Minggu, 13 Desember 2020

Tradisi Ngurek

 



Ngurek adalah atraksi menusuk diri dengan menggunakan senjata keris, ini berlangsung ketika para pelaku berada dalam keadaan kerasukan (di luar kesadaran). Ngurek berkaitan erat dengan ritual keagamaan bahkan di sejumlah desa adat di Bali dan tradisi ini wajib dilangsungkan.

Ngurek bisa disebut juga dengan Ngunying. Ngurek merupakan wujud bakti seseorang yang dipersembahkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Ngurek termasuk dalam upacara Dewa Yadnya yaitu pengorbanan/persembahan suci yang tulus ihklas. Menurut ajaran agama Hindu, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia, mahluk hidup beserta isinya berdasarkan atas Yadnya, maka dengan itu manusia diharapkan dapat memelihara, mengembangkan dan mengabdikan dirinya kepada Sang Pencipta yakni Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).


Ngurek berasal dari kata ‘urek‘ yang berarti lobangi atau tusuk. Jadi Ngurek dapat diartikan berusaha melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan keris, tombak atau alat lainnya saat berada dalam kondisi kerasukan. Karena Ngurek dilakukan dalam kondisi kerasukan atau di luar kesadaran, maka roh lain yang masuk ke dalam tubuh akan memberi kekuatan, sehingga orang yang melakukan Ngurek ini menjadi kebal, dan ini merupakan suatu keunikan sekaligus misteri yang sulit dijelaskan.

Tradisi Ngurek tidak tahu kapan mulai dilakukan. Konon ini terjadi pada jaman kejayaan kerajaan. Saat itu sang raja ingin membuat pesta yang tujuannya untuk menunjukkan rasa syukur kepada Sang Pencipta dan sekaligus menyenangkan hati para prajuritnya. Setelah dilakukan sejumlah upacara, kemudian memasuki tahap hiburan, mulai dari sabung ayam, hingga tari-tarian yang menunjukkan kedigdayaan para prajurit, maka dari tradisi ini munculah Tari Ngurek atau Tari Ngunying.

Ngurek, menusuk diri dengan keris dalam keadaan kerasukan atau tidak sadar ini pada zamannya hanya dilakukan oleh para pemangku, namun kini orang yang melakukan Ngurek tak lagi dibedakan statusnya, bisa pemangku, penyungsung pura, anggota krama desa, tokoh masyarakat, laki-laki dan perempuan. Tapi suasananya tetap yaitu mereka melakukannya dalam keadaan kerasukan atau trance. Kendati keris yang terhunus itu ditancapkan ke tubuh, namun tidak setitikpun darah yang keluar atau terluka.

Ngurek ini biasa dilakukan di luar kompleks pura utama. Sebelum Ngurek dilakukan, biasanya Barong dan Rangda serta para pepatih yang kerasukan itu keluar dari dalam kompleks pura utama dan mengelilingi wantilan pura sebanyak 3 kali. Saat melakukan hal itulah, para pepatih mengalami titik kulminasi spiritual tertinggi.


Kerasukan dalam Ngurek, biasanya terjadi setelah melakukan proses ritual. Untuk mencapai klimaks kerasukan, mereka harus melakukan beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut secara garis besar dibagi menjadi tiga yang terdiri dari:

Nusdus adalah merangsang para pelaku ngurek dengan asap yang beraroma harum menyengat agar segera kerasukan.
Masolah merupakan tahap menari dengan iringan lagu-lagu dan koor kecak atau bunyi-bunyian gamelan.
Ngaluwur berarti mengembalikan pelaku ngurek pada jati dirinya
Masuknya roh ke dalam diri para pengurek ini ditandai oleh keadaan: badan menggigil, gemetar, mengerang dan memekik, dengan diiringi suara gending gamelan, para pengurek yang kerasukan, langsung menancapkan senjata, biasanya berupa keris pada bagian tubuh di atas pusar seperti dada, dahi, bahu, leher, alis dan mata. Walaupun keris tersebut ditancapkan dan ditekan kuat kuat secara berulang ulang, jangankan berdarah, tergores pun tidak kulit para pengurek tersebut, roh yang ada di dalam tubuh para pengurek ini menjaga tubuh mereka agar kebal, tidak mempan dengan senjata.

Ngurek mempunyai gaya masing-masing, ada yang berdiri sembari menancapkan keris ke bagian tubuh, seperti dada atau mata, ada pula yang bersandar di pelinggih. Setelah upacara selesai, para pelaku ngurek kembali ke kompleks pura utama.

Tradisi Ngurek ini merupakan kebiasaan masyarakat Bali, dimana saat upacara mengundang roh leluhur dilakukan, para roh diminta untuk berkenan memasuki badan orang-orang yang telah ditunjuk, dan menjadi sebuah tanda, bahwa roh-roh yang diundang telah hadir di sekitar mereka. Tradisi Ngurek juga dipercaya, untuk mengundang Ida Bhatara dan para Rencang-Nya, berkenan menerima persembahan ritual saat upacara. Jika orang-orang yang ditunjuk sudah kerasukan dan mulai Ngurek, maka masyarakat bisa mengetahui dan meyakini kalau Ida Bhatara sudah turun ke marcapada (dunia), maka umat yang mengikuti prosesi ritual kian mantap dengan semangat bhaktinya.


Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, apa pun yang kita lakukan dengan pasrah, berserah diri dan ihklas kepada Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa), maka akan mendapat anugrah dan karunia.
*Adi Sudiatmika

Foto : INDONESIA. Bali. Village of Batubulan.
Barong dance. 1949. The "Kris dancers" in
a trance, they are doing the self-stabbing
with kris, ngurek. From Magnum Photos.

#BALITEMPOEDULOE
#BUDAYA #SENI
#TAKSUHINDUBALI #ADATBUDAYA#

Video Tari Barong dan Ngurek - Bali Tempo Doeloe https://www.facebook.com/108159370949700/posts/202003568231946/

Petapakan Ida Betara Rangda Ngereh

 











Petapakan adalah topeng dalam wujud sosok makhluk magis yang meyeramkan, terbuat dari kayu tertentu, dibentuk sedemikian rupa sebagai simbol unsur niskala (tidak nampak) dari adanya Ida Betara Rangda.

Ketakson berasal dari kata taksu mendapat awalan ke dan akhiran an sehingga menjadi kata ketaksuan dan orang Bali lebih mudah mengucapkan dengan kata ketakson yang artinya kesaktian dari proses sakralisasi

Panungrahan artinya Pemberian dari Dewa

Petapakan Ida Betara Rangda Ngereh Petapakan Ida Betara Rangda itu, diyakini tidak saja mampu mengusir gerubug [wabah penyakit] yang pada musim-musim tertentu datang mengancam penduduk Bali, namun juga diyakini dapat mengayomi masyarakat sehingga merasa tenang dan aman dari ancaman niskala itu. Rasa aman semacam itu menjadi penting, meskipun masyarakat Bali telah menjadi masyarakat modern dan berpendidikan tinggi. Aktualisasi dari rasa aman dari ancaman niskala ini adalah di setiap desa, atau Pura mesti ada Petapakan Ida Betara, sebagai tanda atau kendaraan adanya Ida Betara Rangda, yang jika dipahami dengan baik adalah sisi lain dari kepercayaan akan kemahakuasaan Siwa. 

Dalam kaitan dengan dunia mistik Hindu Bali, pemujaan terhadap Siwa dilakukan dengan banyak cara, namun terfokus pada Durga sebagai saktinya Siwa. Di bagian-bagian tertentu negeri India, mungkin Siwa tidak sepopuler di Bali, mungkin Wisnu yang lembut dan kebaikannya tidak diragukan lebih popular, atau mungkin Krisna atau Rama. Menarik diteliti mengapa Siwa dalam manifestasinya sebagai Dewa Pralina yang bertugas menghancurkan itu justru lebih popular daripada Wisnu atau Brahma yang lembut.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Dalam kisah cerita Calonarang diungkapkan, setelah Raja Airlangga memutuskan untuk menyerang kediaman Calonarang Janda Dirah, maka janda penekun ilmu hitam ini mengajak murid-muridnya ke kuburan untuk menghadap Dewi Durga. Untuk itu, janda dari Dirah itu harus menyiapkan sarana dan prosesi menyambut kedatangan Dewi Durga. 

Setelah sarana upacara dan prosesi pemujaan berlangsung, muncullah Dewi Durga dalam wujud yang menyeramkan, mulut menganga, taring mencuat dan saling bergesekan, rambut mengombak, membentangkan kain selendang pada susu, penuh hiasan, letak kedua kakinya miring, memakai kain setengah badan, matanya membelalak bagaikan matahari kembar, terus menerus mengeluarkan api, kemudian dengan suara berteriak menanyakan apa tujuan walu ing girah (janda dari girah atau dirah) menghadap.

Citra perwatakan Dewi Durga yang demikian seram itu, kelak muncul dalam rangda yang sesungguhnya merupakan hasil ciptaan para seniman Bali. Entah siapa yang menjadi pelopor, tampaknya seniman pertama yang menciptakan. Sosok rangda di Bali tidak dikenal, sosok rangda muncul di sejumlah desa di Bali sebagai wujud aktualisasi rasa magis masyarakat Bali. Kelahirannya itu, agaknya tidak sekedar melewati proses penciptaan yang biasa, mesti mengacu pada petunjuk mitos atau lontar tertentu. 

Lontar-lontar (daun pohon lontar yang berisi aksara suci) itu memberi petunjuk mengenai sah tidaknya sebuah petapakan untuk mendapatkan anugrah ketakson. Sementara itu, mitos-mitos yang diciptakan berfungsi untuk menambah bobot magis petapakan tersebut. Cerita-cerita mengenai makhluk-makhluk magis yang seram disampaikan oleh mitos-mitos itu, dipahami oleh penduduk Hindu Bali sebagai ancaman niskala pada kehidupan sehari-hari, jika petunjuk-petunjuknya tidak dipenuhi. 


Dalam mitos-mitos itu, selalu disebutkan bahwa makhluk-makhluk magis itu menyebarkan wabah penyakit pada musim-musim tertentu. Tidak heran, bila kemudian penduduk Bali merasa takut terhadap ancaman wabah penyakit itu, lalu seniman sakral Bali menciptakan mitos baru yang merupakan perwujudan dari sosok makhluk-makhluk magis itu. Salah satu ciptaan itu adalah Petapakan Ida Betara Rangda.

Pasti ada unsur yang bertugas mentrafsormasikan kesadaran mistik orang Bali dari generasi ke generasi sehingga kesadaran mistik tersebut tetap hidup dan bertahan dalam memori penduduk Bali. Walaupun tidak harus dikatakan bahwa kesadaran mistik itu, bergerak dan hidup di dalam memori semua penduduk Bali, namun tidak dapat dipungkiri kalau pada sebagian orang Bali kesadaran mistik itu masih hidup, muncul dan tenggelam. Artinya, sebagian penduduk Bali mungkin tidak lagi memperhatikan dan terlibat di dalam prosesi untuk menghidupkan kesadaran mistik itu, namun tidak dapat ditolak kalau kesadaran mistik itu tetap hidup di dalam memori mereka. Hal ini, misalnya tampak pada sedikit orang yang masih menghidupkan tradisi ngereh, namun bukan berarti kesadaran mistiknya telah terkikis. Inilah Keajaiban Bali.


Unsur perekat macam apa yang mampu mempertahankan kesadaran purba tersebut? kalau saja tidak ada teks, lebih khusus teks cerita Calonarang, yang dengan rajin disalin dan dibuatkan teks-teks baru mengenai makhluk-makhluk magis yang mengancam keselamatan penduduk Bali bila terjadi dis-harmoni terhadap mereka pastilah “rasa takut” itu berkurang. Baiklah, kalaupun berpikir positif, ancaman secara niskala semacam itu, ternyata juga membuat seniman [undagi] Bali menjadi kreatif dan karya-karya mereka memperkaya khasanah kebudayaan Bali. 

Persoalan kemudian penduduk Hindu Bali menjadi bertambah kerepotannya ketika karya-karya itu harus mendapatkan anugrah ketakson atau kesaktian melalui proses sakralisasi. Jika tidak, perasaan terancam secara niskala itu sangat mengganggu irama hidup penduduk Bali.

Dis-harmoni tidak boleh terjadi. Berbagi upakara harus diciptakan dan dipersembahkan, bukan untuk menghancurkan makhluk- makhluk magis itu, melainkan untuk dikembalikan ke wilayahnya, somnya (dinetralkan). Hal ini berarti, kedatangan wabah penyakit adalah akibat dari dis-harmonis tersebut, dan dis-harmonis terjadi karena ada yang melewati atau melanggar batas-batas wilayah masing-masing. Batas-batas itu bisa niskala, bisa juga sekala. Bagi yang melanggar batas-batas, sekali lagi, tidak harus dihancurkan atau dibunuh, melainkan dikembalikan ke alam semula, atau diberi sanksi agar kembali ke wilayah semula.



Puncak harmonisasi antara makhluk- makhluk mitologis itu dengan penduduk Hindu Bali adalah saling memberi kekuatan atau kesaktian, maka prosesi ngereh merupakan bukti adanya kesadaran mistik itu. Petapakan yang mendapatkan ketakson, merupakan bentuk presentasi dari kesadaran mistik Hindu Bali tersebut.

Agar petapakan itu dapat menjalankan fungsinya sebagai penangkal ancaman niskala-mistik itu, disamping dapat mengayomi penduduk dari ancaman niskala itu, maka petapakan itu harus sakti, memiliki taksu, dan agar sakti harus melalui proses sakralisasi. Sakralisasi ini sudah mulai dijalankan pada saat mencari kayu yang akan dijadikan bahan petapakan itu. 

Umumnya, kayu yang digunakan bahan petapakan, adalah jenis kayu yang dipercaya memiliki kekuatan magis, antara kayu pule, kapuh (rangdu), jaran, kapas, waruh teluh, dan kepah. Masing-masing jenis kayu ini ternyata memiliki mitologinya sendiri, yang narasinya berusaha menggambarkan keunikan dan kemagisan kayu-kayu tersebut. Sakralisasi juga tampak pada hari baik yang harus dipilih saat mulai mengerjakan petapakan itu, yang disebut hari kilang-kilung menurut kalender Bali. Sakralisasi ini masih harus dijalankan dalam beberapa tahapan, antara lain tahapan pasupati, ngatep, mintonin dan akhirnya ngerehang.







Teknik Ngereh Petapakan Ida Betara Rangda

Tempat pelaksanaan ngereh biasanya di tengah-tengah setra (kuburan) pada hari tilem (gelap) dan hari keramat di malam hari. Jam pelaksanaannya sekitar jam dua puluh tiga yang diawali dengan matur piuning (Pemujaan), ngaturang caru (menghaturkan sesajen yang ditaruh diatas tanah ) dan nyambleh kucit butuhan (memotong babi jantan yang masih muda).

Orang yang ditugaskan ngereh duduk berhadapan dengan Petapakan Ida Betara Randa. Lidah Petapakan Ida Betara Rangda dilipat ke atas kepalanya. Diantara orang yang ngereh dengan Petapakan Ida Betara Rangda itu ditempatkan upakara, yang pokok adalah getih temelung (darah dari babi jantan) yang ditaruh pada takir (daun pisang). Pengereh bersemedi, sedangkan rekan-rekannya yang lain berjaga-jaga di sekitar setra (kuburan). Malampun bertambah larut . suasana magis mulai terasa ditambah desiran angin semilir membuat bulu kuduk berdiri.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Untuk menjadi Pengereh diperlukan kesiapan mental, keberanian dan kebersihan pikiran dan badan serta yang paling penting adalah lascarya (pasrah, tulus, ikhlas). Tidak boleh sesumbar atau menambah serta melengkapi diri dengan kekuatan-kekuatan lainnya seperti : sesabukan (Jimat kesaktian). Adanya benda-benda asing di luar kekuatan asli yang berada di badan akan mengganggu masuknya kekuatan Ida Bhatara.

Gegodan (gangguan niskala) mulai mengetes keteguhan hati pengereh, apakah dia akan bisa bertahan dan berhasil atau malah kabur yang berarti gagal. Beberapa jenis gegodan, antara lain :


BACA JUGA
Kamus Hindu Bali
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Semut yang mengerubuti sekujur tubuh pengereh dan semut ini besar-besar, jika tidak tahan maka pengereh akan menggaruk-garuk seluruh tubuhnya maka gagallah dia.
Nyamuk yang menggigit serta menyengat muka sampai terasa sakit, rasa-rasanya muka akan hancur, jika tidak tahan pengereh akan mengusap atau menepuk-menepuk mukanya dan gagallah dia.
Ular besar yang melintasi paha pengereh bergerak perlahan yang terasa geli, dingin dan mengerikan. Jika pengereh geli, ketakutan maka gagallah dia.
Celeng (babi) yang datang menguntit pantat pengereh yang sedang khusuknya bersemedi jika takut dan merasa terusik, gagallah si pengereh itu.
Angin semilir yang membawa Aji sesirep, jika tidak waspada akhirnya ketiduran, gagallah dia.
Kokok ayam dan galang kangin (bahasa bali) artinya suasana hari mendekati pagi diiringi dengan ayam berkokok, jika Pengereh terpengaruh dan menghentikan semedi karena merasa hari sudah pagi, maka gagallah dia.
“Bikul nyuling” (tikus meniup seruling) menggoda, sehingga membuat si pengereh tertawa karena lucu melihat tikus meniup seruling, maka gagallah dia.
“Talenan (alas untuk memotong daging) bersama blakas (pisau besar)” yang datang dengan bunyi….tek….tek….tek….dan akan melumat si pengereh, langsung dicincang. Kalau sudah seperti ini si pengereh harus kabur menyelematkan diri, karena kehadiran talenan bersama blakas ini adalah ciri kegagalan.
Kedengaran bunyi gemerincing…..cring…….cring, cring,cring,cring, kalau sudah begini berarti sudah gagallah prosesi ngereh ini, dan si pengereh tidak perlu lagi melanjutkan dan harus secepatnya angkat kaki menyelematkan diri. Hal ini menandakan akan hadir Banaspati Raja (Raja hantu) ancangan (anak buah) Ida Betara Bairawi yang berkuasa di Setra (kuburan).



Kalau yang disampaikan diatas adalah kegagalan ngereh, maka keberhasilannnya adalah ditandai dengan adanya gulungan api, atau tiga bola api yang datang menghampiri kemudian masuk ke petapakan Ida Betara Rangda. Jika sudah masuk ke Petapakan Ida Betara Rangda, ditandai dengan menjulurnya lidah Petapakan Ida Betara Rangda yang semula diatas kepalanya kemudian turun berjuntai mengarah ke takir (daun pisang ) yang berisi getih temelung (darah babi jantan) dan menyedotnya sampai habis, selanjutnya si pengereh akan kerauhan (trance) kemudian masuk ke Petapakan Ida Betara Rangda dan ngelur (berteriak) menggelegar; akhirnya tangkil (datang) ke Pura Dalem, permisi lanjut menuju pura tempat peyogan (persemadian) Ida Betara Durga.

Mengenai 9 jenis gegodan (gangguan) itu tidak terjadi sekaligus kesembilannya pada saat ritual ngereh. Gangguan (gegodan) yang terjadi bisa 1 atau 2 atau 3 atau 4 dan seterusnya tergantung situasi dan kondisi serta keberadaan si pengereh, kelengkapan upacara dan kemungkinan penyebab lainnya.







Petapakan Ida Betara Rangda diisi Kekuatan Sakti Panca Durga

Dalam ngerehang pun memanggil Panca Dhurga untuk mengisi kekuatan rangda. Untuk upacaranya perlu dibuatkan segehan agung (sesajen besar yang ditaruh di atas tanah) beserta perangkatnya yang sesuai dengan lontar pengerehan.

Adapun yang dimaksud dengan Sakti Panca Durga adalah lima macam kekuatan Durga yaitu :


Kala Durga, 
Durga Suksemi, 
Sri Durga, 
Sri Dewi Durga, dan 
Sri Aji Durga. 



Lima macam kekuatan Durga inilah yang menguasai ilmu arah mata angin di dunia niskala (tidak nampak) dan bisa menimbulkan kemakmuran bagi umat manusia maupun bencana apa bila dilanggar batas-batas wilayahnya.


Bali memang tidak bisa lepas dari upacara keagamaan yang dilakukan masyarakatnya, sehingga menambah kemagisan pulau ini, begitu halnya dengan upacara ngereh atau pengerehan yang lazim dilakukan oleh masyarakat dalam rangka menghidupkan sesuatu yang ada hubungannya dengan wahana atau petapakan Ida Betara Rangda di Pura.

Dalam ajaran Agama Hindu di Bali sarat dengan lokal genius yang berdasarkan sastra-sastra Agama, termasuk diantaranya ngereh. Dalam lontar Kanda Pat, ngereh atau pengerehan erat kaitannya dengan Petapakan Ida Betara Rangda yang berupa benda yakni tapel rangda (topeng rangda).

Sedangkan ngerehan rangda sesuai dengan Lontar Pengerehan, Kanda Pat, bahwa ngerehang rangda mempunyai kekhususan sendiri. Sebab ini berhubungan dengan sifat magis yang dimiliki oleh rangda itu sendiri, karena rangda merupakan simbol rajas (emosi) yang penuh dengan nafsu untuk menguasai. Dalam lontar Calonarang, rangda artinya janda yang memiliki nafsu tak terbendung atau kemarahan yang tak tertahankan karena dendam. Rangda sendiri merupakan sifat manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya sehingga menyebabkan gejolak dalam diri kita sebagai manusia.

Rangda pengerehan dilaksanakan di setra (kuburan), karena setra (kuburan) merupakan tempat pemujaan terhadap Dewa Bhairawi yaitu Dewa kuburan dalam lontar Bhairawa Tatwa, yang merupakan wujud dari Dewi Durga. Dalam mitologinya, disini Dewa Siwa berubah wujud untuk menemui saktinya Dewi Durga berupa rangda sehingga muncullah beberapa kekuatan yang menyeramkan untuk menguasai dunia. Inilah alasannya kenapa setra (kuburan) dipakai sebagai tempat ngerehang rangda. Karena penuh dengan kekuatan black magik. Sehingga dalam ngerehang rangda, kalau sudah mencapai puncaknya ia akan hidup. Setelah hidup rangda akan memanggil anak-anak buahnya berupa leak (setan) atau makhluk halus lainnya.

Sarana Ngereh Petapakan Ida Betara Rangda Di Kuburan Berupa Pala Walung

“Sebelum ngerehan, maka disiapkan berbagai sarana dan bebantenan (sesajen sakral). Sarana yang penting tersebut adalah memohon pala walung (tengkorak manusia) sebanyak tiga buah. Untuk itu dilakukan matur piuning (pemujaan) kehadapan Ida Betara di Mrajapati. Setelah itu, sekitar jam dua belas siang jero mangku (orang suci) beserta krama (masyarakat) mencari-cari tengkorak di sekitar setra (kuburan). Pala walung atau tengkorak yang didapat tersebut kemudian dicuci dengan toya kumkuman (air suci dari air kelapa) dan ketiganya dihaturkan rayunan cenik (suguhan berupa hidangan).

“Hal lain yang perlu adalah mempersiapkan juru pundut (pengusung) ketika upacara ngereh.

“Pada hari pengerehan tersebut, juru pundut (pengusung) yang kasudi (ditugaskan) atau ditunjuk dilakukan upacara sakral di Pura Dalem. Setelah itu ngiderang (mengelilingi) gedong Pura Dalem sebanyak tiga kali. Kemudian juru pundut (pengusung) tersebut menghaturkan sembah kepada Ratu Gede Penyarikan, Mrajapati. Proses ini berlangsung sekitar jam dua puluh dua tiga puluh menit (jam 20.30 ) malam.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Pada tengah malam sekitar jam dua puluh tiga, tiga puluh menit (jam 23.30) malam, barulah Petapakan Ida Betara Rangda diikuti oleh para damuh (masyarakat penyungsung) menuju ke setra (kuburan) untuk upacara ngereh. Di sana telah disediakan banten (sesajen). Semua banten (sesajen) tersebut diastawa (dipuja) oleh jero mangku (orang suci). Di tempat tersebut ditancapkan sebuah sanggah cucuk (tempat sesajen dari pohon bambu) yang berisi sesajen sakral. Sedang Ida Betara Rangda diletakkan diatas gegumuk (gundukan tanah).

Pemundut (pengusung) kemudian duduk bersimpuh di hadapan banten (sesajen) dan prerai (muka topeng) Petapakan Ida Betara Rangda. Duduk bersimpuh dimana kedua lututnya beralaskan pala walung (tengkorak manusia), dan satu lagi di bagian pantatnya. Mencakupkan tangan memegang kuangen (sarana bunga), ngulengang kayun (konsentrasi) kehadapan Ida Betara Durga. Dihadapannya diletakkan sebuah pengasepan (tempat api). Setelah itu areal tempat ngerehan dikosongkan dari orang termasuk pemangku (orang suci). Semua berada dalam jarak yang jauh”.

Jadi pengertian ngereh pada intinya adalah Petapakan Ida Betara Rangda mesuci (membersihkan diri) di setra (kuburan). Salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan kesidian (kesaktian) beliau. Setelah upacara ngereh Petapakan Ida Betara Rangda selesai, kemudian pala walung yang tadinya dimohon, dikembalikan ke tempatnya semula, agar tidak ngerebeda (mengganggu atau menimbulkan hal yang tidak diinginkan).

Petapakan Ida Betara Rangda di Bali diyakini mampu mengusir gerubug (wabah penyakit) dan dapat mengayomi masyarakat sehingga merasa tenang, aman dan tentram dalam irama kehidupan umat Hindu di Bali. Oleh Adang Suprapto




Sumber : cakepane.blogspot.com

Makna, Tujuan dan Cara Penggunaan Benang Tri Datu

 




Ini Makna, Tujuan dan Cara Penggunaan Benang Tri Datu

BENANG TRI DATU: Penggunaan benang Tri Datu sebagai lambang Tri Murti. (AGUNG BAYU/BALI EXPRESS)

BALI EXPRESS, DENPASAR - Agama Hindu di Bali memiliki banyak simbul dalam menjalankan agamanya. misalnya ada ritual yang membuat orang Hindu Bali menggunakan gelang benang Tri Datu. Namun benang merah, hitam dan putih ini bak menjadi trend fashion. Karena tak hanya orang Bali, atau orang hindu. Namun non hindu juga "nyaman" menggunakan gelang Tri Datu.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Menurut pandangan Ketua PHDI Provinsi Bali, Prof I Gusti Ngurah Sudiana, bagi umat Hindu Bali, benang Tri Datu atau juga sering disebut Sri Datu, secara etimologi, berasal dari dua kata yakni kata tri yang berarti tiga, dan datu yang berarti kekuatan, jadi Tri Datu berarti tiga kekuatan. Tiga kekuatan ddi sini adalah kekuatan dari tiga Dewa utama dalam agama Hindu. “Yakni Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa,” jelasnya.



Tri Datu yang memiliki tiga wrna yakni merah, putih dan hitam ini menjadi lambang tiga kekuatan. Yakni Dewa Brahma dengan aksara suci Ang, memiliki urip 9 dengan sakti Dewi Saraswati, disimbolkan dengan warna merah. Dewa Wisnu dengan aksara suci Ung, memiliki urip 4 dengan sakti Dewi Sri, dengan simbol warna hitam.




Dan Dewa Siwa dengan aksara suci Mang, memiliki urip 8 dengan sakti Dewi Durga, disimbolkan dengan warna putih. “Ketiga aksara ini yaitu Ang, Ung, Mang bila disatukan akan menjadi aksara AUM yang bila diucapkan menjadi OM. Aksara pranawa OM merupakan aksara suci umat Hindu serta memiliki nilai magis yang luar biasa sebagai simbol dari Ida Sanghyang Widi Wasa,” lanjut dosen IHDN ini.

Sehingga pada hakikatnya, dikatakan Sudiana, benang Tri Datu merupakan salah satu aktualisasi diri dalam konteks Tri Murti. Dalam ajaran agama Hindu Tri Murti adalah tiga kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa dalam menciptakan, memelihara, dan mengembalikan pada asalnya alam beserta isinya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Salah satu sastra yang membahas tentang penggunaan benang Tri Datu dalam ritual keagamaan Hindu adalah Lontar Agastya Parwa. Dimana dalam lontar Agastya Parwa disebutkan Sudiana, benang Tri Datu untuk manusia yakni Umat Hindu Bali digunakan sebagai sarana perlindungan dari kekuatan negatif. Sehingga manusia bisa terhindar dari hal-hal negatif dan bisa berfikir lebih bijaksana.

Dijelaskan Sudiana untuk jalinan benang ini bisa dikatakan benar bila ukuran benangnya, besar benangnya sama dijalin saling ikat bukan terlepas begitu saja, atau bukan dijalin seperti jalinan rambut. “Benang Tri Datu bagi masyarakat Hindu juga difungsikan sebagai sarana dan prasarana upacara keagamaan,” tambahnya.

Jika dilihat dilihat dari sejarah penggunaan benang Tri Datu, sebelum menjadi tren seperti saat ini, dikatakan Sudiana, hampir semua kegiatan keagamaan yang terangkum dalam Panca Maha Yajna dalam pelaksanaannya memakai benang Tri Datu. Mulai dari upacara Dewa Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai sarana nuntun Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya.

Selain itu, benang sebagai alat atau media penghubung antara pemuja dan yang dipuja, sehingga benang Tri Datu pada awalnya adalah sebuah pica (Anugrah) dari beberapa pura seperti Pura dalem Ped yang berlokasi di Nusa Penida. “Bisa dikatakan Pura Dalem Ped inilah yang pertama kali menganugrahkan gelang Tri datu kepada pemedek yang tangkil ke Pura, selanjutnya seiring dengan perkembangan, akhirnya hampir seluruh Pura di Bali saat ini menganugrahkan benang Tri datu kepada umatnya,” urainya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dalam upacara Butha Yajna, benang Tri Datu dipakai pamogpog (pelengkap) atas kekurangan persembahan yang dilaksanakan. Untuk pelaksanaan upacara Rsi Yajna juga memakai benang Tri Datu yang digunakan sebagai slempang pada tubuh yang di diksa atau winten sebagai pawitra dari nabe kepada sisya.

Sedangkan pada upacara Manusa Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai lambang panugrahan. Memakai benang pawitra berwarna Tri Datu bermakna pengikatan diri terhadap norma-norma agama. “Sedangkan pada upacara Pitra Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai panuntun atma yang telah meninggal,” paparnya.

Lantas bagaimana dengan benang Sanga Datu dan benang Panca Datu yang bisa didapat di Pura watu Klotok untuk Panca Datu dan Pura Besakih untuk Sanga Datu?

Hingga saat ini Sudiana mengaku jika belum ada literature yang menjabarkan tentang penggunaan Sanga Datu dan Benang Panca datu untuk digunakan sebagai gelang atau kalung oleh umat. “Untuk Sanga Datu dan panca Datu ini, belum ada literature yang menyebutkan tentang penggunaan kedua benang ini untuk gelang bagi manusia,” tambahnya.

Dengan latarbelakang ini, Prof Sudiana mengatakan tidak ada masalah jika umat non hindu menggunakan gelang benang Tri Datu tidak salah. “Selain itu memang tidak ada larangan bagi umat non Hindu untuk menggunakan benang Tri datu ini, sepanjang penggunaannya pada tempat yang tepat,” jelasnya.

Adapun masud tempat yang tepat ini seperti digunakan untuk gelang tangan dan kalung dan bukan gelang kaki. Karena jika digunakan di kaki tanpa adanya tujuan dan ritual yang jelas, maka penggunaan tersebut bisa dianggap sebagai pelecehan, karena mengunakan simbul Tri Murti bukan pada tempatnya. "Posisinya tepat, sehingga tidak menjadi pelecahan terhadap simbol Hindu. Tidak masalah jika digunakan umat lain," urainya. 

(bx/gek/bay/yes/JPR)

Cara Mengatasi Ilmu Pelet Pengasih atau Ilmu Guna-Guna

 







Om swastyastu..

Kali ini kami kembali lagi dengan tajuk yang agak lebih menarik untuk dibincangkan. setelah kemarin kami mencoba memaparkan tentang Ilmu pelet pengasih atau ilmu guna guna dan tentang ilmu kawisesan kiri atau Ilmu Liak (leak), berikut ini kami akan mencoba mengumpulkan cara beserta beberapa ilmu yang sempat kami baca, terapkan dan beberapa info yang biasanya digunakan untuk menghilangkan pengaruh Ilmu pelet pengasih atau ilmu guna guna tersebut.


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

kami ingat kan kembali, bahwa Ilmu pelet pengasih atau ilmu guna guna itu tidak akan sehebat isu yang dihembuskan bilamana yang menggunakan tersebut orangnya belum memahami tehnik kawisesan. seperti halnya mobil canggih yang lengkap dengan semua fasilitas pendukungnya. apabila dikendarai atau dipakai oleh orang awam apalagi belum pernah mengendarai mobil maka ilmu / alat tersebut tidak akan jalan, andai jalan palingan cuma sekedar jalan dan efeknya tidak seberapa. tetapi bila digunakan oleh orang yeng berkompeten dibidang kawisesan, alat tersebut akan sangat manjur.. jadi tidak usah terlalu risau.

Berbahaya atau tidak, itu semua tergantung pemakainya.

Analoginya sebilah pisau, bila digunakan oleh tukang masak maka akan berguna untuk orang lain, tapi bila digunakan oleh penjahat maka pisau tersebut bisa digunakan untuk menyakiti hingga membunuh orang lain.

Menurut pemahaman kami, menimbang dari berbagai masukan tetua yang sempat ditemui saat mulai mengenal dunia keilmuan, Ilmu pelet pengasih atau ilmu guna guna itu boleh dipergunakan oleh :



Orang cacad fisik
Orang yang dihina atau direndahkan serta dicemooh
Orang yang susah mencari pasangan hidup tapi umurnya sudah mendekati masa pasif: umur 35 tahun bagi wanita (atau mendekati masa monopose) dan umur 40 tahun bagi lelaki.



Jadi intinya Ilmu pelet pengasih atau ilmu guna guna boleh digunakan oleh orang yang jauh dari harapan dan andai kata terpaksa menggunakan ilmu tersebut tentunya tidak boleh sampai menyakiti.

Baiklah, berikut ini cara untuk membebaskan dan memunahkan efek dari Ilmu pelet pengasih atau ilmu guna guna tersebut, baik dengan sarana benda maupun dengan menggunakan ilmu kawisesan.




Tehnik menggunakan ilmu kawisesan - MANTRA

Terlebih dahulu gunakanlah 2 mantra berikut ini :




Iki Pengater Mantra

Mantranya : Ong ang ung, teka ater 3x, ang ah, teka mandi 3x, ang.
BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah




Iki Pangurip Mantra (saluwiring mantra wenang)

Mantranya : Ong betare indra turun saking suargan, angater puja mantranku, mantranku sakti, sing pasanganku teka pangan, rumasuk ring jadma menusa, jeneng betara pasupati. Ong ater pujanku, kedep sidi mandi mantranku, pome.

Ang urip ung urip mang urip, teka urip 3x urip, bayu urip sabda urip idep urip, teka urip 3x, jeneng.




Setelah menggunakan mantra tersebut, silahkan pilih tehnik kawisesan berikut ini:

Iki Pamancut salwiring guna (kaliput baan guna)


Sarananya: Toya ring batok areng, atau Yeh pasereyan tunun, mandikan orang yang terkena

Mantranya : idep aku meme bapa pertiwi akasa, saguna japa mantra lekas, sama kamisayan, satru musuhku wus, kabancut 3x.

Panglebur lara

Iki panglebur lara roga, mwang kenēng upa drawa, mwang dening durjana, mwang ipyan ala, kalebur dēnya

Sarananya : air putih

Mantranya : sang, bang, tang, ang, ing, tirta paritra, ang ung mang enyana, Om mrtha.

- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar

Sastra Sebagai Alat Komunikasi

 





CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Filsafat secara umum dapat diartikan bahwa usaha manusia dengan menggunakan akal, untuk memperoleh pemahaman Jagat Raya dalam memenuhi suatu kepuasan dalam kebijaksanaan, sedangkan aksara adalah simbol (lambang) sebagai alat komunikasi.

Komunikasi menggunakan bahasa akan mengandung unsur simbolik dan emotif, dalam komunikasi ilmiah sebenarnya proses komunikasi itu harus terbebas dari unsur emotif ini, agar pesan yang disampaikan bisa diterima secara reprodukdif, artinya identik dengan pesan yang dikirim. 

Umpamanya jika dalam sebuah komunikasi ilmiah kita mempergunakan akal seperti “epistemology” atau “oftimal” maka kita harus menjelaskan lebih lanjut apa yang kita maksudkan dengan kata-kata itu. Hal ini harus kita lakukan untuk mencegah si penerima komunikasi memberi makna lain yang berbeda dengan makna yang dimaksudkan. Tentu saja kata-kata (simbol) yang sudah jelas dan kecil kemungkinannya untuk disalah artikan dan tidak lagi membutuhkan penjelasan lebih lanjut. (Jujun, 2002:175,181). 

Nama Rudra sering diartikan sama dengan Siwa, sehingga untuk menggambarkan siwa sebagaimana halnya dengan Rudra dihubungkan dengan sebelas aksara sebagai bentuk lingga Atma, menurut Jnana Sidharta: Sing, Tang, Mang, Bang, Ang, Wang, Nang, Ang, Ung, Mang dan Ong.




Selanjutnya dalam Rg.Weda X.36.14. menyebutkan:

“Sawita Pascatat Sawita Purastat, Sawitottarattat Saidharattat Sawita Nah Suwatu, Sarwatatim Sawita No Rasa Tam Dirgha Ayuh”

Artinya:


Dewa dari arah Barat, Dewa dari arah timur, Dewa dari arah Utara, Dewa dari arah Selatan. Semoga ia melimpahkan rahmatNya kepada kita dengan umur panjang.(Pudja, 1984:31-33). 




Untuk jelasnya penulisan kini menguraikan kejadian aksara vokal (suara) dan konsonan (wyanjana) serta menggolongkan terbagi tiga jenis, yaitu: 


Wreastra, yang digunakan untuk menunulis Bahasa Bali lumrah, misalnya urak, pipil, pengeling-eling dan sejenisnya, 
Swalalita, aksara untuk menuliskan Bahasa Kawi dan lainnya lagi, 
Modre, adalah aksara bagian kedyatmikan misalnya: Japa-mantra, perlambang (simbol) dalam keagaman, upacara dan yang berhubungan dengan dunia kegaiban, do’a-do’a dan pengobatan. 



Terakhir adalah aksara suci ini adalah aksara mati karena banyak dengan busana (taleng, tedong, surang, gantungan, dan gempelan). Untuk membacanya menggunakan Krakah/Griguh (Kaler,1982: iii-iv).

Pesamuan Agung Bahasa Bali tahun 1957 (dengan hasilnya) sebagai berikut: 


Vokal 6 buah, yaitu: a, i, u, e, o, e. Lambang e taling tidak memakai corek atau tanda diakritik. Tanda deakritik dapat dipakai hanya pada permulaan belajar membaca atau dalam perkamusan. 
Konsonan 18 buah, yaitu: h, n, c, r, k, g, t, m, ng, b, s, w, l, p, d, y, ny. 



Perlu kami ingatkan bahwa dalam penulisan kalimat atau cerita bahasa Bali memakai tulisan latin jangan berpegang dengan tulisan Bali, melainkan ke Bahasa Indonesia. 
BACA JUGA
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali

Contoh: 

“Rontal Ramayana becik pisan, Prabu Kresna sareng mayuda, Sang panca pandawa lunga ke alase”. 

Kalau tulisan Balinya "Rãmãyana, Prabhu Krésna, mayudha dan Pañca Pãndawa". 

Dalam buku ejaan bahasa Daerah bali yang disenpurnakan juga dicantumkan abjad Bahasa Indonesia dari a s/d z. Hal ini dimaksudkan untuk menyerap bahasa asing pada tahap permulaan sebelum beradaptasi dengan bahasa Bali. (Tinggen, 1993:3).

Pengulangan Lalitasahasranama dan Trisat’i, khususnya Trisakt. Untuk dapat meresapkan keamhakuasaan Sang Hyang Widhi agama Hindu memberikan Simbol pada kekuatannNya ini dalam aksara suci OM. Kata Om adalah aksara suci untuk mewujudkan Sang Hyang Widhi dengan ketiga prabawanya yaitu: Brahma Hyang Widhi dalam prabawanya mahapencita disimbolkan dengan aksara A, Wisnu Hyang Widhi dalam prabawanya memelihara disimbolkan dengan aksara U dan Siwa Hyang Widhi dalamp rabawanya pelebur disimbolkan dengan aksara M. Suara A, U, M, ini ditunggalkan menjadi OM (Upadesa, 1978:16). 

Aksara Bali terbagi atas aksara biasa, dan aksara suci. Akasara biasa terdiri atas aksara wreastra, aksara yang dipergunakan sehari-hari terdiri atas 18 aksara (ha, na, ca ra ka dst), dan aksara swalalita atau aksara yang dipergunakan pada kesusastraan Kawi yang terdiri atas 47 aksara, misalnya: a, i, u, e, o. 

Akasara Suci terbagi atas:

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

akasara wijaksara atau bijaksana (aksara swalalita + aksara amsa, misalnya: ong, ang, ung, mang)
modre atau aksara lukisan magis. 






Akasara amsa terdiri atas:


Arddhacandra (bulan sabit),
windhu (matahari, bulatan) dan
nadha (bindang, segi tiga). 





Ketiganya melambangkan Dewa Tri Murti-Utpatti, Sthiti-pralina atau lahir hidup mati. Selain itu, dalam aksara Bali ada yang disebut pengangge tengenan, aksara wianjana (huruf konsonan, huruf mati) yang terletak pada akhir kata yang melambangkan fonem konsonan (Ngurah Nala, 2005 Bali Post)

Kemudian padangan dari persfektif Sastra, “Durga Puja”. Dilaksanakan dengan Kata Dum dibentuk dengan menambahkan Maya, Adri, Karna, Bindu/Windu dan Pranawa/ongakra serta pisarga pada permulaan kata. Aksara-aksara ini identik dengan Aksara Swalita dan Akasara Suci/Modre yang dipergunakan oleh para Pujangga atau Rohaniawan dalam Simbolis ritual. Kalau di Bali aksara tersebut dapat diidentikan dengan Tuhan disimboliskan aksara Ongkara dalam wujud Tunggal, dan dalam berbagai manifestanya terdapat berbagai macam. Tri Murti: Ang Ung Mang dan dalam wujud Dasa aksara adalah: Sang Bang Tang Ang Ing dan Nang Mang Sing Wang Yang.

Dengan menggunakan media aksara/sastra keharmonisan mikrokosmos dengan makrokosmos, diharapkan dapat mencipkan kedmaian dihati, kedamaian di dunia dan kedamaian di akhirat. Terkait dalam pembelajaran mantra, maka aksara yang digunakan adalah aksara biasa Wreastra tanpa dilakukan upakara. Kemudian setelah ada pemaham lebih lanjut, dan ada keinginan untuk menjadi: Pemangku, Sulinggih baru dilanjutkan dengan upakara dan upacara Mawinten atau Madwijati. Dengan menggunakan aksara Modre/aksara suci. (Watra, 2006:52-58)

Arti Om Awighnam Astu Sebagai Doa Kesuksesan

 





Salam Om Swastyastu, namaste, Astungkara dan Om Avighnamastu, ditutup dengan Om shanti-Shanti-Shanti Om, merupakan doa mantra pendek, ringkas dan padat, yang sering diucapkan untuk mengaitkan Tuhan yang Maha suci dengan aktivitas manusia Hindu. Mantra atau doa sesungguhnya tidak lain ucapan dari keinginan manusia yang ditujukan kepada Hyang Widhi atau Ida Bhatara. Bahasa yang dipakai untuk menyampaikan keinginan itu, bisa dengan bahasa Bali (sehe), bahasa Kawi dan bahasa Sanskerta. Doa yang memakai bahasa Sanskerta sering disebut mantra. Sedangkan yang memakai bahasa Bali dan Kawi sering disebut sehe atau sesontengan. Jika memakai bahasa sanskerta cara mengucapkan dengan menyanyi (seronca atau sruti), sedangkan jika doa dengan bahasa Kawi maka ucapannya dengan menggunakan palawakia, dan jika berdoa dengan menggunakan bahasa Bali maka ucapannya seperti berkomunikasi biasa dengan orang yang lebih tinggi (bahasa halus).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Om Avighnamastu 

adalah salah satu doa sehari – hari yang digunakan dengan tujuan agar suatu kegiatan yang dilaksanakan berjalan lancer tanpa hambatan dan akhirnya menjadi sukses.


Mantra itu sering kata-katanya tidak dimengerti oleh sebagian besar orang dalam masyarakat. Justru disitulah memberikan nilai magis atau suasana kramat dan gaib, misalnya kata AUM atau Om atau Ong.

Om atau Ongkara adalah prenawa, yaitu simbol kehidupan. Dalam mantra om dianggap mempunyai kekuatan gaib. Kata Om dimaksudkan widyasakti dari Hyang Widhi yang merupakan dari unsur-unsur Tri Sakti yakni kesaktian untuk menciptakan disimbolkan dalam hurup atau ucapan Ang, kesaktian untuk memelihara atau menghidupkan disimbolkan dalam ucapan Ung, dan kesaktian untuk mengembalikan semua ciptaannya ke asalnya (pralina) diwujudkan dalam simbol ucapan atau hurup Mang. Gabungan ketiga bunyi inilah (Ang, Ung, Mang) berubah menjadi Om atau Ongkara. Ongkara adalah pranawa atau Bija Mantra dalam setiap doa atau mantra. Artinya setia memulai mengucapkan bait mantra, selalu didahului dengan Om.

Dalam Wrespati Kalpa disebutkan bahwa:


Om ng sarira, awi ng aksara, gna ng palinggihan, mastu ng pangulu, nama ng panugrahan, si ng surya, dem ng bulan. Samangkana kaweruhakna tingkah rangne, yatna kna sang hyang sastra, mwang palinggyanya. Iki lwir tandoh ring tkep putih maka palinggih sang hyang sastra sujati, hana usadhaning usadha, mangkana sloka ning dewek, OM.

Mungkin maksud kalimat tersebut adalah “……tubuh kita terdiri atas aksara suci yang merupakan tempat beliau (tuhan) berstana sehingga apa kehendak kita terpenuhi baik di siang atau malam…”

Sedangkan dalam Lontar Parta Adnyana Sura pada lembar 2a, disebutkan pula arti mantra “ Om Awighanam Astu Nama Sidham” bahwa

Om Awighnam berarti siang, Astu Nama Sidham artinya malam. Om Awighnam berarti mengetahui suka duka, juga berarti hidup mati, ada dan tiada, pembahasan ini mempunyai pengertian berbeda dalam satu kalimat (Rwa Bhineda).



Dalam ritual hindia juga terdapat kata “ Avighnam ” yaitu pada ritual samskaras. Dimana Sebagian besar dari para Brahmana yang digunakan untuk mengikuti ritual yang kompleks sehubungan dengan peristiwa besar dalam hidup mereka, seperti kehamilan, melahirkan, pendidikan, pernikahan, dan kematian.

Pada salah satu ritual besar tersebut yaitu Vidyarambha atau Akshararambha (Vidya berarti Pengetahuan dan Arambham berarti awal, harfiah Vidyarambha diartikan dimulainya studi) yang dilakukan baik ketika anak mencapai tiga atau lima tahun. Di lidah anak huruf "Hari Sri Ganapataye Namah Avignamastu" dan semua huruf ditulis dengan sepotong emas. Anak dibuat untuk menulis surat yang sama dari "Sri Hari" dan seterusnya dengan jari telunjuk pada beras mentah dalam bejana logam bel dan anak dibuat untuk mengucapkan setiap kata kalau ditulis. Inisiasi ke dunia huruf untuk anak biasanya dimulai dengan penulisan mantra 'Om Hari sri ganapataye namah. " 'Hari' mengacu pada Tuhan, 'sri,' menuju kemakmuran. Pada awalnya, mantra akan ditulis di atas pasir atau di nampan butir beras. Kemudian, guru akan menulis mantra di lidah anak dengan emas. Menulis di pasir menunjukkan praktik. Menulis pada butir menunjukkan penguasaan pengetahuan, yang mengarah ke kemakmuran. Menulis di lidah dengan emas memanggil rahmat Saraswathi, Dewi Belajar, dimana seseorang mencapai kekayaan pengetahuan sejati.



BACA JUGA
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali

Jadi tidaklah salah kalau dibali, ditemukan pula Doa sebelum memulai suatu pekerjaan:

Om Awighnam Astu Namo Sidhham Om Sidhirastu Tad Astu Swaha

Yang artinya:

Ya Tuhan, semoga atas perkenanMu, tiada suatu halangan bagi hamba memulai pekerjaan ini dan semoga berhasil dengan baik. maksudnya, ucapan syukur bahwa kita selamat, atau memohon supaya diberi keselamatan dari suatu peristiwa yang sudah terjadi.



CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


MENCINTAI PEKERJAAN Manusia yang bekerja disayang Tuhan (Hyang Widhi). Makin rajin, bersemangat, jujur dan berprestasi ia dalam bekerja maka makin sayanglah Tuhan kepadanya, sehingga pahala dari karma-nya pun berlimpah.




Manusia dapat bekerja dan berhasil baik jika ia mencintai pekerjaannya. Mencintai pekerjaan adalah sama dengan mencintai Tuhan. Mereka yang yakin bahwa bekerja dengan baik adalah perintah Tuhan maka ia akan sedih dan merasa malu bilamana hasil pekerjaannya tidak baik atau bila merugikan masyarakat,baik secara langsung maupun tidak langsung. 


- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar

Kumpulan Doa dalam Agama Hindu yang di Gunakan Sehari-Hari

 








Pada Waktu Bangun Pagi:

Om, Utedanim bhagavantah syamota prapitva uta madhye ahnam, utodinau madhvantan tsuryasya vayam devanam sumantausyama.(Atharva Veda III.16.4)

Artinya:

"Ya Tuhan Yang Maha Pemurah! Jadikanlah kami selalu bernasib baik pada pagi hari ini, menjelang tengah hari, apalagi matahari tepat di tengah-tengah dan seterusnya. Semoga para Dewa berkenaan menganugharkan rakhmat-Nya kepada kami".

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI


Menggosok Gigi

Om Cri Dewi Bhatrimsa Yogini namah

Artinya:

Om, sujud pada (sakti-Mu) Cri Dewi Bhatrimsa (dan) Yogini.




Membersihkan Mulut:

Om Um Phat astraya namah.

Artinya:

Om, sujud kepada Um, astra Phat (itu).




Mencuci Muka:

Om Um Waktra Paricuddha mam swaha.

Artinya:

Om, Om (dewi) membersihkan muka hamba.




Pada Waktu Mandi:

Om, Gangga-Amrta-Sarira Cuddha Mam Swaha.

Artinya:

Om, Amrta dari Gangga, membuat badan hamba suci.




Pada Waktu Berpakaian:

Kaupina Brahma-Samyuktah, mekhala Wisnu-Samsmrtah Antarwasewaro dewah, bandham astu Sada Ciwa.

Artinya:

Penutup berpakaian adalah Brahma, pengikat pinggang (adalah) Wisnu, penutup tubuh (oleh) Iswara (dan) Sada Ciwa pengikat semuanya.




Pada Waktu Makan:


Doa Mulai Makan

Om Anugraha Amertadi sanjivani ya namah svaha.

Artinya:

Ya Hyang Widhi, semoga makanan ini menjadi penghidupan hamba lahir bathin yang suci




Doa Selesai Makan

Om Dhirgayur astu, avighnam astu, subham astu, Om Sriyam bhavantu, purnam bhavantu, ksama sampurna ya namah svaha.

Artinya:

Ya Hyang Widhi, semoga makanan yang telah masuk ke dalam badan hamba memberi kekuatan, keselamatan, panjang umur dan tak kena halngan apapun. Demikian pula agar hamba mendapatkan kebahagiaan dan suka cita dengan sempurna.




Doa Selesai Makan, dapat pula menggunakan doa (mantra) berikut:

Om Annapate annasya no dehyanmi vasya susminah, pra-pra dataram taris urjam no dhehi dvipade catuspade. (Yajur Veda XI.83)

Artinya:

Ya Hyang Widhi, Engkau penguasa makanan, anugrahkanlah makanan ini memberikan kekuatan, menjauhkan dari penyakit. Selanjutnya bimbinglah kami, anugrahkanlah kekuatan kepada mahluk berkaki empat dan dua.




Doa saat melakukan Yadnya Sesa (Ngejot) :

"Om Sarva bhuta sukha pretebhyah svaha".

Artinya:

Ya Hyang Widhi, hamba berikan sedikit kepada sarwa bhuta agar tidak mengacau.




Mohon perlindungan:

Om Apasyam gopam anipadyamanam a ca para ca prthibhih carantam sa sadhricih sa visucir vasana.

Artinya:

Ya Tuhan! hamba memandang Engkau Maha Pelindung, yang terus bergerak tanpa berhenti, maju dan mundur di atas bumi. Ia yang mengenakan hiasan yang serba meriah, muncul dan mengembara terus bersama bumi ini.




Mohon kebenaran (jalan yang benar):

Om A visvadevam satpatim suktai adya vrnimahe stayasavam sawitaram.

Artinya:

Ya Tuhan Yang Maha Agung! dengan kidung kami memujaMu, Tuhan sumber kebaikan! Engkau Maha Cemerlang yang memiliki takdir yang maha benar.




Salam Penganjali

(salam penghormatan) :

Om Svastyastu.

Artinya:

Semoga selalu ada dalam keadaan baik (selamat) atas karunia Tuhan (Hyang Widhi Wasa).

Om santhi, Santhi, Santhi, Om.

Artinya:

Semoga damai, damai di dunia, damai di akhirat dan damai selalu.




Doa Memulai Sesuatu Kegiatan:

Om Avighnam astu namo sidham Om Sidhirastu tad astu astu svaha.

Artinya:

Ya Hyang Widhi, semoga atas perkenan-Mu tiada suatu halangan bagi kami memulai pekerjaan (kegiatan) ini dan semoga sukses.




Doa Mohon Inspirasi :
BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah

Om Pra no devi sarasvati vajebhir vajinivati dhinam avinyavantu. (Rg Veda VI.61.4)

Artinya:

Ya Hyang Widhi, Hyang Saraswati Yang Maha Agung dan Kuasa, Engkau sebagai sumber ilmu pengetahuan, semoga Engkau memelihara kecerdasan kami.




Doa Memohon Kesehatan :

Om Vata a vatu bhesajam sambhu majobhu no hrde, pra na ayumsi tarisat. (Rg Veda X.1986.1) 

Artinya:

Ya hyang Widhi, semoga Wayu menghembuskan angin sejuk-Nya kepada kami. Wayu yang memberikan kesehatan dan kesejahteraan kepada kami. Semoga Ia memberikan umur panjang kepada kami.




Doa Mohon Bimbingan Spiritual :

Om Asato ma sadgamaya tamasoma ma tyotir gamaya mrtor ma amrtam gamaya. (Brh. Ar. Up. XL.15) 

Artinya:

Ya Hyang Widhi, bimbinglah kami dari yang tidak benar menuju yang benar. Bimbinglah kami dari kegelapan pikiran menuju cahaya (pengetahuan) yang terang. Bimbinglah kami dari kematian menuju kehidupan yang abadi.




Doa Mohon Kebahagiaan dan Keberuntungan :

Om sarve bhavantu sukhinah sarve santu niramayah sarve bhadrani pasyantu ma kascid duhkha bhag bhavet

Artinya:

Ya Hyang Widhi, semoga semuanya memperoleh kebahagiaan, semoga semuanya terbebas dari penderitaan, semoga semuanya dapat memperoleh keberuntungan, semoga tiada kedukaan.




Doa Memulai Belajar :

Om Agne naya supatha raye asman visvani deva vayunani vidvan, yuyodhyasmaj juhuranam eno bhuyistam te namauktim vidhema. (Rg Veda I.189.1)

Artinya:

Ya Hyang Widhi (Hyang Agni), tunjukkanlah kepada kami jalan yang benar untuk mencapai kesejahteraan; Hyang Widhi yang mengetahui semua kewajiban, lenyapkanlah dosa kami yang menyengsarakan kami. Kami memuja Engkau.


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Doa Menghilangkan Rasa Takut :

Om Om Jaya jivad sarira raksan dadasi me, Om Mjum sah vaosat mrityun jaya namah svaha. 

Artinya:

Ya Hyang Widhi Yang Maha Jaya, yang mengatasi segala kematian, kami memuja-Mu. Lindungilah kami dari mara bahaya.




Doa Selesai Melakukan Kegiatan:


Om Deva suksma parama acintya ya namah svaha sarva karya prasidhantam. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om.

Artinya:

Ya Hyang Widhi dalam wujud Parama Acintya yang maha gaib dan maka karya, atas rakhmat-Mu maka pekerjaan ini sukses. Semoga damai selalu.




Doa Sebelum Tidur :

Om Yajjagrato duram udaiti daivam tad u suptasya tatha iva iti, durangamam jyotisam jyotir ekam tanme manah siva samkalpam astu. (Yajur Veda XXXIV.1)

Artinya:

Ya hyang Widhi, Engkau nampak jauh dari orang yang tidur, nampak jauh dari orang yang terjaga. Engkau sinar utama, yang nampak jauh itu, semoga pikiran kami senantiasa mengarah kepada Engkau, yang baik itu.




Doa Untuk Ketabahan Hidup :

Om Krdhi na udhvarny carathaya jivase.

Artinya:

Ya Hyang Widhi, semoga kami bisa tetap tegak dalam perjalanan hidup kami.




Doa Untuk Orang Meninggal :

(yang disampaikan/diucapkan saat bela sungkawa):

Om vayur anilam amrtam athedam bhasmantam sariram Om krato smara, klie smara, krtam smara. (Yajur Veda XL.15)

Artinya:

Ya Hyang Widhi, Penguasa hidup, pada saat kematian ini semoga ia mengingat wijaksana suci Om, semoga ia mengingat Engkau Yang Maha Kuasa dan kekal abadi. Ingat pula kepada karmanya. Semoga ia mengetahui bahwa Atma adalah abadi dan badan ini akhirnya hancur menjadi abu.




Saat melihat atau mendengar orang meninggal :

Om svargantu, moksantu, sunyantu, murcantu, Om ksama sampurna ya namah svaha.

Artinya:

Ya Hyang Widhi, semogalah arwah almarhum mencapai sorga, manunggal dengan-Mu, mencapai keheningan tanpa suka-duka. Ampunilah ia, semoga sempurna atas Kemahakuasaan-Mu.




Saat Mengunjungi Orang Sakit :

Om sarva vighna sarva klesa, sarva lara roga vinasa ya namah.

Artinya:

Ya Hyang Widhi, semoga segala halangan, segala penyakit, segala penderitaan dan gangguan binasa oleh-Mu.




Doa Untuk Pembukaan Rapat (sidang) atau Seminar:

Om sam gacchadhvam sam vadadhvam sam vo manamsi janatam, devo bhagam yatha purve samjanana upasate. (Rg. Veda X.191.2)

samano mantrah samitih samani samanam manah saha cittam esam, samanam mantram abhi mantraye vah samanena vo havisa juhomi. (Rg Veda X.191.3)

samani va akutih samana hrdayani vah samanam astu vo mano yatha vah susahasati. (Rg Veda X.191.4)

Artinya:

Ya Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), semogalah pertemuan dan rapat ini mencapai satu kesepakatan. Semoga tercapai tujuan bersama, kesepakatan bersama satu dalam pikiran menuju stau tujuan.

Ya Hyang Widhi, Engkau canangkan satu tujuan, tujuan bersama kami sekalian, kami adakan pemujaan dengan persembahan bersama, agar tujuan kami satu, seia dan sekata.




Doa Untuk Menutup Suatu Pertemuan :

Om dyauh santir antariksam santih prthiva santir apah santir osadhayah santih vanaspatayah santir visve devah santir brahma santih sarvam santih santir eva santih sa ma santir edhi. (Yayur Veda XXXVI.17)

Artinya:

Ya Hyang Widhi Yang Maha Kuasa, anugrahkanlah kedamaian di langit, damai di angkasa, damai di bumi, damai di air, damai pada tumbuh-tumbuhan, damai pada pepohonan, damai bagi para Dewata, damailah Brahma, damailah alam semesta, semogalah kedamaian senantiasa datang pada kami. 




Sumber : cakepane.blogspot.com