Senin, 30 November 2020

Sejarah Pura Aditya Jaya Rawamangun, Jakarta Timur

 



Siapa yang tidak kenal dengan Pura Aditya Jaya Rawamangun. Sebuah pura terbesar di Jakarta dan merupakan pusat perkumpulan umat Hindu Sejabotabek. Pura yang lebih populer dikalangan anak mudah dengan nama PAJ ini, terletak di Jalan Daksinapati Raya, RT.11/RW.14, Rawamangun, RT.11/RW.14, Rawamangun, RT.11/RW.14, Rawamangun, Kota Jakarta Timur.



Foto: Mutiarahindu.com
Sejarah Pura Rawamangun

Menurut sejarah, pada tahun 1960 an, umat Hindu DKI Jakarta yang tergabung dalam Suka Duka Hindu Bali (SDHB) {yang telah berganti menjadi Suka Duka Hindu Dharma (SDHD)} berniat untuk membangun tempat ibadah Pura dan Yayasan Pitha Maha di Jakarta. Kala itu, masa kepemimpinan Presiden pertama Republik Indonesia, Dr. Ir. H. Soekarno (periode 1945–1966). 

Akhirnya Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu, Ida Bagus Mantra dan Ida Bagus Manuaba (ketua Pitha Maha yang juga anggota Dewan Konstituante), Menteri Koordinator I Gusti Subania, anggota DPRD DKI Jakarta I Nyoman Wiratha menyampaikan niat baik tersebut ke Presiden.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Menanggapi hal itu, pria yang akrab disapa Bung Karno tersebut, langsung menyambut baik dan menawarkan tanah di Lapangan Banteng bagi umat Hindu. Namun entah kenapa pembangunnan pura di Banteng dinyatakan Batal. Dua tahun kemudian yakni tahun 1962-an, presiden kembali menawarkan tanah yang berbeda yakni di Ancol, tetapi tawaran tersebut langsung ditolak oleh umat Hindu. Sebab pada saat itu, daerah Ancol berlupur serta berbau tak sedap, tidak seperti sekarang ini.

Tahun 1972, Menteri Pekerjaan Umum (PU), Ir Sutami kembali menawarkan tanah Dept. PU cq Ditjen Bina Marga di Jakarta Timur tepatnya Jalan Daksinapati Raya, Rawamangun depan Lapangan Golf . Dengan pertimbangan yang matang, umat hindu akhirnya memutuskan bahwa lokasi tersebut tepat untuk pembangunan Pura Aditya Jaya Rawamangun yang sekarang dapat kita lihat. Keputusan ini diperkuat dengan surat No. 36/KPTS/1976 tentang izin penggunaan tanah Dept. PU cq Ditjen Bina Marga yang diterbitkan oleh Ir Sutami di dukung Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta kala itu.



Peletakan Batu Pertama Pura Aditya Jaya Rawamangun


Pembangunan Pura Aditya Jaya Rawamangun melewati 7 tahap. Peletakan batu pertama dimulai pada tahun 1972, dan baru selesai pada tahun 1997. Pura Aditya Jaya, dibagi menjadi tiga bagian yakni Nista Mandala yaitu daerah paling luar, Madya Madala yaitu bagian tengah dan Utama Mandala atau bagian Tengah.

Dibagian luar (Nista Mandala) digunakan sebagai tempat kegiatan seperti memasak, cuci tangan dan kaki sebelum sembahyang dan beberapa kegiatan lainya. Kemudian pada bagian tengah atau Madya Madala digunakan sebagai tempat dupa, bunga, sentang dan beberapa kegiatan lainya. sedangkan pada Utama Mandala atau bagian Tengah digunakan khusus untuk persembhayangan.



RELATED:
Daftar Pura di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan dan Lombok
Profil Pura Anjasmoro Jombang Jawa TimurPura Aditya Jaya memiliki dua pintu masuk yang pertama di Jalan Daksinapati Raya No 10 dan di pintu Depan Jalan Tol Cawang-Tanjung Priok.

Sumber: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/sejarah-pura-aditya-rawamangun-jakarta.html

Tugas Kelompok STAH DNJ (Wawancara)
Pemuda balkar, 2015. Sejarah Pura Aditya Rawamangun, Online. Diakses. 22 Pebruari 2018 Pukul 13:22 Wib.

Pura Anjasmoro Jombang Jawa Timur

  Pura Anjasmoro, terletak di Dusun Jarak, Desa Wonosalam, Jombang, Jawa Timur. Pada umumnya pura ini tak jauh beda dengan pura-pura yang lain. Memiliki satu padmasana, satu penglurah dan satu candi yang didalamnnya terdapat patung dewa surya.


Pemangku pura Anjasmoro Romo Mangku Supri Hardianto sedang memimpin persembahyangan.

Pura ini hanya memiliki satu plangkiran yang terdapat di madya Madala. Plangkiran ini diletakkan di tiang tepat di depan pintu tengah masuk ke Utama Mandala. Biasanya digunakan ketika pembelajaran anak pasraman.

Pura ini hanya memiliki satu Kran air bersih yang terletak di Madya Mandala tepatnya di sebelah kanan sudut pada saat masuk ke Madya Mandala. Air ini digunakan sebagai pernyucian atau permbersihan ketika masuk ke Utama Mandala.


Tampilan pagar Pura Anjasmoro jika dilihat dari luar depan pintu masuk Madya Mandala.

Meja yang digunakan ketika melaksanakan persembahyangan.

Penglurah yang terdapat di sebelah kiri Padmasana

 Padmasana Pura Anjasmoro.

Candi dibagian kanan Padmasana Pura Anjasmoro

Jenis-Jenis Uang Kepeng dan Fungsinya

 Uang kepeng merupakan salah satu sarana yang tidak lepas dari upacara agama Hindu, baik itu dalam upacara Manusa yajna, bhuta yajna, Dewa Yajna, Pitra Yajna mau pun Rsi Yajna. Uang kepeng dianggap sebagai sarana yang sangat penting dalam setiap upacara. Tak heran jika tanpa uang kepeng suatu upacara tidak dapat dilaksanakan. Berdasarkan jenisnya uang kepeng dapat diklasifikasikan menjadi enam jenis diantaranya yakni Uang kepeng Lumrah, Uang kepeng Koci, Uang kepeng Kerinyah, uang kepeng Lembang, uang kepeng Jahi dan uang kepeng Jimat (Sudarma, 2008:15-16).




Foto; Mutiarahindu.com

Jika dilihat bentuk dan fungsinya, maka ke-enam uang kepeng diatas dapat dijelaskan sebagai berikut;


1. Uang kepeng Lumrah


Yaitu uang kepeng yang digunakan dalam setiap upacara agama. Ada pun bentuk dari uang kepeng Lumrah adalah pada bagian tengahnya bergaris tengah sekitar tiga sentimeter dengan warna hitam. Biasanya uang ini terbuat dari perunggu yang kadar tembagahnya tampak lebih besar (Sudarma, 2008:16). Uang kepeng lumrah dinilai memiliki nilaireligius dan lasim digunakan untuk membuat patung dewa seperti patung Dewa rambut sedana.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

2. Uang kepeng Koci


Yaitu uang kepeng yang bentuknya lebih kecil dari uang kepeng biasa dengan garis tengah sekitar dua sentimeter. Uang kepeng koci berwarna hitam dan terbuat dari perunggu yang campuran tembagahnya tampak lebih besar. (Sudarma, 2008:16).





3. Uang kepeng Kerinyah, 


Yaitu uang kepeng yang bentuknya sama dengan uang kepeng biasa, hanya saja yang membedakan dengan yang lain yakni warnanya berwarna kuning, sebab bahanya terbuat dari campuran kuningan. Uang kepeng ini tidak memiliki keistimewaan tertentu. (Sudarma, 2008:16).


4. Uang kepeng Lembang 


Yaitu uang kepeng yang memiliki ukuran lebih besar dibandingkan dengan uang kepeng biasa. Uang kepeng Lembang memiliki ukuran garis tengah tiga setengah sentimeter dengan warna kuning seperti uang kepeng Kerinyah. Pada umumnya uang kepeng Lembang digunakan sebagai alat judi yang disebut dengan makeles. (Sudarma, 2008:16).





5. Uang kepeng Jahi 


Yaitu uang kepeng yang ukurannya sama dengan uang kepeng Koci. Uang kepeng ini pada umumnya juga digunakan sebagai alat judi yang disebut dengan Mapincer. (Sudarma, 2008:16).

Dagang Banten Bali


6. Uang kepeng Jimat 


Yaitu uang kepeng yang digunakan khusus untuk hal-hal tertentu dan tidak digunakan untuk pembayaran. Sebab dinilai memiliki nilai magis dan mistis. Uang ini memiliki beberapa jenis antara lain pipis arjuna, pipis bima, pipis jaran, dan pipis gajah. (Sudarma, 2008:16).

Pipis arjuna, dipercaya bahwa seseorang yang memakai Pipis ini sebagai jimat akan memperoleh sifat-sifat yang menyerupai Arjuna yakni memiliki kemampuan untuk bercumbur rayu dan menaklukan wanita.
Pipis bima, dipercaya bahwa seseorang yang memakai Pipis ini sebagai jimat akan memperoleh sifat-sifat yang menyerupai Bima yaitu jujur, berwibawa mempunyai kekuatan seperti Bima, berwibawa, mempunyai ketahanan dan kekuatan fisik.
Pipis jaran, dipercaya bahwa seseorang yang memakai Pipis ini sebagai jimat akan memperoleh karakteristik seperti kekuatan untuk berlari seperti kuda.
Pipis gajah dipercaya bahwa seseorang yang memakai Pipis ini sebagai jimat akan memperoleh karakteristik seperti memiliki kekuatan sekuat gajah (Sidemen, 1998: 37 – 40).

Selain dari keenam jenis uang kepeng diatas masih banyak lagi uang kepeng yang pernah ada di negeri Nusantara. Seperti misalnya uang kepeng Bobongan Jawa (Pis Bolong Gobongan Jawa), dan Uang Kepeng Gobongan Bali (Pis Bolong Gobongan Bali). Uang kepeng dini diperkirakan ada pada tahun 1769 Masehi sampai 1860 Masehi. 



RELATED:
Makna dan Fungsi Bunga Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Macam-Macam Jenis Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Makna dan Fungsi Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu
Kemudian Uang kepeng Rerajahan, Uang Kepeng Paica dan Uang kepeng Pretima. Uang kepeng Rerajahan termasuk dalam uang kepeng Jimat, sebab uang kepeng ini dibuat khusus dengan gambar-gambar (dirajah) yang memiliki kekuatan magis. Pada umumnya uang kepeng ini dibuat dari Tembaga, Kuningan dan perunggu.


Uang Kepeng Paica yaitu uang kepeng yang diperoleh karena melakukan tapa samadi pada tempat-tempat suci. Jenis uang ini tergolong Uang kepeng Jimat karena gambarnya merupakan tokoh-tokoh dalam pewayangan seperti dalam kisah Mahabrata dan Ramayana. Uang kepeng Pretima yaitu jenis uang kepeng yang digunakan untuk memuja Tuhan dalam bentuk simbol-simbol. Pada umumnya uang kepeng ini hanya ditemui pada tempat-tempat suci yang sacral.


Seperti kita ketahui bahwa uang Kepeng atau Pis Bolong secara umum dapat diartikan sebagai jenis uang logam yang berbentuk bulat dan ditengahnya berlubang segi empat. Arjan Van Aelst (1995: 357-359) mengatakan bahwa pemerintah majapahit sengaja mengimpor uang kepeng untuk mempermudah transaksi di wilayah Indonesia. Demikianlah jenis-jenis uang kepeng yang penulis dapat rangkum. Semoga bermanfaat.


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/05/uang-kepeng-merupakan-salah-satu-sarana.html


Arjan, Van Aelst, 1995, Batavia Cas Cain, dalam oriental Numismatic News Letter.
Sudarma, I Putu. 2008. Esensi Uang Kepeng Dalam Ritual Hindu. Surabaya. Paramita.
Sidemen, Ida Bagus. Dkk. 1998. Sejarah Alih Fungsi Uang Kepeng Dalam Lontar Majalah Dokumentasi Budaya Bali, No 11 Tahun III. Denpasar: Tanpa Nama Penerbit

MASYARAKAT BALI MENYIMPAN HASIL SAWAHNYA DI DALAM LUMBUNG PADI ATAU DI BALI DI SEBUT "JINENG"TAHUN 1930AN

 


Lumbung adalah bangunan tradisional Bali yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan padi. Lumbung dapat dibedakan menjadi empat jenis, antara lain: Jineng, Kelumpu,Gelebeg, dan Kelingking.

Jineng atau lumbung itu adalah sebagai tempat menyimpan padi bukan beras dan juga menyimpan sumber bahan makanan yang lainnya seperti jagung dan padi-padian lainnya. Hal ini melambangkan agar penggunaan hasil kekayaan yang diusahakan dari bumi ini digunakan secara hemat dan tepat. Menyimpan dalam bentuk padi itu bertujuan untuk menghemat secara tepat. Agar jangan menggunakan hasil kekayaan bumi ini dengan cara yang tidak benar.


Sesungguhnya adanya jineng itu jangan dilihat dari fungsi nyata (sekala) dewasa ini. Jineng di Pura Banua itu hendaknya dilihat dari sudut niskala sebagai simbol sakral. Simbol sakral berupa jineng itu sebagai media untuk menanamkan sikap hidup produktif dan hemat kepada umat. Ke depan ada baiknya jineng itu dibangun kembali untuk dijadikan media menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar ia bisa hidup produktif dan hemat sebagai cara membangun hidup yang makmur secara berkelanjutan. (https://sudarmadakaripura.wordpress.com/)

Dalam Tri Mandala Pura Besakih, Jineng di Pura Banua sebagai hulunya lumbung di Bali.

Pura Banua Hulunya Lumbung di Bali
Vaisyah krsivalah karyo-
gopah sasya bhrtvratah,
vartayukto grhopatah-
ksetra palo tha Vaisyah.
(Slokantara, 37)

Maksudnya:
Swakarma vaisya varna adalah bertani, mengembala ternak mengumpulkan padi-padian, berdagang, mengusahakan rumah penginapan dan menjadi pelindung ladang.

BERTANI dan beternak merupakan mata pencaharian awal dari manusia sebelum adanya perkembangan industri barang maupun industri jasa. Dari bertani dan beternak itulah munculnya usaha dagang sebagai lapangan pekerjaan untuk melangsungkan kehidupan. Orang yang bekerja di sektor ekonomi ini disebut Vaisya Varna dalam sistem profesi untuk mendapatkan mata pencaharian berdasarkan Weda.

Dagang Banten Bali


Tugas petani sebagai Vaisya Varna di samping memproduksi hasil-hasil tersebut agar dapat digunakan sehemat mungkin. Tentunya tidak sampai mengurangi fungsinya untuk membangun hidup sehat sejahtera lahir batin. Memproduksi sumber-sumber kebutuhan hidup sehari-hari itu dan juga menggunakannya agar hemat dan tepat guna bukan pekerjaan yang dapat dilakukan begitu saja.

Pekerjaan itu harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan dan juga ketenangan hati. Membina sikap hidup produktif yang hemat tepat guna dapat dilakukan dengan memulainya dari pemujaan pada Tuhan. Pemujaan ini untuk menumbuhkan bahwa pemahaman bahwa Tuhan menghendaki agar semua ciptaan-Nya ini tidak ada yang tersia-siakan. Swami Satya Narayana menyatakan bahwa ada empat hal yang tidak boleh diboroskan. Empat hal ini adalah rezeki, makanan, tenaga, dan waktu.

Hidup produktif dan hemat itu ditanamkan juga dalam sistem pemujaan pada Tuhan oleh umat Hindu di Bali. Karena hidup produktif dan hemat itu salah satu cara untuk membangun hidup yang sejahtera. Hal itu dikembangkan di salah satu kompleks Pura Besakih yang disebut Pura Banua. Di pura ini Tuhan dipuja sebagai Dewa Sri, Sakti Dewa Wisnu sebagai Dewi Kemakmuran.

Pura Banua ini salah satu kompleks Pura Besakih yang juga berkedudukan sebagai hulunya lumbung di Bali. Pura ini terletak bersebelahan dengan Pura Basukian di kanan jalan menuju Pura Penataran Agung Besakih. Kata ”banua” dalam bahasa Bali kuno artinya desa menurut pengertian sekarang. Banua dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu wilayah pemukiman untuk membina kerja sama membangun dan memelihara kesejahteraan hidup bersama yang produktif dan hemat. Pelinggih atau bangunan suci yang paling utama di pura ini adalah sebuah pelinggih berbentuk Gedong sebagai stana pemujaan Batari Sri sebagai sakti atau power-nya Dewa Wisnu sebagai Dewa Kemakmuran.

Di pura ini ada sebuah jineng dalam ukuran besar yaitu lumbung padi menurut tradisi umat Hindu di Bali. Sayang lumbung yang disebut jineng itu setelah rusak tidak diperbaiki lagi sehingga bangunan tersebut terhapus. Di lumbung besar itulah hasil-hasil tanah laba Pura Besakih disimpan.

Umat Hindu di Bali kalau memanen padi di sawah umumnya menyisihkan seikat kecil padinya terus diupacarai dan distatuskan sebagai simbol Dewa Nini. Dewa Sri yang dalam hal ini disebut Dewa Nini. Seikat padi yang disimbolkan sebagai Dewa Nini inilah yang distanakan di bagian hulu atau keluwan di ruangan dalam lumbung yang ada di Pura Banua tersebut. Mungkin karena kurang paham akan makna jineng atau lumbung itu maka saat rusak tidak lagi diperbaiki karena saat ini tidak ada lagi orang menyimpan padi dengan cara tradisi seperti dahulu.

Sesungguhnya adanya jineng itu jangan dilihat dari fungsi nyata (sekala) dewasa ini. Jineng di Pura Banua itu hendaknya dilihat dari sudut niskala sebagai simbol sakral. Simbol sakral berupa jineng itu sebagai media untuk menanamkan sikap hidup produktif dan hemat kepada umat. Ke depan ada baiknya jineng itu dibangun kembali untuk dijadikan media menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar ia bisa hidup produktif dan hemat sebagai cara membangun hidup yang makmur secara berkelanjutan.

Untuk masyarakat awam ajaran agama yang abstrak itu divisualisasikan dalam bentuk simbol. Dengan simbol itulah berbagai hal bisa dijelaskan secara lebih mudah kepada umat kebanyakan. Apa lagi simbol tersebut terkait dengan pemujaan pada Dewi Sri, Sakti Dewa Wisnu manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kemakmuran. Kehadiran Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran diwujudkan sebagai Dewi Sri di pelinggih Gedong dan sebagai Dewa Nini di lumbung pura.


Dewi Sri lambang Tuhan dalam spirit kemakmuran, sedangkan Dewa Nini dalam wujud kongkretnya. Dewi Sri ibarat jiwa atau Purusa-nya, sedangkan Arca Dewa Nini sebagai wujud fisik atau Pradana-nya. Demikianlah dapat diumpamakan. Karena itu Dewa Nini itu disimbolkan dengan seikat padi. Padi yang dijadikan simbol Dewa Nini itu tentunya padi dari pilihan yang terbaik sehingga menjadi contoh produksi untuk diupayakan oleh masyarakat petani mempertahankan kualitas produknya.

Ini artinya seikat padi terpilih sebagai simbol arca itu, di samping bermakna sebagai simbol sakral ia juga memiliki nilai sebagai simbol material untuk dijadikan contoh oleh pada petani dalam mempertahankan dan mengembangkan kualitas produknya.

Di Pura Banua ini di samping ada Gedong dan Jineng stana Dewi Sri dan Dewa Nini ada juga Balai Pesamuan yang terletak di sebelah kiri Gedong Dewi Sri. Balai Pesamuan ini bertiang delapan dan dibagi menjadi dua bagian yang disekat dengan sebilah papan. Balai Pesamuan ini sebagai tempat bertemunya para pemimpin masyarakat Desa Besakih dengan telah ditentukan tempat duduknya masing-masing.

Balai Pesamuan ini sebagai simbol bahwa dalam membangun kehidupan ekonomi agraris itu tidak bisa para petani berjalan sendiri-sendiri. Apa lagi kehidupan petani sangat tergantung pada iklim dan musim yang ditentukan oleh dinamika alam. Para petani harus mendapat tuntunan dari para akhli dan praktisi astronomi yang dalam ajaran Weda disebut Jyothisa.

Di samping ditentukan oleh musim bertani itu juga ditentukan oleh hari baik atau dewasa menanam padi. Yang juga amat menentukan adalah manajemen irigasi. Hal-hal inilah yang akan menjadi pembahasan umat petani dalam mengembangkan kemakmuran bersama. Hidup bersama itu harus dikembangkan berbagai kebijakan melalui suatu musyawarah agar semua informasi yang ada dapat ditata sesuai dengan fungsi dan profesi yang dimiliki oleh masyarakat bersangkutan.* i ketut gobyah
http://www.babadbali.com/

#BALITEMPOEDULOE #TROPENMUSEUM # #SEJARAH # #BALILAWAS # #BALIAGE #KEUNIKANBALI #ADATTRADISI #ADATBUDAYA #

Makna dan Fungsi Bunga Dalam Upacara Yajna Agama Hindu

 


Bunga dalam bahasa latin berarti flos. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, Bunga adalah bagian tumbuhan yang akan menjadi buah, biasanya elok warnanya dan harum baunya. (kbbi. Kemdikbud. go. id Online. Diakses tanggal 20 Pebruari 2018, pukul 21:47 Wib)


Foto: mutiarahindu.com
Dalam ajaran agama Hindu, bunga merupakan sarana yang sangat penting dan paling banyak kita jumpai dalam setiap persembahyangan (upacara yajna). Seperti misalnya dalam bebantenan. Baik dalam yajna waktu-waktu tertentu (naimitika karma) maupun dalam yajna nitya karma (sehari-hari). Bunga juga digunakan oleh umat hindu sebagai hiasaan untuk mengindahkan tempat-tempat seperti pada aktivitas keluarga, masyarakat, hari nasional, pawiwahan, dan kunjungan ke tempat-tempat tertentu. Tentunya penggunaan bunga disini berfungsi agar lingkungan sekitarnya menjadi nyaman.


Dalam kegiatan keagamaan umat hindu, bunga memiliki nilai spiritual, religius dan nilai kesucian yang sangat tinggi. Tentunya, bunga yang digunakan disini, bukanlah Bunga asal dapat atau asal ada, tetapi bunga pilihan sesuai dengan petunjuk kitab atau sastra suci Hindu. Sebab, bunga dalam agama hindu bermakna sebagai sarana untuk menyampaikan rasa hati dan bakti ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hal ini dipertegas dalam kitab Bhagavad Gita IX.26 yang berbunyi:

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“patram puspam phalam toyam, yo me bhaktya prayacchati, tad aham bhakti-upahrtam, asnami prayatatmanah”


Terjemahan:


“Kalau seorang mempersembahkan daun, bunga atau air dengan cinta bhakti, Aku akan menerimahnya”



Dari sloka diatas dapat kita simpulkan bahwa seseorang dengan penuh ketulusan dan rasa bhakti kepada Tuhan, maka seseorang akan dapat mencapai kebahagian tertinggi walaupun hanya dengan sarana persembahan bunga. Tak heran jika dikatakan bahwa tanpa bunga suatu upacara umat hindu tidak akan sempurna. 


Puspa atau bunga disini merupakan wujud benda yang disuguhkan sebagai cara menunjukkan perasaan yang dapat memberikan kepuasan. Puspa atau kembang merupakan sarana untuk menyampaikan cetusan hati dan rasa bhakti kepada Hyang Widhi Wasa yang mempersembhahkan Yajna sebagai wujud upakaranya. (Susila. 2009:96)


Kemudian di mantra Wedaparikrama terdapat mantra untuk bunga (puspa), aksata dan gandha yang berbunyi demikian:


“Om puspa-dantaya namah (puspa)
Om kum kumara wijaya naham (akcala).
Om cri gandhecwari-amertebhyo namah svaha (gandha)”


Mantra diatas mejelaskan bahwa puspa-danta adalah Siva (gelar untuk siwa). Artinya bahwa bunga yang digunakan untuk sembahyang, bukan hanya sebagai alat tetapi merupakan lambang dari Tuhan itu sendiri (Siwa). Seperti disebutkan dalam Reg Veda bahwa pada awal penciptaan Maha Purusa melakukan Yajna dengan mengorbankan diriNya sendiri. Dengan demikian segala isi alam semesta merupakan bagian dari Siva. Demikian pula dengan puspa merupakan lambing dari tuhan itu sendiri.
Catatan: Puspa yang dimaksud merupakan wujud dari Sang Hyang Puspadanta yaitu gelar Siva (Tuhan).


Dalam Website Parisada Hindu Dharma Indonesia tentang Arti Sarana Persembahyangan dijelaskan bahwa bunga dalam agama Hindu memiliki dua fungsi yakni bunga adalah simbol Tuhan (Siva) dan bunga sebagai sarana untuk sembahyang. Bunga sebagai simbol Tuhan digunakan ketiga sembahyang diletakan pada ujung tangan saat menyembah (dalam Panca Sembah), sedangkan bunga sebagai sarana persembahyangan digunakan pada bebanten. Bunga dalam hal ini bermakna sebagai lambang ketulusan dan kesucian hati semba-bhakti kepada Tuhan.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Kemudian penjelasan makna bunga juga terdapat di dalam Kitab Surya Sewana (Kitab pagelaran pandita), ketika pandita membuat air suci Tirta, puspa (bunga) adalah lambang Dewi Gangga dewanya tirtha. Kekawin Negara Kerthagama menjelaskan bahwa bunga digunakan sebagai penyucian Roh Leluhur dalam upacara Saradha sehingga Jiwatman bisa Mur Amungsi Maring Siwa Buda Loka (jiwatman bisa menyatu kea lam Siwa). 


Penjelasan lain juga terdapat di dalam Lontar Yajna Prakerti dikatakan bahwa bunga merupakan lambang ketulusan hati, keiklasan dan kedamaian seperti berikut:


“… Sekare Pinaka Katulusan Pikayunan Suci”.


Terjemahan:



“Bunga itu sebagai lambang ketulus-ikhlasan pikiran yang suci”

Dagang Banten Bali

Kesimpulan


Bunga merupakan sarana pokok dalam upacara yajna agama Hindu yang berfungsi sebagai lambang restu tuhan, lambang jiwa dan alam pikiran. Bunga yang dipakai dalam upacara yajna harus menggunakan bunga yang bagus seperti bunga yang tidak dimakan ulat, bunga yang mekar, bunga yang tidak ada semutnya, bunga tidak layu dan bunga yang tidak berasal dari kuburan. (Kitab Agastya Parwa). Penjelasan selanjutnya akan dibahas pada tulisan berikutnya tentang jenis-jenis bunga yang baik untuk upacara yajna sesuai kitab suci Hindu.


Reff: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/makna-dan-fungsi-bunga-dalam-upacara.html


Susila, I Nyoman, dkk. 2009. Materi Acara Agama Hindu. Jakarta: Depag RI Dirjen Bimas Hindu.
Lontar Yajna Prakerti.
Bhagavad Gita Menurut Aslinya terjemahan Swami Prabhupada.

Macam-Macam Jenis Air Suci Tirta Dalam Upacara Yajna Agama Hindu

 dalam Lontar Adi Parwa dikatakan bahwa tirta Amrta adalah air suci kehidupan yang abadi yang muncul dari Ksirarnawa ketika perputaran Gunung Mandara Giri. Air tirta ini memiliki fungsi masih-masing sesuai dengan jenisnya seperti dalam penyucian, pengurip alam ciptaan, tirta sebagai pemelihara dan lain sebagainya. Apa pun jenis-jenis tirta tersebut adalah sebagai berikut:





Foto: Mutiarahindu.com
Jenis-Jenis Air Suci Tirta


Dilihat dari cara memperolehnya, tirta dapat dibedakan menjadi dua macam. Ada pun kedua macam tirta tersebut adalah sebagai berikut:

Tirta atau air suci yang dibuat sendiri oleh Pandita atau Sulinggih
Tirta atau air suci yang diperoleh melalui memohon oleh pemangku/ dalang/ balian atau Sang Yajmana.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Jika kita perhatikan dalam kaitanya dengan Panca Yajna, maka jenis-jenis tirta dapat dibedakan menjadi enam macam yaitu:

Tirta pembersihan yaitu air suci yang digunakan untuk mensucikan atau membersikan sarana (bebanten) upakara dan diri manusia sebelum melakukan persembahyangan. Pada umumnya di pura-pura tirtah pembersihan diletakkan di depan pintu masuk atau di dekat tempat dupa dan sentang.
Tirta pengelukatan yaitu air suci yang fungsinya digunakan pada penglukatan atau pensucian alat upacara, bangunan atau diri manusia. Selain itu tirtha ini, biasanya dipergunakan untuk mensucikan canang dan banten dengan cara percikan tiga kali. Tirta ini pada umumnya di dapat dari para pandita dan telah di pasupati.
Tirta Wangsuhpada juga disebut dengan banyun cokor atau kekuluh yaitu jenis tirta yang digunakan pada akhir persembahyangan. Tirta ini sebagai simbol sembah dan bhakti kita kepada Tuhan agar diberikan anugra berupa air suci kebahagian.
Tirta Pemanah yaitu yaitu jenis tirta yang digunakan pada saat memandikan jenazah. Tirta ini diperoleh dari air suci pada saat upakara Ngening.
Tirta Penembak yaitu jenis tirta air suci yang digunakan saat memandikan jenazah yang maknanya mensucikan badan jenazah secara lahir dan batin.
Tirta Pengentas yaitu tirta yang fungsinya untuk memutuskan hubungan roh orang yang meninggal dengan badannya agar cepat melupakan keduniawian. Tirta ini merupakan penentu utama berhasilnya suatu upacara ngaben. Tirta Pengentas pada umumnya dibuat oleh sulinggih.



Kalau dilihat dari penggunaannya pada persembahyangan agama Hindu sehari-hari, tirta dapat dibedakan menjadi tiga jenis diantanya:

Tirtha Kundalini yaitu tirta yang dipercikan ke badan sebanyak tiga kali ketika persembahyangan.
Tirtha Kamandalu yaitu tirta yang diminum.
Tirtha Pawitra Jati yaitu tirta yang diraup ke muka atau kepala sebanyak tiga kali.

Kemudian dalam pustaka Purwa Bhumi, ada disebutkan lima jenis Tirtha yang terdapat di lima gunung atau Panca Giri, sebagai berikut:

Tirtha Sveta Kamandalu di Gunung Indrakila, dijaga oleh Indra dan Sang Hyang Iswara atau Sadyijata
Tirtha Ganga Hutasena di Gunung Gandharnadana, dijaga oleh Barna Dewa
Tirtha Ganga Sudha-Mala di Gunung di Gunung Pgat atau Udaya, dijaga oleh Tatpurusa
Tirtha Ganga Amrta-Sanjivani di Gunung Rsymukka di jaga oleh Aghora
Tirtha Ganga Amrta-Jiva di Gunung Kailasa dijaga bersama Ardhanareswari.

Panca Tirtha tirta diatas dapat diperoleh di lereng Panca Giri. Ada pun fungsinya adalah digunakan untuk menyucikan Bhuta dan Kala, terutama pada hari Raya Nyepi, dan juga dilakukan menjelang upacara-upacara penting lainya dalam rangkaian pelaksanaan Yajna umat Hindu.

Reff: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/macam-macam-jenis-air-suci-tirta-dalam.html
Tim Penyusun dan Peneliti Naskah. _.Weda Kuning 100-101.
Susila, I Nyoman, dkk. 2009. Materi Acara Agama Hindu. Jakarta: Depag RI Dirjen Bimas Hindu

- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar