Minggu, 13 Desember 2020

Pemilihan Hari Baik Untuk Pernikahan

  Pemilihan Hari Baik Untuk Pernikahan


Dibali, upaca pernikahan / pawiwahan sangatlah di sakralkan. karena dari sinilah seseorang akan memulai kehidupan barunya sesuai dengan tujuan agama dan tujuan pernikahan itu sendiri. berkenaan dengan hal tersebut diperlukan hari baik untuk memperlancar proses pernikahan serta pencapain tujuan yang dimaksud.

Adapun hari baik yang biasa digunakan dibali berdasarkan Wariga – Dewasa, dimana ada hari – hari yang sangat baik untuk melaksanakan upacara dan ada juga hari yang harus di.hindari dalam pelaksanaan upacara pernikahan tersebut.

Untuk lebih cepat dalam pemilihan Hari Baik Untuk melakukan upacara (rutual) Pernikahan, bisa dengan cara mencarinya langsung di kalender bali. adapun tips cepat mendapatkan Hari Baik Untuk Pernikahan atau oleh orang bali sering disebut dengan Dewasa Ayu Nganten, dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini:

Langkah Pertama, Perhatikan WUKU dari kalender bali tersebut. Wuku yang baik untuk melakukan/melangsungkan upacar pernikahan adalah Wuku.

Langkah kedua, perhatihan HARInya. sesuai wariga, hari yang direkomendasikan (harus) untuk melangsungkan upacara pernikahan adalah Hari: Senin, Rabu, Kamis dan Jumat. selain itu dilarang.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Langkah ketiga, perhatikan penanggalnya. Penanggal merupakan perhitungan hari yang dimulai setelah Tilem, sehingga setelah Tilem merupakan penanggal 1 dan seterusnya, dan berakhir pada Purnama (Penanggal ping 15). untuk upacara Pawiwahan/Nganten, diharuskan dilangsungkan pada tanggal 1, 2, 10 dan 13.

Langkah keempat, perhatikan "SASIH"nya atau Bulan. yang direkomendasikan untuk acara manusa yadnya dalam hal ini upacara pernikahan adalah di Sasih Ketiga, Kapat, Kalima, Kapitu dan Kedasa.

Bila terjadi atau dalam keadaan mendesak, sehingga sulit menentukan hari (dewasa ayu) terbaik, maka:

Pilihlah Dewasa Ayu yang Terbaik diantara yang terburuk

untuk pertimbangan lebih lanjut, silahkan baca beberapa hal berikut ini:
berikut hari baik yang biasa dipilih dalam rangkan pelaksanaan upacara Pernikahan / pawiwahan:

Usahakan, meksanakan ke-4 langkah diatas, dan bila memungkinkan usahakan cari yang bertepatan dengan dina "SUBACARA", yang merupakan dewasa ayu melakukan semua karya ayu.

Pernikahan menurut Sapta Wara;
  • Redite / Minggu = Buruk
  • Soma / Senin = Menemukan Kebahagiaan
  • Anggara / Selasa = Sengsara
  • Budha / Rabu = Sangat Baik
  • Wrespati / Kamis = Kinasihaning Jana
  • Sukra / Jumat = Berbahagia, Mewah
  • Saniscara / Sabtu = Percekcokan, sengsara
Agar rukun dan berbahagia, pilihlah ;
  • Hari “Senin Wage tanggal ping 1”, maka kerahayuan, kebahagiaan serta putra yang luih utama akan diperoleh.
  • Hari “Rabu Pon tanggal ping 10”, maka kebahagiaan akan menyelimuti keluarga anda.
Pemilihan Hari pernikahan berdasarkan Penanggal (dimulai setelah hari Tilem);

    = Menemukan kebahagiaan
    = Berkecukupan
    = Banyak keturunan
    = Suami lekas meninggal
    = Menemukan kebahagiaan, langgeng
    = menemui kesengsaraan
    = menemukan kerukunan
    = Sangat Buruk, menemukan kematian
    = Sangat Buruk, sangat sengsara
    = murah rejeki
    = serba kekurangan
    = menemukan kesusahan
    = mewah, berlimpah
    = sering cekcok, penuh dengan pertengkaran, keributan
    = sangat teramat buruk.

Pemilihan Hari Pernikahan Menurut Bulan / Sasih
  • Juli / Kasa Shrawana, = Buruk, anak sakit – sakitan
  • Agustus / Karo, Bhadrapada = Buruk, Sengsara
  • September / Katiga, Asuji = Banyak memiliki keturunan
  • Oktober / Kapat, Kartika = murah rejeki
  • November / Kalima, Margasirsa = Berlimpah, mewah
  • Desember / Kanem, Pausya = Buruk, susah memiliki keturunan
  • Januari / Kapitu, Magha = Dirgayusa, langgeng
  • Februari / Kaulu, Phalguna = Serba kekurangan
  • Maret / Kasanga, Caitra = Sangat Buruk, penuh penderitaan
  • April / Kadasa, Waisyaka = Sangat Baik, Berbahagia, berwibawa
  • Mei / Jyestha = Buruk, hidup susah
  • Juni / Sadha = Buruk, Serba kekurangan

Perjodohan atau patemon

Perjodohan atau patemon laki-perempuan (lanang-istri) dalam dunia primbon ada beberapa cara,antara lain misalnya perjodohan berdasarkan sapta wara dan panca wara kelahiran calon laki-pempuan lalu masing-masing dibagi 9 tau disebutkan dalam prembon sebagai berikut:

Wetone panganten lanang lan wadon, Neptune dina lan pasaran digunggung, banjur kabage 9, lanag turah pira wadon turah pira, yen turah :
3 lan 9 sugih rejeki; 2 lan 7 anake akeh mati, 3 lan 5 gelis pegat. dari hari kelahiran lanang-wadon ; Selasa lan Rabo = sugih, Rabo lan Saptu = becik, Akada lana senen = Sugih lara.

Untuk mengetahui pertemuan laki-perempuan itu baik atau buruk maka Urip/neptu sapta dan Panca wara harus dipahami dengan baik.
berikut ini daftar urip Pancawara, Sadwara dan Saptawara:


Mencari hari untuk perkawinan orang harus terlebih dahulu mengetahui jumlah Urip/Neptu hari kelahiran kedua calon mempelai (temantin), kemudian dicarikan hari dan pasaran yang Uripnya/Neptunya bilamana dijumlahkan dengan jumlah Neptu kedua mempelai tadi dan dibagi 3 bisa habis.
Hitungan itu merupakan tiga kata-kata sebagai berikut :
  1. Wali, berarti bahwa dalam perkawinan itu kurang cinta kasih atau mudah bosen satu sama lain.
  2. Penghulu, berarti dalam perkawinan ini bakal banyak cedera antara satu sama lain.
  3. Temantin, berarti bahwa dalam perkawinan itu bakal beruntung.
Rumus Pemilihan Hari Baik Pernikahan Menurut Tri Pramana:
(Urip Saptawara + Urip Pancawara + Urip Sadwara Suami & Istri) : 16. sisa;
  1. Bergejolak, mesti tahan uji.
  2. Selalu menghadapi kesulitan, Banyak pengeluaran
  3. Selalu kecewa
  4. Sulit mendapatkan keturunan
  5. Terus mengalami kemajuan, rejeki berlimpah, meningkat terus
  6. Penderitaan
  7. Meningkat tetapi sangat lambat
  8. Serba kekurangan
  9. Mewah, kaya raya tetapi sering ricuh dan perebutan kekayaan
  10. Berwibawa
  11. Selalu dalam keadaan puas
  12. Murah rejeki
  13. Langgeng, panjang umur
  14. Berbahagia
  15. Teramat Buruk, sering mengalami kesusahan
  16. Selalu Rukun

Prembon Petemuan/Perjodohan, yang berlaku lima tahun umur perkawinan:
(Urip Saptawara + Urip Pancawara Suami & Istri) : 5 sisa;
  1. Sri = Selalu sejahtera dan bahagia
  2. Gedong = Tidak kurang sandang pangan
  3. Pete = Selalu bertengkar dan ribut
  4. Lara = Mlarat dan banyak maslah
  5. Pati = Salah satu mendahului meninggal belum waktunya.
Yang berlaku secara berkala 5 tahun secara bergantian, sehingga dengan mudah mengetahui masa berkumpulnya dalam rumah tangga dan suasana yang dilaluinya.
Hitungan detailnya adalah Urip lahir lanag-istri (panca dan sapta wara) digabung kemudian dibagi 5 sisanya menunjukkan keadaan selama 5 tahun berjalan, kemudian lima tahun berikutnya hasil pembagian dipakai mengurangi urip gabungan awal, hasilnya kemudian dibagi 5 sisanya keadaan selama 5 tahun berikutnya. Hasil pembagian selalu dipakai pengurang hasil terakhirnya dan selalu dibagi 5 menyatakan keadaannya, bila hasilnya 0 (nol) sama keadaanya dengan sebelumnya.


Baik-buruknya hari perkawinan menurut pertiti semutpada :
  • Awidiya = sebagai pedewasaan baik, tidak menemui kesulitan, dan keluarga akan mendapat kebahagiaan. 
  • Bawa = sebagai pedewasaan buruk, akan mendapat halangan atau kesulitan, pihak lain tidak bersimpati, tidak memperoleh kebahagiaan. 
  • Jaramarana = sebagai pedewasaan buruk, akan menemui kegeringan, pertengkaran dan kesulitan. 
  • Jati = sebagai pedewasaan cukup baik, pihak lain akan memberi perhatian, dan membantu sepenuhnya, namun masih dijumpai sedikit kesulitan dan hambatan. 
  • Namarupa = sebagai pedewasaan buruk, akan sukar mendapat kebahagiaan, orang-orang disekitarnya sering memfitnah, gossip jelek, memalukan dan sebagainya. 
  • Samskara = sebagai pedewasaan buruk, akan menemui kesulitan, kesedihan, pikiran kacau, menimbulkan konflik. 
  • Sedayatana = sebagai pedewasaan cukup baik, walau ada sedikit gangguan, keluarga dan pihak lain akan setia membantu. 
  • Separsa = sebagai padewasaan amat buruk, akan menimbulkan pertengkaran, kesulitan bingung, tidak menemukan kebahagiaan sekalipun banyak berkorban. 
  • Teresna = sebagai pedewasaan buruk, banyak musuhnya, akan menghadapi masalah yang serba sulit. 
  • Upadana = sebagai pedewasaan cukup baik, karena pihak lain akan bersimpati, sekalipun ada sedikit pengorbanan dan pemborosan. 
  • Widnyana = sebagai padewasaan baik, para kerabat akan membantu segala yang dikehendaki, dan akan menemui kebahagiaan. 
  • Wedhana = sebagai padewasaan cukup baik, banyak saudara yang membantu. Walau ada sedikit kesulitan dan pemborosan, tapi pikiran anda tetap tenang.


Amerta Yoga = sangat biaik melaksanakan Manusa Yadnya, adapun hari yang dimaksud antara lain;
  • Soma Klion Landep
  • Soma Umanis Taulu
  • Soma Wage Medangsia
  • Soma Klion Krulut
  • Soma Umanis Medangkungan
  • Soma Paing Menail
  • Soma Pon Ugu
  • Soma Wage Dukut
Dewa Mentas = Hari baik untuk semua jenis pekerja, Purnama nemu Wrespati.

Selain itu dapat juga memilih hari lainnya dengan mempertimbangkan hari – hari diatas, tentunya juga meminta pertimbangan para tetua adat dan sulinggih.

Berikut ini gambaran singkat Dewasa Ayu Nganten, agar para semeton bali memiliki bayangan Pemilihan Hari Baik Untuk melakukan upacara Pernikahan, diantaranya:
  •     Dewasa Ayu Nganten di Tahun 2013
  •     Dewasa Ayu Nganten di Bulan Januari - April 2014
  •     Dewasa Ayu Nganten di Bulan Mei - Desember 2014
  •     Dewasa Ayu Nganten di Bulan Januari - Juni 2015
  •     Dewasa Ayu Nganten di Bulan Juli - Desember 2015
Artikel diatas memiliki prioraitas dari "wewaran - penanggal - wuku - sasih", yang kiranya dipandang "aman" saja yang dicantumkan dalam artikel-artikel diatas, yang tidak tercantum merupakan hari yang tidak direkomendasikan. tetapi, apapun itu, selama sulinggih pemuput karya berkenan untuk muput karya pawiwahan para semeton bali, itulah yang terbaik sementara dipandangan beliau. karena itu, dalam artikel diatas masih banyak kekurangannya, jadi mohon masukan dari para semeton untuk memperbaikinya.

Sudah barang tentu, tiada Dewasa Ayu yang sempurna, sehingga setiap pemilihan hari baik pasti memiliki sisi buruknya. nah untuk meredam efek negatif dari Dewasa Ala adalah dengan membuatkan Banten Bayuh Dewasa. hendaknya banten ini di"anteb" oleh pemangku khayangan tiga, bahkan lebih bagus lagi jika dipuput oleh sang sulinggih.

PERINGATAN!!!
Jangan sesekali Melaksanakan Pernikahan pada hari – hari tertentu karena sangat teramat buruk, bisa menyebabkan Kesusahan, pertengkaran, sampai kematian. adapun hari- hari tersebut diantaranya;
  • “hari atau Wuku yang berisi RANGDA TIGA”, seperti Wuku; Wariga, Warigadean, Pujut, Pahang, Menail, Prangbakat. 
  • "Wuku TANPA GURU" diantaranya: Kuningan, Medangkungan, Kelawu dan Gumbreg
  • "Sasih tanpa Sirah" merupakan sasih/bulan yang tidak berisi tumpek (saniscara klion).
  • "Sasih Anglawean" merupakan sasih yang didalamnya terdapat perhitungan penanggal/pangelong 14 bertepatan dengan purnama/tilem, sehingga pada saat itu tercatat "penanggal atau pangelong 14/15".
  • “Uncal Balung” dari Anggara Wage Galungan (Penampahan Galungan) sampai Budha Klion Pahang ( Pegat Uakan). 
  • "CARIK WALANGATI" merupakan dina/wuku yang bertepatan dengan carik walangati.
  • "Pati Paten" apapun yang dilaksanakan akan bermasalah, dinanya Sukra tilem dan Sukra Penanggal/Pangelong 10.
  • "Kala Jengking" akan sering berselisih paham, Kajeng wage Maulu.
  • "Sampar Wangke" berakibat kurang baik, Soma nuju: Sinta, Wariga, Langkir, Tambir, Bala
  • “Mrta Papageran” Sangat buruk, yaitu; Saniscara / Sabtu nemu Purnama atau Yama. 
  • “Kalebu Rau” Sangat buruk, yaitu; Soma / Senin nemu Tilem atau Beteng. 
  • “Purwanin dina” tidak baik melakukan pekerjaan / membuat dewasa, yaitu ; Anggara Klion / anggarkasih, Budha Klion, Sukra Wage, Saniscara Klion / Tumpek. 
  • “Purwanin Sasih” tidak baik melakukan pekerjaan / membuat dewasa, yaitu ; tanggal dan panglong ping 6, 8, 14.
  • "Ingkel /Jejepan WONG" tidak baik melalukan manusa yadnya.


Perhatikan juga catatan dalam wariga berikut ini:

    " Aja wiwaha tatkalaning “pangelong” muang “uku Rangda Tiga” yan tempal ngawinang kageringan, sengsara wiadin balu "

    " Jangan melangsungkan pernikahan di hari pangelong dan Rangda Tiga, apabila tetap dilaksanakan maka akan berakibat kesengsaraan serta besar kemungkinan menjadi janda/duda "

Sumber : cakepane.blogspot.com

Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan

 




- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Diceritakan pada abad ke 17, sosok penguasa Nusa Penida, yakni, Ida Ratu Gede Mecaling sempat tinggal di Desa Batuan, Sukawati, Gianyar. Selama tinggal disana Ia gemar melakukan semedi, agar tidak ada yang mengganggu maka ia menciptakan sebuah pagar gaib agar orang yang mendekatinya, menjadi ketakutan.

Hal ini membuat resah warga Batuan, maka I Dewa Agung Anom, Raja Sukawati kala itu mengutus Patih I Dewa Babi untuk mengusir I Gede Mecaling dari Desa Baturan. I Gede Mecaling menantang Dewa Babi untuk bertanding ilmu menggunakan sarana babi guling. Babi guling milik I Gede Mecaling kakinya diikat dengan tali pelepah pisang dan milik Dewa Babi diikat dengan tali benang. Guling siapa yang ikatannya putus pertama saat dipanggang maka harus meninggalkan Desa Batuan. Dalam adu ilmu tersebut, Ratu Gede Mecaling kalah dan akhirnya diusir dari Batuan dan kembali ke Nusa Penida.


Merasa dicurangi, Ratu Gede Mecaling mengutuk warga Batuan bahwa setiap Sasih Kelima (mulai besok) hingga Sasih Kepitu, pasukan mahkluk halus Ratu Gede Mecaling akan mencari tetadahan (tumbal) di Desa Batuan. Dan barangsiapa warga Batuan yang datang ke Nusa Penida dan mengaku dirinya dari Batuan akan celaka. Benar saja, setiap Sasih Kelima di Batuan ada saja yang meninggal tak wajar, Seorang Pemangku menyarankan pada sasih kalima sampai kesanga agar masyarakat tidur di bawah tempat tidur supaya dilihat seperti babi.

Lama-kelamaan warga merasa jenuh dengan bayang-bayang Ratu Gede Mecaling, Ida Bhatara yang berstana di Pura Desa Batuan memberikan bisikan kepada jro mangku untuk menyuguhkan tarian Rejang Sutri dan Gocekan sebagai penyambutan datangnya Ida Ratu Gede Mecaling bersama pasukan mahkluk halusnya ke Desa Batuan. Diharapkan dengan menonton tarian itu dapat meluluhkan dendam beliau.
BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali

Namun pada masa kini beberapa warga Batuan sudah sering melakukan persembahyangan ke Pura Dalem Ped Nusa Penida, tempat berstananya Ratu Gede Mecaling, dan tak terjadi apa-apa, semoga beliau melupakan kejadian masa lalu dan memberikan keselamatan kepada kita.

Tri Murti - Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa

 






- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Menurut arti katanya, Trimūrti adalah “Tiga Badan”, dan maksudnya adalah tiga kekuatan Brahman (Sang Hyang Widhi, sebutan Tuhan dalam agama Hindu) dalam menciptakan, memelihara, melebur alam beserta isinya.

Trimurti terdiri dari 3 yaitu: 

Dewa Brahma


Fungsi: Pencipta / Utpathi 
Sakti: Dewi Saraswati yang merupakan dewi ilmu pengetahuan 
Senjata: Busur 
Simbol: A (ang)
Warna: Merah



Dewa Wisnu


Fungsi: Pemelihara / Sthiti 
Sakti: Dewi Laksmi atau Sri 
Senjata: Cakram 
Simbol: U (ung)
Warna: Hitam



Dewa Siwa


Fungsi: Penghancur / Pralina 
Sakti: Dewi Durga, Uma, dan Parwati 
Senjata: Trisula 
Simbol: M (mang)
Warna: Manca Warna






Tapi akan berbeda posisinya saat kita membicarakan Dewata Nawa Sanga. Apabila simbol dari ketiga dewa tesebut digabungkan, maka akan menjadi AUM yang dibaca "OM" ( ॐ ) yang merupakan simbol suci agama Hindu.

Di antara ketiga dewa tertinggi itu hanya Wişņu dan Siwa yang mendapat pemujaan luar biasa. Hal ini adalah wajar mengingat bahwa yang dihadapi manusia adalah apa yang sudah tercipta. Oleh karena itu, dewa pencipta dengan sendirinya terdesak oleh kepentingan manusia, yang lebih memperhatikan berlangsungnya apa yang sudah tercipta itu. Pun kenyataan bahwa segala apa akan binasa karena waktu, selalu memenuhi perhatian manusia.

Di antara para pemeluk agama Hindu, separuhnya lebih-lebih memuja Wisnu, separuhnya lagi memuja Siwa. Para pemuja Wişņu (golongan Waşņawa) dan para pemuja Siwa (golongan Çaiwa) tidak mengingkari kedudukan Trimurti, tidak pula beranggapan bahwa Wişņu dan Siwa adalah dewa yang satu-satunya. Hanyalah ada pendapat bahwa bagi golongan Waişņawa, Siwa itu adalah Wişņu dalam bentuknya sebagai dewa pembinasa, sedangkan sebaliknya bagi golongan Saiwa, Wişņu adalah Swa sebagai pemelihara alam semesta.

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa dalam Trimūrti itu Siwa yang dianggap sebagai dewa tertinggi atau Mahadewa atau Maheçwara. Memang sebagai dewa waktu atau Mahakala, ia sangat berkuasa oleh karena waktulah yang sesungguhnya mengadakan, melangsungkan, dan membinasakan. Segala apa terikat kepada waktu, ada tidaknya sesuatu tergantung kepada waktu. Sifat-sifat keagungan dan kedahsyatan dalam ruang dan waktu yang tak terbatas itulah yang menundukkan manusia untuk menginsyafi kekecilannya di dalam alam semesta. Maka pemujaan kepada Siwa itu selalu disertai permohonan akan kemurahannya dan rasa takut tidak dapat dihindarkan.

Sesuai dengan beraneka macamnya sifat yang berpadu dalam Iswara sebagai Yang Maha Kuasa maka kecuali sebagai Mahadewa, Maheswara, dan Mahakala, Siwa juga dipuja sebagai Mahaguru dan Mahayogi; yang menjadi teladan serta pemimpin para pertapa. Serta, sebagai Bhairawa yang siap untuk merusak membinasakan segala apa yang ada.


Berlainan sekali sifatnya adalah Wi şņu. Dalam segala bentuk dan perwujudannya, ia tetaplah dewa yang memlihara dan melangsungkan alam semesta. Maka, sebagai penyelenggara dan pelindung dunia, ia digambarkan setiap saat siap untuk memberantas semua bahaya yang mengancam keselamatan dunia. Untuk keperluan ini, Wişņu turun ke dunia dalam bentuk penjelmaan yang sesuai dengan bahayanya sebagai awatara.

Kecuali Trimūrti, masih banyak dewa-dewa lainnya. Sebagian besar daripadanya adalah dewa-dewa yang sudah dikenal dari zaman Weda sebelumnya, beberapa diantaranya sudah berubah sifatnya. Sebagai contoh, Waruna yang tak lagi sebagai dewa angkasa seperti di zaman Weda, melainkan telah berubah menjadi dewa laut. Sebagian lagi adalah dewa-dewa yang mula-mula dipuja setempat-setempat.


Dewa Brahma

Brahma yang dikenal sebagai salah seorang dewa Trimūrti ini bila dibandingkan dengan dewa-dewa Trimūrti lainnya, yaitu Siwa dan Wişņu, tidaklah sebesar dan sepenting keduanya. Tidak ada kuil atau bangunan suci untuk memujanya, juga tidak ada aliran yang khusus memuja Brahma seperti yang terjadi pada aliran-aliran Siwait maupun Wişņuit.

Walaupun tidak ada bangunan suci yang diperuntukkan kepadanya, dalam relung-relung kuil-kuil untuk Siwa dan Wişņu, umumnya di relung utara diletakkan arca Dewa Brahma yang kadang-kadang juga dipuja.


Brahma adalah dewa yang menduduki tempat pertama dalam susunan dewa-dewa Trimūrti, sebagai dewa pencipta alam semesta.

Mitologi tentang Brahma muncul pertama kali dan berkembang pada zaman Brahmāna. Brahma dianggap sebagai perwujudan dari Brahman, jiwa tertinggi yang abadi dan muncul dengan sendirinya.

Menurut kitab Satapatha Brahmāna, dikatakan bahwa Brahmalah yang menciptakan, menempatkan, dan memberi tugas para dewa. Sebaliknya, di dalam kitab Mahabharata dan Purana dikatakan bahwa Brahma merupakan leluhur dunia yang muncul dari pusar Wisnu. Sebagai pencipta dunia, Brahma dikenal dengan nama Hiranyagarbha atau Prajapati.




Pencipta Dunia

Dalam ajaran-ajaran Weda dikatakan bahwa pada mulanya di saat dunia masih diselubungi oleh kegelapan, ketiak belum tercipta apa pun, Ia, makhluk yang ada dengan sendirinya yang tanpa awal dan akhir, berkeinginan mencipta alam semesta dari tubuhnya sendiri.

Mula-mula ia menciptakan air, kemudian menyebarkan bermacam-macam benih-benihan. Dari benih-benih ini kemudian muncul telur emas yang bersinar seperti cahaya matahari. Dari telur emas inilah Brahma lahir yang merupakan perwujudan dari Sang Pencipta itu sendiri. Menurut kitab Wişņu Purāna, telur emas itu merupakan tempat tinggal Sang pencipta selama ribuan tahun yang akhirnya pecah, dan muncullah Brahma dari dalamnya untuk mencipta dunia dengan segala isinya.

Brahma, seperti juga Siwa dan Wişņu, memiliki bermacam-macam nama sebutan, di antaranya adalah Atmabhu (yang ada dengan sendirinya), Annawūrti (pengendara angkasa), Ananta (yang tiada akhir), Bodha (guru), Bŗhaspat (raja yang agung), Dhātā (pencipta), Druhina (sang pencipta), Hiranyagarbha (lahir dari telur emas), Lokesha (raja seluruh dunia), Prajāpati (raja dari segala makhluk), dan Swayambhū (yang ada dengan sendirinya). Di dalam mitologi Hindu dikatakan bahwa wahana (kendaraan) Brahma adalah hamsa (angsa).

Binantang-binantang yang dijadikan sebagai kendaraan para dewa pada kenyataannya merupakan manifestasi dari sifat-sifat para dewa itu sendiri. Hamsa adalah simbol dari “kebebasan” untuk hidup kekal. Sifat seperti ini dimiliki oleh Brahma. Hamsa merupakan binatang yang dapat hidup di dua alam, dapat berenang di air, dan terbang ke angkasa. Di air ia dapat berenang semaunya dan di angkasa ia dapat terbang ke mana saja ia suka. Ia mempunyai kebebasan, baik di bumi (= air) maupun di angkasa.




Dewa Berkepala Empat

Brahma dikenal juga sebagai dewa berkepala empat dengan masing-masing muka menghadap keempat arah mata angin. Keempat muka Brahma merupakan simbol dari empat kitab Weda, empat Yuga, dan empat warna. Karena memiliki empat kepala, brahma juga dikenal sebagai catur anana atau catur mukha atau asta karna (delapan telinga).

Kitab Matsya Purana menyebutkan bahwa kepala Brahma berjumlah lima, tapi tinggal empat karena dipotong Siwa. Dalam kitab ini diceritakan bahwa Brahma mencipta seorang wanita dari tubuhnya sendiri yang diberinya lima buah nama; Satarupā, Sawitri, Saraswatī, Gāyatri, dan Brāhmani. Karena cantiknya, Brahma merasa tertarik, sehingga sang dewi terus dipandang. Satarupā yang merasa terus diperhatikan menghindar ke sebelah kanan.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dewa Brahma sebagai dewa besar malu untuk menoleh ke kanan dan karena itu muncul kepala Brahma ke dua di sebelah kanan. Begitu pula ketika Satarupā menghindar ke kiri, ke belakang, dan akhirnya muncul kepala Brahma yang kelima ketika Satarupā menghindar dengan terbang ke angkasa.

Menurut kitab Padma Purāna, ketika terjadi perselisihan antara Brahma dan Wişņu, Siwa datang melerai keduanya dengan mengabulkan permintaan keduanya. Brahma sangat gembira, sehingga lupa memberi penghormatan kepada Siwa. Siwa merasa kurang senang lalu menghampiri Brahma dan kemudian memotong salah satu kepalanya dengan kuku jari kirinya dan berkata’ “Kepala ini terlalu terang, akan memberikan kesulitan kapada dunia karena sinarnya yang terang melebihi seribu cahaya matahari.”



Dewa Wisnu

Dalam agama Hindu, Wişņu merupakan salah satu dewa Trimurti yang dianggap sebagai dewa pemelihara dunia. Dewa Wisnu pada zaman Brahmana dan purana menduduki tempat yang penting, sedangkan pada zaman Veda kurang berperan. Visnu dalam Veda adalah nama lain dari Dewa Surya. Secara lahiriah atau anthropomorphes sifat-sifat Visnu diungkapkan dengan kata-kata Vikrama, Urukrama, Urugaya, Trisadhastha dan lain-lain. Terakhir Visnu dering dipergunakan untuk Dewa Agni, sebagai dewa terpenting. Arti kata Visnu adalah sifat yang meresapi ciptaannya. Visnu adalah dewa yang berkuasa atas orde dan karena itu ia disebut sebagai pemelihara. secara lahiriah Dewa Wisnu ditafsirkan pula seperti matahari (surya) dan dikenal pula sebagai Suparna atau Guratman. didalam Purana, Suparna atau Garuda adalah wahana Dewa Wisnu dengan senjata cakram/cakra (lambang matahari), yang menunjukan karakter surya.

Wişņu mempunyai sifat sebagai matahari, dan telah mengunjungi tujuh bagian dunia. Ia mengelilingi dunia dengan tiga langkah (triwikrama).

Wişņu merupakan dewa yang menjelma dalam tiga wujud; api, halilintar, dan sinar matahari. Ketiga wujud ini menunjukkan tiga wujud perjalanan matahari; terbit, mencapai cakrawala (zenit), dan terbenam.

Kedudukan Wişņu sebagai dewa matahari dalam agama Hindu masih dikenal dalam bentuk samar-samar. Penyembahan pada Wişņu dalam bentuk matahari biasanya disebut Surya Narayana. Pemujaan Surya Narayana pada umumnya dilakukan pada hari Minggu dan pada hari-hari besar tertentu.
BACA JUGA
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali

Dalam kitab Ŗig-Weda disebutkan bahwa Wişņu merupakan pelindung. Dari sinilah asal mula benih-benih yang kemudian berkembang menuju semakin tingginya kedudukan Wişņu di masa kemudian. Wişņu kadang-kadang dianggap sebagai korban yajŋa, sehingga ia disebut sebagai Yajŋa Narayana.

Tiga dewa serangkai yang disebut dalam kitab Weda sebagai prototype dari dewa Trimurti pada masa kemudian adalah Agni sebagai dewa dunia, Wayu sebagai dewa angkasa, dan Surya sebagai dewa langit. Hal itu didasarkan pada tugas Trimurti, yaitu membinasakan, yang biasa dilakukan oleh Siwa, yang intinya dapat ditemukan dalam kekuatan yang dimiliki oleh angin ribut (Wayu). Bersama dengan Dewa Wayu yang dianggap sebagai dewa angin, dipuja pula Dewa Indra sebagai dewa matahari atau dewa dari angkasa yang terang benderang. Angkasa yang terang benderang ini dikuasai oleh Wişņu dan Indra. Menurut kitab Weda, Wisnu menerima warna biru dari Indra. Berkat Indra pulalah Wişņu mendapat sebutan Wasudewa.

Demikian juga melalui Indra, dihubungkan dengan pahlawan dunia. Dari kitab Mahābhārata dapat diketahui pertumbuhan Wişņu yang semakin meningkat. Wişņu yang mula-mula sebagai dewa matahari, kemudian meningkat menjadi salah satu dewa Trimurti dan kemudian menjadi tokoh sentral.

Sejarah perkembangan kedudukan Wişņu dapat diikuti dengan jelas dalam kesusastraan India Kuno. Dalam epik Mahābhārata, Krsna dan Arjuna, meskipun tidak jelas hubungannya dengan Surya, dan berdasarkan sifat-sifat Indra yang menjadi dewa langit dapat diketahui dengan samar-samar hubungannya antara Surya dan Wişņu melalui Indra.

Kedudukan Wişņu yang tinggi dan anggapan bahwa Wişņu merupakan salah satu dari Dewa Trimurti dapat ditemukan dalam kitab-kitab Itihasa dan Purana serta kitab-kitab kesusastraan India yang membicarakan tentang ilmu arca.

Wişņu sebagai pemelihara dunia Wişņu sebagai pemelihara dunia kerap turun ke dunia untuk menolong dunia dari kehancuran. Dalam upaya menolong dunia, Wişņu turun ke dunia untuk beremanasi atau menjelma dalam bentuk manusia atau benda. Dalam penjelmaannya ini Wişņu dapat menjelma penuh, sebagai manusia dan berlangsung dalam jangka waktu lama (umumnya disebut ber-awatāra), sementara (umumnya disebut awesa), atau memancarkan sebagian kekuatannya pada benda-benda tertentu yang dianggap keramat (umumnya disebut amsa).

Awatāra Wişņu misalnya turun sebagai Rama, Arjuna, dan Kŗşna. Sementara, awesa Wişņu adalah sebagai Parasurama yang turun ke dunia untuk menindas pemberontakan para ksatria. Dalam waktu yang relatif pendek, Parasurama dapat menyelesaikan tugasnya. Tidak lama sesudah dapat menyelesaikan tugasnya, Parasurama bertemu dengan Raghurama, kepada siapa ia menyerahkan segala “kedewataannya”, sehingga ia tidak mempunyai tugas lagi dan tidak dimasuki kekuatan Dewa Wişņu lagi.

Wişņu pun dapat memancarkan sebagian kekuatannya untuk menolong dunia ke dalam bentuk senjata, misalnya sankha dan cakra. Kedua senjata itu diyakini dapat memberikan perlindungan seperti layaknya Dewa Wişņu itu sendiri. Kedua benda itu mempunyai sifat-sifat kedewataan yang dijelmakan ke dunia sebagai benda keramat.

Awatāra Wişņu Dalam beberapa kesusastraan, kita kenal bermacam-macam awatara Wişņu, diantaranya yang terkenal ada sepuluh yang lebih dikenal dengan sebutan Dasawatāra Wişņu, seperti yang terdapat dalam kitab Waraha Purana. Sebaliknya dalam kitab Bhagawata Purana disebutkan sebanyka 22 awatāra. Menurut kepercayaan Hindu India, dasawatāra dianggap berhubungan dengan sepuluh macam kejadian di dunia, ketika Wişņu bertugas menghancurkan berbagai rintangan yang menghalangi perputaran dunia. Kesembilan di antaranya sudah terjadi, sedangkan yang kesepuluh belum terjadi. Kesepuluh awatāra Wişņu menurut Waraha Purana itu adalah:


Matsya awatāra – Sebagai ikan (matsya), Wişņu menolong Manu, yaitu manusia pertama, untuk menghindarkan diri dari air bah yang menelan dunia.
Kurma awatāra – Sebagai kura-kura (kurma), Wişņu berdiri di atas dasar laut menjadi alas bagi Gunung Mandara yang dipakai oleh para dewa untuk mengaduk lautan dalam usaha mereka mendapatkan amrta atau air penghidup.
Waraha awatāra – Ketika dunia ditelan laut dan ditarik ke dalam kegelapan patala (dunia bawah), Wişņu menjadi babi hutan (waraha) dan mengangkat dunia kembali ke tempatnya.
Narasimha awatāra – Hiranyakasipu, seorang raksasa, dengan sangat lalimnya menguasai dunia. Kesaktiannya yang luar biasa menjadikan ia tak dapat dibununh oleh dewa, manusia, maupun binatang, tak dapat mati di waktu siang dan juga malam. Maka, untuk memberantasnya, Wişņu menjelma menjadi singa-manusia (narasimha) dan dibunuhnya Hiranyakasipu pada waktu senja.
Wamana awatāra – Wişņu menjelma sebagai orang kerdil (wamana) dan meminta kepada Daitya Bali yang denagn sangat lalim memerintah dunia supaya kepadanya diberikan tanah seluas tiga langkah. Setelah diizinkan maka dengan tiga langkah (tiwikrama) ini ia menguasai dunia, angkasa, dan surga. Di sini tampak Wişņu sebagai Dewa Matahari, yang “menguasai” dunia dengan tiga langkahnya; waktu terbit, waktu tengah hari, dan waktu terbenam.
Parasurama awatāra – Wişņu menjelma sebagai Rama bersenjatakan kapak (paraçu) dan menggempur golongan ksatria sebagai balas dendam terhadap penghinaan yang dialami oleh ayahnya, seorang brahmana, dari seorang raja (kasta ksatriya). Tampak suatu “reaksi” terhadap revolusi zaman Upanisad.
Rama awatāra – Rama titisan Wişņu ini adalah yang terkenal dari cerita Ramayana. Yang mengancam kerselamatan dunia adalah Rawana atau Dasamukha.
Kŗşna awatāra – Kŗşna ini terkenal dari Mahābhārata, sebagai raja titisan Wişņu yang membantu para Pandawa menuntut keadilan dari para Kurawa.
Buddha awatāra – Wişņu menjelma sebagai putra raja Sododana di Kapilawastu India dengan nama Sidharta Gautama yang berarti telah mencapai kesadaran yang sempurna. Budha Gautama menyebarkan ajaran Budha dengan tujuan untuk menuntun umat manusia mencapai kesadaran, penerangan yang sempurna atau Nirwana..
Kalkya / Kalki awatāra – Keadaan dunia saat ini sangat buruk dan akan tiba saatnya nanti kejahatan itu akan mencapai puncaknya, sehingga dunia terancam kemusnahan. Pada saat itulah maka Wişņu akan menjelma sebagai Kalki dan dengan menunggang kuda putih dan membawa pedang terhunus ia akan menegakkan kembali keadilan dan kesejahteraan di atas dunia ini.




Dewa Siwa

Siwa dalam mitologi Hindu dikenal sebagai dewa tertinggi dan banyak pemujanya. Mitos Siwa dapat dijumpai dalam beberapa kitab suci agama Hindu, yakni kitab-kitab Brāhmana, Mahābhārata, Purāna, dan Āgama.

Dalam kitab Hindu tertua, Weda Samhita, walaupun nama Siwa sendiri tidak pernah dicantumkan, tetapi sebenarnya benih-benih perwujudan tokoh Siwa itu sendiri telah ada, yaitu Rudra.

Dalam Ŗg-Weda salah satu Weda Samhita, disebutkan Rudra sebagai dewa perusak dan tergolong sebagai dewa bawahan. Rudra dikenal sebagai penyebab kematian, dewa penyebab dan penyembuh penyakit, juga dianggap sebagai desa yang menguasai angin topan. Untuk mencegah terjadinya hal-hal buruk itu maka Rudra dipuja secara istimewa dengan doa-doa khusus untuk menenangkan dan menghilangkan kemarahannya.

Namun, sebagai dewa rendahan, walaupun banyak dipuja, Rudra belumlah merupakan dewa tertinggi dan dianggap penting. Pada waktu itu yang dianggap sebagai dewa tertinggi dan dianggap penting adalah Indra. Baru pada kitab Brāhmana, Rudra diberi nama Siwa dan kedudukannya pun terus meningkat, sehingga menjadi dewa utama.


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Kelahiran Rudra

Kitab Satapatha-Brāhmana menceritakan tentang kelahiran Rudra. Diceritakan bahwa ada seorang kepala keluarga bernama Prajapati yang memiliki seorang anak laki-laki. Sejak lahir, anak itu menangis terus, dia merasa tidak terlepaskan dari keburukan karena tidak diberi nama oleh ayahnya. Kemudian Prajapati memberinya nama Rudra, yang berasal dari akar kata rud yang artinya menangis.

Kisah kelahiran Rudra ini bisa dijumpai pula dalam kitab-kitab Weda Samhita dan kitab Wişņu-Purāna. Tersebutlah Brahmā sedang marah kepada anak-anaknya yang diciptakannya pertama kali, yang tidak menghargai arti penciptaan dunia bagi semua makhluk. Akibat kemarahannya itu tiba-tiba dari kening Brahma muncul seorang anak yang bersinar seperti matahari. Anak yang baru “lahir” itu diberi nama Rudra. Dari tubuhnya yang setengah laki-laki dan setengah perempuan itu “lahir” anak berjumlah sebelas orang. Badan Rudra yang berjumlah sebelas itu, menurut kitab Wişņu-Purāna merupakan asal mula Ekadasa Rudra.

Riwayat kelahiran Rudra menurut Mārkandeya Purāna disebabkan oleh keinginan Brahmā untuk mempunyai anak yang menyerupai dirinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, Brahmā pergi bertapa. Tengah bertapa, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki berkulit merah kebiru-biruan menangis di pangkuannya. Ketika ditanya mengapa, anak itu menjawab bahwa ia menangis karena minta nama. Brahmā memberinya nama Rudra. Namun, ia tetap menangis dan meminta nama lagi. Itu dilakukannya hingga tujuh kali, sehingga Brahmā memberi tujuh nama, masing-masing Bhawa, Sarwa, Isāna, Pasupati, Bhîma, Ugra, dan Mahādewa, di samping Rudra. Kedelapan nama itu adalah nama-nama aspek Siwa dalam kelompok Murtyastaka. Kisah yang sama terdapat dalam Wisnu-Purāna.




Siwa Mahādewa

Dalam kitab Mahābhārata, Siwa lebih sering disebut sebagai Mahādewa, yaitu dewa tertinggi di antara para dewa. Kitab itu juga menjelaskan asal mula Siwa mendapatkan sebutan demikian. Pada suatu waktu, para dewa menyuruh Siwa membinasakan makhluk-makhluk jahat yang tinggal di Tripura. Untuk menghadapi makhluk-makhluk itu, Siwa diberi setengah kekuatan dari masing-masing dewa, dan setelah dapat memusnahkan makhluk-makhluk itu, Siwa dianggap sebagai dewa tertinggi.

Pertama kalinya Siwa atau Rudra disebut Mahadewa terdapat dalam Yajur-Weda putih. Dalam Mahābhārata bagian Bhismaparwa, Siwa yang digambarkan berada di Gunung Meru, dikelilingi Umā beserta pengikutnya itu disebut Pasupati (sloka 219b). Sementara, sebutan Maheswara ada dalam kitab Mahabharata sloka 222a. Sebutan lain untuk Siwa adalah Trinetra, yang artinya bermata tiga. Sebutan ini didapatkan Siwa ketika dari keningnya “muncul” mata ketiga untuk “mengembalikan” keadaan dunia seperti keadaan semula, yang “terganggu” karena kedua matanya tertutup oleh kedua tangan Parwati, yang ketika itu asyik bercengkerama dengan Siwa. Untuk mengembalikan keadaan dunia, Siwa menciptakan mata ketiga pada keningnya.




Siwa Trinetra

Uraian tentang Siwa Trinetra juga dijumpai dalam kitab Mahābhārata. Kitab Linga-Purana menjelaskan timbulnya mata ketiga Siwa. Sati, anak Daksa istri pertama Siwa bunuh diri dengan cara terjun ke dalam api karena ayahnya, Daksa tidak menghiraukan Siwa, suaminya. Karena peristiwa itu, Çiwa pergi bertapa di atas Gunung Himalaya. Parvati, anak Himawan yang jatuh cinta kepada Siwa sebenarnya adalah Sati “yang lahir kembali”. Sementara itu, makhluk jahat asura Tataka mulai mengganggu para dewa. Menurut ramalan, yang dapat membinasakan makhluk jahat itu hanyalah anak Siwa. Dalam kebingungan, para dewa memutuskan untuk “membangunkan” Siwa. Mereka sepakat meminta pertolongan Dewa Kāma. Dengan upayanya, berangkatlah para dewa disertai Parwati ke tempat Siwa bertapa. Karena keampuhan panah Dewa Kāma, Siwa “terbangun”. Siwa yang sedikit terusik oleh perbuatan Kama membuka mata ketiganya yang menyemburkan api. Api itu membakar Kāma hingga menjadi abu. Pada saat yang bersamaan karena keampuhan panah Kāma, Siwa “jatuh cinta” pada Parwati. Rati, istri Dewa Kāma yang mendengar kematian suaminya datang menghadap Siwa dan mohon untuk menghidupkan kembali Kāma. Untuk menghibur rati, Siwa berjanji bahwa Kāma kelak akan lahir kembali sebagai Pradhyumna. Kisahnya diakhiri dengan pernikahan Çiwa dan Parwati, serta kelahiran Kumara atau Subrahmanya yang dapat membunuh Tataka.




Siwa Nilakantha

Siwa disebut juga Nilakantha karena mempunyai leher yang berwarna biru. Diceritakan pada waktu diadakan pengadukan lautan susu untuk mendapatkan amrta, turut keluar racun yang dapat membinasakan para dewa. Untuk menyelamatkan para dewa, Siwa meminum racun itu. Parwati yang khawatir suaminya binasa, menekan leher Siwa agar racun tidak menjalar ke bawah. Akibatnya racun itu terhenti di tenggorokan dan meninggalkan warna biru pada kulit lehernya. Sejak itulah Siwa mendapatkan sebutan baru, Nilakantha.




Asal Mula Atribut Siwa

Kitab Suprabhedagama menguraikan mengapa Siwa mengenakan pakaian kulit harimau, hiasan berupa ular, kijang, dan parasu, serta memakai hiasan bulan sabit, dan tengkorak pada mahkotanya. Pada suatu waktu, Siwa pergi ke hutan dengan menyamar sebagai pengemis. Istri para pendeta yang kebetulan melihatnya jatuh cinta, sehingga para pendeta marah. Dengan kekuatan magisnya mereka menciptakan seekor harimau yang diperintahkan untuk menyerang Siwa, tapi dapat dibinasakan dan kulitnya dipakai Siwa sebagai pakaiannya. Melihat Siwa bisa mengalahkan harimau ciptaannya, mereka makin marah dan menciptakan seekor ular. Ular itu dapat ditangkap Siwa dan dibuat perhiasan. Setelah kedua usaha itu gagal, mereka menciptakan kijang dan parasu, tapi kali inipun Siwa dapat melumpuhkan serangan para pendeta itu. Sejak kejadian itu, kijang dan parasu menjadi dua di antara laksana (atribut) Siwa. Kitab Kurma Purana menjelaskan asal mula Siwa mendapat julukan Gajasura-samharamurti. Dikisahkan beberapa orang pendeta sedang bertapa diganggu makhluk jahat yang menjelma sebagai gajah. Siwa yang dimintai pertolongannya dapat membunuh gajah jelmaan itu. Siwa yang mengenakan pakaian kulit gajah yang dibunuhnya lalau dikenal sebagai Gajasurasamharamurti.




Kitab Kamikagama mengungkapkan mengapa dalam pengarcaannya, Siwa mengenakan hiasan bulan sabit pada jatāmakutanya (mahkota). Datohan, salah seorang putra Brahmā, menikahkan keduapuluh tujuh (=konstelasi bintang) anak perempuannya pada Santiran, Dewa Bulan. Dia minta agar menantunya memperlakukan semua istrinya sama dan mencintainya tanpa membeda-bedakan. Selama beberapa waktu, Santiran hidup bahagia bersama istri-istrinya, tanpa membeda-bedakan mereka. Dua di antara seluruh istrinya, Kartikai dan Rogini adalah yang tercantik. Lama-kelamaan, tanpa disadarinya, Santiran lebih memperhatikan keduanya dan mengabaikan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak diperhatikan, mereka mengadu pada ayah mereka. Datohan mencoba menasihati menantunya agar mengubah sikap, tapi tidak berhasil. Setelah berunlangkali Santiran diingatkan dan tidak mengindahkan, Datohan menjadi marah dan mengutuh menantunya; keenam belas bagian tubuhnya akan hilang satu per satu sampai akhirnya dia akan hilang, mati. Ketika bagian tubuhnya tinggal seperenam belas bagian, Santiran menjadi panik dan pergi minta tolong dan perlindungan Intiran. Intiran tidak dapat menolong. Dalam keadaan putus asa, dia menghadap dewa Brahmā yang menasihatinya agar pergi menghadap Siwa. Santiran langsung menuju Gunung Kailasa dan mengadakan pemujaan untuk Siwa. Siwa yang berbelas kasihan kemudian mengambil bagian tubuh Santiran itu dan diletakkan di dalam rambutnya sambil berkata, “Jangan khawatir, Anda akan mendapatkan kembali bagian-bagian tubuh Anda. Namun, itu akan kembali hilang satu per satu. Perubahan itu akan berlangsung terus.” Demikianlah dalam pengarcaannya rambut Siwa dihiasi bagian tubuh Santiran yang berbentuk bulan sabit di samping tengkorak (ardhacanrakapala). Selain mata ketiga dan hiasan candrakapala, Siwa juga dikenal mempunyai kendaraan banteng atau sapi jantan.




Sapi Jantan Wahana Çiwa

Kitab Mahābhārata menguraikan asal mula sapi jantan atau banteng menjadi kendaraan Çiwa dalam dua versi. Versi pertama, Bhisma menjelaskan kepada Yudistira mengenai asal mula sapi jantan menjadi wahana Çiwa. Daksa, atas perintah ayahnya, yakni Brahmā, menciptakan sapi. Çiwa yang sedang bertapa di dunia terkena susu yang tumpah dari mulut anak sapi yang sedang menyusu pada induknya. Untuk menjaga agar Çiwa tidak marah, Dakasa menghadiahkan seekor sapi jantan pada Çiwa. Çiwa sangat senang menerima pemberian itu dan dijadikannya kendaraan. Versi kedua, mirip cerita di atas, hanya peran Daksa dipegang oleh Brahmā. Di sini Çiwa menjawab pertanyaan Uma mengapa kendaraan Çiwa itu adalah banteng dan bukan binatang lain. Dikisahkan pada waktu penciptaan pertama, semua sapi berwarna putih dan sangat kuat. Mereka berjalan-jalan penuh kesombongan. Tersebutlah Çiwa sedang bertapa di Pegunungan Himalaya dengan cara berdiri di atas satu kaki dengan lengan diangkat. Sapi-sapi yang sombong itu berjalan bergerombol di sekeliling Çiwa, sehingga ia kehilangan keseimbangan. Atas kejadian itu, Çiwa sangat marah dan dengan mata ketiganya ia membakar sapi-sapi yang sombong itu, sehingga warna mereka berubah hitam. Itulah sebabnya ada sapi berwarna hitam. Banteng yang melihat kejadian itu mencoba melerai dan meredakan amarah Çiwa. Sejak itu banteng menjadi kendaraan Çiwa. Sapi-sapi yang melihat dan mengakui kehebatan dan kesaktian Çiwa sangat kagum dan mengangkatnya sebagai pemimpin, serat memberi julukan Gopari pada Dewa Çiwa 

- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar

Mau Menikah, Padukan Wuku, Dina, dan Tanggal yang Baik

  


Setiap pasangan pengantin umumnya menginginkan saat yang terbaik dalam memilih tanggal pernikahannya. Tentu dengan tujuan agar kelak rumah tangganya berjalan harmonis, bahagia, dan lancar. Lantas, seperti apa pemilihan dewasa ayu yang tepat ?

Penyusun kalender Bali, DR Gede Sutarya menyampaikan, ada beberapa  hal yang harus diperhatikan untuk menentukan dewasa ayu yang bagus dalam penanggalan Bali. Di antaranya wuku, dina (hari), tanggal, dan sasih.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“Banyak hal yang harus diperhatikan, tidak boleh sembarangan kita memilih tanggal dan waktu untuk menikah. Jika kita salah memilih wuku atau sasih, maka akan berakibat fatal sepanjang pernikahan,” ujarnya.

Sutarya menjelaskan, yang harus ditentukan di awal adalah wuku. Banyak wuku dikategorikan baik untuk melaksanakan pernikahan, anatara lain wuku landep, ukir, kulantir, julungwangi, merakih, matal, uye, dan ugu. Sedangkan untuk menentukan dina atau hari yang baik untuk menikah adalah hari Senin, Rabu, Kamis, dan Jumat. 

“Hari senin identik dengan kebahagiaan bagi calon pengantin, hari rabu dikatakan sebagai hari yang sangat baik untuk menikah, lalu hari kamis dikatakan sebagai hari Kinasihaning Jana, yang artinya disayangi oleh masyarakat. Dan,  jumat dipercaya pengantin akan hidup mewah dan bahagia,” ujar nya.

Untuk pemilihan tanggal, Sutarya menyarankan beberapa tanggal yang baik untuk menikah, di antaranya ping 1, ping 2, ping 3, ping 5, ping 7, ping 10, dan ping 13. Ketujuh tanggal tersebut dikatakan sangat baik untuk menggelar pernikahan, karena masing – masing tanggal mengandung arti yang berbeda beda. “Jika memilih tanggal 1 pengantin dipercaya akan menemukan kebahagiaan, tanggal 13 hidupnya akan mewah dan bahagia selama masa perkawinan begitu juga tanggal – tanggal lainnya punya makna sendiri sendiri,” ujarnya.

Dalam pemilihan sasih, ia menekankan jika memungkinkan calon pengantin memilih sasih kadasa yang jatuh di akhir bulan Maret sampai dengan April. Karena pada sasih tersebut dikatakan paling memberi kebahagiaan pada para pengantin.

“Sasih yang baik sepanjang tahun adalah  Sasih kadasa, sasih kapat, sasih kapitu, sasih katiga, dan sasih kalima. Masing masing sasih memiliki keunggulan tersendiri,” ujarnya.


Sasih kalima umumnya jatuh di bulan November, sasih ini disebut juga sebagai Margasirsa. Pengantin yang memilih menikah di sasih ini dipercaya selama pernikahannya rezekinya lancar, hidupnya mewah. Sedangkan sasih katiga jatuh di bulan September atau disebut juga Asuji. Mereka yang memilih sasih ini dipercaya selama pernikahan akan dikaruniai banyak keturunan. Jika sasih kapat atau disebut juga Kartika, pernikahannya dipercaya akan murah rezeki. Di sasih kapitu yang jatuh Januari, umumnya pengantin akan langgeng hingga akhir hayat. Sedangkan mereka yang menggelar pernikahan di sasih kadasa, dipercaya akan berbahagia, sejahtera, dan langgeng.

“Dari dasar itulah, sasih kadasa dianggap sasih terbaik untuk melaksanakan pernikahan. Agar langgeng, sejahtera, dan dikaruniai banyak keturunan,”tandasnya. 

(bx/tya/yes/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2018/03/25/59736/mau-menikah-padukan-wuku-dina-dan-tanggal-yang-baik

- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar

MENGAPA SEMETON DARI BULELENG ITU ASIK BANGET

 



Orang Buleleng memiliki beberapa karakter yg paling menonjol, antara lain: egaliter, skeptik, open-minded dan hangat.

Egaliter dalam artian, semua orang dipandang dan diperlakukan sama/setara. Tidak ada istilah kelas. Dalam percakapan sehari-hari misalnya, mereka lebih banyak menggunakan Bahasa Bali lumrah cenderung kasar (kadang bercampur Bahasa Indonesia) dibandingkan tata bahasa Bali halus—terlepas dari siapapun lawan bicaranya. Cai, awake, nani, kola, siga, dst, adalah sebutan “kamu” dan “aku” yang lumrah digunakan sehari-hari. Bagi mereka ini tidak kasar, tapi “akrab” katanya. Ada juga sebutan “ana” (=saya) dan “ente” (=anda) yang hanya digunakan oleh orang Buleleng.

Jika anda ingin tahu dimana istilah ningrat dan non-ningrat paling banyak ditentang di Bali, jawabannya: di Buleleng. Ketika bertemu orang ningrat yang selalu berbahasa Bali halus —entah karena memang ingin menunjukkan keningratannya atau karena kebiasaan semata— akan diledek dengan “Tyang sampun ngajeng, I ratu sampun ngeleklek?” tentu saja sambil tertawa sinis.


Bukan hanya terbuka dalam menyampaikan sesuatu. Orang Buleleng juga sangat terbuka terhadap nilai-nilai, konsep-konsep dan ide-ide baru—baik yang datangnya dari dalam maupun dari luar. Bisa dibilang tidak ada yang “tenget” (=tabu) bagi mereka, asal masuk-akal. Bapak-bapak bertattoo atau berambut pirang atau mengenakan kalung rantai ala Harley Davidson’s riders, misalnya, bukan berarti mereka mantan preman atau anggota ormas tertentu. Itu hal biasa saja, bukan sesuatu yang luar biasa.


Mungkin karakter egaliter menonjol inilah yang membuat Orang Buleleng cenderung skeptik —istilahnya “meboya”— terhadap banyak hal terkait atribut. Mereka meboya terhadap hal-hal yang berbau feodal. Mereka meboya terhadap hal-hal yang ditabukan. Mereka meboya terhadap orang yang memposisikan dirinya lebih —entah entah itu dalam hal soroh/klan, strata ekonomi, strata pendidikan dan atribut-atribut sejenisnya. Terhadap perilaku yang dinilai sengaja memamerkan kelebihan atribut, Orang Buleleng katakan “Ake sing taen ngon!” (=aku tidak pernah silau.)




Dalam pergaulan Orang Buleleng tergolong hangat dan ‘easy going’. Suka berkelakar, ceplas-ceplos dan tidak mudah tersinggung untuk hal-hal yang sifatnya tidak prinsipiil. Jika anda sedang bepergian sendiri dan butuh teman ngobrol, menemukan orang Buleleng mungkin suatu keberuntungan.

Kombinasi karakter menonjol inilah yang membuat orang Buleleng relative mudah bergaul dengan orang/kalangan manapun, termasuk dari etnis-ras-bangsa-dan-agama manapun.


Ingin gaul dengan Orang Bali tanpa mengkhawatirkan batasan-batasan dan aturan ini-itu selain common-sense? Coba gaul dengan Orang Buleleng.
BIN SIK ORANG BULELENG NAK MELIK2

#mana_suarany_orang_BULELENG
#jeleme_BULELENG_asah_udeg_ngenn

Repost Fb/Kadek Widia