Jumat, 17 Oktober 2025

Sapi Bali




 Sapi Bali atau juga dikenal sebagai Banteng Bali (Bos domesticus/Bos javanicus domesticus) adalah hasil domestikasi dari Banteng Jawa (Bos javanicus). Proses domestikasi Sapi Bali terjadi sekitar 3500 SM di Indonesia. Hewan ini dimanfaatkan dagingnya dan juga digunakan untuk membajak sawah. Mereka telah diperkenalkan ke seluruh provinsi di Indonesia, dan juga negara lain seperti Timor Leste, Malaysia dan Australia. Sapi Bali mencakup sekitar seperempat dari total populasi sapi di Indonesia. Di Australia, beberapa individu telah lepas dari peternakan dan berkeliaran di alam (feral) dalam kawanan besar yang merusak tanaman.

Sapi Bali memiliki punuk, bercak putih di pantat, kaki putih, dan bulu putih yang memanjang di bawah perut. Sapi betina berwarna kuning kemerahan, dan sapi jantan berwarna cokelat kemerahan, berubah menjadi cokelat tua saat dewasa. Dibandingkan dengan nenek moyangnya yakni Banteng Jawa, ukuran Sapi Bali lebih kecil, mereka memiliki tanduk yang lebih kecil dan kurang berkembang. Berat tubuh jantan rata-rata 335 hingga 363 kilogram, sedangkan betina rata-rata 211 kilogram hingga 242 kilogram. Sapi Bali terkenal karena kesuburannya yang tinggi.
Sumber : Detik | Plos One

𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐑𝐚𝐤𝐲𝐚𝐭 𝐊𝐮𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧𝐠 𝐒𝐢𝐰𝐚

 



𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐑𝐚𝐤𝐲𝐚𝐭 𝐊𝐮𝐧𝐠𝐤𝐚𝐧𝐠 𝐒𝐢𝐰𝐚 - Juara 1 parade ogoh-ogoh kabupaten Badung yang di ambil dari cerita rakyat Raja Godogan yang menginspirasi Kungkang Siwa mengisahkan tentang kelahiran raja katak (godogan) yang memiliki kelebihan dan bisa berbicara seperti manusia. Ia juga dikisahkan mencintai seorang putri raja.

Dikisahkan, Pan Bekung dan Men Bekung sedang menggarap ladang. Suatu ketika Men Bekung merasa haus dan meminta suaminya mencarikan kelapa muda. Karena Pan Bekung malas memanjat, ia memutuskan mengambil air dari sebuah telaga.
Usut punya usut, air di dalam telaga tersebut telah dianugerahi Dewa Siwa. Namun, sebelum diambil Pan Bekung untuk diberikan ke istrinya yang haus, air di dalam telaga itu telah diminum lebih dulu oleh seekor katak.
“Pan Bekung memberi air itu ke Men Bekung yang akhirnya membuat Men Bekung hamil. Pan Bekung dan Men Bekung ini adalah simbol pasutri yang tidak mau memiliki keturunan,” ujar Yan Gadink.
Akhirnya, lahirlah seekor katak yang memiliki kelebihan dan mampu berbicara seperti manusia. Lambat laun, Godogan tumbuh dewasa dan mencintai seorang putri raja yang cantik jelita. Karena ketulusan cinta keduanya, Godongan berubah menjadi pangeran rupawan.

“MEGOAK-GOAKAN” PERMAINAN KHAS BULELENG




Seiring berkembangannya teknologi membuat orang-orang sibuk dengan gadget yang mereka miliki. Tak hanya orang dewasa yang dipengaruhi bahkan anak-anak juga ikut terjun ke dunia internet. Hanya dengan Internet, permainan mudah diakses, ini penyebab utama permainan tradisional semakin jarang dimainkan dan bahkan dilupakan. Padahal manfaat permainan tradisional banyak mengajarkan pentingnya kerja sama kelompok, mengatur strategi dan membuat anak-anak saling bersosialisasi satu sama lain. Bali juga memiliki permainana tradisonal yang tak kalah menariknya dengan permainan modern yang ada saat ini. Salah satu permainan tradisional Bali adalah Megoak-Goakan. Permainan tradisonal Megoak-goakan berasal dari desa Pakraman Panji, Kabupaten Buleleng. Megoak-goakan digelar pada saat hari raya Ngembak geni atau sehari setelah Nyepi.

Permainan Megoak-goakan paling sedikit terdiri dari 7 orang atau lebih, dengan cara 6 orang membuat satu barisan sedangkan yang satunya bertugas sebagai Goak. 6 orang yang baris, satu sama lain harus saling memegang pinggang temannya yang berada di depan, selama permainan berjalan, pegangan itu tidak boleh terlepas. Goak bertugas menangkap barisan paling belakang, dan biasanya permainan ini menggunakan waktu, untuk meminimalkan berapa lama Si Goak harus menangkap ekor barisan. Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan misal, 5 menit Si Goak tidak bisa menangkap ekor atau barisan paling belakang, maka Si Goak akan dinyatakan kalah. begitu juga sebaliknya, apabila Si Goak bisa menangkapnya maka kemenangan berpihak pada Si Goak. Permainan ini lebih seru apabila dimainkan di tempat yang sedikit berair dan berlumpur, misalnya persawahan atau yang lainnya. Tradisi Megoak-goakan ini tidak hanya berkembang di desa Panji tetapi juga sudah tersebar di berbagai desa, bahkan beberapa bagian dimodifiaksi dengan tidak menghilangkan makna yang terkandung di dalamnya.

Sumber : balikami.com

Kamis, 16 Oktober 2025

Majapahit menyerbu Jepang

 



Setelah berhasil menaklukkan Dinasti Ming Tiongkok dan Korea pada tahun 1585, Majapahit menyerbu Jepang melalui provinsi Satsuma di bagian selatan Jepang.

Jepang yang pada saat itu dipimpin oleh Toyotomi Hideyoshi segera mengumumkan bahwa negeri mereka telah diserang kepada para tuan tanah feodal Jepang (Daimyo).
Toyotomi Hideyoshi yang tidak menyangka bahwa pasukan Jawa telah mendarat di Kyushu menyuruh agar para jenderalnya mempersiapkan strategi pertahanan yang efektif untuk menghalau Majapahit kembali ke Jawa.
Serangan pertama Jawa dihadapi oleh klan Shimazu, Otomo, dan Tachibana. Dalam pertempuran itu, pemimpin klan Shimazu, Shimazu Yoshihisa tewas oleh bedil yang dipakai oleh pasukan dari Tulungagung.
Strategi ini berhasil mendesak Majapahit untuk sementara. Namun tanpa disangka, pasukan Kutai yang saat itu menjadi kerajaan bawahan Majapahit menyerbu Tōhoku dari pulau yang kini dikenal sebagai Hokkaido, dibantu oleh suku asli Ainu.
Hal ini disusul invasi pasukan Korea, Tiongkok, Brunei, dan Demak yang telah menjadi bawahan Majapahit dari provinsi Owari dan Mikawa. Sekutu Majapahit, Portugis juga ikut mengambil bagian dalam invasi ini.
Dalam pertempuran di luar kota Kyoto, Toyotomi pun bunuh diri dengan tradisi seppuku. Setelah memegang kendali Kyoto, Kaisar Jepang mengumumkan bahwa Jepang kini menjadi negara bawahan Majapahit.
Berita gembira ini pun disambut meriah di Jawa, bahkan koloni Majapahit di pantai barat benua Bambangan dan benua Jokoagung.
Setelah invasi ini, petinggi Majapahit merencanakan invasi ke Prancis melalui benua Bambangan.
Referensi:
Europa Universalis IV

MAKNA KATA ASTUNGKARA, SVAHA DAN TATHASTU




Astungkara berasal dari kata Astu dan Kara, yang mendapat sisipan “ng”. Astu berarti semoga terjadi dan Kara berarti penyebab, dan kata penyebab dalam hal ini merujuk kepada Tuhan. Jadi Astungkara berarti semoga terjadi atas kehendak-Nya. Swaha bagaikan sebuah lagu rohani dan juga berarti semoga diberkati. Swaha adalah ucapan yang umumnya diucapkan di akhir sebuah mantra. Seperti kata “Om” yang diucapkan di awal mantra, “Swaha” diucapkan di akhir mantra. Svaha diucapkan di akhir pengucapan sebuah mantra suci, setiap menghaturkan persembahan atau setiap menuangkan persembahan ke dalam api suci. Kita sering mengucapkan kata svaha ini saat kita melakukan kramaning sembah. contoh “Om Namah Sivaya, Svaha”.Tathastu berasal dari kata Tat dan Astu, Tat berarti itu, kata “itu” merujuk pada doa atau permohonan yang diucapkan, sedangkan Astu berarti semoga terjadi. Jadi Tathastu berarti terjadilah seperti itu. Tathastu diucapkan untuk meng-amini atau untuk ikut mendoakan apa yang menjadi harapan dan doa orang lain supaya bisa terwujud sesuai dengan harapan orang tersebut. Contoh “Astungkara tahun depan saya bisa membeli rumah”, orang yang mendengar atau orang yang diajak bicara bisa menjawab atau mengucapkan kata Tathastu. Jadi bisa ditarik kesimpulan kata Astungkara, Svaha dan Tathastu adalah sebuah kata suci yang diucapakan untuk sebuah doa yang tulus dan ikhlas, doa yang baik untuk kebaikan dan tidak boleh mengucapkan kata tersebut untuk doa yang bersifat mencelakakan orang lain atau mengharapkan orang lain sengsara.

Sumber : kb.alitmd.com

Pembantaian Keturunan Majapahit oleh Kesultanan Demak (1478-1518): Tragedi Akhir Majapahit

 


Kerajaan Majapahit, kerajaan Hindu-Buddha terbesar di Nusantara, mengalami kemunduran drastis setelah wafatnya Hayam Wuruk dan semakin diperparah oleh perang saudara dalam Perang Paregreg (1405-1406).
Pada tahun 1478, Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah menyerang dan menaklukkan sisa-sisa kekuatan Majapahit. Namun, tidak hanya sekadar merebut kekuasaan, pasukan Demak juga melakukan pembantaian besar-besaran terhadap keturunan kerajaan Majapahit, mengakhiri sisa-sisa dinasti yang pernah berjaya di Nusantara.
---
Latar Belakang: Runtuhnya Majapahit
Setelah perang saudara dan melemahnya ekonomi akibat tekanan dari Kesultanan Malaka dan pedagang Islam, Majapahit semakin kehilangan kekuatannya. Pada tahun 1478, Prabu Girindrawardhana (raja terakhir Majapahit) menghadapi serangan besar dari Kesultanan Demak yang mengklaim dirinya sebagai penerus sah Majapahit melalui garis keturunan dari ibu Raden Patah.
Demak yang sudah menjadi kekuatan Islam utama di Jawa melihat Majapahit sebagai kerajaan yang lemah dan siap untuk dihancurkan.
---
Serangan dan Pembantaian Keturunan Majapahit
1. Penyerbuan ke Istana Majapahit (1478)
Pasukan Demak dipimpin oleh Raden Patah dan Sunan Kudus melakukan serangan besar ke ibu kota Majapahit.
Pertahanan Majapahit yang lemah tidak mampu menahan serangan, dan istana dengan cepat jatuh ke tangan pasukan Islam.
2. Pembantaian Keluarga Kerajaan dan Bangsawan Majapahit
Setelah istana dikuasai, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap bangsawan dan keturunan kerajaan Majapahit.
Para pangeran dan pejabat tinggi yang masih setia kepada Hindu-Buddha dibunuh atau dipaksa masuk Islam.
Kuil-kuil dan bangunan keagamaan Hindu-Buddha dihancurkan atau dialihfungsikan menjadi masjid dan pesantren.
3. Pelarian Keturunan Majapahit ke Bali dan Blambangan
Sebagian kecil bangsawan Majapahit yang selamat melarikan diri ke Bali, di mana mereka mendirikan Kerajaan Gelgel, cikal bakal Kesultanan Klungkung.
Blambangan (di ujung timur Jawa) menjadi salah satu benteng terakhir Hindu di Jawa dan terus bertahan hingga abad ke-18 sebelum akhirnya ditaklukkan oleh Mataram dan Belanda.
---
Dampak dan Warisan Sejarah
1. Akhir Era Hindu-Buddha di Jawa
Dengan jatuhnya Majapahit dan pembantaian keluarga kerajaan, pengaruh Hindu-Buddha di Jawa mulai menghilang.
Kesultanan-kesultanan Islam seperti Demak, Cirebon, dan Banten mulai mendominasi Pulau Jawa.
2. Majapahit Digantikan oleh Kesultanan Demak
Demak mengklaim dirinya sebagai penerus Majapahit, tetapi dalam versi Islam.
Raden Patah memerintah dengan dasar Islam dan mengubah sistem kerajaan yang sebelumnya berbasis Hindu-Buddha.
3. Perlawanan di Blambangan dan Bali
Blambangan bertahan sebagai kerajaan Hindu terakhir di Jawa hingga abad ke-18.
Bali menjadi pusat budaya Hindu di Nusantara dan tetap bertahan hingga sekarang.
---
Kesimpulan
Tragedi pembantaian keturunan Majapahit oleh Kesultanan Demak menandai salah satu peristiwa paling berdarah dalam sejarah Nusantara. Peristiwa ini menjadi simbol peralihan besar dari era Hindu-Buddha ke era Islam di Jawa, sekaligus mengakhiri salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Meski Majapahit telah runtuh, jejak kejayaannya tetap hidup dalam budaya, seni, dan sejarah Indonesia hingga hari ini. 

BEGINI MAKNA DAN TUJUAN MANUK DEWATA DIGUNAKAN DALAM PROSESI NGABEN



Saat melaksanakan upacara Ngaben, sarana upakara seperti Manuk Dewata atau Burung Cendrawasih berperan sangat vital. Apa sejatinya fungsi burung langka asal Indonesia Timur ini? Manuk Dewata yang memiliki bulu indah berwarna-warni ini, digunakan saat prosesi palebon di atas bade atau wadah. Menurut Ketut Agus Nova, S.Fil.H, M.Ag, yang akrab disebut Jro Anom, penggunaan Manuk Dewata ketika upacara Ngaben sangat diwajibkan. Sebab, secara filosofis, Manuk Dewata adalah wahana sang Atman menuju alam Swah Loka agar perjalanannya lancar tanpa hambatan. Burung Cendrawasih sendiri dalam mitologi Hindu Bali dianggap sebagai burungnya para dewa atau disebut Manuk Dewata. Dikatakannya, hakikat digelarnya upacara Ngaben adalah untuk melepaskan unsur-unsur Panca Mahabhuta dan Panca Tan Matra dari badan kasar manusia yang meninggal. Sehingga nantinya setelah diaben, Atma tersebut benar-benar terlepas dari unsur Panca Mahabhuta dan Panca Tan Matra sebagai sumber kehidupan. Nah, upacara Ngaben, lanjutnya, merupakan proses penyucian Atma saat meninggalkan badan kasar. “Burung Cendrawasih ini sebagai simbol pelepasan roh dari Panca Mahabhuta dan Panca Tan Matra untuk menuju sumbernya masing-masing,” bebernya. Kalaupun saat Ngaben tidak menggunakan bade atau wadah, lanjut Jro Anom, penggunaan Manuk Dewata juga tetap diperlukan. Sebab, sesuai esensinya, Manuk Dewata inilah yang mengantarkan sang Atman menuju alam Swah Loka. Dan, saat berangkat ke setra itulah Manuk Dewata digunakan.

Sumber : kb.alitmd.com