Senin, 30 November 2020

Tujuan dan Manfaat Ajaran Dasa Nyama Bratha (Brata) dalam Pembentukan Kepribadian dan Budi Pekerti yang Luhur

 



Berbahagia atau hidup selalu dalam kebahagiaan sangat didambakan oleh umat sedharma “manusia” yang masih diberikan kesempatan untuk hidup di dunia sampai saat ini. Suasana hati yang berbahagia dapat dilambangkan dengan: seperti saat bertemunya orang tua dengan anak-anak dan cucunya; merasakan tidak kekurangan segala sesuatu ‘uang’ karena nilai kebahagiaan itu tidak dapat diukur dengan banyak atau sedikitnya seseorang memiliki uang; hidup yang berfaedah serta bermanfaat bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara; selalu merasa memiliki (tenaga yang sehat, kekayaan, kerajinan, kecemerlangan dan kejernihan hati). Atas petunjuk dan tuntunan dari Sang Hyang Surya/Tuhan Yang Mahaesa, bagaimana umat dapat mencapai tujuan dan memanfaatkan ajaran Dasa Nyama Bratha untuk mewujudkan kesempurnaan batin dalam hidup ini?

Baca: Pengertian Dasa Nyama Brata (Bratha) dan Penjelasannya




Image; folkbadung
Dasa Nyama Bratha adalah ajaran yang dapat dipergunakan sebagai pegangan bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan batin melalui pengamatan hidup di dunia ini. Pegangan untuk mewujudkan kesempuraan batin yang dimaksud adalah berupa pelaksanaan dharma guna mencapai tingkatan kebahagiaan yang kekal abadi yang disebut moksa. Selama manusia hidup pengamalan ajaran Dasa Nyama Brata di dunia inilah tempatnya. Sebab dari perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari itulah dapat diketahui tingkatan keluhuran mental manusia itu sendiri. Oleh karena itu orang dapat dinilai memiliki mental baik dan sehat dapat diperhatikan dari cara seseorang berperilaku.

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa tujuan dari pada ajaran Dasa Nyama Bratha adalah untuk mewujudkan kesempurnaan batin (bahagia - abadi - moksa) melalui pengamatan dan pengamalan hidup di dunia ini dengan melaksanakan dharma serta berkepribadian luhur. Manfaat dari ajaran Dasa Nyama Bratha adalah sebagai media pembelajaran, pendidikan, pendalaman, pengamalan ajaran Agama Hindu dalam mewujudkan umat sedharma yang berkepribadian luhur berlandaskan pelaksanaan dharma guna mencapai tingkat kebahagiaan batin yang kekal abadi yang disebut moksa. Berikut ini adalah pelaksanaan dharma berdasarkan ajaran dasa nyama bratha yang bermanfaat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” adalah dengan melaksanakan:



1. Dana berarti pemberian-pemberian makanan dan minuman, dan lain-lainnya


Dana Artinya suka berderma (bersedekah) berupa makan dan minum dan bentuk pemberian lain yang sejenis dengan itu. Memberikan dana kepada orang lain berarti orang telah dapat meringankan beban penderitaan orang lain. Membantu seseorang yang sedang dan sangat memerlukan untuk menyambung hidupnya adalah perbuatan yang mulia, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 314).


Dalam hidup dan kehidupan ini seseorang harus saling bantu membantu karena setiap orang mempunyai kelemahan-kelemahan sendiri yang harus dibantu oleh orang lain. Apalagi kalau kita renungkan bahwa sebagian besar kebutuhan hidup ini kita didapati dari orang lain, seperti perabot rumah tangga, barang-barang dari besi, makan, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Dalam hidup bersama ini orang tidak dibenarkan mementingkan diri sendiri dengan menginjak- injak, menindas yang lain. Memberikan dana puniya dengan sesama adalah merupakan kewajiban hidup sebagai manusia. Kitab suci veda menjelaskan sebagai berikut;


"Na màtà na pità kiñcit kasyacit pratipadate,
dàna pathyodano jantuh swakarmaphalamacnute.
Ika tang dàna, tan bapa, tan ibu, umukti phalanika, anghing ika wwang gumawayaken ikang dànapunya, ya juga umukti phalanikang danapunya".

Terjemahan:


"Itulah hakikat suatu dana, bukan si bapa, bukan si ibu yang menikmati pahalanya, melainkan hanya orang yang melakukan kebajikan berdana puniya itu, dia saja yang akan menikmati pahala dari berbuat dana punia itu", (Sarasamuscaya, 169).


Manfaat dari ajaran Dana (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat suka berderma (bersedekah) berupa makan dan minum dan bentuk pemberian lain yang sejenis dengan itu.





Baca: Contoh Penerapan Dasa Nyama Bratha dalam Kehidupan Dalam Agama Hindu


2. Ijya berarti pujaan kepada Deva, kepada leluhur, dan lain-lainnya


Ijya artinya pemujaan kepada para Deva, leluhur dan pemujaan lainnya yang sejenis dengan itu. Di samping pemujaan kepada Tuhan, maka pemujaan kepada para Deva dan leluhur pun hendaknya dilakukan oleh seseorang yang berkecimpung dalam hidup suci. Kita percaya dan yakin bahwa Deva itu manifestasi Tuhan, dan melalui bantuan manifestasi Tuhan itulah maka manusia adalah memohon dan menikmati berkahnya. Pemujaan itu pula dilakukan oleh para leluhur untuk memohon doa restu-Nya agar sehat dan sejahtera di dunia. Kitab suci veda menjelaskan sebagai berikut;


"Mayi sarvàói karmàói saònyasyàdhyàtma-cetasà, niràúir nirmamo bhùtvà yudhyasva vigatajvaraá," (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 315).


Terjemahan:


"Pasrahkan semua kegiatan kerjamu itu kepada-Ku, dengan pikiran terpusat pada sang àtma, bebas dari nafsu keinginan dan ke-akuan, berperanglah, enyahkanlah rasa gentarmu itu", (Bhagavadgita. III. 30).


Sebagai pemuja yang baik adalah tulus, lepas, menyerahkan sepenuhnya kehadapan-Nya beserta prabhawa. Yakinlah bahwa beliau Sang Pencipta Mahatahu, pemurah dan penyayang kepada ciptaan-Nya.


Manfaat dari ajaran Ijya (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur untuk mewujudkan kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat pemuja Tuhan Yang Maha Esa, para Deva, para leluhur, dan pemujaan lainnya yang sejenis dengan itu.


3. Tapa berarti pengekangan hawa nafsu jasmani


Tapa berasal dari kata “tap” artinya mengekang, mengendalikan hawa nafsu agar memperoleh hidup suci. Tapa merupakan salah satu keimanan dalam ajaran Agama Hindu, sebab dengan tapa itu umat Hindu dapat meyakini suatu cita-cita atau tujuan dapat tercapai melalui pelaksanaan tapa itu. Misalnya melalui pengekangan nafsu jasmaniah seseorang dapat mengurangi porsi makanan yang dimakan setiap hari. Cara ini bertujuan untuk mengendorkan gejolak emosi seseorang dapat berpikir dengan tenang.


"Widyām mānāwamānābhyāmātmānam tu pramādatah.
Nihan tang kayatnākena ikang tapa raksan, makasādhana kapa-demaning krodha ika, kuneng hyang çrī, pademning īrsyā pangraksa
ri sira, kuneng sang hyang aji, pademning ahangkāra mwang awa-mana pangraksa ri sira, yapwan karaksanyawakta, si tan pramada sadhana irika", (Sarasamuccaya 103)


Terjemahan:


"Inilah hendaknya engkau perhatikan, pegang teguh tapa dengan jalan memunahkan nafsu amarah itu, adapun Devi Sri (kebahagiaan tertinggi) melalui pengendalian kedengkian (sebagai) penyelamat-Nya, adapun ilmu dharma sastra pemunah keakuan dan lenyapnya kecongkakan yang ada pada dirinya, karena itu supaya engkau menjaga dirimu, orang yang tidak lalai merupakan jalan baginya di situ," (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 316).

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Manfaat dari ajaran Tapa (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat pengekangan atau memunahkan nafsu amarah.


4. Dhyana berarti merenung memuja Tuhan


Dhyana artinya tekun merenung dan memusatkan pikiran kepada Tuhan sebagai usaha tercapainya kesatuan antara pikiran dengan Tuhan. Usaha tersebut bertujuan untuk tercapainya kondisi mantap dalam konsentrasi sebagai dasar memperoleh kesucian batin. Kondisi ini akan diperoleh secara bertahap, melalui dari tingkatan pemusatan dengan waktu yang singkat sampai dengan tenggang waktu cukup lama. Akhirnya karena sudah terbiasa, maka makin hari makin mencapai tingkat konsentrasi yang makin lama dan mantap, lalu mencapai tingkat semadhi.


Namun demikian menyadari akan kekurangsempurnaan manusia ketika seseorang didorong oleh insting mengarahkan pikiran kepada benda- benda menyenangkan tanpa didasari pengertian kesadaran, atau ketika jiwa pada akhirnya menjadi kasar karena selalu melekat pada motivasi yang mementingkan diri sendiri, apakah ketika itu berpikir menyakiti orang lain atau tidak, maka ketika itupun jiwa kita telah rusak. 


Keadaan yang menyebabkan terjadinya kerusakan jiwa ini tidak lain dari kekotoran dan kekeruhan pikiran. Sama seperti pakaian dan rumah yang akan menjadi kotor dalam sekejap ketika bertiup angin kencang. Orang harus selalu waspada terhadap badai nafsu yang melanda dan berusahalah untuk menekan ego yang ada dalam diri. Karena suatu keadaan pikiran akan sangat tercermin melalui perkataan dan perbuatan, jadi dengan selalu berbuat dan berkata yang jujur sudah tentu mencerminkan pikiran yang bersih. Kitab suci veda menjelaskan sebagai berikut;


“Teûu samyag warttamāno gacchatya mara lokatām, yathā samkalpitāýúceha sarvān kāmān samaúnute”.


Terjemahan:


"Ketahuilah bahwa ia yang selalu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah diatur dengan cara yang benar, mencapai tingkat kebebasan yang sempurna kelak dan memperoleh semua keinginan yang ia mungkin inginkan", (Manawa Dharmasastra, II.5), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 317).


Sesungguhnya semua yang kita lakukan dalam pengabdian hidup ini telah ada yang menentukan ‘Sang Hyang Widhi Wasa’. Kewajiban kita adalah hanya berbuat/melaksanakannya apa yang patut dilaksanakan, akan semuanya itu adalah sudah menjadi kehendaknya. Beliau tidak akan pernah melupakan apa yang dilakukan oleh umat-Nya. Oleh karena itu pujalah Tuhan sesuai petunjuk yang telah ada.

Dagang Banten Bali



Manfaat dari ajaran Dhyana (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat suka merenung untuk memuja Deva Siwa sebagai wujud keyakinan kita semua.



5. Swadhyaya berarti mempelajari Veda


Swadhyaya artinya yakin mempelajari kitab suci Veda. Mempelajari kitab suci kerohanian bagi mereka yang berkecimpung dalam hidup suci adalah kewajiban. Di dalam kitab kerohanian terdapat tuntunan atau petunjuk bagi mereka yang sedang akan menjalani hidup suci. Dalam berbagai jenis kitab Veda terdapat penuntun untuk menempuh kehidupan suci. Kitab yang dimaksud menjelaskan sebagai berikut:


"Na karmanàm anàrambhàn Naishkarmyam purusho’snute, Na cha samnyasanàd ewa Siddhim samadhigachchhati".


Terjemahan:


"Orang tidak akan mencapai kebebasan karena diam tiada bekerja juga ia takkan mencapai kesempurnaan karena menghindari kegiatan kerja", (Bhagawadgita. III. 4)


Dalam sloka selanjutnya disebutkan:


"Yajñàrthàt karmano ‘nyatra Loko ‘yam karma bandhnah, Tadartham karma kaunteya Mukta saògah samàçhara".


Terjemahan:


"Kecuali tujuan berbhakti dunia ini dibelenggu oleh hukum kerja karenanya, bekerjalah demi bhakti tanpa kepentingan pribadi, oh Kunti Putra", (Bhagawadgita. III. 9), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 318).


"Båhaspate pratamaý vàco agraý yat prairata nàmadheyaý dadhànaá, yad eûàý sreûtaý yad aripram àsit prenà tad eûàý nihitaý guvàviá. saktum iva titaunà punanto yatra ghirà manasà vàcam akrata,
atrà sakhàyaá sàkhayàni janàte bhadraiûaý lakûmiá nihitàdhi vàci".


Terjemahan:


"Sabda pertama dan yang utama, ya Brihaspati, yang disampaikan kepada orang-orang suci, menyebut nama-Nya sabda yang mulia, tiada cahaya yang diungkapkan dengan cinta kasih mengungkapkan yang maha suci dan gaib. Dan mereka mengucapkan sabda itu, tersaring dalam batin, seperti mereka mengayak tepung dengan ayakan, disitulah terjadi ikatan persahabatan, dalam sabda itulah terkandung keindahan", (Ågveda X. 71. 1. 2).


Demikianlah sabda Tuhan Yang Maha Esa, yang patut kita camkan bersama untuk memelajari, memedomani, mendalami, dan menerapkan ajaran- Nya yang mulia ini. Manfaat dari ajaran Swadhyaya (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat suka mempelajari Veda dan kita yang sejenis dengan itu.

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

6. Upasthanigraha berarti pengekangan nafsu kelamin


Upasthanigraha berarti pengekangan upastha (alat kelamin) dari nafsu birahi. Upaya untuk mendapatkan kesucian jiwa bagi umat sedharma yang ingin menjalani hidup suci, maka pengekangan jiwa atas nafsu birahi hendaknya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Seseorang yang selalu mengumbar hawa nafsunya adalah sebagai akibat dari yang bersangkutan telah tahu dan merasakan nikmatnya birahi itu, sehingga selalu dipenuhi keinginan seksual- nya dengan berbagai cara yang akhirnya sampai menjadi pemerkosaan. Memperkosa sering disebut berzinah, termasuk sikap-mental yang tidak terpuji. Berzinah merupakan perbuatan yang sangat hina dan terkutuk. Perbuatan ini harus dikendalikan karena bisa menimbulkan kemerosotan moral. Berzinah artinya sikap suka memperkosa wanita atau istri orang lain. Adapun yang termasuk perbuatan berzinah (paradara) antara lain :


a. Mengadakan hubungan kelamin dengan istri/suami orang lain.
b. Mengadakan hubungan kelamin (seksual) antara pria dengan wanita dengan cara-cara yang tidak sah.
c. Mengadakan hubungan kelamin dengan paksa, artinya tidak atas dasar cinta (memperkosa).
d. Mengadakan hubungan kelamin yang dilarang oleh agama, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 319).


Larangan melakukan zinah itu adalah sangat wajar, karena kalau itu dibiarkan maka kemerosotan moral akan semakin merajalela dan memuncak. Semakin banyak kasus pelacuran terjadi maka kehidupan kita  sebagai manusia yang menjunjung tinggi budaya dan agama akan menjadi hancur. Dengan berbuat seperti itu menandakan sebagai jiwa manusia yang tetap terikat oleh duniawi. Oleh sebab itu yang bersangkutan harus cepat-cepat mengendalikan nafsu birahi agar segera memperoleh kehidupan suci. Kehidupan yang suci sebagaimana tertulis dalam kitab suci veda yang menyatakan sebagai berikut ;


"Tadvajjàticatairjivah ûuddhyate’lpenà karmanà, yatnena mahatà càpi kyekajatàu viçuddhyate.
Mangkana tang hurip, an ûinocan pinakaûuddhi, kinlabakëràgàdi malanya, yan alpayatna ngwang, alawas ya tan çuddhya, yapwan tibrayatna ngwang, kumlabakë malanya, enggal ûuddhinya".


Terjemahan:


"Demikian jiwa itu, yang dibersihkan agar menjadi suci, dikendalikan nafsu birahi itu dan segala nodanya, jika kurang giat dan pandai melaksanakannya, lemahlah jiwa itu tidak menjadi suci, beratus-ratus kelahiran lamanya, sebelum jiwa itu menjadi suci, jika ia pandai dan sangat giat melenyapkan nodanya, cepatlah suci jiwa itu", (Sarasamuçchaya, 406).


Makna sloka suci patut dipedomani oleh setiap umat sedharma yang mengupayakan kesucian moralnya untuk mempercepat usahanya dapat mewujudkan kesempurnaan batin yang dicita-citakannya.


Manfaat dari ajaran Upasthanigraha (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat pengendalian atau pengekangan nafsu birahi yang ada pada pribadinya.


7. Bratha berarti pengekangan nafsu terhadap makanan


Bratha adalah pengekangan nafsu dalam mengonsumsi makanan dan minuman. Seseorang atau umat sedharma yang bercita-cita untuk mencapai kesucian jiwa hendaknya mampu membatasi diri untuk mengonsumsi makanan dan minuman dari segi jumlah maupun mutunya. Seperti membatasi makanan yang berlebihan, membatasi makanan yang mengandung bahan kimia, makan pedas, makan yang terlalu manis dan sebagainya. Mengonsumsi makanan yang berlebihan sangat memengaruhi perkembangan jasmani dan rohani yang mengonsumsinya, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 320).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

"Yathà yathà prakstànam ksetrànàm sasyasampadah, Sàkhà phalabhàrena namrah sadhustathàtathà.
Paramàrthanya, upasama ta pwa sang sàdhu ngaranira, Tumukul dening kweh gunanira, mwang wruhnira, kadyangga ning pari,tumungkul dening wwahnya,
mwang pang ning kayu, tumungkul de ning tob ning phalanya", (Sarasamuscaya, 308).


Terjemahan:


"Kesimpulannya, sabar dan tenang pembawaan sang sadhu, merunduk karena banyak kebajikan dan ilmunya, sebagai halnya padi runduk karena beratnya buahnya dan dahan pohon kayu itu runduk, disebabkan karena lebat buahnya".


Manfaat dari ajaran Brata (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat suka melakukan pengekangan nafsu terhadap makanan.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI

8. Upawasa berarti pengekangan diri


Upawasa adalah berpuasa. Cara ini banyak ragamnya, ada puasa makan minum, puasa tidak tidur, puasa melihat, puasa tidak bicara, tidak bepergian, tidak bekerja dan sebagainya. Khusus untuk umat Hindu jenis puasa ini pelaksanaannya dirangkaikan dengan pelaksanaan hari raya, seperti Nyepi, Siwaratri. Misalnya dalam pelaksanaan upawasa nyepi, umat Hindu berkumpul pada suatu tempat yang suci yang telah disepakati dengan harapan puasanya menjadi lebih mantap dan khusuk. Adapun jenis puasa pada hari nyepi umumnya:


a). Puasa makan dan minum 
b). Tidak bekerja
c). Tidak tidur (melek) 
d). Tidak bepergian, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 321).


Tujuan pokok keempat puasa ini dimaksudkan untuk mendukung keberhasilan meditasi (semadhi) yang merupakan acara pokok dari perayaan hari nyepi.


Bratha penyepian telah dirumuskan menjadi Catur Bratha Penyepian, yang terdiri dari;


a). Amati geni yakni tidak menyalakan api termasuk memasak, itu berarti melakukan upawasa (puasa).
b). Amati karya yakni tidak bekerja, menyepikan indria.
c). Amati lelungan berarti tidak bepergian termasuk tidak keluar rumah. 
d). Amati lelanguan berarti tidak menghibur diri.


Pada prinsipnya, saat nyepi panca indria umat sedharma hendaknya diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Dengan meredakan nafsu indria itu umat sedharma dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup ini semakin meningkat. Melaksanakan pengendalian diri pada saat nyepi adalah merupakan kewajiban bagi umat sedharma. Kitab Sarasamuscaya menjelaskan sebagai berikut;


"Àryavåttamidaý vrttamiti vijñàya sàsvatam, santah Paràrthaý, kurvànà nàveksante pratikriyàm.
Tatan pakanimittha hyunira ring pratyupakàra sang sajjana ar gawayaken ikang kaparàrthan, kunang wiwekanira, prawrtti sang sadhu ta pwa iki, maryada sang mahapurusa, mangkana juga wiwekanira, tan prakoseka ring phala".

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Terjemahan:


"Bukan karena keinginanannya akan pembalasannya, sang utama budi mengusahakan kesejahteraan orang lain, melainkan karena hal itu telah merupakan keyakinannya. Pembawaan sang sadhu memang demikian. Itulah ciri orang yang berjiwa besar. Demikianlah keyakinan beliau, tidak memandang akan buah hasilnya" (Sarasamuscaya, 313).


"Caritraniyatà ràjan ye krsàh krsavrttayaá, Arthinascopacchanti tesudattam mahà phalam.
Lwirning yukti ikang wehana dana wwang suddhàcara, wwang daridra, tan panemu ahara, wwang mara angegong harep kuneng, ikang dana ring wwang mangkana agong phalanika", (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 322).


Terjemahan


"Orang yang diberikan dana, ialah orang yang berkelakuan baik, orang miskin, yang tidak memperoleh makanan, orang-orang yang benar mengharapkan bantuan, pemberian dana kepada orang yang demikian besar pahalanya", (Sarasamuscaya,187).

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI

Manfaat dari ajaran Upawasa (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat suka melakukan pengekangan diri.


9. Mona berarti tidak bersuara


Mona artinya tidak berkata, membatasi bersuara. Dalam kehidupan sehari – hari mona tidak diartikan tidak berkata-kata sama sekali, melainkan adalah kata-kata itu harus dibatasi dalam batasan-batasan kewajaran. Misalnya dianggap wajar bila berkata baik dan benar, berkata menyenangkan orang lain bila didengar. 


Dalam perilaku hidup suci upaya membatasi kata-kata itu memang penting, sebab dari kata atau suara itulah seseorang akan disenangi atau tidak, dari kata atau suara itulah akan terletak celaka tidaknya seseorang. Terutama dari kata atau suara itulah akan terdapat kebahagiaan, kedamaian rohani. Orang yang ternoda rohaninya, dia sendiri akan merasakan ketidak- tenteraman dalam batinnya. Lebih-lebih kata-kata itu sengaja diucapkan agar orang lain sakit hati. Sikap demikian itu sama saja membikin batin sendiri ternoda. Selama ucapan itu ternoda maka selama itu pula batin menjadi tidak damai. Minimal ia akan selalu menimbang-nimbang kata yang telah diucapkan. Hal ini tak dapat dihindari, karena semua manusia punya perasaan, pikiran yang selalu membututi dan ikut menimbang-nimbang ucapan yang telah dikeluarkan. Perasaan dan pikiran inilah akan selalu membayangi kehidupan suasana batin tidak tenang.


Berkata-kata baik, menyenangkan, bermanfaat, penuh makna dan suci disebut wacika. Wacika adalah perkataan yang baik (suci). Kata-kata ibarat pisau bermata dua, di satu pihak akan bisa mendatangkan kebaikan dan di lain pihak akan bisa mendatangkan penderitaan bahkan kematian, seperti termuat dalam kitab Nitisastra sargah V.3 sebagai berikut:


“Wasita nimittanta manemu laksmi, Wasita nimittanta pati kapangguh, Wasita nimittanta manemu dukha, Wasita nimittanta manemu mitra”, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 323).


Terjemahan


"Oleh perkataan engkau akan mendapat bahagia, oleh perkataan engkau akan menemui ajalmu, oleh perkataan engkau akan mendapatkan kesusahan, oleh perkataan engkau akan mendapatkan sahabat".


Demikianlah akibat dari perkataan yang diucapkan ada yang baik dan ada yang buruk. Kata-kata kotor atau buruk disebut Mada (dalam Tri Mala). Kata-kata yang kotor seperti raja pisuna (fitnah), wak purusa (berkata kasar), berbohong dan sebagainya tidak usah dipelihara, sebab hal tersebut akan bisa mendatangkan penderitaan bahkan lebih fatal lagi bisa menyebabkan kematian. Oleh karena itu marilah kita sucikan wak/kata-kata sehingga menjadi “wacika” yaitu kata-kata yang suci, karena kata-kata yang suci ini akan dapat mengantarkan kita kepada sahabat atau mitra dan kepada kebahagiaan atau laksmi. Ada empat cara (karma patha) untuk menyucikan perkataan yaitu :

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

a. Tidak berkata jahat (ujar ahala). Kata-kata jahat yang terucap akan dapat mencemarkan vibrasi kesucian, baik kesucian yang mengucapkan maupun yang mendengarkan. Karena dalam kata-kata yang jahat itu ada gelombang yang mengganggu keseimbangan vibrasi kesucian.


b. Tidak berkata kasar (ujar akrodha), seperti menghardik, mencaci, mencela. Kata-kata kasar itu sangat menyakitkan bagi yang mendengarkan dan sesungguhnya akan dapat mengurangi vibrasi kesucian bagi yang mengucapkan. Perlu diperhatikan, meskipun niat baik, kalau diucapkan dengan kata-kata yang kasar maka niat baik itu akan turun nilainya (menjadi tidak baik). Bagi yang mempunyai kebiasaan berkata kasar, berjuanglah untuk mengubahnya.



RELATED:
Hubungan Tri Rna dengan Yadnya dalam Hindu
Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban dalam Melaksanakan Tri Rna
Pengertian, Contoh dan Bagian-Bagian Tri Rna
c. Tidak memfitnah (raja pisuna). Ada pepatah mengatakan fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Dalam persaingan hidup orang sering mengalahkan persaingan dengan cara memfitnah agar lawan dengan mudah dikalahkan. Salah satu sifat manusia yang dapat menimbulkan akibat negatif adalah yang disebut “distingsi” yaitu suatu dorongan untuk lebih dari orang lain. Kalau ia tidak mampu berbuat lebih dari kenyataan maka fitnahpun akan dipakai senjata agar ia kelihatan lebih dari yang lain. Cegahlah lidah agar tidak mengucapkan kata-kata fitnah.


d. Tidak mengeluarkan kata-kata yang mengandung kebohongan. Kebiasaan berbohong ini juga sering didorong oleh nafsu distingsi tadi. Agar ia kelihatan lebih dari orang lain berbohongpun sering dilakukan. Berbohongpun sering dilakukan untuk menutupi kekurangan diri. Menghilangkan kebiasaan berbohong memang susah, namun ini haruslah dibiasakan untuk rela menerima apa adanya sesuai karma kita, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 324).


Demikianlah empat hal yang harus dibiasakan agar tidak keluar dari lidah kita kata-kata yang tidak baik atau menyakitkan. Untuk melatih itu biasakanlah menyanyikan nama-nama Tuhan atau Dharmagita atau Mantram-mantram tertentu secara terus menerus, sampai kebiasaan ‘kurang baik’ itu dapat dihapuskan. Hal ini memang memerlukan kesungguhan, karena mengubah kebiasaan jelek memang tidak mudah. Kebaikan itu hanya dapat diwujudkan dengan cara membiasakannya sampai melembaga dalam tingkah laku. Pada mulanya memang dirasakan beban, tetapi lama-kelamaan akan menjadi kebutuhan. Orang suci sudah menjadi kewajibannya untuk selalu bertutur- kata suci, oleh karenanya kebahagiaan batin itu dapat terwujudkan.


Manfaat dari ajaran “mona” (dalam ajaran Dasa Nyama Bratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat selalu mengusahakan untuk berbicara yang baik dan suci.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

10. Snana berarti melakukan pemujaan dengan Tri Sandhya


Snana artinya tekun melaksanakan pembersihan dan penyucian batin dengan sembahyang tiga kali sehari atau tri sandhya. Melaksanakan tri sandhya bila dicermati suasana pelaksanaannya, sesungguhnya adalah dasar dari dhyana. Biasanya seseorang sebelum secara tekun dapat melakukan dhyana maka tingkatan dasar (tri sandhya) dilakukan terlebih dahulu. Praktik ini diawali dengan membersihkan badan, seperti mandi. Aktivitas antara mandi dengan tri sandhya sangat erat hubungannya, di mana dengan membersihkan badan terlebih dahulu pelaksanaan tri sandhya itu akan menjadi lebih mantap. Dengan kata lain terbiasa membersihkan diri, badan, mandi sebelum akan melakukan pemujaan ke hadapan-Nya dapat mendukung suksesnya sembahyang dengan baik. Seperti yang telah terbiasa dipraktikkan atau dilaksanakan oleh umat sedharma dalam memuja isthaDevata, panca sembah atau kramaning sembah dilaksanakan setelah melakukan pemujaan dengan mantram tri sadhya bersama. 


Kitab suci veda menjelaskan sebagai berikut;


"Sarvà pavitrà vitatà-adhyasmat".


Terjemahan:


"Semua hal (benda) yang suci mengelilingi kita", (Atharvaveda VI.124. 3), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 325).


Dengan kesucian diri dan hati dapat menyebabkan seseorang memperoleh kebahagiaan, menghancurkan pikiran atau perbuatan yang tercela. Orang yang memiliki kesucian hati mencapai sorga dan bila kita berpikiran yang jernih serta suci, maka kesucian akan selalu melindungi kita. Kesucian atau hidup suci telah diamanatkan sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu ada baiknya sebagai umat sedharma selalu terjaga untuk hidup suci.


Manfaat dari ajaran Snana (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat kesucian yang secara tekun melakukan pemujaan dengan ‘Tri Sandhya, dan do’a sehari-hari’ yang lainnya.


Ajaran Dasa Nyama Bratha yang terdapat dalam sloka kitab Saracamucchaya, adalah merupakan pegangan hidup bagi umat sedharma yang hendak mencapai kesempurnaan batin. Upaya itu dapat dicapai ‘moksa‘kehidupan yang abadi melalui pengamalan hidup di dunia dengan berlaksana yang benar. Dunia ini tempat berbuat, oleh sebab itu perilaku sehari-hari yang ditampilkan oleh umat sedharma dapat dijadikan ukuran sampai di mana tingkat kesempurnaan jiwa-nya. Seseorang dalam hidupnya. Dalam pengamalannya keluar, maka sebelumnya orang hendaknya mengadakan pembenahan ke dalam diri sendiri terlebih dahulu, baru mengadakan pembenahan ke luar diri. Hal ini wajar karena bagaimana orang dapat membenahi orang lain jika dirinya belum dibenahi.


Atma merupakan percikan terkecil dari Brahman yang sudah memasuki tubuh sehingga menimbulkan adanya penghidupan, dan gerak yang disemangati oleh atma itu sendiri. Ia menjadi pelaku lima klesa atau sumber kesedihan yakni avidya (ketidaktahuan), asmita (kesombongan/ keakuan), Raga (keterikatan dan kesukaan), Dvesa (kemarahan, keserakahan) dan Abhinivesa (ketakutan yang berlebihan terhadap kematian). Selama adanya perubahan dan kegoncangan pada pikiran, selama itu pula atma terpantulkan pada perubahan-perubahan itu. Dan untuk melepaskan atma dari cengkeraman lima klesa tersebut di dalam yoga dapat dilakukan dengan disiplin kriya-yoga di mana kriya-yoga sekaligus membawa pikiran pada keadaan Samadhi. Di dalam Kriya-yoga itu sendiri di antaranya berisikan beberapa aktivitas yaitu: tapas (kesederhanaan), svadhyaya (mempelajari dan memahami kitab suci), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 326).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Akal atau budi merupakan azas kejiwaan namun bukan merupakan roh yang memiliki kesadaran. Ia yang halus dari segala proses kecakapan mental untuk lebih mempertimbangkan dan memutuskan segala sesuatu yang diajukan oleh indria yang lebih rendah, namun ia (budi). Sebagai azas kejiwaan atau psikologis, ia memiliki sifat jnana (pengetahuan), dharma (kebajikan, tidak bernafsu / wairagya) dan aiswarya (ketuhanan). Namun terkadang suara-suara kebajikan yang keluar dari budi itu sendiri masih belum mampu mengalahkan kuatnya pengaruh daripada indria-indria yang ada pada diri kita sehingga timbul perbuatan yang tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh budi itu sendiri. Melalui kebijaksanaan yang dapat kita peroleh dengan jnana atau pengetahuan akan dapat membersihkan akal itu sendiri sehingga sinar sattva mampu merefleksikan kesadaran jiwa (purusha) itu sendiri, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 327).


Renungan Ågveda X. 37. 7


"Viúvàhà tvà sumanasah sucaksasah, prajàvanto anamivà anàgasah. udyantaý tvà mitramaho divedive, jyogjivàh prati paúyema sùrya".


Terjemahan:


"Sang Hyang Surya, semoga kami dalam suasana hati yang berbahagia, dalam pandangan yang bagus, mempunyai anak cucu yang baik, dalam kesehatan yang bagus, dalam keadaan tanpa dosa, senantiasa menghaturkan persembahan kepadamu. Sang Hyang Surya, yang berfaedah untuk semua sahabat, hendaknyalah kami melihat engkau yang terbit terus-menerus".

Referensi

Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Contoh Penerapan Dasa Nyama Brata (Bratha) dalam Kehidupan

 Ketenangan, kedamaian atau ketenteraman batin adalah sesuatu yang menjadi dambaan setiap makhluk yang dilahirkan ke dunia ini. Lingkungan yang nyaman tidak hanya diharapkan oleh umat manusia, tumbuh-tumbuhan dan binatang pun juga memerlukan kedamaian itu. Demikianlah veda sumber ajaran agama kita mengajarkan kedamaian didambakan untuk semuanya, utamanya lingkungan sekitar kita. Kedamaian yang sejati adalah bersatunya àtman sebagai sumber hidup setiap makhluk dengan Brahman/Tuhan Yang Maha Esa. Kedamaian bukan hanya untuk saat ini, diri sendiri, tetapi juga untuk masa yang akan datang, orang lain atau masyarakat. Bagaimana kedamaian itu dapat terwujud dalam kehidupan ini? ada baiknya simaklah cerita berikut ini!


PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19


Image; tujacreative
Bala Deva dan Narayana Sang Penyelamat Dunia



Dahulu kala hidup seorang raksasa Sang Kangsa namanya. Sang Kangsa adalah raksasa yang berwatak tidak baik. Ia suka membuat huru-hara dan melakukan penganiayaan terhadap Bangsa Yadawa. Sang Kangsa memiliki istri bernama Devi Asti dan Devi Prapti. Kedua putri ini adalah putra dari Prabhu Jarasanda, seorang raja dari Negeri Widarbha. Prabhu Jarasanda terkenal sangat kebal terhadap segala macam jenis senjata, karenanya seluruh raja yang ada dimuka bumi ini takut padanya. Perkawinan Sang Kangsa dengan putri Prabhu Jarasanda menyebabkan tabiat tidak baik dari Sang Kangsa menjadi semakin bertambah, karena merasa memiliki pelindung seorang raja yang sakti dan ditakuti oleh seluruh raja yang ada di muka bumi ini. Begitulah dikisahkan, bahwa nafsu angkara murka Sang Kangsa semakin berkobar-kobar, kebengisannya semakin bertambah. Kegemarannya menganiaya Bangsa Yadawa dengan tidak mengenal prikemanusiaan semakin menjadi-jadi, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 328).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Sang Kangsa belum puas dengan tindakannya sebatas membabat Bangsa Yadawa saja, maka segera ia memerintahkan kepada prajuritnya untuk menaklukkan Negeri Boja. Perintah Sang Kangsa kepada prajuritnya, “Hai tentaraku sekalian, dengarkanlah ini titah rajamu! Aku Kangsa belum merasa puas dengan keadaan seperti sekarang ini. Aku ingin menaklukkan raja-raja di seluruh permukaan bumi ini. Untuk itu, pertama-tama aku ingin menghancurkan Negeri Boja. Tunjukkanlah keberanian, keperkasaanmu sebagai prajurit raksasa dalam peperangan nanti. Laksanakanlah segera titahku ini!”. Setelah mendapatkan titah demikian, para prajurit raksasa mempersiapkan perlengkapan perangnya selanjutnya segera berangkat hendak menyerbu Negeri Boja. Para raja bangsa Negeri Boja yang tidak mau tunduk segera dibunuh, karena memang demikianlah tabiat asli Sang Kangsa. Tiada henti-hentinya mereka mengejar para raja bangsa Boja. Ke manapun mereka melarikan diri, yang berhasil mereka tangkap dan dianiaya.


Karena tingkah laku Sang Kangsa menimbulkan ketakutan sekalian para raja, para kesatri a dan Bangsa Boja. Lebih-lebih lagi para kawula kecil, ketakutan itu senantiasa mencekam hatinya. Tempat tinggal mereka bukan lagi merupakan tempat yang aman, tetapi sudah merupakan neraka. Oleh karena daerah tempat tinggal mereka bukan lagi merupakan tempat tinggal yang nyaman, lalu selanjutnya mereka melarikan diri entah ke mana, tidak tentu arah dan tujuannya. Ke mana kaki melangkah, ke sanalah menuju, yang penting dapat meloloskan diri. Itulah yang terlintas dalam benak dan pikirannya.


Di antara orang-orang yang melarikan diri ada yang menceburkan diri ke laut, selain itu ada pula yang menceburkan diri ke dalam jurang, dan ada yang melarikan diri ke dalam hutan kemudian bersembunyi di dalam gua- gua untuk menyelamatkan dirinya, akan tetapi akhirnya ia mati juga diterkam dan dimangsa oleh binatang buas. Alangkah sengsaranya seluruh Bangsa Boja pada waktu itu oleh perbuatan bengis Sang Kangsa dan pengikut-pengikutnya. Sementara huru-hara itu terus berlangsung karena Sang Kangsa dan pengikut- pengikutnya terus mengadakan pengejaran terhadap raja-raja Bangsa Yadawa yang terus melarikan diri. Akhirnya banyak raja bangsa Boja berikut keluarganya datang ke Negeri Dwaraka (Dwarati) meminta perlindungan kepada Sri Narayana, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 329).


Sri Narayana terkejut karena kedatangan pengungsi raja Bangsa Boja berikut keluarganya, kemudian menyapanya. “Wahai tuan-tuan raja dan kesatria Bangsa Boja, kenapa gerangan datang berduyun-duyun kemari dengan disertai keluarga? Apakah yang telah terjadi atas negeri tuan?” Demikianlah Sri Narayana menyapanya.

Baca: Pengertian Dasa Nyama Brata (Bratha) dan Penjelasannya



“Ampun tuanku, Sri Narayana. Tuanku adalah perwujudan Wisnu di jagatraya ini. Tuanku adalah pelindung jagatraya ini dari segala kehancurannya. Tuanku juga pengayom kawula kecil yang lemah. Oh, tuanku yang maha kasih, tuanku adalah penyayang segala yang ada ini. Hamba sekalian datang untuk memohon belas kasihan tuanku yang mulia. Sudi kiranya paduka tuanku melindungi kami dan bangsa kami dari kehancuran. Saat ini bangsa kami diserang oleh Sang Kangsa yang biadab itu”.


“Duhai saudara-saudaraku Bangsa Boja, hatiku menjadi sedih dan haru mendengar ucapan kalian. Oh Sang Hyang Widhi, lindungi dan tabahkanlah hati umat-Mu dari kebengisan Sang Kangsa. Dan si Kangsa tak jemu-jemunya kau menyusahkan dunia, maka sudah sepatutnya engkau mendapat hukuman dari Sang Hyang Widhi. Aku akan datang untuk membunuhmu”. Demikianlah Sri Narayana berkata sambil menggertakkan giginya.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Kemudian para pemimpin/kesatria Bangsa Boja bermohon lagi sambil menangis. Oh, Paduka tuanku, tuluskanlah kasih paduka tuanku kepada kami. Bunuhlah si Kangsa dan seluruh pengikutnya dari muka bumi ini agar Bangsa Boja dapat hidup tenang kembali. Kami merasa sangat kasihan menyaksikan nasib bangsa kami dari penganiayaan si Kangsa. Hanya sedih yang dapat kami lakukan terhadap derita bangsa kami. Sedangkan untuk membebaskannya, kami tidak punya kemampuan untuk itu. Hanya pada tuanku kami temukan kekuatan itu untuk melenyapkan si Kangsa yang biadab. Karena itu, padamu kami berlindung”.


Mendengar permohonan para kesatria dan pemimpin Bangsa Boja yang sangat memilukan hati, Sri Narayana dan Sang Kakarsana (BalaDeva), menjadi terketuk hatinya. Sri Narayana dan Sang Kakarsana menyanggupi untuk memberikan pertolongan. Keduanya sudah sepakat hendak melawan Sang Kangsa, kendatipun keduanya hancur menjadi abu. “Kakang Mas Kakarsana, kita tidak dapat membiarkan keadaan ini berlarut-larut. Mari segera kita hancurkan si Kangsa sebelum Bangsa Boja hancur oleh ulahnya yang tidak mengenal perikemanusiaan”. “Baik Dimas, Kakang sudah muak dengan tingkah lakunya yang menjadi semakin biadab. Ayo Dimas, mari kita berangkat. Tunggu apa lagi”, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 330).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Setelah berkata demikian, kedua kesatria muda itu berangkat lengkap dengan senjatanya masing-masing. Matanya merah sebagai tanda murka yang luar biasa. Namun sebelum berangkat, beliau mempersilakan tamunya beristirahat. Sang Sri Narayana dan Sang Kakarsana, keduanya adalah merupakan buruan Sang Kangsa, karena keduanya dianggap penghambat perwujudan cita-citanya menaklukkan seluruh raja yang ada di permukaan bumi ini. Karena itu, begitu ia melihat keduanya, Sang Kangsa sangat senang hatinya.


Kemudian berkata :


“Hai penjahat-penjahat kecil, pucuk dicinta ulam tiba. Engkau yang kucari- cari selama ini tidak ketemu, di mana saja engkau bersembunyi? Tetapi tidak dicari rupanya engkau datang untuk mengantarkan nyawa, sehingga aku tidak usah payah-payah mencarimu lagi”. Demikianlah Sang Kangsa berkata dengan sangat senangnya sambil tertawa terbahak-bahak. Namun tidak sedikitpun Sri Narayana dan Sang Kakarsana gentar mendengarkan kata-kata Sang Kangsa karena memang sudah bulat hatinya untuk melawan. Kemudian balik mereka berkata :


“Hai manusia jahanam berhati iblis. Rupanya engkau pandai memutarbalikkan fakta. Aku, kau katakan penjahat cilik, apakah itu tidak sebaliknya? Bukankah engkau penjahat besar yang telah mengganggu dan merusak tatanan masyarakat? Bukankah engkau adalah pengganggu ketenteraman masyarakat? Engkaulah semua itu. Jadi bukan aku. Karena itu, sudah sepantasnya engkau dilenyapkan dari muka bumi ini. Kedatangan ku kemari adalah untuk itu, bukanlah untuk mengantarkan nyawa sebagai katamu itu”. Demikianlah kata- kata Sri Narayana.


Sang Kangsa yang sangat kegirangan melihat kehadiran Sang Sri Narayana dan Sang Kakarsana mendadak menjadi merah padam mukanya mendengar kata-kata pedas Sri Narayana. Timbullah kemarahannya yang luar biasa. Dan berkata : 


“Hai anak-anak kemarin sore, berani engkau berkata sombong di hadapanku. Mustahil engkau dapat mengalahkan kesaktianku. Lihatlah berapa banyak para raja telah dapat aku taklukkan, apalagi engkau yang baru kemarin sore, belum apa-apa bagiku, tanganku sebelah saja dapat memecahkan kepalamu”.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“Hai perusak ketenteraman masyarakat, mungkin di hadapan raja-raja yang telah kau taklukkan, kau dapat berkata sombong. Akan tetapi di hadapanku engkau tidak boleh berkata begitu”.


Setelah berkata demikian, Sang Baladeva dan Sri Narayana bersiap dengan senjatanya masing-masing. Sedangkan Sang Kangsa yang hatinya sedang terbakar oleh kemarahannya karena merasa dihina oleh orang yang masih terlalu muda, dengan sangat bernafsu ingin membunuh Sang BalaDeva dengan Sri Narayana. Hal ini juga didorong karena andal dengan kesaktiannya sehingga meremehkan musuh yang sedang dihadapinya. Sang Kangsa segera maju hendak meraih tangan Sri Narayana, namun dengan tangkasnya Sang Kakarsana mengayunkan senjata pegangannya ke dada Sang Kangsa. Bersamaan dengan itu Sri Narayana yang telah bersiap-siap kemudian melepaskan senjatanya. Masing-masing senjatanya tepat mengenai dada, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 331).

Dagang Banten Bali



Demikianlah Sang Kangsa terbunuh, karena terlalu menyombongkan diri akan kesaktiannya, tidak beradab dan selalu menyakiti sesamanya. Karena keangkuhannya maka kesaktiannya lenyap begitu rupa. Hal ini pertanda bahwa Sang Hyang Widhi tidak berkenan bila di antara ciptaan-Nya, saling tidak memperhatikan, saling merusak dan selalu bertindak adharma. Setiap saat ciptaan-Nya dirusak maka setiap saat itu pula beliau berkehendak menyelamatkannya. 


Sri Narayana sesungguhnya adalah utusan Sang Hyang Widhi untuk menyelamatkan dunia beserta isinya dari kehancuran. Dunia dan isinya akan selalu damai serta harmonis bila di antaranya mampu hidup rukun, saling menyayangi dan mengasihi. Begitulah nasib Sang Kangsa (durjana) yang tidak mengindahkan dharma dalam hidupnya, terbunuh oleh Sri Narayana dan Baladeva sebagai penjelmaan “Dharma”. Sikap dan perilaku Sang Kangsa yang demikian tidaklah patut untuk ditiru!, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 332).

Baca: Bagian-Bagian Dasa Nyama Brata atau Bratha



RELATED:
Hubungan Tri Rna dengan Yadnya dalam Hindu
Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban dalam Melaksanakan Tri Rna
Pengertian, Contoh dan Bagian-Bagian Tri Rna
Renungan Atharvaveda XIX. 9. 7


"Utpàtàh pàrtáivàntarikûàh saý no divicarà grahàá".


Terjemahan:


"Semoga semua gangguan terhadap bumi dan langit berakhir.
Semoga planet-planet yang amat menyenangkan memberikan kedamaian kepada kami,".

Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/11/contoh-penerapan-dasa-nyama-brata.html

Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Cetakan Ke-1, 2015

Tujuan dan Manfaat Ajaran Dasa Yama Brata (Bratha) dalam Pembentukan Kepribadian yang Luhur

 Mewujudkan tujuan hidup ini adalah tugas mulia bagi umat manusia. Memanfaatkan ajaran Dasa Yama Bratha utuk membangun keselamatan umat manusia adalah swadharma sebagai masyarakat Hindu. Bagaimana supaya anggota masyarakat dapat dengan mudah mengetahui, memaknai, menghayati, melaksanakan dan memahami manfaat ajaran Dasa Yama Bratha tersebut mampu membentuk insan berkepribadian yang luhur, maka masing-masing bagiannya perlu diberi penjelasan yang cukup. Tanpa penjelasan yang baik mustahil dapat diresapi dan dihayati secara baik tentang ajaran Dasa Yama Bratha itu. Adapun penjelasan secara rinci dari masing-masing bagian ajaran Dasa Yama Bratha adalah sebagai berikut;



Baca: Pengertian Dan Fungsi Ajaran Dasa Yama Brata



Campuhan Ubud Ridge Walk (image;dewalenco)

1. Anrsangsya adalah harimbawa berarti tidak mementingkan diri sendiri saja;


Di dalam kehidupan sehari-hari seseorang hendaknya selalu berusaha lebih mengutamakan kepentingan orang banyak dari pada kepentingan pribadinya. Kepentingan masyarakat lebih dominan dari yang lainnya, kecuali untuk memberi pelayanan kepada orang yang sedang sakit dimana kita harus memberikan pelayanan.



Harimbawa artinya berwibawa, misalnya sebagai Sang Hyang Widhi memiliki kewibawaan, Bhatara merupakan manifestasinya atau perwujudan Tuhan yang Maha Esa yang berfungsi sebagai pemelihara dari alam semesta beserta dengan isinya. Di dalam pusaka suci Bhuwanakosa ada penjelasan bahwa Bhatara Brahma berfungsi untuk menciptakan alam semesta, Bhatara Wisnu berfungsi sebagai pemelihara ciptaan tersebut, sedangkan Bhatara Rudha sebagai pemerelina alam semesta ini beserta dengan isinya. Ketiganya adalah merupakan pelindung dunia ini, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 294-295).


Demikianlah Sang Hyang Wisnu/Sang Hyang Hari merupakan manifestasi Tuhan/Hyang Widhi Wasa untuk memelihara dunia atau negara yang mempunyai wibawa. Tak ubahnya lagi seperti negara dipelihara oleh raja dengan penuh wibawa bersama para menteri atau pegawainya.



Baca: Bagian-Bagian dan Penjelasan Ajaran Dasa Yama Bratha


Di dalam kehidupan sehari-hari, manakala terjadi benturan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan orang banyak, maka kepentingan pribadi selalu dinomorduakan, apabila bobot kedua macam kepentingan itu hampir sama. Namun demikian, bagaimanapun manusia harus berpikir secara objektif disamping subjektif. Sebab apabila bobot-bobot kepentingan pribadi itu jauh lebih besar dari pada kepentingan orang banyak, maka kepentingan pribadi itu tetap harus didahulukan. Sebagai contoh dapat dijelaskan sebagai berikut; Pada suatu saat di masyarakat ada acara gotong royong membersihkan lingkungan. Tepat saat itu juga keluarga kita kena musibah sakit yang harus segera mendapat bantuan dokter. Dalam hal ini maka kepentingan pribadi harus didahulukan, dan kepentingan orang banyak dinomorduakan. Demikianlah kita tidak boleh mementingkan diri sendiri, apabila bobot kepentingan itu sama atau hampir sama.


Manfaat dari ajaran Ànåûangsya (Dasa Yamabrata) ini adalah dapat mewujudkan ketenangan, kententeraman, kedamaian keabadian, dan usia yang panjang dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan bersikap welas-asih.


2. Ksmā berarti tahan akan panas dan dingin;


Ksama adalah sifat-sifat pengampun, pemaaf, serta sabar dan tahan uji. Di dalam kehidupan ini setiap orang harus berusaha untuk menerapkan sifat-sifat pengampun, pemaaf serta sabar dan tahan uji. Orang yang baik adalah orang yang suka mengampuni dan memaafkan kesalahan orang lain. Bila semua orang memiliki sifat demikian pasti dunia akan selalu aman tenteram.


Sifat pengampun dan pemaaf; contoh sifat yang suka mengampuni serta mau memberi maaf kepada orang lain sebagaimana terlukis dalam cerita Ni Wanari. Di dalam cerita ini dijelaskan bahwa Ni Wanari hanyalah seekor kera betina, namun ia mempunyai sifat yang sangat mulia yaitu suka memberi ampun dan maaf kepada siapa saja, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 295).


Adapun cuplikan ceritanya adalah sebagai berikut: 

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Setelah Si Papaka mendengar cerita Si Macan tentang kematian Sang Raja Putra dipenggal oleh seekor kera yang buruk hati, lalu dimintalah Si Papaka itu untuk membuat jatuh Ni Wanari. Karena kebodohan Si Papaka, Ni Wanari yang sedang tidur didorong hingga jatuh. Ni Wanari diterkam oleh Si Macan. Namun karena kecerdikan dan kesabarannya Ni Wanari lalu berkata sambi tersenyum: “Hai macan bila engkau hendak membunuh, bunuhlah aku dengan cara menangkap ekorku! Jika tidak demikian maka engkau tidak akan bisa membunuhku. Karena aku ini keturunan Bhatara Sakti.” 


Karena bodohnya Si Macan maka Ni Wanari dilepas seraya menangkap ekornya. Sementara mau akan ditangkap, segera Ni Wanari meloncat ke atas dahan tempat di mana Papaka berlindung, Si Papaka sangat ketakutan. Ni Wanari melihat gejala itu dan berkata: “Wahai Papaka, jangan gelisah dan takut. Yang menyebabkan saya jatuh adalah karena saya lelap tidur, lalu saya terkejut karena disengat semut!” Demikianlah kebijaksanaan Ni Wanari yang mempunyai sifat pengampun serta penyabar menghadapi perilaku Si Papaka yang buruk.


Tahan uji dalam arti dapat mengendalikan diri; sifat semacam ini dapat dimaknai dalam cerita tentang seorang Maha Rsi yang bernama Bhagawan Dharmaswami. Beliau adalah seorang pendeta utama yang tahan uji dari segala macam penderitaan akibat ulah Raja Putra Madura atas laporan “Swarnangkara” karena itu beliau diburu dan diikat serta dipertontonkan di peraptan agung. Namun meskipun beliau dirundung malang, tetapi tetap menunjukan kesabaran dan tidak ada rasa amarah kepada yang mencaci makinya. Pikiran beliau bersih dan tenang, tidak sedikitpun ada celanya dari panas dingin. Atas nasehat Si Ular Sandi mengharapkan agar Prabu Madura memohon maaf kepada Bhagawan Dharmaswami dan memohon agar beliau berkenan mengobati putra mahkota yang dipagut ular. 


Oleh karenanya; Prabu Madura, para pendeta dan para menteri datang bersujud memohon ampun di hadapan Sri Bhagawan. Permohonannya terkabulkan, maka raja mau menyerahkan kerajaannya kepada Sri Bhagawan, namun Sri Bhagawan menolak dengan berkata:”Ya, paduka kami jangan bergaul dengan sahabat yang Durbudhi. Si Durbudhi akan mengantar paduka ke Yama loka. Begitu pula sang pendeta, bila bergaul dengan orang corah, hilanglah kewibawaan dan kemuliaan beliau.


Manfaat dari ajaran Kûmā (Dasa Yamabrata) ini adalah dapat mewujudkan ketenangan, kententeraman, kedamaian keabadian, dan usia yang panjang dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan sikap yang dimotivasi oleh sifat-sifat pengampun, pemaaf, serta sabar dan tahan uji, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 296).

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

3.Satya berarti tidak berkata bohong;


Satya adalah benar, setia, dan jujur yaitu sifat dan perilaku selalu berdasar atas kebenaran dan kejujuran. Orang yang memiliki sifat ini tidak akan pernah berkata bohong, selalu bersifat setia terhadap apa yang telah dikatakan dan tidak suka pada kehidupan yang penuh dengan kemunafikan. Satya juga berarti jujur sehingga terdapat asas keseimbangan terhadap pikiran, perkataan, dan perbuatan. Sehubungan dengan Satya yang berarti benar, setia, dan jujur, berikut ini dapat diuraikan tentang Panca satya sebagai berikut: 


Panca Satya adalah lima macam perilaku yang selalu berdasarkan atas kebenaran, kesetiaan dan kejujuran. Panca Satya harus dilaksanakan, agar kita mendapat julukan atau predikat sebagai orang yang dapat dipercaya, mengenal adat, sopan santun dan patut dihormati, serta berkesusilaan tinggi. Nama baik adalah merupakan harta yang paling tinggi nilainya di dunia ini. Yang sangat tercela dalam pergaulan hidup adalah melanggar norma-norma agama, yang akan merupakan beban mental bagi seseorang dalam hidupnya di mayapada maupun di Paramaloka kelak. Panca Satya terdiri dari:


a. Satya Hredaya
b. Satya Samaya
c. Satya Wacana
d. Satya Laksana
e. Satya Mitra


Satya Hredaya adalah benar, setia dan jujur; yaitu selalu berpikir dan merencanakan sesuatu yang berdasarkan atas kebenaran dan kejujuran. Satya Samaya adalah benar, setia dan jujur dalam perjanjian; yaitu selalu berusaha untuk taat, dan menaati perjanjian yang telah disepakati bersama. Satya Wacana adalah benar, setia dan jujur dengan perkataan; yaitu selalu mengucapkan kata-kata yang baik dan benar sehingga dapat menyenangkan orang-orang yang mendengarnya. Satya laksana adalah benar, setia dan jujur dalam perbuatan; yaitu selalu bekerja dan berbuat baik dan benar. Satya Mitra adalah benar, setia, dan jujur dalam persahabatan; yaitu siap membantu teman yang dalam kesulitan sesuai dengan kemampuan yang ada pada diri masing-masing.


Sebagai penganut Agama Hindu yang percaya pada tujuan hidup di dunia ini yaitu jagadhita, maka diharuskan sekuat tenaga untuk memahami, meneladani, menghayati, dan akhirnya mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari Panca Satya tersebut agar jalan kita menuju jagadhita lurus, lebar, dan terang benderang, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 297).


Manfaat dari ajaran Satya (Dasa Yama Brata) ini adalah dapat mewujudkan ketenangan, kententraman, kedamaian, keabadian, dan usia yang panjang dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan sikap yang dimotifasi oleh sifat-sifat kebenaran, kesetiaan, dan kejujuran.


4. Ahimsā berarti berbuat bahagianya makhluk sesama ciptaan-Nya


Ahimsa berasal dari bahasa Sanskerta berarti tidak himsa (menyiksa, menyakiti) sesama makhluk. Menerapkan Ahimsa dalam kehidupan sehari-hari berarti berbuat untuk menyelamatkan atau membahagiakan sekalian makhluk. Atau Ahimsa diartikan pula segala perbuatan atau tingkah-laku (pikiran, perkataan, dan tindakan) yang tidak menyebabkan sakit hati, matinya makhluk lain.


Secara kodrat manusia ingin hidup bahagia. Mereka tidak ingin menderita dan bahkan kalau boleh mereka ingin mendapatkan rakhmat panjang umur, ingin hidup lama, selama mungkin yang dapat diperoeh dari Yang Maha Kuasa yang mengatur hidup matinya makhluk hidup ini. Di samping itu diajarkan pula bahwa di antara yang paling berharga dalam hidup manusia di dunia ini adalah hidup atau jiwa itu sendiri.


Hidup itu disebut jiwa atau Atman adalah merupakan Suksma Sarira yang menghidupi badan ini, sering tidak banyak orang menyadari pentingnya hidup ini, karena itu yang tampak pada setiap diri manusia, adalah pengalaman yang bersifat jasmaniah. Sebaliknya tidak pula disadari bahwa badan atau Stula Sarira yang memberi bentuk bangun tubuh kita ini adalah merupakan wastu atau benda materi yang bila setelah mati nilainya tidak ada lagi.


Dengan membandingkan kedua asal pengertian yang terdapat dalam keterangan itu, di mana Atma dan Sarira memiliki sifat dan fungsi yang sangat berbeda, akan bertambah jelas kepada kita bahwa mengapa Agama Hindu menekankan agar setiap orang berusaha menghargai unsur yang disebut jiwa itu dengan sebaik-baiknya. Dengan menghargai jiwa berarti orang harus menghargai hidup dengan sebaik-baiknya. Dalam mengamalkan sikap menghargai hidup orang lain sebagaimana menghargai diri sendiri. Segala pikiran, perkataan dan tingkah-laku atau perbuatan yang akan dilakukan oleh setiap orang hendaknya berdasarkan atas sikap pandangan yang sama, itu akan memberi nikmat dalam hidup. Hanya dengan demikian kebahagiaan akan dapat diwujudkan, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 298).



Sebaliknya bila nilai-nilai luhur itu sudah tidak dihormati lagi di mana segala perbuatan itu merupakan kepentingan orang lain, ini berarti akan merugikan diri sendiri dan karena itu akibatnya pun bukan kebahagiaan melainkan dosa dan sengsara yang akan dialami, baik di dunia maupun di alam kehidupan setelah mati. Hakikat yang harus dicita-citakan oleh setiap manusia, karena itu adalah bersandar pada cita-cita yang sama dengan pola pikir yang sama pada kebahagiaan sesama makhluk itu.


Adapun tujuan bersama untuk mencapai kebahagiaan setiap makhluk itulah yang harus ditumbuh-kembangkan dan bukan sebaliknya, dengan jalan tidak membikin susah orang lain. Orang sifat dan karmanya demikian inilah yang disebut memperoleh kebahagiaan tertinggi di dalam agama dan disebut mencapai Parama Sukha. Orang yang demikian pula yang dikatakan akan dapat dengan mudah mencapai apa yang dicita-citakan. Tanpa banyak rintangan dalam menjalani hidupnya, kemanapun perginya tidak pernah dihantui oleh rasa takut. Rasa nyaman akan diperoleh oleh orang yang demikian, karena yakin tidak membuat susah orang lain dan karena itu tidak akan ada musuh yang mencelakakannya. Dalam keadaan demikian itulah orang tidak perlu merasa takut. Inilah wujud kebahagiaan yang akan diperoleh orang seperti itu dan sekali-sekali tidak ada yang bermaksud menghalang-halangi keinginannya.


Manfaat dari ajaran Ahimsa (Dasa Yama Bratha) ini adalah dapat mewujudkan ketenangan, kententeraman, kedamaian, keabadian, dan usia yang panjang dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan sikap yang dimotivasi oleh sifat-sifat menyiksa, dan menyakiti sesama-Nya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

5. Dama berarti sabar serta dapat menasihati diri sendiri;


Dama adalah orang bersifat sabar dan dapat menasehati diri sendiri. Orang sabar, biasanya mengalami keselamatan. Sering terjadi kegaduhan dalam suatu keramaian akibat penonton kurang sabar. Begitu pula orang kaya sering menjadi miskin karena orang tidak menasihati dirinya untuk tidak berjudi. Kurang sabar, tidak dapat menasehati diri sendiri dapat menyebabkan kematian.


Manfaat dari ajaran Dama (Dasa Yama Bratha) ini adalah dapat mewujudkan ketenangan, kententeraman, kedamaian, keabadian, dan usia yang panjang dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan sikap yang dimotivasi oleh sifat-sifat sabar dan dapat menasehati diri sendiri, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 299).


6. Àrjawa berarti tulus hati, berterus terang;


Yang dimaksud dengan Arjawa adalah sifat yang tulus hati dan berterus terang. Orang yang bersifat tulus hati berarti juga tulus ikhlas. Marilah kita perhatikan sebagai contoh ketulusikhlasan para pejuang seperti Pangeran Diponegoro. Beliau tidak tega penjajah berkuasa, beliau rela ditangkap. Raja Klungkung, Raja Badung dengan tulus hati berperang Puputan dengan Belanda.


Berterus terang artinya berterang-terangan dan tidak suka berbohong, yaitu mengungkapkan apa adanya.


Manfaat dari ajaran Àrjawa (Dasa Yamabrata) ini adalah dapat mewujudkan ketenangan, kententeraman, kedamaian, keabadian, dan usia yang panjang dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan sikap yang dimotivasi oleh sifat-sifat berterus terang.


7. Prtti berarti sangat welas asih;


Priti adalah sikap yang sangat welas-asih yakni sifat cinta kasih sayang kepada semua makhluk. Sifat ini merupakan dasar bagi sifat welas-asih yang universal. Welas-asih itu adalah perbuatan yang begitu luhur, karena hanya welas-asih yang akan dapat menyelesaikan semua permusuhan dan kebencian. Welas asihlah yang akan menciptakan perdamaian dengan sebenarnya. Kondisi dalam welas-asih inilah sebenarnya terdapat keadilan, kebenaran, dan ketenangan yang penuh kedamaian. Maka dari itu kita katakan bahwa welas-asih itu mencakup semua yang benar. Ada kata-kata yang sedemikian tinggi mutunya untuk direnungkan, sebab kata-kata bernilai tinggi cukup jelas membicarakan mengenai mengapa iri-hati. Kata-kata yang bermutu itu berbunyi sebagai berikut:

Dagang Banten Bali

“Kebencian tidak akan pernah berakhir kalau dibalas dengan kebencian. Tetapi kebencian akan berakhir apabila dibalas dengan welas-asih.” Demikianlah bahwa segala sesuatu itu akan dapat berjalan dengan baik, bisa sesuai dengan perencanaan yang telah ditentukan. Dunia akan aman, kalau setiap manusia memancarkan perasaan welas-asih. Tanpa welas- asih kita tidak akan dapat menyelesaikan pekerjaan yang besar. Seorang guru yang bertanggung jawab ialah yang adil, mengajar pada waktunya, dan dapat mencurahkan welas-asih dari hati nuraninya.


Manfaat dari ajaran Prtti (Dasa Yamabrata) ini adalah dapat mewujudkan ketenangan, kententeraman, kedamaian, keabadian, dan usia yang panjang dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan sikap yang dimotivasi oleh sifat-sifat sangat welas asih, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 300).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

8. Prasāda berarti kejernihan hati;


Yang dimaksud dengan Prasāda adalah sifat dengan pikiran yang suci, hati yang bersih, tulus ikhlas tanpa pamrih dan suci. Pikiran adalah sumber segala perbuatan, maka ia harus terhindarkan dari kehendak yang buruk, kotor, tercela dan yang lainnya dengan cara mengendalikannya. Dengan mengendalikan pikiran secara menyeluruh maka akhirnya akan membawa diri kita pada posisi yang tenang, tenteram, damai dan suci. Menyucikan pikiran dapat dilakukan dengan cara; selalu mendekatkan diri kepada Hyang Widhi beserta manifestasinya melalui sembahyang, berpikir positif, melenyapkan pikiran negatif, tidak iri hati, tidak dengki, tidak suka memfitnah dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan buruk terhadap sesama mahkluk ciptaan-Nya.


Kejernihan pikiran dapat dibangun dan ditumbuh-kembangkan dengan percaya dan yakin tentang adanya Hyang Widhi, kebenaran ajaran Karma Phala, dan samsara. Ketiga sifat dan sikap manusia mampu untuk mengantarkannya untuk selalu berpikiran jernih, terbebas dari pengaruh negatif indria.


Manfaat dari ajaran Prasāda (Dasa Yamabrata) ini adalah dapat mewujudkan ketenangan, kententeraman, kedamaian, keabadian, dan usia yang panjang dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan sikap yang dimotivasi oleh sifat-sifat kejernihan hati.


9. Mādhurya berarti manis pandangan (muka manis) dan manis perkataan;


Madhurya adalah orang yang mempunyai pandangan atau roman muka dan perkataan yang manis. Ini berarti orangnya harus mempunyai sifat ramah tamah, lemah-lembut, dan sekali-kali tidak pernah mengeluarkan kata-kata yang kasar. Perkataan yang suci dan perbuatan yang suci harus selalu dikedepankan. Ada empat macam perkataan yang tidak patut diucapkan oleh seseorang yang bersifat Mādhurya yaitu; perkataan yang jahat, perkataan yang kasar dan menyakitkan (bohong, menghardik, dan menfitnah) yang membuat orang menjadi susah. Keempat macam perkataan itu supaya dijauhkan dari seseorang yang bersifat mādhurya, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 301).


Manfaat dari ajaran Mādhurya (Dasa Yamabrata) ini adalah dapat mewujudkan ketenangan, kententeraman, kedamaian, keabadian, dan usia yang panjang dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan sikap yang dimotivasi oleh sifat-sifat manis pandangan.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

10. Mārdawa berarti kelembutan hati.


Mardawa adalah sifat dan perilaku seseorang yang rendah hati dan tidak suka menyombongkan diri. Sifat rendah hati bukan berarti rendah diri. Sifat rendah hati dapat juga dikatakan mempunyai kelembutan hati. Orang yang menpunyai budi pekerti yang luhur mengantarkan yang bersangkutan banyak teman, disayangi oleh lingkungannya, dan dicintai oleh sahabat-sahabatnya. Salah satu perbuatan yang luhur adalah bekerja penuh pengabdian, tidak tinggi hati atau angkuh. Sebab sering kali dalam keadaan sukar dan susah, orang mau mengerjakan dan menerima segalanya, tetapi setelah keadaannya menjadi lebih baik, maka ia mulai menunjukkan kesombongannya. Demikian juga dengan suatu bangsa yang mulai mabuk dengan kemewahannya, ini menunjukkan sebagai pertanda bahwa negara itu sudah dekat dengan kehancurannya.


Sedapat mungkin sebagai masyarakat bangsa yang beradab sudah sepatutnya lebih mengedepankan kelembutan hati dari pada kesombongan yang akan mengantarkan kehancuran.


Manfaat dari ajaran Mārdawa (Dasa Yamabrata) ini adalah dapat mewujudkan ketenangan, kententeraman, kedamaian, keabadian, dan usia yang panjang dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan sikap yang dimotivasi oleh sifat-sifat kelembutan hati, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 302).


Baca: Contoh Penerapan Dasa Yama Bratha dalam Kehidupan


Renungan Yajurveda XI.2


"Kurvan evaha karmāói jijiviúet úataý samāá, evam tvayi nānyatheto-asti na karma lipyate nare".


Terjemahan:


"Orang seharusnya suka hidup di dunia ini dengan melakukan kerja keras selama seratus tahun, tidak ada cara yang lain bagi keselamatan seseorang, suatu tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri dan tidak memihak menjauhkan pelaku dari keterikatan".


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/11/tujuan-dan-manfaat-ajaran-dasa-yama.html


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Cerita Berkaitan dengan Daivi Sampad dan Asuri Sampad (Drona di Hastinapura dan Anak Gembala)

 



Drona di Hastinapura


Drona adalah putra dari Bharadvaja. Masa kecil Drona sangat menyenangkan. Dia berteman dengan Drupada, pangeran Kerajaan Pancala. Mereka adalah teman baik sekali. Suatu hari, Drupada memberi tahu Drona, “Saya benar-benar menyukaimu. Saya tidak mau persahabatan kita berakhir di asrama ini. Saya ahli waris tahta Kerajaan Pancala. Kalau saya menjadi raja, saya akan mengajakmu dan kita berteman seumur hidup.”


Baca: Mengenal Bhagavadgītā dan Sifat Daivi Sampad dan Asuri Sampad



Tahun demi tahun berlalu. Drona menikahi Kripi, putri dari Saradwata atau Gautama. Mereka melahirkan seorang putra bernama Aswatthama. Keinginan Drona yang tertinggi adalah menjadi pemanah yang paling hebat di asramanya. Dia datang kepada Bhargawa dan mempelajari jenis panah atau astra. Setelah menguasai jenis panah, Drona pulang. Aswatthama adalah seorang anak muda yang cerdas, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 40).


Suatu hari, Aswatthama datang kepada ibunya dan berkata, “Ibu, semua teman saya menceritakan tentang sesuatu yang disebut susu. Saya mau susu, ibu.” Ibunya tidak tahu harus berbuat apa.

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Drona yang mendengar hal tersebut menjadi sedih. Kemudian, dia teringat hari-hari persahabatannya dengan Pangeran Pancala. Drona datang kepada Drupada, namun Drupada telah berubah. Kekayaan dan kenyataan bahwa dia menjadi raja telah membuatnya sombong. Dia tertawa pada Drona, “Seorang brahmana miskin yang menjadi teman saya dalam hari-hari belajar saya, menuntut persahabatan dengan saya. Tidakkah kamu tahu bahwa persahabatan hanyalah antara yang sederajat?”


Drona tersinggung dengan perkataan Drupada. Tanpa sepatah kata pun, dia meninggalkan istana raja yang sombong itu. Dia berjanji untuk membalas dendam atas perlakuan yang dia peroleh. Drona memutuskan untuk melatih ksatrya muda dalam panahan. Dia membalikkan langkahnya menuju Hastinapura. Sesampainya di Hastinapura, Drona disambut oleh Bhisma dan memberitahukan semua hinaan yang telah dia derita dari Raja Pancala yang sombong. Dia juga memberi tahu keinginannya untuk balas dendam.



Bhisma berkata, “Kamu telah datang ke tempat yang tepat. Saya mempunyai cucu mencapai ratusan, yang sangat berniat mempelajari panahan.” Bhisma memanggil semua anak dan menitipkan kepada Drona dan berkata, “Mulai hari ini, mereka menjadi milikmu. Tugasmu adalah membesarkannya menjadi ksatrya sejati.”


Beberapa tahun terlewati dalam pendidikan pengeran-pangeran muda itu. Semuanya pandai dalam menggunakan senjata. Akan tetapi, Arjuna menjadi murid kesayangan Drona. Kecintaannya pada panahan, latihan yang berulang-ulang, kesabarannya yang tinggi, kecintaannya pada pelajaran dan gurunya telah memikat hati Drona. Bahkan, kecintaan Drona kepada Arjuna melebihi kecintaannya kepada putranya sendiri, Aswatthama, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 41).


Drona sangat senang dengan Arjuna sehingga suatu hari dia memberitahunya, “Saya belum pernah melihat pemanah seperti kamu. Saya berjanji membuatmu menjadi pemanah terbesar di dunia ini.” Kebahagian Arjuna tidak terpikirkan.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Suatu hari, ketika Drona mandi di Sungai Gangga, dia diserang oleh seekor buaya. Buaya itu menggigit kakinya. Dia berteriak “Tolong, tolong, tolong selamatkan saya dari buaya ini.” Dia sebenarnya dapat membebaskan dirinya dengan mudah. Akan tetapi, dia ingin mengetes keahlian muridnya sehingga dia meminta pertolongan. Bahkan, sebelum kata-kata dari bibirnya keluar, Arjuna dengan panahnya yang cepat dan tajam membunuh buaya tersebut.


Dalam kegembiraannya, Drona mengajarkan astra yang tinggi yang disebut Brahmasirsa kepada Arjuna. Dia memberi kata peringatan. Drona berkata, “Astra ini terlalu ampuh untuk digunakan pada manusia biasa. Kalau diarahkan pada orang miskin yang tidak berpengaruh, dia akan menghancurkan seluruh dunia. Kalau ada seorang yang merupakan raksasa atau deva yang sesat dia akan menyebabkan kehancuran di antara manusia.” Arjuna menerimanya dengan sangat senang dan hormat (Adi Parwa: 2010 : 65-69), (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 42).


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Anak Gembala


Tersebutlah ada seorang anak gembala, hidup di suatu desa di pinggir hutan. Setiap hari, ia menggembala dombanya ke padang rumput yang luas dan sunyi. Ia berkawan dengan domba-domba dan burung-burung yang terbang bebas di langit.


Pada suatu hari, anak gembala itu diliputi perasaan sepi dan bosan. Di dalam hatinya, ia berpikir, “Alangkah baiknya jika aku mempunyai teman yang dapat diajak bermain, tentu aku senang,” Tiba-tiba muncul rencana baru dalam pikirannya. Kemudian, dia meletakkan kedua tangan di muka mulutnya, dan ia mulai berteriak sekuat tenaga.



“Tolong…tolong…ada serigala. Tolong aku,” Segera orang-orang datang sambil membawa tongkat dan parang.


“Di mana serigala, di mana serigala,” teriak mereka.


“Tidak ada serigala,” kata anak gembala itu tertawa gembira. Para petani sangat marah.


“Bagaimana kamu berani mempermainkan kami, anak kecil? Kamu anak nakal, ya?”


Anak gembala itu sangat puas setelah para petani pergi meninggalkan dirinya. Dalam hatinya, dia bergumam, “Sudah lama saya tidak mendapatkan kesenangan sejenis ini.”


Selang beberapa hari kemudian, anak gembala itu berniat mengulangi tipuannya. Sekali lagi, para petani berlari-lari menuju anak gembala lelaki itu. Kali ini juga mereka dibohongi oleh anak kecil itu. Mereka berkesimpulan bahwa anak gembala ini tidak dapat dipercaya. Mereka memarahi anak gembala itu sambil berkata,“ Sekarang kami tahu, bahwa kamu suka berbohong. Kami tidak akan datang lagi jika kamu memanggil.”, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 43).

Dagang Banten Bali

Beberapa hari berlalu tanpa terjadi peristiwa apa pun. Suatu hari, ketika anak gembala itu duduk berteduh di bawah pohon sambil mengamati dombanya. Tiba-tiba dia melihat beberapa ekor serigala abu-abu yang besar menyeruak keluar dari dalam semak-semak.


Anak laki-laki itu terkejut dan takut yang mencekam. Serigala itu makin mendekat pada kawanan dombanya dan segera melompat dari tempat duduknya, dan sambil berdiri, ia mulai berteriak minta tolong, “Tolong, tolong, ada serigala….tolong datanglah. Benar-benar ada serigala. Tolong…tolonglah.”


Tetapi sia-sia. Tak seorang pun datang. Orang tidak lagi memedulikan teriakannya. Maka, tak dapat dihindari lagi, serigala- serigala itu menyerang dan memakan habis domba-domba itu. Si anak gembala termenung memikirkan nasibnya. Hatinya hancur seperti disambar halilintar. Tak ada sesuatu pun yang dapat dilakukan untuk melindungi domba-dombanya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Sampai di rumah, ia pasti dimarahi oleh orang tuanya. Andaikata ia tak pernah membohongi para petani di sekitarnya, tentu mereka akan datang beramai-ramai menolong dirinya (Cudamani: 2002 ), (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 44).


Referensi: https://www.mutiarahindu.com/2018/12/cerita-berkaitan-dengan-daivi-sampad.html


Susila, Komang dan Sri Mulia Dewi, I Gusti Ayu. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti (kelas 3) / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.


Sumber: Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas III
Kontributor Naskah : Komang Susila dan I Gusti Ayu Sri Mulia Dewi
Penelaah : I Wayan Paramartha dan I Made Redana
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Mengenal Bhagavadgītā dan Sifat Daivi Sampad dan Asuri Sampad

 Bhagavadgītā merupakan salah satu kitab suci agama Hindu. Bhagavadgītā digunakan sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan. Kitab suci Bhagavadgītā juga disebut dengan Pancama Veda. Kata Pancama Veda berarti Veda yang kelima. Kita mengenal kitab catur Veda meliputi, Ṛgveda, Sāmaveda, Yayurveda, dan Atharvaveda. Veda yang kelima adalah Bhagavadgītā. Kitab suci Bhagavadgītā adalah percakapan antara Śrī Kṛṣṇa dan Arjuna. Śrī Kṛṣṇa memberikan nasihat kepada Arjuna sebelum berperang.



Sebelum berperang, Arjuna merasa ragu dan sedih karena harus berperang dengan kakek, guru, dan saudara-saudaranya. Ketika itu, Śrī Kṛṣṇa memberikan nasihat dan ajaran-ajaran tentang kehidupan. Isi kitab suci Bhagavadgītā salah satunya mengajarkan kita tentang perbuatan yang harus dilakukan dan perbuatan yang harus dihindari, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 26).

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Pengertian Daivi Sampad dan Asuri Sampad


Perbuatan yang baik adalah perbuatan yang didasari sifat deva atau Daivi Sampad. Perbuatan yang tidak baik adalah perbuatan yang didasari sifat raksasa atau Asuri Sampad.

Baca: Contoh Sifat Daivi Sampad dan Sifat Asuri Sampad dalam Kitab Bhagavadgītā


Sloka-Sloka Bhagavadgita


Kitab suci Bhagavadgītā berisi ajaran-ajaran dan nasihat-nasihat Kṛṣṇa kepada Arjuna mengenai kehidupan dan pencapaian kepada Tuhan. Kitab suci Bhagavadgītā terdiri atas 700 sloka. Sloka-sloka itu dapat kita pelajari sebagai pedoman hidup. Berikut salah satu sloka yang patut kita hafalkan sebagai bahan latihan belajar membaca slok.



"dvau bhūta-sargau loke’smin, 
daiva āsura eva ca,
daivo vistaraśaḥ prokta, 
āsuraṁ pārtha me śṛṇu", (Bhagavadgītā, XVI.6)


Terjemahannya


"Ada dua macam makhluk ciptaan di dunia ini, yang mulia dan yang jahat, yang mulia telah diuraikan secara rinci, selanjutnya dengarkan tentang yang jahat, dari aku, wahai Pārtha (Arjuna)",
(Pudja: 2004: 374).


Sifat manusia dibedakan menjadi dua macam, yaitu baik dan buruk. Dua sifat tersebut berada di dalam diri manusia dan akan memengaruhi perilaku manusia. Melalui wiweka, manusia dapat membedakan perbuatan baik dan buruk. Selain itu, manusia dapat mengetahui perbuatan mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindari, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 27).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Keutamaan lahir sebagai manusia adalah untuk melakukan karma yang baik. Karma yang baik berguna untuk memperbaiki tingkat kelahiran dan mencapai kebahagiaan abadi. Dalam kitab Sārasamusccaya 2 dijelaskan bahwa:


"mānusah sarvabhutesu varttate vai subhāsubhe asubhesu samavistam subhesvevāvakārayet"


Terjemahannya


"Hanya manusia yang mempunyai kemampuan dengan mengenal perbuatan baik dan buruk, salah dan benar, serta mampu melebur yang buruk menjadi baik. Kemampuan ini sebagai salah satu kelebihan manusia yang diberikan oleh Sang Hyang Widhi", (Kajeng: 2003: 8)


Sifat Daivi Sampad dan Asuri Sampad



Manusia adalah ciptaan Sang Hyang Widhi yang paling utama. Manusia memiliki Tri Pramana, yaitu sabda (suara), bayu (tenaga), dan idep (pikiran). Pikiran berfungsi sebagai pengendali indriya. Oleh karena itu, kita harus dapat mengendalikan pikiran dengan menjalankan ajaran tri kaya parisudha. Dari pikiran yang baik, akan muncul perkataan yang baik dan diwujudkan dengan perbuatan yang baik, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 28).

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Perbuatan menyebabkan manusia mendapat kebahagiaan atau penderitaan, bergantung pada sifat mana yang akan diterapkan dalam kehidupan. Dalam kitab Bhagavadgītā, kecendrungan sifat manusia dibedakan menjadi dua jenis. Kedua jenis sifat itu, yaitu kencenderungan sifat deva (Daivi Sampad) dan kecendrungan sifat raksasa (Asuri Sampad).


1. Sifat Daivi Sampad


Daivi artinya deva. Deva adalah sinar suci Sang Hyang Widhi. Deva memiliki sifat baik, welas asih, dan suka memberi. Deva merupakan sinar suci Sang Hyang Widhi yang bertugas menjaga dan melindungi alam semesta. Sampad berarti sifat. Daivi Sampad adalah sifat manusia seperti deva, yakni

selalu berbuat baik, sabar, menciptakan keharmonisan, dan welas asih. Manusia yang memiliki sifat Daivi Sampad dapat menciptakan ketenteraman dan kesejahteraan, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 29).


2. Sifat Asuri Sampad


Asuri Sampad sama dengan asura yang berarti raksasa. Raksasa cenderung mempunyai sifat yang cepat marah, cepat tersinggung, sombong, angkuh, kasar, dan tidak peduli kepada orang lain. Manusia pasti memiliki 2 sisi: negatif dan positif. Hal tersebut karena ada tri guna yang berpengaruh dalam diri manusia. Oleh karenanya, kini bergantung pada setiap manusia bagaimana dia dapat dan mampu untuk mengendalikan sifat yang tidak baik mengarah pada kebaikan.

Dagang Banten Bali

Asuri Sampad akan mengarahkan dan menyebabkan penderitaan jika sifat tersebut tidak dihindari. Selain itu, tidak ada keharmonisan dan kedamaian yang akan kita rasakan dalam kehidupan. Hendaknya kita selalu mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi, mempelajari kitab-kitab suci, dan berbuat kebaikan kepada semua orang. Maka, kita akan mampu terhindar dari Asuri Sampad, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 30).

Baca: Cerita Berkaitan dengan Daivi Sampad dan Asuri Sampad (Drona di Hastinapura dan Anak Gembala)


Referensi: https://www.mutiarahindu.com/2018/12/mengenal-bhagavadgita-dan-sifat-daivi.html


Susila, Komang dan Sri Mulia Dewi, I Gusti Ayu. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti (kelas 3) / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.


Sumber: Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas III
Kontributor Naskah : Komang Susila dan I Gusti Ayu Sri Mulia Dewi
Penelaah : I Wayan Paramartha dan I Made Redana
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015