Lumbung adalah bangunan tradisional Bali yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan padi. Lumbung dapat dibedakan menjadi empat jenis, antara lain: Jineng, Kelumpu,Gelebeg, dan Kelingking.
Jineng atau lumbung itu adalah sebagai tempat menyimpan padi bukan beras dan juga menyimpan sumber bahan makanan yang lainnya seperti jagung dan padi-padian lainnya. Hal ini melambangkan agar penggunaan hasil kekayaan yang diusahakan dari bumi ini digunakan secara hemat dan tepat. Menyimpan dalam bentuk padi itu bertujuan untuk menghemat secara tepat. Agar jangan menggunakan hasil kekayaan bumi ini dengan cara yang tidak benar.
Sesungguhnya adanya jineng itu jangan dilihat dari fungsi nyata (sekala) dewasa ini. Jineng di Pura Banua itu hendaknya dilihat dari sudut niskala sebagai simbol sakral. Simbol sakral berupa jineng itu sebagai media untuk menanamkan sikap hidup produktif dan hemat kepada umat. Ke depan ada baiknya jineng itu dibangun kembali untuk dijadikan media menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar ia bisa hidup produktif dan hemat sebagai cara membangun hidup yang makmur secara berkelanjutan. (https://sudarmadakaripura.wordpress.com/)
Dalam Tri Mandala Pura Besakih, Jineng di Pura Banua sebagai hulunya lumbung di Bali.
Pura Banua Hulunya Lumbung di Bali
Vaisyah krsivalah karyo-
gopah sasya bhrtvratah,
vartayukto grhopatah-
ksetra palo tha Vaisyah.
(Slokantara, 37)
Maksudnya:
Swakarma vaisya varna adalah bertani, mengembala ternak mengumpulkan padi-padian, berdagang, mengusahakan rumah penginapan dan menjadi pelindung ladang.
BERTANI dan beternak merupakan mata pencaharian awal dari manusia sebelum adanya perkembangan industri barang maupun industri jasa. Dari bertani dan beternak itulah munculnya usaha dagang sebagai lapangan pekerjaan untuk melangsungkan kehidupan. Orang yang bekerja di sektor ekonomi ini disebut Vaisya Varna dalam sistem profesi untuk mendapatkan mata pencaharian berdasarkan Weda.
|
Dagang Banten Bali
|
Tugas petani sebagai Vaisya Varna di samping memproduksi hasil-hasil tersebut agar dapat digunakan sehemat mungkin. Tentunya tidak sampai mengurangi fungsinya untuk membangun hidup sehat sejahtera lahir batin. Memproduksi sumber-sumber kebutuhan hidup sehari-hari itu dan juga menggunakannya agar hemat dan tepat guna bukan pekerjaan yang dapat dilakukan begitu saja.
Pekerjaan itu harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan dan juga ketenangan hati. Membina sikap hidup produktif yang hemat tepat guna dapat dilakukan dengan memulainya dari pemujaan pada Tuhan. Pemujaan ini untuk menumbuhkan bahwa pemahaman bahwa Tuhan menghendaki agar semua ciptaan-Nya ini tidak ada yang tersia-siakan. Swami Satya Narayana menyatakan bahwa ada empat hal yang tidak boleh diboroskan. Empat hal ini adalah rezeki, makanan, tenaga, dan waktu.
Hidup produktif dan hemat itu ditanamkan juga dalam sistem pemujaan pada Tuhan oleh umat Hindu di Bali. Karena hidup produktif dan hemat itu salah satu cara untuk membangun hidup yang sejahtera. Hal itu dikembangkan di salah satu kompleks Pura Besakih yang disebut Pura Banua. Di pura ini Tuhan dipuja sebagai Dewa Sri, Sakti Dewa Wisnu sebagai Dewi Kemakmuran.
Pura Banua ini salah satu kompleks Pura Besakih yang juga berkedudukan sebagai hulunya lumbung di Bali. Pura ini terletak bersebelahan dengan Pura Basukian di kanan jalan menuju Pura Penataran Agung Besakih. Kata ”banua” dalam bahasa Bali kuno artinya desa menurut pengertian sekarang. Banua dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu wilayah pemukiman untuk membina kerja sama membangun dan memelihara kesejahteraan hidup bersama yang produktif dan hemat. Pelinggih atau bangunan suci yang paling utama di pura ini adalah sebuah pelinggih berbentuk Gedong sebagai stana pemujaan Batari Sri sebagai sakti atau power-nya Dewa Wisnu sebagai Dewa Kemakmuran.
Di pura ini ada sebuah jineng dalam ukuran besar yaitu lumbung padi menurut tradisi umat Hindu di Bali. Sayang lumbung yang disebut jineng itu setelah rusak tidak diperbaiki lagi sehingga bangunan tersebut terhapus. Di lumbung besar itulah hasil-hasil tanah laba Pura Besakih disimpan.
Umat Hindu di Bali kalau memanen padi di sawah umumnya menyisihkan seikat kecil padinya terus diupacarai dan distatuskan sebagai simbol Dewa Nini. Dewa Sri yang dalam hal ini disebut Dewa Nini. Seikat padi yang disimbolkan sebagai Dewa Nini inilah yang distanakan di bagian hulu atau keluwan di ruangan dalam lumbung yang ada di Pura Banua tersebut. Mungkin karena kurang paham akan makna jineng atau lumbung itu maka saat rusak tidak lagi diperbaiki karena saat ini tidak ada lagi orang menyimpan padi dengan cara tradisi seperti dahulu.
Sesungguhnya adanya jineng itu jangan dilihat dari fungsi nyata (sekala) dewasa ini. Jineng di Pura Banua itu hendaknya dilihat dari sudut niskala sebagai simbol sakral. Simbol sakral berupa jineng itu sebagai media untuk menanamkan sikap hidup produktif dan hemat kepada umat. Ke depan ada baiknya jineng itu dibangun kembali untuk dijadikan media menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar ia bisa hidup produktif dan hemat sebagai cara membangun hidup yang makmur secara berkelanjutan.
Untuk masyarakat awam ajaran agama yang abstrak itu divisualisasikan dalam bentuk simbol. Dengan simbol itulah berbagai hal bisa dijelaskan secara lebih mudah kepada umat kebanyakan. Apa lagi simbol tersebut terkait dengan pemujaan pada Dewi Sri, Sakti Dewa Wisnu manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kemakmuran. Kehadiran Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran diwujudkan sebagai Dewi Sri di pelinggih Gedong dan sebagai Dewa Nini di lumbung pura.
Dewi Sri lambang Tuhan dalam spirit kemakmuran, sedangkan Dewa Nini dalam wujud kongkretnya. Dewi Sri ibarat jiwa atau Purusa-nya, sedangkan Arca Dewa Nini sebagai wujud fisik atau Pradana-nya. Demikianlah dapat diumpamakan. Karena itu Dewa Nini itu disimbolkan dengan seikat padi. Padi yang dijadikan simbol Dewa Nini itu tentunya padi dari pilihan yang terbaik sehingga menjadi contoh produksi untuk diupayakan oleh masyarakat petani mempertahankan kualitas produknya.
Ini artinya seikat padi terpilih sebagai simbol arca itu, di samping bermakna sebagai simbol sakral ia juga memiliki nilai sebagai simbol material untuk dijadikan contoh oleh pada petani dalam mempertahankan dan mengembangkan kualitas produknya.
Di Pura Banua ini di samping ada Gedong dan Jineng stana Dewi Sri dan Dewa Nini ada juga Balai Pesamuan yang terletak di sebelah kiri Gedong Dewi Sri. Balai Pesamuan ini bertiang delapan dan dibagi menjadi dua bagian yang disekat dengan sebilah papan. Balai Pesamuan ini sebagai tempat bertemunya para pemimpin masyarakat Desa Besakih dengan telah ditentukan tempat duduknya masing-masing.
Balai Pesamuan ini sebagai simbol bahwa dalam membangun kehidupan ekonomi agraris itu tidak bisa para petani berjalan sendiri-sendiri. Apa lagi kehidupan petani sangat tergantung pada iklim dan musim yang ditentukan oleh dinamika alam. Para petani harus mendapat tuntunan dari para akhli dan praktisi astronomi yang dalam ajaran Weda disebut Jyothisa.
Di samping ditentukan oleh musim bertani itu juga ditentukan oleh hari baik atau dewasa menanam padi. Yang juga amat menentukan adalah manajemen irigasi. Hal-hal inilah yang akan menjadi pembahasan umat petani dalam mengembangkan kemakmuran bersama. Hidup bersama itu harus dikembangkan berbagai kebijakan melalui suatu musyawarah agar semua informasi yang ada dapat ditata sesuai dengan fungsi dan profesi yang dimiliki oleh masyarakat bersangkutan.* i ketut gobyah
http://www.babadbali.com/
#BALITEMPOEDULOE #TROPENMUSEUM # #SEJARAH # #BALILAWAS # #BALIAGE #KEUNIKANBALI #ADATTRADISI #ADATBUDAYA #