Rabu, 26 Agustus 2020

Pura Purohita, Seririt Singaraja.


Pura Purohita terletak di lembah dusun Benyahe, Desa Unggahan Kecamatan Seririt Singaraja, Bali. Upacara Pemelaspasan dilaksanakan 11 Desember 2011 yang lalu dipuput(dipimpin) oleh Jero Mangku Pasek Mukti Murwo Kuncoro. Sebelum Upacara Melaspas terlebih dahulu dilaksanakan mendem pedagingan dengan upacara yang sangat sederhana. Diawali nedunang taksu Leluhur Hyang Maha Guru Bhatara Agung Mpu Kuturan. Upakara-nya dilakukan sangat praktis, sehingga hanya mengunakan pejati saja.

Image by: All Event

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Pura Purohita dibangun di area 1,5 hektar dikelilingi bebukitan yang sangat tinggi, berada di wilayah Desa Unggahan Kecamatan Seririt-Singaraja. Dari Kota Seririt bisa ditempuh kurang lebih 1 jam perjalanan menaiki bebukitan dengan kendaraan. Di lingkungan Purohita juga terdapat 11 sumber mata air sakral, yang ke depannya akan dibuatkan kolam Tamba Urip yang akan dibangun oleh Peguyuban Puri Agung Dharma Giri Utama yang nantinya diharapkan berkhasiat menyembuhkan penyakit setelah dipasupati oleh pinisepuh.
Diarea Pura Purohita juga terdapat Lingga Siwa Mahadewa tertinggi di dunia(setinggi 6 meter) yang ditetapkan sebagai salah satu situs warisan dunia. Tugu yang menjulang tinggi merupakan lambang laki-laki, elemen maskulin yang bersifat aktif dan positif serta melambangkan pagi hari. Di bagian lain di Purohita Pura terdapat pelataran Goa Hiranya Garbha (rahim emas) sebagai Yoni yang melambangkan perempuan, elemen feminin serta melambangkan malam hari. Lingga dan Yoni melambangkan kesuburan dan kesatuan harmonis yang saling melengkapi dari masa prasejarah.
Dagang Banten Bali

Sejarah Purohita Pura tak lepas dari konsep puri para pura purana purohita, di mana lokasi Purohita ini merupakan salah satu tempat beryoga para pendeta antara lain Mpu Gni Jaya, Mpu Semeru, Mpu Kuturan, Mpu Gana, Mpu Baradah yang disebut Panca Pandita. Rsi Markandya, Mpu Sidimantra, Mpu Angsoka, Mpu Niratha, Ida Dalem Sidakarya, termasuk para leluhur Majapahit. Oleh karena itu, maka dinamakan Purohita Pura yang merupakan tempat tapa brata yoga semadi orang-orang suci zaman dahulu.
Di areal Pura terdapat sumber air yang berasal dari pertemuan delapan sungai dan dijadikan tempat malukat yang membawa tuah masing-masing sesuai dengan delapan arah dalam Astha Kosala-Kosali. Panglukatan ini dikenal dengan nama Astha Gangga.
Tegak piodalan di Pura Purohita dilaksanakan Redite Pon Kulantir, tahun ini odalan akan jatuh pada tanggal 8 April 2018, Dudonan acaranya:
  1. Buda Wage Ukir, 04 Januari 2018 Me Ayu-ayu
  2. Wrespati Kliwon Ukir, 05 Januari 2018 Penyepian
  3. Redite Pon Kulantir, Puncak Piodalan adapun dudonan madya: 06:00 Ngarutang Piodalan, Sembahyang bersama, Pengilen-ilen ngaturang sesolahan, Nyineb dilakukan pukul 24:00
Pakeling Bagi umat sedharma yang akan melakukan persembahyangan dipersilahkan melakukan pengelukatan dipancoran Astha Gangga yang merupakan pertemuan 8 sumber mata air murni.
Diolah dari berbagai sumber.
Terima kasih: InfoDenpasar, PHDI, Majalah Raditya

Tradisi Perang Tipat Desa Yeh Apit Karangasem


Masyarakat Indonesia selalu punya tradisi unik untuk bersyukur kepada Tuhan, seperti tradisi perang tipat di Desa Apit Yeh di Karang Asem. Tradisi Perang Tipat/Ketupat dalam bahasa tradisional disebut Mesantalan sebuah pesta untuk mengungkapkan kegembiraan dan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Tradisi ini dikenal sangat unik dan cukup menarik bagi wisatawan yang kebetulan melancong ke Karangasem.

Image by: Martawan
Tradisi Perang Tipat juga disebut dengan Mesantalan dalam Kalender Hindu Bali, tradisi ritual ini diselenggarkan pada setiap Sasih Desta atau Sasih Sadha, dan tradisi ini memiliki makna atau arti yang sangat penting bagi warga di desa ini. Menjelang hari hWarga dari empat banjar yakni Banjar Kawan, Banjar Kangin, Banjar Kaler dan Banjar Kelod sejak pagi sudah disibukkan dengan menyiapkan berbagai sarana, seperti mencari janur dan membuat ketupat serta berbagai jenis sesaji yang terbuat dari bermacam hasil bumi.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
Prosesi ini diawali dengan mengarak godel atau anak sapi keliling desa sebelum kemudian godel itu disembelih dan dagingnya dibagikan kepada masing-masing krama desa untuk dimasak. Tepat pukul 12.00 Wita suara kulkul pun ditepak bertalu tanpa henti yang menandakan jika pesta (tradisi Perang Tipat/Mesantalan) akan segera mulai. Pukul 13.00-14.00 Wita, warga kemudian menggelar upacara mecaru dimulai dari Pura Taman, Pura Puseh dan Pura Dalem, hanya saja Ngayabnya dilaksanakan di jalan raya.
Begitu Ngayab selesai dilaksanakan, sejumlah prajuru adat langsung membentangkan tali pemisah antara dua kubu warga yang berada di utara dan selatan. Sorak bergema dan ratusan warga dari dua kubu itu langsung saling lempar dengan ketupat seukuran kepalan tangan orang dewasa. Jika terkena akan cukup sakit, tetapi bagi warga setempat, itu sama sekali tidak dirasakan karena terkena lemparan berarti berkah dan hasil panen mereka pada musim tanam yang akan datang melimpah.
Dagang Banten Bali

Konon Perang ketupat memiliki sejarahnya; berawal dari perkawinan Ida Betara Dalem dengan putrinya Betara Dalem Selumbung. Setelah perkawinan itu berjalan, dan dalam perjalanan putrinya itu, Ida Betara Dalem Selumbung memberikan ketupat sebagai bekal. Namun setiba di pertigaan Apit Yeh, ketupat itu pun dilempar oleh sang putri sebagai penghormatan. Sejak itulah warga di desa ini mengenal dan menyelenggarakan perang ketupat, karena lemparan ketupat tersebut memiliki kekuatan spiritual bagi seluruh warga utamanya bagi kesuburan dan kesejahteraan warga desa.
Pernah suatu ketika warga di desa ini pernah sekali tidak menyelenggarakan ritual perang ketupat ini, namun secara tiba-tiba warga di desa ini mengalami paceklik yang cukup panjang, dimana seluruh tanaman pertanian seperti padi dan palawija serta hasil kebun mati dan seluruh warga mengalami gagal panen.
Dan paceklik yang dialami warga di desa ini akhirnya berakhir setelah tradisi ritual ini kembali diselenggarakan. Sementara usai tradisi perang ketupat ini dilaksanakan, warga akan kembali kerumah untuk selanjutnya mengikuti upacara Meprani dimasing-masing banjar.
Artikel diolah dari berbagai sumber.
Artikel lainnya:
  1. Mengenal Tradisi Mekotek
  2. Tradisi Upacara Neteg Pulu
  3. Tradisi Perang Tipat Desa Yeh Apit, Karangasem
  4. Tradisi Lukat Geni Desa Sampalan
  5. Tradisi Megoak-goakan Desa Panji
  6. Tradisi Nikah Massal Desa Pekraman Pengotan Bangli
  7. Tradisi Masuryak Desa Bongan

Mengenal Keunikan Pura Nampesela Pupuan

Dagang Banten Bali


Pernah mendengar Pura Nampesela, Pupuan? Pura Nampesela terletak diporos jalan Desa Padangan menuju Desa Kebon Padangan, tepatnya di ujung utara dari Banjar Kebon Padangan, Desa Kebon Padangan dan di wilayah Desa Pakraman Kebon Padangan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan,Bali. Pura Nampesela terbilang unik, uniknya wanita tidak diperkenankan masuk ke area pura. Aturan tidak tertulis ini sudah menjadi tradisi turun temurun di Desa Pekraman Padangan.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI
Ini tentu menjadi pertanyaan bagi umat hindu yang datang atau mendengar cerita pertama kalinya. Jero Mangku Pasek Padangan bercerita, konon menurut cerita turun temurun dan juga dari eedan atau wewidian bahwa Ida Bathara yang berstana di Pucak Luhur Batukaru selain mempunyai banyak putra, juga memiliki salah satu putri yang mengalami ketidaksempurnaan fisik atau cacat. Sebagai orang tua Ida Bathara tentu menerima kondisi fisik putrinya dengan lapang dada. Seiring waktu setelah sang putri menginjak dewasa, sang putri mendapat hinaan/cemoohan dari putri dan wanita-wanita lain, maka sang putri diungsikan pada tempat paling sor (paling bawah), dan hal ini membuat beliau merasa sedih dan kecewa. Sejak itulah, beliau tidak bersedia ditemui wanita manapun. Sampai akhir hayatnya ada bhisama beliau, bahwa beliau akan selalu melindungi dan memberikan cahaya kedamaian kepada seluruh masyarakat Padangan, namun tetap tidak bersedia disembah oleh wanita. Kemudian beliau distanakan di Pura Nampesela, dimana pura ini dalam jajaran pura yang ada hubungannya dengan Pura Luhur Pucak Kedeton, terletak paling sor atau paling bawah.
Dari rangkaian cerita itulah, nama Pura Nampesela berasal; kata Nampi berarti menerima, kata Sela atau Cela berarti cacat. Jadi, beliau menerima keadaan fisiknya yang cacat dengan apa adanya.
Odalan Pura Nampesela dilaksanakan dalam rangkaian Karya Ida Bathara Turun Kabeh, bertepatan dengan Purnama Kadasa setiap lima tahun sekali. Dalam rangkaian piodalan Bhatara Turun Kabeh ini, lanjutnya, barulah Pura Nampesela dibuka sehingga pamedek bisa tangkil dan menghaturkan bakti persembahyangan. Biasanya pelaksanaan piodalan di Pura Nampesela akan disiapkan sejak dua minggu sebelumnya.
Meskipun tidak ada aturan tertulis bahwa wanita dilarang masuk area pura namun tidak ada satu orang krama pun yang berani melanggar keyakinan atau kepercayaan turun temurun tersebut. Sehingga, pihaknya juga tidak mengetahui pasti apa yang akan terjadi apabila hal itu dilanggar.
Kepercayaan masyarakat setempat yang diterapkan di Pura Nampesela merupakan tradisi yang patut tetap dijaga dan dihargai oleh siapapun. Bukan persoalan gender, menyimak cerita diatas dimana sang putri diungsikan ditempat paling bawah (paling sor) mengapa para pemedek (wanita) tidak menghaturkan bhakti dari tempat(area) tersebut?

Tradisi Upacara Neteg Pulu


Neteg = Enteg = Mantap
Memantapkan Pernikahan dan kehidupan Rumah Tangga
Ada yang unik dalam Upacara Nganten Neteg Pulu atau Melepeh. Karena tidak semua masyarakat Bali melaksanakan upacara ini. Tapi bagi kami di Desa Bualu, Nusa Dua upacara ini merupakan hal yang biasa walaupun tidak semua Orang melaksakannya. Sebutan lain untuk Neteg Pulu ada bermacam macam seperti Melepeh. Di Desa Bugbug Karangasem disebut dengan Mesih.

Image by: Kompas Life Style

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Upacara dan Upakara Nganten Neteg Pulu lebih besar dari Ngaten Biasa, begitu juga dengan Pemimpin Upacara yang muput.
Sebenarnya upacara Nganten Neteg Pulu atau Melepeh adalah tahapan dari upacara perkawinan. Karena pada dasarnya
Tata pelaksanaan upacara perkawinan memiliki empat tahapan yaitu:
1. Upacara Mekala kalaan
2. Upacacara Mejaya-Jaya
3. Pewarangan atau Mejauman
4. Melepeh atau Neteg Pulu
Melepeh atau neteg pulu adalah merupakan runtutan upacara perkawinan, namun kenyataan yang berlaku di masyarakat, jarang sekali upacara melepeh ini dilaksanakan pada waktu upacara perkawinan tetapi kebanyakan upacara melepeh atau neteg pulu ini mencari hari tersendiri, kadang-kadang setelah umur lanjut baru dilaksanakan. Sehingga ada ungkapan
” Menikah yang Kedua ” atau
….. I Meme jak I Bapa Nganten atau I Pekak jak I Dadong Nganten …..
Neteg Pulu bisa juga dilakukan secara masal. Tapi sebenarnya Nganten Neteg Pulu bisa dilakukan saat Pasangan Suami Istri baru menikah atau flexibel masalah waktu pelaksanaannya
Semoga pernikahan langgeng.
Artikel diolah dari berbagai sumber.

Memahami Sanggah Kamulan

Dagang Banten Bali

Sanggah Kamulan adalah tempat pemujaan asal atau sumber, Hyang Kamulan atau Hyang Kamimitan. Kamimitan berasal dari kawa Wit, (huruf m adalah sekeluarga huruf W). Kamimitan adalah lain ucapan dari kata kawiwitan, berasal dari kata wit, yang berarti asal atau sumber pula. Dengan pengertian ini sebenarnya kita sudah dapat menarik atau menyimpulkan bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan itu tidak lain yang merupakan sumber atau asal dari mana manusia itu ada.
Dalam lontar Sivagama kita jumpai suatu uraian tentang pendirian Hyang Kamulan. Kutipannya sebagai berikut;
“bhagawan manohari, Sivapaksa sira, kinwa kinon de Sri Gondarapati, umaryanang sadhayangan, manista madya motama, mamarirta swadarmaning wong kabeh. Lyan swadadyaning wang saduluking wang kawan dasa kinon magawe pangtikrama. Wwang setengah bhaga rwang puluhing saduluk, sanggarpratiwi wangunen ika mwang kamulan panunggalanya sowing”
Artinya: Bhagawan Manohari pengikut Siva, beliau disuruh oleh Sri Gondarapati, untuk membangun Sad Khayangan Kecil,  sedang maupun besar. Yang merupakan beban kewajiban orang semua. Lain kewajiban sekelompok orang untuk empat pulih keluarga harus membangun panti. Adapun setengah bagian dari itu yakni 20 keluarga, harus membangun ibu. Kecilnya 10 keluarga pratiwi harus dibangun, dan kamulan satu-satunya tempat pemujaan (yang harus dibangun) pada masing-masing pekarangan.
Dengan kutipan di atas jelaslah bagi kita, bahwa setiap keluarga yang menempati karang perumahan tersendiri wajib membangun Sanggah Kamulan. Jadi lontar Sivagama inilah yang merupakan dasar hukum bagi pendirian Sanggah Kamulan.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI
Hyang Kamulan adalah Sanghyang Triatma. Kamulan atau kawitan adalah merupakan sumber atau asalnya manusia. Lalu siapakah yang dimaksud sumber atau asal itu? Siapakah yang menyebabkan adanya manusia atau jatma itu? Manusia umumnya dalam bahasa Bali halus disebut “jatma” yang berasal dari akar kata Ja, yang artinya lahir, dan atma berarti roh.  Jadi jatma berarti roh yang lahir. Dengan ungkapan itu maka sesungguhnya manusia ada karena adanya atma yang lahir, dengan demikian atmalah yang menjadi sumber adanya manusia itu sesungguhnya.
Hal ini akan sesuai benar dengan pernyataan lontar-lontar Gong Wesi, Usana Dewa, tattwa kepatian dan Purwa bhumi kamulan. Lontar-lontar tersebut menyebutkan bahwa yang bersthana pada Sanggah Kamulan adalah Sanghyang Triatma atau tiga aspek dari atma itu sendiri.
Dalam lontar Usana Dewa disebutkan :
ring kamulan ngaran ida sang hyang atma, ring kamulan tengen bapa ngaran sang paratma, ring kamulan kiwa ibu ngaran sang sivatma,ring kamulan tengah ngaran raganya, tu brahma dadi meme bapa, meraga sang hyang tuduh.
Artinya:
Pada sanggah Kamulan beliau bergelar Sang Hyang Atma, pada ruang kamulan kanan ayah, namanya Sang Hyang Paratma. Pada kamulan kiri ibu, disebut Sivatma. Pada kamulan ruang tengah diri-Nya, itu Brahma, menjadi purusa pradana, berwujud Sang Hyang Tuduh (Tuhan yang menakdirkan).
Demikian juga lontar Gong Wesi, kita jumpai kutipan yang hampir sama dengan yang tersurat pada Usana Dewa.
Kutipannya adalah sebagai berikut :
ngaran ira sang atma ring kamulan tengen bapanta, nga, sang paratma, ring kamulan kiwa ibunta, nga, sang sivatma, ring kamulan madya raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi sanghyang tunggal, nungalang raga (Lontar Gong Wesi, lembar 4b).
Artinya : nama beliau sang atma, pada ruang kamulan kanan bapakmu, yaitu Sang Paratma, pada ruang kamulan kiri ibumu, yaitu Sang Sivatma, pada ruang kamulan tengah adalah menyatu menjadi Sanghyang Tunggal menyatukan wujud
Dari dua kutipan lontar di atas jelaslah bagi kita, bahwa yang bersthana pada sanggah kamulan itu adalah Sanghyang Triatma, yaitu; Paratma yang diidentikkan sebagai ayah (purusa), Sang Sivatma yang diidentikkan Ibu (predana) dan Sang Atma yang diidentikkan sebagai diri sendiri (roh individu). Yang hakekatnya Sanghyang Triatma itu tidak lain dari pada Brahma atau Hyang Tunggal/ Hyang Tuduh sebagai pencipta (upti).
Hyang Kamulan adalah Roh suci Leluhur
Dalam lontar Purwa Bhumi Kamulan disebutkan bahwa atma yang telah disucikan yang disebut Dewapitara, juga disthanakan di sanggah kamulan, seperti disebutkan :
riwus mangkana daksina pangadegan Sang Dewa Pitara, tinuntun akena maring sanggah kamulan, yan lanang unggahakena ring tengen, yan wadon unggahakena maring kiwa, irika mapisan lawan dewa hyangnya nguni (Purwa Bhumi kamulan, lembar: #).
Artinya: Setelah demikian daksina perwujudan roh suci dituntun pada Sang Hyang Kamulan, kalau bekas roh itu laki naikkan pada ruang kanan, kalau roh suci itu bekas perempuan dinaikkan di sebelah kiri, disana menyatu dengan leluhurnya terdahulu.
Dalam lontar Tatwa Kapatian disebutkan bahwa Sang Hyang atma (roh) setelah mengalami proses upacara akan bersthana pada sanggah kamulan sesuai dengan kadar kesucian atma itu sendiri. Atma yang masih belum suci, yang hanya baru mendapat “tirtha pangentas pendem” atau upacara sementara (ngurug) juga dapat tempat pada Sanggah Kamulan sampai tingkat “batur kamulan”, seperti disebutkan :
Mwah tingkahing wong mati mapendem, wenang mapangentas wau mapendem, phalanya polih lungguh Sang Atma munggwing batur kamulan (Rontal Tattwa Kapatian, 1a. 1b).
Artinya: Dan prihalnya orang mati yang ditanam, harus memakai tirtha pangentas baru diurug, hasilnya mendapatkan tempat Sang Atma pada Batur Kamulan
Dari kutipan-kutipan di atas jelaslah bagi kita bahwa Hyang Kamulan yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah juga roh suci leluhur, roh suci Ibu dan Bapak ke atas yang merupakan leluhur lencang umat yang telah menyatu dengan Sang Penciptanya, yang dalam lontar Gong Wesi/ Usana Dewa sebagai Hyang Tuduh atau Brahma, yang merupakan asal muasal adanya manusia di dunia ini.
Hyang Tri Murti Dewanya Sanghyang Tri Atma
Kalau kita renungkan lebih mendalam, tentang Sanghyang Tri Atma seperti disebutkan pada Gong Wesi dan Usana Dewa, maka pengertian Hyang Kamulan sesungguhnya akan lebih tinggi lagi. Karena telah disebutkan bahwa Penyatuan Sanghyang Tri Atma adalah Hyang Tuduh/Tunggal yang menjadi Brahma sebagai Sang Pencipta.
Di samping itu, ketiga tingkatan Sanghyang Tri Atma itu juga ditinjau dari segi filsafat Siwa Tattwa, maka “atma” adalah yang menjadikan hidup pada mahkluk. Sivatma adalah sumber atma di alam nyata (sekala) ini. Sedangkan Paratma adalah sumber atma (roh) di alam niskala. Ia adalah atma tertinggi. Ia adalah Tuhan menurut sistim yoga. Ia adalah identik dengan Paramasiva dalam Siva Tattwa. Dalam sistim wedanta ia adalah Tuhan Nirguna Brahma.
Dalam mantram “Sapta Omkaratma” disebutkan yang dimaksud dengan Tri Atma, adalah: Am, Atma dewanya Brahma, Antara atma dewanya Wisnu, dengan wijaksaranya Um, dan Paramatma dewanya adalah Iswara dengan wijaksaranya Mang. Ketiga dewa tersebut dalam sekte Siwa Sidhanta umum disebut Tri Murti. Ketiga dewa tersebut adalah merupakan roh alam semesta. Sebagai roh (atma) alam semesta ia adalah juga bergelar Tri Purusa atau Trilingga.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
Sesungguhnya yang merupakan jiwa (atma) atau roh dari jagat kita ini termasuk mahkluk hidup utamanya manusia adalah beliau yang bergelar Tri Murti., Tri Purusa dengan wujud Trilingganya. Sebagai roh (atma) dengan sendirinya beliau itu adalah Ida Hyang Widhi, yang didalam penunggalan-Nya adalah Ida Hyang Widhi, yang di dalam lontar Usana Dewa dan Gong Wesi disebut Hyang Tuduh/ Tunggal atau Brahma sebagai pencipta alam dengan isinya termasuk manusia.
Siwa adalah Tuhan dalam dimensi imanen. Sadasiwa adalah Tuhan dalam dimensi sakala-niskala, sedangkan Paramasiwa adalah Tuhan dalam dimensi niskala.
Siwa dalam ketiga wujud di atas, dalam lontar Siwagama digelari Batara Guru, karena beliau (Siwa) menjadi “Dang Guru ing Iswara” di jagat kita ini. Konon gelar Batara Guru dihaturkan oleh murid Beliau terpandai yakni Dewa Surya, setelah Dewa Surya dianugerahi gelar Siwa Raditya oleh Siwa sendiri sebagai Dang Guru .
Oleh karena Siwa beraspek tiga, sebagai Tri purusa maka Guru pun ada tiga aspek pula, yakni Guru Purwam, Guru Madyam, Guru Rupam. Guru purwam, guru dalam dimensi niskala, Guru Madyam, guru dalam dimensi sakala-niskala, sedangkan Guru Rupam, adalah guru dalam dimensi sakala. Tri Guru, dalam mantram “ngaturang bakti ring kawitan” juga merupakan objek yang dipuja, seperti dinyatakan :
Om Guru Dewa Guru Rupam
Guru Madyam Guru Purwam
Guru Pantaram dewam
Guru Dewa Sudha nityam
Artinya: Om Guru Dewa, yaitu Guru Rupam (sakala), Guru Madya (sakala-niskala) dan Guru Purwa (niskala) adalah guru para dewa. Dewa Guru Suci selalu
Jadi melihat uraian dan kutipan mantra di atas, jelaslah bagi kita bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan pada hakekatnya adalah Tuhan/ Hyang Widhi, baik sebagai Hyang Tri Atma, yang sebagai roh (atma) alam semesta dengan isinya (jagat) yang dewanya adalah Brahma, Wisnu dan Iswara, yang merupakan aspek Tuhan dalam bentuk horizontal dan Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa, aspek Tuhan dalam bentuk vertikal (Tri Purusa). Sebagai Tri Purusa beliau juga disebut Guru Tiga. Oleh karenanya umum juga menyebutkan bahwa Sanggah Kemulan “sthana” Bhatara Guru/Hyang Guru.
Dengan demikian pengertian Kamulan atau Kawitan sesungguhnya mengandung pengertian yang sangat tinggi, yang merupakan asal muasal manusia yang tidak lain dari Ida Sang Hyang Widhi sendiri dengan semua manifestasinya.
- Service Laptop / Smartphone Panggilan Denpasar

Fungsi Sanggah Kamulan

Setelah mengerti dan memahami Sanggah Kemulan, bagaimana sejarahnya dan apa saja yang dipuja pada sanggah kemulan pada artikel kali ini kita akan memahami fungsi sanggah kemulan
merajan
Photo: Koleksi pribadi. Merajan di Belitang II OKU TIMUR
  1. Tempat Pemujaan Ida Hyang Widdhi
    Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa pengertian Hyang Kamulan, adalah Sanghyang Tri Atma yang panunggalannya adalah Hyang Tuduh atau Hyang Tunggal. Sanghyang Tri Atma yakni : Atma, Sivatma dan Paratma adalah Tuhan, dalam manifestasinya sebagai Roh. Menurut sistim Yoga, Ia adalah identik dengan Tri Purusa (Siva, Sadasiva dan Paramasiva) menurut filsafat Siva Sidhanta dan sesuai pula dengan Brahma, Visnu, Isvara. Ia juga sesuai dengan fungsi Siva sebagai Guru. Oleh karenanya Hyang Kamulan adalah juga Bhatara Guru, yang berdimensi tiga pula, yaitu Guru Purwam (Paramasiva), Guru Madyam (Sadasiva) dan Guru Rupam (Siva). Jadi dengan demikian sesungguhnya yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah Ida Hyang Widhi dalam wujud sebagai Sanghyang Tri Atma, Sanghyang Tri Purusa (Bhatara Guru) dan Sanghyang Tri Murti.
  2. Tempat Memuja Leluhur
    Dalam lontar Purwabhumi kamulan dinyatakan bahwa Sanggah Kamulan adalah tempat Ngunggahang Dewapitara,
    ti kramaning anggunggahaken pitra ring kamulan (Rontal Purwabhumi Kamulan, lembar 53).
    Ngunggahang Dewapitara pada kamulan dimaksudkan adalah untuk “melinggihkan” atau mensthanakan” dewa pitara itu.


Yang dimaksud dengan dewa pitara adalah : roh leluhur yang telah suci, yang disucikan melalui proses upacara Pitra Yadnya, baik Sawa Wedana maupun Atma Wedana.
Ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan adalah mengandung maksud mempersatukan dewa pitara (roh leluhur yang sudah suci) kepada sumbernya (Hyang Kamulan). Kalimat “irika mapisan lawan dewa Hyangnia nguni” mengandung pengertian bersatunya atma yang telah suci dengan sumbernya, yakni Sivatma (ibunta) dan Paratma (ayahta). Hal ini merupakan realisasi dari tujuan akhir Agama Hindu yakni mencapai moksa (penyatuan Atma dengan paratma).
Dari segi susila (aspek etika) ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan, adalah bermaksud mengabdikan/melinggihkan roh leluhur yang telah suci pada Sanggah Kamulan untuk selalu akan dipuja, mohon doa restu dan perlindungan.

Dagang Banten Bali

Atma yang dapat diunggahkan pada Sanggah Kamulan adalah Atma yang telah disucikan melalui proses upacara Nyekah atau mamukur seperti dinyatakan dalam rontal :
iti kramaning ngunggahakan pitra ring kamulan, ring wusing anyekah kurung muah mamukur, ri tutug rwa wales, dinanya, sawulan pitung dinanya
Artinya: Ini perihalnya menaikkan dewa pitara pada Kamulan, setelah upacara nyekah atau mamukur, pada dua belas harinya, atau 42 harinya
Jadi upacara ngalinggihang Dewapitara adalah merupakan kelanjutan dari upacara nyekah atau mamukur itu. Tetapi karena pitara sudah mencapai tingkatan dewa, sehingga disebut Dewapitara, maka upacara ini tidak tergolong pitra yadnya lagi, melainkan tergolong Dewayadnya. Dari uraian di atas itu, jelaslah bagi kita, bahwa Sanggah Kamulan disamping untuk memuja Hyang Widhi, juga tempat memuja roh suci leluhur yang telah menunggal dengan sumbernya (Hyang Kamulan, atau Hyang Widdhi).

Mengenal Fungsi Taksu

Dagang Banten Bali


Pada areal Sanggah Kamulan, ada sebuah pelinggih yang penting lagi disebut “Taksu”. Kata taksu sudah merupakan bahasa baku dalam kosa kata Bali, yang dapat diartikan sebagai daya magis yang menjadikan keberhasilan dalam segala aspek kerja, misalnya para seniman, seperti pragina, balian, dalang dan lain-lain, yang berhasil disebut “mataksu”.
Dan dalam ajaran Tantrayana, taksu itu bisa diartikan sama dengan “sakti” atau “Wisesa”. Dan yang dimaksud dengan sakti itu adalah simbul dari pada “bala” atau kekuatan. Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energi atau “kala”.
Dalam Tattwa, daya atau sakti itu tergolong “Maya Tattwa”. Energi dalam bahasa Sanskrit disebut “prana” adalah bentuk ciptaan yang pertama dari Brahman. Dengan mempergunakan “prana” barulah muncul ciptaan berikutnya (Panca mahabhuta). Dengan digerakkan oleh “prana” kemudian terciptalah alam semesta termasuk mahluk isinya secara evolusi. Tuhan Nirguna Brahma atau Paramasiva dalam sistem Siva Tattwa, memanfaatkan energi atau sakti itu, sehingga Ia menjadi Maha Kuasa, memiliki Cadu Sakti dengan asta Aisvaryanya. Dalam keadaan yang demikian itu, Ia adalah Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur, yang dalam Wrhaspati Tattwa disebut Sadasiva Tattwa dan di dalam Filsafat Vedanta Ia disebut “Saguna Brahma”.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
Menyimak dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kalau Purusa (Sanghyang Tri Purusa) dang Sanghyang Tri Atma kita puja melalui palinggih kamulan, maka Sakti atau Mayanya dipuja melalui “Taksu”. Dalam upacara “nyekah” disamping adanya “sekah” sebagai perwujudan Atma yang akan disucikan, juga kita mengenal adanya “Sangge”. Menurut penjelasan  Ida Pedanda Putra Manuaba (almarhum). Sangge itu adalah simbul dari “Dewi Mayasih”. Siapakah Dewi Mayasih itu? Bukankah ia mewakili unsur “Maya Tattwa” (pradana atau sakti) itu? Yang juga bersama-sama Atma, dalam upacara Nyekah ikut disucikan. Dalam ajaran “kandapat” kita mengenal adanya saudara empat, yang mana setelah melalui proses penyucian saudara empat itu dikenal dengan sebutan: Ratu Wayan Yangkeb Langit, Ratu Ngurah Teba, Ratu Gede Jalawung, Ratu Nyoman Sakti Pangadangan. Ratu Nyoman Sakti Pangandangan itulah dianggap dewaning taksu .
Kemungkinan dalam upacara Ngunggahang Dewapitara, unsur maya (sakti)nya yang telah ikut disucikan juga disthnakan pada palinggih taksu. Disinilah unsur sakti dari atma individu “menyatu dengan unsur sakti” dari Hyang Tripurusa, dan Atma itu sendiri menyatu dengan Hyang Tripurusa, pada Kamulan itu. Sehingga dengan demikian utuhlah pemujaan pada Sanggah Kamulan, adalah pemujaan Tuhan Tripurusa, dengan sakti (maya)nya.
Khusus palinggih Taksu, adalah berfungsi untuk memohon “kesidhian” atau keberhasilan untuk semua jenis profesi seperti seniman, pedagang, petani, pemimpin masyarakat dan sebagainya.