Sabtu, 15 September 2018

Memuja Leluhur atau Memuja Tuhan?




Baru saja ada yg mengatakan bahwa memuja Leluhur atau memuja Alam itu sama saja dg Memuja Tuhan. Karena kl dianalisa lbh dalam, leluhur pertama dr kita semua adalah Tuhan Juga. Spt dlm Mantram Gayatri yg disebut SAWITA. Dia adlh leluhur pertama. Demikian pula memuja alam sama dg memuja Tuhan, krn alam mendapatkan kekuatan juga dr Tuhan. Laut, Gunung, Matahari, sumber dr semua sumber energynya adalah Tuhan. Jd mwmuja kekuatan alam juga sama dg memuja Tuhan.
Tapi sejauh manakah hal itu benar dan bisa dipraktekkan dan bermanfaat untuk kemajuan Spiritual kita?
Saya akan mulai dgn mengulang sebuah kisah nyata yg pernah sy dengar:
Suatu hari seorang Guru hrs menjlaskan/menjawab pertanyaan yg mirip2 dg kasus di atas.
Pertanyaannya adlh: Kalau semua kerja adalah Brahma seperti dlm ajaran Madhuvidya (brahmacarya), bahwa makan, minum, tidur, mandi, sembahyang, memuja, dan apapun yg dilakukan adlh Brahma. Lalu mengapa kita harus melakukan sadhana, berbuat baik dsb?
Krn jawaban dr pertanyaan tsb bukan sebatas intelek, tp bgmn memahaminya maka sulit dijabarkan dg kata2, Guru menunggu sesaat dan....
Tiba2 Guru memukul murid tsb dg sangat keras tanpa ampun. Murid pun kaget dan menjerti kesakitan, tdk mengerti mengapa dia dipukul sedemikian. Apakah karena salah tlh bertanya demikian? Tapi dia tdk berdaya menerima kemarahan Guru. Setelah cukup, sambil trs memukulnya, Guru berkata, "Sekarang lihatlah Brahma (Guru) memukul Brahma (murid) dg Brahma(tongkat), dan Brahma merasakan Brahma (kesakitan)....
Lalu hening sejenak....
Setelah itu muridpun faham dan Guru menjelaskan, "Karena masih ada ego, dr aku yg kecil, maka Sadhana wajib dilakukan. Sampai realisasi "aham brahma asmi" sempurna dlm kesadaran dan belenggu dualisme terlampaui, saat itu, SEMUA KERJA ADALAH BRAHMA.
Nah kembali ke Topik pertanyaannya, apakah memuja leluhur tdk sama dgmemuna Tuhan? Jawabannya, bisakah kita melihat Tuhan saat memuja leluhur? Bisakah kita melihat Tuhan saat memuja ibu dan bapak? Bisakah kita melihat Tuhan ketika memuja Dewa dewa? Bisakah kita melihat Tuhan saat memuja alam spt Laut, Gunung, angin dsb ? Kl iya... maka TIDAK MASALAH. Pujalah Orangtua, leluhur, dewa dewa, roh alam dsb. seperti Weda mendeklarasikan
sarva khalu idam brahma....
Nyatanya, dlm keadaan terikat oleh maya, aku dan nafsu duniawi, orang memuju leluhur karena rasa takut, karena keterikatan badan kasar, hubungan darah, tradisi, dsb nya. Dgn keadaan demikian... bisakah kita berharap akan mendapatkan realisasi Tuhan dg memuja orang tua, leluhur dan roh alam?


klasifikasi bipatrisi


Klasifikasi Jagad
Konsep klasifikasi kosmik, atau cara pandang manusia atas tatanan jagad atau semesta alam. Klasifikasi jagad ini bukanlah barang baru di sudut-sudut Nusantara ini (Koerniatmanto Soetoprawiro, 1996). Dalam Ilmu Anthropologi konsep ini dikenal dengan klasifikasi bipatrisi (Rwa Bhineda), klasifikasi tripartisi (Tri Hita Karana), dan klasifikasi kuadripartisi (Catur Loka Phala).
a. Konsep Rwa Bhineda
Dalam konsep ini jagad dipandang sebagai sesuatu yang terdiri atas dua bagian yang saling bersebarangan, namun saling melengkapi dan saling tergantung. Tidak akan ada sesuatu yang disebut kiri apabila tidak ada sesuatu yang disebut kanan. Tidak ada wanita tanpa laki-laki. Jagad di dalam pandangan ini senantiasa bersifat dwitunggal. Loro-loroning atunggal, dalam bahasa Jawa.
b. Konsep Tri Hita Karana
Dalam konsep yang merupakan kontribusi Mpu Kuturan ini, wilayah dipandang sebagai sesuatu yang terdiri atas tiga bagian harmonis yang seimbang atau saling mengimbangi. Ketiga bagian tersebut adalah:
1) Uttama Mandala atau Wilayah Parhyangan atau alam dewa, dalam arti tereksanya relasi antara manusia dengan Sang Hyang Widhi Wasa.
2) Madhya Mandala atau Wilayah Pawongan atau alam manusia, dalam arti tereksanya relasi antara manusia dengan sesamanya.
3) Nishtha Mandala atau Wilayah Palemahan atau alam bawah, dalam arti tereksanya relasi antara manusia dengan alam semesta.
Hubungan yang serba harmonis ini terselenggara demi reksa kesejahteraan kehidupan atau sukerta sakala-niskala. Konsep ini dikenal pula sebagai konsep Triloka yang terdiri atas swahloka, bhwahloka, dan bhurloka.
c. Konsep Catur Lokapala
Konsep yang juga umum dikenal adalah konsep Catur Lokapala , atau yang di dalam budaya Jawa dikenal sebagai konsep Mancapat.
Dalam konsep ini jagad terdiri atas empat unsur atau elemen yang termanifestasi ke dalam empat penjuru mataangin (timur, selatan, barat, dan utara), yang bersatu dengan elemen kelima yang terdapat di pusat, menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Keempat elemen ini terdapat pula di jagad gede atau bhuwana agung maupun di bhuwana alit atau jagad cilik. Elemen-elemen padabhuwana agung itu adalah tanah, api, angin, dan air. Sedangkan elemen-elemen pada bhuwana alit adalah daging, sumsum, nafas,dan darah. Masyarakat Bali mengenal konsep ini juga dalam bentuk kanda mpat, panca maha bhuta, dan panca kosika (Hooykaas, 1974). Adapun konsep klasifikasi jagad menjadi enam atau delapan bagian itu merupakan varian dari konsep Mancapat itu sendiri


Rabu, 12 September 2018

Caru Rsi Gana






1. Pengertian
Kata Rsi Gana berasal dari dua suku kata, yakni Rsi dan Gana.
Rsi artinya pendeta yang sudah melakukan dwijati atau sudah mediksa.
Di India, istilah untuk menyebutkan para dwijati ialah Rsi maupun Bhagawan, yang sama-sama memiliki arti ‘beliau yang mulia’.
Dalam teks Brahmasutra, kata Rsi itu artinya ‘mantra drstarah iti rsih’ atau mantra drstarah yang melihat mantra itu, yang menerima wahyu itu dari Tuhan, dan menjalani wahyu itu.
Jadi secara umum, Rsi merupakan orang yang menerima pengetahuan suci dari Tuhan.
Sementara Gana, artinya hitungan atau kebijaksanaan.
Maka konsep Rsi Gana itu adalah, bagaimana orang melakukan sesuatu dengan penuh kebijaksanaan, berdasarkan wahyu Tuhan.

2. Banten
 Banten Caru Rsi Gana alit 
- Caru yi ulu, awak, ikut
- Nasi Rsigana dan lawar Rsigana 
- Sesayut Rsigana
- pemelaspas bambang n pemiak kala 
- Ganda Rsi 
- 2 pane 
- cane 

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Rsi Gana alit maka dia cukup menggunakan caru siap brumbun.
Rsi Gana alit yi membuat olah-olahan caru siap brumbun sebagai alas atau tatakan dengan urip 33, setelah itu barulah diisi dengan tetandingan Rsi Gana.
Menggunakan bebek putih jambul
Bisa juga dilakukan dengan Rsi Gana Madya, tambahannya adalah menggunakan caru manca sato.
Ada juga Rsi Gana Agung. Sebenarnya semua ini sama saja tetandingannya, tetapi alas atau tatakannya yang berbeda. Kalau yang agung ini, biasanya menggunakan kambing.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

3. MaknaDalam konsep Purana, Rsi Gana merupakan perwujudan Dewa Ganesha.
Gana itu mendapatkan winten oleh ayahandanya, Dewa Siwa, menjadi Rsi Gana.
Tujuan Dewa Siwa memberikan tugas itu pada Dewa Ganesha adalah dalam rangka melaksanakan tugas untuk meruwat ibunya, Dewi Uma, yang telah mengalami proses degradasi.
Yakni kemerosotan karakter dewata menjadi karakter keraksasaan yang tiada lain berupa Durga Dewi.
Itu berarti, Rsi Gana secara umum adalah Dewa Ganesha yang telah berubah status menjadi Rsi atau pendeta, yang memiliki tugas untuk meruwat Durga Dewi.
Dalam kaitannya ritual di Bali, bahwasanya setiap melakukan ritual tingkat palemahan (lingkungan), mungkin karena disebabkan oleh musih atau memang ingin mengembalikan alam ini menjadi original, disitulah peran penting caru Rsi Gana.
Karena alam-alam yang tidak harmoni diyakini sudah dipengaruhi Durga Dewi dengan cara menyebarkan para bhuta kala, jin, memedi, dedemit, bragala, bragali dan makhluk bersifat keraksasaan lainnya.
Maka dengan demikian, perlulah upacara Rsi Gana.
Sekarang kalau kita berbicara masalah Rsi Gana, apakah dia caru? Sebenarnya secara substansi dia tidak ditujukan kepada Durga Dewi.
Justru caru Rsi Gana atau tetandingan Rsi Gana itu menurut beberapa sumber, memang sebagai pengeruatan Durga Dewi agar agar kembali menjadi Dewi Uma.
Yakni, dari yang Ugra atau karakter keras (kroda) menjadi karakter yang Santhi.


Jadi Rsi Gana inilah sebenarnya akan menetralisir kekuatan Durga Dewi melalui puja Rsi Gana Stawa.
Menetralisir alam ini untuk berada pada posisi nol (0) atau damai kembali.
Rsi Gana ini tentu tidak berdiri sendiri, di sinilah kemudian ada yang disebut dengan alas atau dalam bahasa Bali disebut tatakan.
Tatakannya inilah caru itu. Kalau dia mengggelar Rsi Gana alit maka dia cukup menggunakan caru siap brumbun.

Jadi kesimpulannya, tujuan dari ritual Rsi Gana ini adalah mengambalikan alam ini ke unsur-unsur kedewataan. (*)

Artikel ini telah tayang di tribun-bali.com dengan judul Ngeruwat Durga Dewi dengan Caru Rsi Gana, http://bali.tribunnews.com/2016/08/01/ngeruwat-durga-dewi-dengan-caru-rsi-gana?page=2.
Penulis: I Wayan Eri Gunarta
Editor: Ida Ayu Made Sadnyari


Minggu, 09 September 2018

Sapta Sindhu dan Sapta Saraswati




Dewi Saraswati sangat populer di tradisi Hindu. Di luar India sendiri juga dipuja di daerah Asia yang lain yaitu Jepang, Tibet, Indonesia, dsb. Begitu banyak perwujudan Beliau dalam berbagai ekspresi ungkapan rasa bhakti. Dewi Saraswati menempati posisi yang sangat penting dalam sistem keyakinan Hindu sejak jaman Weda. Dewi Saraswati selalu dikaitkan dengan Ilmu Pengetahuan, Kebijaksanaan, Seni dan Kebudayaan. Sehingga Dwijati adalah dilahirkan melalui Saraswati bukan dari yang lain.
Oleh karena begitu pentingnya Saraswati maka berbagai hal yang terkait dengan ilmu pengetahuan…yakni pada lembaga-lembaga pendidikan, perpustakaan, dan yang lainnya yang terkait riset dan teknologi simbol dan nama dari Dewi yang cantik yang merupakan icon Ilmu Pengetahuan pasti akan dapat ditemukan serta juga digunakan untuk nama seseorang.
Konsep Saraswati dan pemujaanNya dapat ditemukan di kitab suci yang tergolong Maha Purana (Weda ke-5):
Padma Purana
Lingga Purana
Bhagawata Purana
Dewi Bhagawata Purana
Brahma Wiwarta Purana
Brahma Purana
Wisnu Purana
Wama Purana
Skanda Purana
Agni Purana
Matsya Purana
Dewi Saraswati dipuja dengan penuh keagungan dan dimohonkan anugrahNya sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan, Dewi Sungai, Dewi Kemakmuran secara mantap dan khidmat.

Selasa, 04 September 2018

pembebasan akhir, dengan Yoga, pernafasan.



Dagang Banten Bali



CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Sistem filsafat Rasesvara menghadirkan tahapan puncak dari sistem pengobatan India yang disebut ayur Veda dan diantara  delapan) cabang ayur Veda yang dikenal baik, pengobatan, pembedahan dan kebidanan. Sistem Rasesvara  menghadirkan suatu dorongan pada konsepsi Rasayana yang lebih awal. Menurut Caraka, Rasayana berhasil dalam memperpanjang umur, memperkuat ingatan, membuat awet muda  dan sebagainya.
Rasesvara menyatakan bahwa masalah kimia merupakan suatu  ilmu pengetahuan yang berguna. Ia menyatakan bahwa air raksa yang diproses dan dimurnikan  dengan cara seperti yang diberikan dalam kepustakaan Rasesvara, apabila dicampur dengan logam, seperti: besi, tembaga, perak, dan timah dalam proporsi 1atau1000 dari total berat logam lainnya itu, akan merubahnya menjadi emas. Rasesvara memberikan imformasi tentang segala sesuatu yang diperlukan  guna pemrosesan dan pemurnian air raksa. Ia memberikan penjelasan tentang warna, rasa dan bau serta rincian lain untuk mengidentifikasi rerumputan untuk obat-obatan serta menyatakan tentang ciri-ciri tempat, dimana ia dapat ditemukan. Logam dapat diberi suatu warna dan warna dari logam asli dari logam dapat dirubah dan menunjukkan tata cara melakukan hal itu. Ia dapat memroses dan memurnikan air raksa, yang apabila dipergunakan dapat membuat badan yang mempergunakannya dapat berjalan di atas air, dapat pergi ribuan kilometer tanpa merasa lelah, tak dapat dibelenggu dengan rantai besi, tak dapat dilukai oleh senjata apapun, dan tak terbakar oleh api, dapat terbang di udara, dapat berbicara dengan dewa-dewa di surga dan dapat kembali ke bumi.
Menurut Rasesvara, tak ada pertentangan antara ilmu pengetahuan dengan agama dan keduanya berjalan bergandengan. Ada pelaksanaan keagamaan tertentu yang tetap terpelihara dan upacara keagamaan tertentu yang dilakukan agar mencapai keberhasilan dalam memeroses dan memurnikan air raksa, sedemikian itu agar terbebas dari kematian, penyakit dan usia tua. Pengulangan secara internal rangkaian suara simbolik tertentu (mantra japa), inisiasi spiritual dan pemujaan bentuk phalus dari Saiva , menggenakan air raksa (rasa Liņgam), semuanya diperlukan dan akhirnya keberhasilan tergantung kepada anugerahNya.
Rasesvara Saivaisme tidak mengakui teknik dari Nyaya, Vaisesika, ataupun Vedanta. Ia mengambil teknik dari Saivaisme dualis; sehingga dalam Rasarnava, ditemukan referensi tentang Sakti pada dan Pasa, dimana Isa dan SadaSaiva  juga dinyatakannya. Rasesvara Saivaisme menghadirkan Mahesvara, Tuhan tertinggi sebagai Mahatahu dan Mahakuasa, yang pada pokoknya halus (suksmarupa) dan bebas dari segala ketidakmurnian, (niranjana). 


Tuhan tertinggi dinyatakan menciptakan dan menghancurkan segala sesuatu  dengan kehendakNya. Segenap alam semesta muncul dari padaNya, memiliki keberadaan di dalamNya dan secara pokok identik denganNya. Roh pribadi, diakui identik dengan yang tertinggi dan setelah menghilangkan segala ketidakmurnian dapat memperoleh pembebasan melalui anugrahNya. Pembebasan dalam kehidupan ini (jìvanmukti) merupakan kesadaran tentang identitas sang roh, yang ada  di dalam badan yang abadi dengan Saiva .
Rasesvara Saivaisme sangat meragukan pembebasan setelah kematian yang dijanjikan oleh beberapa aliran pemikiran filsafat. Tak ada bukti langsung untuk meyakinkan kita bahwa pembebasan setelah kemetian benar-benar ada, sehingga  kita dapat mengikuti jalan seperti yang dinyatakan olehnya tanpa keragu-raguan pada pikiran kita tentang pencapaian yang obyektif.
Raseśvara Saiva isme mengakui ada tiga tahapan pembebasan, yaitu Jìvanmukti, Salokya, dan Saiva ta (Gamana). Pembebasan akhir menurut Rasesvara Saivaisme adalah pencapaian kesamaan dengan Saiva . Ia mengakui bahwa pengetahuan merupakan cara untuk pembebasan akhir, dengan melaksanakan Yoga, yaitu dengan pengendalian pernafasan.

Advaita Saiva isme dari Nandikesvara
Advaita Saivaisme didirikan oleh Nandikesvara dengan menyusun kitab Nandikesvara Kasika, dan diulas oleh Upamanyu dalam Tattva Vimarsini. Para bijak atau para murid sistem tata bahasa Pasini dari Advaita Saiva isme ini antara lain: Nandikesa, Patanjali, Vyaghrapat,  dan Visistha. Mereka merenungkan Saiva  untuk mendapatkan ilham dan sebagai anugerahnya Saiva  muncul di hadapan mereka dengan memukul genderang tangannya (damaru). Suara yang dikeluarkannya secara simbolis memberikan 14 sutra.


Sutra-sutra yang diketemukan pada permulaan dari Astadhyayi-nya Pasini, merupakan gambaran yang jelas dari suara genderang tangan Saiva  yang kurang jelas. Para  bijak memungkinkan untuk memahami arti dari Sutra-Sutra tersebut yang diperjelas oleh Nandikesvara dan ia menguraikan artinya dalam 26 buah sloka, dalam Nandikesvara Kasika. Dalam Nandikesvara Kasika, hanya terdapat 1 sloka, yaitu sloka nomor dua yang merupakan pedoman dari Pasini yang ditujukan oleh Nagesa  dalam Udyota-nya. Dikatakan bahwa huruf terakhir pada akhir setiap sutra dari ke 14 sutra diperuntukan bagi Pasini untuk membangun sistem tata bahasa, sedangkan sisanya menghadirkan satu sistem monistik  dari filsafat Śaiva.
Advaita Saiva isme atau Nandikesvara Saiva  memiliki kecenderungan mistik yang lebih mendominir, karena situasi yang memungkinkan untuk menjelaskan sistem ini adalah mistik. Para bijak melakukan pertapaan untuk mendapatkan  penerangan mistis, seperti anugerah yang diberikan oleh Saiva  kepada mereka yang tampak secara mistis  dan mereka mengajar bahwa realitas melampaui semua katagori; yaitu Sang Diri.
Nandikesvara menafsirkan tentang sutra pertama dari Mahesvara Sutra tentang realitas metafisika yang didentifikasikan dengan huruf pertama  “á A” sebagai Brahman yang bebas dari segala gusa yang ada pada segala sesuatu dan dalam semua wujud perkataan. Merupakan sumber dan asal mula dari semua huruf dan asal mula dari segenap alam semesta. Brahman menjadikan diriNya sendiri sebagai alam semesta melalui dayaNya yang disebut Citkala atau CitSakti, sehingga disebut Isvara. Huruf “ í I dan ś U” dalam sutra tersebut maksudnya Daya (Citkala) dan Tuhan.
Citkalā ditafsirkan sebagai Maya, sehingga menjadi jelas bahwa kata Maya dalam Nandikesvara Saiva  berarti kehendak yang bebas (svatantrya), karena sistem ini mengakui bahwa alam terwujud atas kehendaknya. Maya adalah Manovati, yaitu kegiatan pikiran yang diwujudkan oleh Tuhan. Jadi Maya berbeda dengan Sakti,  seperti dalam filsafat Saiva  lainnya yang berarti ketidaktahuan, semu atau khayalan. Brahman sebagai perkasa berbeda dengan “Aku” sebagai “Citkala” dan tak dapat dipisahkan antara kedua.
Mengenai hubungan antara Brahman dan Sakti  dapat ditemukan dalam penafsiran sutra kedua,  yaitu Brahman adalah pikiran,  dan Maya adalah kegitan yang berwujud. Brahman sebagai keberadaan yang aktif, keberadaanNya tak dapat dipisahkan, seperti bulan dengan sinarnya, seperti kata dengan artinya.


Nandikesvara  adalah filsafat monistik yang merupakan ciri dari filsafat tata bahasa. Ia mempergunakan Brahman atau huruf “ á A” dengan Para, seperti yang dinyatakan oleh Nagesa di bawah pengaruh Saivagama. Ia membicarakan Para sebagai Jnapati murni atau jnaptimatra. Kata Jnapati adalah sebagai sinonim dari Citi, Patanjali seorang bijak Nandikesvara Saiva, dalam Yoga sutraNya dalam menyatukan sang diri mempergunakan kata “citi dan daśi” dalam menyatukan sifat yang utama.
Pandangan monistik yang ditunjukkan pada dasar sùtra “R L K” berarti bahwa kaitan antara Brahman dan dayanya, sama dengan kaitan antara s A dan i I demikian pula antara satu  “ a A” dengan dengan yang lain. Nandikesvara Saiva  merupakan suatu sistem monistik karena ia mengakui identitas dari pikiran dan potensialitasnya dan kegiatan dari Siva dan sakti atau Barhaman dan Citkala. Hubungan antara Brahman dengan alam semesta bukanlah hubungan antara si pencipta dengan ciptaanNya. Alam semesta keberadaannya tidak terpisah dengan Brahman, seperti kendi dengan si pengrajin gerabah (pembuat gerabah). Demikian juga realitas transendental (nirgusa) dan immenent (sagusa) adalah identik, karena yang belakangan merupakan perwujudan dari yang pertama. Semua katagori merupakan manifestasi dari Barhman.


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Minggu, 02 September 2018

TATA TITI LENGKAP INDIK NGABEN



Dagang Banten Bali


TATA TITI LENGKAP INDIK NGABEN
PENGERTIAAN NGABEN DAN PITRA YADNYA


Ngaben sering dipersepsikan dengan arti negatif yaitu “ngabehin” (berlebihan). Ada pula yang menyebut “ngabin” atau nampa. Ada juga yang mengartikan “Ngabuin” (menjadikan abu. Ngaben asal katanya “Api”, mendapat prefix ang menjadi “ngapi”, kemudian mendapat suffix “an” menjadi “ngapen”. Kemudian terjadi perubahan fonem P menjadi B menjadi ngaben. Upacara ngaben merupakan proses pengembalian unsur Panca Maha Butha kepada Sang Pencipta. Kekuatan Panca Maha Butha menciptakan adanya “Stula Sarira” yaitu Pertiwi (kulit), Teja (darah daging), Akasa (urat-urat), Bayu (tulang belulang), Apah (sumsum). Ada juga yang mengartikan lain, ngaben berasal dari kata beya (biaya atau bekal). Dari ngaben muncul kata meyanin atau ngabeyanin yang disingkat menjadi ngaben. Ngaben juga disebut sebagai Pitra Yadnya (Lontar Yama Purwana Tattwa). Pitra artinya leluhur atau orang yang mati, yadnya adalah persembahan suci.
Runtutan upacara Pitra Yadnya
1. Upacara Atiwa-tiwa
2. Upacara Pengabenan
3. Upacara Pemukuran (Penyekahan)
4. Upacara Pengelemijian
5. Upacara Pengrorasan (pada pengabenan)
6. Upacara Nilapati (ngunggahang Betara Hyang)
Tahapan ini dapat diringkas menjadi empat bagian yaitu:
1. Atiwa-tiwa
2. Pengabenan
3. Pemukuran/Penyekahan/Pengerorasan
4. Nilapati.
Upacara Atiwa-tiwa memiliki tatanan upacara sebagai berikut:
1. Ngeringkes (Upacara mebersih dan penyucian atau ngeringkes).
2. Upacara menghaturkan Saji Pitra
3. Upacara Pepegatan
4. Upacara Pengiriman
5. Upacara Pengrorasan

MAKNA UPACARA ATIWA-TIWA
Asal kata Atiwa-tiwa: Ati = berkeinginan, Awa = terang atau bening atau bersih. Artinya: Keinginan melaksanakan pebersihan dan penyucian jenasah dan kekuatan Panca Maha buthanya. Atiwa-tiwa juga disebut upacara melelet atau upacara pengeringkesan. Merupakan upacara pebersihan dan penyucian secara permulaan thd jenasah dari kekuatan Panca Maha Butha. Dikenal dg Puja Pitara utk meningkatkan kesucian Petra menjadi Pitara.


Ngeringkes atau Ngelelet pengertiannya adalah pengembalian atau penyucian asal mula dari manusa yaitu berupa huruf2 suci sehingga harus dikembalikan lagi. Manusia lahir diberi kekuatan oleh Sang Hyang Widhi berupa Ongkara Mula, didalam jasad bermanifestasi menjadi Sastra Mudra, Sastra Wrestra (Nuriastra) dan Sastra Swalalita. Ketiga kekuatan sastra ini memberi makna Utpti, Stiti, Pralina (lahir, hidup, mati). Ketiga sastra ini kemudian bermanifestasi lagi memberi jiwa kepada setiap sel tubuh. Sebagai contoh Sastra Wrestra (Nuriastra) antara lain:
1. A = kekuatan pada Ati Putih
2. Na = kekuatan pada Nabi (pusar)
3. Ca = cekoking gulu (ujung leher)
4. Ra = tulang dada (tulang keris)
5. Ka = pangrengan (telinga)
6. Da = dada
7. Ta = netra (mata)
8. Sa = sebuku-buku (sendi)
9. Wa = ulu hati (Madya)
10. La = lambe (bibir)
11. Ma = cangkem (mulut)
12. Ga = gigir (punggung)
13. Ba = bahu (pangkal leher)
14. Nga = irung (hidung
15. Pa = pupu (paha)
16. Ja = jejaringan (penutup usus)
17. Ya = ampru (empedu)
18. Nya = smara (kama)

Tubuh manusia memiliki 108 Sastra Dirga (huruf-huruf suci) yang pada waktu meninggal sastra2 itu dikembalikan ke sastra Ongkara Mula atau disebut Ongkara Pranawa. Proses pengembalian ini disebut Ngeringkes yang memerlukan upacara dan sarana. Atiwa-tiwa sudah merupakan pensucian tahap permulaan, sehingga setelah atiwa-tiwa jenasah sudah bisa digotong dinaikkan ke paga atau wadah. Jika dikubur tanpa atiwa-tiwa sesungguhnya jenasah tidak boleh digotong, tetapi dijinjing karena masih berstatus Petra.


FILOSOFI PENGABENAN DARI GUGURNYA RESI BISMA
Pengabenan umat Hindu menggunakan filosofi yang diambil dari Gugurnya Resi Bisma dalam perang Berathayudha ditengah Kuru Setra. Badannya penuh dengan panahnya Sang Arjuna. Setelah rebah bdanya sama sekali tidak menyentuh tanah krena disangga ribuan panah. Resi Bisma gugur karena pembeyaran sumpahnya Dewi Amba yang reinkarnasi menjadi Sri Kandhi. Senjata Sri Kandhi yang pertama kali menembus kekebalan badannya Resmi Bisma, setelah kekebelannya hilang sbg pembayaran sumpahnya Dewi Amba, kemudian senjatanya Dresta Jumena dan ribuan panahnya Arjuna menembus seluruh tubuh Resi Bisma. Nilai-bilai yang dapat diambil dari sini adalah:
1. Resi Bisma. Resi adalah orang yang telah mencapai tingkat kesucian tinggi. Dari sini diambil filosofi bahwa jasad harus melalui proses penyucian. Bisma berasal dari kata Wisma atau tempat atau wadah, yaitu wadahnya Sang Jiwatman atau Stula Sarira atau unsur-unsur Panca Maha Butha. Kata Resi Bisma mengandung filosofi proses penyucian terhadap Panca Maha Butha.
2. Sri Kandhi. Sri = sinar suci (Div) kemudian menjadi Dewa. Kandi = kanda = dudonan atau tahapan.
3. Dresta Jumena: Dresta = pedoman
4. Seribu panahnya Sang Arjuna (Sang Dananjaya) = Dana dan Jaya artinya tulus iklas. Angka 1000 diambil dari angka Samkhiya adalah mengembalikan unsur Panca Maha Butha dari alam Bhur Loka ke Swah Loka (kehadapan Sang Pencipta).
5. Mohon toya pemanah (Toya Manah). Air minum yang diminta oleh Rsi Bisma diberikan oleh Duryudhana mempergunakan sebuah Kundi Manik sebagai simbul indriya, ditolak oleh Rsi Bisma sebagai simbol penolakan indria (tidak lagi ngulurin indria), lalu minta kepada Arjuna, digunakan sebuah anak panah (manah = intuisi = keneh, suara hati), air muncrat dari tanah (air klebutan). Ini merupakan dasar filosofi Manah Toya. Tirta Pemanah artinya: toya berasal dari sindhu atau hindu atau windhu artinya kosong atau sunya. Pemanah artinya: pe dan manah = alam pikiran. Tirta Pemanah = untuk mengembalikan Panca Maha Butha berdasar ketulusan hati.
6. Tiga anak panah sebagai bantal Rsi Bisma sbg simbul leluhur, juga mengandung makna Gegalang pisang kayu dan pis bolong 250 kepeng.
7. Air untuk membersihkan badan diminta kepada Duryudana, diberikan menggunakan tempayan emas, tapi ditolak, sebagi simbul penolakan segala gemerlap duniawi. Arjuna menggunakan dua panah dipanahkan keatas kmd panah pertama jatuh diatas kepala Resi Bisma, dan panah yang satunya lagi jatuh di kaki. Oleh karena itu pembersihan harus dimulai dari kepala. Dari sini diambil filosofi Toya Penembak yang diambil dari Campuhan pada tengah malam tanpa lampu (gelap) dan diambil oleh sanak keluarga. Maknanya sebagai sarana pemrelina mantuk maring Sangkan Paran (Ah … Ang) dan untuk menetralisir awidyanya sang lampus. Toya Penembak: pe = pemutus; nembak = pembuka jalan. Tirta Penembak: untuk memutuskan agar terbentuk jalan ke Sunya Mertha.
8. Menjelang menghembuskan nafas terakhir Rsi Bisma berpesan kepada Arjuna agar jasadnya dibakar menggunakan senjata Geni Astra yang disimbulkan sebaga tirta pengentas. Tirta Pengentas: Pe = pegat, ngen = ngen-ngen = trena, tas = hangus. Tirta Pengentas untuk memutuskan dan menghilangkan Tresna agar kembali kepada kekuatan amertha yaitu ke Siwa Merta.
9. Senjatanya Dresta Jumena adalah pelukatan. Dresta = sima = adat. Jumene = jumeneng = dikukuhkan sebagai pedoman.
10. Page yang dipakai untuk pebersihan menggunakan paga karena badan Resi Bisma tidak menyentuh tanah melainkan ditunjang oleh panah.
11. Penggunaan page dan leluhur merupakan ciri unsur bhur, bwah, swah loka.


UPAKARA ATIWA-TIWA
1. Upakara Munggah di Kemulan
Peras, soda, daksina, suci alit asoroh, tipat kelanan, canang suci.
2. Upakara Munggah di Surya
Peras, soda, daksina, tipat kelanan, canang pesucian
3. Upakara disamping jenasah
Peras, soda, daksina. Tipat kelanan. Banten saji pitara asele. Peras pengambean, penyeneng, rantasan. Eteh-eteh pesucian, pengulapan, prayascita, bayekawonan. Banten isuh-isuh, lis degdeg (lis gede), bale gading (Kereb Akasa).
4. Upakara Pepegatan
Pejati asoroh, banten penyambutan pepegatan angiyu, sebuah lesung, segehan sasah 9 tanding.
5. Upakara Pengiriman
Pejati lengkap 4 soroh (termasuk pekeling di Prajapati), Saji Pitra asele, punjung putih kuning, tipat pesor dan nasi angkeb, Peras Pengambean, segehan sasah 9 tanding.
6. Upakara Pengentas Bambang
Pejati lengkap asoroh, tumpeng barak, soda barak ulam ayam biying mepanggang, prayascita, bayekawonan, pengulapan, segehan barak atanding.
7. Upakara di Sanggah Cucuk
Pejati asoroh, canang payasan, banten peras tulung sayut.

UPACARA PENGABENAN MEWANGUN
Semua organ tubuh (sebagai awangun) memperoleh material upakara sehingga upakaranya banyak. Ngaben jenis ini diikuti dengan Pengaskaran. Ada dua jenis: (1) Upacara Pengabenan mewangun Sawa Pratek Utama, ada jenasah atau watang matah. (2) Upacara Pengabenan mewangun Nyawa Wedana, tidak ada jenasah tetapi disimbulkan dg adegan kayu cendana yang digambar dan ditulis aksara sangkanparan. Nyawa Wedana berasal dari kata Nyawa atau nyawang (dibuat simbul). Wedana = rupa atau wujud. Dengan demikian Nyawa Wedana artinya dibuatkan rupa2an (simbolis manusia).

UPACARA PENGABENAN PRANAWA
Pengabenan dengan sarana upakaranya ditujukan kepada 9 lobang yang ada pada diri manusia. Pranawa berasal dari kata Prana (lobang, nafas, jalan) dan Nawa (artinya 9). Kesembilan lobang yang dimaksud adalah:
1. Udana (lobang kening), mempengaruhi baik buruknya pikiran
2. Kurma (lobang mata) mempengaruhi budhi baik atau buruk , terobos ke dasendriya
3. Krkara (lobang hidung), pengaruh Tri Kaya, jujur atau tidak
4. Prana (mulut). Dosa bersumber dari mulut (Tri Mala Paksa)
5. Dhananjya (kerongkongan). Kekuatan mempengaruhi manah – sombong dan durhaka
6. Samana (lobang pepusuhan), pengaruh jiwa menjadi loba dan serakah.
7. Naga (lobang lambung) pengaruh karakter yang berkaitan dg Sad Ripu
8. Wyana (lobang sendi) pengaruhi perbuatan memunculkan Subha Asubha Karma.
9. Apana (pantat kemaluan) pengaruhi kama yg berkaitan denga Sapta Timira.
Kesembilan lobang manusia ini dapat mengantar manusia kelembah dosa. Pengabenan Pranawa juga diikuti dengan upacara pengaskaran.


GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Ada lima jenis Pengabenan Pranawa
1. Sawa Pranawa: Disertai jenasah atau watang matah
2. Kusa Pranawa : dg watang matah atau hanya dengan adegan saja. Adegannya disertakan pengawak dari 100 katih ambengan. Memakai upacara pengaskaran.
3. Toya Pranawa. Sama dg Kusa Pranawa, hanya didalam adegannya berisi payuk pere, berisi air dan dilengkapi dengan eteh2 pengentas. Juga memakai Pengaskaran.
4. Gni Pranawa. Sama dengan pranawa lainnya, juga melakukan pengaskaran tapi pengaskaran nista yang dilakukan di setra setelah sawanya menjadi sekah tunggal. Tanpa uperengga seperti Damar kurung, tumpang salu, pepelengkungan, ancak saji, bale paga, tiga sampir, baju antakesuma, paying pagut. Hanya memakai dammar layon, peti jenasah dan pepaga/penusangan.
5. Sapta Pranawa. Upaca ini dilakukan dirumah, menggunakan damar kurung dan pengaskaran. Tapi tidak menggunakan Bale Paga pd waktu mengusung jenasah ke setra. Hanya menggunakan pepaga/penusanganb. juga dilaksanakan langsung di setra tapi pelaksanaan pengabenannya mapendem, serta pelaksanaan pengentasnya diata bambang.

PENGABENAN SWASTHA
Pengabenan sederhana, dengan tingkat terkecil karena tidak dengan pengaskaran. Berarti tidak menggunakan kajang, otomatis tanpa upacara Pengajuman Kajang. Tidak menggunakan bale paga, damar kurung, damar layon, damar angenan, petulangan, tiga sampir, baju antakesuma dan payung pagut. Hanya menggunakan peti jenasah dan Pepaga/penusangan untuk mengusung ke setra. Pelaksanaan upacara di setra saja. Pengabenan Swastha Geni ini sering rancu dengan pengabenan Geni Pranawa.
Swasta asal katanya “su” (luwih, utama). Astha berasal dari Asthi (tulang, abu). Dengan demikian Swastha berarti pengabenan kembali ke intinya tapi tetap memiliki nilai utama. Pengabenan swstha terdiri dua jenis:
1. Pengabenan Swastha Geni. Penyelesaian di setra dengan cara membakar jenasah maupun tanpa jenasah. Hanya ada pelaksanaan “pengiriman” setelah dibuatkan bentuk sekah tunggal, kemudian dilanjutkan dengan upacara nganyut. Setelah itu selesai.
2. Pengabenan Swastha Bambang. Semua runtutan pelaksanaannya upakaranya dilaksanakan di atas bambang penguburan jenasah. Kwantitas upakaranya sama dengan pengabenan Swastha Geni hanya saja dalam upakaranya ditambah dengan “pengandeg bambang”. Pengabenan swastha bambang ini tidak disertakan upacara pengerekan dan penganyutan , karena tidak dilakukan pembakaran melainkan dikubur. Sedangkan “pengelemijian” dan pengerorasan tetap dilaksanakan seperti ngaben biasa. Pengabenan Swastha Geni atau Swastha Bambang termasuk pengabenan nista utama, tidak memakai bale paga, tidak melaksanakan pengaskaran dan pada saat ke setra memakai tumpang salu saja.
3. Pengabenan Kerthi Parwa. Termasuk pengabenan tingkat nistaning utama. Dilakukan pada umat Hindu yang gugur di medan perang. Tidak dilakukan pengaskaran, hanya upacara ngentas dan pengiriman saja. Pelaksanaanya seperti pengabenan Swastha Geni.
4. Pengabenan Ngelanus. Sebenarnya tidak termasuk bagian dari jenis pengabenan. Hanya teknisnya yang dibuat cepat. Ada dua jenis:
a. Ngelanus Tandang Mantri. Pengabenan dan pemukuran diselesaikan dalam satu hari. Pengabenan ini mengacu pada sastra agama “Lontar Kramaning Aben Ngelanus”. Disebut juga dengan Pemargi Ngeluwer. Pengabenan ini hanya untuk para Wiku, tidak diperkenankan untuk walaka.
b. Ngelanus Tumandang Mantri. Dilakukan untuk walaka dalam kurun waktu satu sampai dua hari untuk para walaka . Upakara dan upacaranya tergantung kwantitas upakara dan upacaranya.


TATA CARA NYIRAMANG LAYON
Persiapan sarana
1. Tirta:
a. Tirta penglukatan pebersihan dari wiku
b. Tirta peleletan dari wiku
c. Tirta Pekuluh dari mrajan.
d. Tirta khusus:
i. Tirta Pengentas Bangbang: selesai atiwa-tiwa jika jenasah akan dikubur atau mekingsan di Gni, sebaiknya menggunakan tirta diatas agar sewaktu-waktu bisa ngaben. Jika tidak maka sebelum setahun tidak boleh ngaben
ii. Tirta SH Prajapati: bila jenasah dikubur atau mekingsan di Gni mempergunakan tirta ini, krn tirta ini memiliki kekuatan pengembalian ke sumbernya. SH Prajapati bersifat Mulaning Mula (wit = sumber). Prajapati adalah tempat kehidupan bermula.
2. Persiapan sarana pebersihan
Toya kumkuman, Sisig ambuh, Sisir dan petat, Minyak rambut, Wastra pesalin sepradeg, Boreh kuning, Kain pengusap rai, Kain pengusap raga.
3. Persiapan Sarana Penyucian:
a. Gegaleng 1 ijas pisang kayu 9 atau 11 bulih, belayag berisi uang kepeng 225/250 biji, tebu ratu mesurat sangka paran, semuanya dibungkus kain putih. Ada juga yang menyebut Bantal Segi Tiga sebagai gegaleng.
b. Momon (cincin mirah Windhusara) utk ngerajah dan momon. Simbul menetralkan sifat serakah manusia (momo) semasa hidupnya. Juga untuk mencegah bau busuk. Secara niskala simbul Jiwatma yang telah meninggalkan jenasah.
c. Beberapa lembar kain putih yang dirajah huruf Modre (kajang).
d. Simbul penyucian organ tubuh sensitif yang menimbulkan kama dan indriya selama hidupnya. Penukup yang dimaksud ialah: Penukup Siwa dwara (ubun-ubun), Penukup dua daun telinga, Penukup lambe (mulut), Penukup muka atau prerai, Penukup purus atau baga (kemaluan).
e. Sebatang tebu ratu dan batang kayu sakti, disurat sbg Panca Datunya.
f. Wewalungan (tulang belulang) yang dirangkai diletakkan diatas layon.
g. Umbi skapa diiris-iris (usapang pada setiap persendian jenasah, sbg simbul penyucian wyana dari dasa prana).
h. Daun intaran (simbul ardha Chandra). Kuncup kembang melati (pusuh menuh) untuk lubang hidung simbul SH Waruna. Bunga teleng putih (slagan alis)
i. Daun delem (untuk telinga) sbg simbul SH Kwera.
j. Malem 2 pulung (untuk lubang telinga), simbul apah, simbul Sang Blegode.
k. Keramas (santen berisi air dapdap). Blonyoh putih (beras kencur), blonyoh kuning (beras kencur temutis). Juga bebek anget-anget. Kapas.
l. Pecahan cermin 2 buah untuk kedua netranya. Simbul Teja (SH Surya Candra).
m. Tali penyalin secukupnya
n. Bebek (serbuk cendana) secukupnya. Taburi seluruh tubuh sbg simbul Pertiwi (SH Carman).
o. Sebidang daun tunjung berisi kain hitam dan semburan (boreh) rempah-rempah utk sedaka lanang. Sedaka istri memakai sebidang daun tuwung bolo 3 lembar dilapisi kain hitam berisi rempah2 (anget2) pada kemaluan, simbul SH Smara.
p. Pisau “sudha mala” atau pemutik untuk mekerik (lanang), pisau mejejahitan untuk istri. Pisau Sudha Mala (ujungnya tri sula) utk menetralisir kekuatan Sadripu dan Sapta Timira yang kelak mempengaruhi perbuatan (karmanya). Dari Tatwa: penyucian Dewa Kuku (SH Kenaka Manik) yang telah dikotori perilaku manusia (lontar Tutur Agastyaprana).
q. Dua untai benang tetebus (benang putih) untuk ituk-ituk. Untuk ikat ibu jari kaki dan tangan. Simbul penyatuan Panca Budhindriya dengan Panca Karmendriya agar menyatu dengan manah untuk kembali ke Ahamkara.
r. Sebuah ante dari bambu, ditulisi aksara suci di bagian kepala, ulu hati dan kaki. Sebidang tikar plasa yang sudah dirajah
s. Tiga buah kereb Sinom. Kereb Sinom dibuat dari daun enau muda dan bunga pinang (blangsah buah) dianyam 10-15 Cm, panjang 75-90 cm. Kereb Sinom adalah simbul Tri Kaya, bahwa Rokh mendapat sorga tergantung hasil Tri Kayanya (Karma Wasana).
t. Upakara Beyakala, jejaritan Bale Gading dan lis degdeg.
u. Kain putih untuk menggulung. Kain putih melelancing dengan lapis kain 11 lapis (untuk kajang solas)
v. Dua lempeng perak dibungkus tiga helai daun kayu sakti sebagai pegembelnya. Kepingan waja 4 tebih (untuk gigi) simbul Bayu, simbul dari SH Bayu.
w. Peti jenasah yang sudah diupacarai, tumpang salu, pepelengkungan. Ancak saji: pagar tempat jenasah dibaringkan.
x. Kain putih berisi sesuratan dedayang sebagai sarana ulon.
y. Sebuah pelepah Pisang Udang Sabha (warga Pasek sesuai Bhisama menggunakan daun biyu kaikik), nantinya ditindih oleh jenasah. Ditulis huruf “Rwa Bhinneda”. Kata Udang = Uda + Ang. (Uda = air = Wisnu = Ung) (Ang = Ah = Sunia). Daun Pisang Udang Saba bermakna: “karmanyalah menentukan sorga (sunya loka) atau tidak.

4. Persiapan tempat pebersihan yaitu Pepaga atau pandyusangan atau penusangan. Pemandian sawa sebagai simbul bumi, dibuat dg kawat mas, perak tembaga (tridatu). Diberi alas tikar dan pandan berduri sebelum dipakai. Pepaga (penusangan) dibuat dari bambu (kalau bisa bambu kuning), bertiang empat tingginya 175 Cm, ujung atas dari tiang dipasangi leluwur. Pepaga dibuat setinggi puser sang “yajamana” (pemilik upacara), dipasangi leluwur. Pojok timur laut dari tiang dipasang 11 uang kepeng sebagai simbul tingkatan alam sunia yg dituju. Panjang bambu dua jengkal lebih dari ukuran jenasah dengan lebar 80 Cm atau sesuai lebar jenasah. Galarnya menggunakan perhitungan “Ante” (cekur, pinggang, nyawan, galar, ante, guling). Etika pemasangan: jika laki tengahnya menengadah lainnya tengkurep, wanita sebaliknya.
5. Persiapan peti jenasah (simbul kekuatan maya SHW). Pada bagian kaki dilubangi sebesar “aguli” (ajari tengah) sebagai jalannya Panca Maha Butha keluar dari maya menuju alam “Sapta Petala”. Lubang dibagian kepala adalah jalan keluar jiwatma menuju Sapta Sunia.
6. Upakara ayaban setelah melelet diletakkan diwulu tempat layon (luanan), baik nista, utama atau madya. Contoh: Banten ayaban tumpeng 27, hulunya daksina gede sarwa 4 lengkap dengan banten sucinya, Banten Saji Tarpana, Banten Pulegembal, Banten Pengulapan, prayascita, bayekawonan.
7. Seember air antiseptic (air + daun intaran/daun base, atau air diisi bahan kimia antiseptic yang dibeli ditoko) untuk cuci tangan orang ikut ngeringkes.
8. Tata Cara Upacara Ngelelet
a) Mengikuti subha dewasa peleletan, menunggu kesiapan krama banjar (perintah Klian banjar)
b) Penurunan layon dari Bale Gede, dilakukan sanak keluarga, diserahkan kpd krama banjar dicacapan bale, keluarga tetap memopong bagian kepala. Menuju pepaga, posisi kaki layon tetap lebih dahulu.
c) Pada waktu memandikan, layon tidak langsung ditelanjangi. Busana hanya dibuka bagian dada saja dulu.
d) Wiku nyurat sastra diraga dengan cincin mirah. (AH – Nabi; Dasaksara – perut; Mang = ulu hati; Ang = bahu kiri; Ung = bahu kanan; Adu muka = selagan alis; Ang = ubun2.)
e) Pertama kali keramas dengan toya ambuh, mesisig, bilas air bersih, bilas air kumkuman. Mantra ngeramasi: Om banyu klemukan, banyu pawitra pangilanging papa klesa, danda upata atemahan sudha nirmala yns. Ong2 angurah candra dimuka yns
f) Keringkan rambut dan muka dengan kain putih. Rambut dipetat dan disisir. Pusung gelung gota (irtri) pusungan mudra lingga (lanang)
g) Setelah keramas barulah busana dibuka seluruh, keluarga menutup bagian kemaluannya.
h) Seluruh badan dibilas air biasa , gosok dg blonyoh (boreh kuning), dibilas. Setelah bersih barulah disirami air kumkuman secara merata, keringkan dengan kain. Mantra memandikan: Om sarira suda yns. Om gangga paripurna yns.
i) Memakai busana kewikuan. Tirta Bayekala di kakinya saja, perciki tirta pebersihan dengan bale gading dan lis degdeg.
j) Wiku memercikkan tirta kekuluh merajan (tirta aswapada Hyang Guru), dengan posisi tangan layon memegang sebuah kwangen berisi 11 pis bolong.
k) Sanak keluarga mohon restu ke SH Raditya dg kwangen, posisi tangan di selagan alis, dan kwangen diletakkan di kaki layon. Mantra: Om Swargantu, Om Suniantu, Om Moksantu, Om Mursantu, Om Ksama Sampurna yenamah swaha. Sembahyang:
a) Tangan puyung (utpeti sembah)
b) Ke surya (SH Siwa Raditya) dg kewangen: mohon banugerah kekuatan widya kepada Sang Lina (Stiti sembah)
c) Sembah ke Sang Lina sbg pengaksama agar sang lina melepas tresnanya kpd keluarga yg ditinggalkan

Selesai pebersihan (pebersihan hidup), dilanjutkan dengan penyucian atau Pengeringkesan sebagai berikut:
a) Memasang gegaleng di kepala layon
b) Wiku memercikkan tirta pengeringkesan ke seluruh tubuh
c) Pengerikan kuku (dg pisau sudamala atau pisau banten). Kerikan kuku dibungkus tiga helai daun kayu sakti diletakkan di kaki layon.
d) Memasang sarana Panca Dathu sbb:
d) Wewalungan di atas dada layon
e) Cermin di dua mata (simbul teja)
f) Daun intaran pada kedua alis (ardha Chandra)
g) Lempeng waja di gigi (SH Bayu)
h) Bunga celeng putih selagan alis
i) Malem pada lubang telinga
j) Daun delem pada daun telinga
k) Tali itik2 pd dua ibu jari tangan dan kaki
l) Memasang kwangen:
1. Penyolasan pd setiap persendian
2. Kwangen jari: setiap kwangen berisi lima tubungan (diplintir sekecil2nya ujungnya diisi irisan bawang putih (lambing kuku). Juga kwangen jari kaki. Total membuat 20 tubungan.
3. Memasang kwangen isi 33 kepeng pd panggul
4. Kwangen di ulu hati: menghadap keatas berisi 2 kepeng, menghadap kebawah berisi 2 kepeng.
5. Total semua uang kepeng yang digunakan 225 biji
m) Penangkeb baga atau purus
n) Memasang tebu yg sudah ditulis pd tulang punggungnya.
o) Memasang sepotong kayu sakti yg sudah ditulis pd tulang dada
p) Memasang momon pada rongga mulut.
q) Memasang kajang (angkeb rai, karna, siwa dwara, cangkem, prana)
r) Layon digulung dengan kaun penggulung, kemudian tikar, ante yang sudah disurat di bagian kepala–uluhati-kaki, ikat dg tali ketekung (tali rotan) yang sudah disurat, dipasang melingkar di bagian kepala, uluati, panggul. Tali lingkaran kepala dihubungkan ke bagian ulu hati dan bagian panggul. Tali rotan adalah simbul “melepaskan diri dari ikatan tali samsara (panumitisan). Maka perbaikilah karmamu yang asubakarma menjadi subakarma.


s) Digotong ke bale gede dg posisi kaki layon didepan. Masuk peti, petinya sudah berada diatas tumpang salu.
t) Memasang pelengkungan, diatasnya kain putih melelancing dengan lapis kain 11 lapis (kajang solas).
u) Tiga buah kereb Sinom. Kereb Sinom dibuat dari daun enau muda dan bunga pinang (blangsah buah) dianyam 10-15 Cm, panjang 75-90 cm. Kereb Sinom adalah simbul Tri Kaya, bahwa Rokh mendapat sorga tergantung hasil Tri Kayanya (Karma Wasana).
v) Setelah ngayab, dilanjutkan “Upacara Pepegatan”
w) Wiku memuja ngaturang Saji Tarpana (Narpana Saji).

Tata cara diatas juga merupakan tata cara untuk meraga wiku. Sedikit penyederhanaan untuk ngelelet layon meraga welaka adalah sebagai berikut:
1. Persiapan Sarana Pebersihan
a. Air bersih dan air kumkuman
b. Air keramas, sisig, minyak wangi
c. Berbagai jenis bunga harum
d. Pakaian seperadeg/pesaluk/pesehan (pakaian sembahyang lengkap)
i. Pesaluk hidup laki (kain, saput udeng)
ii. Pesaluk hidup wanita (tapih, kain, sabuk, kamben cerik
iii. Pesaluk mati, laki perempuan sama, kain putih untuk yang sudah kawin, kain kuning bagi yang belum kawin.


DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

e. Pakaian untuk ngulung dan kain putih.
f. Tikar
g. Samsan atau sekarura: beras kuning ditambah irisan daun temen diisi 33 pis bolong, ditempatkan dalam wakul yng dibungkus kain putih.
h. Beberapa jenis tirta:
i. Tirta Penglukatan dan Pebersihan (untuk menghilangkan mala petaka atau pembersihan
jenasah.
ii. Tirta Aswapada Betara Hyang Guru
iii. Tirta Pengresikan
iv. Tirta sesuhunan keluarga (pura2, kawitan, kemulan). Maksud: trita restu agar perjalanan
lancer.
v. Tirta Kahyangan: pakeling bahwa sang atma akan menghadap ke kahyangan
vi. Tirta pengulung: diperecikkan pd waktu ngulung mayat.
vii. Tirta penembak: memandikan jenasah membersihkan kotoran lahir bathin.
viii. Tirta pengentas: tirta pemutus hubungan (memutuskan ikatan purusa. Tiuk pengentas
adalah pisau untuk memutus hubungan.
ix. Tirta manah toya ning: adalah petitis keneh (manah).
x. Tirta prelina atma: agar jiwatma yang meninggal pergi kealam asalnya, tideak ngrebeda.
2. Pelaksanaan Ngelelet
Sama dengan Wiku, hanya ngambuhin bagian duur dapat dilakukan penglingsir.
Pebersihan 10 prana sebagai dosa manusia sebagai “dasa mala”. Sepuluh prana itu ialah:
1. Prana (lubang mulut)
2. Udana (lobang kepala/kening)
3. Samana (lobang pepusuhan)
4. Wyana (lobang persendian)
5. Kurma (lobang mata)
6. Krkara (lobang hidung)
7. Dewa Data (lobang bibir)
8. Dhananya (lobang tenggorokan)
9. Naga (lobang lambung)
10. Apana (lobang dubur dan kelamin)


UPACARA PENGASKARAN

Ngaskara (askara=penyucian=pebersihan) adalah penyucian roh dari Atma Petra (roh orang baru meninggal) menjadi Pitara. Ketika kematian terjadi, prakerti (badan kasar) terpisah dg atma (roh) (antahkarana sarira) tapi masih diikuti oleh suksma sarira (alam pikiran, perasaan, keinginan, nafsu). Karenanya roh perlu dibersihkan dg askara (inisiasi). Oleh krn itu roh yang tidak diaben puluhan tahun akan berubah jadi Bhuta Cuil (roh yg tidak bersih) yang mengganggu kehidupan manusia
Pelaksanaan Ngaben harus diikuti upacara Pengaskaran untuk mengembalikan unsur Panca Maha Butanya secara sempurna, sehingga kesucian dari Sang Petra terus ditingkatkan, dari Petra menjadi Pitra, pitra menjadi Dewa Pitara, kemudian dari status Dewa Pitara menjadi Hyang Pitara atau Betara Hyang. Contoh puja masing-masing status tersebut adalah:
Status Petra: Om Tigantu Atma Petras ca, Tigantu Atma Petranam, Tigantu Atma Petra, Sarwa yn Swadah.
Status Pitara: Om Jagrantu Pitara Ganem, Jagantu Pitara Ganem, Jagrantu Pitarah, Sarwa yn Swadah
Status Hyang Pitara: Ong Ayantu Pitara Dewa, Ayantu cariman pujam, Ayantu I A Se Te I, Siprathisto siprathisto, yn swadah, Ong nama wah pitaro suksma yn swadah. Ong namo wah pitara turya yn swadah. Ong nama wah pitaro ktan, yn swadah.

Pengabenan sepatutnya disertakan “Pengaskaran” (Samskara Atma Preta) baik Utama, Madya, Nista. Prinsipnya Petra itu harus diproses agar menjadi sifat pitara, kemudian disucikan lagi menjadi Dewa Pitara, disucikan lagi menjadi Hyang Pitara (Betara Hyang), agar bias distanakan di Pemerajan (Hyang Kemulan). Jika tidak melaksanakan Pengaskaran berarti belum sempurna penyucian terhadap Sang Petra, hal inilah yang dapat merusak jagat.
Upakara dasar Pengaskaran adalah sebagai berikut:
Upakara surya paling kecil memakai banten “Ardha Nareswari, Banten pebersihan, Banten Dyus Kamaligi, Banten pisang jati, Banten kerayunan, Banten Peguruyagan, dapat diganti dg banten Guru Piduka, Banten Penebusan, Banten Penebusan alit, Banten pengadang-ngadang, Laban Kalika, Caru ayam brumbun, Laban rare, Laban kawah, Laban Cikrabala dan Kingkarabala (tetandingan balung Gegending dan Ketupang

Sarana Pengaskaran
1. Bale Pawedan (Pamiosan) untuk pandita. Jika di mrajan, Bale Piasan bisa digunakan untuk Pamiosan pandita. Dibuat leluhur.
2. Banten pengajuman kajang, banten pemerasan.
3. Sanggah surya: daksina, sesantun, suci 2 soroh, pejati, peras, pengambean, sesayut ardenareswri, rayunan putih kuning, rantasan, pesucian, klungah nyuh gading (dikasturi).
4. Banten di sor sanggah surya: pejati dan suci asoroh, gelar sanga, segehan cacahan.
5. Banten arepan sawa: banten ayaban (pemereman), uel kurenan, sesantun, suci, banten saji, panjang hilang matah lebeng, banten pengadang-ngadang, bubuh pirate putih kuning, nasi angkeb, penek catur warna, caru beten kolong sawa, diyuskamaligi, pejati, eteh-eteh pemetikan (gunting, blayag, tunjung putih), pemanahan, caru siap brumbun (caru tapakan sawa).
6. Banten pengresikan: Prayascita, Bayekawonan, durmanggala, lis bale gading, pengulapan.
7. Banten arep sulinggih: daksina gede, sesantun alit, suci asoroh, pejati, peras, pengambean, pemanisan, segehan warna lima asoroh.


MAKNA BERBAGAI SIMBUL PENGASKARAN
1. Tirta Pengentas: Pe = pegat, ngen = ngen-ngen = trena, tas = hangus. Tirta Pengentas untuk memutuskan dan menghilangkan Tresna agar kembali kepada kekuatan amertha yaitu ke Siwa Merta.
2. Tirta Pemanah artinya: toya berasal dari sindhu atau hindu atau windhu artinya kosong atau sunya. Pemanah artinya: pe dan manah = alam pikiran. Tirta Pemanah = untuk mengembalikan Panca Maha Butha berdasar ketulusan hati.
3. Toya Penembak: pe = pemutus; nembak = pembuka jalan. Tirta Penembak: untuk memutuskan agar terbentuk jalan ke Sunya Mertha.
4. Pengawak Adegan: simbul dari Panca Maha Butha. Wakul simbul pertiwi, sampian simbul akasa, kwangen simbul apah, tongkat adegan simbul bayu, prerai simbul teja.
5. Tiga Sampir: untuk memendak toya pemanah dan memendak daun beringin. Tiga sampir sebagai simbul tiga sosok apsari: Widyadari Nilotama, Widyadari Supraba, Widyadari Ken Sulasih. Ketiganya utusan Dewata untuk membawakan tirtha pawitra sebagai tirta penglukatan.
6. Baju antakesuma: sebagai simbul kekuatan pelepasan dalam proses pengembalian Panca Maha Butanya kepada sumbernya dalam arti mengandung konsep Moksartham Atmanam.
7. Payung Pagut: untuk mendak toya pemanah atau mohon daun beringin, sebagai simbul Bale Salunglung yaitu stana para Dewata mengadakan peparuman untuk memberikan keputusan kepada setiap mahluk di dunia yang Beliau kehendaki sesuai dengan kodratnya.
8. Puspa Lingga: pada upacara pemukuran yang menjadi obyek penyucian adalah badan puspa lingga. Setelah Panca Maha Butha disucikan, kemudian distanakan di pengawak adegan. Tapi setelah menjadi puspa lingga, Panca Maha Buta menjadi Panca Tan Matra dan dibuatkan simbul sbb:
a. Tangkai sekah dari bambu buluh gading sbg simbul Ganda Tan Matra
b. Daun beringin sbg simbul Rasa Tan Matra
c. Jemeknya (mirahnya) sebagai simbul Rupa Tan Matra
d. Menurnya sbg simbul Sabda Tan Matra
e. Namenya sbg simbul Sparsa Tan Matra.
9. Kwangen Pengerekan (ngereka). Kwangen penyolasan untuk mengisi persendian berisi 225 uang kepeng (jumlahnya 9 artinya pranawa/pralina). Gegaleng 250 dijumlah menjadi 7 artinya sebagai simbul sapta sunia.
10. Daun beringin. SH Widhi pd waktu menciptakan seisi alam bermanifestasi menjadi SH Prajapati. SH Prajapati bermanifestasi menjadi SH Kalpa Wrksa dengan pangkal pohonnya berada di alam sorga, sedang ujungnya berada di alam semesta (Phon Beringin Sunya Mertha). Kalpa Wrksa ini bermanifestasi kea lam semesta sebagai:
a. Ranting (bangsingnya) menjadi sarwa denawa, danuja dan sarwa raksasa
b. Daunnya bermanifestasi menjadi kekuatan Panca Maha Butha
c. Batang pohon bermanifestasi menjadi kekuatan urip dari semua mahluk
d. Cabangnya menjadi karma dari semua mahluk dunia
e. Bunganya menjadi sarwa dewa, sarwa dewata sbg kekuatan Betara di ala mini.
f. Buahnya menjadi hukum Rta nya SH Widhi
g. Setetes air yang gemerlapan di ujung daunnya sbg percikan atma ke alam semesta ini (Lontar Praja Pati Tattwa).
11. Kekecer: sarananya: tangkai bambU, seuntai padi, bulu ayam, bulu angsa, kain sutra. Digunakan pd waktu jenasah diberangkatkan ke setra , kececer ditancapkan setiap 9 meter sambil menghaturkan banten peras jalan. Sebagai pembuka jalan dan mengandung konsep Moksrtam Atmanam. Padi = pada= padang = galang apadang. Bulu angsa = angesah artinya telahpergi. Bulu ayam = simbul panca maha butha. Kain sutra = panca maha butanya telah disucikan shg berwujud lebih halus. 


URUTAN UPACARA PENGASKARAN
Upacara pengaskaran (Inisiasi) memisahkan pengaruh suksma sarira terhadap antah karana sarira (roh). Inisiasi dilakukan terhadap adegan (simbul atman atau roh atau purusa atau antah karana sarira) dengan melaksanakan dwijati terhadap roh yang meninggal, bukan jasadnya. Dwijati ditandai dengan acara pemetikan adegan.
Urutan upacara pengaskaran adalah sebagai berikut:
1. Ngeringkes kajang, digulung oleh pemangku dg penglingsir dan keluarga. Letakkan kembali di Bale Pengajuman.
2. Sang Pemuput melakukan:
a. Ngarga Tirta
b. Surya Sewana
c. Ngangge Giri Pati Stawa
d. Ngangge Brahma Stawa. Dll
3. Untuk pengabenan welaka tingkat madya dan kanista boleh menggunakan tirta sudah puput (wiweka jnana).
4. Mujanin pedudusan selengkapnya
5. Tirta yang dibuat Sang Pemuput:
a. Manah toya (jika belum manah toya ditempat toya). Membuat tirta pemanahan (manah toya) 3X pd tirta jun (air klebutan) dengan panah dan bunga teratai.
b. tirta pareresik, tirta pengajum kajang, tirta pengringkes kajang, Tirta pasupati kajang dan pasupati adegan.
c. tirta penembak. Air (tirta) ini dicari oleh keluarga pada tengah malam di air klebutan.
d. tirta pebersihan, tirta saji, tirta pemerasan, tirta pengentas, tirta pralina, tirta penyaeb, utik gni pemrelina (Korek api dan kayu api khusus dipakai nyulut api pertama di pemuhunan).
1. Memercikkan tirta ke kajang dan adegan.
7. Ngutpeti Dewa Damar Kurung sampai selesai
8. Ngutpeti Butha Petra
9. Nguweci Desa, lalu mesirat keluhur dengan astra Sriyambhawantu.
10. Puja ngumpulang Dewa termasuk Hyang Prajapati
a. Aturin Dewa Pratista
b. Aturin udanjali dan pedudusan selengkapnya
11. Puja “Banten Penebusan” sampai selesai pemuktiannya
12. “Lukat Sang Atma Banda”, ngeseng rebegeding atma petra dening puja “Merta Karani”
13. Angesahakna sang atma petra saking banten krayunan, surupakna maring adegan, didasari dengan puja pengupeti atmapetra, dan rangsukakna mantra “Unapa Bhiseka” selanjutnya disambung dengan Puja Ayantu Atma Petra paweha “Diyus Kamaligi”, lanjut Puja Tigantu, Tisthantu, lalu henengakna sang atma.
14. Lanjut “memuja keluhur”, ngaturang “puja pejaya-jaya” kehadapan Bethara dengan “Pradnya Paramitha”.
15. Nama Pengaksaran. Tuduhan sang Atma dening idep, muspa ring Betara Surya, Sang Hyang Prajapati, Betara Guru, dan kehadapan Betara Siwa Dharma untuk memohon penugrahan sebagai sisya pengaskaran serta memohon Nama Pengaskaran.


DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

16. Penapakan: Memanggil sang atma untuk dibersihkan. Berikan wangsuh pada nilah, nyuwun kehadapan Betara Siwa Dharma kasinanggeh Dang Guru, kemudian ditapak dengan penuntun Surya (Sapta Ongkara) tidak dengan kaki sang pemuput, hanya dengan kekuatan jnana.
17. Mepetik. Ambil “pengerebodan” tiwakin kepada adegannya, kemudian mengambil gunting, bunga tunjung putih, lalang seset mingmang (panca mustika) idep megunting rambutnya secara panca muka, kenyataannya secara simbul megunting ampyagnya sebanyak 5 kali. Bekas guntingannya dimasukkan kedalam blayag dan diisi kwangen. Kemudian diberikan eteh2 pedudusan selengkapnya.
18. Kemudian dautaknya sang atma maserana bunga kalpika, melaksanaka Puja Pengesengan, agar menjadi ongkara sungsang nunggal kelawan sang pemuput mengaran ongkara madumuka. Seolah-olah sudah menunggal sang Sisya kelawan dangguru. Kemudian berikan tirta penglukatan, pebersihandan puja pejaya-jaya, puja Pitra Byah, nama pitra, rangsukan mantra ke jero, jaya-jaya dengan Mantra Swaha Swada, pengidepnia sudah disaksikan oleh para leluhurnya yang telah berstana di pisang jati , selanjutnya mesirat di pisang jati.
19. Kemudian nguncarang Puja Gangjantu, Jagrantu, dan nguncarang Puja Dewa Pitara Pratistha, pangidepnia sang pemuput, disuruh Dewa Pitara mengingat sanak keluarganya, disinilah baru disertakan membaca Mpu Plutuk Aben dan Pustaka Adhi Parwa.
20. Selanjutnya Sang Pemuput mesirat keluhur, Ngaturang Dewa Buktem, serta Muktiang ke Dewa, kemudian mujanin Saji Dewa Tarpana, pemuktian saji kepada Dewa Pitara.
21. Selanjutnya mujanin banten bebangkit (kalau ada). Kalau tidak ada, hanya banten pengadang-ngadangnya saja, sampai selesai pemuktian.
22. Nguncarang Puja Pemerelina Butha.
23. Malih mesirat keluhur, jaya-jaya ring Betara ngangge Puja Indrani Kesama Jagatnatha.
24. Selanjutnya keluarga dituntun pengubaktiannya kehadapan:
a. Sang Hyang Surya
b. Sang Hyang Prajapati
c. Sang Hyang Siwa Dharma
d. Dewa Pitara
25. Terakhir Sang Pemuput memberikan pewisik kpd Dewa Pitara. Dilanjutkan Puja Pengelepas Dewa Pitara agar kembali ke Sangkan Paraning Dumadi. Kalau upacara pengabenannya memakai upacara matetangi, maka tidak memakai puja pengelepas, hanya memakai puja pesimpen.
1. Hanya Pandita yang sudah medwijati dan mapulanglingga yang diperkenankan muput pengaskaran. Pinandita ekajati tidak wenang ngaskara. Apabila dilanggar maka „nyumuka”.
2. Setelah pengaskaran dilanjutkan dengan „pejayan-jayan” dan pebaktian seluruh keluarga.
3. Dilanjutkan Pemerasan dan tarpana saji, dimana adegan dan kajang mengelilingi banten pemerasan diikuti oleh sanak keluarga semua termasuk cucu dan buyut.


UPACARA MEBUMI SUDHA
Upacara pembersihan dan
penyucian ditempat pengesengan sawa berdasar nista, madya, utama. Tujuannya
menyucikan tempat pengesengan dengan tirta Kahyangan Tiga, tirta Kawitan, Tirta
Pengentas. Tirta ini tidak kena kecemeran. Dilakukan pada semua jenis
pengabenan

UPACARA PEMRELINA DAN MEWANGUN SEKAR
TUNGGAL DI SETRA.

Setelah adegan atau jenasah selesai
dibakar, arangnya ditutupi pelepah daun pinang (papah buah) yang daunnya sudah
disurat bergambar “Cakra”. Kemudian disiram dengan Toya Pemanah. Kmudian arang
tulang diambil satu persatu menggunakan sepit atau cincin permata mirah
Windhusara, diletakkan dalam kukusan. Dibersihkan lagi dengan air kumkuman.
Selanjutnya dilakukan “pangerekan” diatas “Panca Layuan” serta disucikan lagi
dengan eteh2 pesucian. Kemudian arang tadi digilas diatas sebuah
sesenden, kemudian dibungkus menjadi sekah tunggal.

Makna berbagai uparengga yang
digunakan adalah:

1. Penutup pelepah
daun pinang: makna kembalinya ke unsur2 Panca Maha Butha dan penumadiannya
nanti tergantung buah karmanya.

2. Toya Pemanah
yang dipakai: bukan toya penembak.

3. Arang diambil
dengan cincin mirah: sarana pengentas agar unsur Panca Maha Buthanya cepat
kembali ke sumbernya Sang Pencipta. Cincin mirah sebagai simbul kekuatan Siwa.
Sepit sebagai simkbul kekuatan Ardha Candra sebagai simbul kekuatan nada.
Setelah selesai. Wiku melaksanakan upacara pengiriman, sekah dihanyut.
Sebelumnya dilakukan meprelina dimana sekah tunggal dikelilingkan di Pengesengan
dengan arah prasawya (kekiri) kemudian baru nagkil ke Pemuput (wiku) untuk
memohon restu.


SAWA MEKINGSAN DI GENI DAN MEKINGSAN
DI PERTIWI (MEPENDEM).

Perlu menggunakan tirta Pekingsan,
karena bila sudah menggunakan tirta Pekingsan maka sewaktu-waktu dapat
melaksanakan upacara pengabenan. Namun jika tidak menggunakan tirta pengentas
pekingsan maka tidak diperkenankan ngaben sebelum setahun dipendem
(Lontar Yama Purana Tatwa).

UPACARA
PEMUKURAN/PENYEKAHAN/PENGRORASAN

Mukur asal katanya Bhuk (alam
bawah), Ur atau urdah (swah loka). Mukur adalah proses penyucian lanjutan dari
unsur2 Panca Mahabuta agar manjadi status Dewa untuk dikembalikan kealam
kedewataan shg disebut Dewa Pitara dan pada puncak kesuciannya disebut Hyang
Pitara.

Uperengga pada Damar Kurung
mempergunakan simbul Kupu-Kupu Dedari (seekor kupu2 berkepala widyadari)
sebagai simbul wahanyanya Hyang Pitara pulang kesumbernya. Ini terlihat dari
puja Penglepasan Pitra memohon kepada Sang Kepupu Wong. Demikian
juga pada upacara pengabenan, damar kurungnya berisi simbul burung garuda
berkepala raksasa sebagai wahanya Dewa Pitara. Puja Penglepasannya memohon
kepada Kaki Badra Lim (manuk Raja) untuk mengantar Dewa Pitara ke
sumbernya.


UPACARA PENGLIWETAN
Upacara pemukuran disertai upacara
Pangliwetan. Pengeliwetan mengandung maksud dan tujuan Pengeluweran yaitu
mengembalikan unsur2 Panca Maha Butha, unsur Rokh dan unsur atmanya kealam
masing2 yaitu: unsur Panca Maha Buthanya ke Prakerthi Tattwa (kekuatan
acetana), sedangkan unsur rokhnya kembali ke Purusa Tattwa dan unsur atmanya
kembali ke alam Parana Nirbana (kealam moksa). (lontar Tattwa Jnana).

Dalam proses Ngeliwet, dibuatkan bubur nasi yang berasnya diseruh sebanyak 11
kali (simbul dari alam Siwa. Angka 11 jika dijumlah menjadi 2 (simbul Windu
Sunia) atau alamnya Siwa. (Lontar Tutur Saraswati). Bubur ini dicampur dengan
menyan, madu, empehan (lontar Pengerorasan), bukan telur goreng dan bawang
goreng. Menyan sebagai simbul Sang Hyang Brahma (mengembalikan unsur Panca Maha
Buthanya), madu sebagai simbul kekuatan Sang Hyang Wisnu (mengembalikan unsur
rokhnya), empehan sebagai simbul kekuatan SH Siwa (mengembalikan unsur Atmanya.
Setelah bubur kental kemudian dikepal-kepal 108 buah sebagai simbul titik
puncak kekuatan Pralina (Tattwa Samkhya) dari angka 108 menjadi 9 merupakan
angka sakti Hindu (titik lebur), sedangkan angka 0 merupakan simbul Windhu
Sunia.


UPACARA NILAPATI
Upacara Nilapati adalah upacara
ngeluwuirang Hyang Pitara atau Dewa Hyang setelah pemukuran atau penyekahan.
Nilapati asal katanya Nila (hitam) yaitu Wisnu sebagai simbul kehidupan setelah
kematian. Upacara Nilapati adalah suatu upacara untuk menstanakan Dewa yang
berada dalam alam kehidupan yang tidak nyata.

INDIK PEDEWASAN PENGABENAN
Ada hari (dina) yang biasanya
dihindari dalam pengambilan dewasa atiwa-tiwa atau pengabenan. Pelanggaran
terhadap pengambilan dewasa dipercaya akan menimbulkan hal-hal yang fatal dalam
kehidupan sosial. Beberapa hari yang dihindari adalah.


Was Penganten. Tidak boleh dipakai hari penguburan dan ngaben. Pahalanya
dapat mengakibatkan kematian berturut-turut dalam satu banjar dan keluarga yang
ditinggalkan tidak putus-putusnya kegeringan.

Semut Sedulur. Juga tidak boleh. Pahalanya tidak putus-putusnya ada
penguburandalam satu desa dan keluarga yang ditinggalkan tidak putus2nya
menemukan kesusahan.

Catus Pemanggawan. Pada perhitungan hari ini tidak diperkenankan penguburan
atau ngaben. Kasureksa De Betara Yamadipati tan sida sang Pitra ngemangguhin
swargania.

Kala Gotongan. Tidak diperkenankan karena sang Pitra tidak habis-habisnya
menemui sengsara di alam bakha.

Hari Purnama, Tilem, Piodalan
Kahyangan Jagat. Tidak diperkenankan karena hal
ini disebut Amundung Kesucian Sang Hyang Siwa Butha, Sang Pitra tan urungan
kesinamberaning gelap sengsara kang pitra (lontar Yama Tatwa Wariga).

Pedewasan Sejeroning Pitung Rahina. Kurun waktu 7 hari dari meninggalnya, dapat dipakai salah
satu harinya namun tetap melihat larangan-larangan hari seperti diatas,
ternyata dalam kurun waktu 7 hari tersebut ada hari yang dilarang asal tidak
Was Penganten, masih bias memakai hari yang lain berkisar dalam tujuh hari
tersebut. Tapi kalau larangan harinya lebih dari satu dan kepepet, carikan
pedewasan diluar perhitungan tujuh hari tersebut, (Lontar Aji Janantaka).
Jika melkasanakan penguburan atau ngaben dalam kurun waktu tersbut dari
tidak ada larangan hari maka dewasa tersebut dikatakan jalan Sang maninggal
sangat utama sekali.

UPACARA NGAJUM KAJANG
Ngajum = memuji. Ngajum dalam kaitan
ngaben adalah menghias atman orang yang akan diaben. Panjang kajang 1,5 – 2
meter (sedepa astamusti), ditulis dengan aksara suci (Mudre). Aksara kajang
terdiri dari Sodasaksara yaitu gabungan Ongkara, dwiaksara, triaksara serta
dasaksara. Kajang adalah selimut orang yang meninggal yang dibawa menuju kealam
sorga. Oleh sebab itu aksara2 modre dalam kajang memiliki kaitan erat dengan
tattwa2 agama, khususnya ajaran kedyatmikan seperti tutur Kelepasan dan ajaran
Kemoksan yaitu ajaran untuk mencapai tujuan akhir menuju Sang Pencipta. Ngajum
kajang dilakukan sehari sebelum pembakaran.

Sarana yang digunakan untuk ngajum
kajang adalah sebagai berikut:
1. Persiapan tempat untuk ngajum kajang berupa bale atau meja.
2. Kain putih sebagai dasar pengajuman kajang
3. Selembar kain cepuk
4. Kajang klasa
5. Kajang pemijilan
6. Kajang sari
7. Ukur/wukur (uang kepeng yg dirangkai sbg manusia disebut ukur Deling, ukur balung menyerupai tulang). Wukur adalah tempat
pekoleman atma.
8. Jarum sekitar 3 lusin (tergantung banyaknya keluarga yg ikut)
9. Kwangen
10. Sekar Ura
11. Rurub Sinom
12. Rantasan
13. Minyak wangi


BEBERAPA JENIS KAJANG
1. Kajang Klasa: kajang dari sulinggih untuk alas kajang utama atau kajang pemijilan.
2. Kajang Pemijilan atau Kajang Utama: kajang yang dibuat sulinggih, ditaruh paling atas. Kajang ini yang akan diajum bersama ukur.
3. Kajang Sari: kajang dari dadia atau keluarga terdekat. Ditaruh dibawah kajang utama.
Kajang menurut pemakainya (soroh).
1. Kajang Brahmana : untuk sulinggih
2. Kajang Kesatria: untuk raja2
3. Kajang Jaba: untuk walaka (diluar untuk pandita dan raja)
4. Kajang soroh: atau kajang sesuai kawitan masing-masing. Kajang ini selanjutnya menjadi Kajang Utama.
Urutan penempatan ukur, kajang,
cepuk dan kain putih
1. Kasa putih (paling bawah)
2. Kasa putih
3. Kasa putih
4. Kain cepuk
5. Kajang Klasa
6. Kajang pemijilan (paling atas)
7. Ukur (diatas kajang pemijilan)

UPAKARA NGAJUM KAJANG
1. Ayaban tumpeng lima
2. Sesayut alit
3. Suci
4. Daksina gede (satu)
5. Banten sorohan
6. Banten pemelaspas
7. Sesayut pasupati
8. Pesucian


TATA CARA UPACARA NGAJUM KAJANG DAN
PEMERASAN

1. Pengabenan Sawa
Prateka (ada jenasah) ditaruh dibersihkan dimandikan ditaruh di semanggen. Sawa
Prateka (tanpa jenasah), dilakukan upacara ngendagh dan ngangkid. Jika tidak
diketahui kuburnya dilakukan upacara ngulapin

2. Sebelum
pengajuman, lakukan upacara pengulapan dg sanggah Urip (tempat roh yang
dipanggil akan diaben). Sanggah urip dibuat dari daun kelapa dumala, ditaruh
pada adegan, ditaruh disebelah jenasah yang akan diaben di semanggen.

3. Ngajum kajang
di natar mrajan disaksikan leluhur dan Dewa Pitara, dipimpin sulinggih. Kajang
dan adegan tidak kena kesebelan. Adegan adalah simbul atma dan ”atma tan kekeng
kesebelan karena atma percikan dari Brahman.

4. Kajang adalah
selimut kebesaran dari atma yang akan dibawa ke sorga.


DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

5. Adegan dan
kajang bukan bagian dari raga sarira (badan kasar/prakerti) yang kena
kesebelan, melainkan bagian dr Antah Karana Sarira (purusa)yang bebas
dari kesebelan.

6. Pemerasan dilakukan
di luar merajan, karena ada upacara simbolis sang atma turun ke alam manusia.

7. Setelah kajang
selesai di ajum maka Sulinggih mulai memuja pasupati kajang, kemudian
dilanjutkan ngaskara dan upacara mepetik.

8. Dilanjutkan
dengan Pemerasan. Diikuti oleh seluruh keluarga sebatas buyut. Adegan dan
kajang diarak mengelilingi upakara pemerasan sbg simbul Sang Hyang Atma turun
ke dunia manusia bertemu dg keluarga.

9. Selanjutnya
adegan dan kajang diletakkan diatas peti jenasah,

10. Menunggu pemberangkatan ka
setra.

URUTAN JALANNYA NGAJUM KAJANG
1. Siapkan sebuah asagan (bale, meja) dg kasur kecil, tikar dan bantal. Tikar dirajah Padma ditengah padma ditulis aksara
Ongkara Mertha dan Aksara Rwa Bhineda. Diatas bale2 diisi leluhur.
Disamping bale ditaruh banten: ayaban tumpeng 5, sesayut alit, suci,
daksina gde, sorohan, banten pemelaspas, peras pemelaspas, sesayut
pasupati, pesucian.
2. Siapkan sarana Ngajum Kajang: kain putih, selembar kain cepuk, kajang klasa, kajang pemijilan, kajang sari, ukur, jarum, kwangen,
sekar ura, rurub sinom, rantasan, minyak wangi.
3. Letakkan kain kasa 1,5 – 2 m diatas tikar sbg alas kajang sekaligus sbg pembungkus
4. Diatasnya kain cepuk. Diatas kain cepuk ditaruh Kajang Klasa
5. Diatasnya kajang sari (bila ada) (kajang dari dadia atau dari teman2)
6. Diatasnya kajang Pemijilan (dari sulinggih). Kajang Pemijilan ini kajang inti (kajang utama) yang akan di Ajum.
7. Ukur. Untuk laki2: Seleh (sisi pis bolong yang berisi dua huruf) menghadap keatas. Untuk wanita Kerep (empat huruf) menghadap
keatas. Membuat ukur harus memperhatikan Seleh dan Kerep.
8. Ngajum dimulai dg menusukkan jarum pada kajang melalui lubang uang kepeng sehingga ukur menyatu dg kajang seperti dijarit.
Diawali oleh penglingsir (pemangku/pinandita) menusuk pada bagian kepala.
Yang lebih muda dari yang diaben tidak boleh menusuk pd bagian kepala.
9. Dilanjutkan pebersihan dg air kumkuman, keramas, sisig, minyak wangi, boreh miik seperti memandikan orang meninggal. Lanjut
menghias kepala ukur dengan bunga.
10. Memasang kwangen seperti upacara nyiramang layon, di kepala 1, ulu hati 1, kedua siku, bahu, pergelangan tangan, pangkal paha,
lutut, pergelangan kaki.
11. Ditabur sekar rura diatas ukur, semprot minyak wangi. (sekar rura: macam2 bunga, kembang rampe, boreh miyik).
12. Memasang rurub sinom (dari blangsah pinang) sebanyak 3 buah (kepala, badan, kaki).
13. Menaruh rantasan diatasnya dan canang sari diatas rantasan.
14. Pemangku memercikkan tirta penglukatan, pebersihan, prayascita.
15. Melaspas kajang.
16. Sulinggih memberi tirta Pengajuman (tirta pasupati kajang) dan Tirta Saji. Bersamaan dengan pemujaan sulinggih membuat
tirta2: pengajuman kajang, tirta penembak, tirta pengentas, tirta prelina,
tirta penyaeb, tirta penganyutan dan lain-lain.
17. Setelah ngetisang tirta pengajuman, tirta pasupati kajang, rurub sinom dan rantasan diambil sementara lalu dilanjutkan ngeringkes
kajang. Kain putih tiga lembar paling bawah sebagai pembungkus. Sama
seperti ngeringkes jenasah, laki: kain pembungkus sisi kananmenutup,
wanita: pembungkus sisi kiri menutup. Pembungkus diikat dengan
benang tukelan dan tali rotan di tiga tempat, kepala, dada dan kaki.
Ketiga ikatan itu disambung dengan benang memanjang. Rurub sinom kembali
dipasang.
18. Setelah Ngaskara Adegan selesai, dilanjutkan upacara pemerasan. Kajang dan adegan dipanggul mengelilingi banten pemerasan
sebanyak tiga kali diikuti oleh sanak keluarga.
19. Kajang ditaruh diatas peti jenasah di Bale Semanggen. Nantinya akan dibawa ke setra untuk dibakar. 


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Ada lima jenis Pengabenan Pranawa
1. Sawa Pranawa: Disertai jenasah atau watang matah
2. Kusa Pranawa : dg watang matah atau hanya dengan adegan saja. Adegannya disertakan pengawak dari 100 katih ambengan. Memakai upacara pengaskaran.
3. Toya Pranawa. Sama dg Kusa Pranawa, hanya didalam adegannya berisi payuk pere, berisi air dan dilengkapi dengan eteh2 pengentas. Juga memakai Pengaskaran.
4. Gni Pranawa. Sama dengan pranawa lainnya, juga melakukan pengaskaran tapi pengaskaran nista yang dilakukan di setra setelah sawanya menjadi sekah tunggal. Tanpa uperengga seperti Damar kurung, tumpang salu, pepelengkungan, ancak saji, bale paga, tiga sampir, baju antakesuma, paying pagut. Hanya memakai dammar layon, peti jenasah dan pepaga/penusangan.
5. Sapta Pranawa. Upaca ini dilakukan dirumah, menggunakan damar kurung dan pengaskaran. Tapi tidak menggunakan Bale Paga pd waktu mengusung jenasah ke setra. Hanya menggunakan pepaga/penusanganb. juga dilaksanakan langsung di setra tapi pelaksanaan pengabenannya mapendem, serta pelaksanaan pengentasnya diata bambang.


PENGABENAN SWASTHA
Pengabenan sederhana, dengan tingkat terkecil karena tidak dengan pengaskaran. Berarti tidak menggunakan kajang, otomatis tanpa upacara Pengajuman Kajang. Tidak menggunakan bale paga, damar kurung, damar layon, damar angenan, petulangan, tiga sampir, baju antakesuma dan payung pagut. Hanya menggunakan peti jenasah dan Pepaga/penusangan untuk mengusung ke setra. Pelaksanaan upacara di setra saja. Pengabenan Swastha Geni ini sering rancu dengan pengabenan Geni Pranawa.
Swasta asal katanya “su” (luwih, utama). Astha berasal dari Asthi (tulang, abu). Dengan demikian Swastha berarti pengabenan kembali ke intinya tapi tetap memiliki nilai utama. Pengabenan swstha terdiri dua jenis:
1. Pengabenan Swastha Geni. Penyelesaian di setra dengan cara membakar jenasah maupun tanpa jenasah. Hanya ada pelaksanaan “pengiriman” setelah dibuatkan bentuk sekah tunggal, kemudian dilanjutkan dengan upacara nganyut. Setelah itu selesai.
2. Pengabenan Swastha Bambang. Semua runtutan pelaksanaannya upakaranya dilaksanakan di atas bambang penguburan jenasah. Kwantitas upakaranya sama dengan pengabenan Swastha Geni hanya saja dalam upakaranya ditambah dengan “pengandeg bambang”. Pengabenan swastha bambang ini tidak disertakan upacara pengerekan dan penganyutan , karena tidak dilakukan pembakaran melainkan dikubur. Sedangkan “pengelemijian” dan pengerorasan tetap dilaksanakan seperti ngaben biasa. Pengabenan Swastha Geni atau Swastha Bambang termasuk pengabenan nista utama, tidak memakai bale paga, tidak melaksanakan pengaskaran dan pada saat ke setra memakai tumpang salu saja.
3. Pengabenan Kerthi Parwa. Termasuk pengabenan tingkat nistaning utama. Dilakukan pada umat Hindu yang gugur di medan perang. Tidak dilakukan pengaskaran, hanya upacara ngentas dan pengiriman saja. Pelaksanaanya seperti pengabenan Swastha Geni.
4. Pengabenan Ngelanus. Sebenarnya tidak termasuk bagian dari jenis pengabenan. Hanya teknisnya yang dibuat cepat. Ada dua jenis:
a. Ngelanus Tandang Mantri. Pengabenan dan pemukuran diselesaikan dalam satu hari. Pengabenan ini mengacu pada sastra agama “Lontar Kramaning Aben Ngelanus”. Disebut juga dengan Pemargi Ngeluwer. Pengabenan ini hanya untuk para Wiku, tidak diperkenankan untuk walaka.
b. Ngelanus Tumandang Mantri. Dilakukan untuk walaka dalam kurun waktu satu sampai dua hari untuk para walaka . Upakara dan upacaranya tergantung kwantitas upakara dan upacaranya.

ini beberapa contoh pilihan jenis pengabenan menurut lontar yame tatwa bagi yang kurang mampu masih bisa memulih jenis ngaaben yang lebih rigan tanpa mengurngi makna ini copas dari yame tatwa