Selasa, 12 Januari 2021

Karma Phala Merupakan Hukum Universal

 






Karma Phala Merupakan Hukum Universal
Dalam melangsungkan kehidupan, maka kita senantiasa melakukan bermacam-macam gerak dan aktivitas. Gerak dan aktivitas yang kita laksanakan itu pada umumnya untuk memenuhi segala kepuasan dan kenikmatan hidupnya secara lahir dan bhatin, yang disesuaikan dengan pandangan dan kebutuhan hidup masing-masing. Segala gerak atau aktivitas yang dilakukan, disengaja atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah, disadari atau diluar kesadaran, kesemuanya itu disebut dengan karma. Menurut hukum sebab akibat, maka segala sebab pasti akan membuat akibat. Demikian pulalah sebab dari suatu gerak atau perbuatan akan menimbulkan akibat, buah, hasil atau phala seperti buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya.


Karma phala ini sangat besar sekali pengaruhnya terhadap keadaan hidup seseorang. Karena karma phala itulah yang menentukan bahagia atau menderitanya hidup seseorang, baik dalam masa hidup didunia ini, diakhirat maupun dalam penjelmaan yang akan datang. Nasib seseorang tergantung pada karmanya sendiri. Barang siapa yang berbuat baik akan mengalami kebahagiaan, yang berbuat jahat akan mendapat hukuman. Apa saja yang dibuatnya, begitulah hasilnya. Apa yang ditanam begitulah tumbuhnya. Menanam padi tentu tumbuhnya padi.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI


Pengaruh hukum karma itu pulalah yang menentukan corak serta nilai dari pada watak seseorang. Oleh karena karma itu bermacam-macam jenisnya dan tak terhitung banyaknya. Maka watak seseorang pun beraneka macam pula ragamnya. Karma yang baik menciptakan watak yang baik dan karma yang buruk akan mewujudkan watak yang buruk pula. Segala macam karma yang kita lakukan akan selalu tercatat dalam alam pikiran kita. Yang kemudian akan menjadi watak dan berpengaruh terhadap Atma atau Roh.


Hasil dari perbuatan itu tidak selalu langsung dapat kita rasakan dan kita nikmati, seperti halnya tangan yang menyentuh es akan seketika terasa dingin, namun menanam padi harus menunggu berbulan-bulan untuk bisa menikmati hasilnya. Setiap karma akan meninggalkan bekas, ada bekas yang nyata, ada bekas dalam angan-angan dan ada juga yang abstrak. Oleh karena itu hasil perbuatan atau phala karma yang tidak sempat kita nikmati pada saat berbuat atau pada kehidupan sekarang maka akan kita nikmati setelah meninggal dan pada kehidupan yang akan datang.


Hukum Karma yang mempengaruhi seseorang bukan saja akan dinikmatinya sendiri, namun akan diwarisi juga oleh para sentananya atau keturunannya. Misalnya seseorang yang hidupnya mewah dari hasil menghalalkan segala cara, namun setelah orang itu meninggal dunia, kekayaannya diwarisi oleh para sentananya, maka tidak jarang para sentananya mempunyai watak yang akan mewarisi watak purusanya atau leluhurnya. Sehingga kekayaan tersebut tidak akan bertahan lama untuk dinikmatinya dan pada akhirnya akan jatuh miskin, melarat dan menderita. Adanya suatu penderitaan dalam kehidupan ini walaupun seseorang selalu berbuat baik (subha karma), hal itu disebabkan oleh karmanya yang lalu (sancita karma phala), terutama karma yang buruk harus dinikmati hasilnya sekarang, karena tidak sempat dinikmati pada kehidupannya yang terdahulu, sehingga mengakibatkan neraka cyuta (kelahiran dari neraka). Begitu pula sebaliknya seseorang yang selalu berbuat tidak baik (asubha karma) namun hidupnya nampak bahagia, hal itu dikarenakan pada kehidupannya yang terdahulu ia memiliki phala karma yang baik karena ia merupakan kelahiran dari surga (swarga cyuta), akan tetapi perbuatan buruknya dalam kehidupan sekarang bisa dinikmati pada kehidupan sekarang, bisa juga dinikmati pada kehidupan yang akan datang. Oleh sebab itu marilah kita untuk senantiasa selalu dan selalu berbuat kebajikan, berjalan diatas dharma (kebenaran) sesuai dengan ajaran agama yang kita anut, semoga Hyang Widhi selalu memberikan waranugraha-Nya pada kita semua.


Itulah sebabnya mengapa Hukum Karma Phala dikatakan sebagai hukum yang bersifat universal, karena tidak ada seorangpun dan tidak ada satu mahluk hidup pun yang bisa terbebas dari hukum ini. Untuk memperoleh phala karma yang baik hendaknyalah kita memperbanyak berkarma yang baik, dan pada akhirnya kita mampu melepaskan diri dari penderitaan atau samsara (kelahiran yang berulang-ulang) menuju kebahagiaan yang abadi (Sat Cit Ananda) yaitu bersatunya Sang Atman dengan Brahman.

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


berikut sloka yang mendukung keberadaan karma phala tersebut
dalam Slokantara sloka 13 disebutkan bahwa:

Artha grhe niwartante smasane mitrawandhawah,
sukrtam duskrtam caiwa chayawadanugacchati


Artinya:
kekayaan itu hanya tertinggal di rumah setelah kita meninggal dunia, kawan - kawan dan sanak keluarga hanya mengikuti sampai dikuburan. hanya karmalah yaitu perbuatan baik atau buruk itu yang mengikuti jiwa kita sebagai bayangannya.


disini dikatakan bahwa bukan kekayaan dan bukan keluarga, tetapi karma (perbuatan baik buruk) yang setia mengikuti kita sampai ke akhirat. untuk itu ini dapat dibandingkan dengan Kitab Niti Sastra III.2 yang berbunyi:


sadrunikanang artha ring greha hilangnya, tan hana winawanya yan pejah.
ikang mamidara swa wandhu, surud ing pamasaran umulih padang ngis
gawe hala hajeng, manuntun angiring, manuduhaken ulah tekeng tekan.
kalinganika ring dadi wwang i sedeng hurip angulaha dharma sadhana.


Artinya:
tempat terakhir dari harta (benda) kekayaan itu ialah sampai dirumah saja, tidak dapat dibawa jika kita mati, orang yang melayat dan keluarga sendiri mengantarkan sampai dikuburan, lalu pulang sambil menangis. hanya pekerjaan buruk atau baik yang akan membawa kita ke akhirat. oleh karena itu kita sementara hidup sebagai manusia haruslah berbuat kebajikan sebagai alat untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia baka.


dalam pustaka Sarasamuccaya pada sloka 32 disebutkan juga sebagai berikut:


A dhumagrannivarttante jnatayah saha bandhavih
yena taih saha gantavayam tat karma sukrtam kuru


Artinya:
adapun semua sanak keluarga itu hanya sampai di pembakaran (di kuburan) batasnya mengantar. adapun yang ikut sabagai teman jika kita ke alam baka ialah perbuatan baik atau buruk itu jua adanya. oleh karena itu berusahalah berbuat baik yang akan merupakan sebagai sahabat yang akan menuntun jiwamu ke alam baka kelak.
BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
dalam pustaka Sarasamuccaya pada sloka 33 disebutkan sebagai berikut:


mrtam sariramutsrjaya kastalostasaman anah,
muhurttamuparudyatha tato yanti paranmukhah, rudyatha.


Artinya:


pada saat kematian, tinggallah jasmani yang tak berguna ini yang pasti akan dibuang tak bedanya dengan pecahan periuk. nah itulah yang dipeluk, diratapi oleh keluarga untuk sementara waktu dan pada akhirnya mereka akan meninggalkannya juga. hanya itulah yang dapat dilakukan oleh sanak keluarga secara langsung. maka dari itu usahakanlah berbuat dharma sebagai sahabatmu untuk mengantarkan engkau mencapai alam kehidupan dengan kebebasan abadi.


dalam Slokantara sloka 14 disebutkan bahwa:

balo yuwa ca wrddhasca yatkaroti subhasubham,
tasyam tasyamawasthayam bhukte janmani - janmani.

Dagang Banten Bali


Artinya:
sebagai seorang anak kecil, sebagai pemuda dan sebagai orang tua, setiap manusia itu akan memetik hasil segala perbuatannya yang baik atau yang buruk di kelahiran yang akan datang pada tingkat umur yang sama.


dalam Kekawin Arjuna Wiwaha XII.5 disebutkan bahwa:


hana mara janma tanpapihutang brata yoga tapa.
angentul aminta wiryya, sukhanning widhi sahasika,
binali kaken puri hnika lewih, tinemunya lara,
sinakitaning rajah tamah inandehaning prihantin.


Artinya:
ada juga orang yang tidak berbuat kebajikan sama sekali, tidak mempihutangkan brata yoga tapa. pongah saja ia memaksa - maksa meminta kebahagiaan dan kekuasaan, seolah - olah hendak memaksa dengan kekerasan agar permohonannya itu dipenuhi. akhirnya malah nasibnya dibalikkan dan yang diperolehnya adalah kesengsaraan dan derita belaka. kesedihan akan dideritanya akibat kekuatan rajah dan tamah (nafsu dan kebodohan) yang menyakiti badan dan jiwanya.


Demikian sekilas Karma Phala yang merupakan Hukum Universal, semoga bermanfaat.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Mengenal Musik Tradisional Bordah di Desa Pegayaman, Buleleng

 






BORDAH: Warga Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng, saat melakukan pertunjukkan musik tradisional Bordah. (ISTIMEWA)

Sekelompok laki-laki berpakaian adat Bali duduk bersila membentuk posisi setengah lingkaran memainkan musik rebana sambil mengumandangkan syair-syair madah atau pujian kepada Nabi Muhammad. Alunan rebana terdengar bertalu-talu, berselang-seling dengan lantunan syair dari para penabuh, bersahut-shutan, timpal-menimpal dengan irama bervariasi, membuat sajian kesenian tradisonal religius tersebut terkesan sakral, indah, syahdu menyentuh kalbu.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI


ITULAH kesenian Bordah di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Kesenian Bordah merupakan salah satu contoh dari kebudayaan religius yang tumbuh dan hidup di Pegayaman. Sebuah kekayaan kebudayaan yang patut dilestarikan dan dijadikan renungan pelajaran karena membuktikan adanya suatu penyatuan kesenian muslim dan Bali.

Kepala Desa Pegayaman Asghar Ali mengungkapkan, makna atau arti kata Bordah disebutkan sebagai sinar yang memberikan kegembiraan. Sehingga dari kata Bordah itu disimpulkan kesenian Bordah di Desa Pegayaman merupakan pelampiasan kegembiraan warga Desa Pegayaman. “Bordah itu bagi kami itu adalah sinar, bersinar. Pada dasarnya bergembira ria atau kami bersenang-senang begitu istilahnya,” jelasnya.

Kesenian Bordah di Desa Pegayaman biasanya akan dipertunjukkan pada bulan Maulid. Sebab bulan Maulid oleh masyarakat muslim di pedalaman Bali Utara ini dipandang sebagai bulan istimewa. Maulid Nabi hampir tak pernah terlewatkan diperingati masyarakat Pegayaman baik lewat ritual syariat maupun pergelaran kesenian kerohanian.

Namun bila dikaitkan dengan sejarah keberadaan Desa Pegayaman, kesenian Bordah tersebut merupakan kesenian untuk mengiringi orang memasak dikala tengah menyiapkan acara istimewa keluarga. Seperti diungkapkan Asgor Ali. “Ditampilkan biasanya setiap ada acara seperti sunatan, atau hidangan dan misalnya mante. Tapi biasanya kalau pada acara seperti itu, group Bordah itu mengiringi orang memasak, dan dia bergadang sampai subuh. Karena di Pegayaman masih lekat sekali sistem kekeluargaan,” paparnya.

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“Masak itu sampai sekarang belum menggunakan jasa catering atau apalah itu. Kami betul-betul memasak satu hari menjelang hari H, kami sudah memotong bila mau besar-besaran. Malam harinya yang bersangkutan atau yang punya hajat kan jelas masak dirumah, maka mudah aja kami dapat, disamping itu mungkin acara-acara yang lain,” tambahnya.

Asghar Ali menambahkan, Bordah merupakan kesenian tradisional Islam yang memadukan unsur seni tabuh rebana dengan syair-syair pujian pada Nabi Muhammad yang menyerupai kekidungan seperti masyarakat Bali. Demikian pula dengan pakaian yang dikenakan para penabuh dan pelantun Bordah Pegayaman berpakaian adat Bali. “Itu ciri khas, katakanlah akulturasi budaya Islam dan Bali. Bordah kalau tampil dia pakai udeng dan melancingan, itu yang pertama. Yang kedua lagu-lagunya atau syar-syairnya yang diambilkan dari kitab Albarj Anji, dalam melantunkan suaranya itu seperti orang ngidung. Itu salah satu contoh kebersamaan antara Islam dan Hindu,” sambungnya.

Dalam pementasan kesenian Bordah di Desa Pegayaman, tidak jarang dalam lantunan syair berlogat Bali serta irama lagu bernuansa Bali, diiringi tarian pencak silat kuno yang bergaya Bali. Sehingga mampu memberikan suguhan sebuah kesenian tradisional religius yang unik, menarik, sakral dan magis. “Sudah dari mungkin nenek kami, jadi pencak ini ada mulai dari Pegayaman ada. Sebab informasi yang saya dapat dari leluhur, orang yang datang ke Pegayaman semuanya itu ahli silat, ahli bela diri, ahli petani, ahli kedokteran, ahli perdagangan,” terangnya.

“Jadi ada kendali orang Blambangan yang sudah mempunyai keahlian tersendiri. Sehingga terbentuk kesenian-kesenian ini yang digabungkan dengan suatu kebudaayan itu, mungkin juga Hadrah, Bordah, Pencak Silat dan yang lainnya,” lanjutnya.

Lebih lanjut Asghar Ali menerangkan, keberadaan kesenian Bordah di Desa Pegayaman hingga saat ini masih tetap dipertahankan, dan selalu mejadi sebuah tradisi bila warga di Desa Pegayaman memiliki hajatan besar. “Kesenian ini tetap bertahan. Bahkan ini merupakan suatu kebanggaan bagi kami. Saya berusaha untuk mempertahankan. Kesenian ini bagus, bahkan banyak peminat. Ambil contoh misalnya jika dia masuk sebagai anggota, dia dengan sukarela dan tanpa tekanan masalah kostum beli sendiri. Nah itu satu contoh tidak lagi dia merasa keberatan, bila ada hari raya tertentu disepakati memakai kostum yang mereka beli sendiri bukan mengharapakan dari orang lain,” paparnya.

Karena itu, menurut Asghar Ali, Bordah Desa Pegayaman dan keberadaan kaum muslim memang menjadi fenomena menarik. Desa tua di pedalaman Bali Utara itu penduduknya beragama Islam, menjalankan syariat sebagai umat Islam pada umumnya, hanya muslim Pegayaman mempunnyai warna dan pola hidup yang sangat Bali.



(bx/dhi/yes/JPR)

Dagang Banten Bali

14 Ritual Hindu dari Masa Kehamilan Hingga Meninggal

 






Panglingsir Grya Ulon Jungutan, Ida Bagus Gunawan. (Dian Suryantini/Bali Express)

KARANGASEM, BALI EXPRESS – Dalam umat Hindu terdapat konsep upacara yang disebut dengan Panca Yadnya. Panca Yadnya diartikan sebagai lima persembahan suci kepada Tuhan. Adapun tingkatannya adalah Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya, Butha Yadnya, dan Pitra Yadnya. 


Dewa Yadnya adalah persembahan yang ditujukan kepada Tuhan, Rsi Yadnya adalah persembahan yang ditujukan pada rsi (guru). Selanjutnya Manusa Yadnya adalah persembahan atau upacara penyucian secara spiritual kepada manusia. Sementara Bhuta Yadnya adalah persembahan yang ditujukan untuk para Bhutakala untuk menjaga keseimbangan alam. Dan yang terakhir adalah Pitra Yadnya, yakni persembahan kepada para leluhur.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Pada bagian Manusa Yadnya, terdapat 14 ritual yang harus ditempuh dalam kehidupan manusia. Yang pertama adalah upacara Ngrujak. Ngrujak merupakan upacara yang pertama dilaksanakan bagi seorang wanita yang sedang hamil muda. Upacara ini bertujuan untuk memperkuat kehamilan ibu dan mengurangi risiko keguguran. Juga bertjuan untuk pertumbuhan bayi yang sehat dan aman. 


Bahan utama untuk Ngrujak adalah berbagai jenis pisang dan buah-buahan, seperti Delima, Pepaya, Mangga, Belimbing, Badung, Kecubung, juga Gula Aren (Juruh) dan Madu. Permata Rubby kecil (jika mungkin Delima Rubby) kemudian dimasukkan ke dalam campuran buah, diletakkan dalam batil atau gedah yang terbuat dari gelas, kemudian diberkati dengan mantra oleh pendeta.

“Poinnya dalam upacara ini adalah bagaimana bayi yang ada dalam kandungan itu sehat dan ibunya juga sehat. Caranya adalah dengan makan buah. Karena ibu yang hamil dan anak yang dikandung butuh asupan gizi, juga vitamin. Kalau secara ilmiahnya seperti itu. Akan tetapi dalam Hindu ini ada ritualnya. Dan, Ngrujak inilah upacaranya, kalau istilah Bali ini disebut apang tis,” jelas Panglingsir Puri Ulon Jungutan, Ida Bagus Gunawan, pekan kemarin.

Yang kedua adalah upacara Magedong-gedongan. Upacara ini untuk seorang ibu dengan usia kehamilan 3-6 bulan. Upacara ini adalah upaya untuk memurnikan dan menjaga keselamatan janin dan ibu, berharap bayi yang akan lahir tumbuh menjadi orang yang baik atau suputra dan memainkan peran penting, baik untuk keluarga maupun masyarakat. 

Rangkaian upacaranya meliputi suami ditemani istrinya menyiapkan benang hitam, menyiapkan galah buluh. Bambu ini digunakan untuk menumbak daun kumbang (sejenis talas) dibentuk seperti bungkusan dan didalamnya diisi dengan ikan air tawar. 

Selanjutnya istri menjunjung ceraken, kemudian dipuja mantra oleh pendeta dan pada saatnya tiba, istri kemudian menelan sepasang permata mirah (Mirah Delima).

“Ini upacara untuk wanita hamil 7 bulan, agar bayi yang dilahirkan kelak tumbuh menjadi anak yang baik dan berbakti. Makanya ada disebut menelan sepasang permata. Tapi ini bisa disimbolkan dengan buah Delima merah,” jelasnya.

Upacara yang ketiga yakni Nanem ari-ari. Upacara ini bertujuan untuk memohon permakluman kepada Hyang Ibu Pertiwi dan Hyang Akasa untuk menerima dan berkenan memberikan perlindungan, umur panjang serta keselamatan bagi si bayi.

Ari-ari pertama harus dicuci sampai bersih, dibungkus dengan kain kasa, diisi rempah-rempah, lalu dimasukkan ke dalam kelapa untuk selanjutnya ditanam. Di atas ari-ari diletakkan batu dengan permukaan datar dan pandan berduri, disampingnya ditempatkan baleman (bara api). 

Baleman adalah simbol dari pembakar jasad. Lamanya membuat baleman adalah satu bulan tujuh hari (42 hari). “Apabila tidak dilakukan dengan benar maka tujuan membakar jasad tersebut tidak akan berhasil. Untuk penanaman ari-ari anak perempuan ditanam di sebelah kiri pintu masuk dan anak laki-laki di tanam di sebelah kanan pintu masuk,” tambahnya.

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Upacara selanjutnya adalah kepus wedel atau kepus pungsed. Upacara ini khusus ketika plasenta terlepas dari pusar bayi. Biasanya 5-15 hari setelah bayi lahir. Dalam kepercayaan orang Bali, kepus wedel menandai masuknya kekuatan spiritual Nyama Catur yang akan terus merawat bayi. 

“Pratiti Mas sebagai penjaga bayi disiapkan. Pratiti ini seperti pasikepan dalam istilah Bali, terbuat dari daun kelapa, digulung sedemikian rupa lalu diikat dengan benang hitam, selanjutnya diikatkan pada pergelangan tangan kiri bayi,” sambungnya.

Ritual yang kelima adalah Mapag Rare. Ritual ini dilakukan ketika bayi berusia 12 hari. Tujuan dari upacara ini adalah untuk mengucapkan terima kasih kepada Sang Hyang Dumadi (yang lahir kembali), bahwa bayi itu lahir dengan selamat. 

“Melalui upacara ini diharapkan yang dumadi memeroleh kehidupan yang sehat dan panjang usia. Sebelum ngayab saji Pamatang Rare, bayi itu diperciki dengan palukatan dan tirta,” imbuhnya.

Yang keenam adalah Ngeles Kakambuh. Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari. Kakambuh (penjaga) digantikan oleh penjaga (pangijeng) bayi yang berfungsi sebagai penjaga jiwa bayi, sehingga bayi akan panjang umur, bebas dari rasa sakit dan berbagai gangguan atau halangan.

Yang ketujuh upacara Nelu Bulanin atau tiga bulanan. Upacara ini dilakukan ketika bayi berusia tiga bulan atau 105 hari. Upacara ini bermakna untuk melepaskan pengaruh negatif yang dibawa oleh Nyama Catur atau empat saudara dan pada saat yang sama menyambut kedatangan untur-unsur Panca Maha Butha untuk menyatukan dan memperkuat fisik dan psikologis bayi. Pada upacara ini dipercaya bayi akan diberkati oleh Dewa Raditya atai Siwaditya.

Selanjutnya adalah Nganem Bulanin atau yang terkenal disebut Otonan atau Ngotonin. Pada upacara ini bayi dimohonkan restu dari Ida Bhatara Pertiwi agar dilimpahkan keharmonisan, kesehatan dan tidak terpengaruh oleh bencana dan hambatan. 

Pada usia enam bulan, bayi diizinkan untuk menginjak tanah untuk pertama kalinya. “Upacara ini boleh dilakukan seterusnya kala hari otonannya tiba. Di Desa Jungutan sendiri pada umumnya banyak orang yang melakukannya sampai usia dewasa. Tapi ada pula yang melaksanakannya sekali saat usia enam bulan,” tuturnya.

Ritual kesembilan yakni Makutang Rambut atau Mapetik. Upacara ini menunjukkan bahwa bayi telah menjadi manusia yang sempurna. Kekotoran (leteh) bayi yang disebabkan oleh proses kelahiran telah sirna. Setelah upacara ini biasanya rambut bayi dicukur habis. Upacara ini dilakukan ketika bayi berusia enam bulan kalender Bali (210 hari) atau satu oton. 

Usia aoton dipilih untuk upacara ini karena pada usia ini bayi dianggap telah memiliki sistem kekebalan tubuh yang cukup dan kesehatan bayi dalam tahap yang baik.

Upacara selanjutnya adalah upacara Semayut Maketus Lan Menek Kelih. Setelah anak kehilangan gigi pertamanya, sejak saat itu pikiran anak mulai dipengaruhi oleh Triguna. Seorang anak harus mulai belajar tentang kehidupan dan secara simbolis harus menindik telinganya. Upacara ini disebut Semayut Maketus. 

Setelah anak meningkat remaja dan mulai menstruasi, ada upacara yang sebaiknya dilakukan untuk memurnikan faktor-faktor negatif yang melekat yang disebut dengan upacara Menek Kelih.

Ritual kesebelas adalah Matatah. Ritual ini hampir sama dengan upacara Menek Kelih. Upacara ini ditujukan kepada seorang anak yang telah berusia 16 tahun atau sudah bisa dianggap dewasa. Biasanya ritual ini dapat digabung dengan upacara Menek Kelih.

Kemudian setelah melaksanakan ritual Matatah, ada ritual Pawiwahan. Upacara ini juga terkadang dilakukan bersamaan dengan upacara Matatah. Upacara Pawiwahan ini tujuan utamanya adalah untuk menetralisasi kotoran (cuntaka) yang diakibatkan karena adanya pertemuan dua manusia (pria dan wanita).

Dagang Banten Bali


Ritual ketiga belas adalah Ngaben. Ritual ini masuk dalam Pitra Yadnya. Upacara ini ditujukan untuk keluarga yang telah meninggal. Upacara ini merupakan pengorbanan yang tulus iklas yang ditujukan kepada roh leluhur. Pada lontar Yama Tattwa, filosofi Ngaben adalah mempercepat pengembalian unsur-unsur Panca Maha Butha ke asalnya. 

“Ini juga menunjukkan bahwa Hinduisme tujuan akhir kehidupan bukanlah surga. Melainkan atma itu menyatu dengan Brahman atau Tuhan. Seperti yang sering didengar, tujuan akhirnya adalah moksa. Tidak terlahir kembali, tapi menyatu dengan Tuhan,” ucapnya.

Upacara yang terakhir adalah Atma Wedana. Setelah upacara Atiwa-tiwa, upacara terakhir yang dilakukan adalah Atma Wedana. Upacara ini dilakukan untuk memuliakan dan memurnikan roh/atma untuk dapat bersatu dengan Sang Pencipta.

Runtutan ritual yang dilalui manusia semasa hidup hingga meninggal ini diambil dari rujukan lontar Rare Angon dan lontar Gama Dewa Pati Urip. Selain itu, juga dari berbagai sumber, seperti para peranda dan narasumber yang ahli di bidang sastra. “Itu yang pokok sekali kami pakai rujukannya. Selain para peranda di Desa Jungutan, juga dari para Tapini serta para ahli pembaca lontar,” ungkapnya. 



(bx/dhi/rin/JPR)

Yadnya Yang Efektif, Efisien, Praktis dan Satwika

 





Yajna yang Efektif, Efisien, Praktis dan Sattvika

“Kramanya sang kuningkin akarya sanista, madya, uttama. Manah lega dadi ayu, aywa ngalem druwenya. Mwang kemagutan kaliliraning wwang atuha, away mengambekang krodha mwang ujar gangsul, ujar menak juga kawedar denira. Mangkana kramaning sang ngarepang karya away simpanging budhi mwang krodha”
artinya:
Tata cara bagi mereka yang bersiap-siap akan melaksanakan upacara kanista, madya atau uttama. Pikiran yang tenang dan ikhlaslah yang menjadikannya baik. Janganlah tidak ikhlas atau terlalu menyayangi harta benda yang diperlukan untuk yajna. Janganlah menentang petunjuk orang tua (orang yang dituakan), janganlah berprilaku marah dan mengeluarkan kata-kata yang sumbang dan kasar. Kata-kata yang baik dan enak didengar itu juga hendaknya diucapkan. Demikianlah tata-caranya orang yang akan melaksanakan yajna. Jangan menyimpang dari budhi baik dan jangan menampilkan kemarahan. (Sumber: Lontar Dewa Tattwa)

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Yajna dalam bahasa Sanskerta adalah suatu bentuk persembahan yang didasarkan atas keikhlasan dan kesucian hati. Persembahan tersebut dapat berupa material dan non-material. Ketika manusia mempersembahkan sesuatu tentunya membutuhkan pengorbanan, seperti waktu, finansial, pemikiran,dan benda atau harta yang lainnya. Itulah sebabnya mengapa Yajna sering dikatakan sebgai pengorbanan yang suci dan tulus ikhlas. Persembahan yang berwujud dapat berupa benda-benda material dan kegiatan, sedangkan persembahan yang tidak berwujud dapat berupa doa, tapa, dhyana, atau pengekangan indria dan pengendalian diri agar tetap berada pada jalur Dharma. Persembahan dikatakan suci karena mengandung pengertian dan keterkaitan dengan Brahman. Dalam Rgveda disebutkan bahwa “Sang Maha Purusa (Brahman) menciptakan semesta ini dengan mengorbankan diriNya sendiri. Inilah yang merupakan permulaan tumbuhnya pengertian bahwa Yajna yang dilakukan oleh manusia adalah dengan mengorbankan dirinya sendiri”. Sehingga setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia baik melalui pikiran, ucapan dan perbuatan semestinya ditujukan semata-mata hanya untuk Brahman, karena sesungguhnya apa yang ada ini adalah milikNya.

Dalam Bhagavadgita XVII.11-13, disebutkan bahwa untuk dapat mewujudkan sebuah Yajna yang memiliki kwalitas yang sattvika, maka perlu diperhatikan beberapa hal yaitu:

Sraddha: yajna harus dilakukan dengan penuh keyakinan
Aphala: Tanpa ada motif untuk mengharapkan hasil dari pelaksanaan yajna yang dilakukan karena tugas manusia hanya mempersembahkan dan dalam setiap yajna yang dilakukan sesungguhnya sudah terkandung hasilnya.
Gita: ada lagu-lagu kerohanian yang dilantunkan dalam kegiatan yajna tersebut.
Mantra: pengucapan doa-doa pujian kepada Brahman.
Daksina: penghormatan kepada pemimpin upacara berupa Rsi yajna
Lascarya: yajna yang dilakukan harus bersifat tulus ikhlas
Nasmita: tidak ada unsure pamer atau jor-joran dalam yajna tersebut.
Annaseva : ada jamuan makan – minum kepada tamu yang datang pada saat yajna dilangsungkan, berupa Prasadam/lungsuran, karena tamu adalah perwujudan Brahman itu sendiri ) “Matr deva bhava Pitr deva bhava, athiti deva bhava daridra deva bhava artinya; Ibu adalah perwujudan Tuhan, Ayah adalah perwujudan Tuhan, Tamu adalah perwujudan tuhan dan orang miskin adalah perwujudan Tuhan.
Sastra: setiap yajna yang dilakukan harus berdasarkan kepada sastra atau sumber sumber yang jelas, baik yang terdapat dalam Sruti maupun Smrti.


Di samping sumber di atas, dalam Manavadharmasastra VII.10 juga disebutkan bahwa setiap aktivitas spiritual termasuk yajna hendaknya dilakukan dengan mengikuti;
Iksa: yajna yang dilakukan dipahami maksud dan tujuannya
Sakti: disesuaikan dengan tingkat kemampuan baik dana maupun tingkat pemahaman kita terhadap yajna yang dilakukan sehingga tidak ada kesan pemborosan dalam yajna tersebut.
Desa: memperhatikan situasi dimana yajna tersebut dilakukan termasuk sumber daya alam atau potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut.
Kala: kondisi suatu tempat juga harus dipertimbangkan baik kondisi alam, maupun umat bersangkutan.
Tattva: dasar sastra yang dipakai sebagai acuan untuk melaksanakan yajna tersebut, dalam Manavadharmasastra II.6 ada lima sumber hukum hindu yng dapat dijadikan dasar pelaksanaan yajna, yaitu: Sruti, Smrti, Sila, Acara, dan Atmanastusti.Jadi beryajna tidak mesti besar dan megah, apalah artinya kemegahan dengan menghabiskan banyak dhana tapi tidak dilandasi oleh prinsip yajna yang telah tetuang pada susastra Veda. Kecil, sederhana dan segar, bila dilandasi oleh kemurnian; yajna seperti inilah yang harus dilakukan dan disosialisasikan terus. Beryajna tidak mesti membuat upakara / sesajen, sesuai dengan pesan Shri Krshna dalam Bhagavadgita IV.28 ditegaskan bahwa beryajna dapat dilakukan dengan: Beryajna harta milik/kekayaan (drveya), dengan mengendalikan seluruh indria (tapa), dengan pengetahuan (brahma/jnana), dengan doa-doa dan bimbingan kerohanian (yoga), dan dengan menggunakan tubuh ini sebagai arena pemujaan dan pelayanan (svadhyaya) serta memeberikan perlindungan kepada mahluk yang lebih lemah (abhaya).

Jika prinsip-prinsip yajna ini dapat dilakukan tentunya yajna tersebut akan mendatangkan manfaat yang besar bagi manusia dan mahluk yang lainnya, baik kaitannya dengan kehidupan jasmani maupun peningkatan kwalitas rohani umat yang Dharmika.
Avighnamastu !!

Oleh: I Wayan Sudarma (Shri Danu Dharma P), stahdnj.ac.id

Dagang Banten Bali

Dewi Gayatri - Ibu Segala Mantra

 




Semua literatur kitab Weda menyatakan bahwa Gayatri merupakan Dewi segala mantra. Namun keberadaan sang Dewi belumlah tenar di lingkungan masyarakat Hindu Bali, sebab untuk membentuk personalitas serta siapa dan bagaimana Beliau, serta dalam hal apa saja Beliau dipuja, masyarakat Hindu Bali belum banyak yang paham. Untuk itulah melalui artikel ini mencoba membedah Dewi Ilmu ini dengan sedikit ulasan yang terkesan back to India.

Ada banyak Dewi dalam ikonografi Hindu yang mewakili Ilmu Pengetahuan dan mantra suci. Kesemuanya memegang banyak atribut yang melambangkan hal tersebut. Namun dari sekian banyak Dewi, Gayatri adalah yang utama. Bergesernya Beliau sebagai Dewinya Ilmu Pengetahuan secara murni oleh Bhatari Hyang Aji Saraswati, mungkin disebabkan karena Gayatri lebih menekankan pada aspek Ilmu Pengetahuan secara apuruseya, mantra Weda yang transcendental. Sedangkan untuk Dewi Saraswati, Beliau meramu seluruh Ilmu yang ada, baik para widya dan apara widya.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Dewi Gayatri banyak dipuja di bharatawarsa dan lengkap dengan segala bentuk sadhana yang khusus ditujukan untuk menghormati Beliau. Dalam wujud Dewi Gayatri sering terlihat berkepala lima dan dengan mengenakan mahkota yang berkilauan. Namun mahkota yang tengah-tengah berhiaskan bulan sabit sangat mirip dengan bulan sabit yang dikenakan oleh Bhtara Siwa.

Beliau terlihat dengan sepuluh tangan yang masing-masing memegang; sankha kala, kapak cemeti, genitri, cakra, bunga padma, sakhu kamandalu, gada, sedangkan dua tangan yang berada di depan terlihat dengan posisi abhaya mudra, memberkati setiap pemuja-NYA dengan lembut dan penuh kasih. Beliau duduk di atas bunga padma berwarna merah, dan kepala Beliau yang paling depan ditengah-tengah tepatnya di selaning lelata (antara alis) Beliau terdapat mata ketiga layaknya mata Bhatara Siwa. Dewi Gayatri juga sering terlihat dengan sekelompok angsa yang mengitari.

Inilah mhamantra Gayatri yang pertama kali diturunkan…
Om bhur, Om bhvah, Om svah,
Om maha, Om janah, Om tapah, Om satyam,
Om tatsavitur varenyam,
Bhargo devasya dhimahi,
Dhiyo yo nah pracodayat,
Om apo jyotih,
Raso mritam brahma,
Bhur bhuah svah Om.

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Mantra ini awalnya terdapat di dalam kitab Reg Veda Samhita III. 62. 10. setelah itu pada kitab Yayur Veda Samhita dan Sama Veda Samhita. Dewi Gayatri sering disamakan dengan Dewi Savita yang secara harafiah memiliki arti matahari. Ini sebuah hal yang menunjukan bahwa Tuhan adalah bersinar dan Dewi Gayatri adalah Dewinya mantra yang memberikan kecemerlanghan pikiran.

Namun secara umum, mantra Gayatri yang diterima dewasa ini adalah hanya diucapkan sampai kata bhur, bvah, svah, kata maha, janah, tapah, satyam tidak dikumandangkan sama sekali. Secara terperinci ada banyak mantra Gayatri untuk setiap Dewata yang berbeda. Dengan demikian, ini menunjukan bahwa Dewi Gayatri adalah Dewi yang merangkum semua mantra pujian untuk setiap Dewata. Maka ini juga yang menjadikan bahwa Dewi Gayatri desebut dengan Dewinya mantra Weda.

Dalam beberapa pujian untuk Beliau disebutkan;
Ya sandhyamandalagata ya tri murti-svarupini
Sarasvati ya savitri tam vande veda mataram.
Artinya;
“oh Dewi yang berada pada lingkaran sinar matahari, yang adalah berbentuk Tri Murti, yang adalah Saraswati ataupun Sawitri, hamba menghaturkan sembah kepada Gayatri, Ibu segala macam Weda”.

Dagang Banten Bali


Jika Dewi Gayatri dikatakan sebagai Ibunya Weda, maka secara otomatis Dewi Gayatri merupakan sang Dewi jagat raya, sebab Weda sendiri adalah tidak berbeda dengan dunia nyata dan yang tidak nyata. Ini dibenarkan sebab dalam sebuah peristiwa, pernah suatu kali; Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa mengambil rupa sebagai bayi mungil untuk mendapatkan kasih dari Dewi Gayatri.

Bayi-bayi tri murti ini menangis keras dan membuat sang Dewi kembali. Anak Ilahi ini ditidurkan dalam sebuah ayunan yang talinya tergantung di angkasa luar. Jadi tidak salah jika terdapat salah satu mantra yang digunakan untuk mengagungkan Dewi Gayatri seperti berikut;
Ya visva janani devi ya tri murti svarupini
Gayatri-rupini ya hi tan vande sapta matrkam
“oh sang Dewiyang merupkan Ibunya jagat raya, yang adalah berbentuk Tri Murti yang merupakan Gayatrio, hamba menghaturkan sembah sujud yang berbentuk tujuh Ibu”.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Cara Memilih Hari Baik Menurut Tradisi di Bali

 




Cara memilih hari baik menurut tradisi di bali didasarkan pada perhitungan wariga dan dewasa. adapun perhitungannya lumayan rumit, sehingga jarang masyarakat bali yang hafal cara menggunakan wariga dan dewasa tersebut. tapi untunglah, dengan kelihaian seseorang dalam perhitungan wariga dan dewasa beliau menyusun wariga yang dimodifikasi kalender internasional yang kemudian dikenal dengan kalender bali yang sering dipakai masyarakat bali saat ini. orang tersebut adalah (alm.) Bambang Gde Rawi, kelahiran desa cemengon, yang penyusunan kalender tersebut diwariskan kepada keluarga beliau.
dalam setiap bulannya, kalender bali umumnya terdiriatas beberapa bagian penting, diantaranya;

Bagian kepala; yang berisi Nama Bulan dan Tahun (seperti normalnya kalender internasional) 
Badannya; berisikan tanggalan (seperti kalender internasional) dan beberapa tanda, diantaranya; Titik merah artinya Bulan Purnama, Titik Hitam artinya Bulan Tilem/Mati; lingkaran merah artinya hari raya besar agama hindu dan tanggal merah untuk hari libur nasional. 
Bagian lengan kanan; berisikan daftar istilah wariga berdasarkan tanggal, yang berisikan juga keterangan hari-hari baik melakukan kegiatan/usaha/yadnya. 
Bagian lengan kiri; berisikan nama-nama hari 
Bagian kaki; berisikan daftar hari raya agama, daftar Odalan/upacara pura-pura besar di bali serta beberapa hari baik lainya.Dengan adanya kalender bali tersebut, orang bali tidak akan susah untuk menentukan hari baik berdasarkan wariga dan dewasa ayu. tetapi apabila ingin mempelajari secara manual, tentu ada rumus baku untuk wariga tersebut. dibawah ini akan diberikan sekilas perhitungannya, dan bila ingin mendalaminya tentu memerlukan materi yang lebih mendalam. dibawah ini hanya kulit luarnya saja, tapi sudah bisa digunakan untuk kegiatan sehari – hari. adapun cara mempelajarinya adalah sebagai berikut;

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

PEDEWASAN,
mula – mulanya dapat dibagi dua bagian antara lain;
Pedewasan Sehari – hari yang hanya berdasarkan perhitungan;

Pawukon (Ingkel, Rangda Tiga, Tanpa Guru, Was Penganten dll) 
Tri wara (Pasah untuk memisahkan, Beteng untuk mempertemukan, Kajeng untuk wasiat) 
Sapta wara (Soma/senin, Budha/rabu dan Sukra/jumat, yang lainya termasuk kurang baik) 
Sanga wara ( yang terbaik adalah Tulus dan Dadi) 
Dauh Inti, berlaku pada waktu/jam tertentu saja, dari jam sekian sampai dengan sekian saja.Pedewasan Inti berdasarkan Perhitungan yang terperinci, antara lain; Ayu nulus, Dauh ayu, Ayu badra, Mertha yoga, Mertha masa, Mertha dewa, Mertha danta, Sedana yoga, Subacara, Dewa ngelayang, dengan tidak melupakan hal – hal yang tersebut diatas serta dihubungkan dengan baiknya SASIH dan Penanggal.

Selanjutnya mari kita ikuti perumusan – perumusan berikutnya;

Urip Panca wara; Umanis (5), Pahing (9), Pon (7), Wage (4), Kliwon (8). 
Urip Sapta wara; Redite/Minggu (5), Soma/Senin (4), Anggara/Selasa (3), Budha/Rabu (7), Wraspati/Kamis (8), Sukra/Jumat (6), Saniscara/Sabtu (9). 
Bilangan Sapta wara; Redite (0), Soma (1), Anggara (2), Budha (3), Wraspati (4), Sukra (5), Saniscara (6). 
Bilangan Wuku; Sita (1), landep (2), ukir (3), kilantir (4), taulu (5), gumbreg (6), wariga (7), warigadean (8), julungwangi (9), sungsang (10), dunggulan (11), kuningan (12), langkir (13), medangsia (14), pujut (15), Pahang (16), krulut (17), merakih (18), tambir (19), medangkungan (20), matal (21), uye (22), menial (23), prangbakat (24), bala (25), ugu (26), wayang (27), klawu (28), dukut (29) dan watugunung (30).RUMUS PERHITUNGAN WARIGA

Ingkel (pantangan) mulai dari Redite/Minggu dan berakhir pada Saniscara/Sabtu (7 hari).
bilangan wuku dibagi 6, sisa;

= Wong / yang berhubungan dengan Manusia.
= Sato / yang berhubungan dengan Hewan.
= Mina / yang berhubungan dengan Ikan.
= Manuk / yang berhubungan dengan Burung/Unggas.
= Taru / yang berhubungan dengan Tumbuhan Berkayu.
= Buku / yang berhubungan dengan Tumbuhan Berbuku.

Eka Wara ; Urip Pancawara + Urip Saptawara = Ganjil = Luang (tunggal/padat)

Dwi Wara ; Urip Pancawara + Urip Saptawara =

Genap = menga (terbuka).
Ganjil = pepet (tertutup)

Tri Wara ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 3 = sisa

= Pasah (ditujukan kepada Dewa)
= Beteng (ditujukan kepada Dewa)
= Kajeng (ditujukan kepada Bhuta)

Catur Wara ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 4 = sisa

= Sri (makmur)
= Laba (pemberian/imbalan)
= Jaya (unggul)
= Menala (sekitar daerah)

dari Redite Sinta sampai dengan Redite Dunggulan + 2, Soma Dunggulan + 1, sebelum dibagi. ini disebabkan adanya Jaya Tiga pada Wuku Dunggulan berturut – turut dari redite, selanjutnya rumus berlaku seperti biasa.

Panca Wara ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 5 = sisa

= Umanis (penggerak)
= Paing (pencipta)
= Pon (penguasa)
= Wage (pemelihara)
= Kliwon (pemusnah/pelebur)

Sad Wara ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 6 = sisa

= Tungleh (tak kekal)
= Ariang (kurus)
= Urukung (punah)
= Paniron (gemuk)
= Was (kuat)
= Maulu (membiak)

jejepan ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 6 = sisa

= Mina (ikan)
= Taru (kayu)
= Sato (hewan)
= Patra (tumbuhan merambat/menjalar)
= Wong (manusia)
= Paksi (burung/unggas)

Astha Wara ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 8 = sisa

BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali = Sri (makmur)
= Indra (indah)
= Guru (tuntunan)
= Yama (adil)
= Ludra (peleburan)
= Brahma (pencipta)
= Kala (nilai)
= Uma (pemelihara)

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

dari Redite Sinta sampai Redite Dunggulan + 2, Soma Dunggulan +1, sebelum dibagi. selanjutnya rumus berlaku sebagai biasa.

Sanga Wara ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 9 = sisa

= Dangu (antara terang dan gelap)
= Jangur (antara jadi dan batal)
= Gigis (sederhana)
= Nohan (gembira)
= Ogan (bingung)
= Erangan (dendam)
= Urungan (batal)
= Tulus (langsung)
= Dadi (jadi)

dari Redite Sinta sampai Redite Dunggulan + 2, Soma Dunggulan +1, sebelum dibagi. selanjutnya rumus berlaku sebagai biasa.

Dasa Wara ; (urip Pancawara + Urip Saptawara yang dicari + 1) : 10 = sisa

= Pandita (bijaksana)
= Pati (dinamis)
= Suka (periang)
= Duka (jiwa seni / mudah tersinggung)
= Sri (kewanitaan)
= Manuh (taat / menurut)
= Manusa (sosial)
= Eraja (kepemimpinan)
= Dewa (berbudi luhur)
= Raksasa (keras)

Dasawara berarti watak agung (karakter)

Watek Madia ; (urip Pancawara + Urip Saptawara yang dicari) : 5 = sisa

= Gajah (besar) - hewan
= Watu (kebal) - keras
= Bhuta (tak nampak) - jerat
= Suku (berkaki) - meja
= Wong (orang) – pembantu

Watek Alit ; (urip Pancawara + Urip Saptawara yang dicari) : 4 = sisa

= Uler (beranak banyak)
= Gajah (besar)
= Lembu (kuat)
= Lintah (kurus)

Dagang Banten Bali


Tanpa Guru ; dalam satu WUKU tidak terdapat GURU (Astha Wara), yang artinya tidak baik untuk memulai suatu usaha terutama mulai belajar.

Was Penganten ; dalam satu WUKU terdapat dua WAS (Sad Wara), baik untuk membuat benda tajam, tembok, pagar dan membuat pertemuan.

Semut Sadulur ; Urip Pancawara + Urip Sapthawara = 13 dan berturut – turut tiga kali, pantangan untuk atiwa – tiwa (menguburkan mayat). tetapai sangat baik untuk membentuk organisasi.

Kala Gotongan ; Urip Pancawara + Urip Sapthawara = 14 dan berturut – turut tiga kali, pantangan untuk atiwa – tiwa (menguburkan mayat). tetapai sangat baik untuk memulai suatu usaha.

Mitra satruning Dina (segala usaha/acara penting)
(Urip Saptawara + Pancawara Kelahiran) + (Urip Saptawara + Pancawara memulai Usaha/acara) = sisa
= Guru (tertuntun)
= Ratu (dikuasai)
= Lara (terhalang)
= Pati (batal)

Sumber : cakepane.blogspot.com

Malam Kajeng Kliwon, Diyakini sebagai Hari Sangkep Leak, Kenapa?

 






Ilustrasi Leak (ISTIMEWA)


BALI EXPRESS, DENPASAR - Kajeng Kliwon adalah hari yang dikenal angker bagi sebagain besar umat Hindu di Bali. Pada hari itu juga diyakini sebagai hari pertemuan dan perkumpulan Leak untuk mengasah keilmuannya. Benarkah?


Kajeng Kliwon merupakan hari yang perhitungannya jatuh pada Tri Wara, yaitu Kajeng dan Panca Wara, Kliwon. Pertemuan antara Kajeng dengan Kliwon, diyakini sebagai saat energi alam semesta yang memiliki unsur dualitas bertemu satu sama lainnya. "Energi dalam alam semesta yang ada di Bhuwana Agung semuanya terealisasi dalam Bhuwana Alit atau tubuh manusia itu sendiri," ujar Jro Mangku I Wayan Satra kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Senin (30/1).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Lebih lanjut dijelaskan Mangku Satra, rahinan Kajeng Kliwon diperingati setiap 15 hari sekali, dan dapat dibagi menjadi tiga, yakni, Kajeng Kliwon Uwudan, Kajeng Kliwon Enyitan, dan Kajeng Kliwon Pamelastali.

Kajeng Kliwon Uwudan adalah Kajeng Kliwon yang jatuh setelah terjadinya purnama, sedangkan Kajeng Kliwon Enyitan adalah Kajeng Kliwon yang dilaksanakan setelah bulan mati atai Tilem. Sementara Kajeng Kliwon Pamelastali adalah Kajeng Kliwon yang dilaksanakan setiap hari Minggu pada Wuku Watugunung, dilaksanakan setiap enam bulan sekali. 


Pada setiap hari kliwon, umat hindu di Bali mengadakan upakara di rumah maupun di beberapa tempat sesuai adat masing-masing. Ada pun penjelasannya diambil dari Lontar Cundarigama yang menyebut 'Mwah ana manut Pancawara Kliwon ngaran, samadhin Bhatara Siwa, kawenangnia anadah wangi ring sanggah, mwang luhuring haturu, meneher aheningana cita, wehana sasuguh ring natar sanggar mwah dengen, dening. Maksudnya, segehan kepel kekalih dadi atanding, wehana pada tigang tanding. Ne ring natar sambat Sang Kala Bhucari, ne ring sanggar sambat Sang Bhuta Bhucari, ring dengen sambat Durga Bhucari. 'Ikang wehana laba nangken kliwon, saisinia, dan sama hanemu rahayu, paripurna rahasya'. Yang artinya, pada hari pancawara, yakni setiap datangnya Hari Kliwon adalah saatnya beryoga Bhatara Siwa, sepatutnya pada saat yaang demikian, melakukan penyucian dengan menghaturkan wangi-wangi bertempat di pamerajan, dan di atas tempat tidur. Sedangkan yang patut disuguhkan di halaman rumah, segehan kepel dua kepel menjadi satu tanding, dan setiap tempat tersebut disuguhkan tiga tanding, yakni di halaman sanggar kepada Bhuta Bhucari, di dengen kepada Durga Bhucari, untuk di halaman rumah kepada Kala Bhucari. Adapun maksud memberikan laba setiap  Kliwon, yakni untuk menjaga pekarangan serta keluarga semuanya mendapat perlindungan dan menjadi bahagia.

Dagang Banten Bali

'Kunang ring byantara kliwon, prakrtinia kayeng lagi, kayeng kliwon juga, kewala metambehing sege warna, limang tanding, ring samping lawang ne ring luhur canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa, astawakna ring Hyang Durgadewi, ne ring sor, sambat Sang Durga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, phalania rahayu paripurna wang maumah. Yen tan samangkana ring Bhatara Durgadewi angrubeda ring wang adruwe umah, angadeken gring mwang angundang desti, teluh, sasab mrana, amasang pamunah, pangalak ring sang maumah, mur sarwa Dewata kabeh, wehaken manusa katadah dening wadwanira Sang Hyang Kala, pareng wadwanira Bhatara Durga. Mangkana pinatuhu, haywa alpa ring ingsun. Maksudnya, lain lagi pada hari Kajeng Kliwon, pelaksanaan widhiwidananya, seperti halnya pada hari kliwon juga, hanya tambahannya dengan segehan warna 5 tanding, yang disuguhkan pada samping kori sebelah atasnya, ialah canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa dan yang dipuja adalah Durgadewi. Yang disuguhkan di bawahnya, untuk Sang Durga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, yang maksudnya berkenan memberikan keselamatan kepada penghuni rumah. Sebab, kalau tidak dilakukan sedemikian rupa, maka Sang Kala Tiga Bhucari akan memohon lelugrahan kepada Bhatari Durga Dewi, untuk merusak penghuni rumah, dengan jalan mengadakan atau menyebarkan penyakit, dan mngundang para pangiwa, segala merana-merana, mengadakan pemalsuan-pemalsuan, yang merajalela di rumah-rumah, yang mengakibatkan perginya para Dewata semua.



Dan, akan memberi kesempatan para penghuni rumah disantap oleh Sanghyang Kala bersama-sama dengan abdi Bhatari Durga. "Demikianlah agar disadari, dan jangan menentang pada petunjuk kami," sarannya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Rahina Kajeng Kliwon diperingati sebagai hari turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak melaksanakan dharma agama. Pada hari ini pula para bhuta muncul menilai manusia yang melaksanakan dharma. Pada Kajeng Kliwon hendaknya menghaturkan segehan mancawarna. Tetabuhannya adalah tuak atau arak berem. Di bagian atas, di ambang pintu gerbang (lebuh) harus dihaturkan canang burat wangi dan canang yasa. "Semuanya itu dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Durgha Dewi," imbuhnya. 


Segehan dihaturkan di tiga tempat yang berbeda, yaitu halaman Sanggah atau Mrajan, atau di depan palinggih pengaruman, dan ini di tujukan pada Sang Bhuta Bhucari. Kemudian di halaman rumah atau pekarangan rumah tempat tinggal, ditujukan kepada Sang Kala Bhucari. Kemudian yang terakhir adalah dihaturkan di depan pintu gerbang pekarangan rumah atau di luar pintu rumah yang terluar. Ini ditujukan kepada Sang Durgha Bhucari .


Maksud dan tujuan menghaturkan segehan ini merupakan perwujudan bhakti dan sradha umat kepada Hyang Siwa ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa) telah mengembalikan (Somya) Sang Tiga Bhucari. "Berarti kita telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar)," tandasnya. 

Pada dasarnya, lanjutnya, Kajeng Kliwon merupakan hari yang sangat keramat karena kekuatan negatif dari dalam diri maupun dari luar manusia, amat mudah muncul dan mengganggu kehidupan manusia.Jadi, dapat diambil kesimpulan adanya peringatan dan upacara yadnya pada hari kajeng kliwon ini, dengan harapan bahwa baik secara sekala maupun niskala dunia ataupun alam semesta ini tetap menjadi seimbang.


Dikatakannya, sebagaimana dijelaskan pula bahwa saat malam kajeng kliwon sering dianggap sebagai malam sangkep (rapat) Leak di Bali. Pada malam Kajeng Kliwon ini para penganut aji Pangliyakan akan berkumpul mengadakan puja bakti bersama untuk memuja Shiva, Durga, dan Bhairawi. "Ritual Kajeng Kliwon ini biasanya dilaksanakan di Pura Dalem, Pura Prajapati atau di Kuburan atau uluning setra, pemuwunan, " tutup Satra. 



(bx/gus /rin/yes/JPR)