Jumat, 15 April 2022

Tajen itu Himsa Karma, Melanggar Ajaran Hindu

 



Mpu Jaya Prema
MASALAH tajen atau adu ayam di Bali kembali diperbincangkan. Tak bosan-bosan para elit di Bali bernafsu menghidupkan judi tradisional ini. Karena judi itu sudah menjadi candu di masyarakat dan otak para elit pun kemasukan candu maka berbagai upaya dilakukan untuk menghidupkan kembali tajen. Kali ini lewat celah rancangan peraturan daerah yang bertajuk Ranperda ABTB (Atraksi Budaya Tradisional Bali).
Pro kontra pun digiring ke arah bahwa tajen itu berunsur judi.
Yang kontra lalu menolak keras tajen dihidupkan karena ada judi di dalamnya dan ini melanggar undang-undang yang ada. Peraturan daerah tentu tak boleh bertentangan dengan undang-undang. Tetapi yang setuju tajen dihidupkan berdalih unsur judinya biasa ditiadakan. Dengan menghilangkan unsur judi itu maka tajen sebagai atraksi budaya tradisional Bali layak untuk dilindungi dan dilestarikan. Pendapat ini bahkan muncul dari tokoh agama Hindu bahwa tak apa-apa tajen dimasukkan dalam perda asalkan tidak ada unsur judi.
Semua pro kontra ini salah besar. Tajen bertentangan dengan ajaran agama Hindu, ada judi mau pun tidak. Semasih budaya adu ayam itu bernama tajen maka itu melanggar ajaran Hindu. Tajen itu berasal dari kata taji, itu pisau kecil tajam yang diikatkan di kaki ayam. Dengan senjata taji itu ayam bertarung hidup dan mati. Darah bercucuran sebelum ayam yang kalah itu dipotong sebagai pecundang.
Tindakan mengadu ayam dengan membiarkan salah satu mati dengan kesakitan ini tergolong himsa karma dalam ajaran Hindu. Ajaran yang melarang untuk menyakiti semua makhluk hidup. Di seluruh dunia tak ada orang mengadu binatang sampai ada yang mati karena itu menyiksa binatang. Adu domba populer di Kabupaten Garut tak sampai ada domba yang mati. Begitu satu domba tak mau berkelahi maka domba itu dianggap kalah, tetapi tetap dipelihara baik-baik. Adu ayam yang disebut tajen di Bali harus ada yang kalah sampai mati. Kalau satu ayam tak mau lagi berkelahi dipaksa berkelahi di dalam sangkar (kurungan) untuk menentukan siapa yang kalah. Lalu yang kalah langsung dipotong kakinya yang ditempelkan taji. Betul-betul himsa karma.
Pustaka Wrtisasana menjelaskan panjang lebar tentang himsa karma ini. Ada perkecualian binatang yang bisa dibunuh. Yakni jika hewan itu dibunuh untuk tujuan dewapuja (memuja para dewa), untuk atithipuja (persembahan kepada tamu) dan untuk walikramapuja (upacara korban seperti mecaru atau tawur yang lebih besar). Namun hewan itu sebelum dibunuh harus dibuatkan upacara penyucian karena akan dijadikan korban suci, sehingga kelak dalam kehidupannya nanti berubah menjadi makhluk yang lebih mulia dibanding hewan. Ada satu lagi pembunuhan hewan yang tidak melanggar himsa karma yaitu pembunuhan dengan maksud mempertahankan atau melindungi diri. Misalnya membunuh nyamuk, kutu dan sebagainya.
Itulah himsa karma dalam kaitan membunuh hewan. Namun ajaran himsa karma tak cuma berurusan dengan hewan. Menyakiti orang lain pun termasuk himsa karma. Tetapi ada yang dibenarkan sampai membunuh orang, yakni dalam hal terjadi peperangan di mana musuh boleh dibunuh.
Dalam kasus tajen kemudian pembicaraan yang berkembang selalu tajen dikaitkan dengan tabuh rah, seolah-olah tajen itu adalah bagian dari tabuh rah. Atau setidaknya tajen “pengembangan” dari tabuh rah. Ini juga salah besar. Tajen tidak sama dengan tabuh rah. Orang yang berpendapat begini pasti tidak tahu sejarah adanya tabuh rah. Atau tak tahu bahwa tabuh rah sudah pernah dibahas panjang lebar oleh para pemuka agama Hindu dan para sulinggih di Bali.
Seminar Kesatuan Tafsir Aspek-aspek Agama Hindu pada tahun 1982-1983 sudah merumuskan masalah tabuh rah ini. Tabuh rah harus dikaitkan dalam upacara Bhuta Yadnya (mecaru, tawur dengan berbagai tingkatannya). Dalam keputusan itu sudah dirinci. Rincian pertama: Tabuh rah dilaksanakan dengan "penyambleh" disertai Upakara Yadnya. Yang dimaksudkan “penyambleh” adalah memotong leher ayam atau binatang lain dengan terlebih dahulu melaksanakan upacara ritual penyucian. Upacara tawur penyucian itu disebut dengan upacara mepepada. Di situlah pandita Hindu “meminta” roh para binatang itu untuk korban suci disertai puja mantra dengan berharap hewan itu mendapatkan kelahiran yang lebih mulia.
Rincian kedua: Tabuh rah dibolehkan didahului dengan "perang sata" sesuai dresta yang berlaku di masyarakat yang pelaksanaannya kemudian tetap dengan "penyambleh". Upacara Bhuta Yadnya yang boleh disertai "perang sata" adalah Caru Panca Kelud (Pancasanak madurgha), Caru Rsi Ghana, Caru Balik Sumpah, Tawur Agung, Tawur Labuh Gentuh, Tawur Pancawalikrama dan Tawur Eka Dasa Rudra. Hewan dalam hal ini ayam, diadu dan itu disebut perang sata, tetapi ayam tidak memakai taji. Yang dipakai adalah pamor warna putih yang dilumurkan di kaki ayam. Setelah ayam itu berperang, ayam yang tubuhnya banyak kena pamor dianggap kalah lalu diadakan penyemblehan. “Perang sata” atau adu ayam ini paling banyak tiga parahatan atau kini disebut tiga sehet atau tiga pasang. Upacara ini harus ada runtutannya dengan mengadu benda lain yakni mengadu tingkih (kemiri), mengadu pangi, mengadu telur, mengadu kelapa.
Rupanya “perang sata” ini juga mengalami modifikasi di kemudian hari dengan mengganti pamor menjadi taji dengan alasan toh ayam yang kalah akan diadakan “penyamblehan” pula. Masih dengan alasan yang bisa diterima. Tetapi lambat laun tabuh rah ini mengalami degradasi ritual karena runtutannya sudah menghilang yakni mengadu kemiri, telur, kelapa dan lainnya itu. Bahkan kemudian di antara penonton mulai ada yang bertaruh. Padahal berjudi di pura sebagai tempat suci sangat bertentangan dengan ajaran Hindu. Pura harus menjadi tempat yang bersih termasuk bersih dari nafsu penjudi.
Kalau sekarang kita memasukkan tajen ke dalam Ranperda ABTB, dari mana pun kita memasukkannya, semuanya melanggar ajaran Hindu. Masuk dari “tajen tanpa judi” salah karena itu himsa karma dan ini akan menodai agama Hindu. Manusia Hindu haruslah taat menjalankan ahimsa. Kalau masuk dari tabuh rah juga salah karena ritual ini sudah mulai tidak mematuhi lagi tata krama asalnya. Lebih baik lupakan saja soal tajen itu dalam Ranperda ABTB. Bagi pemuka agama Hindu lebih baik meluruskan kembali pelaksanaan ritual tabuh rah yang sesuai dengan Seminar Kesatuan Tafsir yang dihasilkan terdahulu. Inilah inti melestarikan budaya termasuk budaya agama. (*)

LABUH GENTUH LEMBU IRENG

 



Ogoh2 ST. Santi Yowana. Br Yangbatu Kangin, Saka 1939
Berawal dari perjalanan Ida Danghyang Dwijendra menuju Uluwatu dalam persiapan moksah. Dalam perjalanan beliau bercengkrama dengan Ida Betara Masceti. Tak terasa sampailah di suatu tegalan di pesisir barat. Di tempat ini beliau beristirahat sambil berbincang berdua. Pembicaraan beliau didengar oleh sosok niskala penjaga tegalan itu yakni I BHUTA IJO. Danghyang Dwijendra kemudian memanggil lalu menitipkan pecanangan (tempat sirih) beliau yang berbentuk peti kepada I Bhuta Ijo, karena Sang Maha Muni akan ke Uluwatu. Untuk menjaga pecanangan tersebut, maka I Bhuta Ijo pun dianugrahkan kesaktian. Danghyang Dwijendra lalu berpisah dengan Betara Masceti. Danghyang Dwijendra menuju Uluwatu, sedangkan Betara Masceti kembali ke alam sunia.
Singkat cerita, Ida Danghyang Dwijendra telah sampai di Uluwatu, sedangkan I Bhuta Ijo setia mengemban amanat menjaga dan mengkramatkan pecanangan. Semenjak itu terjadi keanehan di masyarakat Kerobokan. Siapa saja yang ke tegalan itu selalu mengalami sakit. Para tetua masyarakat Kerobokan mendatangi Ida Danghyang Dwijendra di Uluwatu untuk memohon petunjuk.
Beliau memberitahukan bahwa di sana adalah tempat Beliau bercengkrama dengan Ida Betara Masceti. Tempat itu pula dihuni oleh I Bhuta Ijo yang menjaga pecanangan. Danghyang Dwijendra menyarankan agar dibuatkan pelinggih untuk memuja Betara Masceti. Agar I Bhuta Ijo tak ngrebeda (mengganggu), maka pada Tilem Keulu laksanakan LABUH GENTUH LEMBU IRENG (caru bersaranakan sapi warna hitam). Pada Purnama Kesanga lakukan upacara Nangluk Merana bersaranakan LEMBU BIYANG BELANG KEBANGSAPI (sapi yang sudah pernah beranak serta terdapat tompel / belang di balik kaki belakang atau depan). Pada setiap pujawali, sajikan I Bhuta Ijo berupa segehan dengan ulam jejeron bawi mentah dan segehan agung dilengkapi tetabuhan tuak arak berem.
Atas petunjuk dari Ida Danghyang Dwijendra, maka di bangunlah pura yang diberinama PURA PETI TENGET sebagai tempat memuja kebesaran Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam prabhawa sebagai Ida Betara Masceti untuk memohon keselamatan dan kemakmuran. (Sumber: Dwijendra Tatwa, dan beberapa sumber lainnya)

TINGKATAN CARU DAN BINATANG YANG DIPAKAI

 


CARU pada hakikatanya dipahami sebagai persembahan untuk Bhuta Kala. Upacara caru dimaknai sebagai upacara untuk menjaga keharmonisan alam,
manusia dan waktu.
Di Bali Dikenal Tiga Jenis Caru
1. Caru Palemahan Bumi Sudha yaitu upacara caru untuk tempat atau wilayah. Baik itu untuk mengharmoniskan tempat untuk dipakai tempat suci,
dibangun rumah, atau sebuah wilayah yang tertimpa musibah.
2. Caru Sasih yaitu caru yang dilaksanakan berkaitan dengan waktu-waktu tertentu yang dipandang perlu diharmoniskan. Misalnya Caru Sasih
Sanga (sehari sebelum Nyepi)
3. Caru Oton yaitu caru untuk orang atau benda sebagai unsur bhuana agung yang mengalami berbagai siklus, baik terhadap waktu maupun
perkembangannya. Misalnya caru oton untuk anak yang baru lahir, untuk perkawinan, akil balik, kematian dll. yang sering juga disebut dengan
byakala.
Banten caru biasanya berisikan hal-hal khas
1. Aneka macam nasi, baik warna maupun bentuk
2. Aneka bumbu-bumbuan (bawang, jahe, terasi, garam)
3. Daging (terutama bagian jeroan)
4. Arang
5. Darah
6. Blulang atau bayang-bayang binatang
7. Tuak, arak dan berem
8. Api takep
9. Aneka bunyi-bunyian
Dewasa Caru
Upacara caru yang baik dilakukan pada:
- Sasih Kanem, Kapitu, Kawolu dan Kasanga.
- Hari/tanggal Panglong, atau Tilem
- Kajeng Kliwon
- Ingkel Bhuta.



Jenis Caru Palemahan:
* Caru Eka Sata
Sarana: Olahan ayam putih dengan bayang-bayangnya (blulang --bahasa Bali-red) dialasi sengkuwi dibagi lima tanding. Disertai dengan datengan, daksina,
penyeneng dan canang (untuk semua jenis caru).
* Caru Panca Sata
Sarana memakai 5 (lima) ekor ayam.
Ayam bulu hitam tempatnya Kaja (utara), putih siung (kuning) tempatnya Kauh (barat), ayam bulu merah (barak) Kelod (selatan). Kangin (timur) ayam bulu
berwarna putih dan di tengah ayam bulu berwarna brumbun (segala warna). Selain itu dilengkapi juga dengan seekor bebek blang kalung.
* Caru Panca Sanak
Untuk Caru Panca Sanak dasarnya adalah caru Panca Sata sedangkan kelengkapannya ada beberapa jenis binatang, jika dilengkapi:
a. Asu atau Anjing maka tempatnya terletak di arah Barat Daya/Kelod-Kauh.
b. Bebek bulu Singkep diperuntukkan diletakan di arah Kelod-Kangin (Tenggara).
c. Angsa letaknya Timur Laut/Kaja-Kangin
d. Kambing nerupakan caru yang diperuntukkan pada arah Kaja Kauh (Barat Laut)
Itulah beberapa caru dari segi sarana hewannya dan masih banyak lagi caru sesuai dengan namanya dan sarana hewan yang dipersembahkan.
Yang disebutkan tadi dengan sarana bebek, kambing, anjing, ini merupakan tingkatan caru yang disebut dengan Panca Sanak. Ini pun dapat dibagi lagi
menjadi Panca Sanak yang sarananya asu, dan bebek bulu sikep. Sedangkan Panca Sanak Agung sarananya, hewan angsa dan asu atau anjing.
* Caru Panca Sanak Madurga
Sarananya sama dengan Caru Panca Sanak ditambah dengan anak babi jantan hitam yang belum dikebiri (kucit selem butuhan) dengan tambahan bebek
atau yang lain.
* Caru Sanak Magodel
Sarana tambahannya dipakai anak sapi atau yang dalam bahasa Balinya disebut godel.
* Caru Rsigana
Adalah Caru Panca Sanak yang disertai dengan menghadirkan Dewa Ghana sebagai dewa penghalau rintangan.
* Caru Balik Sumpah
Di tingkat yang lebih tinggi ada juga caru yang dikenal dengan nama Caru Balik Sumpah yang sarana hewannya berupa kerbau dan kambing. Sedangkan yang
lebih tingi lagi ada sejenis upakara Malinggia Bhumi dan ini sarana binatangnya adalah sebanyak 45 kurban.
CARU secara wedik hanya mempersembahkan 10 nasi kepel yang diolisi minyak ghee. Caru ini dipersembahkan kepada 10 dewa penguasa butha, yaitu: 1) agnaye, 2) soma, 3) agnesomabyam, 4) danvantaraye, 5) kuhwae, 6) visvebyo devabyah, 7) anumatyae, ðŸ˜Ž prajapataye, 9) diawahpertivibyah, 10) suistakrte. Nasi kepel dipersembahkan ke dalam kunda.

Nyekah

 


ada 2 jenis upacara nyekah/ngrorasin menurut besar kecilnya upakara/banten:
1.nyekah kecil/ngangseng
2.nyekah besar/kurung
Klo klg hanya nyekah kecil blm bisa lakukan upacara mecaru rsi gana, mlaspas, ngeteg linggih dan nuntun ida batara hyang guru di rmh pokok soroh klg bersangkutan. Jadi wajib nyekah besar dulu.
Pertanyaan tyang apa benar spt itu?
Klo benar ada sastra sbg acuannya?
Mohon pencerahan....!
Nyekah kecil .... ngangseng
Nyekah besar ... kurung
Lalu ngelinggihang
Sumber sastra jelas Yama purana tatwa dan Siwa tatwa bedanya di ayaban Catur Mukti sesuai jumlah puspa yg lainnya sama (ngangsen cukup pakai bale dangin ditambah meja lagi yg tinggi seAsta musti+sanggar Surya pemyosan pemuput dan penjor damar kurung//nyekah kurung pake petak dilaksanakan di rumah juga+sanggar Surya+pemyosan pemuput+Penjor damar kurung cuman Banten Catur Mukti yg nambah depan Puspa sesuai Puspa+dan Surya dan pemuput masalah penilapatian wajar wajar saja jika nyekah kurung diluar rumah baru tidak bisa (misalnya karang anyar) NGASTI namanya

Kertas Ulantaga

 


Salah Satu Tradisi Cina pada upacara kremasi di Bali.
Pada kertas ulantaga itu akan disisi rerajahan aksara simbol:
Wisnu Iswara/Siwa Brahma
Kemudian ada padang lepas sebagai simbol menuju ketempat abadi yang terang.
Gmn bs kertas ulantaga itu penting dlm pembuatan kajang?
Kang Cing Wie adalah Ratu Bali dijaman Raja Jayapangus.
Semua kebijakan datang dari pemimpin tertinggi termasuk bhagawanta.

BANTEN PENGULAPAN

 


Metatakan nyiru, taledan, raka2 jangkep, untek alit 11, tumpeng alit 11, dados 1 ceper, tipat kelanan atanding, kojong rangkadan, pras tulung sayut, pebersian payasan, daksina, sangu urip, payuk pere, coblong, padma, sampian nagasari, sesedep medaging beras, benang, sampian pusung 2, penyeneng alit, lis amuan- muan



penyakit panes (panas), nyem (dingin), dan sebaa(panas-dingin)

 


Om swastyastu
Dalam usadha, penyakit ada tiga jenis, yakni penyakit panes (panas), nyem (dingin), dan sebaa(panas-dingin.
sistem pembagian penyakit dalam usadha juga dikelompokkan berdasarkan Ayur Weda yang didasarkan atas penyebabnya, meliputi:
1.Adhyatmika, adalah penyakit yang penyebabnya berasal dari dirinya sendiri seperti penyakit keturunan, penyakit kongenital/dalam kandungan, dan ketidakseimbangan pada unsur tri dosha.
2.Adhidaiwika, penyakit yang penyebabnya berasal dari pengaruh lingkungan luar, seperti pengaruh musim, gangguan niskala/supranatural (bebai, gering agung) dan pengaruh sekala.
3.Adhibautika, yaitu penyakit yang disebabkan oleh benda tajam, gigitan binatang, kecelakaan sehingga menimbulkan luka.