Kamis, 14 April 2022

BANTEN SEBAGAI YANTRA




 MPU Klutuk dengan tegas menyatakan bahwa dalam membuat Banten ada maksud untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia dalam berkeyakinan..yang didasari atas Yadnya dalam.makna luas tanpa menuntut sesuatu dari Yadnya itu...Yadnya juga harus didasari oleh SADHANA yang terjalin dalam catur Marga, Tri Hita Karana, Tri Mandala dsb.sebagai aplikasi nilai nilai filsafat wedanta..

BANTEN SEBAGAI YANTRA
bukti fisik permohonan melalui mantra yang disimbolkan dari penyucian diri
Tiga element yang luruh dalam kehidupan berkeyakinan di Hindu Dresta Bali meliputi TANTRA ( ajaran suci ) , MANTRA ( doa suci ) dan YANTRA ( simbol suci ) yang saling terkait dan melengkapi. Yang termaktub dalam tiga kerangka dasarnya yang meliputi Tatwa ( keyakinan) , Susila /Etika( tingkah laku yang baik ) and Upakara.( upa berarti dekat, kara berarti cara..cara yang terdekat dalam berkomunikasi dengan- Nya melalui kegiatan relegi .
Banten sebagai Yadnya ( yaj- memuja mempersembahkan ) ,adalah persembahan yang suci yang didasari pemurnian diri yang berupa Tapa ( tiada tergoda ), Brata ( mampu mengendalikan diri ) , Yoga ( pemusatan pikiran ) , Dyana ( pengendalian pikiran) dan Samadhi ( pengendalian indria ). Ini semua terlaksanakan dalam kegiatan persiapan dan pelaksanaan dalam menghaturkan suatu Banten sebagai Yadnya.
Terkait dengan Yadnya, ada Tiga element personal dalam Yadnya yang meliputi Sulinggih yang muput sesajian atau bebantenan, Krama atau prajuru sebagai saksi pelaksanaan Yadnya dan Pelaku Yadnya itu sendiri..
Bagi pelaku Yadnya , dalam hal ini harus menjalankan dan memahami Tiga Dharmaning Yadnya yaitu ; Dharma Kriya ( mengerti akan swadharma sebagai manusia ) , Dharma Jati ( menyelami kata hati atau intuisi ) dan Dharma Putus ( mampu berpikir, berkata dan berbuat yang baik dalam menjalankan Yadnya dengan tanpa mengharapkan hasil )..Inilah yang akan menjadi penguat dalam pelaksanaan Yadnya.


Dalam pelaksanaan Yadnya didasari juga oleh empat pelaksanaan dasar Yadnya ( Catur Polahing Yadnya ) meliputi
Sastra ( mengetahui makna dan tujuan dari Yadnya).Aksara ( kesucian diri dalam pelaksanan Yadnya yang mendasari jiwa ),.Aji ( adanya pemikiran dan konsentrasi yang baik dalam pelaksanaan Yadnya ), Saraswati ( kata hati yang paling dalam dengan pemikiran yang positif ). Dengan dasar ini maka pelaku Yadnya akan memahami hakikat Banten sebagai sesajian suci yang dihaturkan dalam.yadnya..Dengan ini pula dapat menentukan jenis dan tingkatan Yadnya dan bantenya sesuai dengan kemampuan ( Dharmaning Kahuripan ). Pilihan Yadnya itu ada tiga yaitu Nista , Madya , Utama..dimana masing masing tingkatan ini juga dibagi tiga lagi misalnya Nistaning Nista, Nistaning Madya dan Nistaning Utama, begitu juga untuk tingkatan mandya ; madyaning nista, madyaning madya, madyaning utama, dan Utama..; utamaning nista, utamaning.madya dan utamaning utama
Yadnya adalah ketulusan untuk menghaturkan segala bentuk korban suci ( materi, waktu, tenaga, dan perasaan ) kepada Ida Sang Hyang Parama Kawi ( Brahman yang dipuja dan disembah ) tidak boleh dikurangi atau dilebihkan. Namun boleh membuatnya menjadi GENEP TANDING SURUD KUANG ) /.cukup untuk dibuat Banten namun boleh kurang untuk disurud /makan - semua sarana Banten adalah simbol atau yantra yang harus lengkap adanya sebagai sarana komunikasi kepadaNya.
Jadi jangan sekali kali mengganti sarana upakara dalam Banten dengan menggunakan simbol atau gambar gambar yang tidak mewakili Yantra..Yadnya yang salah malah justru membawa petaka bagi pelakunya..
Jadi dapatlah dikatakan bahwa Banten adalah Yadnya yang didasari oleh kesucian jiwa dan pikiran untuk dapat menyatakan doa-doa harapan melalui simbol-simbol suci yang tertuang dalam bentuk, isi dari banten itu. Menghaturkan Banten sama halnya dengan mengucapkan mantra mantra dimana Banten memiliki keistimewaan sendiri dibandingkan hanya dengan ujar japa atau mantra saja.
Dalam pembuatan Banten ada empat jalan yang diaplikasikan ; meliputi..Bhakti Marga ( persembahan yang tulus ), Karma Marga ( didasari atas kehendak, perbuatan yang tulus ), Raja /yoga marga ( mengaplikasikan ajaran Weda dalam bentuk simbol suci ) dan JNANA marga.( Banten dibuat dengan pikiran yang jernih dengan konsentrasi yang tertuju kepada Nya )
Jadi stop memojokan Banten sebagai pemborosan ritual atau mengganti simbol simbol suci dengan bentuk gambar ..
Jangan pernah katakan tenggelam dalam lautan tradisi..karena pada hakikatnya semua dalam kehidupan ini dibangun dari element elemnt tradisi yang membentuk budaya dan peradaban manusia...
Rahayu, mulyaning lan KERTANING Jagad manut ring Tata Titi Dharma

RONG TIGA ADALAH LINGGIH LELUHUR BUKAN LINGGIH TRI MURTI

 


MARI KITA BAHAS SUMBER SASTRA LONTAR HINDU BALI YG MENYATAKAN BAHWA RONG TIGA ADALAH LINGGIH LELUHUR BUKAN LINGGIH TRI MURTI
Ada beberapa LONTAR HINDU BALI yg memberi tuntunan bahwa yg melinggih di KEMULAN RONG TELU adalah ATMA LELUHUR KITA. Adapun lontar2 yg dimaksud adalah....
1. LONTAR TATWA KAPATIAN
Isinya menyatakan bahwa SANG HYANG ATMA ( ROH) setelah mengalami proses upacara akan berstana di sanggah kamulan.
2. LONTAR PURWA BHUMI KAMULAN
Isinya menyatakan bahwa ATMA yg telah disucikan yg disebut DEWA PITARA juga distanakan di Sanggah Kemulan.
3. LONTAR GONG WESI
Isinya menyatakan bahwa NAMA BELIAU SANG ATMA , pada ruang kamulan kanan BAPANTA yg disebut PARAATMA , pada ruang kamulan kiri IBUNTA yg disebut SIWAATMA, ditengah menyatukan wujud mnjadi SANG HYANG TUNGGAL.
4 LONTAR USANA DEWA
Isinya menyatakan bahwa pada sanggah Kamulan BELIAU bergelar SANG HYANG ATMA, pada ruang kamulan kanan BAPA disebut SANG HYANG PARAATMA, pada ruang Kamulan kiri IBU disebut SIWAATMA , pada kamulan tengah diriNYA ITU BRAHMA , yg berwujud SANG HYANG TUDUH (TUHAN YG MENAKDIR).
JADI berdasarkan sumber2 sastra rujukan hindu bali di atas sudah jelas bahwa yg kita puja di KEMULAN RONG TIGA secara umum adalah SANG ATMA LELUHUR KITA yg sudah disucikan melalui proses upacara dari...
A. NGABEN ( ASTI WEDANA) yaitu prosesi upakara mmpercepat kembalinya jazad badan kasar manusa kpd unsur2 PANCA MAHABHUTA yaitu kembali ke unsur2 ( TEJA saat dibakar menyatu dng api ; PERTIWI setelah jadi abu menyatu dng tanah ; APAH abu dibuang ke sumber air suci menyatu dng air ; AKASA setelah di air menguap menyatu dng udara ; BAYU setelah jadi udara menyatu dng angin).
B. MEMUKUR/BALIGIA ( ATMA WEDANA) yaitu prosesi upakara tuk menyucikan SANG ATMA tuk mnjadi DEWA PITARA/DEWA HYANG.
C. MEAJAR2/NYEGARA GUNUNG yaitu prosesi mapakeling ngider bumi mulai dari kahyangan tiga , sad kahyangan dan dang kahyangan jagat or nyegara gunung sbg upasaksi bahwa LELUHUR KITA SUDAH MERAGA DEWA HYANG.
D. NGELINGGIHANG DEWA HYANG DEWATA DEWATI yaitu prosesi ngelinggihang DAKSINA LINGGIH sbg linggih dewa hyang dewata dewati saat prosesi MEAJAR2/NYEGARA GUNUNG dilinggihkan di KAMULAN RONG TIGA yaitu berupa DAKSINA LINGGIH BAPANTA (PURUSHA/LAKI) di kanan, DAKSINA LINGGIH IBUNTA (PREDANA/WANITA) dikiri.
JADI DENGAN ADANYA SUMBER SASTRA ini mnjadi sangat jelaslah yg melinggih di KAMULAN RONG TIGA ADALAH DEWA HYANG DEWATA DEWATI yg disebut sdh menyatu dng TRI ATMA yaitu PARAATMA sbg atma BAPANTA di kanan, SIWAATMA sbg atma IBUNTA dikiri dan ditengah sbg SANG HYANG TUNGGAL/TUDUH purusha lan predana yg melahirkan LELUHUR kita.
JADI SUDAH TIDAK ADA LAGI PENDAPAT YG MENYATAKAN KAMULAN SBG LINGGIH TRI MURTI karena semua sdh ditunjukkan dng sumber SASTRA LONTAR dan prosesi upakara yg dilalui sampai dilinggihkan di KAMULAN RONG TIGA.
Demikian penjelasan SUMBER SASTRA HINDU BALI yg menyatakan KEMULAN RONG TIGA SEBAGAI LINGGIH DEWA HYANG DEWATA DEWATI.

Banten Caru Labuh Gentuh

 


Ritual caru labuh gentuh menggunakan beberapa jenis banten, seperti tampak diselenggarakan dalam berbagai bentuk prosesi ritual caru labuh gentuh menggunakan banten abatekan.
Ida Ayu Mirah Arta Rini menyatakan banten abatekan terdiri atas hal-hal berikut.
Banten bebangkit, tuntunan, pulegembal, lis acakep, jerimpen mesumbu apasang. Suci asoroh, dilengkapi dengan guling
bebek. Aturan adandanan yang terdiri dari: peras, penyeneng,
sayut sumajati, pengulapan, pengambean, penyegjeg, pemapag pengiring, bayuan apasang, daksina, sesayut bangun sakti, tipat kelanan telung kelan, sayut tumpeng papat, penganteban medaging beras, pipis, 254 keteng, canang sari, ayunansari apasang, canang bebaos, saagan manca warna atanding. Salaran atau tegen-tegenan sarwa solas dari kayu dadap isinya padi, jagung, buah-buahan, dan
umbi-umbian. Canang lenge wangi-burat wangi, canang ini dibuat dari alat-alat yang serba wangi (harum) seperti burat wangi (boreh miyik) dan dua jenis minyak yang khusus untuk sesajen ada yang berwarna kuning dan ada yang berwarna hitam kemudian dilengkapi dengan porosan dan bunga. Banten lainnya yang digunakan adalah beakala, durmangala dan prayascita, sayut guru piduka (wawancara, 27 Juni 2014).
Struktur banten yang di gunakan pada ritual caru labuh gentuh, dibagi menjadi empat bagian, yaitu banten ke surya,
banten catur, banten yang mengikuti pemelaspasan, dan caru.
Banten di sanggar surya sebagai upasaksi adalah suci duang soroh, tigasan putih-kuning, toya anyar 1 gelas. Banten ke sanggar tawang adalah bebangkit, suci asoroh, aturan adandanan, Salaran atau tegen-tegenan, canang lenge wangi dan burat wangi.
Semua banten di atas semuanya mengandung simbol.
Triguna (2000 : 35) memaparkan bahwa paling tidak ada empat peringkat simbol, yaitu : (1) simbol konstruksi yang berbentuk kepercayaan dan merupakan inti dari agama, (2) simbol evaluasi berupa penilaian moral yang sangat erat dengan nilai, norma, dan aturan, (3) simbol kognisi berupa pengetahuan yang dimanfaatkan manusia untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas dan keteraturan agar manusia lebih memahami lingkungannya, (4) simbol ekspresi berupa pengungkapan perasaan. Banten di hadapan pemuput adalah suci, peras, lis, sesayut prayascita, byakala, durmangala, toya, serta inum-inuman (arak-berem), sibuh pepek, buu kameligi, teenan, payuk pengelukatan.




Ritual caru labuh gentuh memiliki beberapa rerajahan yang
dipakai dalam membuat pengideran. Rerajahan sebagai bagian ritus dalam upacara ritual caru labuh gentuh berupa lukisan aksara suci yang ada di dalamnya. Tidak sembarang orang dapat membuatnya. Penulisan huruf suci ini tidak semata memerlukan keahlian dari si pembuatnya, tetapi idealnya dikerjakan oleh orang suci, yakni orang yang sudah menjalankan inisiasi melalui upacara diksa (setidak-tidaknya dalam kegiatan menyakralkan dan memberikan nilai gaib pada aksara suci) (Suweta, 2006 : 338 - 346). Dalam pelaksanaan kegiatan ritual caru labuh gentuh yang
membuat rerajahan adalah orang yang sudah melaksanakan diksa, yaitu Ida Pedanda.
Caru labuh gentuh dasarnya adalah caru manca sanak. Ida
Resi Bujangga Waisnawa Kertha Bhuana menyatakan dasarnya caru manca sanak dengan dilengkapi dengan hal- hal sebagai berikut:
1) Ngewangun sanggah tawang rong tiga, dihaturkan suci
laksana petang soroh, mecatur wedyaghana, panca saraswati
ring kiwa-tengen, citra gatra siwa bahu, pucuk bahu, papada,
dewa-dewi, tegen-tegenan bebek- ayam, sesantun gede, saji
petang soroh, rantasan kalih pradeg, peras ajuman kalih,
bebek 16 ekor, sesantun sabuatan arthania 1.600 utama.
2) Di panggungan, bebangkit agung makaras kalih, selam kapir, ulam bebek putih jambul saha dangsil apasang, tumpeng lelima jangkep seruntutania, soroh jangkep, pagenian ring sor.
3) Sebagai dasar caru adalah manca sanak winangun urip.
Olahannya ketengan sesuai dengan warna pangideran
dilengkapi dengan karangan, gelar sanga, bakaran masingmasing asiki, cau dandan, takep-takepan.
4) Caru ring sor menghadap
1) Ke timur sapi winangun urip olahannya 55
2) Di selatan manjangan winangun urip olahanya 99
3) Di barat kijang winangun urip olahannya 77
4) Di utara kucit butuhan winangun urip olahannya 44
5) Di tenggara luwak winangun urip olahannya 88 tanpa
bebangkit
6) Di barat daya asu bang bungkem winangun urip olahannya
33
7) Di barat laut irengan winangun urip olahannya 22
😎 Di timur laut kambing winangun urip olahannya 66
9) Urdah angsa winangun urip olahannya asiki disertai
bebangkit.
10) Madya kebo winangun urip olahannya 88
11) Ardah banyak winangun urip olahannya 55 disertai
bebangkit (wawancara, 28 Juni 2014).
Dumogi 𝓢𝓪𝓷𝓰 𝓗𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓙𝓪𝓰𝓪𝓽𝓷𝓪𝓽𝓱𝓪 menganugrahkan keharmonisan, keserasian, dan kerahayuan Jagat Alam Semesta.🙏🙏🙏
𝕽𝖆𝖍𝖆𝖞𝖚 𝕲𝖚𝖒𝖎 𝕭𝖆𝖑𝖎...𝕽𝖆𝖍𝖆𝖞𝖚 𝕾𝖊𝖏𝖊𝖇𝖆𝖌 𝕵𝖆𝖌𝖆𝖙 𝕭𝖆𝖑𝖎 𝒥𝒶𝑔𝒶𝓉 𝒩𝓊𝓈𝒶𝓃𝓉𝒶𝓇𝒶 𝒥𝒶𝑔𝒶𝓉𝒹𝒽𝒾𝓉𝒶 ...𝕽𝖆𝖍𝖆𝖞𝖚 𝕾𝖆𝖗𝖊𝖓𝖌 𝕾𝖆𝖒𝖎💖🕉️💖🙏🙏🙏
Reference
1. Image : kompilasi dari berbagai sumber @ https://www.google.com/ dan @ 2020 Google Earth Pro
2. Dr. Drs. I Wayan Sukabawa, S.Ag., M.Ag. 2018. Teo-Ekologi Caru Labuh Gentuh di Bali. IHDN PRESS.

Tawur Labuh Gentuh

 


Sistem religi, kepercayaan, dan agama di dunia berpusat kepada suatu konsep tentang hal yang gaib (mysterium) yang dianggap mahadahsyat (tremendum) dan keramat (sacer) oleh manusia. Dalam semua masyarakat dan kebudayaan di dunia “hal yang gaib dan keramat” menimbulkan sikap kagum-terpesona, selalu akan menarik perhatian manusia, dan mendorong timbulnya hasrat untuk menghayati rasa bersatu dengannya (Koentjaraningrat,1987: 65).
Kepercayaan tentang gaib semua masyarakat di dunia, yaitu “hal yang gaib dan keramat” menimbulkan sikap akan menarik perhatian manusia dan mendorong timbulnya hasrat untuk mendapatkan kedamaian alam raya ini perlu dilakukan ritual caru labuh gentuh.
Caru labuh gentuh merupakan bagian dari bhuta yadnya yaitu suatu kurban suci yang bertujuan untuk menyucikan tempat (alam beserta isinya), memelihara dan memberikan penyupatan kepada para bhuta kala dan makhluk-makhluk yang dianggap lebih rendah dari pada manusia. Penyucian itu
mempunyai dua sasaran.
Pertama, penyucian terhadap tempat (alam) dari gangguan dan pengaruh-pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh para bhuta kala dan makhluk yang dianggap lebih rendah dari manusia seperti disebutkan di atas. Kedua, penyucian terhadap bhuta kala dan makhluk-makhluk itu dengan maksud untuk menghilangkan sifat-sifat buruk yang ada padanya sehingga sifat baik dan kekuatannya dapat berguna bagi kesejahteraan umat manusia dan (alam).



Hendaknya disadari juga bahwa kehidupan ini memerlukan kekuatan-kekuatan dari mereka, misalnya untuk menjaga rumah, menjaga diri sendiri, dan sebagainya.
Caru adalah jenis upakara, banten atau sesajen yang digunakan di dalam upacara bhuta yadnya.
Kata caru berarti enak, manis, sangat menarik. Bila dihayati secara mendalam, dari pengertian kata enak, manis, sangat menarik itu terkandung kata harmonis, serasi, atau seimbang, yang dalam bahasa Bali disebut “pangus atau adung” (Kamiarta, 2012:15). Dapat disimpulkan bahwa caru merupakan bagian dari ritual bhuta yadnya untuk
menetralisasi alam semesta bhuwana alit dan bhuwana agung menjadi harmoni.
Caru labuh gentuh termasuk caru tawur agung yang menggunakan ayam putih, biing, putih siungan, hitam, brumbun, itik, banyak, angsa, anjing bang bukem, kambing, babi,dan kerbau.
Pengorbanan binatang dan tumbuhan untuk keperluan upacara yadnya juga memotivasi umat untuk menjaga dan memelihara agar hewan dan tumbuhan itu tidak dibunuh begitu saja. Dengan adanya hewan dan tumbuhan yang berguna untuk upakara maka perlu dijaga supaya tidak punah.
Lebih jauh dikatakan oleh “Swayambhu” dalam kitab Manawa Dharmaçstra. V.39 sebagai berikut.
Yadnyaartham pasavah srstah svam eva sayambhuva,
yadnyo sya bhutyai sarvasya tasmad yadnya vadho vadah.
Terjemahannya :
Swayambhu telah menciptakan hewan-hewan untuk tujuan upacara-upacara kurban. Upacara-upacara kurban telah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi ini, penyembelihan hewan untuk upacara bukanlah penyembelihan dalam arti yang lumrah saja.
Sesuai dengan sloka di atas disebutkan bahwa hewan-hewan yang diciptakan di alam semesta ini digunakan sesuai dengan ajaran agama, tidak boleh memilih hewan sembarangan tanpa keperluan ritual. Ritual caru labuh gentuh memberikan labaan kepada para bhuta kala agar tidak murka, memberikan panyupatan/mangruat segala bentuk keberingasan dan kekejaman para bhuta kala agar kembali menjadi somya dan membantu manusia untuk hidup tenang dan damai. Di samping itu, juga untuk mengembalikan keseimbangan kekuatan magis bhuwana agung dan bhuwana alit serta keseimbangan kekuatan sekala dan niskala.
Secara fungsional upacara ritual caru labuh gentuh, memiliki andil dalam mensuperposisi gelombang-gelombang micro cosmos dan macro cosmos. Hal ini dapat dibaca pada uraian fungsi dari caru labuh gentuh pada lontar Kramaning Caru, sebagai berikut:
Denāmetin, mangkanā tmahanya ikang janmā ring bhūmmi, padā kneng sangharā, kneng roga dening pangwişesaning bhūmmi kali, kurang pŗkŗti, kurang pangastiti, paśih aśih ne kawidhi, kabhūtā kālā, kabhummi lěwihne manūşā, kapitrā, ika dahating mirogga, karananing mtu bheda, mtu candalā ring jagat.
Pelaksanaan ritual caru labuh gentuh bertujuan untuk menjaga keseimbangan dan keharmonis hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (parhyangan), hubungan yang selaras dengan sesama manusia (pawongan), dan hubungan yang harmonis dengan alam lingkungan (palemahan).
Terkait dengan ajaran untuk saling menghormati segala makhluk ciptaan Tuhan, termasuk tanaman, hewan, dan sebagainya maka seluruh umat beragama pada umumnya, khususnya umat Hindu diharapkan supaya memahami makna ritual dimaksud sehingga mampu mencintai sesama ciptaan Tuhan dan bisa menjaga keharmonisan seluruh ciptaan-Nya.
____🙏💖🙏____


Kenapa banten pake arak dan be matah?

 



Dalam ajaran siwa sidanta ...salah satu ajaran yang masuk adalah TANTRA...yi sarana persembahanx...menganut PANCA MA :
1. Mamsa persembahan memakai daging.
2 Matsya persembahan memakai Ikan.
3. Madya persembahan menggunakan alkohol.
4. Mudra persembahan dengan gerakan ( mudra)
5. Maituna persembahan dengan hubungan ....
tuak sebagai pengganti arak.. salah satu bisa dipakai. Arak/tuak dan berem adalah simbul aksara suci yang berfungsi di dlm persembahyangan. Berem (Ang), Arak ( Ah). Kalau digabung Ang Ah artinya memanggil, Ah Ang artinya mengembalikan.
Sama dgn pengolahan tri aksara ( Ang.Ung.Mang = sedang berlangsung), Mang.Ung.Ang = memanggil), (Ung.Ang.Mang = mengembalikan/mantukang). Pemakaian sarana ini dilakukan disaat ngregep (pemusatan fikiran pada saat pemangku nganteb, melakukan persembahyangan).
Arak berem erat hubungannya dgn proses tri kona..dan aksara ang dan ah..ang ( berem ) dan ah ( tuak/ arak ).



makna simbol dari Arak/Tuak - Beremdlm upacara yadnya mesegeh umat Hindu Bali sebagai sarana pengastawa dengan simbol Ang dan Ah kehadapan Sang Hyang Widhi.
Arak/Tuak merupakan simbol dari aksara suci "Ah-kara", sedangkan
Berem adalah simbol dari aksara suci "Ang-kara".
Hal ini terkait mantra pengastawa sehubungan dengan menggunakan dasar dari sastra Rwa Bhineda sebagai berikut :
Utpeti (Pengastawa/Ngajum/Puja); memohon kehadapan Sang Hyang Widhi agar Beliau berkenan kontak dengan manusia melalui manifestasiNya sesuai dengan fungsi Nya, untuk menyaksikan persembahan dari pemujaNya berdasarkan keyakinan dan kekuatan magis dari upacara. Mantra seperti "Ang... Ah". Dalam hal ngastawa mempergunakan sarana (simbol) maka kalau metabuh dalam tujuan ngastawa harus mengikuti urutan Berem (Ang) dahulu, kemudian dilanjutkan dengan Arak (Ah).
Stiti (Ngadegang); menstanakan Beliau, dalam imajinasi seolah-olah Beliau telah duduk pada stana Nya, telah siap menerima dan menyaksikan persembahan pemuja Nya.
Maka pada saat inilah kita melakukan persembahyangan kepada Sang Hyang Widhi Wasa beserta seluruh manifestasi Nya.
Pralina (Ngamantukang); menghaturkan persembahan untuk memohon agar Beliau berkenan kembali ke Kahyangan (kembali pada keheningan Nya), karena acara persembahyangan pemuja Nya telah selesai. Dalam hal ini mempergunakan sarana maka kalau metabuh dalam tujuan pralina harus mengikuti urutan Arak (Ah) dahulu, kemudian dilanjutkan dengan Berem (Ang).
Begitu juga dalam menghaturkan "Segehan", letakkan segehan di posisi yang seharusnya, kemudian ngastawa (Berem-Arak), lalu "ketis" tirtha ening, kemudian "ayab" dan terakhir pralina (Arak-Berem). Sehingga dalam mesegehan pun telah terlaksana Utpeti-Stiti-Pralina.

Arak memiliki unsur panas, tuak memiliki unsur pendingin, dan brem penetralisir, ketiganya itu sangat si butuhkan untuk membangkitkan energi bumi, dalam formulasi kebathinan sarana ini sangat di perlukan.
Menurut Sastra Kanda Pat Butha, tuak arak dan berem itu suguhan Minuman bagi para Butha Kala, sedangkan makanannya berupa segehan putih, putih kuning, manca warna, segehan Agung, Caru dg ayam brumbun, caru dg bebek bulu siket, caru dg angsa, asu bang bungkem caru dg kebo, caru Sarwa Sato/binatang dst, tergantung tingkatannya (itu untuk somya butha yg menggunakan korban Sato/binatang) atau Lelabaan, Agar setelah diSomya menjadi Kekuatan Dewa yang memberikan KERAHAYUAN Bhuana Alit dan Bhuana Agung...
Petikannya : contoh "ih ta kita Sang Bhuta Kala, iki tadah saji nire, segehan manca warna me be bawang jahe muang tasik, tetabuhan tuak arak lan berem...wus AMANGAN - ANGINUM mewali ta kita ring stana nguni soang-soang, sareng-sareng nginardi KERAHAYUAN... dst...

Sesayut Rsighana

 



Manut lontar bama kertih bebek putih jambullan lontar caphakala bebek belang kalung
Tamas/tempeh dirajah ong ang rsigana ya namah
Beras, porosan, pis bolong, benang, goni
Kulit sayut
9 tamas cenik
Ambil don nagasari dirajah ang ung mang namo Rsi Ghana ya namah
Nasi punjung
Raka
Celemik rasmen
Jaja samuhan 2 gelang n 3 muncuk
Bunga tunjung putih
Kuangen isi pis bolong n bunga sesuai urip
Timur/purwa putih 5 usuan
Gneyan 8 ping paru2
Selatan/daksina merah 9 ati
Nriti oranya 3 basang tebel/b wayah
Barat pascima/kuning 7 betukan
Wayabya ijo 1 limpa
Utara item 4 nyali
Ersanya abu2/biru 6 kolongan/ineban
Madya/tengah brumbun 8 gantungan ati pepusuh
Tamas yg tengah celemik rasmen tambahin sere petak, nasi tandingan n tipat sambutan, bantal pusung
Masing letakkan takir isi lawar barak, lawar putih, gecok.
9 limas tinggungan bebek taruh ngider
Takir/limas isi masing2 be sesuai arah mata angin yi
Usuan/pusuan purwa

Caru Dalam Pembuatan Bangunan Suci (Kahyangan Tiga, Padma, Meru)

 



Ampura semeton Hindu, sebagaimana dikutip dari Buku Caru dalam Upacara di Bali,...disebutkan bahwa uraian mengenai upacara ini tidaklah begitu banyak bedanya dengan Keputusan Maha Sabha Parisada Hindu Dharma ke II di Denpasar Tahun 1968. Pemakaiannya dapatlah kiranya disesuaikan dengan keadaan.
Untuk pembuatan suatu bangunan suci diperlukan upakara-upakara dan alat-alat sebagai berikut:
2.1. Caru pengeruak”, yaitu “Caru ayam brumbun” lengkap dengan runtutannya dan uripnya adalah 33, serta letaknya “amancadesa” (di timur 5 “tanding”). di Selatan 9 “tanding” di Barat 7 “tanding”, di Utara 4 “tanding”, di Tengah 8 “tanding” beralas sengkwi bersayap sedangkan segehan-agung, kawisan, kulitnya dan lain-lainnya ditaruh di tengah.
a. Byakala” (“byakaon”) “durmangala” dan “prayascita” masing-masing satu buah.
b. Sebuah “segehan-agung” lengkap dengan “penyambleh.
c. Tanten Pemakuhan yang terdiri dari “peras penyeneng”, “ajuman” putih kuning ikannya ayam “betutu”, “maukem-ukem” (di belah dari punggung) “daksina” yang berisi uang 227 “canang lenge wangi-buratwangi”, “canang satu tanding raka nyahnyah gula kelapa” dan tipat kelanan. Banten ini ditaruh di sebuah “sanggar” yang ada di hulu dari bangunan yang akan dibuat (diluanan).
d. Banten untuk “dasar bangbang” adalah “tumpeng” merah dua buah, dilengkapi dengan jajan, buah-buahan, lauk-pauk dengan ikannya “ayam biying” yang dipanggang, “sampiannya/sampian tangga”. Banten ini dialasi dengan “kulit peras”.
e. “Canang-Pendeman” adalah “canang burat-wangi”, pengeraos “canang-tubungan”, dan “pesucian”, masing-masing satu “tanding.
f. Alat “penyujug” terdiri dari sebuah cabang dadap yang bercabang tiga, sebuah mangkuk kecil, cincin bermata mirah dan kalau mungkin sebuah keris.
g. Untuk bangunan yang berupa “pelinggih” yang besar-besar, dipakai batu dengan tulisan aksara. Sebuah batu merah, yang berisi gambar “bedawangnala” di punggungnya diisi tulisan “Ang-kara”.
h. Sebuah batu merah yang lain, diisi gambar “padma” disertai dengan tulisan “dasaaksara” (di luar 8 huruf, dan ditengah 2 huruf yang dimaksud dengan “dasa-aksara” adalah Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya.




i. Sebuah “batu bulitan” (batu yang hitam) diisi dengan tulisan 'Triaksara” yaitu ANG, UNG, MANG.
j. Sebuah “kelungah” berisi tulisan “Ong-kara”. Kalau dapat dipakai “kelungah kelapa gading”. “Kelungah” itu “dikasturi”, airnya dibuang, lalu ke dalamnya dimasukkan wangi-wangian seperti lengawangi”, “burat-wangi” “menyan” dan sebagainya, serta sebuah “kewangen” “keraras” (daun pisang yang sudah tua) yang berisi uang 11 kepeng; “kelungah” beserta perlengkapannya dibungkus dengan kain putih diikat dengan benang merah, putih, hitam dan kuning, lalu dipuncaknya diisi sebuah kewangen yang berisi uang 33.
k. Sebuah “kewangen” yang berisi tulisan “ONGKARA MERTA” dengan uangnya 11 kepeng.
l. Alat persembahyangan lengkap dengan “kewangen” dan dupa.
m. Tata Pelaksanaan upacara dan susunan dasarnya.
Terlebih dahulu dilakukan upacara Ngeruak dengan upacara caru Pengeruak lalu menghaturkan banten Durmengala dan prayascita ke hadapan Sang Bhuta Buwana, dilanjutkan dengan menghaturkan segehan-agung, ke hadapan Sang Bhuta Dengen.
Mantranya:
Pakulun Sang Kala Nungkurat, Sang Kala Tahun, Sang Kala Badawang jenar, Sang Kala Durmerana, Sang Kala Wisesa makadi sira ranini Bhatari Durga den suka anadah caru aturane mami. Om sampurna ya namah svaha.
Kemudian halaman dan tempat-tempat bangunan yang direncanakan diukur menurut “asta bumi” dilanjutkan dengan menggali lubang (bangbang). Setelah lubang itu dianggap selesai digali, lalu diupakarai dengan “byakala”, “durmengala” dan “prayascita”, selanjutnya diukur dalamnya (jugjugin, dikeruk, serta disapu dengan cincin tadi).
Para penyungsung bangunan itu lalu bersembahyang di depan lubang itu yaitu ke hadapan “ibu pertiwi” (Sanghyang lemah), “Sanghyang Bayu” dan “Sanghyang Anantaboga”. Bunga dibuang ke bangbang tadi, diganti dengan yang baru, bersembahyang ke hadapan “Sanghyang Akasa”, “Sanghyang Siwa”. Sanghyang Bhuwana Kemulan” dan Sanghyang Prajapati”. Bunga dibuang ke dalam lubang sebagai dasar dari bangunan tersebut. Selanjutnya di atas bunga-bunga itu ditaruhlah “tumpeng merah” yang berisi ikan ayam “biying” (sub. e) kemudian ditindihi dengan bata-merah” yang berisi gambar “Bedawangnala” (sub. h) disusuni kelungah kelapa gading yang dibungkus dengan kain putih (sub. k), lalu ditimbuni sedikit (supaya agak rata). Di atasnya disusuni dengan bata merah yang berisi gambar padma serta tulisan “Dasa-aksara” (sub. i), kemudian disusuni batu bulitan yang berisi tulisan “triaksara”. Di atasnya diisi “kewangen” yang berisi tulisan “Ongkara-amerta”. Disertai Tanang pendeman” (sub. 1 dan f) dan akhirnya ditimbuni sampai rata, lalu dilanjutkan dengan pembangunan seterusnya.
1. Untuk bangunan yang kecil-kecil “batu-dasarnya” dapatlah disederhanakan yaitu:
Sebuah bata merah berisi gambar “bedawang-nala”, dan sebuah “kewangen” yang berisi uang 11 kepeng, dilengkapi dengan “burat-wangi”, “canang-sari”, “mereka” “nyahnyah” “gula kelapa”, “kekiping”, “pisang mas”, dan “porosannya” adalah “base tubungan putih hijau mererepe” (tangkai sirih itu dibiarkan), (bila tidak ada bata-merah, dapat diganti dengan “paras”).
Catatan
Setelah bangunan itu selesai lalu diupakarai dengan “durmengala”; “prayascita”, “pengambyan”, “solasan ketengan 22 tanding, “tumpeng guru”, ikannya itik putih diguling, “tumpeng putih kuning” “tipat kelanan”, “daksina” dan canang pesucian” selengkapnya “burat wangi” serta “suci” satu “soroh”.
Dengan demikian bangunan itu baru dapat dihatur “canang” dan “daksina” selengkapnya. Upacara selanjutnya adalah “upacara Melaspas”, “Mepedagingan”, “ngenteg” dan seterusnya. Upacara-upacara ini (“Melaspas”, “mepedagingan” dan sebagainya) sebenarnya termasuk upacara “Dewa-yadnya”, oleh karenanya dalam tulisan ini tidak diuraikan secara mendetail.
Catatan:
Pada pohon kayu yang akan diupacarai diberi kain “caniga”, “gantung-gantungan”, dan sasap dari janur,untuk hal tersebut biasanya dipilih pohon kayu yang dianggap paling berguna di dalam rumah tangga seperti kelapa, wani dan sebagainya.