Senin, 11 Juli 2022

Bila ingin SANTOSA tingkatkanlah kualitas diri (Sauca) melalui Tapa, Swadyaya dan Isvarapramidana Sesuai tradisi Atangga Yoga

 


Sebelum diksa diawali dengan menerapkan 5 pantangan, dalam arti mengendalikan sifat sifat buruk menuju Tri Kaya Parisudha dan meningkatkan Satwika.
Tentang waktu nya minimal selama 3 bulan.
Dan baru dilanjutkan dengan Diksa.
Setelah diksa ini dilanjutkan dengan menyepi bertapa selama sekitar 42 hari untuk menemukan kembali atau Memperlancar dan membiasakan diri bermeditasi agar terbiasa mencapai apa yang telah dicapai saat diksa.
Selama pengasingan diri inilah diterapkan Panca Niyama Brata seperti yg terkandung dalam TS. Antara lain:
==> 1. Sauca, selalu meningkatkan kualitas diri secara fisik, mental dan spiritual.
==> 2. Tapa berniat dg sepenuh hati untuk mencari selalu kedalam, dg penuh ketulusan.
==> 3. Swadyaya, menerapkan secara sesaksama dg tulus apa petunjuk Guru dan Agama.
==> 4. Isvarapramidana, dengan tekun selalu berserah diri dg sepenuh hati hanya kepada Ida Hyang Widhi Wasa.
==> 5 Santosa, dg menerapkan ke 4 langkah itu diharapkan kita bisa tetap tenang, damai dan senyum apa pun cobaan yang menerpa dalam hidup ini.
Perlu dicatat
Bahwa makin cepat kemajuan spiritual kita makin cepat kita mencapai Santosa.

Yang Membunuh akan Dibunuh

 


Salah satu antara banyak tuntunan rohani yang menjelaskan mengapa Vaishnava tidak berkenan membunuh hewan, dalam soal makan ataupun yajna, adalah mantra Sanskerta ini;
"Māṁ sa khādatī māṁsaḥ"
Dalam Sanskerta Mām berarti "aku," dan Sa berarti "dia." Ini bermakna; "Jika aku membunuh hewan ini; atau memakannya, dalam hidupku selanjutnya dia akan membunuhku atau memakanku."
Mantra ini menekankan bahwa pada saat hewan dikorbankan, hewan tersebut memberikan hidupnya secara paksa. Di kehidupan selanjutnya dia akan mendapatkan kesempatan untuk menjadi manusia, dan yang sekarang membunuhnya akan menjadi hewan yang dibunuh olehnya.
Jika membunuh hewan, harus siap menjadi hewan dalam kehidupan selanjutnya dan dibunuh olehnya. Setelah memahami mantra ini, siapa sesungguhnya bersedia atau sanggup membunuh hewan lagi?
Oleh karena itu, mari kita ambil hikmah dari mantra ini sebagai dorongan inspirasi atau motivasi, untuk kita berupaya hidup dalam harmoni dengan yang lain, supaya terhindar memasuki siklus membunuh dan dibunuh ini. Belas kasih terhadap yang lain terlahir dari kesadaran Paramatman, yang terwujud sebagai empati yang tulus dan simpati yang ikhlas dalam setiap pikiran, perkataan dan perbuatan kita.⚘

Makna MERU bagi Tahapan Kehidupan di Bumi

 


Bentuk pelinggih
Meru yang ada di Bali.
Dalam Lontar Andha Bhuwana, kata meru sejatinya disebutkan berasal dari kata :
• me yang berarti ’meme atau ibu’, sedangkan
• ru berarti ’guru atau bapak’ (dalam catur guru disebut mereka yang melahirkan kita);
Dengan demikian meru itu bermakna "ibu bapak" sebagai leluhur’ yang menjadi asal muasal kita sebagai manusia atau cikal bakal kehidupan.
Dalam Lontar Andha Bhuwana ada dinyatakan bahwa meru itu sebagai lambang alam semesta (Meru ngaran pratiwimba Andha Bhuwana).
Dalam lontar yang sama juga dinyatakan sbb:
Pawangunan pelinggih makadi meru muang candi, juga pratiwimba saking pengelukunan wijaksara dasaksara mewastu manunggal dadi Om. Artinya: Bangunan suci (pelinggih) terutama meru dan candi juga simbol dari pemutaran huruf suci wijaksara dasaksara menunggal menjadi Om.
Dari penjelasan Lontar Andha Bhuwana ini yang menyatakan tumpang atap meru di samping melambangkan lapisan alam juga melambangkan pemutaran huruf suci yang disebut wijaksara sampai dasaksara. Huruf suci yang disebut aksara itu dinyatakan sebagai ''ruping bhuwana''.
Pemutaran wijaksara sampai menjadi dasaksara dan kembali menjadi wijaksara Om itu melukiskan
bahwa di setiap lapisan alam ini ada aksara sucinya. Misalnya di Tri Loka ada Tri Aksara Ang Ung Mang sebagai uripnya. Di Panca Loka ada Panca Aksara sebagai uripnya. Demikian seterusnya, di setiap lapisan alam itu ada aksara simbol urip yang menjadi sumber hidup dari setiap lapisan alam tersebut.
Apa yang dinyatakan dalam Lontar Andha Bhuwana ini sebagai penegasan dari pernyataan Mantra Veda yang menyatakan bahwa Tuhan itu ada di mana-mana. Lebih lanjut lontar Andha Bhuwana menyatakan sbb: Sowang panta ika maka sthananira mwah angalih aran. Catur Dasa panta ika, sapta Loka kaluhur mwang sapta Patala ming sor. Artinya, setiap lapisan itu sebagai sthana beliau (Hyang Widhi) yang masing-masing berganti nama.
Empat belas lapisan sthana beliau (Hyang Widhi) yang masing-masing berganti nama. Empat belas lapisan itu Sapta Loka ke atas dan Sapta Patala ke bawah. Apa makna dari pelukisan semua lapisan alam ini sebagai sthana Hyang Widhi Tuhan Yang Mahakuasa dengan sebutan yang berbeda-beda pada setiap lapisan.
Tuhan yang selalu berada di setiap lapisan alam ini hendaknya dimaknai sebagai suatu peringatan agar manusia selalu berlaku baik dan benar di setiap lapisan alam ini. Asih, Punia, dan Bhakti wajib dilakukan oleh umat manusia di setiap lapisan alam.
Asih dan Punia kepada alam dan semua makhluk hidup termasuk manusia di setiap lapisan alam ini. Melakukan Asih dan Punia kepada alam dan sesama umat manusia itu sebagai salah satu wujud bakti pada Tuhan. Tidaklah tepat di suatu lapisan alam tertentu manusia boleh saja berbuat semena-mena demi kenikmatan hidup di lapisan yang lain. Seperti di wilayah pemukimannya, manusia menciptakan berbagai fasilitas hidup yang memberi kenikmatan, tetapi di lapisan lain menimbulkan kerusakan alam yang hebat.
Misalnya manusia ingin memiliki mobil dengan berbagai merek dan jenisnya. Semuanya itu agar mereka dapat dengan mudah ke mana maunya.
Untuk memenuhi itu, berbagai bagian bumi ini dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan akan bijih besi dan minyak bumi. Sudah semakin banyak perut bumi dilubangi dalam-dalam dan luas untuk mendapatkan berbagai mineral yang tak terbarukan yang dijadikan bahan-bahan baku untuk membuat barang-barang industri demi memenuhi kebutuhan umat manusia mendapatkan hidup yang nikmat.
Jika sudah datang gilirannya, maka alam yang dirusak itu akan membawa manusia pada hidup yang duka lebih dalam dari pada kenikmatan yang didapatkan. Demikian juga untuk memiliki rumah yang mewah, indah dan memberikan kenikmatan yang serba wah pada pemukimnya membutuhkan berbagai mineral yang tak terbarukan. Seperti besi, ubin, pasir, semen dan juga kayu yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.
Seandainya semakin banyak orang yang mau tinggal di rumah yang tidak terlalu mewah dan serba wah itu, mungkin tidak banyak sumber-sumber alam yang dirusak. Alam pun akan asri dan lestari, hidup tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia pun akan seimbang, tidak saling terancam.
Meru dengan tumpang-tumpang atapnya itu hendaknya dapat memberikan kita pemahaman bahwa hidup di lapisan alam tertentu jangan sampai merusak keadaan hidup di lapisan alam yang lain. Meskipun kita berbuat di Bhur Loka tetapi akibatnya dapat menembus Bhuwah Loka bahkan Swah Loka. Kalau kita berbuat tidak baik dan benar di Bhur Loka ini seperti merabas hutan, menggunakan sarana hidup yang serba mesin tetapi tidak laik operasional juga bias menimbulkan kerusakan di angkasa.
Mesin yang tidak laik jalan misalnya mesin yang menimbulkan gas buang yang melebihi ambang batas dapat merusak langit bahkan menimbulkan gas rumah kaca di udara. Hal ini yang akan menghalangi panas naik ke angkasa dan balik ke bumi menimbulkan pemanasan global membuat suhu bumi meningkat. Udara yang dihirup oleh manusia pun menjadi semakin kotor. Hidup manusia pun akan semakin resah. Konon larutan logam berat yang melebihi ambang batas dalam darah manusia, dapat menimbulkan gangguan mental pada manusia.
Manusia bisa lebih emosional dan meledak-ledak karena ada gangguan mental. Sedih dan gembira akan diekspresikan secara ekstrim oleh manusia yang dalam darahnya mengandung larutan logam berat melebihi ambang batas. Kalau di setiap lapisan bumi ini kita mampu tegakan Rta dan Dharma sebagai dasar berbuat maka durian inilah yang akan menuntun kita menuju alam tertinggi yaitu Satya Loka yang dilukiskan oleh tumpeng meru yang teratas yang juga disebut sebagai lambang Omkara.
Dunia ini dengan semua lapisannya berdimensi ganda. Bisa membawa manusia menuju surga dan bisa juga sebagai sarana mengantarkan menuju neraka. Kalau hukum alam dan hukum manusia (Rta dan Dharma) ditegakkan di setiap lapisan bumi ini maka manusia pun dapat mencapai Satya sebagai dasar menuju surga. *(Buku Bali Tempo Dulu dikompilasi sesuai aslinya oleh I Gusti Bagus Rai Utama)
Dalam Buku Petunjuk Arah Wisata Rohani Pura dan Bangunan Suci Hindu di Pulau Bali-IHDN-PRESS- Koerniatmanto S., disebutkan pula :
a. Meru Tumpang Solas (sebelas) bermakna sebelas aksara suci
1) sa di purwa (timur, dewanya Iswara dan warnanya putih) ;
2) ba di daksina (selatan, Brahma, merah);
3) ta di pascima (barat, Mahadewa, kuning);
4) a di uttara (utara, Wisnu, hitam);
5) i di madhya (tengah, Ciwa, campuran atau panca warna);
6) na di agneya (tenggara, Mahesora, merah muda atau dadu);
7) ma di nairrta (barat daya, Rudra, jingga);
😎 si di bayabya (barat laut, Sangkara, hijau);
9) wa di aisana (timur laut, Sambu, biru) dan
10) ya di madhya (tengah atas, Ciwa, panca warna).
Kesepuluh aksara suci diatas dimanunggalkan menjadi satu aksara suci Omkara sebagai lambang Eka Dasa Dewata

KAWISVĀRA PEDOMAN BRAHMANA HINDU BALI

 


Kawisvāra adalah pedoman masyarakat Bali dalam membahas veda baik dalam wujud literasi maupun selipan ajaran susila ( sila ) yang terbungkus tradisi dan budaya.
Masyarakat Bali yang dituntun oleh brahmana dimasa lalu yakni para dukuh, dalam rangka menggali, mempelajari kembali literasi-literasi serta sila-sila yang menjadi pedoman leluhur adalah dengan cara mengupas sandi-sandi bahasa rohani yang diwujudkan dalam sebuah bentuk baik literasi maupun bangunan suci.
Langkah awal agar memperoleh gambaran sebagai inti dan maksud dari para leluhur tersebut harus menguasai tehnik bahasanya yang meliputi sastra dan jnāna, dengan berpedoman pada sistem wedangga yakni siksha ( sandhi bahasa ), wyakarana ( tata bahasa ), chanda ( guru lagu ), nirukta ( asal usul kata ), jyotisha ( urutan waktu penulisan )dan kalpa ( wujud lain dari bahasa sastra ).
Bahasa dalam veda berikut turunannya seperti veda mantra, dharmasastra atau ajaran susila, filsafat atau upanisad, purana atau itihasa dan karya sastra lainya tidak segampang membaca buku bacaan biasa. Veda dan turunannya penuh dengan hiasan kalimat misteri serta jebakan - jebakan kalimat yang membutuhkan kemurnian' bathin, bukan kepintaran membaca dan menghafal.
Bahasa dalam veda terdiri dari linguistik [ mantra ], metalinguistik [ yantra ] serta supralinguistik [tantra ] sebagai substansi antara veda dan pembacanya adalah satu alunan energi yang selaras.
Tidak mungkinlah membaca atau menggali kandungan veda dipenuhi dengan sifat KOTOR, yang akhirnya menghasilkan tafsir - tafsir keliru.
Aplikasi spiritualitas yang menjadi inti dari veda tidak terbatas pada aspek atau wacana kebajikan sebagai landasan kesucian diri, moralitas sebagai landasan welas asih atau wujud menjadi brahmana atau sulinggih sudah mampu mencapai kesucian. Namun sesungguhnya spiritualitas harus mampu mewujudkan simbul-simbul spirit baru sebagai hasil olahan rasa bathin yang berbentuk wujud bangunan atau pecandian kepada generasi mendatangnya.
Candhi bahasa yang berwujud lontar adalah pecandian rohani leluhur sebagai syarat bisa dinyatakan sebagai brahmana. Nyurat atau Ngawi meliputi penguasaan aksara, tata bahasa, guru lagu sampai mampu menyelipkan bahasa sandhi yang dikenal " rajah " adalah keahlian brahmana dimasa lalu.
Rupa berwujud gambar dan seni ornamen lainnya adalah buah karya rohani para brahmana dimasa lalu, meliputi lukisan indah baik dalam bentuk warna datar maupun ukiran atau pahatan yang dipakai ornamen pada sanggar-sanggar pamujaan dan wujud bangunan suci lainnya.
Ada lagi berbentuk RAJAH yakni sebuah simbul rahasia yang tidak tampak oleh mata namun memiliki nilai energi yang sangat supra dan energi ini mampu digunakan untuk pembangkitan energi ( kundalinā ) dalam tubuh manusia, spirit pada sanggar pamujaan sampai kawasan wilayah hidup masyarakat.
Kekuatan yang tidak terlihat ini tidak akan mampu dilihat oleh orang biasa. Kekuatan energi rajah inilah rahasia terdalam seorang brahmana dimasa lalu, sehingga tidak seorangpun masyarakat biasa mampu menerobos dinding jnāna beliau.
Semua yang terlihat ini adalah wujud surat dan gambar saja. Namun jarang masyarakat yang mengetahui motif rajah yang diwujudkan melalui kultivasi atau inisiasi pada praktisi kasunyataan [ para reshi ] yang dipakai untuk alat berspiritual dengan sempurna.
Wujud rajah ini memang sangat dirahasiakan dan bahkan jarang dibahas didepan umum, karena diwajibkan mendapatkan dengan proses guron aguron, tidak segampang mendapatkan pada praktisi pintar, bahkan jangan sampai membeli hal seperti ini, tidak baik buat yang menjual, juga sangat hina bagi yang membelinya.
Veda adalah bahasa misteri atau rahasia sebetulnya, namun leluhur memformulasi dan mewujudkannya pada proses belajar mengajar di sanggar dengan bahasa linguistik agar masyarakat bisa memahami dengan hanya sebagai praktisi yoga standar saja, namun kalau memiliki kemauan pada tingkat madhya dan sunya alangkah bagusnya.

SANG HYANG KAMAHAYANIKAN

 


OM Nama Siwa-Buddhaya
Sang Hyang Kamahayanikan telah ditulis pada permulaan era Jawa Timur dalam masa Mpu Sindok. Inilah bukti tekstual pertama yang menggambarkan eksistensi agama Siwa-Buddha di Indonesia. Mpu Sindok merupakan pendiri dinasti Isana yang berjaya dalam kerajaan Kadiri pada tahun 930 Masehi. Mpu Sindok pemeluk agama Siwa, namun kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang bersifat Buddhistik lahir di dalam masa pemerintahannya. Hal ini memperlihatkan betapa dua agama ini mendapat tempat yang sama di dalam kehidupan kerajaan. Mpu Sri Shambhara Surya Warama dari Wanjang dikatakan telah merevisi buku panduan kaum Mahayana ini, pada masa pemerintahan Mpu Sindok. Pengarang ini juga dikatakan menulis buku Wajra-dhatu Subhuti-tantra. Buku ini merupakan buku favorit raja Kertanegara yang terkenal mempraktekkan ajaran Wajrayana. Peranan raja Mpu Sindok penting karena melahirkan guru Tantrik Mpu Sri Sambhara Surya Warama dari Wanjang.
Kitab Sang Hyang Kamahayanikan mengatakan: Buddha tunggal lawan Siwa, yaitu Buddha dan Siwa adalah satu. Ungkapan ini mencerminkan persamaan (equation) Siwa dan Buddha. Persamaan ini bahkan sudah terjadi pada bidang metafisika, yaitu prinsip tertinggi pada masing-masing agama. Prinsip tertinggi diwujudkan dalam konsep dewa-dewa sebagai emanasi konsep atau prinsip tertinggi. Penggunaan istilah "sunya", "nirbana" (nibbana), "kaivalya" sering dijumpai pada teks-teks ajaran Buddha dan istilah-istilah ini berkolaberasi dengan ajaran Siwa. Kedua agama ini menggunakan istilah-istilah yang sama di dalam mengungkapkan sejumlah prinsip metafisika yang sama. Persamaan ini tidak hanya pada tataran metafisika seperti ungkapan di atas, persamaan terjadi dalam hal pengunaan atribut, busana, beberapa puja stawa pendeta Siwa dan pendeta Buddha. Penggunaan sampet, bhasma, ghanta, bija dan lain-lain memperlihatkan persamaan ini.
Kitab Sang Hyang Kamahayanikan disusun oleh Mpu Sri Sambhara Surya Warama digolongkan ke dalam teks yang bercorak Tantrik yang menguraikan tentang mandala, samadhi, latihan, pernafasan, perbandingan antara bermacam-macam Buddha dan Dewinya, nama-nama aliran dan ajarannya serta perwatakan, tempat, warna, dan sikap tangan dewa agama Buddha tertentu. Kitab ini juga berisi lima pokok landasan agama Buddha:
1. Mengakui Sang Tri Ratna (Buddha, Dharma, Sangha).
2. Mengakui Empat Kesunyataan Mulia (Catur Arya Satyani) dan Arya Beruas Delapan (Asta Nyhika Marga).
3. Mengakui tiga corak universal.
4. Mengakui Pratityasamutpada (hukum kejadian yang saling bergantung), dan
5. Mengakui Karma (Parwakarma dan Karmaphala) dan tumimbal laksi.
Perpaduan ini melahirkan corak Buddha Mahayana Tantrayana yang sangat khas dan bisa diwujudkan dalam bentuk fisik, seperti candi Barabudur dan bentuk ritual upacara agama. Tantrayana sebagai paham filsafat dan agama mengajarkan Panca "MA" (Mamsa, Matsya, Mada, Maithuna, Mudra), yaitu suatu praktek agama pembebasan melalui kekuatan magis. Penempatan Panca Tathagata di dalam urutan-urutan di candi Barabudur memperlihatkan bahwa konsep ini tidak jauh berbeda dengan Panca Brahma di dalam ajaran Hindu (Siwa Siddhanta). Panca Brahma atau Panca Dewata menempati tiap-tiap arah mata angin dengan lambang aksara tertentu yang disebut Panca Aksara. Perpaduan antara Panca Brahma dan Panca Aksara ini melahirkan formula: Na Ma Si Wa Ya, yang sangat disucikan oleh pemuja Dewa Siwa. Bangunan candi yang terdiri dari tiga bagian: Kama Dhatu, Rupa Dhatu, dan Arupa Dhatu paralel dengan konsep Tri Bhuana atau Tri Loka di dalam ajaran Hindu: Bhur Loka, Bhwah Loka dan Swah Loka.
Dari kitab Sang Hyang Kamahayanikan kita dapat mengetahui bahwa inti ajaran Tantrayana itu berpusat pada Panca Tathagata, karena melalui Panca Tathagata inilah yogi dapat mensucikan pikirannya menjadi jñana, dan dengan demikian dapat mencapai ke-buddha-an. Sehubungan dengan petunjuk ini, maka disamping unsur yang tersirat dalam relief Gandavyuha dan Bhadracari yang telah menunjukkan Tantrayana, unsur itu tentunya juga akan ditunjukkan oleh pantheonnya.
Sang Hyang Kamahayanikan, lebih menitik beratkan ajaran Tantrayana. Kemampuan untuk memadukan Mahayana dengan Tantrayana melalui pemaduan terhadap berbagai kitab sucinya serta kemudian merangkumnya dalam rilief dan arca menjadi satu candi, menunjukkan kegeniusan arsitek, acarya candi Barabudur. Perlu kiranya diungkapkan di sini bahwa pemaduan sebagaimana ditunjukkan oleh candi Barabudur, serta pemilihan dan urutan-urutan penyajiannya, belum pernah diketemukan di mana pun di dunia ini. Demikian pula halnya sintesa antara Mahayana dengan Tantrayana dirangkum dalam satu kitab sebagaimana yang diwujudkan Sang Hyang Kamahayanikan merupakan sebuah keunikan.
Di dalam kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang Buddhistik menguraikan Panca Aksara yang disebut sebagai Panca Tathagatha, yaitu Ah, Hum, Tram, Rih, A, yang tiada lain adalah Skandha atau Sarira (badan). Lebih lanjut disuratkan: "Ah-kara wijaksara danghyang Wairocana, Hum-kara wijaksara danghyang Amoghasiddhi, Tram-kara wijaksara danghyang Ratna Sambhawa, Rih-kara wijaksara danghyang Amithaba, A-kara wijaksara danghyang Amoghasiddhi. Nahan wijaksaramijlaken Panca Buddha" (Ahkara adalah aksara suci danghyang Wairocana, Humkara adalah aksara suci danghyang Amoghasiddhi, Tramkara adalah aksara suci danghyang Amithaba, Akara adalah aksara suci danghyang Amoghasiddhi). Kitab ini juga mengatakan bahwa Buddha tunggal dengan Siwa. Jika kita baca kitab Wrehaspati Tattwa yang Siwaistik kita akan melihat bahwa Hyang Sadasiwa berbadankan Isana, Tatpurusa, Aghora, Bamadewa dan Sadyojata. Konsep pengider-ideran di Bali juga dikenal dengan Wija Aksara Panca Aksara. Sadyojata (Wijaksara Sa di Timur), Bamadewa (Ba di Selatan), Tatpurusa (Ta di Barat), Aghora (A di Utara) dan Isana (I di Tengah).
Apa yang dapat kita pelajari dari sini bahwa keduanya baik ajaran Siwa maupun Buddha Mahayana menempatkan Yang Tunggal yang disebut Siwa atau Buddha berada di tengah-tengah bunga padma/teratai dengan kelopaknya menunjukkan mata angin yang ditempati oleh dewa-dewa atau Tathagatha. Yang Maha Gaib, Halus ditempatkan di tengah-tengah pusat kesadaran padma yang disimbulkan dengan padma sana dan padma hredaya yang ada di dalam diri. Beliau ada di pusat kesadaran dunia dan makhluk hidup.
Padmasana: Panca Brahma, Panca Tathagata dan Panca Aksara. Kedua Bhatara Siwa dan Buddha bersatu di dalam Padmasana. Penyatuan ini melalui proses yang panjang. Tantrayana berjasa besar di dalam upaya penyatuan ini. Setelah keduanya mendapatkan pengaruh ajaran Tantra, yaitu suatu ajaran yang menekankan pada kekuatan magis melalui sadhana Panca Tattwa, keduanya menyatu dan sehingga menjadi Siwa-Buddhagama. Padmasana dikatakan sebagai sthana Siwa dan Buddha. Di hadapan Padmasana ini pemuja, bhakta Siwa dan Buddha bersujud menghaturkan sembah, puja dan bhakti. Di dalam teks-teks baik yang bercorak Siwaistik maupun Buddhistik banyak ditemukan ungkapan yang menyatakan bahwa Bhatara Siwa dan Bhatara Buddha ber-sthana di atas Padmasana.
Panca Brahma merupakan lima wujud Bhatara Siwa yang telah mendapatkan pengaruh Maya Tattwa. Panca Brahma boleh juga disebut Panca Siwa. Brahma di sini dimaknai sebagai Siwa, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam tataran Sada Siwa, beliau dilukiskan ber-sthana di atas Padmasana.
Sampai di sini kita melihat bahwa konsep Panca Brahma di dalam Siwa Tattwa bukanlah sekedar sebuah konsep metafisika yang sangat abstrak namun bisa diwujudkan ke dalam bentuk fisik, seperti bunga, banten, pelinggih (bangunan) Padmasana dengan segala jenis dan namanya, organ-organ tubuh, warna, rasa, dan masih banyak lagi. Konsep ini menjadi semakin nyata manakala kita mampu merasakan dan menghadirkan di dalam diri kita melalui usaha-usaha kesucian dan yoga dimana sebagai landasannya adalah ajaran Yama dan Niyama Brata sebagai fondasi bangunan yang disebut yoga.
Di dalam ajaran Buddha Mahayana atau Mantrayana seperti tersirat di dalam kitab Sang Hyang Kamahayanikan konsep Panca Brahma tersebut identik dengan konsep Panca Tathagata, yaitu Wairocana dengan wijaksara Ah, Aksobhya dengan wijaksara Hum, Ratnasambhawa dengan wijaksara Tram, Amitabha dengan wijaksara Hrih dan Amoghasiddhi dengan wijaksara A. Kelima Bhatara ini juga disebut Bhatara Sarwajña. Hakikat Panca Tathagata dalam Pancadhatu: Wairocana adalah pertiwi, Amitabha adalah teja, Ratnasambhawa adalah apah, Amoghasiddhi adalah bayu, dan Aksobhya adalah akasa. Pancadhatu adalah elemen semua makhluk hidup. Panca Tathagata Jñana dalam kitab di atas adalah: Saswata jñana adalah pikiran yang teguh, Wairocana; Adarsana jñana adalah pikiran yang terang, Aksobhya; Akasamata jñana, pikiran yang bagaikan ether, Ratnasambhawa; Pratyaweksana jñana, adalah pengamatan, Amitabha, dan Krtyanusthana jñana, pikiran yang terpusat pada tindakan, Amoghasiddhi.
Di dalam stawa pemujaan kepada Bhatara Panca Tathagata masing-masing Buddha mempunyai kebijaksanaan, warna, gerak tubuh (mudra), singgasana, kediaman, aktivitas, penyerta, suku kata suci (wijaksara) dan lain-lain.

EHIPASSIKO

 


Pada suatu hari Sang Buddha singgah di sebuah kota kecil bernama Kesaputta di kerajaan Kosala. Penduduk kota ini biasanya disebut sebagai kaum Kalama. Ketika mendengar bahwa Sang Buddha singgah di kota mereka, berduyun-duyunlah mereka mengunjungi Sang Buddha dan bertanya kepada Beliau: “Bhante, beberapa orang pertapa dan brahmana yang mengunjungi kota kami memberikan ajarannya kepada kami dengan mengatakan bahwa yang mereka ajarkan itu yang paling benar dibandingkan dengan ajaran-ajaran yang lain.
Sesudah itu, datang pula pertapa dan brahmana lain. Mereka pun memberikan ajaran-ajaran mereka dan mengatakan bahwa hanya ajaran mereka sajalah yang paling benar dibandingkan dengan ajaran-ajaran yang lain. Sementara itu, kalau diperhatikan dengan baik, ajaran-ajaran mereka sering bertentangan satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, kami jadi ragu-ragu dan bingung dan tidak tahu siapa di antara para pertapa dan brahmana itu yang bicara benar dan siapa yang berdusta”.
Kemudian Sang Buddha memberikan jawaban yang unik dalam sejarah keagamaan. “Yah, putera-putera Kalama, sudah sewajarnyalah kamu ragu-ragu dan bingung disebabkan oleh sesuatu hal yang memang meragukan dan membingungkan sekali. Nah, dengarlah baik-baik apa yang akan Kukatakan.
Janganlah percaya begitu saja kepada berita yang disampaikan kepadamu, atau karena sesuatu sudah merupakan tradisi atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja kepada sesuatu yang katanya sudah diramalkan dalam buku-buku suci; juga kepada sesuatu yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka; juga kepada sesuatu yang katanya telah direnungkan dengan seksama; juga karena sesuatu yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu; atau karena kamu ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu. Tetapi, warga suku Kalama, kalau setelah kamu selidiki sendiri kamu mengetahui bahwa ‘hal ini tidak berguna, hal ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh para Bijaksana, hal ini kalau terus dilakukan akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan’, maka sudah selayaknya kamu menolak hal-hal tersebut di atas.
Tetapi, kalau, setelah kamu selidiki sendiri kamu mengetahui bahwa ‘hal ini berguna, hal ini tidak tercela, hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana, hal ini kalau terus dilakukan, akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan’, maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut di atas.
Selanjutnya, Sang Buddha mengatakan bahwa siswa-siswa-Nya harus meneliti dengan baik ajaran Sang Tathagata, sehingga mereka benar-benar yakin bahwa ajaran Sang Buddha itu benar adanya.
Keragu-raguan (vicikiccha) merupakan salah satu dari lima penghalang untuk mendapatkan pengertian yang terang tentang Kesunyataan dan menjadi rintangan bagi kemajuan batiniah seseorang. Tetapi keragu-raguan bukanlah merupakan dosa, karena pada hakekatnya Agama Buddha tidak mengenal dosa seperti yang dimaksud dalam agama-agama lain.

Bila Tuhan ada..... Adakah yang pernah melihatnya?

 


Tuhan itu ada di dua hal yang berbeda. Pada pikiran orang yang menyebutnya tidak ada maka Beliau seratus persen tidak tidak ada. Akan tetapi pada pikiran orang yang menyebut Beliau ada maka seratus persen Beliau ada.
Terkadang seiring perjalanan orang yang menyebut Tuhan tidak ada malah berbalik menjadi sangat religius dan menemukan keberadaan Tuhan. Sedangkan orang yang menyebut Beliau adalah ada dan nyata pada perjalanan waktu bisa berubah dan digerogoti kesangsian besar.
Sebuah buku atau lontar yang fresh dimana disana tertulis tentang tirta...anda peras sekalipun sampai rusak airnya tidak akan keluar dari sana kecuali sempat dicelupkan ke air. Berbeda bila anda memeras parutan kelapa atau buah lainnya yang segar. Tapi ada suatu hal yang sulit ditelaah yaitu hal yang kita cap sebagai keajaiban yang bukan karena ilusi rekayasa sulap. Orang yang pada pejalanan spiritual yang hendak mengetahui Tuhanpun butuh berproses...akan tetapi ada juga orang yang tanpa mencari dan tanpa memiliki bakti untuk percaya mampu mengetahuiNya. Mereka yang mendapat keajaiban demikian adalah karena karma masa lalunya sehingga ia bisa kembali menyadari jati dirinya yang sejati.
“Aku melihat Tuhan seperti melihat engkau saat ini!” Cuplikan kalimat ini berasal dari adaptasi percakapan Sang Guru dengan sang murid yaitu Swami Wiwekananda.
Sarwa Khalwidam Brahma ini adalah salah satu mahawakya weda yang terkenal. Meskipun demikian ada banyak orang hindu yang tidak bisa memaknai apa yang dimaksud demikian. Meski mengerti ia juga sulit menerimanya.
Untuk berbeda pemahaman adalah hal yang biasa...para maharsi, orang suci, atau yogi sekalipun juga bisa memiliki pemahaman yang berbeda.
Kita semua adalah orang buta yang meraba gajah...meski gajah itu tidak terlihat akan tetapi gajah itu ada.

Aku lahir untuk mengenal diriKu (Tuhan)
Tuhan dalam Hindu disebut ada banyak dan iya memang banyak, akan tetapi semua adalah satu kesatuan ibarat setiap mahluk jiwanya bersumber satu (Murti). Banyak nama-nama Tuhan tersebut dimana membuat kesan ada banyak Tuhan akan tetapi itu adalah Ekam Sat Viprah Bahuda Wadanti.
Tuhan tidak memiliki wujud "Na Tasya Pratima Asti"....semua identitas adalah juga Tuhan. Hanya saja identitas yang kita miliki membuat kita terikat pada identitas tersebut dan terkecoh olehnya demikian juga banyak dari kita terkecoh akan salah satu identias Tuhan dimana Beliau memiliki sahasra (ribuan/tanpa batas) identitas.
Aku adalah Agus maka aku terikat pada identitas nama ini dan menolak disamakan dengan nama orang lain sebab itu adalah identitas lain yang bukan diriku demikian juga dengan mengenal satu identitas Tuhan dan dengan sempit memandang identitas yang lain sebagai identitas yang tidak sama karena kenyataan pikiran kita secara naluriah adalah memisahkan sesuatu untuk mengenalnya lebih mudah.
Kita sulit memikirkan bahwa jiwa setiap mahluk adalah satu apalagi mengenal Tuhan yang bersemayam dalam diri dan merupakan kesadaran sejati tersebut===maka ini hanya akan cuma menjadi petuah dari kitab suci bagi kita yang belum siap kesana.
Siapa sejatinya Tuhan itu? Itu adalah Engkau (Chandogya Upanishad 6.8.7)
Swataketu mendapat jawaban Tat Tvam Asi (Chandogya Upanishad 6.8.7)