaskan di dalam ajaran suci Agama Hindu ini juga mempertegas bahwa tidak ada perbedaan di antara kita semua. Kita semua mahluk Tuhan dan tak perlu lagi ada pengkotak-kotakan yang berakibat pada perpecahan. Cintailah semua ciptaan Tuhan, semoga damai!

Terbuktilah kini, bahwa kasta masa lalu itu sudah terkubur. Yang tetap berlaku adalah ajaran Catur Warna, orang diberi kebebasan untuk menjadi Brahmana, Kesatria, Wesyaa maupun Sudra, asalkan mampu.

Demikian pemaparan tentang Sistim Kasta di Bali Mudah - mudahaan semua mengerti tentang hal ini, buat yang tidak setuju mohon maaf kalo pemahaman ini salah.

Sumber : cakepane.blogspot.com