Label
- Bali inspiration
- Bali Masa Depan
- basa Bali
- Bersenang-senang dengan devanagari
- Bhagavad Gita
- Cafe Herbal
- Caru
- Dewa Yadnya
- English for kids
- Gamelan
- Hindu bilingual
- Jenis Banten
- Jual Banten
- Karya Ngenteg Linggih
- Macam-macam Banten
- Macam-macam Tebasan
- Manusa Yadnya
- Memukur
- Panca Sembah
- Pitra Yadnya
- pustaka
- Rerainan
- Sampyan
- saMskrtam
- Satua
- Sesayut
- Tetandingan
- Toko OnLiNe jualan onlain
- Upacara upakara
- Uparengga
- Yoga Bali
Jumat, 10 Mei 2024
NAFSU INDRIA
KARMA PHALA
Pura Pucak Hyang Ukir
DAPAT MENGENALI DIRI SENDIRI ADALAH AWAL PENCERAHAN
Senin, 06 Mei 2024
Ahimsa Parama Dharma
Ahimsa Parama Dharma ("Ahimsaya paro dharma") artinya tidak membunuh adalah dharma yg tertinggi.
Namun dalam hidup ini, kita pasti pernah membunuh baik sengaja maupun tidak.Seperti halnya :
Untuk dimakan, binatang tersebut dalam ajaran agama Hindu (lontar Wrtti sesana) dijelaskan tentang Himsa (perbuatan membunuh ) yg dapat dilakukan,yaitu sbb :
Dewa Puja, membunuh binatang untuk dipersembahkan pada Dewa.
Pitra Puja, dipersembahkan pada Leluhur.
Atiti Puja, membunuh binatang untuk disuguhkan pd para tamu.
Dharma Wigata, membunuh binatang yg membawa penyakit.
Pembunuhan seperti diatas isebutkan dapat dibenarkan, tapi kita tidak boleh lupa mendoakan binatang tersebut dengan mantra menyemblih hewan/binatang sebelum dibunuh agar rohnya mendapat peningkatan.
Selain itu ada juga pembunuhan yg dibenarkan sebagaimana dijelaskan salah satu kutipan dalam forum diskusi jaringan hindu nusantara yaitu :
Pembunuhan yg dilakukan oleh para kesatria/prajurit di medan perang atas dasar dharma kebaikan;
Dimana dalam Catur Dharma disebutkan agar nantinya dapat mewujudkan Dharma Santosa yaitu : kedamaian, kesentosaan dalam keluarga, apalagi bangsa dan negara.
Dan sikap patriotisme demi membela Negara atau kerajaannya,
Oleh sebab itu orang meninggal dalam peperangan dimana diuraikan Stri Parwa Mahabharata, seseoang tersebut disebut dengan pahlawan.
Membrantas paham yang selalu menghasut orang untuk melakukan tindakan kekerasan sebagai wujud dari prilaku tidak baik asubhakarma seperti halnya kepada Terorisme yang dapat menyebabkan terancamnya keutuhan suatu negara.
Begitu juga disebutkan pemakaian binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai sarana upacara yadnya seperti halnya penggunaan untuk kurban suci dalam bentuk caru telah disebutkan dalam Manawa Dharmasastra V.40.
Tumbuh-tumbuhan dan binatang yang digunakan sebagai sarana upacara Yadnya itu akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaan berikutnya.
Karena setiap perbuatan yang membuat orang lain termasuk sarwa prani meningkat kualitasnya menjadi perbuatan yang sangat mulia. Perbuatan itu akan membawa orang melangkah semakin dekat dengan Tuhan.
dll.
Sebagai kewajiban suci yang tertinggi, agama atau pelaksanaan agama yang paling tinggi, hal ini ditegaskan berkali-kali di berbagai kitab suci Veda sebagaimana dijelaskan dalam kutipan HINDU DHARMA (pandangan hidup terhadap vegetarian), Ahimsa Parama Dharma dengan istilah-istilah yang sama atau juga dengan istilah-istilah yang berbeda, seperti :
Ahimsayah paro dharmah,
Ahimsa laksano dharmah,
Ahimsa parama tapa,
Ahimsa parama satya,
dan lain-lain.
Ini menunjukkan bahwa agama Hindu kita menaruh perhatian yang sangat penting pada ajaran tanpa kekerasan dan cara hidup vegetarian.
Kembali kita melihat penekanan paragraf di atas, bahwa Ahimsa parama dharma berarti pelaksanaan kewajiban-kewajiban suci yang tertinggi, atau pelaksanaan ajaran agama Hindu yang termurni atau tertinggi. Penjelasan ini secara langsung telah berarti bantahan terhadap anggapan-anggapan negatif terhadap para pelaku Ahimsa dan vegetarian.
Apalagi jika mempunyai kesempatan yang lebih lagi untuk melihat bukti-bukti keagungan ajaran Ahimsa dan vegetarian dalam literatur Veda, orang akan dipaksa menundukkan kepala diiringi rasa kagum terhadap ajaran-ajaran kitab suci Veda kita.
Alasan lain Ahimsa disebut sebagai Parama Dharma juga adalah karena Ahimsa dan vegetarian merupakan pintu gerbang pertama bagi orang untuk mendekati pembebasan (Ahara-suddhau …. sarva-granthinam vipra moksa).
Bukan hanya dalam literatur Veda kita dapat jumpai ajaran indah tentang Ahimsa dan vegetarian tetapi juga dalam lontar-lontar serta tradisi warisan leluhur kita.
Lontar Mahesvari Sastra menyebutkan: “Apan yan tan karaksang Ahimsa brata, maka nimitta kroddha, moha, mana, mada, matsarya, nguni-unin makanimittang kama, yeka panten dadanya”,
sebab jika ajaran-ajaran brata Ahimsa tidak dipelihara, maka ia akan menyebabkan berkembangnya sifat-sifat kemarahan, khayalan, kebanggaan, kebingungan, rasa iri hati, dan bahkan ia dapat menyebabkan tumbuh suburnya hawa nafsu yang menggebu-gebu, yaitu musuh di dalam diri setiap makhluk hidup yang paling sulit dikendalikan (kama-rupa durasadam).Selanjutnya lontar Mahesvari Sastra menunjukkan daftar nama-nama binatang, burung dan/atau bangsa burung yang tidak boleh dimakan.
Khususnya bagi para pendeta, berkali-kali diperingatkan: “Tan bhaksya ika de sang siddhanta brata, tan bhaksya nika, tan bhukti nika”, — tidak boleh dimakan semua itu oleh para pendeta (sulinggih) yang ingin mantap dalam pantangan-pantangan suci.
Kadang-kadang, orang berpendapat bahwa hanya para Vaisnava sajalah yang melaksanakan vegetarian atau pantangan-pantangan daging, ikan (telor, terasi, bawang merah, bawang putih dan lain-lain).
Di Bali lontar Vrhaspati Tattva dikenal sebagai lontar ke-Saiva-an. Ternyata, menurut lontar ini, para Saiva pun perlu melaksanakan ajaran Ahimsa, tidak membunuh-bunuh dan tentu pula tidak memakannya (Ahimsa ngaranya tan pamati-mati).Ajaran Saiva juga mengajarkan pengikutnya untuk maju terus dalam kerohanian. Semakin maju seseorang di dalam kerohanian biasanya semakin maju pula ia dalam hal berpantangan dan pelaksanaan kesucian. Lebih-lebih bagi mereka yang telah mampu mencapai meditasi tingkat pendeta, menurut lontar ajaran leluhur kita, adalah merupakan keharusan untuk meningkatkan kesucian dan tidak membunuh-bunuh makhluk lain.
(kadi buddhi sang pandita, sahisnu tan prana-ghata …. nguniweh tan hingsa-karma tan pamati-mati). Bahkan, ada pula ajaran-ajaran leluhur kita di dalam lontar bernada amat keras, seperti misalnya lontar kekawin Astikasraya dan kekawin Arjuna Vivaha.Demikian disebutkan beberapa hal tentang ahimsa parama dharma sebagai salah satu simbol dan istilah Hindu Dharma.
4 Penjaga atau Kanda Pat
Usai Mawinten Pantang Makan Daging Suku Empat
Ada sejumlah pantangan untuk orang yang telah Mawinten. Salah satunya adalah pantang makan daging berkaki empat.
Welaka Ida Bagus Gede Suragatana mengatakan, pantangan seseorang yang selesai Mawinten sesuai kemampuannya. Selain itu, niat dari seseorang yang melaksanakan Pawintenan tersebut. “Kalau saya tidak boleh makan daging suku empat, tidak boleh makan dari upacara Pangabenan. Tetapi semua itu tergantung dari niat. Jika itu dilanggar maka akan sangat gampang sakit,” tutur pria yang akrab disapa Gus Suragatana ketika diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) di rumahnya Desa Kelusa, Kecamatan Payangan, Gianyat, pekan kemarin.
Gus Suragatana mengaku saat Pawintenan berjanji menjadi walaka yang menjaga astika asti, yakni arah utara, selatan, timur, dan barat. Sehingga, ketika makan daging suku empat dirinya akan tidak tahu arah. Tetapi, jika makan tidak disengaja, lanjutnya, bisa nunas pangampura (mohon maaf) dengan upakara Prayascita.
“Yang menentukan itu semua adalah janji dan pikiran sendiri. Prayascita itu dilaksanakan dengan syarat pantangan tersebut dilanggar dengan tidak disengaja. Bila sengaja dilanggar, maka upacara tersebut tidak ada gunanya,” imbuhnya.
Gus Suragatana menambahkan, bahan yang digunakan untuk merajah saat Pawintenan berupa sirih dan madu. Di mana di antara kedua kening dirajah dengan aksara suci Yang, di dada dengan aksara suci Dang, kedua bahu dengan aksara suci Bang, di tunggir dengan aksara Sang, di telapak tangan dengan aksara Tang, di tengah lidah dengan aksara Ing, dan pada ujung lidah dengan aksara Ong.
Gus Suragatana menjelaskan, beberapa sarana upakara yang digunakan untuk mawinten, supaya rentetan prosesi Pawintenan berjalan lancar tanpa halangan apapun. “Pertama harus melakukan prayascita sebagai pembersihan, banten durmanggala, banten pangulapan, pangenteb bayu, banten atma rauh, pangenteb hati. Tetapi paling awal harus melakukan natab biyukawonan,” jelasnya.
Setelah melakukan biyukawoanan, baru dilaksanakan majaya-jaya yang harus dipuput oleh sulinggih. Selanjutnya menghaturkan banten kehadapan sasuhunan yang malinggih di merajan. Setelah itu, baru melaksanakan natab Pawintenan. “Banten setelah dihaturkan di merajan ditunas dan ditatab saat Mawinten. Di sana ada yang disebut dengan tebasan guru, baru dirajah badannya,” tandasnya.
Setalah pelaksanaan Pawintenan ada upacara Padambelan yang menggunakan bebek dan ayam. “Ayam menyimbolkan bhuta dan bebek menetralisasikan leteh sebelum diwinten. Rentetan upcara tersebut dilaksanakan sesuai Pawintenan apa yang dibutuhkan saat itu,”pungkasnya.
(bx/ade/yes/JPR) –sumber